• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT SKRIPSI"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP

KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Widaryanto NIM: 041124017

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk yang tercinta Ayahku (Anes Ronseng), Ibuku (Sunartiyah), Adikku (Supriyono, Ratnawati dan Indra Septiawan),

Istriku (Theresia Ria Noviana), Anakku (C. Zerry Enggank Pratama) dan Siswa-siswa SMU Seminari St. Paulus Nyarumkop

(5)

v MOTTO

”Berbahagialah orang yang bertahan dalam percobaan,

sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barang siapa yang mengasihi Dia”.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ”UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT”. Penulis memilih judul ini berpangkal dari keprihatinan penulis terhadap situasi persaudaraan yang terjadi dalam kehidupan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop. Pada kenyataannya semangat persaudaraan di seminari belum dialami sepenuhnya oleh para seminaris. Para siswa seminari belum mampu menerima kehadiran orang lain apa adanya dan lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Disamping itu pembinaan semangat persaudaraan yang dilakukan oleh pembina seminari masih kurang berjalan sebagaimana mestinya. Pembina perlu tanggap dengan permasalahan yang dihadapi oleh para siswa seminari yakni dengan mengusahakan materi, metode, dan sarana yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan para seminaris.

Persoalan skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan semangat persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat melalui katekese umat sehingga hal-hal yang menghambat persaudaraan dapat diatasi dengan semestinya. Untuk mengetahui sejauhmana persaudaraan para seminaris, maka diadakan penelitian melalui pengumpulan data di lapangan dengan menyebarkan kuesioner kepada para siswa seminari. Disamping itu, penulis juga melakukan studi pustaka untuk memperoleh pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat dipakai membantu para seminaris mengembangkan persaudaraan di seminari.

(9)

ix ABSTRACT

This thesis is entitled "INITIAL EFFORT TO ENHANCE THE SPIRIT OF BROTHERHOOD OF STUDENTS-STUDENT SMA SEMINARY SAINT PAUL WEST KALIMANTAN NYARUMKOP TRACES THROUGH catechesis. " The author chose this title stems from the concerns of the authors of the fraternity situation that occurred in the life at the Seminary High St. Paul Nyarumkop. In fact the spirit of brotherhood in the seminary has not been fully experienced by the seminarians. The seminary students are not able to accept the presence of other people as it is and more concerned with its own interests and his group. Besides coaching the spirit of brotherhood that carried out by builder seminary is still lacking running as it should. The coach needs to respond to the problems faced by the students of the seminary which is to seek the materials, methods and tools appropriate to the situation and needs of the seminarians.

The problem this thesis is how to promote the spirit of brotherhood in the Seminary High St. Paul Nyarumkop West Kalimantan through catechesis the people so that things that inhibit the fraternity can be addressed properly. To find out how far the brotherhood of the seminarians, then held research through data collection in the field by distributing questionnaires to seminary students. In addition, the authors also do library research to gain insights that are expected to be used to help seminarians develop a fraternity at the seminary.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa karena atas rahmat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT”. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan limpah terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. H.J. Suhardiyanto SJ, selaku dosen pembimbing utama yang dengan kerelaan dan kesadaran mendampingi, memberi masukan serta mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga selesai.

2. Drs. Ya. C.H. Mardiraharjo, selaku penguji II sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan setulus hatinya membimbing, memberi perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.

3. Y.H. Bintang Nusantara, M. Hum, selaku penguji III yang memberi semangat dan kegembiraan dan meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan berkaitan dengan isi skripsi ini.

4. Para dosen dan Staf karyawan IPPAK yang telah memberikan dukungan selama ini.

(11)

xi

kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian, serta dukungan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

6. Siswa-siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat yang memberikan dukungan kepada penulis dengan bersedia mengisi kuesioner yang disebarkan.

7. Ayahku Anes Ronseng, Ibuku Sunartiyah, Adikku Supriyono, Ratnawati dan Indra Septiawan dan sanak saudara yang tercinta, yang selalu menyemangati dan membiayai penulis selama studi di IPPAK.

8. Mertuaku F. Suparman dan Lidya Maryasih dan kakak iparku FX. Yoga Yuwana, S.Pd., Yulius Dedi Respiadi, AMK, Yohana Nely Damayanti, S.Psi., atas doa dan dukungannya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Spesial buat yang tercinta, Theresia Ria Noviana yang selalu berada disampingku saat aku membutuhkan seseorang untuk berbagi, baik suka maupun duka. Terima kasih atas kesabaran, kasih dan sayang yang telah yayang berikan.

10. Untuk buah hatiku, C. Zerry Enggank Pratama yang membuat hari-hariku menjadi lebih indah dan penuh warna.

11. Sahabatku Aci, Dede, Lapin, Hermas Jablay, Muji, Togar, Kentung, Maria, Sr. Yeni, FDCC., Sr. Olga, PRR., Santi, Anto yang selalu memberikan semangat dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Teman-teman seangkatan 2004-2006 yang telah meneguhkan, dan memberi

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN ... 8

A. Gambaran Umum Katekese Umat ... 8

1. Pengertian Katekese Umat ... 8

2. Isi Katekese Umat ... 9

3. Peserta Katekese Umat ... 10

4. Tujuan Katekese Umat ... 11

5. Model-Model Katekese Umat ... 13

(14)

xiv

b. Model Biblis ... 18

c. Model Campuran ... 20

6. Shared Christian Praxis Sebagai Contoh Katekese Umat Model Pengalaman Hidup ... 22

a. Pengertian SCP ... 22

b. Langkah-Langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 25

B. Semangat Persaudaraan ... 31

1. Pengertian Persaudaraan ... 31

2. Ciri-ciri Hidup Persaudaraan ... 33

3. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan ... 34

a. Cinta Kasih ... 34

b. Keadilan ... 35

c. Solidaritas ... 35

d. Toleransi ... 36

e. Perdamaian ... 37

4. Hal-Hal yang Menghambat Persaudaraan ... 38

a. Egoisme ... 38

b. Prasangka dan Curiga ... 39

c. Kurang Keterbukaan ... 40

d. Fanatisme ... 40

e. Kurang Mengampuni ... 41

5. Pentingnya Pembinaan Semangat Persaudaraan ... 42

C. Peranan Katekese Umat dalam Meningkatkan Semangat Persaudaraan ... 44

1. Katekese Umat dapat Membantu Umat untuk Memahami Hidup Persaudaraan ... 45

2. Katekese Umat dapat Membantu Umat Semakin Menghayati Semangat Persaudaraan ... 46

3. Katekese umat dapat Mengarahkan Umat Pada Transformasi Diri ... 47

BAB III. GAMBARAN UMUM HIDUP PERSAUDARAAN SISWA- SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT ... 48

A. Gambaran Umum SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 48

(15)

xv

2. Visi SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 49

3. Misi SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 49

4. Hak dan Kewajiban Seminaris ... 49

5. Latar Belakang Siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop .. 50

6. Tenaga Pembina Seminari ... 51

b. Pemahaman Siswa Mengenai Semangat Persaudaraan ... 63

c. Hidup Persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop ... 65

d. Faktor Pendukung dan Penghambat Hidup Persaudaraan di Seminari beserta Pembinaan yang Diupayakan oleh Pihak Seminari ... 70

(16)

xvi

f. Usulan Katekese Umat yang Diharapkan dapat

Meningkatkan Semangat Persaudaraan di Seminari ... 82

2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 84

a. Identitas Responden ... 84

b. Pemahaman Siswa Mengenai Semangat Persaudaraan ... 85

c. Hidup Persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop ... 88

d. Faktor Pendukung dan Penghambat Hidup Persaudaraan di Seminari beserta Pembinaan yang Diupayakan oleh Pihak Seminari ... 93

e. Peranan Katekese Umat dalam Membangun Semangat Persaudaraan Di Seminari ... 100

f. Usulan Katekese Umat yang Diharapkan dapat Meningkatkan Semangat Persaudaraan di Seminari ... 104

3. Kesimpulan Penelitian ... 107

BAB IV. USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT ... 111

A. Pengertian Program Katekese Umat ... 111

B. Latar belakang Penyusunan Program Katekese Umat ... 112

C. Alasan Pemilihan Tema ... 113

D. Usulan Program Katekese Umat ... 115

E. Contoh Satuan Persiapan Katekese Umat I ... 120

F. Contoh Satuan Persiapan Katekese Umat II ... 134

G. Catatan Atas Pelaksanaan Program ... 148

BAB V. PENUTUP ... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Saran ... 152

(17)

xvii Lampiran

Lampiran 1 : Jadwal Harian Seminari Menengah Santo Paulus

Nyarumkop ... (1)

Lampiran 2 : Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Seminaris ... (2)

Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4 : Surat Permohonan Ijin ... (4)

Lampiran 5 : Teks Lagu ... (5)

Lampiran 6 : Teks Kitab Suci ... (6)

(18)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. SINGKATAN KITAB SUCI KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.

B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA

CT : Catechese Trandendae, Ajaran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

Gereja di dunia dewasa ini.

AG : Ad Gentes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

Kegiatan Misioner Gereja.

C. SINGKATAN LAIN St : Santo/Santa

SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

(19)

xix PERUM : Persekolahan untuk Masyarakat KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Art : Artikel

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semangat persaudaraan di tengah arus perkembangan jaman yang semakin

canggih dewasa ini banyak mengalami kemunduran. Orang lebih banyak

mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri dan kurang memperdulikan

kepentingan orang lain. Sikap cuek dan tidak mau perduli dengan kepentingan

orang lain menjadi suatu gambaran dimana orang sudah tidak lagi mampu

memaknai arti dari suatu persaudaraan. Persaudaraan tidak hanya sekedar karena

engkau berguna buat saya, karena kau dan aku sering jumpa, lantaran kita

sama-sama pintar, satu tempat teduh, satu organisasi ataupun satu bangsa. Gereja

mengajak umat manusia untuk membangun persaudaraan yang didasarkan pada

cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Manusia perlu membangun persaudaraan

dengan memberi diri secara tulus, saling mengembangkan sifat-sifat pribadi

manusia dan membela hak-hak asasi manusia (GS, art. 25), karena Allah

menciptakan manusia bukan untuk hidup sendiri melainkan untuk membentuk

persatuan sosial.

Anak-anak seminari menengah yang tergabung dalam satu asrama Widya

Nyarumkop kadang mengalami hal yang kurang lebih sama seperti yang

diutarakan di atas. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis selama di

seminari, para seminaris dalam pergaulan dan kehidupannya sehari-hari

(21)

di sukai saja serta yang menguntungkan bagi dirinya. Disamping itu, mereka juga

terkadang kurang akur antara satu dengan yang lainnya dan tidak sedikit yang

suka membuat kelompok sendiri-sendiri. Tidak hanya itu saja, anak-anak yang

duduk di kelas dua maupun kelas tiga seringkali menganggap diri sebagai senior

dan kurang menunjukkan rasa persaudaraan kepada adik kelasnya. Mereka

terkadang bertindak sesuka hati mereka. Mereka ingin dihormati dan disegani oleh

adik-adik kelasnya sehingga sikap mereka terhadap adik-adik kelas suka main

suruh atau perintah. Situasi seperti ini tentunya perlu mendapat perhatian dan

tanggapan yang serius dari berbagai pihak terutama dari para pembina asrama

yang membina dan membimbing mereka, karena para seminaris adalah

calon-calon imam yang nantinya menggembalakan umat. Sebagai calon-calon imam,

hendaknya para seminaris dapat menjadi contoh dan teladan bagi umat dalam

membina hubungan yang baik dengan orang lain dan dapat hidup bersaudara

dengan siapa saja.

Upaya untuk meningkatkan semangat persaudaraan sudah terjadi di dalam

asrama dan secara umum cukup berjalan baik. Namun yang menjadi kendalanya

ialah anak-anak yang ada di asrama ini berjumlah cukup banyak dan masih pada

masa transisi atau labil sehingga sikap-sikap mereka masih menunjukkan

sebagaimana permasalahan anak-anak muda pada umumnya. Disamping itu, para

pembinanya juga tidak setiap saat bisa memantau gerak-gerik dan prilaku

anak-anak asrama karena mereka juga mempunyai kesibukkan sendiri-sendiri, padahal

kesadaran dan semangat persaudaraan dari anak-anak seminari harus tertanam

(22)

komunikasi yang baik dalam komunitasnya. Perlu dibangun semangat rekonsiliasi

dimana antara sesama mau saling mengampuni, berani melintas batas dalam artian

meninggalkan segala egoisme, perasaan tidak suka dan mampu menerima serta

menghargai pribadi orang lain.

Persaudaraan adalah suatu hal yang wajib dan penting sekali dalam

membina hubungan horizontal dengan sesama manusia yaitu pada satu tujuan

untuk menjauhkan manusia dari permusuhan. Persaudaraan membuat hidup

menjadi lebih berwarna, tidak ada permusuhan, tidak ada rasa sakit hati dan hidup

menjadi lebih berarti. Tuhan memanggil dan menghendaki manusia untuk saling

membangun persaudaraan dan persahabatan di dunia ini. Rasul Paulus

mengatakan: sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam

perdamaian dengan semua orang (Roma, 12:18). Hendaklah kamu saling

mengasihi sebagai saudara (Roma, 12:10). Jangan hakimi dan jangan hina

saudaramu (Roma, 14:10-13). Paulus dalam suratnya kepada orang Ibrani

mengatakan: Peliharalah kasih persaudaraan (Ibr, 13:1). Persaudaraan itu

dilandasi suatu semangat membina kekerabatan yang baik dengan siapapun dan

dimanapun tanpa ada suatu kepentingan lain.

Berbagai usaha dibuat oleh pihak seminari untuk meningkatkan

persaudaraan di antara para seminaris antara lain lewat kegiatan-kegiatan yang

ada di seminari. Menurut penulis, salah satu kegiatan yang dapat menolong para

seminaris semakin memperhatikan, menghormati, jujur, terbuka dan menghargai

perbedaan yang ada adalah melalui katekese. Katekese yang dimaksud lebih pada

(23)

dimungkinkan dapat meningkatkan persaudaraan dengan saling berbagi

pengalaman hidup sehingga di antara mereka terjadi komunikasi. Komunikasi

yang baik membuahkan persaudaraan, saling pengertian, keterbukaan dan saling

menghargai. Komunikasi berlangsung dalam suasana bebas, akrab dan

mempunyai tujuan. Masing-masing para seminaris bebas mengungkapkan

pengalamannya dalam suasana kekeluargaan sehingga sampai pada persaudaraan

yang mendalam.

Dengan melihat permasalahan yang terjadi, penulis menawarkan katekese

umat sebagai usaha membantu para seminaris dalam meningkatkan semangat

persaudaraan di SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop. Dalam katekese umat ini

diharapkan dapat membantu para seminaris sungguh-sungguh memahami,

menghayati dan mengarahkan mereka pada transformasi diri. Menanggapi hal

tersebut, maka penulis terdorong mengambil judul skripsi: “Upaya Awal Meningkatkan Semangat Persaudaraan Siswa-Siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat melalui Katekese Umat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah skripsi ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Apa makna dari persaudaraan?

2. Apa kendala siswa seminari mewujudkan semangat persaudaraan?

3. Katekese Umat bagaimana yang mendukung semangat persaudaraan

(24)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini untuk:

1. Menjelaskan makna persaudaraan.

2. Menguraikan kendala siswa seminari dalam mewujudkan semangat

persaudaraan

3. Menguraikan Katekese Umat yang mendukung semangat persaudaraan

siswa-siswa di Seminari St. Paulus Nyarumkop.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pembina asrama seminari Nyarumkop dan pembina asrama seminari

yang lain.

Penulisan ini merupakan sumbangan pemikiran guna meningkatkan semangat

persaudaraan.

2. Bagi pembina asrama seusia SMU dan pembina kaum muda pada umumnya.

Penulisan ini dapat menjadi masukan guna meningkatkan semangat

persaudaraan.

3. Bagi penulis.

a. Mengkondisikan penulis untuk berpikir secara kritis dan sistematis dalam

menuangkan gagasan secara jelas dan baik.

b. Penulis dapat belajar untuk mengembangkan kreativitas dalam membangun

(25)

E. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif

analitis yaitu menguraikan kenyataan yang ada. Kemudian menganalisanya untuk

mencari pemecahannya. Kenyataan yang ada diperoleh dari studi pustaka dan

penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan pengumpulan data dilakukan

dengan cara menyebarkan kuesioner.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis

menyampaikan pokok-pokok gagasan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang

penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,

metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II: KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

SEMANGAT PERSAUDARAAN

Bab ini berisikan kajian pustaka yang meliputi: pengertian katekese

umat, isi katekese umat, peserta katekese umat, tujuan katekese

umat, model-model katekese umat, dan shared christian praxis

sebagai model katekese umat. Pengertian semangat persaudaraan,

ciri-ciri hidup persaudaraan, nilai-nilai yang mendukung

persaudaraan, hal-hal yang menghambat persaudaraan, dan

(26)

BAB III: GAMBARAN UMUM HIDUP PERSAUDARAAN

SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP

KALIMANTAN BARAT

Bab ini berisikan gambaran umum Seminari St. Paulus Nyarumkop,

metodologi penelitian mengenai upaya meningkatkan semangat

persaudaraan siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop

Kalimantan Barat melalui katekese umat dan laporan hasil

penelitian.

BAB IV: USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DALAM RANGKA

MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA

SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP

KALIMANTAN BARAT

Bab ini berisikan usulan program katekese umat serta contoh

perencanaan program katekese umat.

BAB V: PENUTUP

(27)

BAB II

KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN

A. Gambaran Umum Katekese Umat

Mulai tahun 1977, Komisi Kateketik Indonesia menyelenggarakan

pertemuan kateketik nasional. Pertemuan itu dihadiri oleh utusan dari seluruh

keuskupan di Indonesia. Pertemuan pertama (PKKI 1) di Sindanglaya tahun 1977

mencari dan membahas arah katekese di Indonesia yang kemudian disepakati

bahwa yang dikembangkan di Indonesia adalah katekese umat (Telaumbanua,

1999:11).

1. Pengertian Katekese Umat

Th. Huber (1981:10) dalam buku Katekese Umat mengemukakan bahwa

katekese umat adalah:

Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat/kelompok, yang sebagai kesaksian saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna. Dalam katekese umat tekanan terutama diletakkan pada penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan ada perencanaan.

Komunikasi iman adalah usaha umat untuk saling meneguhkan,

mengembangkan, mengarahkan serta menggairahkan kembali imannya.

Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang melibatkan seluruh peserta

yang hadir dalam pertemuan, baik antara peserta dengan pendamping maupun

antara peserta sendiri. Cara komunikasinya adalah sharing pengalaman, yaitu

(28)

dan masing-masing saling menanggapi, saling menampung sehingga iman mereka

diteguhkan dan diperkaya.

Sidang PKKI II merumuskan pengertian Katekese Umat sebagai

komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota

jemaat atau kelompok. Dalam katekese umat, tekanan terutama diletakkan pada

penghayatan iman meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Maksudnya melalui

katekese umat ini setiap peserta berhak atau mempunyai kebebasan untuk

mengungkapkan pengalamannya dan para peserta saling membantu sedemikian

rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara sempurna.

Katekese umat adalah usaha kelompok secara terencana untuk saling

menolong mengartikan hidup nyata dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah

dihayati dalam tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan

mewujudkan imannya dalam hidup nyata (Afra Siauwarjaya, 1987:38). Katekese

umat mengajak peserta untuk saling menolong menyadari kehadiran dan kehendak

Allah dalam hidup nyata dan bagaimana mereka menghayati imannya dalam

hidup nyata. Iman personal yang dikembangkan dalam katekese umat adalah iman

yang dihayati Gereja dalam tradisi. Dalam katekese umat, hidup nyata diartikan

sebagai penghayatan relasi umat dengan Yesus Kristus. Relasi itu sekaligus

menuntut keterlibatan umat dalam pengutusan-Nya melaksanakan kehendak Allah

dalam segala dimensi hidup manusia (Afra Siauwarjaya, 1987:42).

2. Isi Katekese Umat

(29)

menanggapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya dalam Perjanjian Baru, yang mendasari penghayatan iman gereja di sepanjang tradisi-Nya (Th. Huber, 1981:10).

Rumusan di atas menegaskan bahwa pola dan penentu katekese umat

adalah Yesus Kristus. Dalam Kristus peserta berjumpa dengan Allah dan melalui

Dialah pula Allah mendatangi peserta. Penghayatan iman yang dikomunikasikan

dalam katekese umat hendaknya ditanggapi dan ditampung serta mendalami satu

pokok saja. Pembicaraan yang tidak berkesinambungan dalam katekese umat

tidak dicita-citakan (Huber, 1981:19).

Dalam katekese umat Kristuslah yang menjadi pusat utamanya. Itulah

sebabnya katekese biasa disebut katekese yang bersifat Kristosentris. Maksudnya

dalam katekese bukan untuk menyampaikan ajarannya sendiri atau ajaran seorang

guru melainkan ajaran Yesus Kristus. Seluruh peristiwa hidup Yesus Kristus dan

seluruh harta kekayaan iman Gereja (CT, art. 6).

Katekese umat tidak mengesampingkan pengalaman iman peserta. Iman

para peserta diteguhkan melalui tukar penghayatan iman tentang tema atau bahan.

Bahan atau tema katekese berangkat dari hidup konkret para peserta. Pengalaman

iman peserta menjadi bagian dari isi katekese umat agar dengan terang sabda

Allah, peserta merasa dikuatkan dan terlebih semakin mengenal Yesus

(Setyakarjana, 1997:69).

3. Peserta Katekese Umat

(30)

dalam kelompok basis maupun di sekolah atau perguruan tinggi. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang. Penekanan pada peranan umat pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada pengertian Gereja itu sendiri (Huber, 1981:15).

Katekese umat menempatkan umat sebagai subyek atau pelaku utama

dalam berkatekese. Posisi ini memungkinkan umat untuk terlibat secara lebih

aktif, punya inisiatif dan kreatif, sehingga proses katekesenya lebih hidup dan

menarik ketimbang umat yang pasif menerima saja. Sebagai subyek atau pelaku

utama, umat ditantang untuk ikut berpikir, mencari, mengolah dan menanggapi

pokok persoalan yang tengah mereka hadapi.

Dalam katekese umat, para peserta secara bebas mengungkapkan

pengalamannya tanpa ada paksaan. Komunikasi iman yang mendalam hanya

dilakukan secara suka rela. Katekese umat tidak menuntut pengelompokan umat

yang khusus, setiap kesempatan umat berkumpul di dalam lingkup apapun juga

dapat dipakai untuk katekese umat (Huber, 1981:20-21).

4. Tujuan Katekese Umat

Th. Huber (1981:23) mengemukakan bahwa tujuan katekese umat adalah

membantu umat agar semakin mengenal dan terbuka dalam menanggapi Sabda

Allah serta memperdalam dan memperkembangkan iman umat akan Allah dengan

cara memahami, merefleksikan, memperbaharui dan memaknai pengalaman iman

dalam terang Injil. Katekese umat mendorong proses pemanusiaan kristiani.

Katekese umat menempatkan pengalaman religius kembali ke dalam hidup

(31)

Tujuan komunikasi iman itu ialah:

• Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;

• dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari;

• dengan demikian semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup kristiani kita;

• pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta;

• sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat. (Huber, 1981:16).

Kelima rumusan tujuan komunikasi iman di atas menyoroti tujuan

katekese umat dari sudut yang berbeda-beda. Ketiga sorotan pertama lebih-lebih

memperhatikan peserta sendiri-sendiri secara pribadi. Kemudian pada kedua

sorotan berikutnya menegaskan tujuan sebagai Gereja dan semuanya berpuncak

pada hidup di tengah-tengah masyarakat (Setyakarjana, 1997:72).

Dengan demikian, tujuan katekese umat selain bersifat personal juga

bersifat eklesial yakni demi kepentingan bersama dalam Gereja universal. Tugas

setiap orang Kristen adalah menjadi saksi Kristus di tengah dunia melalui

tindakan konkret. Diharapkan umat semakin sadar dalam menempatkan

pengalaman religius ke dalam hidupnya sebagai sejarah penyelamatan-Nya.

Disamping itu, umat disadarkan untuk terlibat dalam pembangunan Gereja.

Pewartaan tentang Kristus dilakukan dengan melaksanakan tugas-tugas Gereja.

Tetapi Gereja sendiri bukan merupakan tujuan, melainkan sarana untuk bersaksi

tentang Kristus (Setyakarjana, 1997:72).

Afra Siauwarjaya (1987:42) menegaskan bahwa tujuan katekese umat

adalah menolong umat agar umat makin mampu mengungkapkan dan

(32)

dinyatakan dalam ungkapan saja, tetapi lebih-lebih dilaksanakan dalam tindakan

konkret. Katekese umat berupaya untuk memelihara dan mengajarkan iman,

membangkitkan iman dengan pertolongan rahmat, membuka hati, menumbuhkan

pertobatan, dan mempersiapkan orang beriman agar berserah diri secara

menyeluruh kepada Yesus Kristus. Umat beriman diharapkan melakukan

pertobatan sebagai upaya pembaruan diri yang terus menerus. Pertobatan

merupakan elemen penting dalam dinamika iman menuju kedewasaan

(Telaumbanua, 1999:52).

5. Model-Model Katekese Umat

Model pendalaman iman yang ditawarkan dalam buku panduan APP dan

Adven yang diterbitkan dalam tingkat keuskupan atau paroki di Indonesia, cukup

lama menawarkan pendalaman iman yang bersifat liturgis namun syukurlah dalam

dasa warsa terakhir ini pendalaman iman lebih bersifat kateketis dan tidak lagi

menekankan sifat liturgisnya. Langkah-langkah yang terjadi dalam pendalaman

iman pada umumnya mengandung tiga unsur dasar yakni: pengalaman hidup

konkret, teks Kitab Suci atau tradisi dan penerapan konkret pada hidup peserta

katekese (Sumarno Ds, 2009:11).

Dalam langkah-langkah pendalaman iman atau katekese pada umumnya

terdapat tiga model, yakni: model pengalaman hidup, model biblis dan model

(33)

a. Model Pengalaman Hidup

Katekese Umat dengan model pengalaman hidup bertitik tolak dari

pengalaman hidup peserta (Sumarno, Ds, 2009: 11). Katekese umat berangkat dari

situasi hidup peserta. Situasi hidup peserta menjadi titik tolak pembicaraan di

dalam katekese umat. Kemudian situasi hidup itu diterangi oleh pengalaman iman

dari Kitab Suci. Secara garis besar, katekese umat dengan model pengalaman

hidup meliputi langkah-langkah sebagai berikut yaitu:

1) Introduksi

Langkah ini berisikan lagu dan doa pembukaan yang sesuai dengan tema

yang diangkat dalam pertemuan. Pendamping mengingatkan dan menghubungkan

dengan tema-tema yang sudah dibahas dalam pertemuan sebelumnya (Sumarno,

Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan proses pembukaan, memaparkan apa yang

akan dilakukan atau sebagai langkah pengenalan terhadap hal yang akan

dibicarakan. Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah untuk

mempersiapkan proses agar berjalan dengan baik. Pada langkah ini, peserta

dikondisikan untuk dapat mengikuti pendalaman iman yang akan berlangsung.

2) Penyajian suatu pengalaman hidup

Pengalaman hidup disajikan atau dibawakan oleh pendamping.

Pengalaman yang disajikan adalah pengalaman yang konkret. Pengalaman yang

disajikan harus sesuai dengan tema yang diangkat dalam pertemuan. Pengalaman

yang disajikan dapat diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan bagi peserta

(Sumarno, Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan pengungkapkan pengalaman

(34)

mengungkapkan pengalaman hidupnya sesuai tema. Pendamping berperan

menciptakan suasana terbuka untuk pengungkapan pengalaman hidup.

Pendamping perlu membuat peserta berani untuk berbicara saat pertemuan dengan

cara bertanya kepada peserta dengan pertanyaan yang mudah untuk dijawab

hingga dengan demikian umat terkondisi berbicara. Peserta dikondisikan untuk

membuka dirinya mengungkapkan pengalaman hidupnya. Peserta tidak hanya

pasif tetapi juga aktif dengan mau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh

pendamping yang memandu jalannya pertemuan.

3) Pendalaman pengalaman hidup

Peserta diajak untuk mengaktualisasikan pengalaman yang disajikan ke

dalam situasi hidup mereka. Biasanya terjadi dalam kelompok kecil dengan

pertanyaan-pertanyaan pendalaman yang merangsang peserta mengambil bagian

dalam sikap moral konkret sesuai dengan tema untuk hidup sehari-hari (Sumarno,

Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan pengolahan terhadap pengalaman aktual

peserta yang mudah timbul dengan bantuan kisah di atas. Pengolahan itu

merupakan sebuah refleksi atas pengalaman aktual peserta. Tujuan dari langkah

ini adalah ditemukannya makna yang lebih baik dari pengalaman hidup yang

pernah dilalui. Pendamping membantu peserta dalam mengolah pengalaman

hidupnya.

4) Rangkuman pendalaman pengalaman hidup

Langkah ini menyajikan pandangan umum dari sikap-sikap yang dapat

diambil oleh peserta berhubung dengan tema dalam penyajian pengalaman hidup.

(35)

yang hendak dipakai dalam langkah berikutnya (Sumarno, Ds, 2009: 11). Langkah

ini merupakan penentuan sikap hidup sesuai dengan iman dan tradisi Kristiani.

Tujuan dari langkah ini adalah membentuk sikap hidup ketika seseorang

menghadapi suatu permasalahan. Pada langkah ini, pendamping berperan

membantu peserta agar dapat menentukan dan menemukan serta dapat memiliki

sikap hidup yang sesuai dengan iman dan tradisi Kristiani.

5) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja

Pendamping membagikan kepada peserta teks Kitab Suci yang digunakan

beserta pertanyaan sekitar tema dan hal-hal yang mengesan dari pesan inti teks.

Teks dibaca dan direnungkan serta direfleksikan dengan bantuan pertanyaan

(Sumarno, Ds, 2009: 11-12). Pada langkah ini, peserta sungguh menggunakan

inderanya mendengar dan melihat. Tujuan dari langkah ini adalah penyampaian

tradisi Kristiani. Peran pendamping adalah mengkondisikan agar penyampaian

tradisi Kristiani dapat ditangkap oleh umat dengan baik. Peserta perlu mendengar

teks yang dibaca dengan cermat dan juga melihat ayat demi ayat dengan ikut

membacanya.

6) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi

Peserta mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah

direnungkan. Pendamping membantu peserta untuk mencari dan mengungkapkan

pesan inti menurut mereka sehubungan dengan tema agar pesan inti teks dapat

diungkap dengan baik dan obyektif maka pendamping harus membaca beberapa

buku referensi. Suasana terbuka diciptakan oleh pendamping guna pengungkapan

(36)

interpretasi teks Kitab Suci yang disajikan terhadap pengalaman hidup peserta.

Tujuan yang hendak dicapai adalah agar nilai-nilai Kristiani meresap dalam

kehidupan umat.

7) Rangkuman pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi

Pesan inti yang telah diungkap peserta digabungkan dengan pesan yang

disampaikan pendamping. Pendamping memberi masukan dari persiapan yang

telah dilakukan sebelumnya. Masukan itu dibatasi pada pesan pokok yang dapat

dimengerti oleh peserta sesuai dengan tema (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari

langkah ini adalah inspirasi yang kaya dari Kitab Suci atau Ajaran Gereja dapat

ditimba umat untuk perjalanan hidup mereka.

8) Penerapan dalam hidup konkrit

Peserta diajak untuk mengambil beberapa kesimpulan praktis sehubungan

dengan tema untuk hidup pribadi menggereja dan memasyarakat. Peserta dengan

hening diajak juga merenungkan dan mengumpulkan buah-buah pribadi dari

pertemuan itu (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari langkah ini adalah mengajak

peserta untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi Kristiani.

9) Penutup

Penutup pertemuan dimulai dengan mengungkapkan doa-doa spontan

sebagai buah-buah pertemuan atau doa umat yang lain dan diakhiri dengan doa

penutup dan lagu penutup yang sesuai dengan tema (Sumarno, Ds, 2009: 12).

Langkah ini merupakan akhir dari seluruh proses pendalaman iman. Tujuannya

(37)

b. Model Biblis

Katekese umat dengan model biblis merupakan model katekese yang

bertitik tolak pada teks Kitab Suci. Katekese dengan model ini mengajak peserta

untuk mendalami sabda Tuhan, merenungkan dan berusaha mewujudkannya

dalam kehidupan sehari-hari. Katekese model ini mengusahakan agar umat

mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya dengan merenungkan sabda Tuhan

dalam Kitab Suci. Langkah-langkah pokok dari model ini adalah:

1) Doa Pembukaan dan atau Nyanyian Pembukaan

Lagu yang diangkat hendaknya disesuaikan dengan tema Kitab Suci atau

Tradisi yang ditentukan dalam pertemuan pendalaman iman. Tema yang disajikan

dihubungkan dengan tema pertemuan sebelumnya (Sumarno, Ds, 2009: 12).

Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah membuka proses

pendalaman iman agar berjalan dengan baik. Peserta mengalami pengkondisian

untuk dapat mengikuti pendalaman iman.

2) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi

Peserta membacakan kutipan yang dipilih langsung dari Kitab Suci. Agar

mempermudah proses sebaiknya teks diperbanyak. Kemudian diluangkan waktu

hening untuk merefleksikan pertanyaan yang diberikan (Sumarno, Ds, 2009: 12).

Tujuan dari langkah ini adalah teks Kitab Suci yang menjadi sentral dari model ini

sungguh dipahami.

3) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi

Di dalam kelompok kecil, masing-masing peserta membagikan jawaban

(38)

diungkapkan peserta. Rangkuman jawaban itu dihubungkan dengan apa yang

dipersiapkan pendamping. Dengan demikian, peserta diperkaya sebab yang

disampaikan pendamping berasal dari berbagai sumber. Isi dan pesan teks yang

relevan dengan peserta disampaikan oleh pendamping sebagai narasumber

(Sumarno, Ds, 2009: 12-13). Tujuan dari langkah ini adalah menampilkan pesan

teks Kitab Suci kepada peserta.

4) Pendalaman pengalaman hidup

Langkah ini memungkinkan peserta menghubungkan pesan teks dengan

pengalaman hidupnya sesuai dengan tema seperti peristiwa yang terdapat dalam

budaya setempat, dalam hidup bermasyarakat, menggereja, berkeluarga, bekerja

dan belajar (Sumarno, Ds, 2009: 13).

5) Penerapan dalam hidup peserta

Refleksi dan memikirkan langkah konkret dalam hidup sehari-hari

merupakan proses yang dilakukan peserta pada langkah ini. Semangat kekuatan

dan jiwa dari pesan teks diwujudkan (Sumarno, Ds, 2009: 13). Tujuan dari

langkah ini ialah agar apa yang telah didapatkan dalam pendalaman iman dapat

diterapkan dalam hidup sehari-hari. Pendamping mengarahkan agar peserta dapat

menyusun rencana konkretnya. Hambatan dan tantangan untuk mewujudkan niat

dibicarakan bersama.

6) Penutup

Langkah ini merupakan refleksi pribadi tentang kesulitan untuk

mewujudkan pesan teks, sarana apa saja yang diperlukan, dan apa saja yang

(39)

ditutup dengan doa-doa spontan dan diakhiri oleh pendamping dengan doa yang

merangkum seluruh jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 13).

c. Model Campuran

Katekese umat dengan model campuran bertitik tolak pada pengalaman

hidup peserta dan Kitab Suci. Model ini membantu umat dalam

mengkonfrontasikan antara nilai-nilai pengalaman hidup peserta dengan nilai-nilai

tradisi maupun dengan teks Kitab Suci. Model ini berlangsung melalui

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pembukaan

Mengungkapkan pokok-pokok tema pertemuan dan menghubungkan

dengan tema-tema pertemuan sebelumnya. Lagu yang diangkat disesuaikan

dengan tema pertemuan yang dibahas (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini

merupakan pengantar masuk kependalaman iman. Peserta diajak oleh pendamping

untuk masuk dalam suasana pendalaman iman.

2) Pembacaan teks Kitab Suci atau Tradisi

Pembacaan teks dilakukan secara langsung dari Kitab Suci. Jika perlu

pembacaan dapat dilakukan sekali lagi oleh pendamping. Kemudian disediakan

waktu hening untuk merenungkan teks yang dibacakan (Sumarno, Ds, 2009: 13).

Tujuan pada langkah ini ialah agar peserta mengetahui tentang teks yang dipilih

(40)

3) Penyajian pengalaman hidup

Penyajian dapat dilakukan dengan media komunikasi seperti koran,

majalah, slide video dan lain-lain. Hal ini bertujuan membangkitkan semangat dan

gairah peserta untuk menanggapinya (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini

merupakan pengungkapan pengalaman hidup. Tujuannya untuk mengetahui

keprihatinan dan permasalahan apa yang sedang dihadapi oleh umat.

4) Pendalaman pengalaman hidup dan teks biblis atau Tradisi

Peserta mengungkapkan kesan dan pesannya. Peserta mencari apa yang

objektif dalam pengalaman tadi. Peserta diajak menemukan sendiri tema dan

pesan pokok dari penyajian tadi. Peserta merefleksikan dan menganalisa pesan itu

untuk hidup sehari-hari dalam hubungannya dengan teks. Pendamping

memberikan suatu kesimpulan dan bilamana mungkin tindakan konkret (niat)

dipikirkan bersama (Sumarno, Ds, 2009: 14). Tujuan pada langkah ini ialah agar

peserta dapat memperoleh inspirasi hidup dari teks Kitab Suci.

5) Penerapan meditatif

Menghubungkan pengalaman konkret dengan teks Kitab Suci. Diharapkan

peserta dapat menarik pelajaran nyata dalam hidup berkeluarga, menggereja dan

memasyarakat (Sumarno, Ds, 2009: 14). Peserta dapat menerapkan nilai dan

tradisi Kristiani dalam hidupnya.

6) Evaluasi singkat

Evaluasi dilakukan terhadap isi, tema, langkah-langkah dan proses yang

(41)

dapat menjadi lebih baik dan lebih relevan dengan kebutuhan dan aspirasi peserta

(Sumarno, Ds, 2009: 14).

7) Penutup

Diawali dengan suasana hening dan dilanjutkan doa-doa spontan dari

peserta. Kemudian pendamping mengakhiri dengan doa penutup yang merangkum

jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 14). Langkah ini bertujuan mengakhiri

pertemuan pendalaman iman. Diharapkan peserta dengan bagian penutup ini dapat

merasa diteguhkan dan merasa mendapat tugas perutusan.

6. Shared Christian Praxis Sebagai Contoh Katekese Umat Model

Pengalaman Hidup

Katekese dengan model SCP ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas

H. Groome seorang ahli katekese yang berusaha mencari pendekatan katekese

yang handal dan efektif, yaitu model yang sungguh mempunyai dasar teologis

yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki

keprihatinan pastoral yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab

kebutuhan para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka.

Untuk lebih jelasnya, pada bagian ini akan diuraikan pengertian model SCP serta

langkah-langkah SCP.

a. Pengertian SCP

Model SCP merupakan salah satu model katekese yang menekankan

proses yang bersifat dialogis partisifatif. Tujuan dari proses ini adalah mendorong

(42)

dengan tradisi dan visi Kristiani. Dan pada akhirnya baik secara pribadi maupun

bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin

terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, bermula

dengan refleksi secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya,

kemudian dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi Kristiani supaya muncul

pemahaman sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi dan praksis baru.

Orientasi model ini adalah praksis peserta sebagai subyek yang bebas dan

bertanggung jawab (Heryatno WW, 1997:1).

Sesuai dengan tiga huruf (S-C-P), model ini memiliki tiga komponen yaitu

Praksis, Kristiani dan “Shared”. Penjelasan masing-masing komponen itu sebagai

berikut:

1) Praksis

Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan sebagai

tindakan. Praksis mengacu pada seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang

mempunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan

antara praktek dan teori yang membentuk suatu kreativitas, sedangkan refleksi

kritis dan kesadaran historis akan mengarah pada keterlibatan baru.

Praksis mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan yaitu aktivitas,

refleksi dan kreativitas. Ketiga unsur itu berfungsi membangkitkan

berkembangnya imajinasi, meneguhkan kehendak, dan mendorong praksis baru

yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral. Penjelasan singkat arti

(43)

Unsur pertama, aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran,

tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan

medan untuk perwujudan diri sebagai manusia.

Unsur kedua, refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis

pribadi dan sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap “tradisi” dan “visi”

iman kristiani sepanjang sejarah.

Unsur ketiga, kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan

refleksi yang menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa

depan yang terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno WW,

F.X, 1997:2).

2) Kristiani

Maksud Kristiani dalam SCP adalah mengusahakan agar kekayaan iman

Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk

kehidupan peserta. Kekayaan iman Kristiani yang ditekankan dalam model ini

adalah pengalaman iman tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.

Tradisi Kristiani mengungkapakan realitas iman jemaat yang hidup dan

sungguh dihidupi. Ini mengungkapkan tanggapan manusia terhadap pewahyuan

diri Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, tradisi

senantiasa mengundang keterlibatan praktis. Sedang visi Kristiani menegaskan

tuntutan dan janji Allah yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan

pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap

kemuridan. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai

(44)

3) Shared

Istilah shared atau sharing berasal dari kata share yang artinya berbagi.

Dalam katekese, sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik,

partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Istilah ini juga merupakan proses

katekese yang menekankan unsur dialog partisipatif peserta yang ditandai dengan

suasana kebersamaan, persaudaraan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam sharing

semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap mendengarkan dengan

hati pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan kebebasan hati (Heryatno

WW, F.X, 1997:4).

Dikatakan pula bahwa sharing berarti berbagi rasa, pengetahuan serta

saling mendengarkan pengalaman orang lain. Dalam dialog ada dua unsur penting

yaitu membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan tidak sama dengan

berbicara saja atau omong-omong terus menerus tanpa memberi kesempatan pada

orang lain untuk berbicara. Membicarakan berarti menyampaikan apa yang

menjadi kebenaran pengalaman sendiri. Sedangkan mendengarkan tidak sama

dengan mendengar. Mendengarkan berarti mendengarkan dengan hati dan rasa

tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan melibatkan

seluruh diri sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap

apa yang dikomunikasikan oleh orang lain (Sumarno, Ds, 2009: 17).

b. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP)

SCP merupakan suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman

(45)

berurutan dan terus mengalir. Thomas H. Groome mengemukakan lima langkah

pokok yang didahului dengan langkah awal/ pendahuluan sebagai berikut:

1) Langkah awal (0) : Pemusatan aktivitas

Langkah ini bertujuan mendorong peserta sebagai subyek utama untuk

menemukan topik pertemuan yang bersumber dari kehidupan konkret peserta

yang pada akhirnya menjadi tema dasar pertemuan. Dengan demikian, tema dasar

pertemuan dapat sungguh-sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup,

permasalahan dan kebutuhan peserta. Pemilihan tema pertemuan perlu

memperhatikan situasi konkret peserta, tujuannya, dinamika pendekatan perlu

yang bersifat dialogis dan sumber-sumber iman Kristiani (Heryatno WW, F.X,

1997:10). Tema dasar hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta untuk

terlibat aktif dalam pertemuan, menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak

bertentangan dengan iman Kristiani. Untuk itu, seorang pendamping harus dapat

membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat.

Pada tahap ini pendamping dapat menggunakan sarana-sarana yang

menunjang untuk dapat menemukan salah satu aspek yang dapat menjadi topik

dasar pertemuan. Sarana-sarana tersebut dapat melalui cerita, bahasa foto, poster,

video, kaset suara lainnya yang mendukung dalam pemilihan tema bersama.

Untuk itu, seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat.

Disamping itu, pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan

fisik yang mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi secara aktif dan kreatif

(46)

2) Langkah pertama : Mengungkapkan pengalaman hidup peserta

Langkah ini membantu dan mendorong peserta supaya menyadari

pengalaman mereka sendiri, menginterpretasikan, membahasakan dan

mengkomunikasikan pada peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup ini bisa

berupa pengalaman peserta sendiri, atau kehidupan dan permasalahan yang terjadi

dalam masyarakat, ataupun gabungan keduanya yang dipandang cocok dengan

tema yang sudah digali bersama (Heryatno WW, F.X, 1997:11).

Bertitik tolak dari pemusatan aktivitas, langkah ini diawali dengan

tuntunan pertanyaan sebagai bantuan yang sesuai dengan topik dasar. Perumusan

pertanyaan harus jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri orang, sesuai

dengan latar belakang peserta dan bersifat terbuka. Kemudian peserta dapat

membagikan pengalaman hidupnya dan tidak boleh ditanggapi sebagai sebuah

laporan. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan dengan

gaya dan pilihan mereka. Mereka dapat mengungkapkannya melalui puisi,

nyanyian, tarian, gambar, maupun yang lainnya (Heryatno WW, F.X, 1997:12).

Pada langkah ini, pendamping berperan sebagai fasilitator yang

menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat dan mendukung peserta untuk

membagikan pengalaman hidupnya berkaitan dengan tema dasar. Bila pesertanya

banyak, pendamping perlu membaginya dalam kelompok-kelompok kecil.

Pendamping hendaknya tidak memaksakan peserta untuk membagikan

pengalamannya, melainkan harus sabar, ramah, hormat, bersahabat, peka terhadap

(47)

3) Langkah kedua : Mendalami pengalaman hidup peserta

Pada langkah kedua ini pendamping mendorong peserta untuk lebih aktif,

kritis, dan kreatif dalam memahami dan mengolah keterlibatan peserta. Katekese

mau membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada

tingkat kesadaran terdalam, mengolah dan menemukan maknanya yang

mendorong peserta untuk melangkah pada praksis baru (Heryatno WW, F.X,

1997:14).

Pada langkah ini, pendamping dituntut untuk dapat menciptakan suasana

pertemuan yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran

peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta supaya

mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam,

menguji pemahaman, kenangan, imajinasi peserta, menyadari kondisi peserta,

lebih-lebih mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap

pengalaman hidupnya (Sumarno, Ds, 2009: 20). Setiap peserta diajak untuk

berkomunikasi namun perlu menghindari suatu kesan yang sifatnya memaksa.

Disini, pendamping perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat

terbuka dan menunjukkan sikap siap untuk mendengarkan. Pendamping perlu juga

menyadari keadaan peserta karena refleksi merupakan tahap yang sulit yang

membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk memperkembangkannya

(Heryatno WW, F.X, 1997:18-19).

4) Langkah ketiga : Menggali pengalaman iman kristiani

Pokok dari langkah ketiga ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi

(48)

konteks dan latar belakang kebudayaannya berbeda. Tradisi Kristiani

mencerminkan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan ilahi. Tradisi

hadir dalam Kitab Suci, liturgi, adat kebiasaan jemaat, doa, devosi, credo, dogma,

teologi, sakramen, seni dalam gereja, kepemimpinan dan kehidupan jemaat

beriman. Visi Kristiani merupakan suatu konsekuensi dari janji dan tanggung

jawab yang muncul pada tradisi. Visi Kristiani mengungkapkan janji keselamatan

dan kepenuhan yang mendorong peserta pada tanggung jawab mereka untuk

menjadi partner Allah dalam mewujudkan kehendakNya yaitu menyelamatkan

manusia (Heryatno WW, F.X, 1997:19-20).

Pada langkah ini, pendamping menginterpretasikan dan

mengkomunikasikan aspek tradisi dan visi Kristiani kepada peserta. Dalam

menginterpretasikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai tradisi dan visi Kristiani,

pendamping perlu memiliki latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran,

menghormati tradisi dan visi Kristiani yang otentik dan normatif, kritis

mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan visi Kristiani,

menggunakan metode interpretasi yang sifatnya menegaskan, meneguhkan,

mempertanyakan, dan mengundang keterlibatan peserta.

Pada tahap ini, pendamping dapat berfungsi sebagai “guru” dan sekaligus

sebagai “murid”. Sebagai guru, pendamping bukanlah pengajar tetapi partner,

yang bersama peserta berusaha untuk menyadari kehendak Allah. Sedangkan

sebagai murid, pendamping siap belajar dan maju untuk segala ilmu. Sementara

itu dalam memberikan penafsiran, pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian

(49)

pendamping harus membuat persiapan yang matang sebelum melaksanakan

proses katekese (Sumarno, Ds, 2009: 21).

5) Langkah keempat : Menerapkan iman Kristiani dalam situasi konkrit peserta

Pada langkah keempat ini, peserta mendialogkan pengolahan mereka pada

langkah pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga. Peserta diberi

kebebasan untuk mempertimbangkan dan menilai mengenai nilai tradisi dan visi

Kristiani berdasar situasi konkret. Peserta dapat mengemukakan apa yang

sungguh-sungguh mereka pikirkan serta mengungkapkan perasaan, sikap,

persepsi, evaluasi, dan penegasan yang menyatakan kebenaran, nilai, serta

kesadaran yang diyakini (Heryatno WW, F.X, 1997:32-33).

Pada tahap ini, pendamping perlu menghormati kebebasan dan hasil

penegasan dari peserta dengan meyakinkan peserta bahwa mereka mampu

mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai tradisi dan

visi Kristiani. Oleh karena itu, pendamping hendaknya mendorong peserta untuk

merubah sikap dari pendengar pasif menjadi pihak aktif. Selain itu, pendamping

perlu menyadari bahwa tafsirannya bukan merupakan harga mati, juga bukan

merupakan kebenaran satu-satunya (Sumarno, Ds, 2009: 21-22).

6) Langkah kelima : Mengusahakan suatu aksi konkret

Pada langkah kelima ini, pendamping mengajak peserta agar sampai pada

keputusan praktis, tidak perlu muluk-muluk tetapi bisa dilaksanakan. Keputusan

itu harus mendorong dan menyemangati peserta untuk setia melaksanakannya.

Keputusan itu perlu dipahami sebagai tanggapan jemaat kristiani terhadap

(50)

dalam kontinuitasnya dengan tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visi Kristiani.

Keprihatinannya adalah praksis yaitu mendorong keterlibatan baru dan dengan

cara itu menggarisbawahi peran peserta sebagai subyek yang dipanggil untuk ikut

mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dengan jalan mengusahakan metanoia

(pertobatan pribadi dan sosial yang terus menerus) (Heryatno WW, F.X, 1997:49).

Pada tahap ini pendamping harus sungguh-sungguh mengusahakan agar

peserta sampai pada keputusan pribadi dan bersama. Pendamping dapat

merangkum hasil langkah pertama sampai keempat, supaya dapat membantu

peserta dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, pendamping perlu

menekankan pada peserta sikap optimis dan realistis terhadap masa depan yang

lebih baik dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir dalam situasi apapun

(Sumarno, Ds, 2009: 22).

B. Semangat Persaudaraan 1. Pengertian Persaudaraan

Pengertian persaudaraan berasal dari kata dasar saudara. Dalam bahasa

Indonesia yang dimaksud dengan saudara adalah “orang yang seibu seayah (atau

hanya seibu atau hanya seayah saja) adik atau kakak, orang yang bertalian

keluarga, sanak, baik dari pihak ibu maupun dari ayahnya, orang yang segolongan

(sepaham, seagama, sesuku, sederajat, dan sebagainya) kawan, teman" (dengan

kata lain segala sesuatu yang hampir serupa atau sejenis). Dengan demikian, yang

dimaksud dengan persaudaraan adalah persahabatan yang sekarib saudara,

(51)

kamus, 1990:788). Mengacu pada definisi di atas dapat dikatakan bahwa akhirnya

kata saudara dapat ditujukan kepada semua orang.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru makna persaudaraan mendapat

kepenuhannya dalam diri Yesus. Yesus menjadikan semua orang yang percaya

kepada Allah sebagai saudara (Mat. 12:50, Mrk. 3:35, Luk. 8:21). Dalam hal ini

persaudaraan tidak sekedar dipandang sebagai hubungan sedarah atau sebangsa

melainkan persaudaraan yang meniadakan batas-batas fisik, golongan darah, suku,

bangsa, kelompok jender dan sebagainya.

Dalam GS art. 24 dikatakan bahwa Allah yang sebagai Bapa memelihara

semua orang, menghendaki agar mereka semua menjadi satu keluarga dan saling

menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut

gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal

mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Oleh karena itu, persaudaraan perlu

dikembangkan dengan semua orang tanpa terkecuali dikarenakan satu dasar yang

sama dan tujuan yang sama yaitu Allah sendiri.

Allah memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan melainkan

sebagai anggota suatu masyarakat juga. Maka dalam pewartaanNya Ia

memerintahkan kepada putra-putriNya supaya mereka bertingkah laku sebagai

saudara satu terhadap lainnya (GS art. 32). Dengan demikian, persaudaraan

merupakan suatu anugerah dan sekaligus merupakan penugasan untuk

mengembangkannya lebih lanjut.

Berdasar pada semua itu maka dapat dikatakan bahwa persaudaraan adalah

(52)

didasarkan pada cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama serta diwujudkan dengan

sikap saling memberi diri dan kemampuan guna membantu perkembangan orang

lain dalam menemukan eksistensi dirinya atau relasi yang saling

memanusiawikan.

2. Ciri-ciri Hidup Persaudaraan

Persaudaraan adalah suatu hubungan yang harmonis antara manusia

dengan sesamanya. Hubungan tersebut mengandaikan orang mampu menerima

keberadaan dan kehadiran orang lain apa adanya. Persaudaraan senantiasa

memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar. Orang menerima kehadiran

sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu tidak tertuju demi suatu

kepentingan tertentu, tetapi berdasarkan sikap menghargai orang lain menuju

kedewasaan pribadi. Dalam hubungan yang sejajar ini akan terjadi kegiatan saling

membantu dalam kesulitan dan saling mendukung dalam mengejar cita-cita,

saling belajar dan menghormati perbedaan yang dimiliki setiap orang, saling

mengasihi, memahami watak dan tabiat orang lain, saling memaafkan bila ada

kesalahpahaman, saling tegur sapa, semangat untuk saling mendengarkan keluh

kesah orang lain, penuh perhatian dan ramah kepada sesama. Sejumlah hal ini

menjadikan pergaulan lebih luas dan hidup pribadi menjadi semakin dewasa.

Inilah yang merupakan ciri-ciri hidup persaudaraan.

Berkaitan dengan ini, Setiap orang hendaknya mampu menjalin relasi

persaudaraan yang intim dengan sesamanya yang didasarkan pada keberadaan

(53)

melalui manusia gambaran Allah ditemukan, di dalam diri manusia nilai-nilai ilahi

ditemukan. Atas dasar ini, maka orang dapat menunjukkan persaudaraan yang

hangat kepada setiap orang.

3. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan

Persaudaraan dalam suatu komunitas bisa tetap bertahan karena adanya

nilai-nilai yang mendukung persaudaraan itu. Nilai-nilai tersebut dapat membantu

tetap terjaganya rasa persaudaraan. Nilai-nilai itu antara lain:

a. Cinta Kasih

Cinta kasih merupakan dasar untuk mewujudkan persaudaraan sejati.

Tanpa ada cinta kasih semangat persaudaraan tidak akan pernah terjalin, karena

hakekat dari cinta kasih adalah Allah. Cinta kasih kepada Allah dapat kita

wujudkan dalam cinta kasih kepada sesama. Dalam cinta kasih, orang mau

menerima dan mengakui segala kekurangan dan kelebihan sesamanya. Cinta kasih

berarti hormat akan pribadi manusia (KWI, 1996:191). Di dalam cinta kasih

segala perbedaan menjadi anugerah, maka sekalipun mereka berasal dari suku,

bahasa, budaya, latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa satu dan

bersaudara. Segala persoalan yang muncul akibat dari perbedaan bisa diatasi

dengan baik dan damai, karena cinta kasih menjadi dasarnya.

Semangat cinta kasih yang dimiliki oleh para seminaris diharapkan bisa

memampukan mereka untuk saling menerima orang lain apa adanya. Cinta kasih

menemukan arti yang paling dalam ketika masing-masing orang mengasihi orang

(54)

golongan, budaya, dan seterusnya) melainkan karena ia adalah saudara yang

berasal dari satu Allah, yaitu Allah Bapa dan menerima panggilan yang sama.

b. Keadilan

Persaudaraan mendorong orang untuk bersikap adil terhadap sesamanya,

karena persaudaraan menjadikan individu lain, bagian dari hidupnya yakni

sebagai saudara. Keadilan berarti tindakan menghormati dan memperlakukan

semua orang sesuai dengan martabat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya

(Adisusanto, 1995:7). Adil juga berarti tidak membeda-bedakan atau tanpa

diskriminasi. Dengan kata lain, adil menempatkan orang pada tempat yang

semestinya, dengan tidak melihat latar belakang, suku, budaya, dan status

sosialnya. Di sini relasi di bangun dengan menempatkan masing-masing dalam

tataran subjek dengan subjek, bukan dalam tataran atasan dengan bawahan yang

bisa mengakibatkan terjadinya penindasan satu terhadap yang lainnya (GS art.

29).

Nilai keadilan yang diajarkan di asrama diharapkan dapat membantu para

seminaris untuk memperlakukan teman-temannya setara dengan dirinya, tidak ada

yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tidak ada pula yang lebih berkuasa atau yang

dikuasai, semua sama pentingnya dan mempunyai fungsi dan peranannya

masing-masing. Diharapkan, hal ini dapat menjadikan para seminaris saling mencintai dan

saling menghargai antar satu dengan yang lainnya.

c. Solidaritas

Solidaritas berasal dari kata “solider” yang berarti mempunyai atau

(55)

(Tim Penyusun Kamus, 1990:853). Solidaritas sangat dibutuhkan untuk

mempererat relasi persaudaraan. Dengan solidaritas, masing-masing orang bisa

memahami dan mengerti akan perasaan dan keadaan orang lain. Dengan

demikian, orang bisa sehati dan seperasaan terhadap orang lain, tidak mudah

menghakimi dan memandang negatif terhadap orang lain.

Solidaritas yang ada di dalam asrama membantu memperkokoh pertalian

persaudaraan antar anak-anak seminari menengah. Sikap ini meliputi keprihatinan

bersama terhadap sesama yang kurang beruntung. Solidaritas menjadikan

kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari para seminaris menjadi

kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bersama.

d. Toleransi

Toleransi adalah orang yang toleran menerima atau menanggung beban,

bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat berbeda dan berhati lapang

terhadap orang-orang yang berlainan aliran atau pendapat. Sikap toleran ialah

mengakui kebebasan dan hak-hak asasi orang lain untuk berpandangan dan hidup

secara lain (Heuken, 2005:255).

Toleransi dapat dipahami sebagai sikap orang yang mengalah,

membiarkan, memperbolehkan, atau sabar menahan diri, lapang dada terhadap

keyakinan, pandangan, kebiasaan, kelakuan orang lain yang berbeda bahkan

bertentangan dengan dirinya sendiri. Tentu itu tidak cukup, sebaiknya sampai

pada toleransi sejati. Toleransi sejati adalah sikap mau menghargai dan

(56)

mengakui dan menerima kebebasan dan hati nurani orang lain untuk

berpandangan dan hidup berbeda.

Nilai toleransi yang dihayati dalam asrama menjadi salah satu penopang

kelangsungan hidup persaudaraan anak-anak seminari menengah. Sikap toleransi

membantu mereka untuk menyadari dan menerima bahwa setiap orang diciptakan

sebagai pribadi, diberi akal budi, kebebasan dan hati nurani serta dituntut untuk

bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sikap toleransi menjadikan

perbedaan dan kemajemukan yang ada di dalam asrama tidak menjadi ancaman

atau sumber konflik, melainkan sebagai suatu anugerah yang menyempurnakan

kekurangan masing-masing. Toleransi menjadikan keanekaragaman menjadi

menarik karena di dalam perbedaan manusia dapat hidup dan berkembang

menjadi dirinya sendiri.

e. Perdamaian

Seluruh umat manusia merindukan damai. Damai tidak hanya berarti tidak

berperang, damai lebih mendalam dan luas adalah “damai sejahtera”. Damai

berarti mengharapkan kebahagiaan yang utuh, sempurna, yang mencakup semua

aspek hidup manusia, mulai dari kebutuhan jasmani dan jaminan hidup, sampai ke

aspek-aspek kerohanian yang paling mendalam (GS art. 78). Dengan kata lain,

damai mencakup kesehatan jasmani-rohani dan kemerdekaan dalam

mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh dan sempurna.

Damai dapat dibangun dengan memajukan berbagai aspek hidup manusia.

Hidup damai akan tercipta apabila masing-masing orang tidak lagi melihat

(57)

para seminaris untuk menciptakan suasana damai di dalam kebersamaan dengan

saling tegur sapa, menghindari persaingan dan perselisihan, serta saling

mengampuni.

4. Hal-Hal yang Menghambat Persaudaraan

Di samping nilai-nilai yang mengembangkan persaudaraan yang ada di

dalam asrama, ada juga nilai-nilai yang menghambat persaudaraan. Nilai-nilai ini

menjadikan putusnya sebuah relasi, terkoyaknya sebuah persaudaraan, bahkan

bisa menimbulkan dendam yang melahirkan kesengsaraan. Manusia hendaknya

dijiwai oleh cinta kasih, sebab Allah menghendaki agar manusia saling mengasihi.

Dengan cinta maka segala perbedaan yang ada tidak menjadi suatu persoalan (AG

art. 12). Persaudaraan bisa terpecah atau mati apabila ditunggangi oleh

kepentingan-kepentingan lain. Nilai-nilai yang menghambat persaudaraan tersebut

antara lain:

a. Egoisme

Egoisme merupakan sikap mementingkan diri sendiri. Di sini, segala

sesuatu dipusatkan pada dirinya sendiri. Sikap egoisme muncul karena orang tidak

merasa membutuhkan orang lain dan tidak punya orientasi untuk kebahagiaan

orang lain. Masing-masing orang hanya melakukan sesuatu demi kepentingan diri

sendiri. Egoisme dapat menjadi penghambat persaudaraan karena sikap seperti ini

menyebabkan kesengsaraan dan orang tidak lagi mempunyai kepekaan terhadap

masalah orang lain, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, sulit

Gambar

gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal
Tabel 1. Variabel Penelitian
Tabel 2. Identitas responden (N = 60)
Tabel 3. Pemahaman siswa mengenai semangat persaudaraan (N = 60)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) maka daerah aliran sungai, kawasan hutan lindung dan wilayah-wilayah lainnya yang memenuhi

 Sub Kompetensi Sub Kompetensi: : Mahasiswa mampu Mahasiswa mampu menghitung kehilangan hujan oleh proses menghitung kehilangan hujan oleh proses evaporasi,

Pada penelitian sebelumnya telah dikuasai teknik FISH untuk pengamatan aberasi kromosom stabil (translokasi) dengan menggunakan whole kromosom probe tunggal dan

• Anestesi dan Perawatan Intensif: meliputi pokok bahasan tentang resusitasi, anaestesia dan analgesia, manajemen kasus kegawatdaruratan di rumah sakit • Ilmu Penyakit Kulit

digunakan sebagai media pembelajaran. Flip book ini bisa digunakan secara individu maupun kelompok. Seperti halnya media pembelajaran lainnya, flip book mempunyai

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur konduktivitas dan resistivitas air laut adalah dengan melakukan pengukuran secara tidak langsung yakni dengan