• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

hening diajak juga merenungkan dan mengumpulkan buah-buah pribadi dari pertemuan itu (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari langkah ini adalah mengajak peserta untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi Kristiani.

9) Penutup

Penutup pertemuan dimulai dengan mengungkapkan doa-doa spontan sebagai buah-buah pertemuan atau doa umat yang lain dan diakhiri dengan doa penutup dan lagu penutup yang sesuai dengan tema (Sumarno, Ds, 2009: 12). Langkah ini merupakan akhir dari seluruh proses pendalaman iman. Tujuannya adalah menutup seluruh proses pendalaman iman.

b. Model Biblis

Katekese umat dengan model biblis merupakan model katekese yang bertitik tolak pada teks Kitab Suci. Katekese dengan model ini mengajak peserta untuk mendalami sabda Tuhan, merenungkan dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Katekese model ini mengusahakan agar umat mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya dengan merenungkan sabda Tuhan dalam Kitab Suci. Langkah-langkah pokok dari model ini adalah:

1) Doa Pembukaan dan atau Nyanyian Pembukaan

Lagu yang diangkat hendaknya disesuaikan dengan tema Kitab Suci atau Tradisi yang ditentukan dalam pertemuan pendalaman iman. Tema yang disajikan dihubungkan dengan tema pertemuan sebelumnya (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah membuka proses pendalaman iman agar berjalan dengan baik. Peserta mengalami pengkondisian untuk dapat mengikuti pendalaman iman.

2) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi

Peserta membacakan kutipan yang dipilih langsung dari Kitab Suci. Agar mempermudah proses sebaiknya teks diperbanyak. Kemudian diluangkan waktu hening untuk merefleksikan pertanyaan yang diberikan (Sumarno, Ds, 2009: 12). Tujuan dari langkah ini adalah teks Kitab Suci yang menjadi sentral dari model ini sungguh dipahami.

3) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi

Di dalam kelompok kecil, masing-masing peserta membagikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Pendamping kemudian merangkum hasil yang

diungkapkan peserta. Rangkuman jawaban itu dihubungkan dengan apa yang dipersiapkan pendamping. Dengan demikian, peserta diperkaya sebab yang disampaikan pendamping berasal dari berbagai sumber. Isi dan pesan teks yang relevan dengan peserta disampaikan oleh pendamping sebagai narasumber (Sumarno, Ds, 2009: 12-13). Tujuan dari langkah ini adalah menampilkan pesan teks Kitab Suci kepada peserta.

4) Pendalaman pengalaman hidup

Langkah ini memungkinkan peserta menghubungkan pesan teks dengan pengalaman hidupnya sesuai dengan tema seperti peristiwa yang terdapat dalam budaya setempat, dalam hidup bermasyarakat, menggereja, berkeluarga, bekerja dan belajar (Sumarno, Ds, 2009: 13).

5) Penerapan dalam hidup peserta

Refleksi dan memikirkan langkah konkret dalam hidup sehari-hari merupakan proses yang dilakukan peserta pada langkah ini. Semangat kekuatan dan jiwa dari pesan teks diwujudkan (Sumarno, Ds, 2009: 13). Tujuan dari langkah ini ialah agar apa yang telah didapatkan dalam pendalaman iman dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari. Pendamping mengarahkan agar peserta dapat menyusun rencana konkretnya. Hambatan dan tantangan untuk mewujudkan niat dibicarakan bersama.

6) Penutup

Langkah ini merupakan refleksi pribadi tentang kesulitan untuk mewujudkan pesan teks, sarana apa saja yang diperlukan, dan apa saja yang menunjang perwujudan itu di dalam Gereja dan masyarakat. Kemudian pertemuan

ditutup dengan doa-doa spontan dan diakhiri oleh pendamping dengan doa yang merangkum seluruh jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 13).

c. Model Campuran

Katekese umat dengan model campuran bertitik tolak pada pengalaman hidup peserta dan Kitab Suci. Model ini membantu umat dalam mengkonfrontasikan antara nilai-nilai pengalaman hidup peserta dengan nilai-nilai tradisi maupun dengan teks Kitab Suci. Model ini berlangsung melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pembukaan

Mengungkapkan pokok-pokok tema pertemuan dan menghubungkan dengan tema-tema pertemuan sebelumnya. Lagu yang diangkat disesuaikan dengan tema pertemuan yang dibahas (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini merupakan pengantar masuk kependalaman iman. Peserta diajak oleh pendamping untuk masuk dalam suasana pendalaman iman.

2) Pembacaan teks Kitab Suci atau Tradisi

Pembacaan teks dilakukan secara langsung dari Kitab Suci. Jika perlu pembacaan dapat dilakukan sekali lagi oleh pendamping. Kemudian disediakan waktu hening untuk merenungkan teks yang dibacakan (Sumarno, Ds, 2009: 13). Tujuan pada langkah ini ialah agar peserta mengetahui tentang teks yang dipilih dalam pendalaman iman itu.

3) Penyajian pengalaman hidup

Penyajian dapat dilakukan dengan media komunikasi seperti koran, majalah, slide video dan lain-lain. Hal ini bertujuan membangkitkan semangat dan gairah peserta untuk menanggapinya (Sumarno, Ds, 2009: 13). Langkah ini merupakan pengungkapan pengalaman hidup. Tujuannya untuk mengetahui keprihatinan dan permasalahan apa yang sedang dihadapi oleh umat.

4) Pendalaman pengalaman hidup dan teks biblis atau Tradisi

Peserta mengungkapkan kesan dan pesannya. Peserta mencari apa yang objektif dalam pengalaman tadi. Peserta diajak menemukan sendiri tema dan pesan pokok dari penyajian tadi. Peserta merefleksikan dan menganalisa pesan itu untuk hidup sehari-hari dalam hubungannya dengan teks. Pendamping memberikan suatu kesimpulan dan bilamana mungkin tindakan konkret (niat) dipikirkan bersama (Sumarno, Ds, 2009: 14). Tujuan pada langkah ini ialah agar peserta dapat memperoleh inspirasi hidup dari teks Kitab Suci.

5) Penerapan meditatif

Menghubungkan pengalaman konkret dengan teks Kitab Suci. Diharapkan peserta dapat menarik pelajaran nyata dalam hidup berkeluarga, menggereja dan memasyarakat (Sumarno, Ds, 2009: 14). Peserta dapat menerapkan nilai dan tradisi Kristiani dalam hidupnya.

6) Evaluasi singkat

Evaluasi dilakukan terhadap isi, tema, langkah-langkah dan proses yang berlangsung dalam pertemuan. Harapannya ialah agar pertemuan selanjutnya

dapat menjadi lebih baik dan lebih relevan dengan kebutuhan dan aspirasi peserta (Sumarno, Ds, 2009: 14).

7) Penutup

Diawali dengan suasana hening dan dilanjutkan doa-doa spontan dari peserta. Kemudian pendamping mengakhiri dengan doa penutup yang merangkum jalannya pertemuan (Sumarno, Ds, 2009: 14). Langkah ini bertujuan mengakhiri pertemuan pendalaman iman. Diharapkan peserta dengan bagian penutup ini dapat merasa diteguhkan dan merasa mendapat tugas perutusan.

6. Shared Christian Praxis Sebagai Contoh Katekese Umat Model Pengalaman Hidup

Katekese dengan model SCP ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas H. Groome seorang ahli katekese yang berusaha mencari pendekatan katekese yang handal dan efektif, yaitu model yang sungguh mempunyai dasar teologis yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab kebutuhan para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka. Untuk lebih jelasnya, pada bagian ini akan diuraikan pengertian model SCP serta langkah-langkah SCP.

a. Pengertian SCP

Model SCP merupakan salah satu model katekese yang menekankan proses yang bersifat dialogis partisifatif. Tujuan dari proses ini adalah mendorong peserta untuk mampu mengkomunikasikan antara tradisi dan visi hidup peserta

dengan tradisi dan visi Kristiani. Dan pada akhirnya baik secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, bermula dengan refleksi secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya, kemudian dikonfrontasikan dengan tradisi dan visi Kristiani supaya muncul pemahaman sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi dan praksis baru. Orientasi model ini adalah praksis peserta sebagai subyek yang bebas dan bertanggung jawab (Heryatno WW, 1997:1).

Sesuai dengan tiga huruf (S-C-P), model ini memiliki tiga komponen yaitu Praksis, Kristiani dan “Shared”. Penjelasan masing-masing komponen itu sebagai berikut:

1) Praksis

Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan sebagai tindakan. Praksis mengacu pada seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang mempunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan antara praktek dan teori yang membentuk suatu kreativitas, sedangkan refleksi kritis dan kesadaran historis akan mengarah pada keterlibatan baru.

Praksis mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan yaitu aktivitas, refleksi dan kreativitas. Ketiga unsur itu berfungsi membangkitkan berkembangnya imajinasi, meneguhkan kehendak, dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral. Penjelasan singkat arti ketiga unsur itu adalah sebagai berikut:

Unsur pertama, aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan medan untuk perwujudan diri sebagai manusia.

Unsur kedua, refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap “tradisi” dan “visi” iman kristiani sepanjang sejarah.

Unsur ketiga, kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa depan yang terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno WW, F.X, 1997:2).

2) Kristiani

Maksud Kristiani dalam SCP adalah mengusahakan agar kekayaan iman Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk kehidupan peserta. Kekayaan iman Kristiani yang ditekankan dalam model ini adalah pengalaman iman tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.

Tradisi Kristiani mengungkapakan realitas iman jemaat yang hidup dan sungguh dihidupi. Ini mengungkapkan tanggapan manusia terhadap pewahyuan diri Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, tradisi senantiasa mengundang keterlibatan praktis. Sedang visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji Allah yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Heryatno WW, F.X, 1997:3).

3) Shared

Istilah shared atau sharing berasal dari kata share yang artinya berbagi. Dalam katekese, sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik, partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Istilah ini juga merupakan proses katekese yang menekankan unsur dialog partisipatif peserta yang ditandai dengan suasana kebersamaan, persaudaraan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam sharing semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap mendengarkan dengan hati pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan kebebasan hati (Heryatno WW, F.X, 1997:4).

Dikatakan pula bahwa sharing berarti berbagi rasa, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain. Dalam dialog ada dua unsur penting yaitu membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan tidak sama dengan berbicara saja atau omong-omong terus menerus tanpa memberi kesempatan pada orang lain untuk berbicara. Membicarakan berarti menyampaikan apa yang menjadi kebenaran pengalaman sendiri. Sedangkan mendengarkan tidak sama dengan mendengar. Mendengarkan berarti mendengarkan dengan hati dan rasa tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan melibatkan seluruh diri sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap apa yang dikomunikasikan oleh orang lain (Sumarno, Ds, 2009: 17).

b. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP)

SCP merupakan suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman hidup antar peserta, yang dalam prosesnya memiliki langkah-langkah yang

berurutan dan terus mengalir. Thomas H. Groome mengemukakan lima langkah pokok yang didahului dengan langkah awal/ pendahuluan sebagai berikut:

1) Langkah awal (0) : Pemusatan aktivitas

Langkah ini bertujuan mendorong peserta sebagai subyek utama untuk menemukan topik pertemuan yang bersumber dari kehidupan konkret peserta yang pada akhirnya menjadi tema dasar pertemuan. Dengan demikian, tema dasar pertemuan dapat sungguh-sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup, permasalahan dan kebutuhan peserta. Pemilihan tema pertemuan perlu memperhatikan situasi konkret peserta, tujuannya, dinamika pendekatan perlu yang bersifat dialogis dan sumber-sumber iman Kristiani (Heryatno WW, F.X, 1997:10). Tema dasar hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta untuk terlibat aktif dalam pertemuan, menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Untuk itu, seorang pendamping harus dapat membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat.

Pada tahap ini pendamping dapat menggunakan sarana-sarana yang menunjang untuk dapat menemukan salah satu aspek yang dapat menjadi topik dasar pertemuan. Sarana-sarana tersebut dapat melalui cerita, bahasa foto, poster, video, kaset suara lainnya yang mendukung dalam pemilihan tema bersama. Untuk itu, seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat. Disamping itu, pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan fisik yang mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam suasana dialog dan kebersamaan (Heryatno WW, F.X, 1997:10).

2) Langkah pertama : Mengungkapkan pengalaman hidup peserta

Langkah ini membantu dan mendorong peserta supaya menyadari pengalaman mereka sendiri, menginterpretasikan, membahasakan dan mengkomunikasikan pada peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup ini bisa berupa pengalaman peserta sendiri, atau kehidupan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, ataupun gabungan keduanya yang dipandang cocok dengan tema yang sudah digali bersama (Heryatno WW, F.X, 1997:11).

Bertitik tolak dari pemusatan aktivitas, langkah ini diawali dengan tuntunan pertanyaan sebagai bantuan yang sesuai dengan topik dasar. Perumusan pertanyaan harus jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri orang, sesuai dengan latar belakang peserta dan bersifat terbuka. Kemudian peserta dapat membagikan pengalaman hidupnya dan tidak boleh ditanggapi sebagai sebuah laporan. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan dengan gaya dan pilihan mereka. Mereka dapat mengungkapkannya melalui puisi, nyanyian, tarian, gambar, maupun yang lainnya (Heryatno WW, F.X, 1997:12).

Pada langkah ini, pendamping berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat dan mendukung peserta untuk membagikan pengalaman hidupnya berkaitan dengan tema dasar. Bila pesertanya banyak, pendamping perlu membaginya dalam kelompok-kelompok kecil. Pendamping hendaknya tidak memaksakan peserta untuk membagikan pengalamannya, melainkan harus sabar, ramah, hormat, bersahabat, peka terhadap latar belakang dan permasalahan peserta (Sumarno, Ds, 2009: 19).

3) Langkah kedua : Mendalami pengalaman hidup peserta

Pada langkah kedua ini pendamping mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam memahami dan mengolah keterlibatan peserta. Katekese mau membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada tingkat kesadaran terdalam, mengolah dan menemukan maknanya yang mendorong peserta untuk melangkah pada praksis baru (Heryatno WW, F.X, 1997:14).

Pada langkah ini, pendamping dituntut untuk dapat menciptakan suasana pertemuan yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta supaya mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam, menguji pemahaman, kenangan, imajinasi peserta, menyadari kondisi peserta, lebih-lebih mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya (Sumarno, Ds, 2009: 20). Setiap peserta diajak untuk berkomunikasi namun perlu menghindari suatu kesan yang sifatnya memaksa. Disini, pendamping perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka dan menunjukkan sikap siap untuk mendengarkan. Pendamping perlu juga menyadari keadaan peserta karena refleksi merupakan tahap yang sulit yang membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk memperkembangkannya (Heryatno WW, F.X, 1997:18-19).

4) Langkah ketiga : Menggali pengalaman iman kristiani

Pokok dari langkah ketiga ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi Kristiani lebih terjangkau dan lebih mengena untuk kehidupan peserta yang

konteks dan latar belakang kebudayaannya berbeda. Tradisi Kristiani mencerminkan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan ilahi. Tradisi hadir dalam Kitab Suci, liturgi, adat kebiasaan jemaat, doa, devosi, credo, dogma, teologi, sakramen, seni dalam gereja, kepemimpinan dan kehidupan jemaat beriman. Visi Kristiani merupakan suatu konsekuensi dari janji dan tanggung jawab yang muncul pada tradisi. Visi Kristiani mengungkapkan janji keselamatan dan kepenuhan yang mendorong peserta pada tanggung jawab mereka untuk menjadi partner Allah dalam mewujudkan kehendakNya yaitu menyelamatkan manusia (Heryatno WW, F.X, 1997:19-20).

Pada langkah ini, pendamping menginterpretasikan dan mengkomunikasikan aspek tradisi dan visi Kristiani kepada peserta. Dalam menginterpretasikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai tradisi dan visi Kristiani, pendamping perlu memiliki latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran, menghormati tradisi dan visi Kristiani yang otentik dan normatif, kritis mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan visi Kristiani, menggunakan metode interpretasi yang sifatnya menegaskan, meneguhkan, mempertanyakan, dan mengundang keterlibatan peserta.

Pada tahap ini, pendamping dapat berfungsi sebagai “guru” dan sekaligus sebagai “murid”. Sebagai guru, pendamping bukanlah pengajar tetapi partner, yang bersama peserta berusaha untuk menyadari kehendak Allah. Sedangkan sebagai murid, pendamping siap belajar dan maju untuk segala ilmu. Sementara itu dalam memberikan penafsiran, pendamping perlu mengikutsertakan kesaksian iman, harapan dan cinta pada nilai tradisi dan visi Kristiani. Untuk itu, seorang

pendamping harus membuat persiapan yang matang sebelum melaksanakan proses katekese (Sumarno, Ds, 2009: 21).

5) Langkah keempat : Menerapkan iman Kristiani dalam situasi konkrit peserta Pada langkah keempat ini, peserta mendialogkan pengolahan mereka pada langkah pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga. Peserta diberi kebebasan untuk mempertimbangkan dan menilai mengenai nilai tradisi dan visi Kristiani berdasar situasi konkret. Peserta dapat mengemukakan apa yang sungguh-sungguh mereka pikirkan serta mengungkapkan perasaan, sikap, persepsi, evaluasi, dan penegasan yang menyatakan kebenaran, nilai, serta kesadaran yang diyakini (Heryatno WW, F.X, 1997:32-33).

Pada tahap ini, pendamping perlu menghormati kebebasan dan hasil penegasan dari peserta dengan meyakinkan peserta bahwa mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai tradisi dan visi Kristiani. Oleh karena itu, pendamping hendaknya mendorong peserta untuk merubah sikap dari pendengar pasif menjadi pihak aktif. Selain itu, pendamping perlu menyadari bahwa tafsirannya bukan merupakan harga mati, juga bukan merupakan kebenaran satu-satunya (Sumarno, Ds, 2009: 21-22).

6) Langkah kelima : Mengusahakan suatu aksi konkret

Pada langkah kelima ini, pendamping mengajak peserta agar sampai pada keputusan praktis, tidak perlu muluk-muluk tetapi bisa dilaksanakan. Keputusan itu harus mendorong dan menyemangati peserta untuk setia melaksanakannya. Keputusan itu perlu dipahami sebagai tanggapan jemaat kristiani terhadap pewahyuan ilahi yang terus berlangsung di dalam sejarah kehidupan manusia

dalam kontinuitasnya dengan tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visi Kristiani. Keprihatinannya adalah praksis yaitu mendorong keterlibatan baru dan dengan cara itu menggarisbawahi peran peserta sebagai subyek yang dipanggil untuk ikut mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dengan jalan mengusahakan metanoia (pertobatan pribadi dan sosial yang terus menerus) (Heryatno WW, F.X, 1997:49).

Pada tahap ini pendamping harus sungguh-sungguh mengusahakan agar peserta sampai pada keputusan pribadi dan bersama. Pendamping dapat merangkum hasil langkah pertama sampai keempat, supaya dapat membantu peserta dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, pendamping perlu menekankan pada peserta sikap optimis dan realistis terhadap masa depan yang lebih baik dengan kesadaran bahwa Allah senantiasa hadir dalam situasi apapun (Sumarno, Ds, 2009: 22).

B. Semangat Persaudaraan 1. Pengertian Persaudaraan

Pengertian persaudaraan berasal dari kata dasar saudara. Dalam bahasa Indonesia yang dimaksud dengan saudara adalah “orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau hanya seayah saja) adik atau kakak, orang yang bertalian keluarga, sanak, baik dari pihak ibu maupun dari ayahnya, orang yang segolongan (sepaham, seagama, sesuku, sederajat, dan sebagainya) kawan, teman" (dengan kata lain segala sesuatu yang hampir serupa atau sejenis). Dengan demikian, yang dimaksud dengan persaudaraan adalah persahabatan yang sekarib saudara, pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian keluarga (Tim penyusun

kamus, 1990:788). Mengacu pada definisi di atas dapat dikatakan bahwa akhirnya kata saudara dapat ditujukan kepada semua orang.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru makna persaudaraan mendapat kepenuhannya dalam diri Yesus. Yesus menjadikan semua orang yang percaya kepada Allah sebagai saudara (Mat. 12:50, Mrk. 3:35, Luk. 8:21). Dalam hal ini persaudaraan tidak sekedar dipandang sebagai hubungan sedarah atau sebangsa melainkan persaudaraan yang meniadakan batas-batas fisik, golongan darah, suku, bangsa, kelompok jender dan sebagainya.

Dalam GS art. 24 dikatakan bahwa Allah yang sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki agar mereka semua menjadi satu keluarga dan saling menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Oleh karena itu, persaudaraan perlu dikembangkan dengan semua orang tanpa terkecuali dikarenakan satu dasar yang sama dan tujuan yang sama yaitu Allah sendiri.

Allah memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan melainkan sebagai anggota suatu masyarakat juga. Maka dalam pewartaanNya Ia memerintahkan kepada putra-putriNya supaya mereka bertingkah laku sebagai saudara satu terhadap lainnya (GS art. 32). Dengan demikian, persaudaraan merupakan suatu anugerah dan sekaligus merupakan penugasan untuk mengembangkannya lebih lanjut.

Berdasar pada semua itu maka dapat dikatakan bahwa persaudaraan adalah suatu persahabatan yang universal, yang mencakup segala bangsa, yang

didasarkan pada cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama serta diwujudkan dengan sikap saling memberi diri dan kemampuan guna membantu perkembangan orang lain dalam menemukan eksistensi dirinya atau relasi yang saling memanusiawikan.

2. Ciri-ciri Hidup Persaudaraan

Persaudaraan adalah suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya. Hubungan tersebut mengandaikan orang mampu menerima keberadaan dan kehadiran orang lain apa adanya. Persaudaraan senantiasa memelihara hubungan antar pribadi yang sejajar. Orang menerima kehadiran sesamanya sebagai bagian dari dirinya. Hubungan itu tidak tertuju demi suatu kepentingan tertentu, tetapi berdasarkan sikap menghargai orang lain menuju kedewasaan pribadi. Dalam hubungan yang sejajar ini akan terjadi kegiatan saling membantu dalam kesulitan dan saling mendukung dalam mengejar cita-cita, saling belajar dan menghormati perbedaan yang dimiliki setiap orang, saling mengasihi, memahami watak dan tabiat orang lain, saling memaafkan bila ada kesalahpahaman, saling tegur sapa, semangat untuk saling mendengarkan keluh kesah orang lain, penuh perhatian dan ramah kepada sesama. Sejumlah hal ini menjadikan pergaulan lebih luas dan hidup pribadi menjadi semakin dewasa. Inilah yang merupakan ciri-ciri hidup persaudaraan.

Berkaitan dengan ini, Setiap orang hendaknya mampu menjalin relasi persaudaraan yang intim dengan sesamanya yang didasarkan pada keberadaan manusia sebagai “citra Allah”. Manusia sebagai citra Allah berarti di dalam dan

Dokumen terkait