• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

(1945-1949)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh: LASARUS NIM: 014314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

(1945-1949)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh: LASARUS NIM: 014314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

Skripsi ini aku persembahkan kepada yang tercinta Ibu, Bapak Abang, Kakak dan Adik-ku. Terima kasih atas dukungan dan doanya.

MOTTO

Sesuatu tidak ada yang mudah Tetapi tidak ada yang tidak mungkin

(6)
(7)

vii Oleh Lasarus 014314002

Skripsi yang berjudul Perjuangan Seniman Lukis Pada Masa Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1945-1949) ini bertujuan untuk mengetahui tentang sejarah perjuangan seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta tahun 1945-1949. Dalam skripsi ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas, yaitu:1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik?; 2. Bagaimana peran seniman seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta?; 3. Apa pengaruh karya seniman lukis bagi perjuangan masyarakat pada masa revolusi fisik?

Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini mencakup: pengumpulan sumber (heuristic), kritik sumber, analisis sumber dan penulisan. Pendekatan penelitian yang digunakan ada dua, yaitu; pendekatan sejarah, sosiologi dan politik. Teori yang digunakan mencakup teori tentang Negara, pemerintahan, kekuasaan, militer dan kepemimpinan.

(8)

viii Oleh Lasarus 014314002

The purpose of this thesis writing is to revealing the history of the art painting artist during the physical revolution in Yogyakarta (1945-1949). In this thesis there will be three topics which going be discussed, which is: 1. Why did the art painting artist’s struggled during the physical revolution?; 2. How did the art painting artist took their vole during the physical revolution in Yogyakarta?; 3. What is the influence of the art painting artist’s work of art to words the people’s struggle during the physical revolution period?

Historical methods which used on this: observation containing, reason in choosing the topic, source collection, source critics, source analysis and write. Research approach which going to be use in this thesis by two approach that is historical approach, sociologis and politic. There are theory of state, government, power, military and leadership.

(9)
(10)

ix

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas kasih dan penyertaan-Nya, tugas ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul “PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)”, skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M.Hum., selaku pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, selaku ketua jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Drs. Purwanto, M.a., selaku pembimbing Akademik Jurusan Ilmu Sejarah, yang telah banyak membantu, memberi masukan dan pengarahan kepada penulis.

4. Semua Dosen Ilmu Sejarah yang sudah memberikan ilmu selama menjalankan studi di Universitas Sanata Dharma.

5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas buku-bukunya, sehingga dapat membantu menyelesaikan skripsi ini.

(11)

x

8. Teman-teman kos: Toyib, Pak De, Ilot, Icak, Agung, Jefry, De-de, Banyong, Bang Tarto dan Hafen.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis tetap berharap semoga tulisan sederhana ini dapat dipergunakan sebagai salah-satu khasanah pelengkap penulisan sejarah.

(12)

xi

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ...vi

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Pustaka... 5

F. Landasan Teori... 7

G. Metode Penelitian ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KEBERADAAN SENIMAN LUKIS SEBELUM REVOLUSI... 13

BAB III SITUASI YOGYAKARTA SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN... 22

A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi ... 22

B. Kedatangan Tentara Sekutu Dan NICA... 29

(13)

xii

(14)

xiii

Gambar.4.1. Coretan Dinding ... 35

Gambar.4.2.Coretan dinding ... 36

Gambar.4.3.Coretan Dinding ... 36

Gambar.4.4.Coretan Gerbong Kereta... 37

Gambar 4.5.Coretan Dinding ... 38

Gambar.4.6.Coretan Dinding ... 38

Gambar.4.7.Poster Perjuangan... 41

Gambar.4.8. Moh. Toha., Kapal Terbang Belanda Melingkari Yogyakarta. 48 Gambar.4.9. Sri Suwarno., Suasana Lenggang Kota Yogyakarta ... 49

Gambar.4.10. Moh. Toha., Pesawat Belanda Menerjunkan Tentara Payung 50 Gambar.4.11. Moh. Toha., Kendaraan di bumi hangus di Lempuyangan ... 51

Gambar.4.12. Moh. Toha., Iring-iringan penduduk mengungsi ke luar kota 52 Gambar.4.13. Sri Suwarno., Pos Penjagaan... 53

Gambar.4.14..Moh. Toha.,Presiden diasingkan diasingkan ke Sumatera... 54

Gambar.5.1. Plakat untuk pembinaan kalangan pejuang ... 60

Gambar.5.2. Plakat untuk pembinaan wilayah... 61

(15)

1 A. Latar belakang

Sejarah Indonesia pada Periode Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik (1945-1949), merupakan suatu periode yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru demi persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil terlihat membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II. Untuk yang pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan dan berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Hal ini terbukti dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadilah suatu kesibukan yang sangat rahasia dan hati-hati di kantor berita “Domei” Jakarta, di mana beberapa orang petugas sedang berusaha agar berita Proklamasi itu dapat disiarkan ke seluruh penjuru tanah airBerita Proklamasi ini ternyata berhasil diterima oleh kantor berita “Domei” Yogyakarta, yang pada waktu itu bertempat di Gedung Perpustakaan Negara pada tanggal 17 Agustus 1945, hari jumat jam 12.00 siang.1

1

(16)

Pada mulanya berita Proklamasi yang sangat menggembirakan dan sangat penting itu akan segera disiarkan, tetapi Jepang yang masih menduduki Yogyakarta melarang untuk penyiaran itu. Akan tetapi karena berita Proklamasi tersebut sudah diterima para petugas dan para wartawan kantor berita Domei yang terdiri dari bangsa Indonesia yang berjiwa Nasionalis, maka secara sembunyi-sembunyi dari mulut ke mulut akhirnya dapat disebarluaskan, terutama karena pada waktu itu adalah hari jumat di mana bertepatan dengan umat Islam menunaikan ibadahnya di masjid, maka kesempatan baik ini dapat dimanfaatkan oleh para wartawan berita Domei dan berhasil menyebarluaskannya ke Masjid Besar (Alun-Alun Utara) dan Masjid Pakualaman.2

Dengan tersiarnya berita Proklamasi kemerdekaan ini, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berisi ucapan selamat atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya mereka berdua menjadi Presiden dan Wakil Presiden.3

Peristiwa kemerdekaan tersebut ternyata tidak mengalami jalan yang mulus, dikarenakan pada pertengahan bulan September 1945 datang pasukan sekutu dan tentara NICA yang mulai melakukan kerusuhan, teror dan pembunuhan terhadap para republikan. Mereka (sekutu dan NICA) menganggap masih memiliki kepentingan atas Indonesia dan akan segera memulihkan suatu rezim kolonial yang menurut keyakinan telah mereka bangun selama 350 tahun.

2

Ibid.,

(17)

Dengan demikian akan mengancam jalannya roda pemerintahan terganggu dan Ibukota Republik Indonesia terancam.

Berdasarkan kondisi yang tidak memungkinkan Ibukota Jakarta untuk menjalankan aktifitas pemerintahan, maka atas perhatian pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pemimpin-pemimpin RI itu rupanya mendorong Presiden Sukarno dan Perdana Mentri Syahrir dalam sidang kabinet pada tanggal 3 Januari 1946 memutuskan untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta.4

Semangat revolusi ini juga terlihat dalam jiwa para seniman-seniman dan wartawan Indonesia untuk turut serta berpartisipasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara dan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Seperti lahirnya generasi sastrawan yang dinamakan Angkatan 45, di antara mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis. Seniman musik yang tampil dengan gayanya sendiri yaitu dengan menciptakan lagu-lagu perjuangan yang penuh semangat heroisme, seperti: C. Simanjuntak menciptakan lagu “Maju Tak Gentar, Tumpah Darahku”, Ibu Sud tampil dengan lagu “Berkibarlah Benderaku”, L. Manik dengan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, Ismail Marzuki dengan lagu “Halo-Halo Bandung dan Sepasang Mata Bola”, dan Kusbini dengan lagu “Padamu Negeri”. Seniman lukis modern juga menjadi dewasa pada masa revolusi ketika seniman-seniman seperti Affandi dan sudjojono tidak hanya menangkap semangat

4

(18)

revolusi di dalam lukisan mereka tetapi juga memberi dukungan secara lebih langsung dengan cara membuat poster-poster anti Belanda.

Pada khususnya seni lukis ini dapat dirasakan juga semangat yang di tampilkan oleh anak-anak asuh Dullah yang dengan beraninya menggambar walau situasi Yogyakarta pada masa itu sedang galau. Anak-anak yang rata-rata berusia belasan tahun itu sudah dapat melihat realita yang terjadi dan dituangkan dalam bentuk gambar, dimana gambar tersebut dapat menjadi saksi bisu yang dapat menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik? 2. Bagaimana peran seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta? 3. Apa pengaruh karya seniman lukis terhadap perjuangan pada masa

(19)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsi dan menganalisis apa yang mendasari seniman lukis di Yogyakarta ikut serta berjuang pada masa revolusi fisik (1945-1949).

2. Mendeskripsi dan menganalisis peran seniman lukis di Yogyakarta pada masa revolusi fisik (1945-1949).

3. Mendeskripsi dan menganalisis pengaruh pada hasil karya bagi seniman lukis dan masyarakat.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para peneliti dan pemerhati sejarah seni ,seni lukis di Indonesia.

2. Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan serta informasi tentang peran seniman dalam perang kemerdekaan.

E. Kajian Pustaka

(20)

Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Yogyakarta,” diterbitkan oleh Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI di Jakarta, tahun 1966. Buku ini berisi tentang situasi Yogyakarta pada awal kemerdekaan tahun 1945, kemudian disusul dengan kedatangan Sekutu dan Belanda serta pindahnya Ibukota RI ke Yogyakarta tahun 1946. Hal ini menyebabkan para seniman termasuk pelukis yang tersebar di beberapa kota untuk pindah ke Yogyakarta dengan alasan keamanan. Buku ini masih terlalu umum karena menulis peran seniman secara keseluruhan, seperti seniman musik, teater, film dan lukis. Yang ingin dilihat adalah seniman lukis secara satu-kesatuan yang hasil karyanya dapat menjadi sumber sejarah.

Kedua, buku yang berjudul “Menguak Luka Masyarakat”, buku ini ditulis oleh Brita L. Miklouha Maklai. Buku ini berisi tentang gambaran wujud seni modern Indonesia, khususnya perkembangan setelah tahun 1966 dalam kerangka sosial-politik. Di mana keberadaan seniman digunakan untuk kepentingan pihak penguasa, jadi kebebasan berekspresi para seniman telah dimatikan oleh para penguasa pada masa itu.Buku ini terlalu banyak bercerita tentang seniman setelah tahun 1966, beserta aliran-aliran dan gaya yang dianut oleh para seniman pada masa itu, yang ingin dilihat penulis adalah peristiwa pada tahun 1945-1949 masih sedikit sekali referensinya.

(21)

perjuangan.Buku ini hanya mengisahkan salah satu tokoh seniman lukis saja yang hidup di zamannya, sehingga teman-teman seangkatan masih kurang terekspos. Pada tulisan ini, yang dilihat adalah rekaman peristiwa revolusi di Yogyakarta dari perjuangan seniman lukis, yang berjuang melalui gaya dan kreativitasnya sendiri dari orang-orang yang terjun langsung di masa revolusi.

F. Landasan Teori

Istilah seni, secara etimologi diduga berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya sebagai penyembahan, pelayanan dan pemberian. Menurut The Liang Gie, ada beberapa pengertian seni yang dapat diungkap. Pertama; seni dalam arti yang paling mendasar, adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Kedua; seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar dan melalui perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayati kepada orang lain, sehingga mereka juga merasakan apa yang dirasakan oleh pencipta karya. Ketiga; seni adalah suatu kegiatan manusia dalam menjelajahi dan menciptakan realita baru berdasarkan penglihatan yang irasional, sembari menyajikan realita itu secara simbolis atau kiasan seperti kebulatan dunia kecil yang mencerminkan kebulatan dunia besar.5

Dalam menghasilkan karya seni ini, tidak terlepas dari peran seniman yang merupakan makhluk yang memiliki kelebihan kehalusan jiwa yang tak tersamai dengan orang awam dalam menikmati dan menciptakan keindahan. Hal ini mengacu kepada seniman lukis, yang dikenal secara umum melalui sapuan kuas

5

(22)

dengan cat minyak yang disapukan pada media kanvas dan cat air pada media kertas.

Seniman lukis itu sendiri dalam menciptakan suatu karya tentu tidak terlepas dari lingkungan sekitar dan dan kehidupan sosialnya sebagai sumber inspirasi untuk mengeksplorasikan ide-idenya berdasarkan gambaran inderawi maupun khayali. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari teori kontekstual yang melihat seni berkaitan dengan keadaan dan fakta-fakta yang ada pada masyarakat dan lingkungannya.6

Hal ini menggambarkan keterkaitan dengan seniman lukis di Yogyakarta pada masa revolusi fisik (1945-1949), dimana para seniman pada masa itu melukis disaat keadaan sedang bergejolak dan berhasil merekam berbagai peristiwa berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

Pada tahun 1945-1949, Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya dimasuki oleh pihak asing dengan sengaja untuk kembali berkuasa dimana secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan tersebut, maka kemampuan untuk mengintimidasi yang lemah dengan cara memperkuat aparatur penindasan dipandang sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Dalam hubungan antar bangsa, maka kekuasaan ini menjadi Coersive Power ( kekerasan ) di mana kekuasaan yang didapat oleh salah satu pihak

6

(23)

diperoleh melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan. Hal ini yang terlihat pada masa-masa penjajahan di Indonesia, sampai dengan dikumandangkannya kemerdekaan negara Republik Indonesia masih saja ada pihak asing yang ingin menguasai kembali.

Keadaan yang tertekan seperti itu menyebabkan sebuah negara yang ingin dikuasai melakukan perlawanan yang lebih, karena ada rasa untuk memperoleh kembali miliknya yang telah hilang, oleh karena rasa yang ingin dicapai telah kuat maka perubahan tersebut dilakukan secara cepat dan mendadak atau yang disebut

dengan revolusi.

(24)

Adanya perasaan senasib antara seniman, pejuang dan masyarakat luas mengikatkan kelompok-kelompok ini pada kesadaran kolektif, yaitu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasan kelompok yang bersifat mengikat. Kesadaran ini terbentuk dari pengalaman langsung, ketika dihadapkan pada pengaruh luar yang mengancam dan cenderung ingin menguasai, sehingga muncullah kesadaran untuk membela dan mempertahankan nilai-nilai yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian sejarah merupakan suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan penggalan masa lampau, berdasar data yang diperoleh dengan menempuh proses penulisan atau historiografi. Penelitian yang digunakan di sini mempunyai mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Sumber

Sumber yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan di atas adalah sumber tertulis yang berupa buku, majalah, surat kabar dan dokumen lainnya. Sumber tertulis tersebut diperoleh melalui perpustakaan, di samping itu sumber lisan juga digunakan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

2. Kritik Sumber

(25)

terhadap data penelitian. Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan langkah yang harus dilakukan untuk menghindari adanya kepalsuan suatu sumber. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan sumber yang mendekati kebenaran adalah kritik intern dengan memperbandingkan sumber. Dalam hal ini sumber yang diperbandingkan adalah sumber yang berupa buku, majalah dan surat kabar diperbandingkan supaya diketahui kebenarannya.

3. Analisis Sumber

Analisis sumber merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan dalam suatu penelitian. Hasil analisis akan menunjukkan tingkat keberhasilan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini data akan ditempatkan secermat mungkin supaya penelitian bisa mendekati keadaan yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektivitas yang biasa muncul dalam sebuah historiografi sejarah dalam arti objektif (peristiwa) yang diamati dan dimasukkan ke pikiran subjek tidak akan murni, tetapi diberi warna sesuai kacamata subjek.7

4. Penulisan Sejarah

Penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari suatu penelitian. Penulisan sejarah dilakukan secara kronologis dari peristiwa yang terjadi, penulisan sejarah tersebut telah dijabarkan dalam sistematika penulisan.

7

(26)

H. Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari beberapa bab yang akan menjelaskan permasalahan-permasalahan pokok. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, maka ditampilka sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistimatika penulisan.

Bab II akan menguraikan tentang gambaran awal tentang keberadaan seniman lukis sebelum proklamasi kemerdekaan.

Bab III akan menguraikan tentang situasi Yogyakarta pada masa awal Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kedatangan NICA bersama sekutunya.

Bab IV akan menguraikan tentang keterlibatan seniman lukis dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dimana lebih dititikberatkan kepada tindakan nyata dari para seniman lukis berupa karya yang bernilai heroisme dan nilai dokumentasi yang sangat berharga bagi perjuangan.

Bab V akan menguraikan tentang dampak karya seniman lukis terhadap perjuangan kemerdekaan, di mana akan diungkapkan sejauh mana karya para seniman lukis mampu mambangkitkan semangat juang rakyat dan para pejuang dengan melihat dan membaca karya lukis dan plakat yang bernilai heroisme.

(27)

13

Hubungan awal antara kepulauan Indonesia dan Eropa, terjadi melalui sebuah maskapai dagang bernama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Dimulai pada awal abad ke-17, kemudian VOC dianbil alih oleh pemerintahan Belanda yang giat menaklukkan nusantara menjadi negara jajahan. Selama Indonesia menjadi negara jajahan tidak ada sama sekali seni tradisional yang mendapat pengaruh barat secara langsung. Satu-satunya contoh dari kalangan seniman Indonesia yang sempat merasakan teknik melukis Eropa , adalah Raden Saleh Syarif Bustaman.

Raden Saleh dikenal sebagai orang pribumi pertama yang mempelajari teknik melukis Eropa. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan bangsawan, dapat dengan mudah ia untuk mengenyam dunia pendidikkan sampai ke negeri Belanda.

(28)

Keterasingan dari dua dunia tersebut, membuatnya tak pernah menegakan alirannya sendiri. Tak seorangpun dari mereka yang sezaman dengannya dapat menyamai atau melebihi karya-karyanya. Namun Indonesia memandang pencapaian Raden Saleh sebagai sumbangan berharga bagi pembentukan identitas modern dari seni Indonesia yang mulai terbentuk melalui kebangkitan nasional. Ia dianggap sebagai jembatan kecil antara Jawa tradisional dan unsur-unsur Barat yang merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi pembentukkan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945.

Meluasnya Nasionalisme di awal tahun 1900 secara menyeluruh meliputi seluruh Indonesia, dapat tersalurkan dengan adanya politik kolonial yang ingin memperhatikan kesejahteraan pribumi melalui Politik Etis yang terbentuk tahun 1901, dimana dunia pendidikan mulai diperhatikan sehingga anak-anak pribumi dapat mengenyam dunia pendidikan.

(29)

mendapat tempat utama dalam kurikulum. Sebagai hasilnya, kendati akses sejumlah anak pada dunia pendidikkan dasar relatif masih rendah, namun lapisan luas dari penduduk pribumi mulai menerima sejumlah latihan kesenian. Walau tidak ditemukannya sekolah khusus seni sampai pada masa Perang Dunia ke-II, guru-guru kesenian diambil dari keluaran sekolah guru dengan secercah pengetahuan mengenai kesenian, perkembangan ini cukup untuk menyadarkan orang betapa besarnya potensi kreativitas para seniman untuk merangsang banyak orang Indonesia baik dari kalangan nasionalis maupun bukan untuk melukis.

Salah seorang pelukis muda yang berpendidikkan dari Taman Siswa, yaitu S. Soedjojono, mendirikan kelompok pelukis nasionalis pertama yang dinamakan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937, mengungkapkan bahwa kelahiran PERSAGI merupakan bagian dari kebangkitan Nasionalisme kebudayaan, dimana pernyataannya terungkap dalam pidatonya dibawah ini, yang menunjukkan bahwa kaitan antara nasionalisme radikal dan seni yang bersandar pada angan-angan ke sosialisme dan mencari kepribadian Indonesia, telah dan sedang ditempa.

“…Pelukis tidak lagi hanya melukis gubuk-gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin, sandal-sandal, pantolan dan jaket orang dijalanan.

…Inilah kenyatan kita, sebab seni yang tinggi mutunya adalah karya yang didasari oleh kehidupan kita sehari-hari yang diolah oleh sang seniman yang terbenam dan tercelup di dalamnya untuk kemudian mencipta.”8

8

(30)

Memasuki zaman Jepang di Indonesia merupakan wahana penempaan semangat bangsa dalam menyosong kemerdekaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Sedangkan Jepang ikut bagian dalam Perang Dunia Ke II, untuk mendapatkan dukungan dari pihak Indonesia, Jepang membentuk organisasi politik pertama yang disebut “Gerakan Tiga A”, yaitu Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia. Akan tetapi gerakkan ini tidak mendapat sambutan massa seperti apa yang diharapkan oleh pihak Jepang. Kesadaran akan hal itu membawa Jepang merubah secara radikal garis politiknya, dengan berpaling pada pimpinan-pimpinan Nasional yang mereka rasa benar-benar memiliki dukungan nyata dari rakyat. Dengan latar belakang politik ini, pemerintah militer Jepang memutuskan untuk memunculkan tokoh-tokoh Nasionalis yang anti kolonial dan anti Imperialisme. Gerakkan Nasionalis Indonesia akan sangat membantu berhasilnya tujuan perang Jepang, sebab secara poitis Jepang terus menerus menanamkan harapan kepada bangsa Indonesia seolah-olah kemerdekaan bisa diperoleh. Sehingga pada tanggal 9 Maret 1943 didirikan PUTERA kepanjangan dari Pusat Tenaga Rakyat, dibawah kepemimpinan Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kiai Haji Mas Mansoer.

(31)

untuk membujuk kaum nasionalis, pemimpin dan para pelajar agar dapat menarik simpati massa.

Keimin Bunka Syidosyo atau pusat kebudayaan yang terbentuk pada tanggal 1 April 1943, merupakan salah satu bagian dari tugas PUTERA yang mengurusi bidang kesenian. Terbentuknya badan ini memberikan kesempatan bagi perkembangan dunia kesenian dan seniman Indonesia sebagai wadah untuk berkreasi sesuai dengan bidangnya. Tujuan utama dibentuknya pusat kebudayaan ini adalah semata-mata untuk menghimpun para seniman dan budayawan serta mengarahkan mereka pada keperluan propaganda dan usaha peperangan Jepang.

Sejak pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia, Jepang memberikan kesempatan bagi perkembangan dunia kesenian Indonesia. Untuk itu para seniman yang aktif pada masa ini dihimpun dalam sebuah badan yaitu

Keimin Bunka Syidosyo atau Pusat Kebudayaan. Badan ini mulai bekerja pada tanggal 1 April 1943, dengan berkedudukkan di Jakarta. Tujuan dari didirikannya Pusat Kebudayaan ini adalah untuk menghimpun para seniman dan budayawan serta mengarahkan mereka untuk keperluan propaganda dan usaha peperangan Jepang demi kepentingan mereka sendiri.

Pusat kebudayaan ini mempunyai lima bidang, yaitu: Kesusasteraan, Musik atau Seni Suara, Sandiwara dan Tari, Film, Seni Lukis. Kepala pusat kebudayaan ini dijabat langsung oleh orang Jepang.

(32)

mengalir dalam diri mereka, karena tidak ada guru yang dapat dijadikan panutan serta merta diharapkan untuk belajar sendiri melalui bacaan dan diskusi teman antar sejawat. Di samping itu mereka terlihat pula dalam gerakan bangsa dan masyarakat ke arah mencapai Indonesia merdeka.

Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan Jepang, maka dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, dipergunakan sebaik-baiknya oleh rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sambutan rakyat tentang proklamasi itu spontan dan luar biasa, tidak ketinggalan juga para seniman mengekspresikan sikap-sikapnya dengan memunculkan berbagai produk seni. Para pelukis mencoret-coret gerbong kereta api dengan slogan-slogan heroik, dinding-dinding toko atau bangunan ditulisi dengan cat minyak, seperti: “Merdeka Atau Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Once Free Forever Free” dan masih banyak lagi poster dengan coretan gambar karikatur.

Seniman musik tampil dengan lagu-lagu heroik dan menggugah semangat perjuangan rakya, seperti: Satu Nusa Satu Bangsa, Halo-Halo Bandung, Sepasang Mata Bola, Sorak-Sorak Bergembira dan lain-lain.

(33)

sangat sederhana. Puisi-puisi perjuangan pun ditampilkan untuk menambah semangat para prajurit di medan laga.

Ketika pasukan sekutu di bawah pimpinan Letnan Jendral Philip Christison mendaratkan pasukannya di Jakarta pada bulan September 1945, maka sejak itu keadaan di Jakarta mulai bergejolak dan situasi semakin tidak aman. Serdadu-serdadu NICA yang mengikuti rombongan Sekutu mulai melancarkan provokasi-provokasi dan teror, sehingga menimbulkan ketakutan terhadap rakyat. Suasana pun semakin panas, sebab sering terjadi pertempuran antara pemuda yang membantu satuan-satuan tentara laskar rakyat melawan serdadu-serdadu NICA.

Meskipun tidak semua pemuda masuk ke dalam kesatuan tentara dan laskar rakyat, akan tetapi ada cara lain untuk turut berpartisipasi dalam berjuang menegakkan RI. Seniman-seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan membentuk Seniman Merdeka, anggotanya antar lain: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Suryo Sumanto, D Djajakusumo, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Sarifin, Rasjidi, Suhaimi, Rosihan Anwar dan Malidar Malik. Mereka dengan menggunakan truk milik bagian sandiwara pusat kebudayaan, berkeliling jakarta untuk membakar semangat rakyat untuk menentang kaum penjajah.9

Seniman Merdeka yang menyelenggarakan pentas keliling mengunjungi rakyat di berbagai bagian di Jakarta sering dikejar-kejar oleh serdadu NICA dan serdadu Gurkha yang merupakan bagian dari tentara Inggris (sekutu). Adakalanya daerah yang dikunjungi oleh kelompok Seniman Merdeka menjadi daerah

9

(34)

tertutup, karena di tempat tersebut berlangsung pertempuran. Seniman dalam aktifitasnya hanya mampu mengadakan kegiatan kurang lebih dua bulan. Hal ini disebabkan oleh keadaan keamanan di Ibukota yang tidak memungkinkan untuk menjalankan aktifitas. Cornel Simanjuntak misalnya, meninggalkan Seniman Merdeka untuk menggabungkan diri pada laskar rakyat yang berjuang di Tanah Tinggi. Seniman yang lain, menjelang akhir tahun 1945 dan awal 1946 banyak yang mengungsi ke daerah pedalaman seperti di Karawang-Cikampek atau Yogyakarta, sebagai akibat keadaaan Jakarta tidak aman dan berpindahnya ibukota pemerintahan ke Yogyakarta.10

Dengan kepindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta , para seniman termasuk pelukis tersebar di beberapa kota. Sudjojono yang mengungsi ke Madiun, mendirikan Seniman Indonesia Merdeka (SIM) yang di dalamnya terhimpun seniman sastra, musik, teater dan pelukis. Kemudian SIM pindah ke Solo dan seterusnya ke Yogyakarta dengan alasan sebagai pusat pemerintahan, sehingga pergerakan yang akan dilakukan lebih mudah dan terorganisir.

Di Yogyakarta selain SIM juga ada perkumpulan pelukis seperti Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan ketuanya Jayeng Asmara dan anggotanya Sindusiworo, Indra Sugarda dan Prawito. Perkumpulan pelukis lainnya adalah Golongan Masyarakat dengan ketua Affandi, sekretaris Dullah dan bendahara Nurnaningsih. Ada juga Pelukis Rakyat dengan anggotanya Trubus, Hendra dan Affandi. Dengan demikian Yogyakarta selain sebagai pusat pemerintahan republik, juga merupakan pusat kegiatan seniman. Sultan

10

(35)

Hamengku Buwono IX banyak sekali membantu kegiatan para seniman, salah satunya adalah digunakannya rumah Pakapalan di Alun-Alun Utara untuk studio dan segala aktifitas yang mendukung.

(36)

22

Walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, bukan berarti bangsa Indonesia telah lepas begitu saja dari ancaman pihak asing. Masih ada kekuatan-kekuatan asing yang belum sepenuhnya merelakan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti kuatnya pihak Jepang yang masih berada di Indonesia dan kedatangan pihak Sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai Indonesia.

A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi

Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan Jepang, maka dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan berarti bangsa Indonesia telah bebas, akan tetapi masih harus berjuang menghadapi bahaya-bahaya dan tantangan besar terutama menghadapi kekuatan tentara Jepang yang masih serba lengkap.

Jepang, berdasarkan syarat-syarat penyerahannya kepada Sekutu, berkewajiban untuk memelihara ketertiban umum sampai komando Sekutu untuk Asia Tenggara dapat mendaratkan pasukannya di Indonesia. Tentara Jepang menafsirkannya sebagai kewajiban dan tanggungjawab mereka untuk mempertahankankan status quo politik.

(37)

sebagai inventaris yang utuh dan lengkap kepada Laksamana Mounbatten SEAC (Inggris) dan kepada Jendral Blamey dari Australia. Sejalan dengan itu sekalipun para pembesar Jepang yang berkuasa di Yogyakarta sudah mengetahui adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia dan juga mengetahui bahwa rakyat Yogyakarta yang bagaikan tertekan kini melonjak bersemangat untuk merdeka. Pihak Jepang tetap bersitegang mempertahankan untuk mempertahankan kekuasaannya dan tetap menunggu instruksi dari Kaisar, untuk itulah mereka semakin memperkeras penjagaan-penjagaan dan masih tetap berusaha mempertahankan kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik dengan kekuatan senjata yang masih lengkap.

Bagi bangsa Indonesia, penyerahan Jepang kepada Sekutu itu sama sekali tidak melemahkan perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan, karena semangat nasionalisme telah bulat. Kebulatan itu telah menghasilkan kemauan yang tinggi, yaitu kemerdekaan. Pada masa inilah dinyatakan sebagai tonggak dimulainya revolusi Indonesia.

(38)

Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirim telegram ke Jakarta, bahwa dirinya siap berdiri di belakang Sukarno Hatta.11

Sukarno sebagai presiden RI meyambut hangat tindakan Sultan dan Paku Alam VIII, bahkan satu hari sesudah Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirim ucapan selamat, Presiden sudah mengeluarkan Piagam Penetapan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai bagian dari RI.12

Piagam Penetapan itu baru diserahkan pada tanggal 6 September 1945, sehari setelah dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, yang berisi tentang pernyataan bahwa Yogyakakarta adalah daerah Istimewa Negara RI dan urusan pemerintahan serta kekuasaan lainnya masing-masing dipegang Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dan langsung bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat RI.13

Sambutan rakyat terutama para pemuda terhadap proklamasi sangat bersemangat. Mereka menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan juga bermakna komando dan sekaligus merupakan perintah harian untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dari tangan pemerintahan tentara Jepang kepada bangsa Indonesia. Para pemuda itu membentuk kelompok-kelompok yang tergabung dalam perkumpulan pemuda beberapa kampung di Yogyakarta. Di antaranya ialah Angkatan Muda Pathook dengan pimpinannya Kusumo Sunjoyo, Angkatan Muda

11

Tashadi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945) di DIY, Yogyakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan DIY, 1986, hlm. 56.

12

Ibid., 13

(39)

Jagalan Paku Alaman dengan pimpinan Faridan, Angkatan Muda Jetis dengan pimpinannya Parmadi Joi, Angkatan Muda Gowongan dengan pimpinannya Wagiyono, Gabungan Sekolah Menengah Mataram (Gasemma), Barisan penjagaan Umum dan lain-lain.14

Amanat yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945, membuat massa pemuda dan massa rakyat semakin bersemangat dan berani untuk terus bergerak, yang sampai pada puncaknya yaitu massa rakyat dan pemuda berusaha menurunkan bendera “Hinomaru” dan menaikkan bendera “Merah Putih” di gedung “Tyookan Kantai” (sekarang Gedung Agung) yang terletak dijalan Malioboro. Gedung Tyookan Kantai ini merupakan istana Tyookan atau Gubernur dan sekarang digunakan sebagai gedung Negara atau gedung Agung, peristiwa ini dikenal dengan nama “Insiden Bendera di Tyookan Kantai”.

Keterlibatan Polisi Istimewa (PI) dalam pengibaran bendera di Tyookan Kantai menyebabkan Kepala Polisi dari Kooti Zimu Kyoku pada tanggal 22 September 1945 mendatangi asrama PI di Gayam dengan tujuan untuk melucuti senjatanya. Sementara mereka mengadakan perundingan dengan R.P. Sudarsono, tanpa sepengetahuan Jepang, anggota PI dengan bantuan pemuda mengeluarkan senjata dari dari gudang lewat pintu jendela yang dirusak, karena kunci gudang senjata masih diperebutkan dalam perdebatan. Perdebatan itu tidak berhasil mencapai kata sepakat, maka Oni Sastroatmojo (komandan PI) memberi tanda kepada para pemuda yang sudah lama mengepung asrama sehingga mereka berhamburan ke tempat perundingan dan mengarahkan bambu runcingnya kepada

14

(40)

Jepang, mereka kemudian menyerah dan memberi kunci gudang senjata, sehingga maksud untuk melucuti PI gagal.15

Setelah simbol kemerdekaan dan motivasi mempertahankan kemerdekaan tersebar luas di masyarakat, maka dimulailah gerakan pengambilalihan. Gerakan ini dipimpin oleh Komisaris Polisi R.P. Sudarsono dan melibatkan Polisi,bagian keamanan, pegawai-pegawai Indonesia yang bekerja di perusahaan dan kantor-kantor yang dipimpin oleh orang Jepang. Gerakan secara besar-besaran ini dilakukan pada tanggal 26 September 1945, pada awalnya diupayakan dengan cara damai, tetapi jika para pemimpinnya tidak mau menyerahkan kekuasaan maka akan digunakan dengan cara kekerasan. Gerakan itu dimulai dari Kooti Zimu Kyoku di Kotabaru (bekas Gedung Seniman) yang merupakan kantor pusat pemerintahan tentara Jepang di Yogyakarta.16

Gerakan pengambilalihan kekuasaan Jepang kemudian dilanjutkan dengan penyerbuan ke markas tentara Jepang di Kotabaru. Sebelum terjadi penyerbuan, terlebih dahulu diadakan perundingan antara pihak RI dengan penguasa tentara Jepang di markas Kotabaru tersebut, akan tetapi perundingan berjalan cukup lamban dan melelahkan. Dalam situasi terisolasi dan terkepung itu, pemimpin-pemimpin militer Jepang didesak untuk menyerahkan senjata secara sukarela. Dalam perundingan, pihak militer Jepang diwakili Mayor Otsuka, Butaityoo

Kotabaru; Sasaki, Kenpetei Taifyoo; Kapten Ito, Ciambutyoo, sedangkan dari

15

Tashadi, op. cit., hlm. 82.

16

(41)

pihak rakyat Yogyakarta diwakili Moh. Saleh KNID; R.P. Sudarsono, Kepala Polisi; Bardasana dan Sunjoto, Wakil Rakyat.17

Dalam perundingan itu RP. Sudarsono minta agar Butaityoo Mayor Otsuka menyerahkan senjata yang ada di markas itu kepada bangsa Indonesia. Otsuka tidak menjawab dengan tegas, maka ketika anggota PI dan BKR diperintahkan masuk untuk menerima penyerahan senjata sampai tiga kali tidak mendapatkan apa yang diharapkan, baru kali yang ketiga mereka baru diberi senjata, itupun hanya lima karaben. Dengan demikian perundingan mengalami jalan buntu, kemudian Sudarsono dan kawan-kawan merasa terhina keluar dari meja perundingan.18

(42)

Setelah pertempuran selesai sekitar pukul 11.00 siang, Jepang menyerah, semua tentara Jepang dimasukkan ke penjara Wirogunan. Di pihak Jepang sembilan orang meninggal dan puluhan orang luka –luka. Sedangkan dari pihak Indonesia, Jatuh korban 21 orang meninggal dan 32 orang luka-luka, mereka yang gugur disemayamkan di Gedung Nasional dan pukul 16.00 sore 17 orang disemayamkan di Semaki, yang kemudian menjadi Taman Makam Pahlawan Yogyakarta, 3 orang dimakamkan di Kauman di belakang masjid Besar dan 1 orang di makam keluarga Glagah Yogyakarta.20

Berakhirnya penyerbuan Kotabaru, kekuatan Jepang masih belum habis sama sekali sebab masih ada Kaigun Kakutai (Kompi Angkatan Laut Bagian Udara). Menghadapi kenyataan ini R.P. Sudarsono yang didampingi B.P.H. Bintoro sebagai wakil Sultan mengadakan perundingan dengan Kaigun Taityoo;

Hajino Soso, untuk membicarakan masalah pengambilalihan kekuasaan beserta senjatanya. Hasil dari kesepakatan perundingan adalah bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Indonesia. Sehingga pada tanggal 27 Oktober 1945 PI mengangkut senjata yang ada di lapangan terbang Maguwo sebanyak lima belas truk dengan berat kurang lebih 25 ton dan ratusan granat tangan.21

Dengan berakhirnya pertempuran di Kotabaru dan pengambilalihan kekuasaan beserta senjatanya di tangsi-tangsi Jepang, berarti selesailah kekuasaan Jepang di Yogyakarta. Dari peristiwa ini rakyat Yogyakarta semakin menyadari

20

Ibid.,

21

(43)

akan kewajibannya mempertahankan tanah airnya dari rongrongan musuh yang datang dari manapun juga.

B. Kedatangan Tentara Sekutu dan NICA

Pemindahan kekuasaan Jepang kepada RI berjalan dengan lancar, meskipun tidak luput dari tindakkan kekerasan yang disertai korban jiwa. Hal yang menguntungkan bagi pihak RI pada masa itu, yaitu bahwa Sekutu dan NICA (Belanda) yang menjadi pemenang dalam perang dunia ke II belum mendaratkan pasukannya di Indonesia. Hal ini menyebabkan mudahnya pihak RI untuk merebut kekuasaan dari Jepang, karena semangatnya sudah melemah akibat kekalahannya dalam perang Dunia ke II.

Pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang membawa pasukan Belanda dan yang kebanyakan terdiri atas KNIL (orang-orang Ambon) mulai mendarat di Jakarta. Mereka mulai beraksi dengan mengibarkan bendera Belanda, untuk menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda di “Nederlands Indie” sudah dikembalikan. Setiba di Jakarta mereka mulai melakukan kerusuhan, teror dan pembunuhan. Sehingga tidak mengherankan apabila sering terjadi perkelahian, karena diserang oleh rakyat. Dengan demikian keadaan di Jakarta mulai tegang dan tidak aman, situasi yang demikian membuat jalannya roda pemerintahan semakin terganggu, Ibukota Republik terancam.

(44)

siaran Radio Republik Indonesia yang berada dijalan Ngabean I (sekarang BNI 46, di jalan K.H.A. Dahlan) dan siaran radio gelap yang menemakan diri sebagai Radio Pemberontakkan Mataram.

Tentara Inggris yang melihat semangat dan keberanian pasukan-pasukan kita sangat kuatir. Oleh kerena itu dengan dalih akan membungkam siaran-siaran yang membangkitkan semangat rakyat dari radio kaum “extrimis,” maka pada tanggal 25 dan 27 November 1945 tentara sekutu membom kota Yogyakarta. Pesawat terbang RAF Ingggris mulai melayang di atas kota Yogyakarta dan mulai memuntahkan peluru-peluru mitraliyur, bom-bom rocket dan torpedo di atas stasiun Radio Republik Indonesia, Balai Mataram, Sonobudoyo dan sekitarnya.

Sementara itu situasi di Jakarta semakin bertambah panas dan tegang, tindakan infiltrasi Belanda dengan NICA-nya semakin merajalela. Situasi kedudukan para pemimpin dan pembesar semakin terancam. Melihat situasi yamg tidak memungkinkan tersebut, maka Sultan Hamengku Buwono IX beserta BPKNID segera mengadakan rapat dan memutuskan untuk mengirim kawat kepada Presiden dan Perdana Menteri berisi desakan agar pemerintahan pusat dan KNIP pindah ke suatu tempat di Jawa Tengah agar dapat bekerja dengan tenang. Kawat tersebut menjadi bahan pertimbangan Perdana Menteri Syahrir, sebab kenyataannya keadaan Jakarta makin hari semakin tidak aman. Untuk itu perlu dicarikan tempat lain sebagai pengganti Ibukota yang aman dari gangguan NICA dan mampu mengkoordinasi pemerintah Republik.22

22

(45)

Namun sebelum keputusan itu dilaksanakan, Perdana Menteri mengutus Soebandrio Sastrosastomo untuk membicarakan kemungkinan perpindahan itu dengan pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah mengunjungi Yogyakarta, dia menyatakan Yogyakarta cukup baik untuk tempat pemerintahan Pusat RI. Maka pada tanggal 3 Januari 1946 malam, Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa orang pengawal diam-diam naik gerbong kereta api yang paling belakang yang sedang berhenti di rel Pegangsaan Timur di belakang rumah kediaman Presiden Sukarno. Rangkaian kereta api yang didalamnya sudah ada Presiden dan Pejabat RI lainnya, ditarik pelan-pelan mulai dari stasiun Pasar Senen ke Jatinegara dan ters menuju ke Yogyakarta. Mereka pergi tanpa membawa apapun dan gerbong kereta api dibiarkan gelap seolah-olah merupakan rangkaian gerbong yang tidak penting.23

Sebenarnya serdadu Belanda curiga terhadap rangkaian gerbong kereta api itu dan menembaki gerbong dengan karaben, akan tetapi kereta melaju semakin cepat dan suara karaben makin tidak terdengar. Pada tanggal 4 Januari 1946 kereta api tersebut tiba di Yogyakarta sebagai kota harapan untuk melanjutkan perjuangan. Kedatangan mereka di stasiun Tugu Yogyakarta disambut oleh Sultan Hamengku Buwono IX, maka dengan demikian berpindahlah Ibukota RI ke Yogyakarta.24

Presiden dan Wakil presiden yang telah sampai di Yogyakarta segera menempati Gedug Agung untuk Istana Presiden yang semula dijadikan kantor

23

PJ. Suwarno, op. cit., hal. 9.

(46)

KNID. Sedangkan KNID pindah ke Loge di jalan Malioboro yang sekarang menjadi gedung DPRD. Dengan kehadiran Pemeritahan Pusat di Yogyakarta banyak pengurus-pengurus pusat pertai politik yang ikut masuk ke Yogyakarta, sehingga Yogyakarta yang semula menjadi kota tradisional yang berkembang di bawah pimpinan Sultan dan tokoh masyarakat yang terhimpun dalam KNID, menjadi pusat kegiatan politik nasional.25

Jadi dengan pindahnya pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta , maka segenap potensi perjuangan RI dapat terpusatkan. Sejak saat itu Yogyakarta merupakan Ibukota RI dan dari sinilah disusun serta dihimpun segenap kekuatan untuk menanggulangi musuh.

25

(47)

33

MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Perjalanan bangsa Indonesia telah mencapai titik kulminasi dengan dicetuskannya proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat memberi dukungan yang besar terhadap proklamasi tersebut. Ini merupakan tanda adanya kekuatan besar yang tersimpan dalam semangat rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia telah mengambil haknya atas kemerdekaan sebagai hak manusia yang diakui keberadaannya di mata dunia.

Salah satu bentuk dukungan terhadap proklamasi adalah munculnya berbagai produk seni sebagai bentuk ungkapan seniman dalam mengekspresikan dirinya. Para seniman lukis mengekspresikannya dalam bentuk karya-karya yang sesuai dengan kondisi yang terjadi waktu itu. Salah seorang pelukis, yaitu Dullah menyatakan bahwa para pelukis waktu itu melibatkan diri dengan karya-karyanya langsung dalam perjuangan bangsa dan menegakkan Republik Indonesia.26

Keterlibatan seniman lukis dalam perjuangan menegakkan proklamasi, disebabkan kondisi politik pada saat itu menuntut mereka untuk ikut serta berjuang dalam bentuk apresiasi seninya. Pesan yang ingin disampaikan oleh para seniman ini dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas sehingga dapat membangkitkan semangat perjuangan rakyat. Hal ini mendapat respon negatif dari

26

(48)

pihak Belanda, karena dengan adanya tulisan-tulisan dan poster-poster yang berbau heroik ini membuat kedudukan mereka semakin terancam dan rakyat Indonesia akan semakin terbakar semangatnya untuk melawan mereka. Menurut Rosihan Anwar, aktivitas para seniman tidak hanya guna menyalurkan kreativitas dan bakat artistiknya, tetapi untuk menyalurkan identitas diri.27

A. Coretan-Coretan Perjuangan

Para seniman lukis beranggapan bahwa setelah di proklamasikannya kemerdekaan RI semangat rakyat tidak boleh dikendorkan karena masih adanya kekuatan-kekuatan asing yang sewaktu-waktu akan kembali menduduki negara ini, untuk membangkitkannya maka dibuatlah coret-coretan dengan slogan-slogan yang berbau heroik di gerbong-gerbong kereta api, dinding-dinding rumah dan toko dengan menggunakan cat minyak.

Salah satu kelompok seniman lukis di Yogyakarta yaitu Persatuan Tenaga Pelukis Yogyakarta (PTPI), mengadakan aksi coret-coret di gedung kantor pos besar, tembok-tembok sepanjang jalan Malioboro, pagar hotel Garuda. Coret-coretan tersebut diantaranya “Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati, Lebih Baik Mati Daripada Di Jajah Lagi, Pertahankan Bendera Kita.”28

27

Rosihan Anwar, Seniman dan Wartawan dalam perjuangan 1942-1950, Yogyakarta, Makalah, 1989,hal.12.

28

(49)

Gambar 4.1. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)

(50)

Gambar 4.2. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)

(51)

Coretan ini memiliki arti yang kuat pada masa perjuangan bangsa saat itu, selain bagi seniman maupun pejuang beserta rakyat yang melihatnya. Coretan ini memiliki kekuatan yang dapat membangkitkan semangat akan arti penting mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.

Selain coret-coretan yang digambar secara sederhana dengan slogan-slogan yang mudah dipahami oleh rakyat Indonesia, terdapat juga coret-coretan yang ditulis dengan bahasa Inggris, seperti:

- “Away with NICA

- “Once Free Forever Free” - “We Fight For Democracy” - “We Have Only to Win

- “Indonesia Never Again the Life Blood of Any Action” - “Life, Liberty And Persuit of Happines.”29

Gambar 4.4. Coretan Gerbong Kereta (Sumber: 50 Tahun Indonesia Merdeka: Harmoko)

(52)

Gambar 4.5. Coretan Dinding (Sumber: Semangat 45 dalam Rekaman Gambar: A.B. Lapian)

Gambar 4.6. Coretan Dinding (Sumber: Semangat 45 dalam Rekaman Gambar: A.B. Lapian)

(53)

bangsa Indonesia. Coretan ini juga bertujuan agar wartawan asing yang datang dapat melihat dan mengerti apa yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia saat itu.

Coret-coretan tersebut pada dasarnya suatu ungkapan dari rakyat Indonesia yang dimotori oleh para seniman lukis untuk menolak segala bentuk penjajahan, karena bangsa Indonesia yang telah merdeka ingin secara penuh menuntut kebebasannya demi terwujudnya demokrasi. Semua itu akan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan dan itu juga merupakan ancaman bagi pihak asing agar berpikir ulang untuk kembali menguasai Indonesia.

Oleh karena Belanda tetap mempertahankan pendiriannya untuk kembali ingin berkuasa di negara RI, maka coret-coretan perjuangan juga semakin berani mengungkapkan kata-katanya, misalnya pada saat kedatangan konsul Belanda di Yogyakarta tahun 1947, maka disambutlah para konsul Belanda dengan coretan yang dituliskan di atas spanduk yang digantungkan di atas jalan Malioboro, dengan kata-kata yang pedas, yaitu: “We Demand Complete Withdrawal of Dutch Troops” artinya kami menuntut penarikan mundur tentara Belanda seluruhnya.30

Coret-coretan ini sengaja dibuat di dinding-dinding jalan ataupun di gerbong kereta api agar masyarakat yang lewat dan melihat dapat memahami pesan yang ingin disampaikan, sehingga secara tidak langsung pesan tersebut dapat menggugah semangat dan arti pentingnya kemerdekaan.

Setelah kota Yogyakarta diduduki Belanda pada tahun 1948, coret-coretan perjuangan ini tidak dapat dilakukan lagi, karena Belanda memperketat penjagaan

30

(54)

atas kota Yogyakarta, apalagi coret-coretan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat strategis yang di kuasai oleh Belanda.

Perjuangan selanjutnya biasanya dengan melalui poster-poster perjuangan yang lebih praktis, karena hanya tinggal menempelkannya di tempat-tempat strategis yang kebanyakkan dilakukan pada malam hari.

B. Poster Perjuangan.

Poster-poster perjuangan pada masa revolusi bermunculan di perbagai tempat di Yogyakarta yang mengajak rakyat untuk tegar membela kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan. Penulisan poster atau plakat ini biasanya dilakukan dengan cara sablon yang bahannya dari kertas padalarang, kertas-kertas ini kemudian ditempelkan tidak hanya di Yogyakarta tetapi juga di luar Yogyakarta.

Ide pertama pembuatan poster untuk alat perjuangan pertama kali muncul dari ide Bung Karno, setelah mendiskusikannya dengan Sudjojono yang pada waktu itu sebagai kepala seksi kebudayaan Jawa Hokokai, kemudian ide dan tema diserahkan kepada Affandi untuk dibuat gambarnya. Affandi melaksanakan pembuatan poster tersebut dengan model Dullah.31

Poster yang dikerjakan Affandi berupa lukisan seorang pemuda berbaju kemeja putih meneriakkan “Merdeka” sambil mengacungkan kedua tangannya ke atas, pada kedua pergelangan tangannya terdapat borgol rantai yang sudah putus dan berlatar belakang Sang Saka Merah Putih yang berkibar. Poster tersebut

31

(55)

dilukis di atas kertas paster bewarna putih berukuran 80x100 cm, digambar dengan cat tube yang diencerkan dengan bensin, mempergunakan dua warna yaitu hitam dan merah.

Setelah poster selesai, Affandi mengalami kesulitan untuk memberikan kata-kata yang tepat, singkat dan menggugah semangat perjuangan kemerdekaan. Akhirnya atas bantuan Chairil Anwar kesulitan itu dapat diatasi dengan memberi kata-kata “Bung Ayo Bung,” kata-kata itu dituliskan tepat di bawah gambar dengan warna hitam, inilah poster pertama pada waktu proklamasi kemerdekaan yang diperbanyak dan disebarkan ke daerah-daerah. Dengan demikian poster ini menjadi suatu bukti bahwa seniman dari berbagai bidang seni bekerjasama untuk kepentingan nusa dan bangsa.

(56)

Poster-poster perjuangan memainkan peranan yang sangat penting, pada saat Yogyakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia yang diduduki oleh Belanda tahun 1948. Akibat pendudukan Belanda, administrasi pemerintahan terguncang karena kepala negara dan pejabat tinggi lainnya ditawan oleh Belanda. Untuk mengatasi keadaan darurat, maka sejak tanggal 22 Desember 1948 terbentuklah pemerintahan militer yang terus melanjutkan perlawanan dengan cara gerilya.32

Dalam rangka melawan serangan musuh maka tidak sedikit poster yang dikeluarkan oleh pemerintah dan poster yang beredar waktu itu bukanlah poster dengan bahan yang bagus dan dilukis dalam waktu yang lama tetapi yang terpenting adalah fungsinya, yaitu sebagai sarana penyampaian informasi, berhubung mass media seperti radio dan surat kabar tidak bisa berfungsi dengan baik karena keadaan yang sangat kacau. Bahkan tidak jarang terjadi perang poster dengan pihak musuh, seperti malam di pasang pagi di sobek, di ganti lalu di sobek lagi dan seterusnya.33

Poster-poster perjuangan yang di buat oleh para seniman lukis Yogyakarta merupakan bukti keterlibatan seniman lukis dalam mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Berkat kreatifitas seni dan jiwa perjuangan ide-ide yang dimunculkan lewat poster itu berdampak lebih luas dan mendalam dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.

32

Basuki., “pendahuluan” Dalam Pameran Plakat Perjuangan di Pendopo Sonobudoyo, tanggal 23 Agustus 1978,Yogyakarta: Museum Perjuangan, hlm 10.

33

(57)

C. Lukisan Perjuangan

Berbeda dengan poster, yang keberadaannya langsung berhubungan dengan perjuangan pada masa revolusi, lukisan hanyalah sebuah kesaksian dari para pelukis yang ikut dalam kancah revolusi.

Lukisan perjuangan dalam hal ini tidak harus karya-karya lukis yang diciptakan oleh seorang pelukis yang menghayati revolusi, namun setidak-tidaknya diciptakan oleh sang pelukis yang menghayati revolusi baik sebagai pelaku revolusi maupun yang tidak terlibat secara langsung dalam revolusi tersebut. Adapun penghayatan akan revolusi tersebut dan pelukisnya bisa saja dilakukan setelah revolusi usai, walaupun aktualitas dan refleksinya akan jauh lebih tinggi apabila pelaksanaannya berdekatan dengan ruang dan waktu pada saat terjadinya peristiwa.

Yogyakarta kaya akan dokumentasi perjuangan, karena pada masa revolusi 1945-1949 Ibukota RI berada di Yogyakarta dan para seniman lukis banyak yang ikut pindah. Para pelukis banyak juga yang turut langsung dalam kancah perjuangan gerilya, keadaan ini dengan sendirinya memotivasi para seniman lukis untuk merekamnya dalam kanvas, para pelukis banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk lukisan perjuangan diantaranya Sujoyono, Affandi, Hendra, Sudarso, Dullah, Surono dan lain-lain.

(58)

bawah 17 tahun untuk membuat lukisan perjuangan yang akan dipamerkan di India, namun ke semua koleksi SIM hilang setelah pendudukkan Belanda 1948.

Dari sekian banyak lukisan perjuangan yang hilang ini ternyata masih ada beberapa yang terselamatkan, di samping itu juga ada karya-karya lukisan perjuangan yang dibuat setelah revolusi, sehingga akan sedikit memberi gambaran tentang keterlibatan seniman lukis Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Motif lukisannya berupa motif perang seperti pengeboman, pengungsian, medan-medan gerilaya, peralatan-peralatan perang, pejuang-pejuang gerilya dan sebagainya, baik berupa lukisan maupun sketsa.

Tahun 1948 tepatnya tanggal 19 Desember, kota Yogyakarta diduduki Belanda. Seniman-seniman banyak yang menuju ke gunung memanggul senjata, salah seorang seniman yaitu Dullah bersama keluarga keluar kota menuju selatan hanya untuk membuat sketsa-sketsa pengungsian penduduk kota ke desa. Sebuah sketsa yang dihasilkan menggambarkan tentang istrinya yaitu Fatimah yang tidur di pematang sawah karena kelelahan, tergeletak di pematang sawah tanpa alas dan tidak membawa apa-apa, memberikan kesan terburu-buru dalam pengungsian.34

Dullah dalam karyanya yang lain menggambarkan situasi selama pendudukkan Belanda di Yogyakarta, diantaranya sebuah sketsa yang diberi judul “Mbah Soma,” dilukis dengan pena dan tinta di atas kertas merang, yang menggambarkan gerilyawan-gerilyawan sedang berkerumun makan dagangan nya mbah Soma yang duduk di atas lincak, nampak iklas dagangannya dijadikan

34

(59)

rebutan para gerilyawan. Ini menunjukkan bahwa pada masa perjuangan tidak hanya para prajurit yang berperan tetapi para pedagang juga ikut berperan.

Tentang sketsa “Mbah Soma”, Dullah menjelaskan,

Pada tanggal 1 Maret 1949,masih pagi sekali waktu itu, seperti biasa mbah Soma mulai mengeluarkan dagangannya untuk berjualan. Tetapi mendadak ada seorang tentara mendatangi mbah Soma untuk melarangnya berjuala, karena sebentar lagi akan ada perang, para tentara sudah bersiap-siap sejak malam dan siap untuk bertempur jika terdengar bunyi sirine. Mbah Soma pun melihat sekitar dan benar bahwa ia melihat begitu banyak tentara yang siap untuk bertempur, ia beranggapan bahwa cucu-cucunya yang sudah menunggu sejak tadi malam pasti sedang menahan haus, lapar dan kedinginan, maka mbah Soma menghampiri mereka dan digapai untuk makan apa saja dagangan yang dibawa olehnya, seorang gerilyawan menolaknya. Mbah Soma tidak peduli, katanya: Biar habis, tidak apa-apa. Nanti ambil lagi yang masih ada di dapur. Sini,sini,sini, perang yo perang ning wetenge yo diiseni disek (perang ya perang tetapi perutnya diisi dulu) karuan saja pada datang berkerumun dan makan semua dagangannya mbah Soma sampai habis.

Karena sirine tanda berakhirnya jam malam sudah berbunyi, mereka lalu pamit kepada mbah Soma dan mohon pangestu. Mbah Soma tidak bisa bilang apa-apa, hanya berdiri di tengah pintu sambil memendang cucu-cucunya yang mulai berjalan menuju kota. Tinggal mbah Soma sendiri, kedua tangannya mendekap dada, mulutuny komat-kamit terlihat seperti mendoakan cucu-cucunya yang sedang mengemban tugas negara itu selamat.

Mbah Soma, perempuan tua dari kampung yang berhati emas, meskipun keadaannya sendiri serba kekurangan masih iklas mengorbankan milik kepunyaannya. Beruntung saya sempat mengabadikan peristiwa dramatis itu dengan membuat sketsa langsung.35

Dengan menelaah penjelasan di atas, terlihat bahwa seorang seniman dengan intiusi kemanusiaannya telah mengabadikan suatu peristiwa yang menyentuh perasaanya. Dengan sketsa maka curahan perasaan dari seseorang seniman lukis dapat langsung dituangkan pada waktu dan ruang dimana peristiwa itu sedang terjadi sebagai sejarah sketsa punya nilai yang sangat tinggi.

35

(60)

Ada lagi karya Dullah yang berkedudukan dengan pendudukkan Belanda di Yogyakarta, yang berjudul “persiapan Gerilya”, yang menggambarkan kesibukan para gerilyawan yang sedang bersiap-siap untuk menjalankan tugasnya, ada yang sedang membongkar peti mesiu, ada yang sedang membersihkan dan mengisi senapan dengan mesiu dan ada yang sudah selesai serta bersiap-siap tinggal menunggu saat-saat mendebarkan itu.36

Dari berbagai lukisan perjuangan yang dihasilkan selama pendudukkan Belanda di Yogyakarta ada karya yang sangat penting, yang dilukis oleh anak asuh Dullah yang umurnya masih dibawah 15 tahun, mereka diantaranya: Moh. Toha 11 tahun, Moh. Affandi 12 tahun, Sri Sowarno 14 tahun, Sarjito 14 tahun dan FX Supono 15 tahun.37

Sebelum anak asuhnya melakukan pekerjaannya, Dullah memberikan nasihat kepada mereka, sebagai berikut:

Melukis itu tidak ada berhentinya, harus terus melukis. Meskipun Yogya sekarang diduduki oleh tentara Belanda, kita harus tetap melukis. Malahan sekarang banyak obyek-obyek yang menarik yang sebelum diduduki Belanda tadak ada. Lihat itu misalnya tank-tank Belanda, jembatan-jembatan yang ambruk, mobil-mobil dibakar, rumah-rumah yang hancur atau Belanda yang menangkapi penduduk, menggeledah penduduk dirumahnya atau dijalan, pembersihan dipasar-pasar. Itu semua obyek yang menarik sekalidan perlu digambar. Pokoknya yang menari hatimu gambarlah.38

Dullah., , Karya Dalam Peperangan dan Revolusi, Jakarta: Balai Pustaka, 1983, hlm 15.

38

(61)

Saya tahu kamu-kamu melukis biasanya langsung di tempat, meskipun saya tahu juga bisa melukis di rumah selalu peristiwa yang baru atau belum lama kamu lihat atau alami. Tetapi untuk menjaga jangan sampai waktu melukis kamu terganggu oleh orang lain apalagi tentara Belanda, kamu harus hati-hati waktu melukis. Pertama kertas yang kamu lukis harus berukuran kecil-kecil saja. Kedua karena melukis harus mencari tempat yang terlindung, kalau kekurangan alat-alat melukis, apa kertas, apa cat atau pensil, nanti saya kasih. Pokoknya kamu melukis sebebas-bebasnya, jangan pikir kehabisan alat.39

Karya lukis anak-anak ini dibuat reproduksinya dan disusun dalam sebuah buku, disunting langsung oleh Dullah. Sebagian besar lukisan ini, yang bejumlah seluruhnya 84 lukisan, adalah lukisan Moh. Toha yang berjumlah 74 buah sedangkan 10 lukisan lainnya dihasilkan keempat murid lainnya.

Peristiwa pemboman kota Yogyakarta oleh pesawat Belanda menarik perhatian Moh. Toha, sebanyak 9 lukisan yang saling berkaitan dengan awal pendudukkan Belanda. Lukisan-lukisan itu berjudul “Bertepatan dengan menyisingnya fajar di Timur datanglah squadron kapal terbang Belanda dengan suaranya yang gemuruh terbang melingkari Yogyakarta , Bombarden dimulai, Sebuah bomber sedang menukik dan mengebom daerah sekip, Kapal terbang Belanda mengebom benteng ditengah kota Yogyakarta, Iring-iringan cocor merah, Cocor merah menukik menghanburkan peluru, Pesawat itu terbang rendah, dan Sebuah bomber.”

39

(62)

Gambar 4.8. Moh. Toha., Kapal terbang Belanda melingkari Yogyakarta. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(63)

Gambar 4.9. Sri Suwarno, suasana lenggang kota yogyakarta pada 1 maret 1949. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(64)

Gambar 4.10.Moh. Toha., Kapal terbang Belanda nenerjunkan tentara payung. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(65)

Gambar 4.11.Moh. Toha.,Kendaraan yang dibumi hangus oleh pasukan republik di Lempuyangan. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(66)

Gambar 4.12. Moh. Toha., Iring-iringan penduduk mengungsi keluar kota. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(67)

Gambar 4.13. Sri Sowarno., Pos penjagaan. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

(68)

Gambar 4.14.Moh. Toha.,Presiden dan wakil presiden ditahan dan diasingkan ke sumatera. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)

Selain lukisan yang dibuat oleh anak asuh Dullah, peristiwa pendudukkan Belanda juga terekam dalam lukisannya S. Sujojono, berjudul “Setelah Peboman”. Lukisan ini menggambarkan puing-puing bangunan yang sudah kehilangan seluruh atapnya dan tinggal beberapa dindingnya yang tegak, dengan bongkaran-bongkaran yang berserakan di sekitar gedung rusak. Lukisan ini tampak mengerikan dan selalu mengingatkan siapa pun yang melihatnya akan keganasan perang.

(69)
(70)

56

PERJUANGAN KEMERDEKAAN

Revolusi 1945-1950 dapat dikatakan sebagai perang rakyat semesta, karena dalam peperangan ini ternyata bukan hanya kedua belah pihak angkatan bersenjata saja yang berperang. Peperangan saat itu mempunyai sifat fisik yang semesta, seantero rakyat baik harta dan tenaganya tersedia untuk diolah demi mencapai kemenangan. Semua sumber yang tersedia digunakan dengan tujuan untuk mengalahkan lawan, baik angkatan bersenjatanya maupun semua susunan dan lembaga politik dan sosial ekonominya. Oleh Nasution peperangan tersebut dinilai sebagai suatu pergolakan yang sekaligus menyangkut sektor militer, politik, psikologis dan sosial-ekonomi.40

Dalam arti yang umum perang gerilya adalah perang rakyat semesta, perang militer, sosial-ekonomi dan psikologis. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perang gerilya berarti menghantam musuh dengan serangan bersenjata dan sabotase. Menurut Lawrence adalah cuma 2% gerilya dan 98% rakyat yang bersimpati, jadi 2% yang bertempur dan 98% yang membantu, 2% yang aktif bergerilya dan 98% yang pasif.41

Berangkat dari pemikiran Lawrence, maka dapatlah dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa melupakan karya-karya seniman terhadap perjuangan

40

A.H. Nasution., “Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Indonesia di Masa Lalu dan YangAkan Datang”, Jakarta: Pembimbingan, 1953, hlm 3.

41

(71)

kemerdekaan. Meski para seniman itu hanya bisa dikategorikan sebagai kelompok yang bersimpati terhadap perjuangan bangsanya, namun setidaknya mereka telah berbuat sesuatu untuk perjuangan bangsannya. Di antaranya lewat beberapa hasil karyanya yang dapat menggugah semangat nasionalisme ataupun perjuangan.

Diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disambut rakyat dengan gembira dan memberi dukungan penuh kemerdekaan itu, tidak ketinggalan juga para seniman lukis yang ikut ambil bagian dengan mencoret-coret gerbong kereta api dengan slogan-slogan heroik. Slogan-slogan itu dituliskan pada dinding-dinding toko atau bangunan yang ditulisi dengan cat minyak, misalnya: ”Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Lebih baik mati daripada dijajah lagi”. Selain lukisan, ide-ide para seniman juga dituangkan dalam bentuk poster, misalnya poster yang menggambarkan seorang pemuda yang membawa bendera merah putih berkibar di belakang kepalanya sambil mengangkat tangannya yang masih ada borgol rantai putus, sambil meneriakkan “Bung Ayo Bung”. Poster ini dapat diartikan sebagai suatu ajakkan untuk melawan penjajah, karena begitu mudah menyentuh hati setiap orang yang melihatnya, sebab corak lukisannya realistik impresemiomistik, sehingga mempunyai dampak yang besar dalam membangkitkan semangat juang rakyat.

(72)

dibuat oleh anak-anak asuh Dullah. Selama Yogyakarta diserbu oleh tentara Belanda anak-anak didik Dullah sempat merekamnya lewat lukisan sebanyak 84 buah lukisan, gambar-gambar yang dibuat sesuai dengan apa yang dilihat sendiri oleh mereka, seperti truk-truk konvoi Belanda, pengungsian penduduk, jembatan hancur, penagkapan terhadap penduduk, pesawat-pesawat terbang Belanda dan sebagainya. Lukisan-lukisan yang dibuat tersebut pada umumnya menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh pihak Belanda, sehngga dengan demikian jelaslah dampaknya membuat rakyat terus ingin berjuang melawan penjajah. Dampak yang lain adalah lukisan ini dapat mengantisipasi propaganda yang dilakukan oleh Belanda, sehingga timbul rasa antipati terhadap Belanda dan para pejuang semakin bersemangat untuk melakukan perlawanan. Menurut Ki Nayono produk seni mempunyai potensi sangat besar dalam menyemangati rakyat Indonesia untuk setia berjuang terus dalam suasana derita lahir batin, tetapi cinta pada Negara Republik Indonesia dengan segala konsekuensi semangat juang yang telah menjadi kenyataan timbul dan meninggi berkat produk seni.42

Di samping melalui saluran resmi dalam rangka melawan serangan musuh, maka tidak sedikit poster atau plakat yang dikeluarkan pemerintah pada masa itu. Poster yang beredar pada masa itu bukanlah poster dengan bahan yang bagus dan ditulis dalam waktu yang lama, tetapi yang terpenting adalah fungsinya, yaitu sebagai sarana penyampaian informasi, berhubungan dengan media massa seperti radio dan surat kabar tidak selalu sampai ke pelosok-pelosok karena keadaan yang tidak memungkinkan pada masa itu. Bahkan tidak jarang terjadi perang plakat

42

Ki Nayono., Peranan Seniman Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

(73)

dengan pihak musuh, dimana poster yang telah terpasang pada malam harinya, paginya sudah disobek begitu selanjutnya atau malahan diganti dengan provokasi oleh pihak musuh. Menurut fungsinya plakat-plakat atau poster ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

(74)

Sebagai contoh berikut ini akan ditunjukkan plakat 1 untuk pembinaan kalangan para pejuang.

Gambar 5.1, plakat untuk pembinaan kalangan pejuang.(sumber: Poster-Poster

Perjuangan, Basuki)

Asal benda : Jawatan Penerangan Kabupaten Galar, Kulon Progo. Ukuran : Panjang 35,5 cm; Lebar 27,5 cm.

Masa : Tanggal 5 Maret 1949.

Diskripsi : Berbentuk empat persegi panjang,terbuat dari kertas tipis, berwarna kecoklatan karena usia.

(75)

Maksud plakat : Memberi peringatan kepada para pejuang agar tidak tergoda wanita cantik, karena mungkin mereka mata-mata sehingga mengendorkan semangat juang atau pencurian rencana pasukan.

Dari contoh plakat itu ternyata mampu memberikan peringatan kepada setiap pejuang yang membacanya agar senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap segala bentuk godaan dan rayuan wanita cantik yang dapat meruntuhkan semangat juang.

Gambar 5.2 Plakat untuk pembinaan wilayah.(sumber: Poster-Poster

(76)

Plakat 2 untuk pembinaan wilayah (masyarakat pada umumnya) Dapat dilihat pada plakat ini:

Asal benda : Jawatan Penerangan Kabupaten Galur, Kulon Progo. Ukuran : Panjang 42 cm, lebar 33 cm.

Masa : Di waktu pendudukan Belanda tahun 1948.

Diskripsi : Berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari kertas tipis, berwarna kecoklatan karena waktu.

Dengan tulisan : “Sabda dalem” ditulis warna coklat tua, “sing pada rukun

lan” ditulis warna coklat muda, “Belanana” ditulis warna kuning, “Negaramu” ditulis warna merah (perintah sultan, agar semua bersatu, belalah negaramu).

Gambar poster : Sri Sultan Hamengku buwono mengenakan pakaian daerah (belangkon dan surjan).

Maksud plakat : Beliau minta agar semua bersatu dan membela negara.

Gambar

Gambar 4.1. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)
Gambar 4.2. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)
Gambar 4.4. Coretan Gerbong Kereta (Sumber: 50 Tahun Indonesia Merdeka:
Gambar 4.5. Coretan Dinding (Sumber: Semangat 45 dalam Rekaman Gambar: A.B.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Parameter pertumbuhan dari formula pertumbuhan von Bertalanffy untuk ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis ) diperoleh nilai dugaan panjang infiniti (L ∞ ) = 112,5 cm dan

[r]

Menunjukan dokumen asli seperti IUJK, SBU, Bukti Pengalaman, Bukti Setoran Pajak, Ijazah, SKA/SKT Personil, Bukti Kepemilikan Alat dan Lampiran-lampiran lainnya yang

Sanggahan harus dilakukan secara on-line melalui Website : lpse.basarnas.go.id selama 5 (lima) hari kalender yakni Mulai tanggal 07 s/d 11

Sanggahan harus dilakukan secara on-line melalui Website : lpse.basarnas.go.id selama 5 (lima) hari kalender yakni Mulai tanggal 07 s/d 11

[r]

Satuan Kerja Kantor SAR Kelas A Biak pada tahun anggaran 2014 akan melaksanakan kegiatan.. Pengadaan Barang/Jasa dengan Uraian paket sebagai

_ Sehubungan dengan surat penawaran saudara untuk paket pekerjaan Pembangunan Gedung Operasional Pos SAR Waingapu berdasarkan hasil evaluasi Pokja ULP Kantor SAR Kupang