KOMPETENSI INTERPERSONAL ANAK TUNA NETRA
DI SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN A
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Aurelia Tyas Reneng Ayomi
NIM : 049114037
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
Do your best and let God take care of the rest
Cita-cita mendekat sejauh kaki mengayuh
Impian kian melekat seakrab tekad dibangun
Masa depan tergenggam erat
Sehasrat hati bertekun….
Teruntuk kedua orangtuaku…
Yang telah menghujani aku dengan cinta yang tak berujung…
Atas doa dan pengharapan yang tiada putus-putusnya…
Semoga persembahan kecil ini mampu membalut luka
dan membasuh perih….
vii ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh anak-anak tuna netra. Kompetensi interpersonal dalam penelitian ini adalah kemampuan dalam melakukan hubungan interpersonal secara efektif, yang terdiri dari kemampuan melakukan inisiatif, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional serta kemampuan mengatasi konflik.
Subyek dalam penelitian ini adalah anak tuna netra, berjumlah tiga orang, berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 10 dan 11 tahun dan duduk di bangku kelas 3 dan 4 di salah satu Sekolah Luar Biasa bagian A di kota Yogyakarta. Penelitian menggunakan observasi natural dengan peneliti sebagai partisipan. Selain itu, peneliti menggunakan satu orang pengamat tambahan untuk membantu menjaga obyektivitas dan validitas data penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak semua subyek mempunyai kompetensi interpersonal yang sama. Meski secara umum mampu, tetapi ternyata ada ketidakmampuan yang dimiliki oleh subyek. Dalam hal ini terutama ketidakmampuan subyek untuk membuka diri dan berikutnya adalah ketidakmampuan subyek mengatasi konflik ketika berhubungan dengan orang lain.
viii
consisted of ability to take an initiative, ability to open himself among others, ability to act assertively, ability to give emotional support for others, and ability inresolving conflict.
The subject of this research were three male, blind children of 10-11 year old. They studied at elementary school for disabled children called “SLB A”. This research used naturalistic observation with researcher as participant. Researcher was helped by the additional observer to assist the research and to ensuring the objectivity and validity of the data.
The conclusion says each subject has differences in his own interpersonal competencies. There are two main differences, i.e ability of each subject to open himself to others and their ability to deal with conflict with the others.
skripsi ini berhasil diselesaikan.
Skripsi ini merupakan perjalanan penulis dalam menuntut ilmu, yang telah
mengajarkan kepada penulis arti sebuah perjuangan dan kesabaran. Semoga apa
yang penulis tuliskan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa perlu
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan penelitian ini. Penulis berterima kasih kepada :
1.
Tuhan Yesus Kristus, atas kesempatan hidup, belajar, dan bekerja. Terima
kasih untuk semua yang diberikan. Aku akan mengingat janjiku pada-Mu.
2.
Orang tua penulis, alm. Bapak Ignatius Iswahono dan Ibu Ignatia In
Prihati yang tiada putusnya mendukung dan menyemangati penulis hingga
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk kasih
sayang dan doa yang selalu bisa memberi pengharapan baru bagi penulis.
3.
Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma atas berbagai bekal ilmu pengetahuan maupun
kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengurus berbagai
perijinan selama penulis melaksanakan penelitian.
4.
Romo Dr. A. Priyono Marwan, SJ selaku dosen pembimbing skripsi.
5.
Ibu M. M. Nimas Eki Suprawati, S.Psi, Psi.
6.
Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, selaku Dosen Pembimbing
Akademik, atas segala bimbingan yang telah diberikan selama penulis
menimba ilmu di Fakultas Psikologi. Terimakasih pula atas kepercayaan
dan nasehat yang telah diberikan.
7.
Ibu Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi., M.Si atas bimbingan dan diskusinya,
terutama dalam metodologi penelitian skripsi. Penulis akan selalu ingat
saran Ibu...
8.
Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si. Terima kasih telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk bekerja bersama di Divisi Konseling
Fakultas Psikologi. Pengalaman membangun sesuatu yang baru, teman
baru, dan semangat baru... Diskusi-diskusi bersama Ibu selalu
mengasyikan..
9.
Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S selaku dosen penguji skripsi.
10.
Kepala Yayasan dan Kepala Sekolah, Sekolah Luar Biasa A “Yakketunis”
Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian di dalam lingkungan Sekolah Luar Biasa A “Yakketunis”.
11.
Suster-suster PMY, Hellen Keller Indonesia (Suster Magda, Suster Emil,
Suster Anas, Suster Yovita, serta adikku Rosa) atas kesediaannya untuk
berdiskusi dan menerima penulis serta meminjamkan buku-bukunya.
12.
Ik, Mb’ Pin, dan keluarga besar di Temanggung. Terimakasih banyak…
13.
Segenap dosen fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
dukungannya ya… Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Lanjutkan cita-citamu untuk menjadi wartawan.. Aku mendukungmu!!
Untuk Aldo, Enno, Nia, Nino, Anin, dan Salva. Makasih ya udah
membuatku selalu tersenyum... Ata, makasih pinjeman laptopnya…
16.
Fanni Anindyati ’04. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku.
Terima kasih udah mau dengerin keluh kesahku, mau mendampingi di
saat-saat terberat dalam hidupku dan selalu memberi dukungan bagiku.
17.
Teman-teman seperjuanganku, Indra, Lusi, Ruri, Dita, Mita, Yaya, Ocha,
Yoyok, Krisna, Sronggot, terimakasih atas kebersamaan dan
kenangan-kenangan indah yang kalian torehkan di hati penulis. Susi, untuk
kebersamaan kita di ruang baca. Mietha, untuk catatan observasinya…
18.
Teman-teman asisten konselor Divisi Konseling Fakultas Psikologi. Tidak
ada pekerjaan yang sulit dan membosankan. Terima kasih untuk
dukungan, bantuan, pengertian, dan kerjasama selama kita bekerja
bersama. Aku senang bekerja dan mengisi hari bersama kalian. Verty dan
Raniy, aku akan selalu ingat diskusi-diskusi kecil kita di ruang konseling.
Puput, makasih pinjeman laptopnya. Mas Yudhi, Sumar, makasih udah
dengerin curhatku dan makasih editannya. Wira dan Karen, makasih untuk
kerjasamanya. Untuk semuanya, terimakasih udah menjadi teman, saudara,
dan rekan kerja. Terima kasih untuk pengertian dan kebijaksanaannya.
Aku belajar banyak bersama kalian.
19.
Mbak Margaretta D. R. Sari ’03, terima kasih untuk diskusi dan
bantuannya selama aku mengerjakan skripsi ini.
20.
Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu penulis dalam
melancarkan kebingungan dalam urusan-urusan administrasi. Mas Doni di
Ruang Baca, terima kasih sudah membantu penulis dengan meminjamkan
buku-buku yang dibutuhkan guna penyusunan skripsi ini. Mas Muji & Pak
Gie, tetep semangat & terima kasih.
21.
B, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita..
Seandainya aku masih bisa memilih..
22.
Untuk teman-teman Psikologi ’04, tetep semangat ya… Penulis tidak akan
melupakan saat-saat indah bersama kalian.
23.
Untuk Petrus Dedy Prasetyo. Terimakasih atas perhatian dan
pengertianmu. Terima kasih pernah menorehkan kenangan indah di hati
penulis. Percaya, semua akan indah pada waktunya…
Penulis
xiv
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN...……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.………... iii
HALAMAN MOTTO...……….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...………... vi
ABSTRAK...…... vii
ABSTRACT…………...………. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……... ix
KATA PENGANTAR...………. x
DAFTAR ISI……… xiv
DAFTAR TABEL……….... xvii
BAB I. (PENDAHULUAN) ……….... 1
A. Latar Belakang………..……….. 1
B. Rumusan Masalah……….. 6
C. Tujuan Penelitian……… 6
D. Manfaat Penelitian………..…… 7
BAB II. (TINJAUAN PUSTAKA) ………. 8
A. Kompetensi Interpersonal………... 8
2.
Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal………...
9
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi
Inter-personal………. 13
B.
Tuna Netra………..
15
1.
Pengertian Tuna Netra………..
15
2.
Klasifikasi Tuna Netra………..
16
3.
Karakteristik Anak Tuna Netra……….
18
C.
Sekolah Luar Biasa Bagian A……….
22
D.
Kompetensi Interpersonal Tuna Netra di Sekolah Luar Biasa
bagian
A………..
23
BAB III. (METODOLOGI PENELITIAN) ……….
26
A.
Desain Penelitian………
26
B.
Batasan Operasional………….………..
27
C.
Subyek Penelitian………
28
D.
Metode Pengumpulan Data……….
30
E.
Metode Pencatatan Data……….
33
F.
Analisis Data………...
34
G.
Validitas dan Reliabilitas dalam Studi Kualitatif………
35
BAB IV. (PELAKSANAAN, ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN) ………
38
A.
Pelaksanaan Penelitian………
38
B.
Hasil Penelitian………
40
1.
Deskripsi Hasil Penelitian……….
41
A.
Kesimpulan………. 70
B.
Keterbatasan Hasil Penelitian……….
71
C.
Saran………... 72
DAFTAR PUSTAKA………...
74
LAMPIRAN………...
77
Lamp 1 : Pedoman Observasi Lapangan ………
78
Lamp 2 : Hasil Penelitian dan Koding………
83
Lamp 3 : Hasil Wawancara
Cross-check
...
113
Lamp 4 : Kartu Data Observasi.………..
125
Lamp 6 : Kode Data dan Cara Membaca Kode Data…………..
146
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Deskripsi Perilaku yang Diamati………
32
Tabel 2. Data Demografi Subyek……….
40
Tabel 3. Rangkuman Hasil Penelitian ………
63
1
A.
Latar Belakang
Perkembangan yang paling menonjol pada anak-anak usia sekolah adalah
perkembangan sosial karena pada masa ini anak mulai mengembangkan
lingkup pergaulannya keluar rumah, yaitu ke lingkungan sosial yang lebih luas
(Mulyati, 1997). Di masa ini, anak-anak mulai merasakan kepekaan terhadap
orang lain di sekitar mereka (Sullivan dalam Santrock, 1995). Masa dimana
anak-anak menjadi pribadi yang sosial dan harus menjalin hubungan dengan
orang lain adalah tugas utama pada masa akhir kanak-kanak yaitu pada usia
6-10 atau 12 tahun (Hurlock, 1978). Hurlock (1978) juga menambahkan bahwa
anak-anak usia 6-12 tahun dituntut untuk bisa bersosialisasi dengan teman
sebaya secara efektif, baik itu di sekolah ataupun di rumah. Hal tersebut
merupakan keterampilan yang harus dimiliki pada masa kanak-kanak akhir.
Kualitas dalam melakukan keterampilan bersosialisasi tersebut akan
menentukan keberhasilan anak dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Kemampuan bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang lain itulah
yang disebut sebagai kompetensi interpersonal.
2
yang efektif dapat ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik
psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina
hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Supratiknya (2000)
menambahkan, hubungan antar pribadi ditentukan oleh kemampuan
mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan dan
menciptakan kesan yang diinginkan.
Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengemukakan lima
aspek kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan
membuka diri, kemampuan bersikap asertif, dapat memberikan dukungan
emosional, serta mampu mengatasi konflik.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui lima aspek kompetensi
interpersonal di antara anak tuna netra. Anak tuna netra adalah anak yang
mengalami kelainan pada indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat
maupun ringan (Pradopo, Soekini Ts., Suharto, Tobing, 1979).
dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Hal ini didukung juga oleh
penelitian Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa 80% informasi yg
diterima orang berasal dari informasi visual, maka gangguan pada indera
penglihatan membuat banyak sekali porsi informasi yang hilang
(http://www.sc-ina.html).
Untuk melakukan kompetensi interpersonal secara efektif, seorang anak
harus bisa melakukan komunikasi yang baik, sedangkan komunikasi dapat
berjalan dengan baik apabila anak dapat menginterpretasikan pesan visual
yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan. Dengan
demikian, anak-anak tuna netra dipandang kurang mempunyai kompetensi
interpersonal disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam penggunaan indera
penglihatan.
Minat penelitian timbul dari kedekatan tempat tinggal peneliti dengan
SLB A. Peneliti melihat keseharian mereka dari dekat, maka peneliti
berempati pada anak-anak tuna netra dan ingin melakukan penelitian lebih
lanjut agar dapat membantu tuna netra untuk lebih mampu berinteraksi dan
bersosialisasi dengan orang lain, khususnya dengan lingkungan sekitarnya.
4
cenderung bersikap tertutup. Mereka seringkali menyendiri di salah satu sudut
ruangan dan kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Anak-anak tuna
netra terkadang juga kurang dapat bersikap asertif. Mereka cenderung
bersikap diam, acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga
kurang dapat memberikan dukungan emosional dengan akibat mereka menjadi
kurang mampu mengatasi konflik dalam hubungan mereka dengan orang lain.
Hal inilah yang menjadi masalah anak-anak tuna netra.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kompetensi interpersonal sangat
penting dimiliki oleh anak-anak tuna netra agar mereka dapat membina
hubungan interpersonal yang baik, misalnya dapat menjalin persahabatan
dengan teman-temannya, dapat berinteraksi dengan orang lain serta
melanjutkan hidupnya dengan mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang
lain.
Sekolah mempunyai fungsi yang penting dalam meningkatkan
keterampilan anak untuk melakukan interaksi. Sekolah menjadi tempat yang
penting karena sekolah mempunyai peran dalam membimbing serta
mengarahkan anak-anak didik mereka dalam bertindak dan berperilaku.
Sekolah juga tidak hanya mengajarkan hal-hal yang berbau akademik saja
tetapi juga mengajarkan bagaimana cara untuk bergaul, bersahabat, bekerja
sama dalam kelompok dan berinteraksi dengan teman-teman yang lain.
Santrock (1995) menyatakan, relasi dengan teman-teman sebaya di sekolah
juga dapat mendukung anak karena anak belajar berinteraksi dengan dunia
sosial, bekerja sama, dan belajar mempunyai sahabat.
Periode tahun sekolah dasar adalah tahun pertama seorang anak untuk
mencapai suatu perubahan dari seorang “anak rumah” menjadi seorang “anak
sekolah” dimana peran dan kewajiban-kewajiban baru mereka alami untuk
yang pertama kali. Mereka berinteraksi dan mengembangkan hubungan
dengan orang-orang baru yang penting lainnya, mengadopsi kelompok acuan
baru, dan mengembangkan
standard-standard
baru untuk menilai diri mereka
sendiri (Stipek dalam Santrock, 1995).
6
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, anak-anak tuna netra juga dapat
mengembangkan keterampilan interpersonalnya dengan bersekolah karena
mereka mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Sekolah Luar Biasa diharapkan dapat menciptakan kondisi
dimana anak-anak tuna netra mampu melakukan tindakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan kompetensi
interpersonal mereka. Sekolah tersebut membiasakan anak-anak tuna netra
untuk hidup berdampingan dengan orang lain sehingga memungkinkan
mereka untuk lebih dapat mengembangkan kemampuan interpersonal, yaitu
kemampuan untuk melakukan inisiatif, kemampuan untuk membuka diri,
bersikap asertif, memberikan dukungan emosional kepada orang lain serta
kemampuan mengatasi konflik. Oleh sebab itu penulis ingin mengetahui
bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki anak tuna netra yang
bersekolah di Sekolah Luar Biasa bagian A.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana kompetensi interpersonal yang dimiliki anak-anak tuna netra di
Sekolah Luar Biasa bagian A ?
C.
Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pendidikan anak
berkebutuhan khusus di Indonesia, tentang bagaimana mengelola dengan
lebih baik anak yang memiliki kebutuhan khusus, terutama
anak-anak tuna netra yang berada di Sekolah Luar Biasa bagian A.
2. Penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai kompetensi
interpersonal anak-anak tuna netra di Sekolah Luar Biasa bagian A.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kompetensi Interpersonal
1. Pengertian
Kompetensi
Interpersonal
Kompetensi menurut Purwadarminta dalam Anastasia (2004) adalah
suatu kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dapat diukur dari
tingkah laku. Kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dimiliki
misalnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sementara itu yang
dimaksud dengan hubungan interpersonal menurut Kartono dalam
Anastasia (2004) adalah hubungan antara individu-individu, dimana
individu yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi.
dalam interaksi tersebut. Supratiknya (2000) menambahkan, hubungan
antar pribadi ditentukan oleh kemampuan mengkomunikasikan secara
jelas apa yang ingin disampaikan dan menciptakan kesan yang diinginkan.
2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal
Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengemukakan
lima aspek kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berinisiatif,
kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan
memberikan dukungan emosional, serta kemampuan mengatasi konflik
dalam berhubungan dengan orang lain.
a. Kemampuan untuk berinisiatif
Menurut
Buhrmester,
Furman, Wittenberg, dan Reis (1988),
inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan
hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih
besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang
lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sediri
dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah
diketahui agar dapat lebih memahaminya.
10
b. Kemampuan untuk membuka diri
Kartono dan Gulo dalam Nashori (2000) menyatakan bahwa
pembukaan diri adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga
dirinya dikenal oleh orang lain. Dalam pengungkapan diri, menurut
Wrigthsman dan Deaux dalam Nashori (2000), seseorang
mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan
memberikan perhatian pada orang lain, sebagai suatu bentuk
penghargaan yang akan memperluas kesempatan terjadinya
sharing
.
Dengan adanya pembukaan diri, terkadang seseorang akan
menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain
mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa pembukaan diri merupakan kemampuan
untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi
dan penghargaan terhadap orang lain.
c.
Kemampuan untuk bersikap asertif
Dalam konteks komunikasi interpersonal, subyek seringkali harus
mampu mengungkapkan ketidaksetujuan atas berbagai macam hal atau
peristiwa yang tidak sesuai dengan pikirannya. Hal itu berarti
diperlukan adanya asertivitas dalam diri orang tersebut.
Menurut Perlman dan Cozby dalam Nashori (2003), asertivitas
adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan
perasaannya secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya
dengan tegas.
Diungkapkan pula oleh Calhoun dan Acocella dalam Nashori
(2003) bahwa kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk
meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan atau
menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi, kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk
mengungkapkan perasaan-perasaannya secara jelas, meminta orang
lain melakukan sesuatu, dan menolak melakukan hal yang tidak
diinginkan tanpa melukai perasaan orang lain.
12
kepada teman bahwa mereka/dia telah melakukan hal yang
membuatmu marah.
d. Kemampuan memberikan dukungan emosional
Perilaku
yang
menunjukkan
dukungan emosional menurut
Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) adalah: (1) Menjadi
orang yang dapat mendengarkan keluh kesah ketika teman mempunyai
persoalan, (2) Membantu teman untuk menguasai keadaan atau
menguasai diri ketika mereka mempunyai persoalan dengan teman
lain, (3) Dapat bersikap tulus dan memberikan perhatian kepada teman
yang sedang kesusahan.
e. Kemampuan dalam mengatasi konflik
lain. Kemampuan mengatasi konflik itu diperlukan agar tidak
merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan
memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini
meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah,
mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu masalah dan
mengembangkan konsep harga diri yang baru.
Menurut
Buhrmester,
Furman, Wittenberg, dan Reis (1988),
perilaku yang menunjukkan adanya kemampuan dalam mengatasi
konflik adalah sebagai berikut : (1) Mau mengakui kesalahan dan
mendengarkan saran untuk memperbaiki perbuatan yang kurang baik,
(2) Dapat menekan perasaan marah sehingga tidak meledak-ledak
ketika bertengkar dengan teman, (3) Mau mendengarkan keluhan dari
teman dan tidak berusaha mencari pembenaran diri ketika perbuatan
yang dilakukan benar-benar salah.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal
Berbagai penelitian menemukan bahwa Kompetensi Interpersonal
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kontak dengan orang
tua, interaksi dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial.
a. Interaksi anak dengan orang tua
14
mengatakan adanya kontak di antara orang tua dan anak menjadikan
anak belajar dengan lingkungan sosialnya dan pengalaman
bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya.
b.
Interaksi anak dengan teman sebaya
Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) mengatakan
bahwa perilaku teman sebaya sangat berpengaruh terhadap interaksi
sosial. Mereka saling mempengaruhi satu sama lain selama melakukan
interaksi bersama-sama.
Lever dalam Hurlock (1980) mengatakan bahwa selama bermain
dan berinteraksi dengan teman-teman, anak mengembangkan berbagai
keterampilan sosial sehingga memungkinkan untuk menikmati
keanggotaan dalam kelompok.
Kramer dan Gottman menyatakan individu yang memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan
sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan
interpersonal (Nashori, 2000).
c.
Partisipasi sosial
Hurlock (1997) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal
dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang banyak
terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih banyak berpeluang
untuk mengasah keterampilan sosial yang dimiliki termasuk
kompetensi interpersonalnya.
B.
Tuna Netra
1. Pengertian Tuna Netra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976) Tuna mempunyai arti
rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra berarti mata. Tuna
netra artinya rusak atau matanya luka atau tidak memiliki mata yang
berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.
White Conference (Widdjajantin dan Hitipeuw, 2006) menyebutkan
bahwa seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian dari kedua
matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca
sekalipun dibantu dengan kacamata.
Menurut DeMott (Widdjajantin dan Hitipeuw, 2006) istilah buta
(
blind
) diberikan pada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan
atau yang hanya memiliki persepsi cahaya.
16
istilah “buta” pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik
sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata itu
tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
2. Klasifikasi Tuna Netra
Anak dengan gangguan atau kerusakan penglihatan adalah anak yang
mengalami kerusakan penglihatan sehingga dalam proses pendidikannya
harus diajari dapat membaca dengan menggunakan alat bantu Braille atau
dengan metode
aural
(menggunakan media
tape
yang dapat merekam dan
didengar), Hadis (2006).
Widdjajantin dan Hitipeuw (2006) mengklasifikasi tuna netra menjadi
dua bagian, yaitu pembagian berdasarkan waktu kecacatan, dan yang
kedua adalah berdasarkan kemampuan daya lihatnya.
Ditinjau dari waktu terjadinya kecacatan, tuna netra dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Penderita tuna netra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama
sekali tidak mempunyai pengalaman penglihatan.
b. Penderita tuna netra sesudah lahir atau pada usia kecil, yakni penderita
yang sudah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi
belum kuat dan mudah terlupakan.
d. Penderita tuna netra pada usia dewasa, yaitu penderita dengan
kesadaran yang dimiliki masih mampu melakukan latihan-latihan
penyesuaian diri.
e. Penderita tuna netra dalam usia lanjut, yang sebagian besar sudah sulit
mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
Berdasarkan kemampuan daya lihatnya, tuna netra dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Penderita tuna netra ringan (
defective vision / low vision
), yakni
mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan,
seperti para penderita rabun, juling, dan myopi ringan. Mereka masih
dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum
atau masih mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan penglihatan dengan baik.
b. Penderita tuna netra setengah berat (
partially sighted
), yakni mereka
yang kehilangan sebagian besar daya penglihatannya. Hanya dengan
menggunakan kacamata pembesar mereka masi bisa mengikuti
program pendidikan biasa atau masih mampu membaca tulisan-tulisan
yang berhuruf tebal.
18
3. Karakteristik Anak Tuna Netra
Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali
indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tuna netra,
menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya
kemampuan berkembang anak tuna netra dibandingkan dengan
kemungkinan berkembang yang dapat dimiliki oleh anak-anak yang awas.
Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tuna netra
menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi anak awas
tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual.
Karakteristik anak tuna netra menurut Widjajatin dan Hitipeuw (2006)
antara lain :
a. Curiga terhadap orang lain
Pengalaman-pengalaman sehari-hari menunjukkan kepadanya
bahwa tidak mudah baginya untuk menemukan sesuatu benda yang
sedang dicarinya. Sering dialami kepalanya terbentur pada jendela,
bertabrakan dengan orang lain, kakinya terperosok ke dalam lubang
dan lain-lain pengalaman yang menimbulkan rasa sakit dan pahit
dalam hati, menumbuhkan rasa kecewa dan rasa tidak senang namun
tidak diketahuinya kepada siapa rasa tidak senang tersebut akan
ditumpahkan.
Perasaan-perasaan kecewa tersebut di atas yang diakibatkan oleh
pengalaman sehari-hari mendorong anak tuna netra untuk selalu
berhati-hati, baik terhadap keadaan maupun suasana setempat. Sikap
berhati-hati yang berlebihan itulah yang dapat berkembang dan
tumbuh menjadi sifat curiga kepada orang lain.
b. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung pada anak tuna netra dapat pula
tumbuh disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang
diterimanya, juga indera-indera lainnya yang kurang dapat berfungsi
dengan baik.
20
tersinggung. Perasaan mudah tersinggung ini akan merugikan dirinya
sendiri, dan dengan demikian dapat merusak pribadinya, menjauhkan
teman dari dirinya dan pada akhirnya keadaan tersebut akan
membuatnya tidak bahagia dan putus asa.
c.
Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan adalah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan
diri sendiri, cenderung untuk mengharapkan pertolongan orang lain.
Pada anak tuna netra, rasa ketergantungan yang berlebihan tumbuh
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum berusaha
sepenuhnya dalam mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan
mengharapkan pertolongan, atau disebabkan oleh rasa kasih saying
yang berlebihan dari pihak lain dengan cara selalu memberikan
pertolongan-pertolongan kepada anak tuna netra sehingga ia tidak
dapat belajar suatu apapun.
Memberikan pertolongan kepada anak tuna netra memang tidak
salah, tetapi bila pertolongan tersebut diberikan terus menerus tanpa
memberikan kesempatan kepada anak tuna netra untuk berbuat
sesuatu, maka pertolongan tersebut telah menjerumuskannya ke dalam
kesulitan.
d.
Blindism
dipandang mata, misalnya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab,
menggoyang-goyangkan badan dan sebagainya. Semua gerakan ini
tidak terkontrol oleh tuna netra, sehingga orang lain akan pusing bila
selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.
e.
Rasa rendah diri
Tuna netra selalu menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain
yang normal. Hal ini disebabkan karena mereka selalu merasa
diabaikan oleh orang di sekitarnya.
f.
Tangan ke depan dan badan agak membungkuk
Tuna netra cenderung untuk agak membungkukkan badan dan
tangan ke depan. Maksudnya adalah untuk melindungi badannya dari
sentuhan benda atau terantuk benda yang tajam.
g.
Suka melamun
Mata yang tidak berfungsi mengakibatkan tuna netra tidak dapat
mengamati keadaan lingkungan, maka waktu yang kosong sering
dipergunakan untuk melamun.
h.
Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek
22
netra sering mengaitkan fantasi dengan pengalaman sehari-hari, maka
tak jarang tuna netra dapat menciptakan sebuah lagu atau puisi yang
indah.
i.
Kritis
Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan mereka dalam
berfantasi mengakibatkan tuna netra sering bertanya pada hal-hal yang
belum dimengerti sehingga mereka tidak salah dalam konsep.
j.
Pemberani
Tuna netra akan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh
tanpa ragu-ragu. Sikap ini terjadi apabila mereka mempunyai konsep
dasar yang benar tentang gerak dan lingkungannnya sehingga
kadang-kadang menimbulkan rasa cemas bagi orang lain yang melihat.
C.
Sekolah Luar Biasa bagian A
netra. Keuntungan yang bisa didapat adalah perhatian guru lebih terfokus
hanya pada satu jenis kelainan serta kebutuhan anak. Kelemahannya adalah
anak kurang mengenal dunia atau lingkungan yang normal, yang akan
dimasuki dalam kehidupannya kelak sebagai orang dewasa.
D.
Kompetensi Interpersonal Tuna Netra di Sekolah Luar Biasa bagian A
Purwadarminta dalam Anastasia (2004) mengatakan bahwa kompetensi
adalah suatu kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dapat diukur dari
tingkah laku. Kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan yang dimiliki misalnya
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sedangkan hubungan
interpersonal menurut Kartono dalam Anastasia (2004) adalah hubungan
antara individu-individu dimana individu tersebut saling mempengaruhi.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan kompetensi
interpersonal adalah suatu kemampuan atau kesanggupan individu untuk
berhubungan dengan individu lain.
Kemampuan tersebut terdiri dari kemampuan berinisiatif, kemampuan
membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan memberikan
dukungan emosional, serta kemampuan dalam mengatasi konflik.
24
tuna netra kurang mampu bekomunikasi secara efektif dikarenakan
kekurangan yang dimiliki membuat anak tuna netra kurang dapat menanggapi
rangsangan yang diberikan oleh orang lain.
Kebutuhan anak-anak tuna netra untuk bersosialisasi dan berkomunikasi
tersebut dapat diperoleh melalui jalur pendidikan karena dapat membantu
anak-anak tuna netra dalam mengembangkan kemampuan dalam
berkomunikasi maupun bersosialisasi. Pendidikan sangat penting dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus seperti anak tuna netra karena anak-anak tersebut
memerlukan penanganan yang khusus juga untuk mempelajari sesuatu.
Seseorang memerlukan tenaga, waktu dan juga pengalaman yang banyak
untuk dapat membantu anak tuna netra menghadapi masalah dalam
kehidupannya, khususnya dalam hal bersosialisasi.
Sekolah luar biasa mengembangkan sistem pelayanan khusus yang
membuat anak-anak tuna netra memiliki rasa aman karena mereka belajar,
bersosialisasi dan berkomunikasi dengan anak-anak yang memiliki
kekurangan yang sama. Perhatian guru juga lebih terfokus karena hanya
menangani mereka yang berkebutuhan khusus saja. Mereka diajarkan untuk
hidup seperti anak awas dan normal dan harus bekerja keras untuk dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pendidikan di lingkungan sekolah luar biasa dirasakan cukup baik bagi
perkembangan anak-anak tuna netra dari pada di lingkungan rumah yang
kebanyakan orang awas. Lingkungan sekolah luar biasa membuat anak tuna
netra menjadi lebih mandiri karena mereka tidak sepenuhnya dibantu oleh
orang lain. Sekolah luar biasa juga menyebabkan anak tuna netra berinteraksi
langsung dengan teman mereka yang sebaya. Mereka juga mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pihak sekolah sehingga anak-anak tuna
netra juga diberikan kesempatan untuk berpatisipasi dalam kegiatan tersebut,
yang disebut dengan partisipasi sosial. Kemampuan dalam berinteraksi dengan
teman sebaya dan partisipasi sosial inilah yang pada akhirnya akan membantu
meningkatkan kompetensi interpersonal anak-anak tuna netra.
E. Pertanyaan Penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berturut-turut akan menyajikan beberapa hal yang berhubungan
dengan metode penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian, identifikasi
variabel penelitian, penjelasan variabel penelitian, subyek penelitian, metode dan
alat pengumpulan data, serta metode analisis data.
A. Desain Penelitian
Peneliti
menggunakan
model
penelitian kualitatif. Branister dalam Alsa
(2003) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai satu cara sederhana, sangat
longgar, yaitu suatu cara penelitian interpretatif terhadap suatu masalah
dimana peneliti merupakan pusat dari pengertian atau pemaknaan yang dibuat
mengenai masalah itu, artinya peneliti bertanggung jawab penuh terhadap
proses dan hasil penelitian. Merriam (1988) merumuskan penelitian kualitatif
sebagai satu konsep payung yang mencakup beberapa bentuk penelitian untuk
membantu peneliti memahami dan menerangkan makna fenomena sosial yang
terjadi dengan sekecil mungkin gangguan terhadap
setting
alamiahnya.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau memberi
gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi
sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang
berlaku umum (Sugiyono dalam Poerwandari, 2005).
Merriam (1988) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan, mencatat, dan menganalisis
kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Penelitian ini tidak menguji
atau menggunakan hipotesis, tapi hanya mendeskripsikan informasi apa
adanya sesuai dengan variabel yang diteliti.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggambarkan bagaimana kompetensi
interpersonal yang dimiliki oleh anak-anak tuna netra yang bersekolah di
Sekolah Luar Biasa bagian A.
B. Batasan Operasional
Variabel
penelitian
adalah atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek,
atau kegiatan yang mempunyai variasi-variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono dalam
Poerwandari, 2005).
Pada penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah Kompetensi
Interpersonal Anak Tuna Netra di Sekolah Luar Biasa bagian A.
28
mengatasi konflik interpersonal yang timbul dalam melakukan hubungan
dengan orang lain.
C. Subyek Penelitian
Subyek pada sampel penelitian tidak diarahkan pada keterwakilan dalam
arti jumah peristiwa acak melainkan pada kecocokan konteks teoretis tentang
kasus yang dihadapi. Pengambilan subyek penelitian menggunakan
purposive
sampling,
yaitu
suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri atau
sifat-sifat, karakteristik tertentu yang merupakan ciri pokok populasi yang
diteliti (Arikunto, 1989). Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan
informasi, bukan pertimbangan statistik. Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan informasi (Lincoln dan Guba, 1985).
Karakteristik subyek penelitian yang dibutuhkan adalah :
1.
Subyek berusia 6 – 12 tahun dan duduk di bangku Sekolah Dasar
kelas 1 – 6.
2.
Subyek adalah seorang tuna netra atau mengalami kebutaan total.
3.
Subyek tidak mengalami kecacatan lain.
4.
Subyek bersekolah di Sekolah Luar Biasa bagian A.
berjumlah 3 orang, kelas 3 berjumlah 3 orang, kelas 4 berjumlah 5 orang, dan
kelas 5 berjumlah 1 orang. Mereka terdiri atas laki-laki dan perempuan,
berusia 6 – 19 tahun. Murid kelas 1 yang berjumlah 3 orang tidak masuk
dalam kriteria karena merupakan murid yang baru berada di sekolah tersebut
selama 1 bulan. Mereka mempunyai kecacatan lain selain mata, yaitu
gangguan pada telinga dan gangguan berbicara. Di kelas lain terdapat murid
low vision
sehingga masih bisa melihat dan ada pula yang memiliki gangguan
pada telinga. Murid-murid yang lain memiliki IQ yang sangat rendah sehingga
mereka hanya belajar memijat saja, tidak mengikuti pelajaran seperti anak
yang lainnya. Bahkan, salah satu murid kelas 4 SD berusia 19 tahun sehingga
tidak masuk dalam kriteria subyek penelitian. Murid yang sesuai dengan
kriteria penelitian berjumlah 3 orang sehingga peneliti menetapkan ketiga
anak tersebutlah yang menjadi subyek penelitian. Mereka adalah dua orang
siswa kelas III dan satu orang siswa kelas IV.
30
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara. Metode observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2005). Tujuan observasi adalah
untuk mendeskripsikan
setting
yang dipelajari, aktivitas yang berlangsung,
orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari
perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati.
Metode
observasi
pada penelitian ini menggunakan
nature observation
(observasi alamiah)
,
yaitu pengamatan dan pencatatan perilaku pada
kehidupan yang nyata. Dalam hal ini, peneliti bertindak sebagai partisipan.
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah. Peneliti tidak berusaha
memanipulasi
setting
penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu
fenomena dimana fenomena tersebut ada. Studi dalam situasi alamiah
merupakan studi yang berorientasi pada penemuan (
discovery oriented
).
Penelitian ini secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam
kondisi yang sesungguhnya.
Penelitian ini menggunakan dua orang observer agar dapat dilakukan
crosschek
data. Observer adalah peneliti dan salah seorang teman yang telah
diberi pengarahan oleh peneliti untuk ikut mengamati subyek.
mendeskripsikan siapa yang akan melakukan observasi, dan mendeskripsikan
perilaku orang-orang yang diamati.
32
Tabel 1. Deskripsi Perilaku yang Diamati
NO ASPEK KI Kategori/ Definisi Contoh Perilaku Coding
1. Kemampuan untuk
berinisiatif
Usaha untuk mempunyai gagasan atau pikiran tentang sesuatu yang baru untuk memulai interaksi dengan orang lain atau untuk dapat melakukan sesuatu sesuai dengan pikirannya sendiri
1. Memberi saran pada orang lain untuk dapat melakukan sesuatu bersama-sama 2. Mencari atau menyarankan melakukan sesuatu yang dianggap menarik
3. Memulai percakapan atau berbincang dengan orang yang baru dikenal atau yang ingin dikenal
4. Mengenalkan diri kepada orang yang ingin dikenal 5. Membuat janji untuk melakukan sesuatu bersama-sama 6. Berusaha dan berani mengajak teman untuk melakukan sesuatu
(IN 1) (IN 2) (IN 3) (IN 4) (IN 5) (IN 6) 2. Kemampuan untuk membuka diri
Kemampuan seseorang untuk membuka diri pribadi, menyampaikan informasi pribadi kepada orang lain sehingga orang lain dapat memahami secara lebih mendalam
1. Memberi kesempatan dan atau berani mengungkapkan diri kepada orang lain untuk mengerti dirinya
2. Mengurangi sikap protektif dan mempercayai teman dekat untuk bercerita tentang diri 3. Berani mengungkapkan kepada orang lain bahwa dirinya merasa malu
(PD 1) (PD 2) (PD 3) 3. Kemampuan untuk bersikap asertif
Kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan dan untuk menolak melakukan sesuatu yang tidak diinginkan
1. Mengatakan kepada teman cara/perlakuan yang tidak disenangi 2. mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang tidak mau dilakukan
3. Mengatakan kepada teman bahwa mereka/dia telah melakukan hal yang membuatmu marah
4. Mengatakan kepada teman bahwa mereka/dia telah melakukan sesuatu yang melukai perasaan (menyakiti hati)
(AS 1) (AS 2) (AS 3) (AS 4) 4. Kemampuan memberikan dukungan emosional Kemampuan untuk
menenangkan dan memberi rasa nyaman (terlibat secara emosional) kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan bermasalah
1. Dapat mendengarkan keluh kesah ketika teman mempunyai persoalan 2. Membantu teman untuk menguasai keadaan atau menguasai diri ketika mereka
mempunyai persoalan
3. Dapat memberikan dukungan atau support bagi orang yang sedang bermasalah 4. Dapat memberikan perhatian kepada teman yang sedang kesusahan
(DE 1) (DE 2) (DE 3) (DE 4) 5. Kemampuan dalam mengatasi konflik
Kemampuan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik dalam
berhubungan dengan orang lain
1. Mau mengakui kesalahan untuk memperbaiki perbuatan yang kurang baik 2. Dapat menekan perasaan marah sehingga tidak meledak-ledak ketika bertengkar
dengan teman
3. Mau mendengarkan komplain dari teman dan tidak berusaha mencari pembenaran diri ketika perbuatan yang dilakukan benar-benar salah
(MK 1) (MK 2)
Menurut Denzin dan Lincoln dalam Poerwandari (2005), wawancara
adalah teknik penelitian kemasyarakatan yang melibatkan interaksi
pewawancara dan subyek penelitian. Fungsinya adalah untuk mendapat
deskripsi data yang diinginkan. Metode wawancara adalah percakapan dan
tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara
dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subyektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu atau makna subyektif yang muncul.
Metode wawancara pada penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur,
yaitu wawancara dengan pedoman umum yang mencantumkan isu-isu yang
harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Wawancara dalam
penelitian ini digunakan untuk melengkapi data penelitian yang tidak bisa
diperoleh lewat observasi.
E. Metode Pencatatan Data
Metode
pencatatan
data
pada penelitian ini adalah
narrative recording,
34
F. Analisis Data
Data yang didapat pada penelitian ini berupa deskripsi dari hasil observasi
partisipatoris. Deskripsi yang digunakan adalah menghadirkan informasi
dalam susunan kronologi. Hasil observasi yang didapat dikodekan untuk
mendapatkan data mengenai kehidupan sehari-hari subyek.
Poerwandari
(2005)
menyebutkan
langkah-langkah analisis data kualitatif
meliputi organisasi data, koding, dan analisis data.
1.
Organisasi
Data
Data yang diperoleh disusun secara rapi, sistematis, dan selengkap
mungkin. Organisasi data yang dilakukan adalah untuk memperoleh data
yang baik, mendokumentasikan, dan menyimpan data (Poerwandari,
2005).
2.
Pengkodean (Koding)
Pengkodean dimaksudkan untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan data secara lengkap dan detail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari,
2005).
Pada penelitian ini langkah-langkah analisis data yang digunakan adalah
memparafrasekan perilaku yang ditunjukkan subyek lewat observasi yang
dilakukan peneliti, kroscek data dengan peneliti lain yang ikut mengamati
subyek, menulis rangkaian kejadian dan perilaku subyek, menulis transkrip
observasi dan wawancara, membaca transkrip, mengidentifikasi perilaku, serta
interpretasi data.
G. Validitas dan Reliabilitas dalam Studi Kualitatif
Kredibilitas adalah istilah untuk mengganti konsep validitas dan
dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian
kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai
maksud eksplorasi masalah atau mendeskripsikan
setting
, proses, kelompok
sosial dan pola interaksi yang kompleks. Pada penelitian kualitatif, validitas
dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasi dan
upaya penelitian dalam lingkungan alamiah penelitian dengan menggunakan
metode yang paling sesuai untuk pengambilan dan analisis data.
1. Kredibilitas
Kredibilitas
studi
kualitatif ini dicapai melalui :
36
b.
Validitas argumentatif dimana deskripsi penelitian dan kesimpulan
yang dapat diikuti rasionalnya dengan baik serta dapat dibuktikan
dengan melihat kembali data mentah (lihat catatan hasil observasi;
lampiran 2).
c.
Validitas ekologis dimana studi dilakukan pada kondisi alamiah
partisipan yang diteliti, kondisi apa adanya dan kehidupan sehari-hari
yang menjadi konteks penting dalam penelitian.
2. Dependabilitas (
dependability
), yang
menggantikan istilah reliabilitas,
dapat dicapai melalui pemanfaatan metode yang sesuai untuk mencapai tujuan
penelitian. Melalui pencatatan informasi dengan alat perekam, pemberian
uraian deskriptif, pembuatan catatan verbatim penelitian sehingga tidak
menimbulkan tafsiran yang beraneka ragam.
3.
Konfirmabilitas
(Confirmability)
Konfirmabilitas adalah istilah yang dipakai untuk objektivitas. Penelitian
kualitatif mengembangkan pemahaman tentang objektivitas melalui
persetujuan di antara peneliti-peneliti mengenai aspek yang dibahas.
4.
Transferabilitas (Transferability)
Transferabilitas
adalah istilah yang dipakai untuk generalisasi.
Transferabilitas berarti sejauhmana hasil penelitian pada kelompok tertentu
dapat diterapkan pada kelompok-kelompok lain.
Setting
atau konteks dimana
studi akan diterapkan harus relevan atau memiliki kesamaan dengan
setting
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah anak-anak tuna netra. Penelitian yang
dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik
purposive sampling
untuk
mengambil subyek. Semua subyek dalam penelitian ini adalah laki-laki,
berusia 10 dan 11 tahun. Mereka terpilih berdasarkan syarat-syarat tertentu
yang telah tertuang dalam bab sebelumnya.
Pengambilan data dilakukan dalam waktu 6 hari, setiap hari berkisar antara
4 sampai 5 jam, yaitu antara jam 09.00 – 14.00 WIB. Hal ini dikarenakan
subyek mengalami berbagai hal yang memungkinkan peneliti untuk
mengetahui dan mengamati dengan lebih jelas bagaimana cara subyek
berinteraksi dengan orang lain ketika berada di dalam kelas, pada waktu
istirahat sekolah, dan selama waktu pulang sekolah sampai dengan makan
siang dan tidur siang.
Pengambilan data pertama kali diawali berkenalan dengan subyek. Penulis
melakukan pendekatan yang lebih mendalam pada subyek penelitian yang
telah ditetapkan. Hari pertama, penulis datang untuk melihat suasana dan
kondisi sekolah dan asrama, berkenalan dengan anak-anak yang berada di
asrama dan sekolah. Subyek tidak diberitahu akan diobservasi karena akan
menjadi bias penelitian dimana subyek dapat memanipulasi data dengan cara
berperilaku tidak alami. Peneliti memperkenalkan diri sebagai teman yang
akan datang untuk bermain bersama mereka sehingga lebih mudah masuk ke
dalam lingkungan mereka.
Subyek I langsung dapat diajak bekerja sama. Subyek II juga demikian,
walaupun cenderung malu-malu dan tidak banyak berbicara. Subyek III hanya
sempat berkenalan namanya saja, kemudian dia pergi masuk ke asrama dan
tidak mau keluar lagi. Hari berikutnya ketika penulis datang, ketiga subyek
dapat diajak bekerjasama sehingga observasi berjalan dengan lancar.
Kesulitan yang penulis hadapi adalah ketika pengambilan gambar
menggunakan video. Mereka terdiri dari anak-anak tuna netra tingkat berat
dan tingkat ringan
(low vision)
sehingga seringkali tidak mau untuk diambil
gambarnya karena diberitahu oleh anak yang masih dapat melihat. Tetapi hal
ini tidak berlangsung lama karena mereka kemudian mengijinkan penulis
untuk mengambil gambar walaupun dengan syarat penulis tidak merekam
semua kegiatan mereka.
Peneliti mengambil tempat penelitian di sekolah dan asrama subyek. Hal
ini dilakukan agar subyek dapat merasa lebih nyaman dan aman karena
privasinya lebih terjaga. Dengan demikian, diharapkan peneliti dapat menjaga
salah satu esensi penelitian kualitatif, yaitu melakukan penelitian pada
lingkungan alamiah subyek.
40
Pengambilan data tahap terakhir yaitu melakukan wawancara
crosscheck,
yang bertujuan untuk memastikan, untuk mengetahui dan menambah
informasi perihal latar belakang kehidupan subyek. Penulis melakukan
wawancara
crosscheck
dengan 3 orang yang berpengaruh dalam kehidupan
subyek, yaitu Ketua Badan Pengurus dan guru kelas subyek. Pada Subyek III,
penulis mendapatkan informasi dari bibinya yang kebetulan juga tinggal di
tempat tersebut untuk membantu mengasuh subyek sehingga dapat dimintai
keterangan dan menjelaskan latar belakang keluarga dan kondisi awal subyek.
Subyek I dan II tidak mempunyai keluarga dekat yang dapat dimintai
keterangan perihal subyek sehingga penulis memutuskan untuk
mewawancarai bapak Ketua Badan Pengurus dan ibu guru wali kelas karena
mereka juga membantu mengurus subyek sehari-hari, baik di sekolah maupun
di asrama.
B. Hasil Penelitian
Berikut ini adalah hasil penelitian mengenai data demografi subyek :
Tabel 2. Data Demografi Subyek
Nama
G
A
Y
Urutan
Kelahiran
Anak ke-3 dari 4
bersaudara
Anak ke-1 dari 2
bersaudara
Anak ke-1 dari 3
bersaudara
Usia
11 tahun
10 tahun
10 tahun
Kelas
4
3
3
Suku bangsa Jawa
Jawa
Jawa
1. Deskripsi Hasil Penelitian
a. Subyek I
Subyek I merupakan seorang anak tuna netra total yang berusia 11
tahun. Subyek merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Orang tua
Subyek juga mempunyai kekurangan penglihatan yang sama dengan
Subyek. Penglihatan mereka kurang awas atau disebut dengan
low
vision
. Kakak Subyek yang pertama serta adik Subyek mempunyai
mata yang awas, sedangkan kakak kedua Subyek menderita
low vision,
sama seperti orangtuanya. Kakak Subyek juga tinggal di asrama
bersama dengan Subyek. Sehari-harinya, hubungan Subyek dengan
kakak keduanya tersebut kurang dekat. Mereka tidak pernah bermain
bersama atau bertegur sapa. Subyek dan kakaknya bertemu jika sedang
dibutuhkan. Selebihnya mereka jarang sekali bertemu, walaupun
mereka tinggal dalam satu atap di asrama tersebut.
pas-42
pasan dan mereka juga mempunyai masalah dalam penglihatannya
sehingga sulit untuk melakukan komunikasi dengan Subyek. Orang tua
Subyek sudah memasrahkan Subyek kepada kakak Subyek yang
pertama sehingga kakak pertama Subyek menjadi orang tua kedua bagi
Subyek. Semua keperluan Subyek ditangani oleh kakak sulungnya
tersebut. Kakak sulung Subyek tinggal dan bekerja di kota Yogyakarta
sehingga memudahkannya untuk merawat dan melakukan komunikasi
dengan Subyek.
Subyek I sudah cukup lama bersekolah di SLB A dan tinggal di
asrama yang sama dengan sekolah tersebut. Menurut hasil wawancara,
Subyek sudah berada di asrama sejak 4 tahun yang lalu sehingga
diasumsikan Subyek sudah mengenal dengan baik lingkungan yang
menjadi tempat tinggalnya saat ini.
beberapa temannya. Mereka semua beranggapan Subyek I terlalu
banyak
iseng
, suka bertindak
sembrono
, kurang bisa mengawasi
dirinya sendiri dan sering bertindak sesuka hati yang mengakibatkan
orang lain cedera atau merugikan orang lain. Misalnya ketika bercanda
dengan teman yang mengakibatkan jendela pecah, dan lain-lain.
b. Subyek II
Subyek II merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya
menderita
low vision
, ibunya seorang tuna netra total. Namun adiknya
mempunyai mata yang awas.
44
pengertian dengan keluarga. Hal tersebut dapat memperlihatkan bahwa
hubungan Subyek dengan keluarga akrab dan dekat.
Menurut hasil wawancara,
sehari-harinya, Subyek merupakan
seorang anak yang berani dan suka iseng atau jahil, tetapi pemalu.
Inisiatifnya dirasa kurang karena Subyek cenderung terlihat pasif.
Subyek malu bertemu dengan orang baru, jarang untuk berkenalan
terlebih dahulu, tidak mau disuruh atau tidak mau melakukan sesuatu
karena malu. Subyek cenderung bersikap diam dan tidak banyak
tingkah, serta tidak akan bertanya jika tidak ditanya. Istilahnya, kalau
tidak ditabuh tidak akan bunyi. Subyek juga kurang dapat membuka
diri, bahkan dengan orang yang sudah lama dikenal, seperti guru,
misalnya. Namun, Subyek cenderung dapat memberikan dukungan
kepada teman dan cenderung tidak mempunyai konflik dengan
teman-temannya dikarenakan sikap kalemnya tersebut.
Hubungan Subyek dengan teman-teman di sekolah juga termasuk
baik. Subyek diceritakan tidak pernah menyakiti, cenderung diam dan
pemalu. Subyek juga belum mau mengikuti lomba-lomba untuk
mewakili sekolah seperti teman-temannya. Hanya sore hari ketika di
asrama dan bermain perang-perangan bersama teman-teman, Subyek
akan bersikap jahil dan iseng.
c. Subyek III
semua tinggal di luar kota. Subyek pindah ke kota Yogyakarta sejak
masuk SD dan asrama. Kecacatan mata yang dimiliki Subyek terjadi
sejak bayi. Orangtua dan keluarga tidak menyadari dari awal sehingga
usaha untuk mengobati Subyek tidak membuahkan hasil dikarenakan
keterlambatan pemeriksaan. Dokter yang memeriksa Subyek
mengatakan bahwa selaput mata Subyek kering sehingga tidak dapat
mengeluarkan air mata ketika menangis. Dokter sudah
angkat tangan
untuk mengobati Subyek, keluarga pun sudah merasa putus asa.
Dokter tidak berani melakukan operasi karena takut akan melukai atau
merusak mata Subyek. Perlu diketahui bahwa Subyek mempunyai
mata yang utuh walaupun tidak bisa melihat.
Subyek mempunyai riwayat keluarga tuna netra, yaitu nenek buyut
Subyek dari keluarga ayahnya. Keluarga ayahnya memang mempunyai
riwayat memiliki kecacatan mata. Hampir semua kecacatan ada di
daerah mata; ada yang bermata besar, sipit, dan tidak simetris. Namun
Subyek mempunyai kerusakan yang terparah, baik dari pihak bapak
maupun pihak ibu karena terlahir buta.
46
Orangtua Subyek jarang sekali menengok karena berada jauh di
luar kota. Mereka hanya menengok 1 kali setahun ketika liburan
sekolah. Namun bibinya tinggal di asrama tersebut untuk mengurusi
semua keperluan Subyek. Neneknya sering datang minimal 1 bulan
sekali untuk menengok Subyek. Komunikasi Subyek dengan orangtua
dilakukan dengan menggunakan telepon. Subyek pernah menanyakan
mengapa dia dipisahkan dari keluarganya, dari orang tua serta adiknya.
Bibinya menjawab bahwa itu semua demi masa depan Subyek. Semua
berharap Subyek bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang
lain, serta mendapatkan pendidikan yang terbaik, mengingat
kekurangan yang dimiliki Subyek.
bibinya walaupun teman-temannya sedang bermain. Subyek jarang
sekali bergabung bersama teman-teman di sekolahnya.
Hasil wawancara
crosscheck
memperlihatkan bahwa Subyek
cenderung mempunyai inisiatif, dapat membuka diri pada orang lain,
tetapi kurang dapat mengatasi konflik dengan orang lain karena
sikapnya yang suka menarik diri dari orang lain.
2.
Analisis Hasil Penelitian Utama
Perlu diingat kembali bahwa peneliti hanya meneliti kondisi alamiah
subyek. Peneliti tidak memberikan perlakuan khusus kepada subyek
penelitian dan tidak mengkondisikan subyek untuk memunculkan perilaku
atau kemampuan tertentu. Dengan demikian, kemampuan yang muncul
adalah kemampuan yang benar-benar dimiliki subyek dalam kondisi
alamiahnya.
a.
Subyek I
1). Kemampuan untuk melakukan inisiatif
Percakapan dalam observasi partisipatoris menunjukkan bahwa
Subyek I mempunyai kemampuan melakukan inisiatif. Subyek I
dapat berkata-kata atau memberi saran kepada orang lain untuk
melakukan sesuatu bersama-sama. Misalnya ketika saya bertanya
boleh atau tidak saya datang ke sekolahnya untuk mengobrol, dia
berkata :
48
Subyek I juga dapat mencari atau menyarankan melakukan
sesuatu yang dianggap menarik. Seperti tampak dalam
perkataannya berikut ini :
Gilang kemudian berkata, “Mbak, Mbak, nek Mbak Tyas isa nyanyi ra? Kowe wae ya sing nyanyi, gelem ra? Mengko tak iringi nganggo keyboard. Kowe seneng lagu apa, Mbak? Ayat-ayat cinta seneng po ra?” (dia menanyai saya lagu apa yang saya hafal dan saya suka. Dia ingin beryanyi bersama, hanya meminta saya yang menyanyikannya). (S.1.H.2, IN 2)
Terjemahan : ”Mbak, Mbak, kalau Mbak Tyas nyanyi bisa atau tidak?
Kamu saja yang nyanyi, mau atau tidak? Nanti tak iringi memakai keyboard. Kamu senang lagu apa, Mbak? Ayat-ayat cinta senang atau tidak?”
Inisiatif untuk memperkenalkan diri pada orang yang ingin
dikenal juga dimiliki oleh Subyek I. Seperti terlihat pada
perkataannya berikut :
Gilang langsung mengajak saya untuk bersalaman sambil memperkenalkan diri, “Saya Gilang Riski, Mbak siapa? Namanya siapa?” (Dia mengatakan hal tersebut sambil mengulurkan tangannya, mimik mukanya serius dan tidak tersenyum. Gilang tidak menunggu saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Dia langsung mengulurkan tangannya begitu saya datang).(S.1.H.1, IN 4)
Adanya inisiatif untuk membuat janji melakukan sesuatu
bersama-sama juga dimiliki oleh Subyek I.
“Besok Mbak mau kesini jam berapa? Kita mau ketemuan jam berapa?”
(Gilang bertanya kepada saya dan membuat janji untuk bertemu esok hari. Tangannya memegang tangan saya dan kepalanya menoleh kearah saya). (S.1.H.1, IN 5)
“Ya nggak pa-pa. Oke. Besok Mbak kesini aja jam 9.30. Nanti kita
ngobrol-ngobrol bareng.” (Gilang membuat janji untuk bertemu dan ngobrol
bareng. Dia menyampaikannya secara langsung. Kepalanya melihat kearah saya, sambil tersenyum dan sesekali menolehkan kepalanya, terutama telinganya kearah teman-temannya yang berada di halaman).
(S.1.H.1, IN 5)
Subyek I mempunyai usaha dan berani untuk mengajak
melakukan sesuatu. Hal ini tampak sebagai berikut :
Dia menggandeng tangan saya dan mengajak saya ke sebelah kantor kepala yayasan dimana kantor tersebut agak sepi dan jarang dilalui anak-anak). (S.1.H.1, IN 6)
Gilang mengiyakan dan mengajak saya untuk kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain kemudian memperkenalkan teman-temannya satu persatu kepada saya, kemudian kita mengobrol bersama. (Gilang menggandeng tangan saya dan mendekati teman-temannya yang sedang bercerita bersama-sama di bangku di dekat kantor guru. Gilang memperkenalkan sambil menunjuk dengan tepat dimana teman-temannya berada, walaupun dia tidak bisa melihat). (S.1.H.1, IN 6)
2). Kemampuan untuk membuka diri
Secara umum,
observasi partisipatoris memperlihatkan bahwa
Subyek I mempunyai kemampuan untuk membuka diri. Subyek I
memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengerti dirinya dan
keluarganya. Misalnya Subyek mau menjawab ketika ditanya
tentang orang tuanya. Subyek menjawab seperti berikut ini :
“Nggak… dulu iya, tapi sekarang nggak pernah.” (Gilang menyebutkan bahwa dia tidak pernah ditengok kedua orangtuanya. Mimik mukanya serius, seperti orang marah. Tangannya dikepalkan di atas celananya).
(S.1.H.1, PD 1)
“Iya, dulu 2 bulan sekali nengokin, sekarang nggak pernah.” (S.1.H.1, PD 1)
Subyek juga dapat membuka diri jika ditanya mengenai
keluarga, khususnya mengenai kakaknya. Subyek menjawab
pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :
“Kakak punya, adik nggak punya…” (S.1.H.1, PD 1)
“Ya di asrama ini.” (S.1.H.1, PD 1)
“Iya, kakakku juga di asrama ini.” (S.1.H.1, PD 1)
“Misalnya cerita-cerita gitu? Nggak pernah tuh, Mbak…” (Ketika
menjawab, kepalanya ditolehkan ke samping kanan dan kiri, sepertinya Gilang tidak mau ditanya tentang kakaknya). (S.1.H.1, PD 1)
50
Subyek sempat tidak mau menjawab ataupun mengungkapkan
diri kepada orang lain. Subyek berusaha menghindar seperti
tampak pada observasi berikut :
Saya beberapa kali menyapa Gilang, tetapi dia tidak mau menjawab, hanya menggeleng dan mengangguk saja. (Setiap saya tanya, dia selalu berusaha menghindar dengan tidak mau menjawab dan berlari-lari kesana kemari. Gilang terlihat 3 kali berlari dan bersembunyi di samping lemari yang ada di halaman. Saya tidak tahu apa yang dilakukanya disamping lemari itu. Dia hanya berdiri disitu, mengepalkan tangannya di depan dada, dan berdiri dengan diam. Setiap ada guru yang lewat dan menanyainya, dia berlari dan bermain lagi bersama dengan teman-temannya. Namun ketika saya tanyai lagi, dia bersembunyi lagi disamping lemari. Hal itu ia lakukan jika saya menanyainya suatu hal). (S.1.H.1, PD 1(-))
Subyek I cenderung lebih terbuka dengan teman-temannya,
terutama teman kepercayaan atau teman yang paling akrab
dengannya. Subyek I mampu membuka dirinya pada teman
terdekatnya dan bisa bercerita tentang dirinya atau
masalah-masalahnya. Hal tersebut tampak seperti pada observasi berikut
ini :
Di dalam terdengar Gilang sedang bercakap-cakap dengan Hepi, salah satu teman dekatnya di sekolah. Mereka berbicara kegiatan sehari-hari mereka seperti pelajaran apa yang mereka senangi dan pelajaran yang menyenangkan hari itu. Gilang sedang mencurahkan isi hati dan mengungkapkan dirinya kepada Hepi. (S.1.H.2, PD 2)
Observasi memperlihatkan Subyek I berani dan dapat
mengungkapkan bahwa dirinya merasa malu. Subyek berkata :
“(sambil tertawa) Malu ah, Mbak…. “ (Gilang bersikap salah tingkah dan malu, mukanya terlihat tersenyum, sesekali menepuk temannya karena diejek). (S.1.H.1, PD 3)
“Ya cerita-cerita tentang apa ya….. apa aja… aku malu…” (sambil tertawa. Mimik mukanya tersipu-sipu. Kepalanya agak ditarik ke belakang. Tangan kanannya diletakkan di dekat bahu kirinya, sementara itu bibirnya ditempelkan di tangan kanan tersebut). (S.1.H.1, PD 3)
berkali-kali. Mencoba membujuk Heni untuk maju kedepan kelas dan berganti menyanyi). (S.1.H.1, PD 3)
3). Kemampuan untuk bersikap asertif
Observasi memperlihatkan bahwa Subyek I mempunyai
kemampuan untuk bersikap asertif. Subyek I dapat mengatakan
“tidak” untuk hal-hal yang tidak mau dilakukan. Seperti tampak
dalam perkataan subyek berikut ini :
“Iya, aku emoh, suaraku kan nggak bagus, Pak…Mbak Heni aja yang maju, suaranya kan lebih bagus…!” (Tangannya tetap mencolek-colek tangan Heni walaupun Heni marah-marah karena dia tidak amu maju kedepan