• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran Dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kota Jayapura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Efektivitas Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran Dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kota Jayapura"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran Dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kota Jayapura

Tri yanuaria

yanuariatri@yahoo.com.au Budiyanto

budiyantofhuncen@gmail.com

Abstrak

Pelaksanaan Perda Minuman Beralkohol di Kota Jayapura belum berjalan efektif dalam mengurangi peredaran minuman beralkohol. Dalam penegakan hukum Perda Minuman Beralkohol tersebut masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan kendala yang dihadapinya. Kelima faktor itu adalah faktor undang-undangnya, penegak hukumnya, sarana atau fasilitasnya, masyarakat, dan kebudayaan. Kendala-kendalanya mencakup adanya substansi yang tidak sesuai dengan peraturan lainnya, lemahnya kewenangan satpol pamong praja dalam melakukan penyitaan, kurangya sarana atau fasilitas yang berkaitan dengan Protap atau Standar Oprasional Prosedur (SOP), kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat, dan adanya meniru budaya barat yang buruk dalam kehidupan masyarakat.

Kata Kunci : Efektivitas, Pengedaran, Minuman Beralkohol.

(2)

I. PENDAHULUAN

Minuman beralkohol di Kota Jayapura peredarannya semakin hari semakin meluas dan bahkan dapat dikatakan sudah tidak terkontrol lagi.

Minuman beralkohol secara terang- terangan dijual di ruko yang berdekatan dengan perumahan atau pemukinan warga masyarakat. Hal ini menyebabkan pengaruh buruk terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga minuman beralkohol dapat diperoleh secara mudah di kalangan mulai anak-anak hingga orang dewasa. Seakan para peminum minuman beralkohol sudah tidak lagi memandang batasan usia lagi. Hal ini tentu saja sangat meresahkan masyarakat dan bahkan mengkuatirkan, terutama terhadap anak-anak yang masih sekolah, dan juga merupakan generasi muda penerus bangsa.

Persoalan minuman keras (alkohol) semakin hari bertambah merajalela dan amat cepat perkembangannya. Hal ini berarti dibutuhkan upaya yang bijak, sehingga peredaran minuman beralkohol dapat diawasi dan dikendalikan agar tidak berdampak luas terhadap tingginya kejahatan. Upaya penindakan yang tegas oleh aparat saja tidaklah cukup untuk meredam penyebaran minuman beralkhol di masyarakat. Selain itu dibutuhkan pula adanya bantuan dari berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat, agama, adat, serta semua komponen masyarakat. Selain

itu pula diperlukan langkah yang tepat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, baik itu korban ataupun pelakunya.

Minuman beralkohol mempunyai dampak yang buruk tehadap kesehatan manusia, seperti: menyerang otak, menyebabkan sakit jantung, paru-paru, menyerang hati, dan lain-lain penyakit hingga menimbulkan kematian. Namun yang mengherankan dampak tersebut tidak membuat para pacandu minuman beralkohol takut dan sadar diri. Seakan- akan tidak diperdulikan dan malah banyak yang mendukung agar minuman beralkohol tersebut bebas untuk dijual dan dikonsumsi oleh siapa saja. Bahkan kadangkala penjual ataupun pengusaha minuman beralkohol mendapat bantuan pengamanan dari oknum aparat dalam menjalankan usaha bisnis minuman beralkohol di seluruh wilayah Indonesia.

Provinsi Papua termasuk provinsi yang peduli terhadap masalah minuman beralkohol di wilayahnya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol (selanjutnya disebut Perda Minuman Beralkohol). Kemudian diikuti Pemerintah Kota Jayapura yang juga mengatur masalah minuman beralkohol dalam Peraturan Daerah Kota Jayapura

(3)

Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol (selanjutnya disebut Perkot Minuman Beralkohol). Kedua Perda dan Perkot tersebut nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peredaran atau perkembangan masalah minuman beralkohol di Wilayah Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura. Jumlah tempat penjual minuman beralkohol, bukannya berkurang tetapi justru semakin bertambah banyak, dan secara terang-terangan dijual kepada siapa saja yang akan membeli minuman beralkohol tersebut.

Keberadaan Perda dan Perkot Minuman Beralkohol tersebut tampaknya memiliki substansi yang berbeda satu sama lainnya (saling bertentangan). Perda Minuman Beralkohol dalam Pasal 4 ayat (1), menyebutkan bahwa: Gubernur, dan Bupati/Walikota menetapkan kebijakan mengenai Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Substansi pasal tersebut dihapus berdasarkan Perda Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Perda Minuman Beralkohol. Sedangkan pada Perkot Minuman Beralkohol, Pasal 7 menyebutkan bahwa: setiap orang dan atau badan usaha yang melakukan kegiatan, perdagangangan minuman beralkohol wajib memiliki SIUP-MB. Berdasarkan Pasal 7 ini dapat dikatakan bahwa setiap

orang atau badan usaha boleh melakukan perdagangan minuman beralkohol.

Kondisi substansi yang berbeda antara Perda dan Perkot, tentu saja akan berpengaruh terhadap efektivitas kerberlakuannya di masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada 2 (dua) masalah, yaitu apakah Perda minuman beralkohol dapat berjalan efektif di Kota Jayapura, dan apa sajakah kendala- kendala yang dihadapi dalam penerapan Perda minuman beralkohol tersebut?

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif beranjak dari penelaahan tentang peraturan perundang-undangan terkait Perda dan Perkot tentang minuman beralkohol. Adapun sebagai pendukungnya digunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu pendekatan yang difokuskan pada informasi dan pendapat responden terhadap masalah efektivitas keberlakuan Perda dan Perkot minuman beralkohol di kehidupan masyarakat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Efektivitas Berlakunya Perda

Minuman Beralkohol di Kota Jayapura

Menurut Lawrence M. Friedman, dalam bukunya The Legal System: A Social

(4)

Science Perspective (Sistem Hukum:

Sebuah Perspektif Ilmu Sosial) sebagaimana dikutip oleh Budiyanto (Budiyanto, 2017:78-79), bahwa ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: 1. Struktur hukum (legal structure), 2. Subtansi hukum (legal substance), dan 3. Budaya hukum (legal culture) (Lawrence M. Friedman, 1975:16).

Sedangkan Soerjono Soekanto berpendapat ada 5 (lima) faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam masyarakat. Efektif tidaknya hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: Faktor hukum (undang- undang); penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 2012:8).

Apabila mengacu pada pandangan Soerjono Soekanto tersebut, maka untuk mengukur efektivitas berlakunya Perda minuman beralkohol dapat dilihat dari 5 (lima) faktor, yaitu:

1. Faktor hukum (undang-undang)

Faktor hukum berarti berbicara tentang peraturan-peraturan yang terkait minuman beralkohol. Pada level pusat terdapat Peraturan Presiden

Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M- DAG/PER/1/2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-

DAG/PER/4/2014 tentang

Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, dan Peraturan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/ PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A. Menurut Peraturan Dirjen Perdagri bahwa minuman beralkohol hanya boleh dijual di daerah wisata dengan pengaturan lokasinya oleh bupati yang diatur melalui perda. Regulasi minuman beralkohol di tingkat daerah yaitu Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 22 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, dan Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 8 Tahun

(5)

2014 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Apabila dikaji secara mendalam menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dapat dikatakan bahwa secara hierarki ketentuan Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 terkait minuman beralkohol bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, diantaranya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Pedagangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.

Oleh karena itu Perda minuman beralkohol belum dapat dilaksanakan karena beberapa ketentuan yang termuat di dalamnya telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan Pasal 251 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 188.34-3629 Tahun 2016 Tanggal 29-4-2016. Dengan demikian Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 harus dikoordinasikan dan dilakukan pembahasan dengan DPRP dan MRP, dan tetap mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Peraturan lainnya yang berkaitan.

Apabila dicermati Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 sama sekali tidak mengatur tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, tetapi yang diatur adalah tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

Dengan demikian secara herarki Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol jelas bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi. Oleh karena itu materi muatan Peraturan Daerah Provinsi harus berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga tidak boleh bertentangan. Secara horisontal Perda Minuman Beralkohol juga bertentangan dengan apa yang diatur dalam Perkot Minuman Beralkohol.

Sementara jika dilihat secara seksama Perkot Minuman Beralkohol lebih sinkron dan sesuai dengan yaitu Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 dan Peraturan

(6)

Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013, yang sama-sama tidak melarang sepenuhnya minuman beralkohol, tetapi mengatur tentang pengawasan dan pengandalian minuman beralkohol.

Substansi yang dinilai bertentangan dari Perda Minuman Beralkohol, adalah pada BAB III tentang Pelarangan, mulai Pasal 4 sampai Pasal 9, dan Bab VI tentang Ketentuan Pidana, yaitu Pasal 12 ayat (1). Terkait ketentuan pidana dapat dikatakan bahwa pada peraturan daerah yang memberi ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun sangat jelas telah bertentangan dengan Pasal 238 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Hal ini berarti Perda tidak boleh mengatur di luar dari ketentuan tersebut, apalagi mencantumkan pidana penjara. Dengan kata lain Perda dibatasi oleh norma yang hanya boleh mencantumkan sanksi administratif, atau sanksi pidana kurungan dan sanksi denda saja.

2. Faktor Penegak Hukum

Faktor yang sangat penting dalam menegakkan hukum terkait peredaran minuman beralkohol adalah

aparat penegak hukum. Hasil penelitian terungkap bahwa pengawasan minuman beralkohol di Kota Jayapura tidak berjalan maksimal sesuai dengan Perda yang telah dibuat oleh Pemda Provinsi mauapun Perda Kota. Hal ini disebabkan karena dasar hukum yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan Provinsi Papua yaitu Gubenur tidak memiliki dasar hukum yang kuat ketika Satuan Polisi Pamong Praja Tingkat Provinsi melakukan tindakan penyitaan terhadap minuman beralkohol di sebuah toko yang memiliki ijin dari Walikota Jayapura. Berlakunya perda Provinsi Papua dan perda Kota Jayapura menyebabkan penegak hukum (Satpol PP) tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai mana mestinya, karena terbukti dalam kasus yang terjadi telah kalah dalam gugatan di PTUN. Putusan PTUN Nomor:

11/G/2017/PTUN.JPR telah memenangkan Theresia Sumendap melawan Gubernur Provinsi Papua dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Papua. Dalam kasus tersebut Theresia Sumendap selaku pemilik toko telah memiliki ijin penjualan dari pemerintah Kota Jayapura Berdasarkan Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) Nomor: 510/32/MB/INDAKOP yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah

(7)

Kota Jayapura Pada tanggal 28 Januari 2014 dan masih berlaku sampai tanggal 11 Desember 2018 yang secara kelembagaan sebagai Pengecer dan diperbolehkan melakukan perdagangan barang berupa Minuman Beralkohol Golonga “A” dan “C”. hal ini selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

Namun pada Tanggal 15 Maret 2017 tokonya didatangi petugas Satpol PP dan PPNS, yang kemudian melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memusnahkan barangnya. Total barang yang disita saat itu sebanyak 22 jenis minuman beralkohol senilai Rp.398.311.000,00. Putusan majelis hakim PTUN, menyatakan mengabulkan sebagian isi gugatan penggugat. Gugatan tersebut terkait dengan perkara gugatan TUN Nomor 11/G/2017/PTUN.JPR berkaitan dengan adanya putusan TUN dari tergugat 1, dalam hal ini Gubernur Papua yang mengeluarkan surat perintah tugas Gubernur Papua Nomor 300/1534/Set Tanggal 9 Februari 2017.

Objek sengketa yang lain adalah tindakan yang dilakukan oleh Kepala dan Anggota Satpol PP Provinsi Papua yang memasuki gudang dan Toko Inda Jaya, melakukan penggeledahan dan mengambil/menyita barang. Upaya

paksa yang dilakukan petugas satpol PP tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sebab, mereka mengabaikan undang-undang terkait dengan upaya paksa. Tindakan Penggeledahan dan penyitaan ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 dan Pasal 33 KUHAP bahwa penyidik dalam melakukan penggeledahan atas izin ketua PN setempat.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Masalah sarana atau fasilitas ini dapat dikaji berdasarkan Putusan PTUN Nomor: 11/G/2017/PTUN.JPR tersebut, yaitu tindakan yang telah dilakukan oleh Kepala dan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Papua yang menjalankan tugas atas Surat Perintah Tugas Nomor 300/1534/SET yang ditandatangani Gubernur Provinsi Papua Tanggal 9 Februari 2017, yang dinyatakan Batal dan Tidak Sah oleh Putusan PTUN memberikan gambaran bahwa telah terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan oleh Gubernur terhadap jajarannya yaitu Satpol PP yang telah melakukan penggeledahan dan penyitaan di toko penjual minuman beralkohol yang telah memiliki ijin yang sah dari Walikota Jayapura.

Tindakan Satpol PP Provinsi Papua dinilai telah melakukan tindakan di luar prosedur hukum yang berlaku

(8)

sebagaimana diatur dalam Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yaitu asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik, serta melanggar Protap atau Standar Oprasional Prosedur (SOP) Satpol PP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Satuan Polisi Pamong Praja, dalam penegakan Peraturan Daerah.

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat pada umumnya memiliki keinginan bahwa masalah minuman beralkohol di Kota Jayapura dapat segera teratasi dengan baik. Oleh karena itu masyarakat hanya bisa berharap kepada aparat penegak hukum agar dapat mengawasi dan mengendalikan minuman beralkohol supaya tidak meluas dan merusak mental generasi muda. Meskipun masih ada sekelompok orang atau oknum aparat justru menjadi pelopor, sebagai penggemar dan pecandu minuman beralkohol. Akan tetapi apabila hukum

benar-benar ditegakkan secara tegas, dan peredaran minuman beralkohol diawasi secara ketat, maka tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat dapat terus dikendalikan secara baik.

Cara-cara klasik yang dilakukan untuk membuat masyarakat taat hukum adalah dengan melakukan pembinaan dan penyuluhan secara rutin, agar masyarakat lebih mengetahui dan memahami arti hukum itu sendiri. Penyuluhan berkaitan dengan dampak dan bahaya mengkonsumsi minuman beralkohol bagi diri sendiri dan orang lain, seperti pengaruh buruk terhadap kesehatan, mengakibatkan keracunan dan kematian, serta tidak berdampak pada perbuatan yang menjurus pada tindakan kekerasan, seperti penganiayaan dan bahkan pembunuhan. Pilihan terakhir yang sering dilakukan untuk membuat masyarakat taat dan patuh terhadap hukum adalah dengan melakukan pemaksaan atau upaya represif. Cara ini sengaja diciptakan untuk membuat masyarakat berada pada situasi yang tidak dapat melakukan pilihan lain kecuali dengan mentaati hukum, agar tercipta suatu situasi yang tertib dalam masyarakat. Dalam kondisi demikian perlu dilakukan secara arif dan bijak

(9)

agar aparat penegak hukum tidak salah melangkah dalam melakukan penegakan hukum secara tegas yang mungkin saja tidak dikehendaki oleh masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan tercermin dari adanya sikap masyarakat terhadap hukum, dan bagaimana masyarakat menilainya dalam wujud sikap perilaku. Penghargaan terhadap hukum dikarenakan masyarakat mempercayai bahwa adanya hukum tersebut dapat mengayomi dan melindungi dirinya demi terciptanya suasana aman, tertib dan demi ketentraman bersama.

Budaya hukum merupakan sikap perilaku suatu kelompok yang beraneka ragam dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Kondisi kebudayaan masyarakat Papua sangat tidak cocok untuk mengikuti cara kehidupan negara barat yang glamour dan penuh dengan hura-hura. Keberadaan Perda minuman beralkohol bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap dampak dan dasar hukum untuk bertindak. Pelanggaran atas ketentuan hukum yang berlaku akan membawa konsekuensi hukum yaitu pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang melanggar melalui proses peradilan pidana.

Seringkali sikap perilaku yang dilakukan oleh konsumen minuman beralkohol seringkali tidak menyadari bahwa minuman beralkohol memberikan efek buruk bagi dirinya dan merugikan masyarakat. Meski sanksi pidana yang diancamkan dalam perda Provinsi Papua tergolong berat, namun hal ini tidak membuat pelaku takut dan jera. Padahal keberadaan sanksi dalam Perda miras berupaya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan untuk memberikan tanggung jawab atas perbuatannya.

Oleh karena itu untuk mengatasi ketidak jeraan pelaku, maka upaya pengawasan terhadap peredaran minuman beralkohol merupakan langkah yang bijak, karena akan membatasi gerak dari para pelaku untuk memperluas jaringan peredaran minuman beralkohol.

B. Kendala-kendala Dalam Penerapan Perda Minuman Beralkohol di Kota Jayapura

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat dijelaskan bahwa kendala-kendala dalam penerapan Perda Minuman Beralkohol di Kota Jayapura, adalah:

1. Substansi Perda Minuman Beralkohol bertentangan dengan peraturan tinggi lainnya, dan Perkot Minuman Beralkohol. Akibatnya Perda Minuman

(10)

Beralkohol mengalami kendala dalam penerapannya di lapangan, sehingga tidak dapat diterapkan secara efektif, dan tidak dapat diberlakukan secara maksimal kepada pelanggar.

2. Adanya kewenangan yang lemah khususnya petugas Satpol PP Provinsi Papua dalam melakukan tindakan terhadap pelaku pelanggaran Perda Minuman Beralkohol tersebut, karena surat tugas yang dikeluarkan oleh Gubernur Provinsi Papua dinilai tidak sah menurut Keputusan PTUN.

3. Sarana atau fasilitas yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yaitu Petugas Satpol PP Provinsi Papua masih terkendala oleh adanya prosedur yang harus ditaati oleh petugas Satpol PP Provinsi Papua sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), Protap atau Standar Oprasional Prosedur (SOP) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Satuan Polisi Pamong Praja, dalam penegakan Peraturan Daerah.

4. Kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat, khususnya kelompok yang mendukung adanya

peredaran minuman beralkohol secara bebas. Kurangnya pengertian dan pemahaman masyarakat terhadap dampak buruk akibat mengkonsumsi minuman beralkohol, menyebabkan semakin sulitnya mengatasi dan memberantas peredaran minuman beralkohol di Kota Jayapura.

5. Adanya upaya masyarakat untuk meniru budaya barat yang buruk dan menerapkan dan mempertahankannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat menyebabkan semakin sulitnya mengatasi masalah minuman beralkohol. Keanekaragaman budaya yang berlaku di masyarakat akan berpengaruh terhadap nilai-nilai ketaatan dan kepatuhan hukum masyarakat yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan pengertian dan pemahaman masyarakat dalam mencerna arti hukum bagi kepentingan masyarakat, sehingga hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keserasian hidup dan ketertiban dalam masyarakat.

IV. KESIMPULAN

1. Penerapan Perda Minuman Beralkohol di Kota Jayapura belum berjalan efektif dan belum dapat mengatasi dampak minuman beralkohol dan peredarannya di masyarakat. Penegakan hukum Perda Minuman Beralkohol

(11)

dipangaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu:

terdapat substansi norma yang bertentangan dengan peraturan tinggi lainnya, faktor aparat penegak hukum yang tidak dibekali dengan surat tugas yang sah keberlakuannya, belum optimalya sarana atau fasilitas penunjang penegakan, faktor kasadaran dan kepatuhan hukum masayarakat yang masih rendah, dan faktor perilaku masyarakat terhadap budaya mengkonsumsi minuman beralkohol yang sulit dicegah ataupun dilarang.

2. Kendala-kendala yangdihadapi dalam penerapan Perda Minuman Beralkohol di Kota Jayapura adalah terkait adanya substansi Perda Minuman Beralkohol yang masih tumpang tindih dan bertentangan dengan peraturan tinggi lainnya, lemahnya kewenangan petugas Satpol PP untuk menegakkan Perda Minuman Beralkohol, masih kurang optimalnya sarana atau fasilitas yang dimiliki untuk menjalankan Protap atau Standar Oprasional Prosedur (SOP), kurangya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat, dan masih kentalnya meniru budaya barat yang buruk dalam kehidupan masyarakat.

V. DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2017. Revitalisasi Peradilan Adat Sebagai Alternatif Penyelesaian Delik Adat pada Masyarakat Hukum Adat Papua, Malang: Kalimetro Intelegensia.

Lawrence M. Friedman. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation.

Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol Peraturan Presiden RI Nomor 87 Tahun

2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M- DAG/PER/1/2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4//2014 tentang

(12)

Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan minuman beralkohol.

Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan

Dalam Negeri Nomor

04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 188.34/1387/SJ tanggal 17 Maret 2013 Perihal Klarifikasi Peraturan Daerah Dengan Beberapa Petunjuk Yang Dianggap Bertentangan Dengan Peraturan Yang Lebih Tinggi.

Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 22 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol

Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Referensi

Dokumen terkait

Park and Ride diharapkan dapat menyediakan tempat yang cukup luas dan baik untuk menampung kendaraan pribadi, mengurangi kendaraan yang masuk ke Kota karena

Meskipun batubara Indonesia pada umumnya merupakan batubara peringkat rendah dan berupa jenis non coking yang ditandai dengan nilai kalor rendah dan kadar air tinggi namun

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Desorpsi Zat Warna Tekstil Naphtol Blue

B Menukar pasu lama yang kurang menarik C Menukar pasu yang kecil dengan yang besar. D Menukar medium dan pasu lama yang

bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Pasal 239 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan karakteristik konsumen distro di kota Pekanbaru dengan objek penelitian adalah konsumen Distro Pestaphoria Neverending

Watts (2003) juga menyatakan hal yang sama bahwa konservatisme merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam mengurangi biaya keagenan dan meningkatkan kualitas

254 Muscicapidae Philentoma sayap-merah Philentoma pyrhoptera 255 Acanthizidae Remetuk laut Gerygone sulphurea 256 Sylviidae Cikrak bamboo Abroscopus superciliaris 257