ANALISIS
TREND
PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL
KERAJINAN PERAK DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
(Tahun 1999-2009)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi
Oleh:
Aan Mariana
NIM 061324016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ABSTRAK
ANALISIS TREND PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN
PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Tahun 1999-2009)
Aan Mariana Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2010
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah trend perkembangan jumlah industri kecil kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009, trend perkembangan jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai pengrajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009,
trend perkembangan jumlah omset yang diperoleh pengrajin perak di Daerah
Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009, dan trend perkembangan jumlah laba yang diperoleh pengrajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009.
Penelitian ini menggunakan trend primer dengan metode kuadrat terkecil, rumus yang digunakan adalah Y’ = a + bX. Data yang harus dicari terlebih dahulu yaitu jumlah industri kecil kerajinan perak, jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai pengrajin perak, jumlah omset yang diperoleh pengrajin perak, jumlah laba yang diperoleh pengrajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009. Sumber data merupakan data primer yang diperoleh secara langsung dari para pengrajin perak dan sumber lain yang mendukung.
ABSTRACT
AN ANALYSIS ON THE DEVELOPMENT TREND OF SMALL
INDUSTRIES OF SILVER CRAFTS IN YOGYAKARTA
SPECIAL REGION
The research aims to find out how the development trend of: 1) silver small crafts industries in Yogyakarta Special Region in 1999-2009; 2) workers who work as silver crafters in Yogyakarta Special Region in 1999-2009; 3) total turnover gained by silver crafters in Yogyakarta Special Region in 1999-2009; and 4) total profit gained by silver crafters in Yogyakarta Special Region in 1999-2009.
The research used primary trend by applying the smallest quadrate method. The formulation was Y’ = a + bX. The data were small industries of silver crafts, workers who work as silver crafters, total of turnover gained by silver crafters, total of profit gained by silver crafters in Yogyakarta Special Region in 1999-2009. The data source was primary data which directly gained from the silver crafters and other sources which support then.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat, karunia, dan penyertaan-Nya, penyusunan skripsi dengan judul ”ANALISIS TREND PERKEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN
PERAK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Tahun 1999-2009)” ini dapat terlaksana dengan lancar. Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ekonomi.
Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan pihak-pihak lain, penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M. Ed., Ph. D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Indra Darmawan S. E., M. Si, selaku Dosen Pembimbing I, atas dorongan, bimbingan dan arahan dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs. P. A. Rubiyanto, selaku Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi yang telah banyak membantu proses penyusunan skripsi ini.
5. Segenap Dosen yang telah membantu penulis dalam memperoleh pengetahuan dan mengembangkan segenap kemampuan berpikir, selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Ekonomi, Universitas Sanata Dharma ini.
6. Mbak Titin yang telah banyak membantu dan melayani penulis selama duduk di bangku kuliah ini.
7. Segenap Karyawan di UPT Perpustakaan Mrican Sanata Dharma, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.
8. Paulus Kerani dan Elisabeth Slemah, selaku orang tua penulis yang telah banyak memberikan dukungan baik spiritual, material, motivasi dan telah menghantarkan penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Sanata Dharma ini.
9. Theresia, Nius Effendi, Neti Susanti, Titin Rotania, Dimas Satria Pratama, selaku kakak, adik dan ponaan penulis yang selalu memberikan motivasi kepada penulis selama ini.
10.Aditya Arya M. kekasihku yang tersayang, semoga Tuhan selalu mempersatukan kita untuk selama-lamanya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
MOTTO... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
ABSTRAK... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xviii
DAFTAR GRAFIK... xx
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8
A. Pengertian, Ciri-Ciri dan Karakteristik Industri Kecil... 8
C. Struktur dan Penggolongan IndustriKecil... 13
D. Perilaku Industri Kecil... 15
E. Kondisi Umum Industri Kecil Menengah (IKM) Tradisional di Indonesia... 16
1. Industri Kecil Menengah Kerajinan Tradisional Terancam Bangkrut... 16
2. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab kebangkrutan Industri Kecil Menengah (IKM) kerajinan tradisional... 18
F. Trend Perkembangan Ekonomi... 25
1. Pengertian Produktivitas... 25
2. Pengertian Pembinaan dan Modal... 26
3. Pengertian Kesempatan Kerja, Angkatan Kerja dan Tenaga Kerja... 28
4. Pengertian Laba/Rugi... 30
G. Perkembangan Industri Kecil di Indonesia... 31
1. Industri Kecil dalam Dimensi Pemerataan... 31
2. Industri Kecil dalam Perekonomian Indonesia... 33
3. Pentingnya Industri Kecil Bagi Pembangunan di Desa... 35
H. Penelitian Terdahulu... 37
BAB III METODE PENELITIAN... 45
B. Tempat dan Waktu Penelitian... 45
C. Subyek dan Obyek Penelitian... 46
D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 46
E. Variabel Penelitian... 47
F. Teknik Pengumpulan Data... 47
G. Definisi Operasional... 48
H. Teknik Analisis Data... 49
BAB IV GAMBARAN UMUM... 52
A. Deskripsi Daerah Penelitian... 52
1. Keadaan Geografis... 52
2. Keadaan Demografi... 65
3. Perekonomian Kecamatan Kotagede... 65
4. Kehidupan Sosial Budaya... 66
B. Deskripsi Data... 69
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 71
A. Analisis Data……….... 71
1. Trend Perkembangan Jumlah Industri Kecil Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 71
3. Trend Perkembangan Jumlah Omset Yang Diperoleh Pengrajin Perak di Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 1999-2009... 90
4. Trend Perkembangan Jumlah Laba Yang Diperoleh Pengrajin Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 99
B. Pembahasan 1. Trend Perkembangan Jumlah Industri Kecil Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 108
2. Trend Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Yang Bekerja Sebagai Pengrajin Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 111
3. Trend Perkembangan Jumlah Omset Yang Diperoleh Pengrajin Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 114
4. Trend Perkembangan Jumlah Laba Yang Diperoleh Pengrajin Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 118
BAB VI PENUTUP... 122
A. Kesimpulan... 122
B. Saran... 123
DAFTAR PUSTAKA...
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Industri Kecil Kerajinan Perak di DI Y
Tahun 1999-2009... 51
Tabel IV.1 Banyaknya Penduduk di Kecamatan Kotagede dirinci
menurut Kelurahan dan jenis kelamin keadaan akhir
tahun 2008... 65
Tabel IV.2 Data Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja, Biaya,
Omset dan Laba pada Industri Kecil Kerajinan
Perak di Kecamatan Kotagede
Tahun 1999-2009... 69
Tabel V.1 Jumlah Industri Kecil Kerajinan Perak di Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 72
Tabel V.2 Perhitungan Trend Industri Kecil Kerajinan Perak
di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2018... 74
Tabel V.3 Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja sebagai
Pengrajin Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1999-2009... 82
Tabel V.4 Perhitungan Trend Tenaga Kerja yang Bekerja
sebagai Pengrajin Perak di Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 1999-2018... 83
Tabel V.5 Jumlah Omset yang diperoleh Pengrajin Perak
Tabel V.6 Perhitungan Trend Omset yang diperoleh Pengrajin
Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1999-2018... 92
Tabel V.7 Jumlah Laba yang diperoleh Pengrajin Perak
di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999-2009... 100
Tabel V.8 Perhitungan Trend Laba yang diperoleh Pengrajin
Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1999-2018... 102
Tabel V.9 Jumlah Trend Industri Kecil Kerajinan Perak
di DIY Tahun 1999-2018... 109
Tabel V.10 Jumlah Trend Tenaga Kerja yang Bekeja sebagai
Pengrajin Perak di DIY Tahun 1999-2018... 112
Tabel V.11 Jumlah Trend Omset yang diperoleh Pengrajin Perak
di DIY Tahun 1999-2018... 115
Tabel V.12 Jumlah Trend Laba yang diperoleh Pengrajin Perak
DAFTAR GRAFIK
Grafik V.1 Trend Perhitungan Industri Kecil Kerajinan Perak
di DIY Tahun 1999-2018... 109
Grafik V.2 Trend Perhitungan Tenaga Kerja yang Bekerja sebagai
Pengrajin Perak di DIY Tahun 1999-2018... 112
Grafik V.3 Trend Perhitungan Omset yang Diperoleh Pengrajin
Perak di DIY Tahun 1999-2018... 115
Grafik V.4 Trend Perhitungan Laba yang Diperoleh Pengrajin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi dan industri dewasa ini sangat pesat sehingga
menambah perkembangan diberbagai bidang usaha, seperti halnya
perkembangan di dunia industri kerajinan. Perkembangan dunia industri
kerajinan pada saat ini yang mengalami perkembangan pesat, ditandai dengan
terus bertambahnya industri-industri kerajinan yang telah memproduksi
berbagai macam kerajinan seperti kerajinan gerabah, kerajinan keris, kerajinan
kayu, kerajinan anyaman dari bambu, kerajinan anyaman dari rotan, kerajinan
batu, kerajinan kerang, dan sebagainya. Industri kerajinan merupakan usaha
sehari-hari penduduk hampir diseluruh daerah pedesaan di Indonesia selain
pertanian, serta menjadi sumber penghidupan bagi sebagian penduduk di
beberapa wilayah perkotaan.
Perkembangan industri kerajinan sebagaimana ditunjukkan diatas terus
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Peningkatan industri kerajinan
yang pesat tersebut terjadi tujuh tahun yang lalu hingga sekarang ini. Pada
tahun 2003 industri kerajinan di Daerah Istimewa Yogyakarta mampu
menyumbang PDRB sebesar Rp 3,068 triliun, pada tahun 2007 meningkat
menjadi Rp 4,475 triliun. Meskipun angka nominal meningkat namun
kontribusi industri kerajinan terhadap PDRB pada tahun 2003 sebesar 15,65%,
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2003-2007, BPS).
Peningkatan yang dialami oleh industri kerajinan diatas yang terus
mengalami perkembangan sangat pesat ternyata tidak dirasakan oleh industri
kerajinan perak. Industri kerajinan perak yang terkenal sejak puluhan tahun
yang lalu hingga saat ini mengalami penurunan drastis. Pada tahun 2007
perajin perak berkisar 132 orang, akan tetapi hingga tahun 2009 berkisar 97
orang (Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop)
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
Perkembangan industri kerajinan perak dewasa ini mengalami
penurunan sehingga menjadi pusat perhatian dalam pengolahan perak di
Yogyakarta seperti industri kerajinan perak di Kecamatan Kotagede yang juga
ikut mengalami penurunan. Sebelum gempa para perajin perak di Kotagede
berkisar 650 orang, pasca gempa menurun drastis menjadi sekitar 125 orang.
Sekarang ini tinggal 100-an orang yang masih bertahan di beberapa gerai
perajin perak yang berjumlah 25-an buah di seputaran Kotagede dan
sekitarnya (www.KabariNew.com/?32210).
Berdasarkan ulasan di atas, perkembangan industri kerajinan perak di
Kecamatan Kotagede sangat memprihatinkan terkait semakin menurunnya
para perajin perak. Faktor yang mendorong menurunnya kerajinan perak
dikarenakan generasi muda yang menjadi perajin perak semakin sedikit,
mereka tidak berminat dalam hal kerajinan perak dan banyak yang memilih
pergi keluar daerah untuk bekerja karena tidak ingin meneruskan usaha
kerajinan perak. Generasi muda tidak tertarik dalam melanjutkan kerajinan
perak karena bahan baku yang mahal. Adapun faktor lain yang memicu
menurunnya industri kerajinan perak seperti semakin berkurangnya kunjungan
wisatawan asing, adanya monopoli perusahaan, adanya kebiasaan budaya,
tidak adanya manajemen keuangan, serta belum berkembangnya desain
kerajinan.
Semakin menurunnya jumlah para perajin perak juga disebabkan harga
bahan baku yang semakin meningkat. Peningkatan mulai terjadi sejak tahun
2006 pasca gempa hingga sekarang ini. Sebelum terjadi gempa bumi harga
bahan baku perak hanya Rp 2.000.000,00 per kilogram, setelah terjadi pasca
gempa bumi tahun 2006 harga bahan baku perak mencapai Rp 4.000.000,00
per kilogram. Dengan semakin meningkatnya harga bahan baku perak
akibatnya omset penjualan para pedagang dan perajin menurun hingga
50%(http://www.kapanlagi.com/h/0000192388.html).
Penurunan omset menyebabkan para perajin kesulitan dalam membeli
bahan baku perak. Apabila omset yang terbatas digunakan untuk membeli
kebutuhan bahan baku akibatnya para pengrajin akan mengalami kesulitan
dalam memperoleh keuntungan. Hal itu juga yang menjadi alasan para
generasi muda enggan untuk melanjutkan usaha perak.
Fenomena kerajinan perak yang semakin menurun beberapa tahun
belakangan ini disebabkan oleh kualitas dan desain. Keterbatasan kualitas dan
Vietnam, dan India. Dengan keadaan tersebut, akibatnya kerajinan perak
Kotagede semakin menurun. Hal itu disebabkan oleh faktor kurangnya
ketrampilan, pengetahuan dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Untuk menghadapi penurunan para perajin perak, perlu dilakukan
peningkatan kualitas bahan baku, Sumber Daya, teknologi serta menjalin
kerjasama dengan pihak luar, baik instansi pemerintah maupun swasta.
Industri kerajinan perak merupakan salah satu daya tarik dari
Kecamatan Kotagede. Banyak para wisatawan asing yang datang
mengunjungi Kecamatan Kotagede untuk membeli perak serta ada para
wisatawan asing yang belajar kursus membuat perak di Kotagede. Para
wisatawan asing tertarik kursus untuk mendapatkan pengetahuan teknik
pembuatan perak dan dapat mengembangkan desain-desain perak.
Melihat realita yang terjadi di atas maka sangat disayangkan apabila
kerajinan perak yang menjadi warisan Kotagede Yogyakarta yang telah
mendunia ini semakin lama akan semakin terpuruk. Oleh karena itu, perlu
adanya dukungan dari pemerintah dan semua pihak sangat diperlukan dalam
rangka memajukan kembali industri kerajinan perak Kotagede.
Sejalan dengan uraian di atas, maka industri kecil kerajinan perak
sebagai salah satu kerajinan andalan dari daerah Yogyakarta terutama di
daerah Kotagede sehingga diharapkan harus mampu mengikuti perkembangan
yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
Kecil Kerajinan Perak Di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tahun
1999-2009).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana trend perkembangan jumlah industri kecil kerajinan perak di
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009?
2. Bagaimana trend perkembangan jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai
perajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009?
3. Bagaimana trend perkembangan jumlah omset yang diperoleh perajin
perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009?
4. Bagaimana trend perkembangan jumlah laba yang diperoleh perajin perak
di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui trend perkembangan jumlah industri kecil kerajinan
perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009.
2. Untuk mengetahui trend perkembangan jumlah tenaga kerja yang bekerja
sebagai perajin perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009.
3. Untuk menganalisis perkembangan jumlah omset yang diperoleh perajin
perak di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1999-2009.
4. Untuk menganalisis perkembangan jumlah laba yang diperoleh perajin
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Para Perajin Perak
Penulis berharap para perajin perak terus mengembangkan usahanya demi
memajukan produk lokal khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Bagi Pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta
Pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, melindungi
serta menumbuhkan iklim usaha. Dengan demikian, kemampuan industri
kerajinan perak dari waktu ke waktu perlu diperhatikan, karena sebagian
besar penduduk di Kecamatan Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta
hidup dengan menggantungkan diri dari sektor kerajinan perak dan
industri kerajinan perak ini menjadi salah satu icon di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
3. Bagi Penulis
Penelitian ini merupakan kesempatan yang baik bagi penulis karena dapat
menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman untuk
mengembangkan teori-teori yang telah dipelajari diperkuliahan.
4. Bagi Universitas Sanata Dharma
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi koleksi perpustakaan Sanata
Dharma Yogyakarta, yang berguna bagi para Mahasiswa/i Sanata Dharma
serta semua pihak-pihak yang membutuhkan dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan dalam bidang ekonomi terlebih
yang berhubungan dengan perkembangan industri kecil kerajinan perak di
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
peneliti selanjutnya, khususnya yang akan meneliti tentang perkembangan
industri kecil kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta serta dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Ciri-Ciri dan Karakteristik Industri Kecil
Untuk industri kecil sampai saat ini belum ada definisi yang
memuaskan bagi berbagai pihak. Masing-masing ahli mengemukakan definisi
yang berbeda satu dengan yang lain.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) industri kecil adalah perusahaan
atau usaha industri pengolahan yang mempunyai tenaga (termasuk pengusaha)
5 sampai 19 orang. Menurut Departemen Keuangan industri kecil adalah yang
mempunyai modal usaha sebesar Rp 10.000.000,00 sampai dengan paling
banyak Rp 300.000.000,00.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008, kriteria usaha kecil
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
Industri kecil adalah kegiatan industri yang dikerjakan di rumah-rumah
pendudukyang pekerjanya merupakan anggota keluarga sendiri yang tidak
luar usaha pertanian, baik itu merupakan mata pencaharian utama maupun
sampingan Tambunan (1993:83).
Menurut Sandi (1990:154) industri kecil adalah industri yang bergerak
dengan sejumlah tenaga kerja dan modal kecil, menggunakan teknologi
sederhana tetapi jumlah keseluruhan tenaga kerja mungkin besar karena
merupakan industri rumah tangga.
Industri kecil merupakan perusahaan perseorangan dengan bentuk
usaha paling murah sederhana dalam pengolahannya, serta usaha tersebut
dimiliki secara pribadi yang untung ruginya di tanggung pribadi Wibowo
(1988:3).
Menurut Kartomidjojo dalam Gati (2008:16), industri kecil pada
umumnya mempunyai struktur kurang mapan, modal dan pemasarannya
lemah, dan produksi rendah. Disamping itu juga belum mendapat kepercayaan
dari lembaga perkreditan formal untuk meminjam dan menambah modal dan
pada umumnya industri kecil didirikan tanpa izin usaha dan tanpa melalui
prosedur resmi.
Menurut Martani Husein (1993:153) industri kecil memiliki beberapa
ciri-ciri tertentu sebagai berikut:
1. Tipe kepemilikan perorangan.
2. Jumlah anggota relatif stabil.
3. Menggunakan energi tradisional.
4. Teknologi yang digunakan masih sederhana dan tradisional.
6. Pemasaran pada pasar lokal dan terbatas.
7. Biasanya bersifat informal.
8. Pola kegiatan yang tidak teratur, baik dalam arti waktu dan pemasaran.
9. Tidak mempunyai tempat usaha yang permanen, biasanya tidak terpisah
dengan tempat tinggal.
Karakteristik industri kecil menurut Tambunan (1999:20) antara lain:
1. Proses produksi lebih mechanized, dan kegiatannya dilakukan di tempat
khusus (pabrik) yang biasanya berlokasi disamping rumah pemilik usaha.
2. Sebagian tenaga kerja yang bekerja di industri ini adalah pekerja bayaran
(wage labour).
3. Produk yang dibuat termasuk golongan barang-barang yang cukup
sophisticated.
Dari beberapa definisi diatas secara umum terdapat kesamaan sifat dan
karakter tentang industri kecil, antara lain memiliki modal kecil, usaha
dimiliki pribadi, menggunakan teknologi sederhana, serta tenaga kerja relatif
sedikit. Karena itu sangat cocok dikembangkan dipedesaan, sifat industri
dipedesaan biasanya mendekati informal, yaitu menunjukkan indikasi yang
kurang stabil, modal relatif kecil, pemasaran terbatas, menyerap tenaga kerja
relatif sedikit dan bersifat sementara Kabul (1990:28).
Dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan batasan untuk industri
kecil. Industri kecil adalah perusahaan atau usaha industri pengolahan yang
modalnya antara Rp 10.000.000,00 sampai Rp 500.000.000,00 dan jumlah
B. Peranan Industri Kecil
Menurut Mubyarto, dkk (1985:81) di Indonesia peranan industri kecil
merupakan kegiatan yang penting dan harus mendapat prioritas besar, hal ini
dikarenakan:
1. Industri kecil mampu memberikan lapangan kerja pada penduduk yang
tidak bekerja penuh.
2. Industri kecil memberikan tambahan pendapatan tidak saja bagi pekerja
kepala keluarga, tetapi juga anggota keluarga lain.
3. Industri kecil mampu memproduksi barang-barang keperluan penduduk
setempat dan daerah sekitarnya secara efisien dan murah.
Menurut Fachry Ari (1979) peranan industri kecil sebagai berikut:
1. Industri kecil menyerap tenaga kerja yang mempunyai tingkat pendidikan
rendah.
2. Peralatan yang digunakan pada industri kecil sangat sederhana sehingga
jumlah produksi tergantung pada jumlah manusia yang menggunakannya.
Menurut pandangan ekonomi Marxis dari Tyagunenko, industri kecil
memperkuat kedudukan pengusaha nasional yang sudah bergerak di lapangan
ini dan merupakan modal bagi pembangunan yang mendasarkan diri pada
sumber bahan pertanian dan bahan pokok lainnya yang hasilnya dapat dijual
dipasaran dalam negeri yang terbatas. Industri kecil membutuhkan
mesin-mesin yang relatif kecil, sehingga memudahkan pengusaha-pengusaha kecil
untuk mendirikan pabrik-pabrik secara kecil-kecilan, hanya membutuhkan
pada impor serta bantuan luar negeri. Industri kecil pada umumnya
mengkhususkan pada produksi barang-barang konsumsi dan ini dalam
batas-batas tertentu melepaskan sebagian beban impor dan menghemat devisa
negara, dan akhirnya industri kecil merupakan sumber yang penting bagi
penghasilan negara Dawam Raharjo (1979).
Disamping hal-hal tersebut diatas, pembangunan industri kecil
menurut Irsan Azhary Saleh (1986:4) menitikberatkan pada
pertimbangan-pertimbangan pemanfaatannya, yaitu:
1. Menciptakan peluang berusaha yang luas dengan pembiayaan yang relatif
murah.
2. Industri kecil turut mengambil peranan dalam meningkatkan tabungan
domestik.
3. Industri kecil mempunyai kedudukan murah dan sederhana yang biasanya
tidak dihasilkan oleh industri besar dan sedang.
Menurut Dawam Rahardjo (1984:173) pengembangan industri kecil,
khususnya berupa pembinaan yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian
bertujuan memajukan kehidupannya, agar lebih banyak menyerap tenaga kerja
dan meningkatkan pendapatan masyarakat terutama yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Maka sejak tahun 1974-1975 dibentuk wadah birokrasi yang
bernama proyek Bimbingan dan Penyuluhan Industri Kecil (BIPIK),
C. Struktur dan Penggolongan Industri kecil
Menurut Badan Pusat Statistik yang dimaksud industri kecil adalah
industri atau perusahaan yang menggunakan tenaga kerja sebanyak lima
hingga sembilan belas orang.
Berdasarkan keterangan dari Profil Industri Kecil dan Kerajinan
Rumah Tangga, industri kecil adalah suatu unit atau kesatuan produksi yang
terletak pada tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah
barang-barang (bahan baku) dengan mesin atau kimia dan tangan menjadi
produk baru atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya menjadi
barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk mendekatkan produk
tersebut kepada konsumen akhir. Bank Indonesia memberi batasan tentang
industri kecil bahwa industri kecil adalah industri yang memiliki asset atau
kekayaan tidak melebihi enam ratus juta rupiah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industri kecil adalah
industri yang memiliki kekayaan tidak lebih dari enam ratus juta rupiah dan
menggunakan tenaga kerja tidak melebihi sembilan belas orang serta
melakukan kegiatan mengubah barang-barang (bahan baku) yang kurang
nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya sesuai dengan kebutuhan
konsumen (Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga, 1998).
Populasi industri kecil terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu yang
merupakan sentra-sentra produksi yang pada umumnya tersebar di daerah
pedesaan. Ditinjau dari pola usaha, struktur usaha terdapat unsur-unsur
1. Pengrajin atau pengusaha dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sifat usaha mandiri, rumah tangga dan dibantu oleh keluarga sebagai
usaha tambahan.
b. Menguasai teknologi produksi dan dibantu oleh tenaga kerja yang
merupakan anggota keluarga yang secara langsung tidak memperoleh
bayaran.
c. Pengadaan bahan baku biasanya tergantung pada pemberi pesanan.
d. Pengrajin mempunyai akses pasar dan lembaga keuangan.
2. Pengrajin atau pengusaha dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sifat usaha mandiri, rumah tangga dan sebagai usaha utama.
b. Menguasai teknologi produksi dan dibantu oleh tenaga kerja yang
dibayar.
c. Pengadaan bahan baku pada umumnya diusahakan sendiri.
d. Produksi adalah atas inisiatif sendiri dan atau didasarkan pada pesanan.
e. Penjualan diusahakan sendiri dan atau melalui para pedagang
pengumpul.
f. Tidak mempunyai akses lembaga keuangan.
3. Pengusaha Industri Kecil dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sifat usaha mandiri, pabrikan dan sebagai usaha bersama.
b. Berproduksi dengan tenaga kerja yang dibayar.
c. Mampu dalam mengadakan bahan baku dan bahan penolong.
Industri kecil yang tersebar di desa-desa diharapkan agar terhimpun
dalam sentra-sentra industri agar lebih cepat berkembang. Sentra-sentra
tersebut meliputi sentra-sentra industri kecil logam, sentra industri pangan,
sentra industri kecil kimia dan bahan bangunan, sentra industri kecil sandang,
sentra industri kecil kulit dan sentra industri kecil kerajinan dan umum.
Melalui sentra-sentra industri kecil tersebut kegiatan industri kecil
dapat terorganisir dan secara bersama-sama menghadapi tantangan yang
semakin berat. Suatu perusahaan atau industri dapat digolongkan ke dalam
golongan industri kecil apabila perusahaan atau industri tersebut memenuhi
kriteria sebagai industri kecil. Industri kecil memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Industri memiliki kekayaan atau asset tidak lebih dari enam ratus juta
rupiah.
2. Tenaga kerja biasanya keluarga sendiri atau orang lain yang mendapat
bayaran namun tidak lebih dari sembilan orang.
3. Jangkauan pemasaran relatif kecil.
4. Teknologi sederhana atau tradisional.
D. Perilaku Industri Kecil
Menurut Gondam (2006) untuk mencapai laju pertumbuhan yang
cukup tinggi dalam sektor industri kecil maka jenis-jenis industri kecil yang
memiliki ciri-ciri seperti berikut ini hendaknya dapat lebih dikembangkan
yaitu:
1. Hasil atau produk yang dihasilkan mempunyai prospek ekspor yang cukup
2. Banyak menyerap tenaga kerja.
3. Hasil produksinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. Berkaitan dengan pembangunan ekonomi dalam sektor lainnya terutama
dengan pembangunan sektor pertanian dan konstruksi yang mempunyai
keterkaitan dengan industri lainnya antara lain industri permesinan.
5. Memiliki nilai tambah dalam hal peningkatan pendapatan bagi industri
kecil.
Dalam melakukan kegiatan usaha pada sub sektor industri kecil yang
terdapat di daerah, pada umumnya banyak perusahaan-perusahaan industri
kecil yang memanfaatkan bahan baku yang berasal dari hasil pertanian. Dari
hasil pertanian tersebut para pelaku industri kecil mengolah sedemikian rupa
sehingga menjadi barang-barang produksi yang bermutu dan berkualitas serta
dapat bersaing dengan barang-barang industri lainnya yang berada di
lingkungan pasar industri.
Ditinjau dari kegiatan usaha yang terdapat pada sektor industri kecil,
produksi yang dihasilkan masih menggunakan teknologi sederhana atau
tradisional. Produk yang dihasilkan juga tidak sedikit yang diminati oleh
konsumen dalam melengkapi kebutuhan hidup sehari-hari (Profil Industri
Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga, 1998).
E. Kondisi Umum Industri Kecil Menengah (IKM) Tradisional di Indonesia
1. Industri Kecil Menengah Kerajinan Tradisional Terancam Bangkrut
Menurut Ellya Zulaikha (2008) jika ditelusuri lebih lanjut,
tradisional. Industri kerajinan tradisional ini prosentasenya jauh lebih
besar daripada industri kerajinan modern. Populasinya lebih banyak
tersebar di daerah pedesaan. Disebut tradisional karena bidang yang
digeluti IKM sudah menjadi tradisi keluarga secara turun-temurun oleh
beberapa generasi sehingga pertanyaan tentang kapan usaha kerajinan
tersebut didirikan umumnya sulit dijawab. Cara kerja IKM kerajinan
tradisional cenderung menganut pola manajemen kekeluargaan di mana
pekerja adalah seluruh anggota keluarga Wiyoso (1990). Sebagian IKM
kerajinan tradisional masih bertahan menggunakan peralatan yang
digunakan leluhur mereka, tapi kini sudah banyak yang mulai beralih
menggunakan peralatan modern.
Perlahan IKM kerajinan tradisional ini mulai tumbang satu per
satu. Profit yang minim mengakibatkan masa depan sebagai pengrajin
dianggap tidak menguntungkan. Anak-anak pengrajin lebih memilih
menjadi buruh di kota daripada melanjutkan usaha orangtuanya. IKM
kerajinan tradisional terancam punah justru pada saat industri kerajinan
menjadi penyumbang terbesar kedua PDB industri kreatif. Sebagai contoh,
di Ciomas ada 800 pengrajin alas kaki yang terancam gulung tikar. Di
Tanggulangin Sidoarjo, dari data tahun 2000 di mana terdapat 350
pengrajin kulit di sana, kini (tahun 2008) tinggal 50 pengrajin saja yang
masih membuat produk sendiri, selebihnya memilih menjadi pedagang
produk dari China. 4000 pengrajin perak di Gianyar Bali juga mengalami
Ketua Asosiasi Pengrajin Perak menyatakan penurunan kapasitas produksi
tidak dapat dihindari, akibat kalah bersaing dengan produk dari Thailand
dan India. Industri kerajinan kuningan tradisional di Bondowoso, Jawa
Timur, yang sebelumnya merambah pasar internasional, seperti Singapura,
Malaysia dan Arab Saudi kini juga terancam gulung tikar karena
penurunan permintaan produk, yang berakibat pada penurunan unit usaha
di sentra tersebut hingga tinggal 20% saja.
2. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab kebangkrutan Industri Kecil Menengah (IKM) kerajinan tradisional
a. Faktor Internal
Faktor internal yang perlu dibenahi adalah kualitas dan mentalitas
Sumber Daya Manusia IKM kerajinan tradisional, kegagapan terhadap
perkembangan teknologi, kurangnya wawasan tentang pemasaran serta
desain.
1). Masalah Kualitas dan Mentalitas
Standar skill yang dimiliki pengrajin tradisional variatif, ada
kelompok pengrajin yang bisa menghasilkan produk kerajinan
dengan halus dan rapi, ada juga yang masih kasar. Kadang desain
produk kerajinan sudah bagus, tapi tidak memiliki harga jual tinggi
karena teknik pengerjaan yang kurang maksimal. Pihak pembeli dari
luar negeri biasanya menerapkan standar tinggi terhadap teknik
pengerjaan produk, akibatnya lebih banyak produk kerajinan yang
belum bisa diekspor daripada yang bisa diekspor. Keluhan tentang
tahuan pengrajin tentang standar kerja. Apa yang biasa dilakukan
selama ini dianggap sebagai yang terbaik. Ketiadaan kontrol kualitas
yang konsisten pada saat pengrajin merasa sudah trampil,
menyebabkan cara kerja cepat dan terburu-buru, sehingga kualitas
produk kurang baik.
Ada pemilik-pemilik usaha industri kerajinan yang sebenarnya
sadar betul kualitas produknya rendah, tapi membiarkan kondisi
tersebut dengan alasan pemenuhan target kuantitas atau karena
kesulitan mendapat tenaga kerja trampil. Meski sebenarnya bisa
diatasi dengan membina tenaga pengrajin baru, kenyataannya
dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengajari tenaga kerja hingga
ia benar-benar trampil dan paham standar kerja yang tinggi.
Kalaupun sudah berhasil dibina hingga memiliki skill yang baik,
masalah yang kemudian biasa dihadapi adalah perginya para pekerja
trampil untuk membuka usaha sendiri, tidak mau bekerja pada orang
lain. Tidak mengherankan jika kebutuhan akan tenaga kerja trampil
tidak mudah dipenuhi.
Tidak semua pengrajin tradisional menekuni kerajinan sebagai
mata pencaharian utama, melainkan sebagai pekerjaan sampingan
setelah bertani. Dengan demikian harapan terhadap peningkatan
mutu kerajinan maupun konsistensi produksi tidak diprioritaskan.
Ditambah lagi pola hidup komunitas yang kadang tidak begitu
pekerja meninggalkan pekerjaan kerajinannya begitu saja jika ada
acara keluarga atau hajatan. Penghentian kegiatan produksi biasa
terjadi saat menghadapi acara-acara panen maupun ritual kegiatan
bertani atau berkebun, ritual keagamaan, ritual keluarga dan
masyarakat atau karena faktor cuaca. Sementara itu kelangkaan
bahan baku yang menghambat produksi jarang sekali terjadi di masa
lalu, tapi mulai banyak terjadi akhir-akhir ini. Hal seperti itu
menyebabkan konsistensi produksi terhambat.
Selain masalah kualitas dan konsistensi produksi yang tidak
menentu, pengrajin belum memiliki visi strategis untuk bertahan di
pasar. Fokus pada produksi tanpa pengembangan desain produk
membuat IKM kerajinan tradisional terjebak sebagai pembuat
produk. Kondisi ini kadang diperburuk saat pengrajin tradisional
bersikukuh menerapkan apa yang telah dibuat generasi sebelumnya
harus sesuai tradisi. Kecenderungan untuk berpikir linier,
mekanistik, rutin dan parsial seperti itu menyebabkan beberapa pihak
yang ditunjuk sebagai konsultan pengrajin (seperti Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi) kadang menghadapi situasi
sulit. Pengrajin terlanjur berada di suatu daerah yang membuat orang
nyaman, sehingga pengrajin senang menerima masukan baru.
Seringkali sikap pesimis pengrajin justru disuburkan melalui
ketabuan untuk berpikir besar. Sebagai contoh, pada masyarakat
rumit. Bagi sebagian besar pengrajin tradisional, berpikir ini harus
dihindari. Sebaliknya, pengrajin dituntut untuk sadar diri dan
mensyukuri apa yang ada. Saat ada kendala eksternal seperti tingkat
persaingan yang tinggi, kenaikan ongkos produksi karena kenaikan
BBM, bencana alam, banyak pengrajin yang tetap bertahan dengan
pola kerja yang sudah ada. Ancaman kebangkrutan akan menurunkan
kapasitas produksi, atau menurunkan harga, atau menurunkan
ongkos produksi yang berdampak pada penurunan kualitas produk.
Selebihnya, pengrajin memilih bersandar sepenuhnya pada
pemerintah tanpa daya inisiatif sendiri.
2). Masalah Bahan Baku dan Peralatan
Beberapa IKM mengalami kesulitan mendapat bahan baku
dengan kualitas yang bagus dan variatif. Jika sudah memiliki
langganan pemasok bahan baku, pengrajin kerap tidak ingin
menjajagi kemungkinan adanya variasi bahan baku yang lain, atau
mencari pemasok lain yang lebih baik. Di sisi lain, pengrajin
memiliki keterbatasan waktu, dana dan tenaga untuk mencari bahan
baku dan peralatan baru hingga ke kota-kota lain. Jika ada tawaran
peralatan produksi yang baru tidak mudah disosialisasikan pada
pengrajin, karena kadang pengrajin bersikap memilih bertahan
dengan peralatan yang sudah ada. Terlebih jika peralatan yang baru
3). Masalah Desain
Industri kreatif yang dimotori SDM kreatif membutuhkan
setidaknya 4 pilar kreatifitas : CORE – 1. Curiosity, 2. Open mind, 3.
Risk dan 4. Energy Jordan (2002) yaitu keterbukaan untuk menerima
masukan dari siapapun, kehausan untuk mencoba hal-hal baru,
keberanian mengambil resiko dan memiliki energi untuk
mengerjakan semua itu. Keyakinan pengrajin bahwa apa yang
dilakukan merupakan keahlian turun temurun kadang menimbulkan
rasa paling tahu yang terbaik, sehingga menjadi penghalang untuk
menerima masukan dari yang lain. Selain itu, keinginan untuk segera
meraih keuntungan jangka pendek sekadar untuk bertahan hidup
membuat pengrajin cepat puas dengan apa yang sudah dimiliki saat
ini, tanpa keberanian mengambil resiko dengan mencoba hal-hal
baru. Akibatnya sering timbul keluhan dari pihak pembeli tentang
kualitas desain pengrajin. Desain yang dihasilkan dianggap kurang
variatif dan hampir sama dengan desain produk sejenis dari daerah
lain. Pembeli yang cerdik, kadang datang dari luar negeri, membawa
desain sendiri, kemudian pengrajin diperlakukan sebagai mesin
produksi. Para pengrajin justru bangga, karena mereka menganggap
produk mereka akan diekspor.
Pengrajin memilih tetap bertahan dengan bentuk dan cara
tradisional, karena keterbatasan wawasan desain membuat pengrajin
Wawasan desain itu sebenarnya bisa diperoleh baik melalui
pendidikan formal atau dengan melakukan banyak studi banding
produk serupa dari daerah lain. Minimal dengan menghadiri
pameran-pameran kerajinan berskala nasional dan internasional di
Indonesia. Pelatihan desain yang kerap diselenggarakan oleh instansi
pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga sosial masyarakat
dengan rentang waktu singkat tak berkelanjutan tidak pernah akan
cukup memberi wawasan desain jika tidak diikuti inisiatif pengrajin
untuk mengembangkannya sendiri. Sebab pelatihan-pelatihan seperti
itu bersifat membuka pikiran dan memberikan rangsangan agar
pengrajin mengetahui teknik-teknik baru atau ide desain baru.
Setelah itu, pengrajin harus memperdalam pengetahuan desain
sendiri, mengingat desain adalah bidang yang sangat dinamis dan
terus berkembang sesuai trend. Jadi pengetahuan desain harus selalu
di kembangkan. Trend desain itu berubah setiap tahun, bahkan di
beberapa rumah mode berskala nasional dan internasional, mode
-mode desain diperbaharui setiap dua bulan.
4). Masalah Pemasaran
Pedagang yang teliti justru bisa meraup keuntungan dari
ketidak mengertian pengrajin mengenai saluran distribusi. Pihak
pedagang sering bisa menjual dengan harga berlipat-lipat jauh dari
harga jual dari pengrajin sebagai produsen. Pengrajin memang
memudahkan pengrajin menjual barang. Tetapi sebagian besar
pengrajin kemudian tidak melacak lebih lanjut proses perjalanan
produk-produknya hingga ke konsumen, sehingga mereka tidak tahu
persis ke mana produk-produk mereka dipasarkan. Proses penjualan
dengan mengandalkan pesanan atau pedagang yang datang ke rumah
pengrajin menyebabkan pengrajin miskin menjadi pusat data
(database) konsumen yang seharusnya berharga untuk memprediksi
kecenderungan pasar dan langkah-langkah antisipatifnya.
Banyak pengrajin mengakui bahwa pemasaran adalah kendala
terbesar yang dihadapi saat ini. Beberapa IKM kerajinan tampak sulit
melebarkan jangkauan pemasaran ke luar propinsi atau ke luar pulau
apalagi ke luar negeri. Saluran distribusi yang biasa dilakukan selain
mengandalkan pedagang langganan adalah menitipkan di toko-toko
atau mengikuti pameran. Pameran ini ada yang berskala kota hingga
internasional. Tentu hanya IKM dengan produk berkualitas tinggi
yang dapat mengikuti pameran internasional. Sebagian besar IKM
kerajinan tradisional hanya dapat mengikuti pameran berskala kota.
Biasanya pemerintah memfasilitasi pengrajin untuk mengikuti
pameran. Tetapi proses pemilihan IKM tertentu yang bisa ikut
pameran kerapkali hanya berdasar hubungan baik dengan petugas
atau pejabat pemerintah saja, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut
terhadap hubungannya dengan pengrajin yang lain. Dengan demikian
terasa oleh pengrajin yang lain, bahkan rawan menyebabkan
kecemburuan antar pengrajin.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menghambat perkembangan IKM
tradisional antara lain adalah tingginya tingkat persaingan dengan
komoditi sejenis dari wilayah lain, kenaikan ongkos produksi akibat
kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan BBM, bahan baku yang
semakin menipis, maraknya penyelundupan produk impor dan bencana
alam. Mengingat kendali faktor eksternal tidak di tangan pengrajin,
langkah pro aktif yang bisa dilakukan secepatnya adalah menyiasati
kendala eksternal tersebut dengan kreativitas.
F. Trend Perkembangan Ekonomi
1. Pengertian Produktivitas
Secara teknis operasional, produktivitas merupakan rasio antara
output (keluaran) dengan input (masukan). Secara matematis rasio tersebut
diformulasikan sebagai berikut:
Output (keluaran)
Produktivitas =
Input (masukan)
Pengukuran produktivitas terhadap perkembangan sektor industri
kecil secara regional dapat diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :
Hasil produksi perusahaan sub sektor industri kecil
X 100%
Jumlah bantuan modal yang diterima + Modal pribadi
2. Pengertian Pembinaan dan Modal
Menurut Sadono Sukirno (1995) modal dapat diartikan sebagai
pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan
untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan
produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Namun disisi lain modal
merupakan pengeluaran modal yang diberikan investor kepada pengusaha
berupa pinjaman uang yang dialokasikan untuk menambah kemampuan
memproduksi serta mengembangkan usaha produksinya dan dalam jangka
waktu tertentu.
Pembinaan merupakan suatu kegiatan yang mengarah kepada
proses kemajuan terhadap peningkatan produktivitas kegiatan usaha yang
sudah ada dan menjadikan kegiatan usaha tersebut lebih baik lagi. Namun
pada dasarnya pembinaan adalah bentuk dari suatu program yang
berencana dan memiliki arah tujuan perkembangan yang lebih maju.
Dalam melakukan kegiatan pembinaan dengan sendirinya akan
terjalin hubungan kerjasama antara kedua pihak yang mempunyai motivasi
berbeda-beda. Menurut Tri Sura Suhardi (1992) ada beberapa motivasi
yang menjadi semacam pendorong terjalinnya hubungan kerjasama
a. Melaksanakan kewajiban atau perintah karena suatu peraturan
perundang-undangan;
b. Motivasi bisnis, karena saling membutuhkan dan melihat peluang yang
besar;
c. Tanggung jawab moral dan sosial terutama untuk menciptakan kesan
positif keberadaan perusahaan dalam lingkungan masyarakat
disekitarnya terutama pemerintah.
Selain hal-hal tersebut perkembangan sub sektor industri kecil juga
tidak terlepas dari faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan tersebut. Menurut Irsan Azhari Saleh (1986) faktor-faktor
yang turut mempengaruhi perkembangan subsektor industri kecil adalah
sebagai berikut:
a. Semakin meningkatnya keterampilan pekerja pada sub sektor industri
kecil dan semakin meluasnya penyediaan tenaga listrik yang dapat
menjangkau pedesaan dan memungkinkan pemanfaatannya bagi sub
sektor industri kecil.
b. Semakin berkembang pesatnya sarana transportasi telah
memungkinkan distribusi masukan hasil produksi ke wilayah yang
lebih luas sehingga dapat mengurangi komponen ongkos produksi.
c. Semakin berkembangnya pembuatan mesin-mesin berskala kecil yang
terjadi bersamaan dengan usaha pemecahan proses produksi ke
d. Semakin diperkuatnya kebijakan pemerintah untuk mendukung sub
sektor industri kecil disamping dilaksanakannya suatu kebijakan
perlindungan terhadap sub sektor industri kecil. Kebijakan ini akan
lebih efektif apabila faktor-faktor lainnya sudah hadir dalam
perekonomian.
3. Pengertian Kesempatan Kerja, Angkatan Kerja dan Tenaga Kerja
Menurut T. Gilarso (2001:207) kesempatan kerja adalah
banyaknya lapangan pekerjaan yang tersedia untuk angkatan kerja.
Kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan
tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan
sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan
sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing.
Dengan demikian, kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan
atas tenaga kerja.
Menurut T. Gilarso (2001:206) angkatan kerja (labor force)
didefinisikan sebagai bagian dari jumlah penduduk yang berusia 15 tahun
ke atas yang sedang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan. Banyak
sedikitnya jumlah angkatan kerja tergantung komposisi jumlah
penduduknya. Kenaikan jumlah penduduk terutama yang termasuk
golongan usia kerja akan menghasilkan angkatan kerja yang banyak pula.
Angkatan kerja yang banyak tersebut diharapkan akan mampu memacu
meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan
banyak tidak selalu memberikan dampak yang positif terhadap
kesejahteraan. Usia kerja adalah suatu tingkat umur seseorang yang
diharapkan sudah dapat bekarja dan menghasilkan pendapatannya sendiri.
Usia kerja ini berkisar antara 15 sampai 64 tahun. Selain penduduk dalam
usia kerja dan di atas usia kerja. Penduduk yang dimaksud yaitu anak-anak
usia sekolah dasar yang sudah pensiun atau berusia lanjut.
Bagian lain dari penduduk dalam usia kerja adalah bukan angkatan
kerja. Yang termasuk di dalamnya adalah para remaja yang sudah masuk
usia kerja tetapi belum bekerja atau belum mencari pekerjaan karena
masih sekolah. Ibu rumah tangga pun termasuk ke dalam kelompok bukan
angkatan kerja.
Penduduk dalam usia kerja yang termasuk dalam usia kerja,
dikelompokkan menjadi tenaga kerja (bekerja) dan bukan angkatan kerja
(mencari kerja dan menganggur). Menurut T. Gilarso (2001:207) tenaga
kerja (man power) adalah manusia dengan tenaga fisiknya maupun
bakat-bakat dan keterampilannya yang digunakan dalam memproduksi barang
dan jasa.
Aspek kinerja usaha yang dilakukan oleh sektor industri kecil
secara teknis berpedoman pada keahlian serta keterampilan dari kegiatan
usahanya. Kegiatan produksi tersebut dilanjutkan kepada proses penjualan
pada lingkungan pasar serta dapat memperoleh keuntungan yang
pembelian bahan baku serta hal-hal lainnya yang menyangkut kepada
kegiatan produksi Nurimansjah Hasibun (1994).
4. Pengertian Laba/Rugi
Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari
transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi suatu badan usaha,
dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan usaha
selama satu periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau
investasi pemilik Baridwan (1992:55).
Pengertian laba secara umum adalah selisih dari pendapatan di atas
biaya-biayanya dalam jangka waktu tertentu. Laba sering digunakan
sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kebijakan deviden, pedoman
investasi serta pengambilan keputusan dan unsur prediksi Harnanto
(2003:444).
Dalam teori ekonomi juga dikenal adanya istilah laba di dalam
teori ekonomi berbeda dengan pengertian laba menurut akuntansi. Dalam
teori ekonomi, para ekonom mengartikan laba sebagai suatu kenaikan
dalam kekayaan perusahaan, sedangkan dalam akuntansi, laba adalah
perbedaan pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi pada
waktu dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode
tertentu Harahap (1997).
Laba atau rugi sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai
prestasi perusahaan atau sebagai dasar ukuran penilaian yang lain, seperti
adalah pendapatan dan biaya. Dengan mengelompokkan unsur-unsur
pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran laba yang
berbeda antara lain : laba kotor, laba operasional, laba sebelum pajak, dan
laba bersih.
Pengukuran laba bukan saja penting untuk menentukan prestasi
perusahaan tetapi penting juga sebagai informasi bagi pembagian laba dan
penentuan kebijakan investasi. Oleh karena itu, laba menjadi informasi
yang dilihat oleh banyak seperti profesi akuntansi, pengusaha, analisis
keuangan pemegang saham, ekonom, fiskus, dan sebagainya Harahap
(2001:259). Hal ini menyebabkan adanya berbagai defenisi untuk laba.
G. Perkembangan Industri Kecil di Indonesia
1. Industri Kecil dalam Dimensi Pemerataan
Menurut Dawam Rahardjo (1984:122-123) sebenarnya terdapat
dasar-dasar pemikiran yang lebih luas di balik ketetapan politik
pemerintah untuk memberi kesempatan, melindungi, mendorong bahkan
membina dengan penyediaan berbagai fasilitas khusus atau tersendiri
kepada sektor industri, yaitu diantaranya:
a. Karena industri kecil hanya membutuhkan modal yang tidak banyak,
bisa memanfaatkan sumber-sumber yang diperoleh dengan mudah,
hanya memerlukan teknologi yang dapat dikuasai oleh keterampilan
tangan serta dapat dikelola dengan managemen yang sederhana, maka
faktor-faktor ini semua lebih memudahkan penciptaan dan
untuk menyerap tenaga kerja antara lain diukur dengan besar kecilnya
modal yang dibutuhkan untuk setiap orang atau satuan perusahaan.
b. Dalam satu-satuan usaha yang lebih kecil yang memproduksi berbagai
jenis barang yang berada dalam jangkauan pemikiran anggota
masyarakat yang kurang berpendidikan formal pun, maka sektor
industri atau usaha kecil memberikan kesempatan berinovasi kepada
para wiraswasta serta memberi jalan bagi timbul dan berkembangnya
inisiatip perseorangan.
c. Kegiatan industri kecil, lebih-lebih kerajinan rumah tangga yang
jumlahnya sangat banyak di Indonesia, memiliki kaitan yang dekat
dengan mata pencaharian pertanian di daerah pedesaan serta tersebar
di seluruh tanah air.
d. Perkembangan industri skala besar yang modern, ternyata
membutuhkan pula dukungan dari satu-satuan usaha kecil yang dapat
membuat barang-barang komponen atau suku cadang. Makin besarnya
skala produksi ternyata justru memberi kesempatan timbulnya industri
kecil oleh karena industri besar ingin melimpahkan sebagian beban
managemennya kepada satuan-satuan yang lebih kecil.
Dasar-dasar pemikiran di atas yang secara ekonomis dapat dinilai
cukup rasional, ternyata mengandung pula dimensi kemerataan dimana
industri kecil memperoleh tempat dalam pertimbangan untuk
memeratakan kesempatan berusaha, baik dilihat secara sosial, regional
2. Industri Kecil dalam Perekonomian Indonesia
Pada saat krisis melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 dan pada
pertengahan tahun 2008, kita kembali dihadapkan pada krisis keuangan
dunia, yang bermula dari krisis di Amerika Serikat, industri kecil mampu
bertahan dan terbukti menjadi salah satu pelaku ekonomi yang kuat dan
ulet, karena industri kecil ternyata cukup berhasil menyesuaikan diri
dengan lingkungan ekonomi yang berubah dengan cepat tersebut.
Menurut kriteria UNIDO (United National for Industrial
Development Organization) negara-negara dikelompokkan sebagai
berikut: Arsyad (2004:354-355).
a. Kelompok negara non-industri (non-industrial country) apabila
sumbangan sektor industri PDB kurang dari 10 persen.
b. Kelompok negara dalam proses industrialisasi (industrializing country)
apabila sumbangan tersebut antara 10-20 persen.
c. Kelompok negara semi industri (semi industrialized country) apabila
sumbangan tersebut antara 20-30 persen.
d. Kelompok negara industri (industrial country) apabila sumbangan
tersebut lebih dari 30 persen.
Sumbangan industri terhadap PDB sudah meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1970 sektor industri menyumbang 8,4 persen terhadap
PDB dan pada tahun 1980 meningkat menjadi 15,3 persen, dan pada tahun
1987 meningkat menjadi 25 persen. Pada tahun 1997 PDB sektor industri
persen. Pada tahun 2010, PDB industri tumbuh menjadi 8,5 persen dari
tahun sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada Pelita I
Indonesia masih termasuk negara non-industri dan pada Pelita IV sudah
termasuk pada kategori negara semi industri Arsyad (2004:354).
Pengelompokkan industri menurut jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dibedakan menjadi
empat yaitu: Arsyad (2004:366).
a. Perusahaan atau industri besar jika mempekerjakan 100 orang atau
lebih.
b. Perusahaan atau industri sedang jika mempekerjakan 20 orang sampai
99 orang.
c. Perusahaan atau industri kecil jika mempekerjakan 3 orang sampai 19
orang.
d. Industri rumah tangga jika mempekerjakan kurang dari 3 orang
(termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar).
Menurut Heijrahman Ranupandoyo (1986) pengertian industri
pedesaan adalah:
a. Industri yang diusahakan terutama oleh rakyat pedesaan.
b. Menjadi sumber penghidupan baik sampingan atau pokok di luar
kegiatan pertanian.
Industri kecil adalah industri berskala kecil dan industri rumah
tangga yang diusahakan terutama untuk menambah pendapatan keluarga.
pembangunan bidang ekonomi khususnya. Selain juga memberikan
sumbangan nyata dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat dan
peningkatan pendapatan terutama masyarakat pedesaan.
Menurut Mubyarto (1987:99), peranan industri kecil adalah:
a. Industi kecil memberikan lapangan kerja pada penduduk pedesaan
yang pada umumnya tidak bekera secara penuh.
b. Industri memberikan tambahan pendapatan tidak saja bagi kepala
keluarga atau pekerja, tetapi juga pada anggota keluarga lainnya.
c. Industri dalam beberapa hal mampu memproduksi barang-barang
keperluan penduduk setempat dan daerah sekitarnya secara lebih
efisien dan lebih murah dibandingkan industri besar.
3. Pentingnya Industri Kecil Bagi Pembangunan di Desa
Industri kecil penting sebagai penunjang dari industri besar dan
sedang terutama sebagai pemasok (supplier) berbagai komponen dan
barang setengah jadi (intermediate inputs) lainnya yang diperlukan
perusahaan besar dan sedang Thee Kian Wie (1988:195). Menurut I.
Nyoman Beratha (1982) Industri kecil merupakan salah satu penunjang
pembangunan di desa yang tidak diragukan lagi karena industri kecil bisa
berkembang seperti yang diharapkan akan segera nampak
keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
a. Industri kecil banyak menyerap tenaga kerja yang tidak digunakan
seperti tenaga penganggur dan setengah penganggur.
c. Sistem distribusi lebih sederhana karena pasar yang dilayani masih
kecil.
d. Pada taraf awal alat-alat dapat diselenggarakan secara lokal.
e. Dengan demikian orang yang mampu di desa masih ragu-ragu untuk
menyimpan modalnya di dalam sektor industri.
Menurut Hadi Prayitno (1985:72) alasan yang menjadi prioritas
utama bagi pembangunan industri kecil di pedesaan sebagai berikut:
a. Karena letaknya di daerah pedesaan, maka diharapkan tidak akan
menambah migrasi ke kota lain atau dapat mengurangi laju urbanisasi.
b. Sifatnya yang padat tenaga kerja akan memberikan kemampuan serap
lebih besar perunit yang di investasikannya.
c. Masih dimungkinkannya bagi tenaga kerja yang terserap untuk
kembali berburuh tani dalam usaha tani khususnya menjelang saat-saat
sibuk karena letaknya yang berdekatan.
d. Penggunaan teknologi yang masih sederhana masih mudah di pelajari
dan di laksanakan.
Menurut Hadi Prayitno (1985:71) hubungan antara pembangunan
industri dan pertanian di dalam masalah ketenagakerjaan bukan saja
penting, tetapi mempunyai arti luas dan strategis. Sebab, pembangunan
pertanian dapat berhasil dengan baik apabila didukung oleh pembangunan
industrialisasi dan sebaliknya, pembangunan industri dapat berjalan
dengan baik jika didukung oleh keberhasilan pembangunan pertanian.
pertanian. Sebaliknya disektor pertanian untuk selanjutnya menghendaki
agar angkatan kerja baru yang dihasilkan oleh keluarga petani tidak masuk
lagi ke dalam sektor pertanian sehingga diharapkan sebagian besar tenaga
kerja ini dapat diserap oleh sektor-sektor di luar pertanian, misalnya di
sektor industri.
H. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian oleh Wahyono Yudha
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Wahyono Yudha (1990), yang
berjudul ”Peranan Industri Kecil di Kota dalam Penyerapan Tenaga Kerja
(Studi Kasus: Industri Kecil Kerajinan Perak Kecamatan Kotagede,
Kotamadya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
1990”.
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umumnya untuk mengetahui apakah benar sektor
industri kecil di kota dapat menyerap tenaga kerja. Sedangkan tujuan
khususnya untuk mengetahui apakah benar tenaga kerja industri kecil di
kota umumnya berasal dari desa, untuk mengetahui apa alasan responden
asal desa berurbanisasi, untuk mengetahui apakah benar tenaga kerja
industri kecil di kota tingkat pendidikannya rendah, untuk mengetahui
apakah benar tenaga kerja industri kecil di kota mengalami kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan di sektor formal, untuk mengetahui motivasi
responden memasuki industri kecil di kota, untuk mengetahui berapa lama
diterima responden per hari, untuk mengetahui apakah benar penerimaan
tenaga kerja industri kecil di kota tidak melalui prosedur yang formal,
untuk mengetahui apakah benar tenaga kerja industri kecil di kota
sebelumnya termasuk golongan penganggur dan setengah pengangguran.
Dari hasil penelitian terdahulu dapat dibuat suatu kesimpulan
sebagai berikut :
a. Sebagian besar tenaga kerja di industri kecil kerajinan perak Kotagede
berasal dari kota (68,3%). Hal ini disebabkan tenaga kerja yang
terserap adalah masyarakat di sekitar industri kecil itu berada, yaitu
disekitar Kotagede yang masih merupakan bagian kota Yogyakarta.
b. Alasan responden berurbanisasi, sebagian besar (42,1%) responden
menyatakan karena sulit untuk mendapatkan pekerjaan di desa. Hal ini
mengisyaratkan semakin sempitnya lahan pertanian dan proses
mekanisasi di bidang pertanian yang mengakibatkan berkurangnya
kesempatan kerja di desa sehingga mereka berurbanisasi untuk
mencari kerja (tambahan penghasilan).
c. Tenaga kerja di industri kecil kerajinan perak, tingkat pendidikannya
sebagian besar relatif rendah, yaitu 65,3% responden hanya mencapai
SD. Di sini terlihat peran industri kecil dalam menyerap tenaga kerja
dengan kualifikasi pendidikan relatif rendah. Hal ini sesuai dengan
ciri-ciri dari sektor informal.
d. Industri kecil kerajinan perak Kotagede berperan menampung tenaga
responden menyatakan pernah melamar tetapi ditolak/tidak diterima
dan pernah bekerja di sektor formal tetapi kemudian berhenti karena
PHK atau atas kemauan sendiri.
e. Sebagian besar motivasi responden memasuki industri kecil kerajian
perak adalah karena sektor ini tidak memerlukan/membutuhkan
persyaratan formal (58,3%). Hal ini sesuai dengan salah satu ciri sektor
informal, dimana untuk bekerja di sektor informal tidak membutuhkan
persyaratan khusus seperti tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan
lain-lain.
f. Sebesar 63,3% dari 60 responden (sebagian besar responden) bekerja
11 jam sehari, yaitu dari jam 07.00-17.00, berarti dalam seminggu
bekerja 66 jam. Jam kerja yang panjang dan bervariasinya jam kerja
merupakan salah satu ciri dari sektor informal.
g. Upah minimal di industri kerajian perak per hari Rp.1000,00 (tenaga
serabutan) dan upah terbesar Rp.50.000,00 (dengan kerja lembur).
Dapat dikatakan bahwa spesialisasi dan kerja lembur mempengaruhi
besar upah yang diterima per hari. Berarti penghasilan sbulan
responden berkisar antara Rp.30.000,00-Rp.1.500.000,00.
h. Sebagian besar responden pemilik industri kecil kerajinan perak tidak
mengadakan pembukuan dalam menjalankan usahanya (80%
responden pemilik industri kecil).
i. Industri kecil kerajian perak Kotagede sebagai bagian dari sektor
yaitu responden dengan kegiatan sebelum bekerja sebagai perajin 75%
(45 responden) sedang mencari pekerjaan dan 10% (6 responden)
bekerja kurang dari jam kerja normal (35 jam dalam seminggu).
Sedang 15% (9 responden) menyatakan bahwa pekerjaan sebagai
pengrajin perak merupakan pekerjaan pokok karena mereka dapat
memperoleh penghasilan menetap perbulan.
2. Penelitian oleh Agnes Endang Sri Haryanti
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Agnes Endang Sri Haryanti
(1997), yang berjudul ”Beberapa Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Industri Kerajinan Perak Tahun 1993-1995 (Studi Kasus:
Sentra Industri Kerajinan Perak di Kecamatan Kotagede, Kotamadya
Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1996).
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umumnya untuk mengetahui bagaimanakah
perkembangan industri kerajinan perak di kecamatan Kotagede pada tahun
1993-1995, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
perkembangan industri kerajinan perak di kecamatan Kotagede pada tahun
1993-1995. sedangkan tujuan khususnya untuk mengetahui ada tidaknya
peningkatan jumlah pengusaha industri kerajinan perak pada tahun
1993-1995, untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan jumlah tenaga kerja
yang terserap pada industri kerajinan perak pada tahun 1993-1995, untuk
mengetahui ada tidaknya peningkatan modal per unit usaha tahun
industri kerajinan perak pada tahun 1993-1995, untuk mengetahui ada
tidaknya peningkatan laba pengusaha pada tahun 1993-1995, untuk
mengetahui ada tidaknya peningkatan upah yang diterima tenaga kerja
pada tahun 1993-1995, untuk mengetahui apakah bahan baku produksi
ersedia setiap waktu dan pasar lokal, untuk mengetahui apakah harga
bahan baku produksi stabil, untuk mengetahui apakah tersedia alat
transportasi yang mudah dari pasar input ke pasar output, untuk
mengetahui apakah perbaikan peralatan yang dilakukan dapat
meningkatkan hasil produksi, untuk mengetahui apakah hasil produksi
dijual dengan harga yang menguntungkan, untuk mengetahui bagaimana
jalur yang digunakan untuk memasarkan hasil produksi pada industri
kerajinan perak, apakah jalur langsung, jalur tidak langsung atau
kedua-duanya, untuk mengetahui bagaimana luas jangkauan pemasaran hasil
produksi pada industri kerajinan perak, apakah dalam lingkup lokal,
regional, nasional atau ekspor.
Dari hasil penelitian terdahulu dapat dibuat suatu kesimpulan
sebagai berikut :
a. Kesimpulan khusus
1). Ada peningkatan jumlah industri kerajinan perak di kecamatan
Kotagede antara tahun 1993-1995. Rata-rata peningkatan sebesar