• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan de Jong,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan de Jong,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Kehilangan integritas kulit dalam jumlah besar akibat luka atau penyakit dapat mengakibatkan disabilitas bahkan kematian (Singer dkk., 1999). Pengobatan luka dapat diobati dengan bahan-bahan kimia sintesis maupun alami. Salah satu obat dari bahan alam yang berkhasiat untuk mempercepat proses penyembuhan luka adalah kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.).

Menurut penelitian yang dilakukan Supriadi (2012), ekstrak etanol kulit pisang ambon memiliki efek mempercepat durasi penyembuhan luka. Kandungan senyawa dalam ekstrak kulit pisang adalah flavonoid, tanin, dan saponin (Akpuaka dan Ezem, 2011). Menurut Khan (2012), Terminalia coriacea (Roxb.) berkhasiat sebagai wound healing dimana pada tanaman yang memiliki aktivitas

wound healing biasanya mengandung senyawa flavonoid, tanin, saponin, alkaloid, dan glikosida antrakuinon.

Penggunaan ekstrak etanol kulit pisang ambon untuk mempercepat proses penyembuhan luka dapat dipermudah dengan membuat dalam bentuk sediaan gel. Sediaan gel terutama hidrogel sangat ideal digunakan sebagai penutup luka karena dapat memberikan lingkungan lembab yang diperlukan dalam penanganan luka

(2)

(Mallefet dan Dweck, 2008), terasa dingin di permukaan luka, menurunkan rasa sakit, dan meningkatkan penerimaan konsumen (Boateng dkk., 2008).

Dalam pembuatan gel, pemilihan basis atau gelling agent dapat mempengaruhi karakter gel yang terbentuk. Kadang diperlukan suatu bahan pembentuk gel ataupun campuran 2 atau lebih bahan pembentuk gel untuk memperoleh gel dengan karakter tertentu sehingga sesuai tujuan penggunaannya (Liebermen, 1989).

Kombinasi basis karbopol dan HPMC dapat membentuk massa gel yang baik secara fisik dibandingkan penggunaan basis tunggalnya (Quiñones, 2008). Kombinasi HPMC dan karbopol yang tepat pada proporsi tertentu dalam formula gel ekstrak kulit pisang diharapkan akan menghasilkan sifat fisik gel yang sesuai dengan harapan.

Untuk mengetahui formula optimum kombinasi HPMC dan karbopol dapat digunakan SLD (Simplex Lattice Design). Keuntungan dari metode ini adalah praktis dan cepat karena bukan merupakan penentuan formula dengan coba-coba (trial and error) (Armstrong dan James, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui formula optimum gel ekstrak kulit pisang ambon berdasarkan metode SLD (Simplex Lattice Design) dan mengetahui stabilitas fisik formula optimum gel ekstrak kulit pisang ambon.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(3)

1. Berapakah perbandingan komposisi karbopol dan HPMC dalam sediaan gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) yang menghasilkan formula paling optimum dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design?

2. Bagaimanakah stabilitas fisik formula optimum gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) dengan kombinasi basis karbopol dan HPMC?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Memperoleh perbandingan komposisi karbopol dan HPMC dalam sediaan gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) yang menghasilkan formula paling optimum dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design.

2. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) dengan kombinasi basis karbopol dan HPMC.

D. Pentingnya Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan contoh formulasi yang optimum untuk pembuatan gel ekstrak kulit pisang sehingga mendapatkan sediaan gel yang mempunyai sifat fisik terbaik dan dapat membantu meningkatkan kenyamanan bagi pemakai obat. Penelitian ini juga berguna untuk pengembangan optimasi dan formulasi gel ekstrak kulit pisang ambon sebagai penyembuh luka, yang nantinya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kesehatan.

(4)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pisang ambon

Gambar 1. Pisang ambon (Musa paradisiaca L.)

a. Klasifikasi tanaman Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Scitamineae

Suku : Musaceae

Marga : Musa

Jenis : Musa paradisiaca L.

(Tjitrosoepomo, 1997) b. Kulit pisang

Kulit pisang kaya akan zat pati (3%), protein (6-9%), lemak (3,8-11%), serat (43,2-47,9%), polyunsaturated fatty acids, asam linoleat, asam α-linolenat, pectin,

dan asam amino esensial seperti leucine, valine, phenylalanine, dan threonine. Sejalan dengan kematangan pisang, terjadi peningkatan kadar gula, penurunan

(5)

kadar zat pati dan hemiselulosa, serta peningkatan kadar protein dan lemak. Degradasi zat pati dan hemiselulosa oleh endogenous enzyme dapat menjelaskan peningkatan kadar gula dalam kulit pisang yang sudah matang. Karbohidrat yang terdapat pada kulit pisang antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xylosa. Selain itu, kulit pisang mengandung lignin, selulosa, dan galactouronic acid (Mohapatra dkk., 2010).

Pada kulit pisang yang belum matang mengandung glikosida, flavonoid, tanin, saponin dan steroid. Akan tetapi, pada kulit pisang yang sudah matang, kulit pisang tidak mengandung flavonoid dan tanin (Akpuaka dan Ezem, 2011).

Menurut penelitian yang dilakukan Supriadi (2012) diketahui bahwa ekstrak etanol kulit pisang berpengaruh dalam mempercepat durasi penyembuhan luka. Kulit pisang mengandung flavonoid, tanin, dan saponin (Akpuaka dan Ezem, 2011). Flavonoid yang terdapat dalam buah pisang adalah leucocyanidin yang bekerja dengan mengurangi lipid peroksidase, meningkatkan kecepatan epitelialisasi, dan berfungsi sebagai antimikroba. Penurunan lipid peroksidase akan mencegah terjadinya nekrosis, memperbaiki vaskularisasi, dan meningkatkan viabilitas serabut kolagen dengan cara meningkatkan kekuatan anyaman serabut kolagen (Agarwal dkk., 2008).

Aktivitas fibroblast yang tidak memadai atau berlebihan dapat menyebabkan hambatan dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid dapat menginhibisi pertumbuhan fibroblast sehingga memberikan keuntungan pada perawatan luka (Khan, 2012).

(6)

luka. Aktivitas tanin sebagai adstringent dan antimikroba berperan dalam wound contraction dan kecepatan epitelialisasi (Khan, 2012).

Saponin dapat mempercepat proses penyembuhan luka karena dapat meningkatkan kandungan kolagen serta mempercepat proses epitelialisasi, bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan (Sachin dkk., 2009). Asiaticoside, saponin yang diekstraksi dari Centella asiatica, dapat meningkatkan kolagen dan mempercepat proses epitelialisasi (MacKay dan Miller, 2003).

2. Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Luka dapat bersifat akut dan kronis. Bila luka yang bersifat akut mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan dalam waktu 6 minggu, maka luka akut akan menjadi luka yang bersifat kronis (Anonim, 2007). Proses penyembuhan luka dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan

remodelling. a. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. pembuluh darah terputus pada luka menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi. Pengerutan pembuluh yang terputus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dengan jala fibrin yang

(7)

terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang disertai vasodilatasi setempat menyebabkan pembengkakan. Pada fase ini terjadi netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis untuk perbaikan dan pemulihan.

b. Fase proliferasi

Pada fase proliferasi terdapat pembentukan barier permeabilitas (reepitelialisasi), pembentukan pembuluh darah (angiogenesis), dan penguatan jaringan dermis yang mengalami kerusakan (fibroplasia). Reepitelialisasi merupakan suatu proses untuk mengembalikan epidermis agar kembali utuh. Fibroplasia merupakan suatu proses yang meliputi proliferasi fibroblast, migrasi fibroblast ke daerah luka serta pembentukan kolagen baru dan matriks protein lainnya, yang berkontribusi dalam pembentukan jaringan granulasi. Angiogenesis merupakan pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang berdekatan dengan daerah yang mengalami kerusakan.

c. Fase remodelling

Fase ini meliputi deposisi matriks dan kemudian akan terjadi perubahan yang berlangsung terus menerus. Seluruh proses dalam penyembuhan luka seperti pembentukan sumbat fibrin akan digantikan oleh jaringan granulasi yang kaya akan kolagen tipe III serta pembuluh darah yang terbentuk pada fase proliferasi

(8)

dan kemudian akan digantikan oleh kolagen tipe I dengan pembuluh darah matur yang lebih sedikit.

3. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Selanjutnya semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dengan pelarut cair sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat, karbohidrat dan protein. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Pengetahuan mengenai senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000).

4. Gel

a. Definisi gel

Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Anonim, 1995). Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid

(9)

mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel dkk., 1999). Berdasarkan jumlah fasenya, gel dibedakan menjadi gel fase tunggal dan gel fase ganda.

a) Gel fase tunggal, terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam suatu cairan sedemikian rupa hingga tidak terlihat ada ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan (Lieberman, 1989).

b) Gel fase ganda, dalam hal dimana massa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan sebagai sistem dua fase atau fase ganda yang sering disebut magma atau susu (Ansel dkk., 1999).

Berdasarkan karakteristik cairan yang ada dalam gel. Gel dibedakan menjadi gel hidrofobik dan hidrofilik.

a) Gel hidrofobik (oleogel) atau liofilik umumnya mengandung parafin cair dan polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal silika atau aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1989). Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interakasi yang sedikit antara basis gel dan fase pendispersi. Basis gel hidrofobik tidak secara spontan menyebar (Ansel dkk., 1999).

b) Dasar gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Sistem koloid hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilitasan yang lebih besar dibanding hidrofobik. Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pembengkak, air, penahan lembab dan bahan pengawet (Ansel dkk., 1999). Sediaan gel mempunyai beberapa sifat yang disukai

(10)

seperti alirannya yang tiksotropik, tidak lengket, mudah menyebar, mudah dibersihkan, kompatibel dengan beberapa eksipien dan larut dalam air (Rowe dkk., 2009). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi.

b. Kontrol kualitas gel 1) Organoleptis

Pemeriksaan organoleptis dilakukan secara makroskopis dengan mendeskripsikan warna, kejernihan, bau, dan bentuk sediaan (Paye dkk., 2001).

2) Viskositas

Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir. Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya, pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan kelembaban. Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik dan ketersediaan hayatinya (Paye dkk., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan menambahkan polimer (Donovan dan Flanagan, 1996).

3) Daya lekat

Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. (Zats dan Gregory, 1996).

(11)

4) Daya sebar

Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Sediaan yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal (Garg, 2002).

5) pH

pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH idealnya sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan untuk menghindari iritasi pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5-6,5 (Draelos dan Lauren, 2006).

6) Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan secara visual (Paye dkk., 2001). Homogenitas gel diamati pada kaca objek di bawah cahaya, diamati apakah terdapat bagian-bagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel yang stabil harus menunjukkan susunan yang homogen.

5. Monografi bahan a. Karbopol

Nama lain karbopol adalah critamer, acrylic acid polymer, carbomer,

carboxyvinyl polimer (Ansel dkk., 1999). Karbopol digunakan sebagian besar di dalam cairan atau sediaan formulasi semisolid berkenaan dengan farmasi sebagai gen pensuspensi atau agen penambah kekentalan. Karbopol berwarna putih, serbuk halus, bersifat asam, higroskopik, dengan sedikit karakteristik bau. Karbopol dapat larut di dalam air, di dalam etanol (95%) dan gliserin, dapat

(12)

terdispersi di dalam air untuk membentuk larutan koliodal bersifat asam, sifat merekatnya rendah (Rowe dkk., 2009).

Gambar 2. Struktur karbopol (Rowe dkk., 2009)

Karbopol bersifat stabil, higroskopik, penambahan temperatur berlebih mengakibatkan kekentalan menurun sehingga mengurangi stabilitas (Hosmani, 2006). Paparan suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna dan mudah terkontaminasi oleh jamur dan mikroba, oleh karena itu pada penggunaan karbopol harus ditambahkan dengan suatu agen pengawet seperti chloresol, temoresol, metal paraben atau propilparaben. Karbopol digunakan sebagai bahan pengental yang baik, viskositasnya tinggi, menghasilkan gel yang bening. Karbopol digunakan untuk bahan pembentuk gel pada konsentrasi 0,5-2,0% (Rowe dkk., 2009). Karbopol sebagai bahan tambahan yang utama digunakan dalam farmasi untuk formulasi sediaan cair atau sediaan semi padat yang berfungsi menurunkan atau meningkatkan viskositas dari sediaan semi padat tersebut.

b. Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC)

Hydroxypropyl Methylcellulose merupakan suatu polimer glukosa yang tersubstitusi dengan hidroksipropil dan metil pada gugus hidroksinya. Nama lain dari Hydroxypropyl Methylcellulose adalah Hypromellose, Benecel MHPC, hypromellosum, Methocel, methylcellulose propylene glycol ether, methyl

(13)

hydroxypropylcellulose, Metolose, MHPC, Pharmacoat, Tylopur, Tylose MO. HPMC berupa serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, larut dalam air dingin, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%) dan eter (Rowe dkk., 2009).

Gambar 3. Struktur HPMC (Rowe dkk., 2009)

HPMC pada sediaan gel berguna sebagai gelling agent dan untuk mencegah etanol terpisah dari gel ketika terjadi peningkatan water ability. Hidroksi propil metil selulosa dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, tidak berwarna dan tidak berasa, stabil pada pH 3 hingga 11 dan punya resistensi yang baik terhadap serangan mikroba serta memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit (Rowe dkk., 2009).

c. Trietanolamin

Trietanolamin dengan berat molekul 149,19 g/mol dan rumus molekul C6H15NO3 memiliki sinonim 2,2’,2”-nitrilotrietanol, TEA, trolamin,

triethylolamine, trihydroxytriethylamine, tris(hydroxyethyl)amine, trolaminum (Rowe dkk., 2009).

(14)

Trietanolamin adalah campuran dari trietanolamina, dietanolamina dan monoetilamina. Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 107,4% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamina, N (C2H4OH)3 (Anonim, 1995). Bahan ini berwujud cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat; bau lemah mirip amoniak; higroskopik dan mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) p dan dalam kloroform p. Sebaiknya bahan ini disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya.

Zat tambahan ini digunakan untuk menstabilkan pH pada pembuatan kosmetik dengan jenis produk yang beraneka ragam dari lotion untuk kulit, gel mata, pelembab, sampo, busa untuk mencukur, dan lainnya.

d. Metil Paraben

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H8O3. Pemerian serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Kelarutan larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton p, mudah larut dalam eter p dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol p panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Fungsinya adalah preservatif dan zat pengawet (Anonim, 1995).

(15)

e. Propilen glikol

Propilen Glikol memiliki rumus molekul CH3CH(OH)CH2OH. Bahan ini berwujud cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak berbau dan menyerap air pada udara lembab. Bahan ini dapat bercampur dengan air, dengan aseton dan dengan kloroform; larut dalam eter dan dalam beberapa minyak esensial; tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak lemak. Dalam wadah tertutup rapat untuk menyimpan bahan ini (Anonim, 1995).

Gambar 6. Struktur propilen glikol (Rowe dkk., 2009)

f. Akuades

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik (reverse osmosis), atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum dan tidak mengandung zat tambahan lain. Pemerian dari air adalah cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Air murni memiliki kisaran pH antara 5,0 dan 7,0. Penyimpanan untuk bahan ini adalah dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995).

6. SLD (Simplex Lattice Design)

Suatu formula adalah kumpulan dari suatu komponen dari sisi kualitatif dan kuantitatifnya. Setiap perubahan fraksi dari salah satu komponennya akan mengubah satu atau lebih banyak komponen lain. Simplex lattice design

(16)

yang berbeda. Metode ini dapat digunakan untuk prosedur optimasi formula yang jumlah total dari bahan berbeda adalah konstan (Bolton, 1997). Hubungan fungsional antara respon (variabel tergantung) dengan komposisi (variabel bebas) dinyatakan dengan persamaan:

Y=β1A + β2B + β1.2AB... (1) Keterangan:

Y : respon yang diinginkan A dan B : fraksi dari tiap komponen β1 dan β2 : koefisien regresi dari A,B

β1.2 : koefisien regresi dari interaksi A-B

Koefisien diketahui dari perhitungan regresi dan Y adalah respon yang diinginkan. Apabila nilai A ditentukan, maka nilai B dapat dihitung (Armstrong dan James, 1986). Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar. Respon total dihitung dengan rumus:

R total = R1 + R2 + R3 + Rn………. (2)

R1, R2, R3, Rn adalah respon masing-masing sifat fisik sediaan. Dari persamaan respon total tersebut akan diperoleh formula yang optimum. Verfikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling optimum (Armstrong dan James, 1986).

7. Stabilitas obat

Stabilitas merupakan kemampuan suatu produk farmasi untuk mempertahankan sifat kimia, fisika, mikrobiologi dan biofarmasi dalam batas-batas yang ditentukan selama masa edarnya. Sediaan obat yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode

(17)

penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikanya pada saat dibuat. Uji stabilitas adalah serangkaian pengujian yang dirancang untuk mendapatkan informasi mengenai stabilitas produk farmasi dalam rangka penetapan tanggal kadaluarsa dan periode penggunaan dalam kemasan dan kondisi penyimpanan tertentu. (Anonim, 2005).

Tujuan dari pengujian stabilitas obat adalah untuk memberikan bukti tentang mutu suatu obat atau produk obat yang berubah seiring waktu di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan dan cahaya. Tujuan pengujian tersebut adalah untuk menetapkan suatu periode uji ulang untuk bahan obat tersebut atau masa edar untuk produk obat dan kondisi penyimpanan yang direkomendasikan (Watson, 2009).

Stabilitas kimia yaitu mempertahankan keutuhan kimiawi dan potensi zat aktif yang tertera pada etiket dalam batasan spesifikasi. Stabilitas fisika bertujuan untuk mempertahankan sifat fisika awal suatu sediaan meliputi penampilan, kesesuaian, keseragaman, disolusi, disintegrasi, kekerasan, dan kemampuan disuspensikan. Stabilitas mikrobiologi tergambar dari sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan. Zat antimikroba harus dapat mempertahankan efektifitas sediaan dalam jumlah yang ditetapkan (Anonim, 2005).

F. Landasan Teori

Kulit pisang ambon diketahui dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Ekstrak etanol kulit pisang ambon 10% merupakan konsentrasi optimal yang dapat mempercepat durasi penyembuhan luka insisi (Supriadi, 2012). Konsentrasi

(18)

kulit pisang sebanyak 4% di dalam gel terbukti mampu mempercepat penyembuhan luka pada tikus (Atzingen dkk., 2011).

Sediaan gel terutama hidrogel sangat ideal digunakan sebagai penutup luka karena dapat memberikan lingkungan lembab yang diperlukan dalam penanganan luka (Mallefet dan Dweck, 2008), terasa dingin di permukaan luka, menurunkan rasa sakit, dan meningkatkan penerimaan konsumen (Boateng dkk., 2008). Kombinasi basis karbopol dan HPMC dapat membentuk massa gel dengan sifat fisik terbaik dibandingkan penggunaan basis karbopol atau HPMC saja (Quiñones, 2008). Salah satu kelemahan gel basis karbopol yaitu memiliki stabilitas yang rendah (Hosmani, 2006). Sedangkan gel basis HPMC memiliki stabilitas yang baik walau disimpan dalam jangka waktu yang lama, tahan temperatur tinggi, mempunyai resistensi yang baik terhadap serangan mikroba, dan membentuk larutan koloidial yang kuat (Rowe dkk., 2009). Stabilitas fisik obat penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan mutu obat dan kenyamanan penggunaan selama masa penyimpanan obat dan kondisi penyimpanan tertentu (Watson, 2009). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan formula optimal dengan kombinasi karbopol dan HPMC adalah SLD (Simplex Lattice Design).

G. Hipotesis

1. Komposisi tertentu karbopol dan HPMC memberikan sifat fisik yang paling optimum pada formula gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.). dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design.

(19)

2. Formula optimum sediaan gel ekstrak kulit pisang ambon (Musa paradisiaca

L.) menggunakan basis karbopol dan HPMC stabil secara fisik selama penyimpanan.

Gambar

Gambar 1. Pisang ambon (Musa paradisiaca L.)  a.  Klasifikasi tanaman
Gambar 2. Struktur karbopol (Rowe dkk., 2009)
Gambar 3. Struktur HPMC (Rowe dkk., 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Maka sistem informasi dapat didefinisikan sebagai suatu susunan dari orang, data, proses dan teknologi informasi yang saling berhubungan untuk mengumpulkan, memproses,

Dalam karya ilmiah ini untuk masalah keamanan sudah diterapkan dengan memanfaatkan server OS mikrotik sebagai autentikasi sebelum pelanggan melakukan akses

Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa

tidak dibersihkan, maka hamburan kertas tersebut (berupa kertas, kerdus, bahkan.. kawat pengikat) akan masuk ke dalam gear pada konveyor dan akan merusak konveyor sehingga

Tugas khusus kedua adalah pengendalian kualitas produk akhir Fitrice melalui peta kendali dan serta analisis kemampuan proses pengemasan, kadar air dan persentase

Dari sudut pandang ini, eksplanasi sejarah yang terkandung pada historiografi juga tidak dapat ditempatkan sebagai representasi dari realitas objektif, tetapi lebih sebagai waeana

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 194 responden dapat diketahui bahwa terdapat 75 responden (38,6%) yang merupakan nasabah Bank Sampah dengan

Selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang telah dikumpulkan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang