SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Kristina. K NIM: 051124039
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Kristina. K NIM: 051124039
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Ayahku (Kasianus), Ibuku (Regina Firmina),
Abangku (Hadrianus Itus), Adikku (Blasius Inus dan Ignasius), Pacarku dan SMU serta Asrama Seminari St. Paulus Nyarumkop
Nama : Kristina. K Nomor Mahasiswa : 051124039
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN
SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP
KALIMANTAN BARAT
MELALUI KATEKESE AUDIO VISUAL
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 04 September 2009
Yang menyatakan
vii
memilih judul ini berpangkal dari keprihatinan penulis berkaitan dengan penghayatan iman para siswa atas panggilan hidupnya sebagai seorang seminaris yang membutuhkan pembinaan yang sangat membantu memperkembangkan iman mereka. Di satu pihak pembinaan iman itu sangat dibutuhkan para seminaris, di sisi lain pembinaan yang diupayakan oleh pihak seminari masih kurang berjalan sebagaimana mestinya. Dengan demikian pembinaan yang dijadwalkan kurang berjalan dengan baik. Pada dasarnya pembina di Asrama Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop perlu mengetahui permasalahan yang sedang dialami para siswa seminari. Dengan mengetahui permasalahan yang dihadapi. Pembina perlu mengusahakan materi, metode, dan sarana sesuai dengan situasi para siswa. Untuk itu pembina perlu tanggap terhadap kebutuhan para siswa, sehingga pembinaan iman yang diupayakan dapat terlaksana dan mencapai tujuannya.
Persoalan mendasar skripsi ini adalah apa arti penghayatan iman para siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat? Bagaimana pembinaan iman di SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat? Apa itu katekese audio visual? Program katekese audio visual macam apa yang bisa diusulkan untuk siswa-siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat? Untuk mengetahui sejauhmana penghayatan iman para seminaris, maka diadakan penelitian melalui pengumpulan data di lapangan dengan menyebarkan kuesioner kepada para siswa seminari. Dari hasil penelitian terungkap, para seminaris masih kurang menghayati hidup panggilannya sebagai seorang yang dipanggil Tuhan untuk mewartakan kerajaan Allah ke seluruh dunia. Hal ini dikarenakan pembinaan yang diadakan oleh pihak seminari kurang menarik dan kurang menggunakan media/sarana pendukung sehingga para seminaris mengikuti pembinaan karena terpaksa dan hanya sebatas mengikuti peraturan yang ada.
Bertolak dari hasil penelitian, penulis melakukan studi pustaka tentang apa itu seminari, pengertian iman dan katekese audio visual sebagai upaya untuk meningkatkan penghayatan iman siswa seminari. Dengan demikian penulis menawarkan usulan program pembinaan iman dengan menggunakan sarana audio visual yang dapat berguna dan membantu para pembina seminari dalam mendampingi dan memberi pembinaan kepada para siswa sebagai upaya meningkatkan penghayatan iman mereka sehingga mampu melanjutkan ke jenjang seminari tinggi.
viii
related to the call of the seminarians who need of guidance that helps to improve their faith. On one side, for the formation of seminarians, faith is needed, but on the other side, the effort from the seminary is still not run properly, so the scheduled formation does not run well. Basically, the coach at boarding of the Minor Seminary of St. Paul of Nyarumkop needs to know the problems experienced by the seminarians themselves. By knowing the problems faced, the coach needs to organize the materials, methods, and means in accordance with the situation of seminarians. For that purpose, the coach needs to respond to the needs of seminarians, so that the effort to improve the faith can be done and be able to achieve goals.
Fundamental issue of this thesis is what faith means to seminarians of Minor Seminary of Saint Paul Nyarumkop of West Kalimantan? How is faith development in Minor Seminary of Saint Paul Nyarumkop of West Kalimantan? What is the audio visual catechism? What kind of the program of audio visual catechism can be proposed to seminarians of Saint Paul Nyarumkop was of West Kalimantan? To know the extent of seminarians’ faith, the research was conducted through the collection of data by spreading questioners to seminarians. The results of the research revealed that seminarians are still less in living out the call of God to spread the kingdom of God to the world. This is because of the guidance held by the seminary is less interesting and not enough using the media or supportive means. Seminarians were forced to follow the guidance because of the rules.
Starting from the results of the research, the authors conducted a literally study on what the seminary is, the understanding of the faith and of the audiovisual catechism as an effort to improve seminarians faith. Thus, the author offers a proposed program of faith education by using the audiovisual facilities that it might be useful and to help the coach of the seminary in assisting and providing guidance to students as an effort to improve the faith so that they are able to continue to study in high-level seminary.
ix
berjudul ”UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE AUDIO VISUAL”. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah mendukung penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan limpah terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Y.I. Iswarahadi, S.J.,M.A, selaku dosen pembimbing utama yang dengan kerelaan dan kesadaran mendampingi, memberi masukan serta mengarahkan penulis
dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga selesai.
2. Drs. H.J. Suhardiyanto SJ, selaku penguji II sekaligus sebagai dosen pembimbing
akademik yang dengan setulus hatinya membimbing, memberi perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.
3. P. Banyu Dewa, HS, S.Ag., M.Si, selaku penguji III yang memberi semangat dan
kegembiraan dan meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan berkaitan dengan isi skripsi ini.
4. Para dosen dan Staf karyawan IPPAK yang memberikan dukungan selama ini.
5. Pimpinan, Pastor Paroki dan Pembina Asrama Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat yang telah memberikan tempat dan kesempatan kepada penulis
x
Inus, Adikku Ignasius, Pacarku Marselinus Uwik dan sanak saudara yang tercinta, yang selalu menyemangati dan membiayai penulis selama studi di IPPAK.
8. Sahabatku Monik, Pepen, dan Yustina Dina yang selalu memberikan semangat dan
masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman seangkatan 2005-2006 yang telah meneguhkan, dan memberi dukungan
untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang dengan caranya masing-masing memberikan dukungan dan semangat kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
sehingga penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini dengan terbuka dan lapang dada.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya teristimewa untuk pihak SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop
Kalimantan Barat.
Yogyakarta, 13 Juli 2009
Penulis
xi
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
MOTTO... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR SINGKAT... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penulisan... 6
D. Manfaat Penelitian………... 7
E. Metode Penulisan………... 8
F. Sistematika Penulisan………... 8
BAB II. KATEKESE AUDIO VISUAL SEBAGAI UPAYA
xii
3. Ciri-ciri Seminari... 14
4. Hak-hak dan Kewajiban Seminari... 19
B. Pandangan Gereja Katolik Mengenai Iman... 22
1. Pengertian Iman... 22
2. Cara Menghayati Iman dalam Hidup Sehari-hari... 28
C. Katekese Audio Visual... 31
1. Pengertian Katekese Audio Visual... 31
2. Kekhasan Katekese Audio Visual... 34
3. Kekuatan dan Kelemahan Katekese Audio Visual... 36
4. Pola Naratif Eksperiensial... 38
5. Pemahaman tentang Metode SOTARAE... 40
D. Penelitian yang Relevan………... 44
E. Kerangka Pikir... 44
F. Hipotesis... 45
BAB III. PENELITIAN UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT. A. Gambaran Situasi SMA Seminari St. Paulus... 42
1. Letak Geografis Persekolahan Katolik Nyarumkop……….. 46
2. Latar Belakang Siswa-Siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ...47
xiii
1. Tujuan Penelitian... 50
2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 51
3. Metode Penelitian... 51
4. Instrumen Penelitian... 51
5. Responden Penelitian... 52
6. Variabel Penelitian... 53
7. Hasil Penelitian... 54
a.Identitas Responden... 54
b. Upaya meningkatkan penghayatan iman siswa seminari... 55
c. Bentuk-bentuk pembinaan iman... 58
d. Pandangan mengenai pelaksanaan katekese audio visual... 61
e. Usulan dan saran terhadap pelaksanaan katekese audio visual.... 62
8. Pembahasan Hasil Penelitian... 64
a.Identitas Responden... 64
b. Upaya meningkatkan penghayatan iman siswa seminari... 65
c. Bentuk-bentuk pembinaan iman... 67
d. Pandangan mengenai pelaksanaan katekese audio visual... 68
xiv
St.Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat... 71
1. Pengertian Program Katekese Audio Visual....……… 72
2. Tujun Program Katekese Audio Visual... 73
3. Pemikiran Dasar Penyusunan Program Katekese Audio Visual... 74
B. Contoh Persiapan Katekese Audio Visual Dalam Upaya Meningkatkan Penghayatan Iman Siswa-Siswa SMA Seminari St.Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat... 86
1. Satuan Persiapan Katekese Audio Visual I... 86
2. Satuan Persiapan Katekese Audio Visual I... 97
BAB V. PENUTUP A. KESIMPULAN... 108
B. SARAN... 110
DAFTAR PUSTAKA... 112
LAMPIRAN... (1)
Lampiran I: Kuesioner... (1)
Lampiran II: Riwayat Hidup Santa Faustina ……….. (5)
xv KS : Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan
Lembaga Alkitab Indonesia.
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
OT : Optatam Tatius, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembinaan Iman, 28 Oktober 1965.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes II, 25 Januari 1983.
DV : Dei Verbum, konsitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi
Kan : Kanon
CT : Catechese Trandendae, Ajaran Apostolik Paus Yohanes Paulus
II tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.
GS :Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di
dunia dewasa ini, 7 Desember 1975.
C. SINGKATAN LAIN St : Santo/Santa
xvi TV : Televisi
AV : Audio Visual
IPPAK : Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
PAK AV : Pendidikan Agama Katolik Audio Visual PERUM : Persekolahan untuk Masyarakat
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia VCD : Video Compact Disk
SOTARAE: Suatu petunjuk untuk mengenalisa sebuah dokumen dari
kelompok group media (Situasi, Observasi, Tema, Analisis, Rangkuman, Aksi dan Evaluasi).
1 A. Latar Belakang
Seminari Menengah Santo Paulus Nyarumkop merupakan sebuah kompleks persekolahan Katolik yang dibangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Nyarumkop terletak di sebelah timur kota Singkawang, Kabupaten Singkawang Timur, Kecamatan Nyarumkop. Di sana terdapat persekolahan dari Tingkat TK-Topang (Seminari Tinggi). Siswa yang bersekolah di sana datang dari berbagai
macam lingkungan dan anak dari zamannya, dalam arti mereka adalah remaja yang hidup pada masa sekarang (hic et nunc) dengan segala semangat, masalah dan
konsekuensinya. Sebagai remaja mereka sedang dalam proses menuju kematangan fisik dan seksual yang sarat dengan masalah-masalah sosial dan psikologis. Pergaulan dengan teman sebaya sangat mempengaruhi, bahkan tidak jarang menentukan
pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku.
Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat secara umum sama dengan
seminari yang ada di kepulauan Indonesia, yaitu mendidik dan membina serta mempersiapkan para siswa seminari sedemikian rupa dalam rangka memasuki jenjang Seminari Tinggi. Dokumen Konsili Vatikan II menyatakan bahwa:
disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih (OT, ar. 3).
Ini menunjukkan perlunya usaha dari pihak sekolah dan asrama seminari mengusahakan dan mengupayakan pembinaan-pembinaan bagi para siswanya untuk mengolah hidup rohani dan benih-benih panggilannya. Para siswa yang masuk
Seminari St. Paulus Nyarumkop ini memiliki benih-benih panggilan yang baru tumbuh dalam diri mereka. Mereka masuk Seminari St. Paulus Nyarumkop dengan
harapan benih panggilan yang baru tumbuh bisa semakin berkembang dan semakin kuat. Oleh sebab itu pihak keluarga siswa, pihak sekolah, dan pihak asrama seminari perlu bekerjasama.
Pihak sekolah seminari mempersiapkan para siswa dari segi pengetahuan atau intelektual. Sedangkan pihak asramanya lebih pada pengolahan kepribadian yaitu
hidup rohani para siswanya. Bentuk-bentuk pembinaan yang sering diberikan di asrama seminari adalah:
1. Doa rutin bagi para siswa yaitu doa pagi dan malam
2. Retret 1 tahun sekali
3. Pengakuan Dosa 1 tahun 2 kali
4. Pendalaman Kitab Suci setiap hari rabu 5. Perayaan Ekaristi
6. Turne ke kampung-kampung setiap hari minggu (khusus kelas III).
apalagi dengan peraturan yang ketat. Penulis melihat, pembinaan yang ada masih kurang atau rasanya tidak cukup dalam mempersiapkan para siswa seminari untuk masuk jenjang Seminari Tinggi.
Peserta didik Seminari St. Paulus Nyarumkop adalah anak dari zamannya. Salah satu indikasi zaman ini adalah perkembangan ekonomi yang menawarkan
banyak pilihan kepada masyarakat, termaksud para remaja. Banyaknya pilihan yang ditawarkan tidak jarang membuat para remaja takut atau enggan untuk membuat komitmen jangka panjang karena takut kehilangan kesempatan mencoba pilihan lain
yang juga menarik.
Dalam tawaran pilihan-pilihan itu sangat besar pengaruh dan jasa media
komunikasi elektronik. Para remaja zaman ini adalah para remaja yang lahir, hidup dan dididik dalam lingkup media komunikasi semacam itu. Kehidupan rohani kaum muda khususnya Siswa-siswa SMA di zaman sekarang ini sangatlah kurang. Pada
zaman yang serba modern dan dunia dewasa sekarang ini mereka seakan tidak perduli atau cuek dengan kehidupan rohani mereka (penghayatan iman mereka sebagai penerus Gereja). Begitu banyak hal duniawi yang membuat mereka tergiur dan
membuat mereka jatuh ke dalam hal yang tidak baik, sehingga tidak lagi peka mendengarkan suara hati (panggilan mereka sebagai penerus Gereja). Sebagai siswa
Selain mereka dituntut untuk bisa lebih menghayati iman, mereka juga dituntut untuk bisa mematuhi peraturan-peraturan yang ada di asrama dan di sekolah seperti masalah kedisiplinan, kekeluargaan, kemandirian, kesederhanaan dan
kecakapan (dalam pergaulan maupun intelektual mereka). Seminari menengah/awal adalah masa pemilihan atau penyaringan untuk memilih hidup membiara atau bebas
(sebagai awam biasa). Banyaknya tuntutan di sekolah maupun di asrama, membuat para seminaris menganggap hal itu sebatas peraturan yang tertulis. sehingga pada saat doa atau misa ada yang tertidur karena tidak adanya kesadaran untuk
melakukannya dengan sepenuh hati.
Pada zaman sekarang orang menuntut agar proses pengembangan iman
diusahakan secara hidup, menarik dan variatif karena pada dasarnya iman itu hidup, intim dan pribadi. Pada akhir abad 20 Gereja mengalami suatu situasi baru dalam pelaksanaan tugasnya mewartakan kerajaan Allah sebagai akibat perubahan
kehidupan sosial. Menghadapi situasi baru tersebut Gereja mengadakan pembaharuan dengan meninjau kembali seluruh kegiatan pastoralnya (Adisusanto & Ernestine 1997: 30). Gereja mulai terbuka terhadap hasil audio visual dan mulai merefleksikan
diri bahwa usaha pewartaan sebelumnya kurang bisa menyentuh kehidupan umat. Bahasa audio-visual mulai dipakai dan rupanya umat (siswa-siswi) memberikan
respon positif.
Generasi muda mencari bahasa yang lebih emosional, namun kuat. Yang paling penting pada abad sekuler ini adalah menolong kaum muda untuk menghayati
berkatekese dengan baik. Salah satu bentuk katekese yang diajarkan untuk menanggapi zaman yang serba modern ini adalah katekese audio visual (Adisusanto & Ernestine, 1977:16).
Bahasa audio visual adalah suatu bentuk ungkapan yang pertama-tama bukan untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk menyampaikan kata-kata dengan
teliti, tetapi untuk menyatakan pengalaman secara menyeluruh. Bahasa audio Visual tidak sama dengan bahasa cetakan, bahkan tidak sama dengan bahasa lisan yang bermaksud menyampaikan inti pokok pembicaraan. Bahasa audio visual tidak begitu
banyak menyampaikan doktrin atau ide-ide, melainkan ingin merangsang perasaan seorang pribadi. Misalnya, suara yang disampaikan melalui pengeras suara yang baik
akan mengungkapkan nafas dan isi hati pemilik suara. Dengan demikian bahasa audio visual bukan untuk menyampaikan suatu ide, tetapi mau menyampaikan pengalaman pribadi kepada orang lain. Bahasa audio visual menuntut kreativitas,
partisipasi, afektivitas dan kesadaran yang kritis (Adisusanto & Ernestine,1977:7). Katekese audio visual adalah ”Pesan sejauh pesan menyeluruh pancaindra, perasaan, badan, gagasanku”. Katekese audio visual adalah penyampaian pengalaman
pribadi sebagai seorang Kristiani, sedangkan tujuan katekese audio visual bukan semata-mata untuk memperoleh pengetahuan intelektual, melainkan persaudaraan
Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus” (1Yoh,1-3). (Adisusanto & Ernestine,1977: 8).
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas, bisa ditemukan beberapa hal yang perlu dicermati
dalam usaha meningkatkan penghayatan iman khususnya bagi siswa SMA seminari yang menjalankan hidup panggilannya tidak dengan serius. Metode katekese yang digunakan adalah metode katekese audio visual. Beberapa hal di atas dirumuskan ke
dalam pertanyaan untuk penelitian sebagai berikut:
1. Apa arti penghayatan iman para siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop
Kalimantan Barat?
2. Bagaimana pembinaan iman di SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat?
3. Apa itu Katekese Audio Visual?
4. Program katekese audio visual macam apa yang bisa diusulkan untuk siswa-siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini untuk:
2. Mengetahui pembinaan iman di SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop, agar dapat menghadirkan bentuk pembinaan iman yang lebih baik lagi
3. Mengetahui sejauhmana pemahaman siswa SMA Seminari St. Paulus
Nyarumkop tentang katekese audio visual.
4. Mendorong para siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop semakin
bersemangat dengan adanya program yang baru.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi siswa SMA Seminari
a. Tulisan ini dapat memaparkan apa yang dimaksud dengan penghayatan
iman siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop.
b. Tulisan ini mendorong para seminaris menjadi pembawa damai
c. Tulisan ini dapat membantu para seminaris untuk melaksanakan katekese
audio visual secara telatur baik di lingkungan maupun di paroki.
2. Bagi penulis
a. Penulis semakin mengetahui tanggapan para siswa seminari St. Paulus Nyarumkop mengenai katekese audio visual
b. Penulis semakin mengetahui peranan katekese audio visual bagi siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop.
3. Bagi pihak Gereja
Diharapkan Gereja memberi perhatian terhadap perkembangan iman para seminaris. Salah satunya dengan mengupayakan terus-menerus pelaksanaan
katekese audio visual secara teratur.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipakai adalah deskriptif analitis berdasarkan studi dan analitis pustaka, dilengkapi dengan penelitian secara sederhana melalui
kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mengetahui sejauhmana katekese audio visual dapat meningkatkan penghayatan iman para siswa SMA Seminari St. Paulus
Nyarumkop Kalimantan Barat. Berdasarkan penelitian tersebut akan diusulkan program katekese dengan menggunakan media audio visual.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan skripsi ini, penulis akan menyampaikan pokok-pokok gagasan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang penulisan,
BAB II: KATEKESE AUDIO VISUAL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI.
Bab ini menguraikan Kajian Pustaka dan Hipotesis yang meliputi:
Pengertian seminari, Tahap-tahap seminari, Ciri-ciri seminari, Hak-hak dan kewajiban seminari. Pengertian iman, arti penghayatan iman para
siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat dan pengertian katekese audio visual, kekhasan katekese audio visual, kekuatan dan kelemahan katekese audio visual, dan pola naratif
eksperiensial. Bagian akhir dari bab dua ini berisikan penelitian yang relevan, kerangka pikir dan hipotesis.
BAB III: PENELITIAN UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT.
Penelitian tentang penghayatan iman siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat. Bab ini menguraikan metodologi penelitian mengenai upaya meningkatkan penghayatan iman siswa SMA
Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat melalui katekese audio visual mengenai persiapan penelitian, hasil penelitian,
BAB IV: USULAN PROGRAM KATEKESE AUDIO VISUAL
Bagian akhir dari bab ini berisikan usulan program katekese audio visual serta contoh perencanaan program katekese audio visual.
BAB V: PENUTUP
11
SEMINARI
A. Pandangan Gereja Katolik Mengenai Seminari 1. Pengertian Seminari
Kata “seminari” berasal dari kata Latin semen yang berarti ”benih” atau ”bibit”. Seminari berasal dari kata Latin seminarium yang berarti ”tempat pembibitan,
tempat persemaian benih-benih”. Oleh sebab itu seminari berarti sebuah tempat (tepatnya sebuah sekolah yang tergabung dengan asrama: tempat belajar dan tempat tinggal) di mana benih-benih panggilan imamat yang terdapat dalam diri anak-anak
muda, disemaikan secara khusus, dan untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan para staf pengajar dan pembina,
yang biasanya terdiri dari para imam/biarawan. Adapun kata ”seminaris” menunjukkan pada para siswa yang belajar di seminari tersebut.(Ponomban, 2007: 1).
Seminari merupakan lembaga khusus untuk pendidikan para calon imam. Di
dalam seminari dipersiapkan mereka yang merasa terpanggil untuk melanjutkan misi Yesus dan para Rasul untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang.
seminari, entah sebagai sebuah SMP atau SMU, dan sekaligus sebagai asrama di mana mereka tinggal dan hidup dari hari ke hari (Ponomban, 2007: 1).
Seminaris adalah kaum muda yang merasa tertarik menjadi imam. Mereka
membutuhkan pengukuhan dan pengarahan dalam memantapkan diri untuk menanggapi panggilan hidupnya. Perlulah mereka dibantu dalam memelihara
bibit-bibit panggilan yang sedang tumbuh dalam hati mereka, sehingga bibit-bibit-bibit-bibit panggilan itu dapat tumbuh dan berkembang. Gereja sendiri perlu senantiasa memelihara bibit-bibit panggilan yang ditaburkan dalam hati kaum muda dan salah
satunya melalui lembaga seminari menengah (Suhardi, 1995: 31).
2. Tahap-Tahap Seminari
Untuk dapat menjadi seorang imam seminaris perlu melewati beberapa tahap-tahap pendidikan dan pembinaan sebagai bekal dan persiapan hidup mereka menuju
kepribadian seorang imam yang akan mengabdikan dirinya kepada Allah. Adapun tahap-tahap seminari adalah:
a. Seminari Menengah
Keluarga merupakan seminari awal bagi para seminaris sebelum masuk
seminari. Keluarga dapat menjadi tempat persemaian awal untuk menanamkan benih panggilan dalam diri seminaris. Keluarga mempunyai tugas untuk mengenalkan Allah kepada anak-anaknya dan membina anaknya agar tertarik oleh panggilan Tuhan,
mulai mendapat tanggapan, pemupukan dan pemurnian sebagaimana mestinya sebelum mereka masuk seminari.
Seminari menengah yang ada di Indonesia didirikan untuk membina para
siswa yang baru menyelesaikan studi di bangku SMP. Seminari Menengah adalah sebuah seminari yang melayani mereka yang merasa terpanggil dan ingin
mengembangkan panggilan itu, yang akhirnya berani mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Seminari Tinggi untuk menjadi imam.
Di dalam komunitas Seminari Menengah para seminaris mendapat berbagai
bentuk pembinaan yang sudah ditentukan oleh pihak seminari guna mengembangkan panggilan yang dimiliki para siswa seminari. Melalui berbagai bentuk pembinaan
yang diupayakan diharapkan para siswa seminari benar-benar mampu untuk menghayati panggilan Tuhan atas hidupnya, kemudian memiliki semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Seminari Tinggi. Tentu keputusan para siswa
seminari untuk melanjutkan ke jenjang Seminari Tinggi tidak menjadi paksaan dari pihak lain, tetapi semuanya harus atas dasar keputusan pribadi.
Di sini mereka mengikuti 3 tahap pendidikan untuk memenuhi kurikulum pemerintah plus kurikulum seminari, sekaligus dengan tambahan 1 tahun, entah pada
b. Tahap-Tahap Rohani
Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) adalah sebuah tempat pembinaan khusus benih-benih panggilan bagi mereka yang telah menamatkan Seminari
Menengah tingkat SMU atau Seminari Menengah KPA, dan memilih calon imam diosesan atau imam praja. Selama setahun mereka mengalami pembinaan khusus di
bidang kepribadian dan kerohanian sekaligus untuk lebih mengenal dan menghayati seluk beluk imamat. Pendidikan ditempuh selama 1 tahun praktek tahun orientasi rohani (Ponomban, 2005: 1).
Di Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR), para seminaris dibantu untuk memperkuat dan mengembangkan kepribadian dan kerohanian yang telah mereka
peroleh di Seminari Menengah, agar para seminaris dapat dengan bebas mengambil keputusan untuk menjadi imam, dan juga menyadari bahwa panggilan menjadi imam semata-mata adalah karunia dari Allah (Komisi Seminari KWI, 1989: 42). Oleh sebab
itu pada tahap Tahun Orientasi Rohani (TOR), setiap kegiatan para seminaris perlu dievaluasi untuk mengkaji perkembangan seminaris tanpa terkecuali. Evaluasi perlu diperkaya dengan rekoleksi. Hal ini penting supaya para seminaris dapat senantiasa
maju langkah demi langkah dalam tugas dan hidup panggilannya. Pada masa Tahun Orientasi Rohani (TOR), para seminaris perlu banyak belajar dalam bekerjasama
dengan rekan sejawat serta perlu kedewasaan dalam berhadapan dengan orang lain terutama dengan kawan lawan jenis.
c. Tahap Seminari Tinggi/Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Seminari Tinggi adalah jenjang pembinaan terakhir bagi para calon imam sesudah mereka mengikuti Seminari Tahun Orientasi Rohani. Biasanya pendidikan
yang ditempuh di sini berlangsung selama 6 tahun kuliah ditambah 1 tahun praktik Tahun Orientasi Pastoral.
Oleh sebab itu Hukum Gereja (kanon 1032 $2) memberikan kemungkinan bagi mereka yang mau menjadi imam sesudah mengikuti pendidikan akademis yang memadai untuk tidak mengikuti seluruh tuntutan pembinaan mulai dari Seminari
Menengah KPA, TOR, dan Seminari Tinggi. Uskup dapat memberi dispensasi sesudah penyelidikan yang matang untuk mengikuti pendidikan filsafat dan teologi
saja, bahkan juga untuk tidak tinggal di seminari sebagaimana lazimnya (KHK, 1991: 297).
3. Ciri-ciri Seminari
Seminari didirikan untuk memupuk tugas-tugas panggilan, oleh sebab itu para seminaris diharapkan melalui pembinaan hidup rohani yang khusus, terutama dengan
bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih (Optatam Totius: art 3).
Seluruh pendidikan bagi para seminaris harus bertujuan seturut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati. Hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda. Selain itu
menghadirkan Kristus bagi sesama, seperti yang dikatakan dalam Injil bahwa Dia yang tidak “datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. Yoh 13: 12-17)
dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang (bdk. 1Kor 9: 19).
Sebelum masuk seminari hendaknya diadakan penyelidikan yang cermat tentang ketulusan maksud serta kehendak bebas para calon, tentang kesesuaian mereka untuk imamat di bidang rohani, moral dan intelektual, dan tentang cukupnya
kesehatan badan maupun jiwa (Optatam Totius: art 6).
Seminaris adalah calon imam. Salah satu hal penting bagi imam adalah
kemampuan berelasi. Para seminaris diarahkan untuk menyadari dirinya sebagai manusia, ciptaan yang paling sempurna, sehingga mereka selalu bersyukur atas hidupnya. Para seminaris diharapkan mau bekerjasama dengan siapa pun yang
berkehendak baik untuk menciptakan kemanusiaan yang utuh dengan didasarkan pada cinta kasih dan keadilan, dan semakin memupuk nilai-nilai kerohanian yang unik, orisinal, dinamis, serta mengembangkan esensinya sehingga ia semakin dewasa
dalam iman dan being religious.
Seminari mendidik para seminarisnya untuk belajar memaknai segala
dalam satu kelompok bibit unggul dengan materi dan sistem pengembangan yang khusus.
Suasana seminari menjadi semacam sebuah “paroki atau keuskupan kecil”
dalam arti sang pemimpin umat ini mulai meghidupi sebuah hidup bersama antara belbagai suku, etnis, dan kepribadian yang berbeda. Mereka belajar bersosialisasi dan
berkomunikasi.
Di seminari mereka berlatih melayani dan memimpin lewat berbagai latihan kepribadian dan praktik kerja dan karya serta orientasi. Di seminari mereka belajar
bekerjasama, mengembangkan diri, bakat dan talenta demi kepentingan umum, penuh solidaritas dan disiplin serta belas kasih. Di seminari mereka belajar taat dan hormat
kepada pemimpinnya sekaligus kepada Gereja semesta dan Tuhan sendiri. Di seminari mereka belajar berdoa secara intens, berlatih memimpin doa, ibadat, dll.
Mengingat tujuan hidupnya yang sangat khas maka para seminaris juga
membutuhkan suasana dan sarana yang lebih menyiapkan mereka sesiap mungkin. Kendati mereka tinggal di seminari mereka tidak asing terhadap dunia dan keluarga. Tersedia waktu dan kesempatan untuk itu. Di seminari bina diri mereka menjadi
komplit dan prima.
Siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop merupakan kaum muda Katolik yang
a. Pertumbuhan Fisik
Perkembangan fisik merupakan gejala yang paling nampak pada para kaum muda. Berkat pertumbuhan fisik itu para seminaris sebagai anak laki-laki akan semakin
menampakkan dirinya sebagai pria. Berkaitan dengan pertumbuhan fisik para seminaris sebagai kaum muda akan mempersoalkan cepat dan lambatnya
pertumbuhan. Bersamaan dengan pertumbuhan fisik siswa seminaris juga mulai menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan seks dan pergaulan dengan lawan jenis (Mangunhardjana, 1986: 12).
b. Perkembangan Mental
Perkembangan mental nampak pada gejala-gejala perubahan dalam perkembangan intelektual, dan cara berpikir. Pada masa ini masa kanak-kanak sudah mulai ditinggalkan, mereka tidak lagi berpikir dengan konsep-konsep yang
konkrit, tetapi dengan konsep-konsep yang lebih abstrak. Para seminaris sebagai kaum muda juga akan mulai berpikir secara kritis untuk menggali pengertian tentang diri mereka sendiri, membentuk gambaran diri mereka, peranan yang
diharapkan mereka, panggilan hidup dan masa depan mereka. Oleh sebab itu pada tahap inilah para siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop akan mulai melihat
c. Perkembangan Emosional
Perkembangan emosional akan nampak pada semangat kaum muda yang berapi-api, perpindahan gejolak hati yang cepat, keras kepala dan tingkah laku yang
terlalu over acting. Masalah yang dihadapi kaum muda di sekitar perkembangan emosional adalah bagaimana menilai baik buruknya emosi dan bagaimana
menguasai dan mengarahkannya (Mangunhardjana, 1986: 13-14).
d. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial para kaum muda menyangkut perluasan jalinan hubungan dengan orang lain. Masalah-masalah penting yang dihadapi kaum muda
sehubungan dengan perkembangan sosial adalah masalah-masalah sekitar pergaulan mereka dengan teman-teman seperti: cara masuk dalam kelompok, bergaul dengan kelompok, dan peranan mereka dalam kelompok
(Mangunhardjana, 1986: 13-14).
e. Perkembangan Moral
Perkembangan moral membawa kaum muda ke dalam tingkat hidup yang lebih daripada masa sebelumnya. Mereka sudah mulai mempertanyakan dan ingin
mengetahui dasar-dasar mengapa hal-hal dan tindakan itu baik dan buruk. Masalah-masalah moral itu tidak hanya terbatas pada diri mereka, tetapi meluas sampai pada masalah moral dalam hidup masyarakat, misalnya: kejahatan dalam
Dari sini akan muncul masalah panggilan hidup, oleh sebab itu kaum muda akan mengalami berbagai ketegangan batin (Mangunhardjana, 1986: 15).
f. Perkembangan Religius
Perkembangan religius menyangkut hubungan dengan Tuhan. Pada umur-umur
menjelang dewasa praktik ajaran, bahkan Tuhan sendiri dipertanyakan dengan berbagai cara, entah lewat pertanyaan atau sengaja tidak menjalankan lagi kegiatan-kegiatan Gereja. Di sini mereka mau mengetahui segi-segi yang paling
dalam tentang Tuhan. Dari sini mereka mau mengorek bagaimana menjadi orang religius sejati (Mangunhardjana, 1986: 15-16).
Berdasarkan proses pertumbuhan yang dijalani oleh para seminaris yang tidak lain adalah kaum muda Katolik, maka pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu
memberikan pelayanan dan pendampingan yang memadai bagi perjalanan hidup panggilan mereka agar dapat menjawab segala pertanyaan yang selalu hadir dalam hidup kaum muda (Mangunhardjana, 1986: 16).
4. Hak-Hak dan Kewajiban Seminari
SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop merupakan wadah pembentukan dan pembinaan pendidikan calon imam serta pengkaderan rasul dan tokoh awam yang berbudi luhur, sehat dan cerdas. Oleh karena itu diperlukan kondisi lingkungan
Seminari memandang perlu menyusun hak dan kewajiban siswa dengan tujuan agar terwujud lingkungan berdoa, belajar, bekerja, dan bergaul dengan baik, sehingga tercapai ketahanan asrama dan sekolah yang mantap. Berikut ini adalah susunan hak
dan kewajiban seminaris yang dimaksud (Ponomban, 2009: 2).
Meriko menulis dalam sebuah artikel di internet mengenai hak-hak dan
kewajiban sebagai seorang seminari, antara lain:
a. Hak-hak Seminaris
Sebagai seorang seminari mereka mempunyai hak antara lain:
1) Mendapat pengajaran dan pembelajaran seminari sesuai kurikulum yang berlaku
2) Memperoleh kenyamanan dan ketentraman batin dalam berdoa, belajar dan bekerja
3) Mendapatkan tugas serta memperoleh informasi yang jelas dan akurat
4) Mendapatkan perlakuan yang sopan dan adil dari seminari
5) Mendapatkan forum untuk menyampaikan kesulitan, keluhan, baik yang berkaitan dengan berdoa, belajar dan bekerja maupun yang bersifat pribadi
6) Mendapatkan fasilitas dan kesempatan mengembangkan iman, panggilan dan pribadi
7) Mendapatkan fasilitas untuk mendapatkan informasi yang aktual dan sesuai
8) Mendapatkan kesempatan untuk dibina dan membina untuk pendewasaan kepribadian, iman, dan panggilan
10)Mempunyai rasa memiliki terhadap barang-barang seminari
11)Mendapatkan jaminan seminari untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan mengeluarkan pendapat sehubungan dengan peningkatan kualitas kegiatan
pembelajaran dan pengembangan kepribadian, iman, dan panggilan (Ponomban, 2009: 2).
b. Kewajiban-kewajiban Seminaris
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang seminaris
antara lain:
1) Mengikuti seluruh acara harian di seminari
2) Berdoa: Ekaristi, doa pagi, kompletorium, renungan Kitab Suci kelompok 3) Mengikuti dengan tertib segala kegiatan/acara harian
4) Berpakaian rapi: baju berkerah, sandal yang patut (bukan sandal jepit) waktu ikut
perayaan ekaristi di Gereja
5) Beritahu/izin pamong/staf bila berhalangan mengikuti suatu acara di seminari 6) Berbahasa Indonesia di lingkungan seminari
7) Membangun dan membina tata krama dan sopan santun dalam pergaulan 8) Berambut pantas dan rapi
9) Mengikuti kerja harian dan bulanan yang dikoordinir pengurus asrama 10)Minta izin rektor, jika pulang ke rumah tidak pada waktu libur
11)Memelihara dan menjaga semua barang milik seminari
13)Hadir tepat waktu pada saat acara harian
14)Mengikuti tata tertib dan peraturan/pedoman hidup seminari (Ponomban,2009: 2).
Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat secara umum sama dengan Seminari Menengah yang ada di Indonesia, yaitu mendidik dan
membina serta mempersiapkan para siswa seminari sedemikian rupa dalam rangka memasuki jenjang seminari tinggi. Dokumen Konsili Vatikan II menyatakan bahwa:
Di seminari-seminari menengah yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih (OT, art. 3).
Para siswa yang masuk di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop ini
memiliki benih-benih panggilan yang baru tumbuh dalam diri mereka. Para siswa masuk Seminari St. Paulus Nyarumkop dengan harapan bahwa benih panggilan yang baru tumbuh semakin berkembang dan semakin kuat.
B. Pandangan Gereja Katolik tentang Iman 1. Pengertian Iman
Berbicara mengenai iman tidak terlepas dari wahyu. Karena dilihat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan diri-Nya kepada manusia, wahyu merupakan
kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyampaikan ketaatan iman. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya (DV, art 5).
Di dalam Konstitusi Dei Verbum art 5 dikatakan bahwa kepada Allah yang
memberi wahyu, manusia harus menyatakan ketaatan iman yaitu dengan bebas menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan diri secara total kepada Allah mencamkup hubungan manusia seluruhnya. Karena itu orang harus bertumbuh
dan berkembang dalam hidup beriman. Agar orang dapat bertumbuh dan berkembang dalam iman, rahmat Allah yang mendahului dan menolong serta bantuan Roh Kudus
harus menggerakkan hati manusia. Dengan kata lain, untuk beriman orang membutuhkan rahmat Allah.
Iman adalah pengakuan manusia terhadap wahyu Allah yang hanya mungkin
kalau Allah menolongnya. Wahyu sebagai pemberian dari Allah dan manusia menjawab dengan iman sebagai wujud penyerahan diri. Baik wahyu maupun iman dimengerti sebagai hubungan pribadi antara Allah dan manusia. Hubungan pribadi ini
disebut wahyu kalau dilihat dari pihak Allah dan kalau dilihat dari pihak manusia disebut iman. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa inisiatif selalu datang
dari pihak Allah.
Iman adalah sesuatu yang paling berharga dan bernilai. Iman diwujudkan lewat cara hidup konkrit dalam keluarga, masyarakat. Gereja bertitik tolak dari
Iman juga pertama-tama tidak mengenai Allah melainkan mengenai rencana Allah pada manusia. Allah mendatangi kita karena kita dan karena keselamatan kita. Iman berarti kepastian hidup bukan sebagai teori tetapi pengalaman.
Iman adalah jawaban manusia terhadap panggilan Allah dalam Yesus Kristus, yaitu Yesus yang kita kenal melalui pewartaan. Untuk dapat menjawab
panggilan-Nya diperlukan rahmat dari Allah dan kemauan bebas dari manusia. Panggilan Allah sampai kepada kita dalam Yesus yang diwartakan. Oleh karena itu, orang hanya bisa menjawab panggilan Allah kalau ada orang yang mewartakanNya. Rahmat Allah
selalu mendahului jawaban bebas manusia sebab, iman bukan hasil usaha manusia tetapi pemberian Allah (Ef 2: 8).
Sehubungan dengan pewartaan, surat Paulus kepada umat di Roma mengatakan: “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepadaNya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak
mendengar tentang Dia? Jika tidak ada yang memberitahukanNya? Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10: 14,17). Dengan menjawab panggilan Allah, terjadi relasi atau hubungan pribadi antara manusia dan
Allah.
Dengan kata lain iman adalah relasi atau hubungan pribadi yang terwujud
antara manusia dan Allah yang memanggil dalam Yesus Kristus yang diwartakan. Iman penyerahan total kepada Allah melalui Kristus. ”Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14: 6). Iman berarti mengaku
manusia dapat menghadap Allah. Oleh sebab itu secara konkrit iman berpusat pada kristus. Orang beriman Kristiani wajib meneladani Kristus.
Dalam hidup beriman Kristiani manusia menerima Yesus sebagai Allah.
Dengan pengakuan Yesus sebagai Allah manusia mengimani dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan selalu berusaha semakin dekat dengan Dia. Agar lebih mengenal
Yesus, terlebih dahulu diperlukan rahmat ilahi dan pertolongan Roh Kudus, karena Dialah yang menyerahkan dan mengarahkan hati mereka pada Allah. Gereja sendiri selalu memperhatikan hidup beriman umat termasuk hidup beriman siswa seminari.
Iman yang mereka miliki bersifat bebas, tidak seorang pun dipaksa melawan kemauan sendiri untuk beriman. Dokumen Evangelii Nutiandi mengatakan: “Gereja
berusaha untuk memperdalam, memperkokoh, memupuk, dan membuat semakin matang iman mereka yang telah disebut kaum beriman atau orang-orang yang percaya, agar supaya mereka semakin lebih beriman lagi” (EN 54). Sebagai calon
imam, siswa seminari perlu dibantu untuk meningkatkan hidup berimannya dalam menempuh perjalanan panggilan, yang menuju pada penyerahan diri seutuhnya kepada Yesus dan Gereja dalam imamat untuk diutus menjadi gembala dan pewarta.
Selain itu para seminaris perlu membuka diri terhadap bimbingan rohani, karena dengan kerelaan membuka diri menjadikannya mampu dan yakin dan mampu
Iman memberi kita pengetahuan baru tentang Allah, tentang diri kita sendiri, dan tentang dunia tempat kita. Iman tidak dapat dicek dengan daya kuasa penalaran manusia. Menurut tradisi Kristiani, iman dilukiskan sebagai serah diri, yaitu manusia
menyerahkan seluruh dirinya dan hidupnya secara bebas, dengan budi dan hati tunduk pada kehendak Allah yang mewahyukan, dan yang tidak dapat menipu
ataupun ditipu. Melalui iman manusia dengan bebas menerima kebenaran-kebenaran yang diwahyukan Allah kepadanya (Powell, 1991: 80-81).
Iman adalah karya Allah, iman selalu terliput dalam misteri yang mendalam.
Iman lahir di dalam manusia oleh tindakan Allah, iman biasanya berkembang menurut kaidah-kaidah tertentu, misalnya berdasarkan perkembangan manusia sendiri
(Powell, 1991: 130). Bagi orang Kristiani iman dapat memberi terang dan arah dalam upaya menjalani kehidupannya melalui serangkaian kemungkinan hidup yang dijalaninya. Iman tersebut diperoleh manusia tidak dengan sendirinya tetapi menuntut
campur tangan Allah. Iman adalah karya Allah dalam diri manusia, hanya Allah yang dapat membuat diri seseorang menjadi manusia beriman. Dengan kata lain iman adalah seluruhnya pemberian Allah. Manusia disapa Allah secara misterius sehingga
membuat orang mampu menerima wahyu-Nya walaupun berada jauh di atas penalaran manusia.
Bagi orang Kristiani beriman berarti menjawab “ya” terhadap pernyataan diri Allah dan kehendak-Nya sebagaimana disampaikan oleh Yesus Kristus. Kata “ya” di sini mengandung konsekuensi bahwa orang yang beriman pada Yesus Kristus
melalui perantaraan Yesus Kristus Putra-Nya. Dalam pribadi Yesus Kristus tersebut, manusia diperkenalkan dengan Allah Bapa dan juga dipersatukan dengan Roh Kudus yang akan diterima setiap orang yang mengimani Yesus Kristus.
Iman merupakan hubungan manusia dengan Allah. Dalam hubungan itu manusia terlibat penuh menyerahkan dirinya kepada Allah yang telah mewahyukan
kehendak dan rencana-Nya, Allah yang telah mewahyukan diri-Nya, mendatangi manusia dengan penuh kekuasaan dan kasih sayang (Banawiratma & I. Suharyo, 1990: 60).
Wujud sosial dari iman adalah agama, namun ekspresi agama tampil melalui dan dalam persaudaraan dan paguyuban iman, dalam pewartaan, dalam ibadat atau
perayaan iman. Apabila fungsi dasariah tersebut berjalan dengan baik, seluruh paguyuban akan berjalan dengan baik (Banawiratma & I. Suharyo, 1990: 61).
2. Cara Menghayati Iman Dalam Hidup Sehari-hari
Beriman berarti percaya kepada Tuhan, menyandarkan diri kepada Tuhan merasa teguh, kuat, kokoh, tak tergoyahkan, mantap dan Tuhan sebagai andalan
hidup. Iman merupakan jawaban dan tanggapan manusia terhadap Tuhan yang memperkenalkan sabda, kehendak, dan perintah diri-Nya. Orang yang beriman sejati
itu menyerahkan dirinya kepada Tuhan, dan dia membiarkan dirinya ada di bawah bimbingan Tuhan.
Iman menuntut keterlibatan dan kesetiaan: dalam segala hal dan orang
hanya menyangkut budi, tetapi seluruh diri manusia: cipta, rasa, karsa, dan karya. Hidup beriman tak pernah selesai mencari jawaban iman baru terhadap tantangan baru di zamannya. Orang beriman terus-menerus berusaha menemukan kehendak dan
perintah Tuhan dalam situasi zamannya dengan segala tantangannya.
Orang beriman yang benar-benar menerapkan imannya dalam kehidupan
sehari-harinya akan kreatif, tidak mudah ikut-ikutan, jauh dari perasaan takut dalam menghadapi situasi baru dan seseorang. Dengan demikian iman yang dewasa tidak memiliki perasaan takut terhadap perubahan tetapi menanggapinya sebagai hal yang
biasa dalam suatu perkembangan yang hidup.
Orang Kristiani yang telah menerima pewahyuan Allah dalam bentuk iman,
menghayatinya secara konkrit, penghayatan iman tersebut melalui 2 cara yaitu:
a. Pengungkapan iman yaitu tindakan orang Kristiani yang diwujudkan atau
terungkap melalui hal-hal yang khas Kristiani, misalnya: doa, perayaan Ekaristi, tradisi-tradisi Gereja termasuk juga ajaran-ajaran iman, komunitas iman yang tertulis maupun lisan. Perjumpaan dengan pengungkapan iman terlaksana melalui
komunikasi tentang isi iman dan diharapkan dari komunikasi tersebut akan sampai pada keprihatinan yang mendalam sehubungan dengan penghayatan
imannya terhadap Yesus Kristus (Banawiratma & I. Suharyo, 1986: 47-48).
b. Pelaksanaan iman merupakan tindakan lebih lanjut dari manusia yang telah mempercayakan hidupnya pada Yesus Kristus lewat perbuatan-perbuatan nyata
”Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong”. (Yak 2: 20). Ini merupakan suatu usaha dari orang Kristiani untuk memperjuangkan dan membantu sesamanya tanpa menunjukkan khas Kristianinya namun berdasarkan hati nurani.
Perjumpaan melalui pelaksanaan iman terjadi melalui keterlibatan bersama untuk memperjuangkan kehidupannya menuju ke kehidupan yang lebih manusiawi
dalam persaudaraan bersama semua orang (Banawiratma & I. Suharyo, 1986: 47-48).
Kedua bentuk penghayatan iman di atas merupakan tantangan yang harus dihadapi orang Kristiani yang berniat untuk mengembangkan imannya lebih
mendalam lagi. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa iman tidak cukup hanya diungkapkan melalui upacara-upacara gerejani, tetapi iman harus dilaksanakan dan nampak dalam perbuatan sehari-hari. Iman dapat diibaratkan seperti hubungan
cinta antara dua orang manusia.
Iman adalah hubungan cinta antara manusia dengan Tuhan. Manusia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, karena manusia mengalami dirinya
dicintai oleh Tuhan. Dalam hubungan ini manusia secara pribadi mengungkapkan segala perasaan dan hasrat hatinya pada Tuhan melalui bermacam ungkapan sikap
Jadi iman tanpa ungkapan atau penghayatan merupakan ungkapan yang tidak bermakna. Di samping ungkapan dan penghayatan iman harus diwujudkan secara nyata dalam tindakan, perlu juga diungkapkan dalam bentuk doa dan ibadat. Yang
menjadi ukuran kedalaman iman seseorang agar dapat disebut betul-betul beriman adalah jika orang tersebut dapat mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari
(Anna, 2009: 1).
Iman tanpa ungkapan atau pernyataan secara langsung adalah iman yang semu. Ungkapan tanpa dasar hati atau penghayatan merupakan ungkapan yang tidak
bermakna. Di dalam iman terdapat segi-segi yang bersifat rahmat, misteri, pribadi. Karena manusia hidup dalam dunia nyata kehidupan imannya harus menjadi nyata
juga (Anna, 2009: 1).
Penghayatan iman Kristiani yang didasarkan pada Yesus Kristus selalu terjadi dalam budaya konkrit artinya tata budaya setempat bukan hanya objek yang disapa
Injil, melainkan subjek yang aktif. Nilai-nilai manusiawi yang terkandung di sini dapat memperkaya penghayatan Injil Yesus Kristus (Banawiratma & I. Suharyo, 1990: 21).
C. Katekese Audio Visual
1. Pengertian Katekese Audio Visual
Gereja Katolik mempunyai perutusan untuk mewartakan Injil hingga akhir jaman. Tugas Gereja pertama-tama ialah memberikan kesaksian iman yang sudah
kegiatan mengelola pesan (keselamatan) dengan tujuan menciptakan makna (iman). (Iswarahadi, 2004: 364).
Jaman audio visual adalah jaman di mana segala sesuatu disampaikan secara
naratif dengan teknis yang menarik, sehingga setiap orang terbujuk untuk melibatkan diri entah itu secara fisik, psikologis, maupun imajinasi. Sarana audio visual dengan
model symbolic way, yaitu menggunakan imaginasi, gambar, intuisi, cerita, nyanyian, dan simbol-simbol yang disharingkan kepada peserta. Misalnya, film, sound slide, foto, musik, dsb. (Iswarahadi, 2004: 367).
St. Yohanes memberikan suatu gagasan yang menarik mengenai prinsip yang bisa diterapkan untuk katekese audio visual dalam suratnya yang pertama: “Apa yang
telah ada sejak semula yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan telah kami raba dengan tangan kami tentang firman hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu” (1 Yoh 1-1).
Katekese audio visual adalah suatu bentuk pembinaan iman dalam upaya penyampaian ajaran kristiani dengan menggunakan sarana audio visual yang menarik dan mendukung agar peserta dapat memperoleh kesan dan dapat menangkap pesan
yang disampaikan yaitu warta keselamatan Kristus, sehingga mereka dapat sungguh-sungguh mengalami pengalaman yang mendalam dengan Allah serta memiliki cinta
kepada Allah yang diwujudkan dengan cinta kepada sesama.
Katekese audio visual adalah penyampaian pengalaman pribadi sebagai seorang kristiani dengan tujuan bukan untuk memperoleh pengetahuan intelektual,
(Adisusanto & Ernestine, 1977: 8). Katekese audio visual merupakan proses komunikasi iman dengan memanfaatkan program audio visual yang memungkinkan terwujudnya dialog dan pembentukan hidup.
Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam ajaran apostolisnya Catechesi Tradendae (CT) art. 18 menjelaskan bahwa “katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda
dan orang dewasa dalam iman, yang khususnya menyangkut penyampaian ajaran kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristiani”. (CT art. 18).
Bertitik tolak dari pengertian ini penulis mengambil suatu pengertian mengenai katekese audio visual. Katekese audio visual adalah suatu bentuk pembinaan iman
dalam upaya penyampaian ajaran Kristus dengan menggunakan sarana audio visual yang menarik dan mendukung agar peserta memperoleh kesan dan dapat menangkap pesan yang disampaikan yakni keselamatan Kristus, sehingga mereka
sungguh-sungguh mencapai pengalaman yang mendalam dengan Allah akhirnya memiliki cinta kasih kepada Allah yang diwujudkan dalam cinta kepada sesama.
Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam katekese audio visual adalah
untuk membangun persaudaraan yang sejati dalam Kristus serta mengkomunikasikan pengalaman pribadi dengan Kristus, serta mampu membangun komunikasi iman yang
lebih kuat dan mendalam. Katekese audio visual berupaya membangun suasana sedemikian rupa melalui simbol-simbol yang mampu menyentuh perasaan peserta. Simbol dalam proses komunikasi iman memiliki makna dan peranan penting dalam
Oleh karena itu pewartaan iman dengan katekese audio visual merupakan kegiatan mengolah pesan tersebut dalam keseluruhan proses komunikasi iman (Iswarahadi: 2004: 364).
Pesan yang disampaikan dalam katekese audio visual yang pertama dan utama bukan pesan yang disampaikan sebagai berita, atau pengetahuan juga bukan gagasan
atau ajaran. Pesan yang dimaksud dalam komunikasi iman ini adalah pesan yang dapat ditemukan dan dipahami oleh peserta sehingga menimbulkan hasil yakni keputusan untuk mengikuti Tuhan. Keputusan sukarela dengan sadar dan bebas
memungkinkan seseorang untuk memiliki relasi yang mendalam dengan Kristus dan mampu membangun persaudaraan yang sejati dengan sesama.
Pesan mencakup keseluruhan pelayanan dalam upaya menciptakan suatu keadaan yang ikut menimbulkan hasil. Ada beberapa hal yang termasuk dalam proses pelayanan. Pertama: Gereja sebagai tempat di mana komunikasi itu terjadi. Kedua:
menyangkut guru agama/katekis yang memegang peranan penting sebagai penyampai pesan baik melalui penampilan (wajah), gerak-gerik bahkan pakaian yang digunakan. Ketiga: pesan meliputi keseluruhan media cetak, media elektronis, sandiwara, kotbah,
termaksud cara pembiayaan, kemasan, dan administrasi yang berhubungan dengan komunikasi iman. Semua ikut berkomunikasi, dan mempengaruhi perkembangan
2. Kekhasan Katekese Audio Visual
Dalam katekese audio visual yang ditekankan adalah kesan (modulasi). Kesan atau modulasi adalah kecepatan getaran gelombang yang berubah panjangnya,
kekuatannya, dll. Getaran itu ditangkap oleh indra, sehingga menimbulkan emosi, khayalan dan bahkan ide. Bahasa audio visual ini dapat dengan mudah menyentuh
getaran pribadi seseorang yang dengan sendirinya memberi daya atau kekuatan bagi siapa saja untuk bergerak seperti yang dipancarkannya. Kekhasan bahasa audio visual memungkinkan katekese audio visual sebagai suatu katekese yang prosesnya tidak
bersifat indoktrinasi, melainkan langsung menyentuh perasaan dan getaran pribadi. Peserta tidak merasa digurui atau menerima pengajaran terus menerus,
melainkan mereka sendiri menemukan makna iman yang mereka cari. Peranan pembina atau fasilitator adalah membantu dan memudahkan jalannya katekese. Hal ini bisa terjadi karena dengan katekese audio visual segala sesuatu disampaikan
secara naratif dengan teknik yang menarik. Peserta terbujuk untuk melibatkan diri, entah secara fisik, psikologi maupun imajinasi. Oleh karena itu katekese audio visual dengan bahasanya sendiri menggugah dan menarik minat kaum muda serta
menggerakkan hati kaum muda (Adisusanto, 2001: 9-15).
Anak-anak pada zaman sekarang merupakan generasi yang lahir dalam zaman
teknologi. Sudah dari kandungan mereka sudah menikmati berbagai sarana teknologi. Bahasa audio visual sudah mereka kenal. Anak-anak pada zaman sekarang cepat menguasai dan memahami media dengan bahasa audio visualnya yang khas.
bagi mereka. Mereka cepat tanggap ketika produk yang satu berganti dengan produk lain yang lebih baru (Goretti, 1999: 9).
Ketertarikan mereka terhadap media merupakan peluang yang baik bagi para
pewarta dalam menjalankan tugasnya. Katekese audio visual sangat tepat digunakan, sehingga para pewarta mampu menyentuh dunia dan bergulat dalam dunia mereka.
Dengan demikian Kerajaan Allah dengan mudah diterima dan dipahami mereka. Berkat kepesatan media komunikasi baik cetak maupun elektronik, para seminaris sebagai kaum muda secara langsung dan tidak langsung berkenalan dengan
kebudayaan bangsa-bangsa lain. Hal-hal yang melanda dunia internasional mengenai juga para seminaris sebagai kaum muda (Mangunhardjana, 1986: 18).
3. Kekuatan dan Kelemahan Katekese Audio Visual
Bahasa audio visual menuntut suatu kreativitas, partisipasi, efektivitas dan
kesadaran yang kritis. Melalui ciri khas katekese audio visual kita dapat mengenal kekuatan dan kelemahan katekese audio visual agar dapat menggunakannya dengan baik. Adapun kekuatan dan kelemahan katekese audio visual sebagai berikut
(Adisusanto & Ernestine, 1977: 7-8).
a. Kekuatan
makna-makna yang berguna bagi kehidupannya tanpa harus diberitahu atau diberi penjelasan secara lebih mendetil.
Sarana audio visual mampu membantu mengkomunikasikan perasaan,
kecemasan, serta seluruh pribadi seseorang kepada orang lain. Audio visual sebagai sarana sekaligus sebagai pesan tersendiri. Artinya keseluruhan menjadi sarana
komunikasi ini bisa membantu seseorang memaknai pengalaman hidupnya sendiri dengan terang iman. Iman dapat dikomunikasikan bukan hanya dalam bentuk pembicaraan tetapi juga melalui perasaan dan getaran pribadi. Ekspresi seluruh diri
menjadi bagian dari komunikasi. Begitu juga sajian dari gambar yang bergerak, pemandangan yang indah serta iringan musik yang menyentuh perasaan dapat
menimbulkan iman.
Bahasa audio visual tidak memaksa atau menginstruksikan sesuatu, tetapi berupa tawaran atau undangan bagi peserta untuk dengan bebas memilih dan
menentukan apa yang mesti dilakukan. Ada banyak pengetahuan yang bisa kita pelajari di sana. Pengetahuan itu hanya bisa kita peroleh apabila proses berpikir dilakukan. Jadi salah besar apabila bahasa audio visual mengurangi daya pikir umat.
Justru sebaliknya, dengan bahasa audio visual kita ditantang untuk berpikir dan berpikir terus (bergulat dengan diri sendiri). Bahkan ada orang yang mengatakan
b. Kelemahan
Dalam bahasa audio visual tidak adanya kejelasan dan ketelitian, tidak adanya struktur dan sintese. Ada resiko bahwa unsur subyektivitasnya menjadi terlalu
besar. Dalam hal ini kekuatan bahasa audio visual adalah getaran gelombang yang bisa menyentuh sisi emosi, ada rangsangan terhadap ide. Namun hal ini terjadi bila
bahasa audio visual itu sungguh-sungguh menyentuh perasaan dan pengalaman pribadi seseorang. Kemungkinan bisa terjadi bahwa peserta yang satu merasa tersentuh tetapi pribadi yang lain tidak (Adisusanto & Ernestine, 1977: 7-9).
Keterlibatan umat dalam katekese audio visual kurang dan bersifat individual dalam arti pribadi yang ikut katekese hanya berkomunikasi dengan media saja. Untuk
menanggapi kurangnya keterlibatan umat perlu adanya, kreativitas, partisipasi, afektivitas dan kesadaran kritis.
Setelah melihat kekuatan dan kelemahan katekese audio visual, maka kita
dapat menarik kesimpulan bahwa fasilitator memiliki peranan penting dalam mengarahkan, membaca peluang dan mengembangkan kreativitas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta.
4. Pola Naratif Eksperiensial
Naratif berarti komunikasi yang berdasarkan ceritera, sedangkan eksperiensial menunjuk pada hubungannya dengan pengalaman. Dapat dikatakan bahwa pola naratif eksperiensial adalah ceritera yang berhubungan dengan pengalaman sendiri.
Pewartaan dengan menggunakan pola ceritera merupakan contoh pewartaan yang dilakukan Yesus. Yesus mewartakan Injil-Nya dengan ceritera yang menarik, sehingga banyak orang berbondong-bondong mengikuti-Nya. Yesus mewartakan
Injil-Nya dengan Sabda dan seluruh hidup-Nya. Ceritera yang dibawakan oleh Yesus adalah cerita dengan bermacam-macam tema dan disajikan dengan amat menarik dan
menyentuh pengalaman dari para pendengar sendiri, sehingga pewartaan Yesus selalu relevan dan aktual.
Ceritera atau naratif memiliki kekuatannya yang khas. Melalui ceritera para
pendengar diajak untuk masuk dalam suatu dunia di balik ceritera itu sendiri. Dengan ceritera inti hati manusia yang sedang mengalami kekosongan mampu diisi oleh suatu
suasana yang menghibur dan mendapatkan solusi atas segala persoalan. Dalam hal ini pertama-tama bukan ceriteranya yang mampu mengubah melainkan suasana dan isi dari ceritera itu yang mampu merangsang pendengarnya untuk berpikir dan mencari
nilai-nilai yang cocok dengan dirinya (Komisi Kateketik KWI, 1994: 15).
Ada tiga macam bentuk ceritera dalam pola naratif eksperiensial, yakni ceritera kanonis, ceritera rakyat dan ceritera kehidupan. Cerita kanonis adalah ceritera
yang termaksud dalam daftar Kitab Suci. Ceritera rakyat merupakan bagian dari warisan kebudayaan yang diturunkan dari nenek moyang, sedangkan ceritera
kehidupan adalah ceritera nyata mengenai kehidupan.
Pada zaman audio visual ”ceritera” memiliki peranan penting dan kembali dihargai. Itu sebabnya jaman audio visual sering disebut dengan zaman lisan kedua.
ceritera yang disajikan dalam bahasa audio visual lebih menarik daripada bahasa instruksi (Iswarahadi, 2004: 373).
5. Pemahaman Tentang Metode SOTARAE
Media komunikasi sosial yang muncul pada tahun 1830 terus berkembang
pesat baik menyangkut media raksasa, ukuran besar atau umum, ukuran sedang atau ukuran kecil. Dalam perkembangan selanjutnya muncul “group media” yang bertujuan membantu peserta untuk berpikir, maka peserta diajak untuk melihat,
menilai, dan bertindak dengan diperkaya bahasa audio visual.
Keuntungan dari group media ini adalah memperluas pengetahuan, menyadari
peran masing-masing, belajar mendengarkan, mampu menampilkan pandangan sendiri, memperkaya dan membandingkan dengan pandangan orang lain, mengajar untuk mengembangkan kemampuan yang sebelumnya tersembunyi. Metode yang
digunakan dalam group media ini adalah SOTARAE. SOTARAE adalah petunjuk untuk mempermudah pengkajian suatu dokumen (Olivera, 1989: 12).
a. Situasi (Menjajaki Kesan Para Peserta)
Proses pertemuan dimulai dengan memeriksa kesan-kesan pertama yang
b. Fakta-Fakta Objektif
Pada langkah kedua pendamping mengajak peserta untuk melihat kembali fakta-fakta obyektif berdasarkan dokumen yang dilihat bersama. Hal ini penting untuk
mengembangkan kemampuan mengobservasi, mengungkapkan apa yang dilihat dan didengar serta menyediakan waktu untuk mengendapkan buah-buah pikiran,
sehingga penilaian yang tergesa-gesa dihindari. Dengan demikian peserta memahami isi dokumen dengan baik dengan mendetail (Olivera, 1989: 30).
c. Tema-Tema
Pada langkah ketiga ini peserta diajak untuk meringkas hasil observasi sesuatu
yang berhubungan dengan tema. Tema-tema pokok yang diungkapkan oleh peserta dikelompokkan dan diurutkan menurut prioritas (Olivera, 1989: 31).
d. Analisis
Pada langkah keempat, pendamping bersama peserta mulai menganalisis tema-tema yang telah dibuat bersama berdasarkan hasil observasi. Adapun hal-hal yang
perlu diikutsertakan dalam analisis adalah apa yang implisit dan jelas ada, meskipun tidak kelihatan, apa konteks, sebab-sebab, asal-usul, hubungannya
e. Rangkuman
Setelah menganalisis persoalan yang telah dilakukan pada langkah sebelumnya, peserta kembali diajak untuk membuat rangkuman serta menunjukkan
persoalan-persoalan yang telah menjadi jelas maupun yang harus dipikirkan lebih lanjut. Langkah ini tidak lagi mengumpulkan persoalan, melainkan merangkum berbagai
persoalan yang muncul setelah melalui persoalan analisis (Olivera, 1989: 31 ).
f. Aksi
Pada langkah keenam ini peserta diajak untuk merealisasikan hasil observasi berupa unsur-unsur konkrit yang dapat dilakukan secara perseorangan maupun
bersama dalam sebuah organisasi dengan tujuan membangun keadaan supaya lebih baik. Langkah ini merupakan langkah yang paling penting. Segala sesuatu yang telah dibicarakan pada tahap-tahap sebelumnya mencoba untuk disikapi
melalui bentuk aksi yang konkrit (Olivera, 1989: 32).
g. Evaluasi
Evaluasi diadakan untuk meninjau kembali metode yang digunakan. Hal ini perlu untuk menemukan petunjuk menarik yang berguna untuk memperbaiki pertemuan
pengkajian suatu dokumen tertentu. (Olivera, 1989: 32). Metode ini merupakan metode yang efektif dalam menyikapi media-media yang ada.
Dengan katekese audio visual diharapkan iman siswa seminari semakin mendalam, mantap dan mereka mampu bertanggung jawab atas imannya sendiri.
Dalam memelihara bibit-bibit panggilan yang sedang tumbuh dalam hati para siswa, yang metodenya diterangkan di atas, pentinglah dilakukan sebuah pembinaan. Salah satu bentuk pembinaan ke arah ini adalah katekese audio visual.
Oleh sebab itu katekese audio visual diharapkan dapat membantu para siswa untuk mengolah imannya sampai kepada keputusan pribadi (tindakan konkrit).
Melalui katekese audio visual siswa dibantu memperkembangkan benih-benih panggilan yang mereka miliki, yang akhirnya bersama panggilan itu, mereka mampu mengambil sebuah keputusan yang dewasa, seperti murid-murid yang rela
meninggalkan semuanya (pekerjaan dan keluarganya) untuk mengikuti Yesus (Mrk 1: 16-20).
Para murid mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus tanpa syarat. Sikap
para murid itu bisa dijadikan teladan bagi para siswa seminari dalam mengembangkan bibit-bibit panggilan yang sedang tumbuh dalam diri mereka. Para
seminaris juga perlu belajar dan mendalami semangat Bunda Maria yang bersedia mengandung dan melahirkan Yesus Kristus walaupun saat itu kondisinya tidak semua serba jelas. Dengan sikap rendah hati Bunda Maria berkata ”Sesungguhnya aku ini
inilah yang harus ada pada para calon imam, sehingga mereka sendiri berani berkata seperti yang disanggupkan oleh Bunda Maria.
Katekese audio visual akan dijadikan jaman media bagi pengembangan
bibit-bibit panggilan para seminaris sehingga mereka terdorong dan berani mengambil keputusan secara pribadi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Seminari Tinggi.
Dalam hal ini dirinya sendiri yang menentukan pilihan atas bimbingan Roh Kudus, untuk menjawab sapaan Allah yang memanggilnya.
D. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan berkaitan dengan judul yang saya pilih yakni sebagai
berikut:
Martinus. (2007). Upaya Pembinaan Iman Melalui Katekese Dalam Rangka
Mempersiapkan Para Siswa Kelas III Seminari Menengah St Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat Memasukki Jenjang Seminari Tinggi. Yogyakarta: Puskat
Oleh karena itu penelitian yang diadakan ini masih sangat relevan dilakukan