UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP
KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Widaryanto NIM: 041124017
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk yang tercinta Ayahku (Anes Ronseng), Ibuku (Sunartiyah), Adikku (Supriyono, Ratnawati dan Indra Septiawan),
Istriku (Theresia Ria Noviana), Anakku (C. Zerry Enggank Pratama) dan Siswa-siswa SMU Seminari St. Paulus Nyarumkop
v MOTTO
”Berbahagialah orang yang bertahan dalam percobaan,
sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barang siapa yang mengasihi Dia”.
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ”UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT”. Penulis memilih judul ini berpangkal dari keprihatinan penulis terhadap situasi persaudaraan yang terjadi dalam kehidupan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop. Pada kenyataannya semangat persaudaraan di seminari belum dialami sepenuhnya oleh para seminaris. Para siswa seminari belum mampu menerima kehadiran orang lain apa adanya dan lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Disamping itu pembinaan semangat persaudaraan yang dilakukan oleh pembina seminari masih kurang berjalan sebagaimana mestinya. Pembina perlu tanggap dengan permasalahan yang dihadapi oleh para siswa seminari yakni dengan mengusahakan materi, metode, dan sarana yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan para seminaris.
Persoalan skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan semangat persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat melalui katekese umat sehingga hal-hal yang menghambat persaudaraan dapat diatasi dengan semestinya. Untuk mengetahui sejauhmana persaudaraan para seminaris, maka diadakan penelitian melalui pengumpulan data di lapangan dengan menyebarkan kuesioner kepada para siswa seminari. Disamping itu, penulis juga melakukan studi pustaka untuk memperoleh pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat dipakai membantu para seminaris mengembangkan persaudaraan di seminari.
ix ABSTRACT
This thesis is entitled "INITIAL EFFORT TO ENHANCE THE SPIRIT OF BROTHERHOOD OF STUDENTS-STUDENT SMA SEMINARY SAINT PAUL WEST KALIMANTAN NYARUMKOP TRACES THROUGH catechesis. " The author chose this title stems from the concerns of the authors of the fraternity situation that occurred in the life at the Seminary High St. Paul Nyarumkop. In fact the spirit of brotherhood in the seminary has not been fully experienced by the seminarians. The seminary students are not able to accept the presence of other people as it is and more concerned with its own interests and his group. Besides coaching the spirit of brotherhood that carried out by builder seminary is still lacking running as it should. The coach needs to respond to the problems faced by the students of the seminary which is to seek the materials, methods and tools appropriate to the situation and needs of the seminarians.
The problem this thesis is how to promote the spirit of brotherhood in the Seminary High St. Paul Nyarumkop West Kalimantan through catechesis the people so that things that inhibit the fraternity can be addressed properly. To find out how far the brotherhood of the seminarians, then held research through data collection in the field by distributing questionnaires to seminary students. In addition, the authors also do library research to gain insights that are expected to be used to help seminarians develop a fraternity at the seminary.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa karena atas rahmat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”UPAYA AWAL MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT MELALUI KATEKESE UMAT”. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan limpah terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. H.J. Suhardiyanto SJ, selaku dosen pembimbing utama yang dengan kerelaan dan kesadaran mendampingi, memberi masukan serta mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga selesai.
2. Drs. Ya. C.H. Mardiraharjo, selaku penguji II sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan setulus hatinya membimbing, memberi perhatian, dan memberi dukungan kepada penulis.
3. Y.H. Bintang Nusantara, M. Hum, selaku penguji III yang memberi semangat dan kegembiraan dan meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan berkaitan dengan isi skripsi ini.
4. Para dosen dan Staf karyawan IPPAK yang telah memberikan dukungan selama ini.
xi
kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian, serta dukungan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
6. Siswa-siswa Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat yang memberikan dukungan kepada penulis dengan bersedia mengisi kuesioner yang disebarkan.
7. Ayahku Anes Ronseng, Ibuku Sunartiyah, Adikku Supriyono, Ratnawati dan Indra Septiawan dan sanak saudara yang tercinta, yang selalu menyemangati dan membiayai penulis selama studi di IPPAK.
8. Mertuaku F. Suparman dan Lidya Maryasih dan kakak iparku FX. Yoga Yuwana, S.Pd., Yulius Dedi Respiadi, AMK, Yohana Nely Damayanti, S.Psi., atas doa dan dukungannya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Spesial buat yang tercinta, Theresia Ria Noviana yang selalu berada disampingku saat aku membutuhkan seseorang untuk berbagi, baik suka maupun duka. Terima kasih atas kesabaran, kasih dan sayang yang telah yayang berikan.
10. Untuk buah hatiku, C. Zerry Enggank Pratama yang membuat hari-hariku menjadi lebih indah dan penuh warna.
11. Sahabatku Aci, Dede, Lapin, Hermas Jablay, Muji, Togar, Kentung, Maria, Sr. Yeni, FDCC., Sr. Olga, PRR., Santi, Anto yang selalu memberikan semangat dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Teman-teman seangkatan 2004-2006 yang telah meneguhkan, dan memberi
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penulisan ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 6
BAB II. KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN ... 8
A. Gambaran Umum Katekese Umat ... 8
1. Pengertian Katekese Umat ... 8
2. Isi Katekese Umat ... 9
3. Peserta Katekese Umat ... 10
4. Tujuan Katekese Umat ... 11
5. Model-Model Katekese Umat ... 13
xiv
b. Model Biblis ... 18
c. Model Campuran ... 20
6. Shared Christian Praxis Sebagai Contoh Katekese Umat Model Pengalaman Hidup ... 22
a. Pengertian SCP ... 22
b. Langkah-Langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 25
B. Semangat Persaudaraan ... 31
1. Pengertian Persaudaraan ... 31
2. Ciri-ciri Hidup Persaudaraan ... 33
3. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan ... 34
a. Cinta Kasih ... 34
b. Keadilan ... 35
c. Solidaritas ... 35
d. Toleransi ... 36
e. Perdamaian ... 37
4. Hal-Hal yang Menghambat Persaudaraan ... 38
a. Egoisme ... 38
b. Prasangka dan Curiga ... 39
c. Kurang Keterbukaan ... 40
d. Fanatisme ... 40
e. Kurang Mengampuni ... 41
5. Pentingnya Pembinaan Semangat Persaudaraan ... 42
C. Peranan Katekese Umat dalam Meningkatkan Semangat Persaudaraan ... 44
1. Katekese Umat dapat Membantu Umat untuk Memahami Hidup Persaudaraan ... 45
2. Katekese Umat dapat Membantu Umat Semakin Menghayati Semangat Persaudaraan ... 46
3. Katekese umat dapat Mengarahkan Umat Pada Transformasi Diri ... 47
BAB III. GAMBARAN UMUM HIDUP PERSAUDARAAN SISWA- SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT ... 48
A. Gambaran Umum SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 48
xv
2. Visi SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 49
3. Misi SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop ... 49
4. Hak dan Kewajiban Seminaris ... 49
5. Latar Belakang Siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop .. 50
6. Tenaga Pembina Seminari ... 51
b. Pemahaman Siswa Mengenai Semangat Persaudaraan ... 63
c. Hidup Persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop ... 65
d. Faktor Pendukung dan Penghambat Hidup Persaudaraan di Seminari beserta Pembinaan yang Diupayakan oleh Pihak Seminari ... 70
xvi
f. Usulan Katekese Umat yang Diharapkan dapat
Meningkatkan Semangat Persaudaraan di Seminari ... 82
2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 84
a. Identitas Responden ... 84
b. Pemahaman Siswa Mengenai Semangat Persaudaraan ... 85
c. Hidup Persaudaraan di Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop ... 88
d. Faktor Pendukung dan Penghambat Hidup Persaudaraan di Seminari beserta Pembinaan yang Diupayakan oleh Pihak Seminari ... 93
e. Peranan Katekese Umat dalam Membangun Semangat Persaudaraan Di Seminari ... 100
f. Usulan Katekese Umat yang Diharapkan dapat Meningkatkan Semangat Persaudaraan di Seminari ... 104
3. Kesimpulan Penelitian ... 107
BAB IV. USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP KALIMANTAN BARAT ... 111
A. Pengertian Program Katekese Umat ... 111
B. Latar belakang Penyusunan Program Katekese Umat ... 112
C. Alasan Pemilihan Tema ... 113
D. Usulan Program Katekese Umat ... 115
E. Contoh Satuan Persiapan Katekese Umat I ... 120
F. Contoh Satuan Persiapan Katekese Umat II ... 134
G. Catatan Atas Pelaksanaan Program ... 148
BAB V. PENUTUP ... 150
A. Kesimpulan ... 150
B. Saran ... 152
xvii Lampiran
Lampiran 1 : Jadwal Harian Seminari Menengah Santo Paulus
Nyarumkop ... (1)
Lampiran 2 : Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Seminaris ... (2)
Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... (3)
Lampiran 4 : Surat Permohonan Ijin ... (4)
Lampiran 5 : Teks Lagu ... (5)
Lampiran 6 : Teks Kitab Suci ... (6)
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. SINGKATAN KITAB SUCI KS : Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
CT : Catechese Trandendae, Ajaran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini.
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Gereja di dunia dewasa ini.
AG : Ad Gentes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Kegiatan Misioner Gereja.
C. SINGKATAN LAIN St : Santo/Santa
SMA : Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
xix PERUM : Persekolahan untuk Masyarakat KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Art : Artikel
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semangat persaudaraan di tengah arus perkembangan jaman yang semakin
canggih dewasa ini banyak mengalami kemunduran. Orang lebih banyak
mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri dan kurang memperdulikan
kepentingan orang lain. Sikap cuek dan tidak mau perduli dengan kepentingan
orang lain menjadi suatu gambaran dimana orang sudah tidak lagi mampu
memaknai arti dari suatu persaudaraan. Persaudaraan tidak hanya sekedar karena
engkau berguna buat saya, karena kau dan aku sering jumpa, lantaran kita
sama-sama pintar, satu tempat teduh, satu organisasi ataupun satu bangsa. Gereja
mengajak umat manusia untuk membangun persaudaraan yang didasarkan pada
cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Manusia perlu membangun persaudaraan
dengan memberi diri secara tulus, saling mengembangkan sifat-sifat pribadi
manusia dan membela hak-hak asasi manusia (GS, art. 25), karena Allah
menciptakan manusia bukan untuk hidup sendiri melainkan untuk membentuk
persatuan sosial.
Anak-anak seminari menengah yang tergabung dalam satu asrama Widya
Nyarumkop kadang mengalami hal yang kurang lebih sama seperti yang
diutarakan di atas. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis selama di
seminari, para seminaris dalam pergaulan dan kehidupannya sehari-hari
di sukai saja serta yang menguntungkan bagi dirinya. Disamping itu, mereka juga
terkadang kurang akur antara satu dengan yang lainnya dan tidak sedikit yang
suka membuat kelompok sendiri-sendiri. Tidak hanya itu saja, anak-anak yang
duduk di kelas dua maupun kelas tiga seringkali menganggap diri sebagai senior
dan kurang menunjukkan rasa persaudaraan kepada adik kelasnya. Mereka
terkadang bertindak sesuka hati mereka. Mereka ingin dihormati dan disegani oleh
adik-adik kelasnya sehingga sikap mereka terhadap adik-adik kelas suka main
suruh atau perintah. Situasi seperti ini tentunya perlu mendapat perhatian dan
tanggapan yang serius dari berbagai pihak terutama dari para pembina asrama
yang membina dan membimbing mereka, karena para seminaris adalah
calon-calon imam yang nantinya menggembalakan umat. Sebagai calon-calon imam,
hendaknya para seminaris dapat menjadi contoh dan teladan bagi umat dalam
membina hubungan yang baik dengan orang lain dan dapat hidup bersaudara
dengan siapa saja.
Upaya untuk meningkatkan semangat persaudaraan sudah terjadi di dalam
asrama dan secara umum cukup berjalan baik. Namun yang menjadi kendalanya
ialah anak-anak yang ada di asrama ini berjumlah cukup banyak dan masih pada
masa transisi atau labil sehingga sikap-sikap mereka masih menunjukkan
sebagaimana permasalahan anak-anak muda pada umumnya. Disamping itu, para
pembinanya juga tidak setiap saat bisa memantau gerak-gerik dan prilaku
anak-anak asrama karena mereka juga mempunyai kesibukkan sendiri-sendiri, padahal
kesadaran dan semangat persaudaraan dari anak-anak seminari harus tertanam
komunikasi yang baik dalam komunitasnya. Perlu dibangun semangat rekonsiliasi
dimana antara sesama mau saling mengampuni, berani melintas batas dalam artian
meninggalkan segala egoisme, perasaan tidak suka dan mampu menerima serta
menghargai pribadi orang lain.
Persaudaraan adalah suatu hal yang wajib dan penting sekali dalam
membina hubungan horizontal dengan sesama manusia yaitu pada satu tujuan
untuk menjauhkan manusia dari permusuhan. Persaudaraan membuat hidup
menjadi lebih berwarna, tidak ada permusuhan, tidak ada rasa sakit hati dan hidup
menjadi lebih berarti. Tuhan memanggil dan menghendaki manusia untuk saling
membangun persaudaraan dan persahabatan di dunia ini. Rasul Paulus
mengatakan: sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam
perdamaian dengan semua orang (Roma, 12:18). Hendaklah kamu saling
mengasihi sebagai saudara (Roma, 12:10). Jangan hakimi dan jangan hina
saudaramu (Roma, 14:10-13). Paulus dalam suratnya kepada orang Ibrani
mengatakan: Peliharalah kasih persaudaraan (Ibr, 13:1). Persaudaraan itu
dilandasi suatu semangat membina kekerabatan yang baik dengan siapapun dan
dimanapun tanpa ada suatu kepentingan lain.
Berbagai usaha dibuat oleh pihak seminari untuk meningkatkan
persaudaraan di antara para seminaris antara lain lewat kegiatan-kegiatan yang
ada di seminari. Menurut penulis, salah satu kegiatan yang dapat menolong para
seminaris semakin memperhatikan, menghormati, jujur, terbuka dan menghargai
perbedaan yang ada adalah melalui katekese. Katekese yang dimaksud lebih pada
dimungkinkan dapat meningkatkan persaudaraan dengan saling berbagi
pengalaman hidup sehingga di antara mereka terjadi komunikasi. Komunikasi
yang baik membuahkan persaudaraan, saling pengertian, keterbukaan dan saling
menghargai. Komunikasi berlangsung dalam suasana bebas, akrab dan
mempunyai tujuan. Masing-masing para seminaris bebas mengungkapkan
pengalamannya dalam suasana kekeluargaan sehingga sampai pada persaudaraan
yang mendalam.
Dengan melihat permasalahan yang terjadi, penulis menawarkan katekese
umat sebagai usaha membantu para seminaris dalam meningkatkan semangat
persaudaraan di SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop. Dalam katekese umat ini
diharapkan dapat membantu para seminaris sungguh-sungguh memahami,
menghayati dan mengarahkan mereka pada transformasi diri. Menanggapi hal
tersebut, maka penulis terdorong mengambil judul skripsi: “Upaya Awal Meningkatkan Semangat Persaudaraan Siswa-Siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop Kalimantan Barat melalui Katekese Umat”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah skripsi ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Apa makna dari persaudaraan?
2. Apa kendala siswa seminari mewujudkan semangat persaudaraan?
3. Katekese Umat bagaimana yang mendukung semangat persaudaraan
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini untuk:
1. Menjelaskan makna persaudaraan.
2. Menguraikan kendala siswa seminari dalam mewujudkan semangat
persaudaraan
3. Menguraikan Katekese Umat yang mendukung semangat persaudaraan
siswa-siswa di Seminari St. Paulus Nyarumkop.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pembina asrama seminari Nyarumkop dan pembina asrama seminari
yang lain.
Penulisan ini merupakan sumbangan pemikiran guna meningkatkan semangat
persaudaraan.
2. Bagi pembina asrama seusia SMU dan pembina kaum muda pada umumnya.
Penulisan ini dapat menjadi masukan guna meningkatkan semangat
persaudaraan.
3. Bagi penulis.
a. Mengkondisikan penulis untuk berpikir secara kritis dan sistematis dalam
menuangkan gagasan secara jelas dan baik.
b. Penulis dapat belajar untuk mengembangkan kreativitas dalam membangun
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif
analitis yaitu menguraikan kenyataan yang ada. Kemudian menganalisanya untuk
mencari pemecahannya. Kenyataan yang ada diperoleh dari studi pustaka dan
penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan pengumpulan data dilakukan
dengan cara menyebarkan kuesioner.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis
menyampaikan pokok-pokok gagasan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan pendahuluan yang meliputi: latar belakang
penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II: KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
SEMANGAT PERSAUDARAAN
Bab ini berisikan kajian pustaka yang meliputi: pengertian katekese
umat, isi katekese umat, peserta katekese umat, tujuan katekese
umat, model-model katekese umat, dan shared christian praxis
sebagai model katekese umat. Pengertian semangat persaudaraan,
ciri-ciri hidup persaudaraan, nilai-nilai yang mendukung
persaudaraan, hal-hal yang menghambat persaudaraan, dan
BAB III: GAMBARAN UMUM HIDUP PERSAUDARAAN
SISWA-SISWA SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP
KALIMANTAN BARAT
Bab ini berisikan gambaran umum Seminari St. Paulus Nyarumkop,
metodologi penelitian mengenai upaya meningkatkan semangat
persaudaraan siswa SMA Seminari St. Paulus Nyarumkop
Kalimantan Barat melalui katekese umat dan laporan hasil
penelitian.
BAB IV: USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DALAM RANGKA
MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN SISWA
SMA SEMINARI SANTO PAULUS NYARUMKOP
KALIMANTAN BARAT
Bab ini berisikan usulan program katekese umat serta contoh
perencanaan program katekese umat.
BAB V: PENUTUP
BAB II
KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN SEMANGAT PERSAUDARAAN
A. Gambaran Umum Katekese Umat
Mulai tahun 1977, Komisi Kateketik Indonesia menyelenggarakan
pertemuan kateketik nasional. Pertemuan itu dihadiri oleh utusan dari seluruh
keuskupan di Indonesia. Pertemuan pertama (PKKI 1) di Sindanglaya tahun 1977
mencari dan membahas arah katekese di Indonesia yang kemudian disepakati
bahwa yang dikembangkan di Indonesia adalah katekese umat (Telaumbanua,
1999:11).
1. Pengertian Katekese Umat
Th. Huber (1981:10) dalam buku Katekese Umat mengemukakan bahwa
katekese umat adalah:
Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat/kelompok, yang sebagai kesaksian saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna. Dalam katekese umat tekanan terutama diletakkan pada penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan ada perencanaan.
Komunikasi iman adalah usaha umat untuk saling meneguhkan,
mengembangkan, mengarahkan serta menggairahkan kembali imannya.
Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang melibatkan seluruh peserta
yang hadir dalam pertemuan, baik antara peserta dengan pendamping maupun
antara peserta sendiri. Cara komunikasinya adalah sharing pengalaman, yaitu
dan masing-masing saling menanggapi, saling menampung sehingga iman mereka
diteguhkan dan diperkaya.
Sidang PKKI II merumuskan pengertian Katekese Umat sebagai
komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota
jemaat atau kelompok. Dalam katekese umat, tekanan terutama diletakkan pada
penghayatan iman meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Maksudnya melalui
katekese umat ini setiap peserta berhak atau mempunyai kebebasan untuk
mengungkapkan pengalamannya dan para peserta saling membantu sedemikian
rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara sempurna.
Katekese umat adalah usaha kelompok secara terencana untuk saling
menolong mengartikan hidup nyata dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah
dihayati dalam tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan
mewujudkan imannya dalam hidup nyata (Afra Siauwarjaya, 1987:38). Katekese
umat mengajak peserta untuk saling menolong menyadari kehadiran dan kehendak
Allah dalam hidup nyata dan bagaimana mereka menghayati imannya dalam
hidup nyata. Iman personal yang dikembangkan dalam katekese umat adalah iman
yang dihayati Gereja dalam tradisi. Dalam katekese umat, hidup nyata diartikan
sebagai penghayatan relasi umat dengan Yesus Kristus. Relasi itu sekaligus
menuntut keterlibatan umat dalam pengutusan-Nya melaksanakan kehendak Allah
dalam segala dimensi hidup manusia (Afra Siauwarjaya, 1987:42).
2. Isi Katekese Umat
menanggapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya dalam Perjanjian Baru, yang mendasari penghayatan iman gereja di sepanjang tradisi-Nya (Th. Huber, 1981:10).
Rumusan di atas menegaskan bahwa pola dan penentu katekese umat
adalah Yesus Kristus. Dalam Kristus peserta berjumpa dengan Allah dan melalui
Dialah pula Allah mendatangi peserta. Penghayatan iman yang dikomunikasikan
dalam katekese umat hendaknya ditanggapi dan ditampung serta mendalami satu
pokok saja. Pembicaraan yang tidak berkesinambungan dalam katekese umat
tidak dicita-citakan (Huber, 1981:19).
Dalam katekese umat Kristuslah yang menjadi pusat utamanya. Itulah
sebabnya katekese biasa disebut katekese yang bersifat Kristosentris. Maksudnya
dalam katekese bukan untuk menyampaikan ajarannya sendiri atau ajaran seorang
guru melainkan ajaran Yesus Kristus. Seluruh peristiwa hidup Yesus Kristus dan
seluruh harta kekayaan iman Gereja (CT, art. 6).
Katekese umat tidak mengesampingkan pengalaman iman peserta. Iman
para peserta diteguhkan melalui tukar penghayatan iman tentang tema atau bahan.
Bahan atau tema katekese berangkat dari hidup konkret para peserta. Pengalaman
iman peserta menjadi bagian dari isi katekese umat agar dengan terang sabda
Allah, peserta merasa dikuatkan dan terlebih semakin mengenal Yesus
(Setyakarjana, 1997:69).
3. Peserta Katekese Umat
dalam kelompok basis maupun di sekolah atau perguruan tinggi. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang. Penekanan pada peranan umat pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada pengertian Gereja itu sendiri (Huber, 1981:15).
Katekese umat menempatkan umat sebagai subyek atau pelaku utama
dalam berkatekese. Posisi ini memungkinkan umat untuk terlibat secara lebih
aktif, punya inisiatif dan kreatif, sehingga proses katekesenya lebih hidup dan
menarik ketimbang umat yang pasif menerima saja. Sebagai subyek atau pelaku
utama, umat ditantang untuk ikut berpikir, mencari, mengolah dan menanggapi
pokok persoalan yang tengah mereka hadapi.
Dalam katekese umat, para peserta secara bebas mengungkapkan
pengalamannya tanpa ada paksaan. Komunikasi iman yang mendalam hanya
dilakukan secara suka rela. Katekese umat tidak menuntut pengelompokan umat
yang khusus, setiap kesempatan umat berkumpul di dalam lingkup apapun juga
dapat dipakai untuk katekese umat (Huber, 1981:20-21).
4. Tujuan Katekese Umat
Th. Huber (1981:23) mengemukakan bahwa tujuan katekese umat adalah
membantu umat agar semakin mengenal dan terbuka dalam menanggapi Sabda
Allah serta memperdalam dan memperkembangkan iman umat akan Allah dengan
cara memahami, merefleksikan, memperbaharui dan memaknai pengalaman iman
dalam terang Injil. Katekese umat mendorong proses pemanusiaan kristiani.
Katekese umat menempatkan pengalaman religius kembali ke dalam hidup
Tujuan komunikasi iman itu ialah:
• Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;
• dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari;
• dengan demikian semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup kristiani kita;
• pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta;
• sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat. (Huber, 1981:16).
Kelima rumusan tujuan komunikasi iman di atas menyoroti tujuan
katekese umat dari sudut yang berbeda-beda. Ketiga sorotan pertama lebih-lebih
memperhatikan peserta sendiri-sendiri secara pribadi. Kemudian pada kedua
sorotan berikutnya menegaskan tujuan sebagai Gereja dan semuanya berpuncak
pada hidup di tengah-tengah masyarakat (Setyakarjana, 1997:72).
Dengan demikian, tujuan katekese umat selain bersifat personal juga
bersifat eklesial yakni demi kepentingan bersama dalam Gereja universal. Tugas
setiap orang Kristen adalah menjadi saksi Kristus di tengah dunia melalui
tindakan konkret. Diharapkan umat semakin sadar dalam menempatkan
pengalaman religius ke dalam hidupnya sebagai sejarah penyelamatan-Nya.
Disamping itu, umat disadarkan untuk terlibat dalam pembangunan Gereja.
Pewartaan tentang Kristus dilakukan dengan melaksanakan tugas-tugas Gereja.
Tetapi Gereja sendiri bukan merupakan tujuan, melainkan sarana untuk bersaksi
tentang Kristus (Setyakarjana, 1997:72).
Afra Siauwarjaya (1987:42) menegaskan bahwa tujuan katekese umat
adalah menolong umat agar umat makin mampu mengungkapkan dan
dinyatakan dalam ungkapan saja, tetapi lebih-lebih dilaksanakan dalam tindakan
konkret. Katekese umat berupaya untuk memelihara dan mengajarkan iman,
membangkitkan iman dengan pertolongan rahmat, membuka hati, menumbuhkan
pertobatan, dan mempersiapkan orang beriman agar berserah diri secara
menyeluruh kepada Yesus Kristus. Umat beriman diharapkan melakukan
pertobatan sebagai upaya pembaruan diri yang terus menerus. Pertobatan
merupakan elemen penting dalam dinamika iman menuju kedewasaan
(Telaumbanua, 1999:52).
5. Model-Model Katekese Umat
Model pendalaman iman yang ditawarkan dalam buku panduan APP dan
Adven yang diterbitkan dalam tingkat keuskupan atau paroki di Indonesia, cukup
lama menawarkan pendalaman iman yang bersifat liturgis namun syukurlah dalam
dasa warsa terakhir ini pendalaman iman lebih bersifat kateketis dan tidak lagi
menekankan sifat liturgisnya. Langkah-langkah yang terjadi dalam pendalaman
iman pada umumnya mengandung tiga unsur dasar yakni: pengalaman hidup
konkret, teks Kitab Suci atau tradisi dan penerapan konkret pada hidup peserta
katekese (Sumarno Ds, 2009:11).
Dalam langkah-langkah pendalaman iman atau katekese pada umumnya
terdapat tiga model, yakni: model pengalaman hidup, model biblis dan model
a. Model Pengalaman Hidup
Katekese Umat dengan model pengalaman hidup bertitik tolak dari
pengalaman hidup peserta (Sumarno, Ds, 2009: 11). Katekese umat berangkat dari
situasi hidup peserta. Situasi hidup peserta menjadi titik tolak pembicaraan di
dalam katekese umat. Kemudian situasi hidup itu diterangi oleh pengalaman iman
dari Kitab Suci. Secara garis besar, katekese umat dengan model pengalaman
hidup meliputi langkah-langkah sebagai berikut yaitu:
1) Introduksi
Langkah ini berisikan lagu dan doa pembukaan yang sesuai dengan tema
yang diangkat dalam pertemuan. Pendamping mengingatkan dan menghubungkan
dengan tema-tema yang sudah dibahas dalam pertemuan sebelumnya (Sumarno,
Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan proses pembukaan, memaparkan apa yang
akan dilakukan atau sebagai langkah pengenalan terhadap hal yang akan
dibicarakan. Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah untuk
mempersiapkan proses agar berjalan dengan baik. Pada langkah ini, peserta
dikondisikan untuk dapat mengikuti pendalaman iman yang akan berlangsung.
2) Penyajian suatu pengalaman hidup
Pengalaman hidup disajikan atau dibawakan oleh pendamping.
Pengalaman yang disajikan adalah pengalaman yang konkret. Pengalaman yang
disajikan harus sesuai dengan tema yang diangkat dalam pertemuan. Pengalaman
yang disajikan dapat diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan bagi peserta
(Sumarno, Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan pengungkapkan pengalaman
mengungkapkan pengalaman hidupnya sesuai tema. Pendamping berperan
menciptakan suasana terbuka untuk pengungkapan pengalaman hidup.
Pendamping perlu membuat peserta berani untuk berbicara saat pertemuan dengan
cara bertanya kepada peserta dengan pertanyaan yang mudah untuk dijawab
hingga dengan demikian umat terkondisi berbicara. Peserta dikondisikan untuk
membuka dirinya mengungkapkan pengalaman hidupnya. Peserta tidak hanya
pasif tetapi juga aktif dengan mau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh
pendamping yang memandu jalannya pertemuan.
3) Pendalaman pengalaman hidup
Peserta diajak untuk mengaktualisasikan pengalaman yang disajikan ke
dalam situasi hidup mereka. Biasanya terjadi dalam kelompok kecil dengan
pertanyaan-pertanyaan pendalaman yang merangsang peserta mengambil bagian
dalam sikap moral konkret sesuai dengan tema untuk hidup sehari-hari (Sumarno,
Ds, 2009: 11). Langkah ini merupakan pengolahan terhadap pengalaman aktual
peserta yang mudah timbul dengan bantuan kisah di atas. Pengolahan itu
merupakan sebuah refleksi atas pengalaman aktual peserta. Tujuan dari langkah
ini adalah ditemukannya makna yang lebih baik dari pengalaman hidup yang
pernah dilalui. Pendamping membantu peserta dalam mengolah pengalaman
hidupnya.
4) Rangkuman pendalaman pengalaman hidup
Langkah ini menyajikan pandangan umum dari sikap-sikap yang dapat
diambil oleh peserta berhubung dengan tema dalam penyajian pengalaman hidup.
yang hendak dipakai dalam langkah berikutnya (Sumarno, Ds, 2009: 11). Langkah
ini merupakan penentuan sikap hidup sesuai dengan iman dan tradisi Kristiani.
Tujuan dari langkah ini adalah membentuk sikap hidup ketika seseorang
menghadapi suatu permasalahan. Pada langkah ini, pendamping berperan
membantu peserta agar dapat menentukan dan menemukan serta dapat memiliki
sikap hidup yang sesuai dengan iman dan tradisi Kristiani.
5) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja
Pendamping membagikan kepada peserta teks Kitab Suci yang digunakan
beserta pertanyaan sekitar tema dan hal-hal yang mengesan dari pesan inti teks.
Teks dibaca dan direnungkan serta direfleksikan dengan bantuan pertanyaan
(Sumarno, Ds, 2009: 11-12). Pada langkah ini, peserta sungguh menggunakan
inderanya mendengar dan melihat. Tujuan dari langkah ini adalah penyampaian
tradisi Kristiani. Peran pendamping adalah mengkondisikan agar penyampaian
tradisi Kristiani dapat ditangkap oleh umat dengan baik. Peserta perlu mendengar
teks yang dibaca dengan cermat dan juga melihat ayat demi ayat dengan ikut
membacanya.
6) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi
Peserta mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah
direnungkan. Pendamping membantu peserta untuk mencari dan mengungkapkan
pesan inti menurut mereka sehubungan dengan tema agar pesan inti teks dapat
diungkap dengan baik dan obyektif maka pendamping harus membaca beberapa
buku referensi. Suasana terbuka diciptakan oleh pendamping guna pengungkapan
interpretasi teks Kitab Suci yang disajikan terhadap pengalaman hidup peserta.
Tujuan yang hendak dicapai adalah agar nilai-nilai Kristiani meresap dalam
kehidupan umat.
7) Rangkuman pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi
Pesan inti yang telah diungkap peserta digabungkan dengan pesan yang
disampaikan pendamping. Pendamping memberi masukan dari persiapan yang
telah dilakukan sebelumnya. Masukan itu dibatasi pada pesan pokok yang dapat
dimengerti oleh peserta sesuai dengan tema (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari
langkah ini adalah inspirasi yang kaya dari Kitab Suci atau Ajaran Gereja dapat
ditimba umat untuk perjalanan hidup mereka.
8) Penerapan dalam hidup konkrit
Peserta diajak untuk mengambil beberapa kesimpulan praktis sehubungan
dengan tema untuk hidup pribadi menggereja dan memasyarakat. Peserta dengan
hening diajak juga merenungkan dan mengumpulkan buah-buah pribadi dari
pertemuan itu (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari langkah ini adalah mengajak
peserta untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi Kristiani.
9) Penutup
Penutup pertemuan dimulai dengan mengungkapkan doa-doa spontan
sebagai buah-buah pertemuan atau doa umat yang lain dan diakhiri dengan doa
penutup dan lagu penutup yang sesuai dengan tema (Sumarno, Ds, 2009: 12).
Langkah ini merupakan akhir dari seluruh proses pendalaman iman. Tujuannya
b. Model Biblis
Katekese umat dengan model biblis merupakan model katekese yang
bertitik tolak pada teks Kitab Suci. Katekese dengan model ini mengajak peserta
untuk mendalami sabda Tuhan, merenungkan dan berusaha mewujudkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Katekese model ini mengusahakan agar umat
mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya dengan merenungkan sabda Tuhan
dalam Kitab Suci. Langkah-langkah pokok dari model ini adalah:
1) Doa Pembukaan dan atau Nyanyian Pembukaan
Lagu yang diangkat hendaknya disesuaikan dengan tema Kitab Suci atau
Tradisi yang ditentukan dalam pertemuan pendalaman iman. Tema yang disajikan
dihubungkan dengan tema pertemuan sebelumnya (Sumarno, Ds, 2009: 12).
Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah membuka proses
pendalaman iman agar berjalan dengan baik. Peserta mengalami pengkondisian
untuk dapat mengikuti pendalaman iman.
2) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi
Peserta membacakan kutipan yang dipilih langsung dari Kitab Suci. Agar
mempermudah proses sebaiknya teks diperbanyak. Kemudian diluangkan waktu
hening untuk merefleksikan pertanyaan yang diberikan (Sumarno, Ds, 2009: 12).
Tujuan dari langkah ini adalah teks Kitab Suci yang menjadi sentral dari model ini
sungguh dipahami.
3) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi
Di dalam kelompok kecil, masing-masing peserta membagikan jawaban
diungkapkan peserta. Rangkuman jawaban itu dihubungkan dengan apa yang
dipersiapkan pendamping. Dengan demikian, peserta diperkaya sebab yang
disampaikan pendamping berasal dari berbagai sumber. Isi dan pesan teks yang
relevan dengan peserta disampaikan oleh pendamping sebagai narasumber
(Sumarno, Ds, 2009: 12-13). Tujuan dari langkah ini adalah menampilkan pesan
teks Kitab Suci kepada peserta.
4) Pendalaman pengalaman hidup
Langkah ini memungkinkan peserta menghubungkan pesan teks dengan
pengalaman hidupnya sesuai dengan tema seperti peristiwa yang terdapat dalam
budaya setempat, dalam hidup bermasyarakat, menggereja, berkeluarga, bekerja
dan belajar (Sumarno, Ds, 2009: 13).
5) Penerapan dalam hidup peserta
Refleksi dan memikirkan langkah konkret dalam hidup sehari-hari
merupakan proses yang dilakukan peserta pada langkah ini. Semangat kekuatan
dan jiwa dari pesan teks diwujudkan (Sumarno, Ds, 2009: 13). Tujuan dari
langkah ini ialah agar apa yang telah didapatkan dalam pendalaman iman dapat
diterapkan dalam hidup sehari-hari. Pendamping mengarahkan agar peserta dapat
menyusun rencana konkretnya. Hambatan dan tantangan untuk mewujudkan niat
dibicarakan bersama.
6) Penutup
Langkah ini merupakan refleksi pribadi tentang kesulitan untuk
mewujudkan pesan teks, sarana apa saja yang diperlukan, dan apa saja yang
ditutup dengan doa-doa spontan dan diakhiri oleh pendamping dengan doa yang
merangkum seluruh jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 13).
c. Model Campuran
Katekese umat dengan model campuran bertitik tolak pada pengalaman
hidup peserta dan Kitab Suci. Model ini membantu umat dalam
mengkonfrontasikan antara nilai-nilai pengalaman hidup peserta dengan nilai-nilai
tradisi maupun dengan teks Kitab Suci. Model ini berlangsung melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pembukaan
Mengungkapkan pokok-pokok tema pertemuan dan menghubungkan
dengan tema-tema pertemuan sebelumnya. Lagu yang diangkat disesuaikan
dengan tema pertemuan yang dibahas (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini
merupakan pengantar masuk kependalaman iman. Peserta diajak oleh pendamping
untuk masuk dalam suasana pendalaman iman.
2) Pembacaan teks Kitab Suci atau Tradisi
Pembacaan teks dilakukan secara langsung dari Kitab Suci. Jika perlu
pembacaan dapat dilakukan sekali lagi oleh pendamping. Kemudian disediakan
waktu hening untuk merenungkan teks yang dibacakan (Sumarno, Ds, 2009: 13).
Tujuan pada langkah ini ialah agar peserta mengetahui tentang teks yang dipilih
3) Penyajian pengalaman hidup
Penyajian dapat dilakukan dengan media komunikasi seperti koran,
majalah, slide video dan lain-lain. Hal ini bertujuan membangkitkan semangat dan
gairah peserta untuk menanggapinya (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini
merupakan pengungkapan pengalaman hidup. Tujuannya untuk mengetahui
keprihatinan dan permasalahan apa yang sedang dihadapi oleh umat.
4) Pendalaman pengalaman hidup dan teks biblis atau Tradisi
Peserta mengungkapkan kesan dan pesannya. Peserta mencari apa yang
objektif dalam pengalaman tadi. Peserta diajak menemukan sendiri tema dan
pesan pokok dari penyajian tadi. Peserta merefleksikan dan menganalisa pesan itu
untuk hidup sehari-hari dalam hubungannya dengan teks. Pendamping
memberikan suatu kesimpulan dan bilamana mungkin tindakan konkret (niat)
dipikirkan bersama (Sumarno, Ds, 2009: 14). Tujuan pada langkah ini ialah agar
peserta dapat memperoleh inspirasi hidup dari teks Kitab Suci.
5) Penerapan meditatif
Menghubungkan pengalaman konkret dengan teks Kitab Suci. Diharapkan
peserta dapat menarik pelajaran nyata dalam hidup berkeluarga, menggereja dan
memasyarakat (Sumarno, Ds, 2009: 14). Peserta dapat menerapkan nilai dan
tradisi Kristiani dalam hidupnya.
6) Evaluasi singkat
Evaluasi dilakukan terhadap isi, tema, langkah-langkah dan proses yang
dapat menjadi lebih baik dan lebih relevan dengan kebutuhan dan aspirasi peserta
(Sumarno, Ds, 2009: 14).
7) Penutup
Diawali dengan suasana hening dan dilanjutkan doa-doa spontan dari
peserta. Kemudian pendamping mengakhiri dengan doa penutup yang merangkum
jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 14). Langkah ini bertujuan mengakhiri
pertemuan pendalaman iman. Diharapkan peserta dengan bagian penutup ini dapat
merasa diteguhkan dan merasa mendapat tugas perutusan.
6. Shared Christian Praxis Sebagai Contoh Katekese Umat Model
Pengalaman Hidup
Katekese dengan model SCP ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
H. Groome seorang ahli katekese yang berusaha mencari pendekatan katekese
yang handal dan efektif, yaitu model yang sungguh mempunyai dasar teologis
yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki
keprihatinan pastoral yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab
kebutuhan para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka.
Untuk lebih jelasnya, pada bagian ini akan diuraikan pengertian model SCP serta
langkah-langkah SCP.
a. Pengertian SCP
Model SCP merupakan salah satu model katekese yang menekankan
proses yang bersifat dialogis partisifatif. Tujuan dari proses ini adalah mendorong
dengan tradisi dan visi Kristiani. Dan pada akhirnya baik secara pribadi maupun
bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.
Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, bermula
dengan refleksi secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya,
kemudian dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi Kristiani supaya muncul
pemahaman sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi dan praksis baru.
Orientasi model ini adalah praksis peserta sebagai subyek yang bebas dan
bertanggung jawab (Heryatno WW, 1997:1).
Sesuai dengan tiga huruf (S-C-P), model ini memiliki tiga komponen yaitu
Praksis, Kristiani dan “Shared”. Penjelasan masing-masing komponen itu sebagai
berikut:
1) Praksis
Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan sebagai
tindakan. Praksis mengacu pada seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang
mempunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan
antara praktek dan teori yang membentuk suatu kreativitas, sedangkan refleksi
kritis dan kesadaran historis akan mengarah pada keterlibatan baru.
Praksis mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan yaitu aktivitas,
refleksi dan kreativitas. Ketiga unsur itu berfungsi membangkitkan
berkembangnya imajinasi, meneguhkan kehendak, dan mendorong praksis baru
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral. Penjelasan singkat arti
Unsur pertama, aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran,
tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan
medan untuk perwujudan diri sebagai manusia.
Unsur kedua, refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis
pribadi dan sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap “tradisi” dan “visi”
iman kristiani sepanjang sejarah.
Unsur ketiga, kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan
refleksi yang menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa
depan yang terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno WW,
F.X, 1997:2).
2) Kristiani
Maksud Kristiani dalam SCP adalah mengusahakan agar kekayaan iman
Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk
kehidupan peserta. Kekayaan iman Kristiani yang ditekankan dalam model ini
adalah pengalaman iman tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.
Tradisi Kristiani mengungkapakan realitas iman jemaat yang hidup dan
sungguh dihidupi. Ini mengungkapkan tanggapan manusia terhadap pewahyuan
diri Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, tradisi
senantiasa mengundang keterlibatan praktis. Sedang visi Kristiani menegaskan
tuntutan dan janji Allah yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan
pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap
kemuridan. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai
3) Shared
Istilah shared atau sharing berasal dari kata share yang artinya berbagi.
Dalam katekese, sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik,
partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Istilah ini juga merupakan proses
katekese yang menekankan unsur dialog partisipatif peserta yang ditandai dengan
suasana kebersamaan, persaudaraan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam sharing
semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap mendengarkan dengan
hati pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan kebebasan hati (Heryatno
WW, F.X, 1997:4).
Dikatakan pula bahwa sharing berarti berbagi rasa, pengetahuan serta
saling mendengarkan pengalaman orang lain. Dalam dialog ada dua unsur penting
yaitu membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan tidak sama dengan
berbicara saja atau omong-omong terus menerus tanpa memberi kesempatan pada
orang lain untuk berbicara. Membicarakan berarti menyampaikan apa yang
menjadi kebenaran pengalaman sendiri. Sedangkan mendengarkan tidak sama
dengan mendengar. Mendengarkan berarti mendengarkan dengan hati dan rasa
tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan melibatkan
seluruh diri sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap
apa yang dikomunikasikan oleh orang lain (Sumarno, Ds, 2009: 17).
b. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP)
SCP merupakan suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman
berurutan dan terus mengalir. Thomas H. Groome mengemukakan lima langkah
pokok yang didahului dengan langkah awal/ pendahuluan sebagai berikut:
1) Langkah awal (0) : Pemusatan aktivitas
Langkah ini bertujuan mendorong peserta sebagai subyek utama untuk
menemukan topik pertemuan yang bersumber dari kehidupan konkret peserta
yang pada akhirnya menjadi tema dasar pertemuan. Dengan demikian, tema dasar
pertemuan dapat sungguh-sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup,
permasalahan dan kebutuhan peserta. Pemilihan tema pertemuan perlu
memperhatikan situasi konkret peserta, tujuannya, dinamika pendekatan perlu
yang bersifat dialogis dan sumber-sumber iman Kristiani (Heryatno WW, F.X,
1997:10). Tema dasar hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta untuk
terlibat aktif dalam pertemuan, menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak
bertentangan dengan iman Kristiani. Untuk itu, seorang pendamping harus dapat
membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat.
Pada tahap ini pendamping dapat menggunakan sarana-sarana yang
menunjang untuk dapat menemukan salah satu aspek yang dapat menjadi topik
dasar pertemuan. Sarana-sarana tersebut dapat melalui cerita, bahasa foto, poster,
video, kaset suara lainnya yang mendukung dalam pemilihan tema bersama.
Untuk itu, seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat.
Disamping itu, pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan
fisik yang mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi secara aktif dan kreatif
2) Langkah pertama : Mengungkapkan pengalaman hidup peserta
Langkah ini membantu dan mendorong peserta supaya menyadari
pengalaman mereka sendiri, menginterpretasikan, membahasakan dan
mengkomunikasikan pada peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup ini bisa
berupa pengalaman peserta sendiri, atau kehidupan dan permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat, ataupun gabungan keduanya yang dipandang cocok dengan
tema yang sudah digali bersama (Heryatno WW, F.X, 1997:11).
Bertitik tolak dari pemusatan aktivitas, langkah ini diawali dengan
tuntunan pertanyaan sebagai bantuan yang sesuai dengan topik dasar. Perumusan
pertanyaan harus jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri orang, sesuai
dengan latar belakang peserta dan bersifat terbuka. Kemudian peserta dapat
membagikan pengalaman hidupnya dan tidak boleh ditanggapi sebagai sebuah
laporan. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan dengan
gaya dan pilihan mereka. Mereka dapat mengungkapkannya melalui puisi,
nyanyian, tarian, gambar, maupun yang lainnya (Heryatno WW, F.X, 1997:12).
Pada langkah ini, pendamping berperan sebagai fasilitator yang
menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat dan mendukung peserta untuk
membagikan pengalaman hidupnya berkaitan dengan tema dasar. Bila pesertanya
banyak, pendamping perlu membaginya dalam kelompok-kelompok kecil.
Pendamping hendaknya tidak memaksakan peserta untuk membagikan
pengalamannya, melainkan harus sabar, ramah, hormat, bersahabat, peka terhadap
3) Langkah kedua : Mendalami pengalaman hidup peserta
Pada langkah kedua ini pendamping mendorong peserta untuk lebih aktif,
kritis, dan kreatif dalam memahami dan mengolah keterlibatan peserta. Katekese
mau membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada
tingkat kesadaran terdalam, mengolah dan menemukan maknanya yang
mendorong peserta untuk melangkah pada praksis baru (Heryatno WW, F.X,
1997:14).
Pada langkah ini, pendamping dituntut untuk dapat menciptakan suasana
pertemuan yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran
peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta supaya
mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam,
menguji pemahaman, kenangan, imajinasi peserta, menyadari kondisi peserta,
lebih-lebih mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap
pengalaman hidupnya (Sumarno, Ds, 2009: 20). Setiap peserta diajak untuk
berkomunikasi namun perlu menghindari suatu kesan yang sifatnya memaksa.
Disini, pendamping perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
terbuka dan menunjukkan sikap siap untuk mendengarkan. Pendamping perlu juga
menyadari keadaan peserta karena refleksi merupakan tahap yang sulit yang
membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk memperkembangkannya
(Heryatno WW, F.X, 1997:18-19).
4) Langkah ketiga : Menggali pengalaman iman kristiani
Pokok dari langkah ketiga ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi
konteks dan latar belakang kebudayaannya berbeda. Tradisi Kristiani
mencerminkan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan ilahi. Tradisi
hadir dalam Kitab Suci, liturgi, adat kebiasaan jemaat, doa, devosi, credo, dogma,
teologi, sakramen, seni dalam gereja, kepemimpinan dan kehidupan jemaat
beriman. Visi Kristiani merupakan suatu konsekuensi dari janji dan tanggung
jawab yang muncul pada tradisi. Visi Kristiani mengungkapkan janji keselamatan
dan kepenuhan yang mendorong peserta pada tanggung jawab mereka untuk
menjadi partner Allah dalam mewujudkan kehendakNya yaitu menyelamatkan
manusia (Heryatno WW, F.X, 1997:19-20).
Pada langkah ini, pendamping menginterpretasikan dan
mengkomunikasikan aspek tradisi dan visi Kristiani kepada peserta. Dalam
menginterpretasikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai tradisi dan visi Kristiani,
pendamping perlu memiliki latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran,
menghormati tradisi dan visi Kristiani yang otentik dan normatif, kritis
mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan visi Kristiani,
menggunakan metode interpretasi yang sifatnya menegaskan, meneguhkan,
mempertanyakan, dan mengundang keterlibatan peserta.
Pada tahap ini, pendamping dapat berfungsi sebagai “guru” dan sekaligus
sebagai “murid”. Sebagai guru, pendamping bukanlah pengajar tetapi partner,
yang bersama peserta berusaha untuk menyadari kehendak Allah. Sedangkan
sebagai murid, pendamping siap belajar dan maju untuk segala ilmu. Sementara
itu dalam memberikan penafsiran, pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian
pendamping harus membuat persiapan yang matang sebelum melaksanakan
proses katekese (Sumarno, Ds, 2009: 21).
5) Langkah keempat : Menerapkan iman Kristiani dalam situasi konkrit peserta
Pada langkah keempat ini, peserta mendialogkan pengolahan mereka pada
langkah pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga. Peserta diberi
kebebasan untuk mempertimbangkan dan menilai mengenai nilai tradisi dan visi
Kristiani berdasar situasi konkret. Peserta dapat mengemukakan apa yang
sungguh-sungguh mereka pikirkan serta mengungkapkan perasaan, sikap,
persepsi, evaluasi, dan penegasan yang menyatakan kebenaran, nilai, serta
kesadaran yang diyakini (Heryatno WW, F.X, 1997:32-33).
Pada tahap ini, pendamping perlu menghormati kebebasan dan hasil
penegasan dari peserta dengan meyakinkan peserta bahwa mereka mampu
mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai tradisi dan
visi Kristiani. Oleh karena itu, pendamping hendaknya mendorong peserta untuk
merubah sikap dari pendengar pasif menjadi pihak aktif. Selain itu, pendamping
perlu menyadari bahwa tafsirannya bukan merupakan harga mati, juga bukan
merupakan kebenaran satu-satunya (Sumarno, Ds, 2009: 21-22).
6) Langkah kelima : Mengusahakan suatu aksi konkret
Pada langkah kelima ini, pendamping mengajak peserta agar sampai pada
keputusan praktis, tidak perlu muluk-muluk tetapi bisa dilaksanakan. Keputusan
itu harus mendorong dan menyemangati peserta untuk setia melaksanakannya.
Keputusan itu perlu dipahami sebagai tanggapan jemaat kristiani terhadap
dalam kontinuitasnya dengan tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visi Kristiani.
Keprihatinannya adalah praksis yaitu mendorong keterlibatan baru dan dengan
cara itu menggarisbawahi peran peserta sebagai subyek yang dipanggil untuk ikut
mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dengan jalan mengusahakan metanoia
(pertobatan pribadi dan sosial yang terus menerus) (Heryatno WW, F.X, 1997:49).
Pada tahap ini pendamping harus sungguh-sungguh mengusahakan agar
peserta sampai pada keputusan pribadi dan bersama. Pendamping dapat
merangkum hasil langkah pertama sampai keempat, supaya dapat membantu
peserta dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, pendamping perlu
menekankan pada peserta sikap optimis dan realistis terhadap masa depan yang
lebih baik dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir dalam situasi apapun
(Sumarno, Ds, 2009: 22).
B. Semangat Persaudaraan 1. Pengertian Persaudaraan
Pengertian persaudaraan berasal dari kata dasar saudara. Dalam bahasa
Indonesia yang dimaksud dengan saudara adalah “orang yang seibu seayah (atau
hanya seibu atau hanya seayah saja) adik atau kakak, orang yang bertalian
keluarga, sanak, baik dari pihak ibu maupun dari ayahnya, orang yang segolongan
(sepaham, seagama, sesuku, sederajat, dan sebagainya) kawan, teman" (dengan
kata lain segala sesuatu yang hampir serupa atau sejenis). Dengan demikian, yang
dimaksud dengan persaudaraan adalah persahabatan yang sekarib saudara,
kamus, 1990:788). Mengacu pada definisi di atas dapat dikatakan bahwa akhirnya
kata saudara dapat ditujukan kepada semua orang.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru makna persaudaraan mendapat
kepenuhannya dalam diri Yesus. Yesus menjadikan semua orang yang percaya
kepada Allah sebagai saudara (Mat. 12:50, Mrk. 3:35, Luk. 8:21). Dalam hal ini
persaudaraan tidak sekedar dipandang sebagai hubungan sedarah atau sebangsa
melainkan persaudaraan yang meniadakan batas-batas fisik, golongan darah, suku,
bangsa, kelompok jender dan sebagainya.
Dalam GS art. 24 dikatakan bahwa Allah yang sebagai Bapa memelihara
semua orang, menghendaki agar mereka semua menjadi satu keluarga dan saling
menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut
gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal
mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Oleh karena itu, persaudaraan perlu
dikembangkan dengan semua orang tanpa terkecuali dikarenakan satu dasar yang
sama dan tujuan yang sama yaitu Allah sendiri.
Allah memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan melainkan
sebagai anggota suatu masyarakat juga. Maka dalam pewartaanNya Ia
memerintahkan kepada putra-putriNya supaya mereka bertingkah laku sebagai
saudara satu terhadap lainnya (GS art. 32). Dengan demikian, persaudaraan
merupakan suatu anugerah dan sekaligus merupakan penugasan untuk
mengembangkannya lebih lanjut.
Berdasar pada semua itu maka dapat dikatakan bahwa persaudaraan adalah
didasarkan pada cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama serta diwujudkan dengan
sikap saling memberi diri dan kemampuan guna membantu perkembangan orang
lain dalam menemukan eksistensi dirinya atau relasi yang saling
memanusiawikan.
2. Ciri-ciri Hidup Persaudaraan
Persaudaraan adalah suatu hubungan yang harmonis antara manusia
dengan sesamanya. Hubungan tersebut mengandaikan orang mampu menerima
keberadaan dan kehadiran orang lain apa adanya. Persaudaraan senantiasa
memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar. Orang menerima kehadiran
sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu tidak tertuju demi suatu
kepentingan tertentu, tetapi berdasarkan sikap menghargai orang lain menuju
kedewasaan pribadi. Dalam hubungan yang sejajar ini akan terjadi kegiatan saling
membantu dalam kesulitan dan saling mendukung dalam mengejar cita-cita,
saling belajar dan menghormati perbedaan yang dimiliki setiap orang, saling
mengasihi, memahami watak dan tabiat orang lain, saling memaafkan bila ada
kesalahpahaman, saling tegur sapa, semangat untuk saling mendengarkan keluh
kesah orang lain, penuh perhatian dan ramah kepada sesama. Sejumlah hal ini
menjadikan pergaulan lebih luas dan hidup pribadi menjadi semakin dewasa.
Inilah yang merupakan ciri-ciri hidup persaudaraan.
Berkaitan dengan ini, Setiap orang hendaknya mampu menjalin relasi
persaudaraan yang intim dengan sesamanya yang didasarkan pada keberadaan
melalui manusia gambaran Allah ditemukan, di dalam diri manusia nilai-nilai ilahi
ditemukan. Atas dasar ini, maka orang dapat menunjukkan persaudaraan yang
hangat kepada setiap orang.
3. Nilai-Nilai yang Mendukung Persaudaraan
Persaudaraan dalam suatu komunitas bisa tetap bertahan karena adanya
nilai-nilai yang mendukung persaudaraan itu. Nilai-nilai tersebut dapat membantu
tetap terjaganya rasa persaudaraan. Nilai-nilai itu antara lain:
a. Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan dasar untuk mewujudkan persaudaraan sejati.
Tanpa ada cinta kasih semangat persaudaraan tidak akan pernah terjalin, karena
hakekat dari cinta kasih adalah Allah. Cinta kasih kepada Allah dapat kita
wujudkan dalam cinta kasih kepada sesama. Dalam cinta kasih, orang mau
menerima dan mengakui segala kekurangan dan kelebihan sesamanya. Cinta kasih
berarti hormat akan pribadi manusia (KWI, 1996:191). Di dalam cinta kasih
segala perbedaan menjadi anugerah, maka sekalipun mereka berasal dari suku,
bahasa, budaya, latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa satu dan
bersaudara. Segala persoalan yang muncul akibat dari perbedaan bisa diatasi
dengan baik dan damai, karena cinta kasih menjadi dasarnya.
Semangat cinta kasih yang dimiliki oleh para seminaris diharapkan bisa
memampukan mereka untuk saling menerima orang lain apa adanya. Cinta kasih
menemukan arti yang paling dalam ketika masing-masing orang mengasihi orang
golongan, budaya, dan seterusnya) melainkan karena ia adalah saudara yang
berasal dari satu Allah, yaitu Allah Bapa dan menerima panggilan yang sama.
b. Keadilan
Persaudaraan mendorong orang untuk bersikap adil terhadap sesamanya,
karena persaudaraan menjadikan individu lain, bagian dari hidupnya yakni
sebagai saudara. Keadilan berarti tindakan menghormati dan memperlakukan
semua orang sesuai dengan martabat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya
(Adisusanto, 1995:7). Adil juga berarti tidak membeda-bedakan atau tanpa
diskriminasi. Dengan kata lain, adil menempatkan orang pada tempat yang
semestinya, dengan tidak melihat latar belakang, suku, budaya, dan status
sosialnya. Di sini relasi di bangun dengan menempatkan masing-masing dalam
tataran subjek dengan subjek, bukan dalam tataran atasan dengan bawahan yang
bisa mengakibatkan terjadinya penindasan satu terhadap yang lainnya (GS art.
29).
Nilai keadilan yang diajarkan di asrama diharapkan dapat membantu para
seminaris untuk memperlakukan teman-temannya setara dengan dirinya, tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tidak ada pula yang lebih berkuasa atau yang
dikuasai, semua sama pentingnya dan mempunyai fungsi dan peranannya
masing-masing. Diharapkan, hal ini dapat menjadikan para seminaris saling mencintai dan
saling menghargai antar satu dengan yang lainnya.
c. Solidaritas
Solidaritas berasal dari kata “solider” yang berarti mempunyai atau
(Tim Penyusun Kamus, 1990:853). Solidaritas sangat dibutuhkan untuk
mempererat relasi persaudaraan. Dengan solidaritas, masing-masing orang bisa
memahami dan mengerti akan perasaan dan keadaan orang lain. Dengan
demikian, orang bisa sehati dan seperasaan terhadap orang lain, tidak mudah
menghakimi dan memandang negatif terhadap orang lain.
Solidaritas yang ada di dalam asrama membantu memperkokoh pertalian
persaudaraan antar anak-anak seminari menengah. Sikap ini meliputi keprihatinan
bersama terhadap sesama yang kurang beruntung. Solidaritas menjadikan
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari para seminaris menjadi
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bersama.
d. Toleransi
Toleransi adalah orang yang toleran menerima atau menanggung beban,
bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat berbeda dan berhati lapang
terhadap orang-orang yang berlainan aliran atau pendapat. Sikap toleran ialah
mengakui kebebasan dan hak-hak asasi orang lain untuk berpandangan dan hidup
secara lain (Heuken, 2005:255).
Toleransi dapat dipahami sebagai sikap orang yang mengalah,
membiarkan, memperbolehkan, atau sabar menahan diri, lapang dada terhadap
keyakinan, pandangan, kebiasaan, kelakuan orang lain yang berbeda bahkan
bertentangan dengan dirinya sendiri. Tentu itu tidak cukup, sebaiknya sampai
pada toleransi sejati. Toleransi sejati adalah sikap mau menghargai dan
mengakui dan menerima kebebasan dan hati nurani orang lain untuk
berpandangan dan hidup berbeda.
Nilai toleransi yang dihayati dalam asrama menjadi salah satu penopang
kelangsungan hidup persaudaraan anak-anak seminari menengah. Sikap toleransi
membantu mereka untuk menyadari dan menerima bahwa setiap orang diciptakan
sebagai pribadi, diberi akal budi, kebebasan dan hati nurani serta dituntut untuk
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sikap toleransi menjadikan
perbedaan dan kemajemukan yang ada di dalam asrama tidak menjadi ancaman
atau sumber konflik, melainkan sebagai suatu anugerah yang menyempurnakan
kekurangan masing-masing. Toleransi menjadikan keanekaragaman menjadi
menarik karena di dalam perbedaan manusia dapat hidup dan berkembang
menjadi dirinya sendiri.
e. Perdamaian
Seluruh umat manusia merindukan damai. Damai tidak hanya berarti tidak
berperang, damai lebih mendalam dan luas adalah “damai sejahtera”. Damai
berarti mengharapkan kebahagiaan yang utuh, sempurna, yang mencakup semua
aspek hidup manusia, mulai dari kebutuhan jasmani dan jaminan hidup, sampai ke
aspek-aspek kerohanian yang paling mendalam (GS art. 78). Dengan kata lain,
damai mencakup kesehatan jasmani-rohani dan kemerdekaan dalam
mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh dan sempurna.
Damai dapat dibangun dengan memajukan berbagai aspek hidup manusia.
Hidup damai akan tercipta apabila masing-masing orang tidak lagi melihat
para seminaris untuk menciptakan suasana damai di dalam kebersamaan dengan
saling tegur sapa, menghindari persaingan dan perselisihan, serta saling
mengampuni.
4. Hal-Hal yang Menghambat Persaudaraan
Di samping nilai-nilai yang mengembangkan persaudaraan yang ada di
dalam asrama, ada juga nilai-nilai yang menghambat persaudaraan. Nilai-nilai ini
menjadikan putusnya sebuah relasi, terkoyaknya sebuah persaudaraan, bahkan
bisa menimbulkan dendam yang melahirkan kesengsaraan. Manusia hendaknya
dijiwai oleh cinta kasih, sebab Allah menghendaki agar manusia saling mengasihi.
Dengan cinta maka segala perbedaan yang ada tidak menjadi suatu persoalan (AG
art. 12). Persaudaraan bisa terpecah atau mati apabila ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan lain. Nilai-nilai yang menghambat persaudaraan tersebut
antara lain:
a. Egoisme
Egoisme merupakan sikap mementingkan diri sendiri. Di sini, segala
sesuatu dipusatkan pada dirinya sendiri. Sikap egoisme muncul karena orang tidak
merasa membutuhkan orang lain dan tidak punya orientasi untuk kebahagiaan
orang lain. Masing-masing orang hanya melakukan sesuatu demi kepentingan diri
sendiri. Egoisme dapat menjadi penghambat persaudaraan karena sikap seperti ini
menyebabkan kesengsaraan dan orang tidak lagi mempunyai kepekaan terhadap
masalah orang lain, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, sulit