• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. akibat berubahnya morfologi, topografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. akibat berubahnya morfologi, topografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyusunan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana perlu di utamakan terhadap peristiwa tsunami yang sudah maupun akan terjadi. Banyak permasalahan timbul pada saat menyusun rencana ini terutama setelah bencana akibat berubahnya morfologi, topografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam menyusun rencana tata ruang secara komprehensif dengan memanfaatkan ruang dan melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan didalam ruang. Secara lebih mendalam rencana tata ruang kota diatur didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Rencana pola ruang wilayah kota meliputi ruang untuk fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kota perlu memperhatikan mitigasi bencana sehingga perlu menetapkan zona yang tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan pembangunan jika potensi risiko bencana tinggi untuk meminimalkan korban jiwa akibat bencana tsunami.

Kawasan rawan bencana merupakan bagian dari kawasan lindung memiliki ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami tanah longsor, gelombang pasang atau tsunami, banjir, letusan gunung berapi, gempa bumi. Kawasan rawan tsunami ditetapkan

(2)

dengan kriteria pantai dengan elevasi rendah dan atau berpotensi atau pernah terjadi tsunami. Menurut Zulkaidi dan Natalivan dalam (Korlena dkk, 2011) penyusunan rencana tata ruang kawasan yang sudah mengalami bencana tidak dapat dilakukan dengan prosedur normal, perlu penyesuaian dengan mempertimbangkan dampak dan respon maupun pilihan masyarakat serta persoalan rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk melibatkan peran serta masyarakat walaupun hal ini merupakan bagian penting untuk mengatasi permasalahan.

Negara Indonesia secara geografis berada pada daerah rawan bencana tsunami. Frekuensi tsunami mengalami trend peningkatan. Selama tahun 1600-2000 telah terjadi 100 kali tsunami. Tsunami telah terjadi di Indonesia yaitu di Maumere (Flores) tahun 1992 dengan korban meninggal sebanyak 2100 orang. Tahun 1994 terjadi di Lampung, Halmahera, dan Banyuwangi. Tahun 1997 tsunami terjadi di Sumba dengan korban jiwa 193 dan beberapa tempat lainya yaitu di Alor, Nabire. Kemudian di tahun 2004 tsunami terjadi di Provinsi Aceh dengan korban jiwa diberitakan 240.000 jiwa. Tsunami mengakibatkan kerusakan sarana prasarana, vegetasi, lahan, kehidupan ekonomi, sosial masyarakat.

Tsunami berasal dari Bahasa Jepang disebut dengan “gelombang pelabuhan”. Tsunami pada 26 Desember 2004 merupakan hasil dari gempa tektonik. Lokasi gempa ini terletak pada 3.316oN dan 95.854oE 160 km dari barat Aceh dengan kedalaman 10 km berkekuatan 9,3 Sr di zona subduksi tempat lempeng Samudera Hindia bergerak menujam ke bawah sehingga ikut menarik lempeng Benua Eurasia ke bawah lalu menyebabkan keretakan lempeng samudera

(3)

bergerak dengan kecepatan 8.046 km/jam sepanjang 96.56 Km. kemudian rekahan itu bertambah panjang menjadi 1.496,69 Km. Beberapa detik kemudian Lempeng dasar laut Hindia mengangkat air laut dengan ketinggian 19,82 m menuju arah timur dan barat pesisir pantai kota Banda Aceh. Puncak tsunami berada pada palung dasar laut, sehingga penduduk di tepi pantai tidak dapat melihat kedatangan gelombang tsunami menuju garis pantai. Penduduk di pinggir pantai mengamati surutnya air laut ratusan meter dari bibir pantai tanpa mengetahui munculnya gelombang tsunami. Gelombang tsunami yang terbentuk ada tiga jenis. Gelombang pertama lebih rendah dari gelombang kedua dan gelombang ketiga lebih tinggi dari gelombang kedua. Antara gelombang pertama dan gelombang ketiga selang waktunya tidaklah lama hanya berselang lima menit, sehingga banyak korban jiwa yang tewas akibat dari gelombang ke tiga tsunami tersebut karena mereka tidak menduga gelombang tsunami akan terulang lagi.

Kerusakan sarana dan prasarana terjadi pada jalan, jembatan, gedung-gedung pemerintahan dan rumah-rumah masyarakat, pelabuhan, pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan, telekomunikasi juga vegetasi pohon bakau, kelapa dan cemara pantai di kawasan pesisir pantai. Provinsi Aceh memiliki luas pohon bakau 170.000 Ha pada tahun 1982 (Nazara, 2009). Menurut laporan pemerintah (Bappenas) jumlah areal hutan bakau Aceh adalah 341.000 Ha, namun hanya 30.000 Ha dalam kondisi baik sedangkan 36,597 Ha telah dialihfungsikan menjadi budidaya ikan payau dan udang di kawasan pesisir. Tsunami telah menyebabkan kerusakan 1.100 Ha hutan bakau Aceh. Puncak gelombang tsunami yang mencapai kawasan permukiman di Pulau Simeulue

(4)

hanya 25 %, karena Pulau Simeulue dikelilingi oleh hutan bakau di sepanjang pantai. Ini dibuktikan dengan penelitian Bambang M (Jakarta Post, 10 Februari 2005) bahwa hutan bakau dengan tinggi rata-rata lima meter dengan kerapatan hingga 50 meter dapat mengurangi 52 % tinggi gelombang tsunami dan 38 % energi tsunami.

Jumlah korban tsunami 26 Desember 2004 di Kota Banda Aceh adalah 27.000 jiwa meninggal dunia dengan kehilangan penduduk 11 % dari total penduduk 243.895 jiwa pada tahun 2002. Lebih dari Rp. 8,4 triliun dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi masa tanggap darurat. Masterplan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh Nias dilaksanakan oleh Badan Pelaksana dalam hal ini Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh menghitung kebutuhan dana mencapai 5,1 milyar US$ sedangkan World Bank 4,452 milyar US$ (Nazara, 2009). Perbedaan ini karena pemerintah ingin membangun sarana prasarana dengan kualitas lebih baik daripada sebelum tsunami.

Menurut Muta’ali (2012) semakin meningkatnya kejadian bencana alam dan bencana sosial di Indonesia merupakan indikasi sangat kuat terjadinya penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan, semakin tinggi dan luas areal yang berpotensi bencana maka semakin menurun kemampuan daya dukung wilayah atau semakin rendah daya dukung wilayah, semakin potensial menimbulkan bencana. Kerusakan pada sisi ekonomi dan sosial masyarakat dapat dilihat antara lain meningkatnya kemiskinan, pengangguran dan pendapatan.

Dalam penyusunan peta RTRW Kota Banda Aceh terdapat perbedaan garis pantai. Hasil delineasi dari citra spot lima pada beberapa tempat telah

(5)

mengalami perubahan yaitu di Kecamatan Meraksa di Desa Ulee-Lhee, Kecamatan Kuta Raja di Desa Gampong Pande, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Syiahkuala di Desa Deah Raya dan Desa Alue Naga, namun dalam penggunaan peta dasar belum mengupdate data tersebut menggunakan batas lama. Pembangunan kembali permukiman penduduk selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi tidak jauh berbeda sebelum tsunami. Pada area Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Raja, Kecamatan Syiah Kuala mengalami kerusakan parah akibat tsunami sehingga lahan semula berfungsi sebagai permukiman, kawasan mangrove menjadi genangan air dan rawa. Kegiatan di kawasan ini seharusnya mempertimbangkan kesesuaian lahan, daya dukung lahan dan tingkat kesulitan membangun fasilitas pelayanan, sehingga pembangunan menjadi kurang efektif.

Perkembangan Kota Banda Aceh pasca tsunami mengalami perubahan begitu signifikan. Pertumbuhan penduduk dengan cepat mengakibatkan keterbatasan lahan. Keterbatasan ini juga disebabkan oleh tsunami karena telah membuat beberapa lahan di garis pantai hilang.

Lahan di Kota Banda Aceh semakin terbatas dan semakin mahal. Kabupaten Aceh Besar merupakan sumber penghasil sektor pertanian dengan luasan lahan dipengaruhi oleh topografi berupa pegunungan tersusun. Permintaan lahan terus meningkat membuat Kabupaten Aceh Besar mengurangi sektor pertanian dengan alih fungsi lahan sawah ke fungsi perumahan sehingga berkurangnya sumber pangan Aceh dari padi. Hal ini adalah efek lain pembangunan di daerah-daerah hinterland Kota Banda Aceh.

(6)

Pembangunan terus berlanjut di Banda Aceh memerlukan suatu strategi dalam menghadapi bencana tsunami. Penentuan lokasi untuk melakukan kegiatan yang dilakukan saat ini perlu dilakukan dengan optimal karena menetukan hasil yang efisien atau malah akan rugi sehingga perlu diusahakan untuk relokasi yang membutuhkan biaya yang banyak dan waktu yang lama.

Konsep rencana tata ruang kota bencana berbasis mitigasi perlu diterapkan dengan manajemen kebencanaan dengan pendekatan struktural dan nonstruktural. Penanggulangan bencana memiliki tujuan untuk menjamin terjadinya penanggulangan bencana terencana, terpadu, terkoordinasi serta menyeluruh terhadap seluruh masyarakat dari ancaman, risiko dan akibat bencana.

Kejadian tsunami 26 Desember 2004 memberikan banyak pembelajaran terhadap konsep zonasi wilayah rawan tsunami sesuai dengan mitigasi bencana, sehingga dalam pengembangan wilayah kedepannya tidak terulang lagi korban jiwa dan harta benda jika terulang kembali.

1.2. Permasalahan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Sejauh mana (bagaimana) aspek mitigasi bencana diakomodasi dalam menjawab permasalahan pada penyusunan RTRW Kota Banda Aceh?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerapan aspek mitigasi bencana dalam penyusunan RTRW Kota Banda Aceh?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan utama dalam penulisan ini adalah untuk:

(7)

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi diterapkannya aspek mitigasi bencana dalam proses penyusunan RTRW Kota Banda Aceh.

1.4. Sasaran Penelitian

Mengacu rumusan latar belakang dan masalah penelitian diatas, maka sasaran penelitian ini adalah untuk memperoleh keyakinan bahwa RTRW Kota Banda Aceh benar-benar berbasis mitigasi bencana.

1.5. Manfaat Penelitian

Evaluasi tata ruang wilayah kota dapat memberikan manfaat diantaranya: 1) Manfaat teoritis

a) RTRWK Banda Aceh memiliki keterkaitan dengan keterjadian bencana tsunami untuk itu penetapan kawasan lindung sesuai dengan kondisi nyata lapangan.

b) Kriteria daerah kawasan rawan bencana tsunami perlu dimasukan dalam rencana tata ruang wilayah kota Banda Aceh.

2) Manfaat Praktis

a) Konsep akomodasi, relokasi dan perlidungan dalam perencanaan wilayah rawan bencana tsunami perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dengan memperhatikan kearifan lokal penduduk.

b) Pembangunan kota akan terus berlanjut sesuai dengan prinsip berkeadilan, berkelanjutan.

1.6. Batasan Penelitian

Agar tema pembahasan tidak meluas, maka ruang lingkup penulisan dibatasi, yaitu:

(8)

1) Ruang lingkup spasial.

Wilayah evaluasi pada studi penelitian ini adalah Kota Banda Aceh di beberapa tempat dengan kerentanan dan risiko bencana tinggi.

2) Ruang lingkup subtansial

Ruang lingkup berhubungan dengan batasan bagian permasalahan penelitian berkaitan tema penelitian yaitu sejauh mana rencana RTRW Kota Banda Aceh peka terhadap bencana tsunami dan faktor-faktor penerapan aspek mitigasi bencana tsunami dalam proses penyusunan rencana tata ruang Banda Aceh.

3) Ruang lingkup temporal

Ruang lingkup waktu pengerjaan penelitian ini dibuat menjadi dua periodisasi, yaitu dari tahun 2003 hingga tahun 2013

1. Sebelum terjadi tsunami. 2. Sesudah terjadi tsunami. 1.7. Keaslian Penelitian

Pemahaman sungguh-sungguh tentang penelitian memiliki tiga dasar pokok untuk dijadikan ketetapan sebagai cara mengetahui bahwa penelitian satu berlainan terhadap penelitian lainnya yaitu: modus, fokus dan lokus.

Penulis melakukan penelitian dengan memusatkan perhatian pada pengaruh mitigasi bencana tsunami di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh yang berbeda dengan penelitian-penelitian semula. Beberapa penelitian yang menyangkut tema evaluasi dan berbeda dengan penelitian ini adalah:

(9)

Tabel 1. Keaslian Penelitian Terkait Beberapa Tema Evaluasi Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti,

Judul, Tahun, Wilayah

Tujuan Penelitian Metode Penelitian

dan Pendekatan Hasil Penelitian

Mulyasman, 1997, Evaluasi Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya

Pekanbaru; (Studi Kasus kota Pekanbaru, Indonesia)

1. Melakukan kajian terhadap pelaksanaan rencana umum tata ruang Kotamadya Pekanbaru. 2. Untuk melihat seberapa jauh

kapasitas RUTRK Pekanbaru sebagai pedoman pembangunan dan seberapa jauh penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan rencana tata ruang.

Metode deskriptif, analitik dan komparatif.

1. Arahan rencana umum tata ruang kota pada struktur tingkat pelayanan kota tidak sepenuhnya dapat diikuti dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas pelayanan kota. pertumbuhan kota cendrung berkembang pada kawasan yang mempunyai lahan datar dan memiliki infrastruktur atau fasilitas pendukung kota. Lokasi kegiatan fungsi primer dan sekunder memperlihatkan penyebaran sarana fasilitas pelayanan, sebaran penduduk tidak mengikuti tahapan rencana pembangunan tata ruang yang menginginkan pemerataan pembangunan.

2. Arahan rencana umum tata ruang kota untuk mewujudkan keseimbangan penjenjangan struktur pelayanan kota terhadap wilayah pengembangan yang setingkat seperti WP II, WP III, IV, dan V. Budian syarif, 1999, Evaluasi Prosedur Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota

1. Untuk melihat dan mengetahui faktor-faktor penyebab penyimpangan terhadap proses penyusunan rencana umum tata ruang (RUTRK) Kota Administratif Bau-Bau

Metode deskriptif analitik komperatif.

1. Proses Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Bau-Bau disusun dengan tahapan kegiatannya berdasarkan Permendagri No.4 Tahun 1980 belum sepenuhnya mengikuti pedoman.

2. Untuk mencapai suatu penyusunan rencana umum tata ruang Kota Bau-Bau yang efektif, maka terlihat tidak dapat tercapai

(10)

Administratif Bau-Bau; (studi Kasus Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia)

berdasarkan pedoman Permendagri No. 4 Tahun 1980, tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota.

2. Untuk mengetahui seberapa jauh efektifitas penyusunan rencana umum tata ruang kota sebagai pedoman pembangunan Kota Bau-Bau khususnya bagi pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang atau lahan fasilitas pelayanan kota.

sesuai dengan proses penyusunannya, hal ini karena didalam proses penyusunannya ada beberapa faktor yang tidak mendukung, salah satunya adalah koordinasi tidak berjalan secara efektif antara pemda Tk.II Buton dengan pihak konsultan serta kurangnya wewenag Pemda. TK II Buton. 3. Dalam setiap tahapan proses penyusunan Rencana Umum

Tata Ruang Kota Bau-Bau, peran serta masyarakat sangat diperlukan keterlibatannya. Namun, untuk mencapai dan menampung aspirasi mereka tidak sepenuhnya dilibatkan. Akibatnya, rencana yang disusun tersebut terjadi penyimpangan dalam hal pemanfaatan ruang kota. Hal ini dikarenakan selain proses penyusunan rencana belum sepenuhnya mengikuti aturan Permendagri No.4 Tahun 1980 yang dijadikan sebagai pedoman.

4. Peran serta masyarakat dalam penyusunan rencana umum tata ruang kota tidak nampak sesuai yang diinginkan oleh pedoman rencan kota. hal ini dikarenakan, selain keterlibatan masyarakat dalam kegiatan penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Bau-Bau dilakukan melalui penunjukan dalam suatu seminar yang cukup terbatas, baik waktu, jumlah, maupun frekuensinya. Juga kegiatan koordinasi di dalam penyusunan rencana kota dilakukan oleh sepihak (konsultan saja, akibatnya aspirasi masyarakat Kota Bau-Bau tidak sepenuhnya tertampung di dalam rencana kota tersebut.

(11)

Fithri Farah Az saifa, 2009,

Assessmet On The implemetation Of The Spatial Plan As A Tool For Disaster Prevetion (A Case Of Banda Aceh, Aceh Province, Indonesia.) 1. Mengetahui pelaksanaan rencana tata ruang yang ada di Banda Aceh.

a. Langkah-langkah mitigasi yang diusulkan dalam rencana tata ruang Banda Aceh pada tahun 2006-2009.

b. Output yang telah dicapai sejauh ini dalam periode 2006 – 2009.

c. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana tata ruang periode 2006 – 2009.

2. Mengetahui efektifitas pelaksanaan rencana tata ruang dalam meminimalkan dampak bencana alam di masa depan pada skala kota.

3. Mengetahui usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pelaksanaan rencana tata ruang kota Banda Aceh 2006-2009. 4. Mengetahui persepsi

masyarakat terhadap isi dan pelaksanaan tata ruang ini sehubungan dengan langkah-langkah mitigasi di Ulee Lhee, Deah Baro dan Deah Glumpang.

Studi kasus

1. Rencana implementasi yang sukses tergantung pada pemenuhan berbagai kondisi. Salah satu kriteria dari keberhasilan pelaksanaan rencana adalah kualitas rencana.

a. Langkah-langkah mitigasi yang diusulkan adalah: (1) Escape routes; (2) Escape building; (3) Open space; (4) Restriction Development Zone; (5) New Urban Development; (6) Building regulation; (7) Buffer zone; (8) Zoning regulation; dan (9) Land consolidation. b. Pemerintah daerah dengan lembaga-lembaga donor telah

berinvestasi infrastruktur yang dapat membantu masyarakat lokal untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana alam. Misalnya jalan desa yang diperluas untuk meningkatkan mobilitas penduduk desa, khususnya evakuasi jika terjadi gempa bumi.

c. Rencana tata ruang yang baru pada saat sebelum disahkan Qanun Nomor 4 Tahun 2009 belum disetujui, seperti yang dijelaskan oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Faktor utama yang menciptakan penundaan implementasi saat itu adalah:

Pertama, bahwa pada tahap penyusunan rencana tata ruang konsultan yang ditugaskan oleh BRR telah membuat ketidaktelitian fatal dalam rencana tata ruang yang telah menyebabkan revisi panjang. Itu menegaskan bahwa sekitar lima puluh persen atau lebih dari rencana tersebut adalah copy -paste dari rencana sebelumnya dan data kecamatan lainnya.

Kedua, banyak perubahan dasar hukum jelas telah mempengaruhi penyusunan rencana tata ruang. Ini

(12)

merupakan indikasi yang jelas bahwa perubahan peraturan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses persetujuan rencana.

Ketiga, diskusi panjang dari proses persetujuan di kota proses sidang legislatif dan publik juga berkontribusi terhadap persetujuan rencana tata ruan.

Peneliti mengamati bahwa pemerintah telah gagal untuk mempertahankan dan mempertimbangkan pentingnya

greenbelt. Faktor lain juga diakui oleh Otoritas Kelautan dan Perikanan Badan mengapa jumlah penanaman mangrove tidak cukup untuk menutupi seluruh wilayah pesisir adalah karena kurangnya kapasitas dan pengalaman dalam penanaman dan metode pembibitan. Pendapat responden ini lebih didukung oleh studi dari

Wetland International.

2. Dalam rangka untuk menilai efektivitas dari Banda Aceh rencana tata ruang untuk meminimalkan dan mengurangi dampak bencana alam, ahli mengungkapkan bahwa rencana tata ruang saat ini Banda Aceh belum mengatasi ancaman perubahan iklim. Sejalan dengan pendapat ahli, Baker (1997) yang menyarankan mempromosikan kepadatan tinggi sebagai salah satu ukuran keberlanjutan yang dapat diterapkan dalam perencanaan tata ruang. Namun, bertentangan dengan argumen ahli, 50% responden utama dari pemerintah daerah berpendapat bahwa rencana tata ruang saat ini sudah efektif dalam menampung bahaya hidrologi dan geologi dan topografi di Banda Aceh.

3. Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) pejabat menjelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan proses

(13)

perencanaan membutuhkan dukungan sumber daya yang memadai seperti staf, uang, waktu, keahlian.

4. Analisis persepsi masyarakat terhadap konten dan pelaksanaan rencana tata ruang mencakup semua tiga desa terpilih di Kecamatan Meuraxa. Dari kuesioner dari tiga komunitas yang dipilih di Kecamatan Meuraxa menunjukkan bahwa mereka tidak menyadari keberadaan rencana tata ruang karena mereka belum menerima informasi dari pemerintah mengenai sosialisasi perencanaan. Secara umum, hampir semua masyarakat di tiga desa sepakat bahwa kedua zona pesisir dan eco zona dapat memberikan dampak manfaat positif ke setiap desa. temuan dari masyarakat mengungkapkan bahwa dewan kota tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan mereka.

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian Terkait Beberapa Tema Evaluasi Penelitian Sebelumnya  Nama Peneliti,

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan terhadap pola aktivitas harian rusa dibedakan atas aktivitas makan, berpindah, istirahat/berlindung dan sosial. Satwa yang diamati dibedakan atas kelas umur anak,

[r]

dilakukan melalui diklat teknis dengan lama pelatihan 48 JPL (6 hari) , kemampuan petugas yang harus diperhatikan dan mendapatkan alokasi waktu yang lebih

Adapun komoditas penyumbang inflasi antara lain kaos dalam laki- laki yang mengalami kenaikan harga sebesar 3,0303 persen dan mendongkrak inflasi sebesar 0,007 persen, emas perhiasan

Setelah menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Aktivitas Corporate Social Responsibility di Sheraton Mustika Yogyakarta Resort & Spa”, penulis sudah

Berdasarkan kamus Kesehatan dan Kedokteran sembuh bermaksud pulih dari suatu penyakit.Membaik pulih tanda-tanda atau gejala penyakit selama kita melakukan

Pengadilan Negeri Bale Bandung melakukan eksekusi terhadap tanah yang terletak di blok Tabrik, Desa Nanjungmekar Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung yang

Perusahaan tidak dapat lagi mengabaikan munculnya perusahaan lain yang mempunyai wilayah pemasaran yang lebih luas. Untuk diperlukan perencanaan stategi manajemen