245
Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota
Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian
(
Review of Pharmacy Services in The Pharmacy Area of Banjarbaru Based on
Government Pharmaceutical Services Standards
)
Nani Kartinah
1*; Shofia Annisa
1; Thaita Yuniarti
1& Hari Setyanto
21
Farmasi Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 37 Banjarbaru, Kalsel, Indonesia
2Puskesmas Sungai Rangas, Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalsel, Indonesia
Corresponding email: nanikartinah@unlam.ac.id
ABSTRAK
Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan Apoteker untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran pelayanan kefarmasian di apotek wilayah kota Banjarbaru berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik menggunakan kuisioner pada bulan januari hingga maret 2015. Sampel penelitian adalah 21 orang apoteker dan 42 orang asisten apoteker di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Pengukuran yang dilakukan yaitu Frekuensi kehadiran Apoteker; Jumlah apoteker pendamping ; Jumlah asisten apoteker; Sarana dan prasarana (ruang racik dan ruang PIO); dan Penilaian pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi kehadiran apoteker Frekuensi kehadiran Apoteker selama apotek buka (14,29%), setiap hari pada jam tertentu (14,29%), 2-3 kali seminggu (14,29%), 1 kali seminggu (28,57%), 1 kali sebulan (28,57%); Apoteker pendamping berjumlah 1 orang (19,05%), 2 orang (0%), lebih dari 2 orang (0%), tidak memiliki (80,95%); Asisten apoteker berjumlah 1 orang (0%), 2 orang (66,67%), lebih dari 2 orang (33,33%), tidak memiliki (0%); Memiliki ruang racik (100%) dan ruang PIO (38,1%); Pelayanan kefarmasian kategori baik (33,33%), cukup (47,62%), kurang (19,05%)
Kata Kunci: Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Banjarbaru
PENDAHULUAN
Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 2009). Pemerintah menetapkan Permenkes Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek sebagai acuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yang berorientasi pada keselamatan
pasien. Pengaturan standar pelayanan
kefarmasian di apotek memiliki maksud dan tujuan, yaitu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, serta melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Anonim, 2014)
246
Hasil penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian masih sangat kurang, dari total 30 apotek yang diteliti hanya 1 apotek yang termasuk kategori baik, 9 apotek kategori cukup dan 20 apotek termasuk kategori kurang (Mardiati, 2011). Penelitian di 4 kota wilayah DKI Jakarta menunjukkan hampir 90% pelayanan swamedikasi dilakukan oleh asisten apoteker dan hanya 10% apoteker pengelola apotek (APA) yang ikut aktif dalam pelayanan informasi obat. Penelitian terhadap 19 APA di Jawa Tengah menyatakan bahwa sekitar 50% pengunjung belum pernah bertemu apoteker pengelola apotek dan hanya 5,3% apoteker pengelola apotek yang memberikan informasi (Sudibyo et.al., 2011). Penelitian di kota Tegal menunjukkan dari 7 apotek yang diteliti 3 apotek termasuk kategori baik dan 4 apotek termasuk kategori kurang (Bertawati, 2013). Penelitian di kota Surabaya menunjukkan 60% pelayanan kefarmasian masuk dalam kategori kurang (Darmasaputra, 2014).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor
189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional (KONAS) pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga ketersediaan, pemerataan, dan profesionalisme tenaga farmasi yang masih kurang (Anonim,
20061). Untuk meningkatkan profesionalisme
tenaga farmasi, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009
(Anonim, 2009), Permenkes Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 (Anonim, 2011), dan Permenkes Nomor 35 tahun 2014 (Anonim, 2014).
METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian survey analitik
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah
Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan pada bulan Januari hingga Maret 2015
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh Apoteker (43 orang) dan Asisten Apoteker (86 orang) yang bekerja di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Sampel penelitian yaitu 21 orang Apoteker dan 42 orang Asisten Apoteker yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validasi dan reliabilitas. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada 20 orang (Ferguson & Cox, 1993) yang memiliki kesamaan ciri dengan sampel penelitian (Notoatmojo, 2010). Hasil uji dikatakan valid jika r hitung > r tabel (Wasis, 2008)
dan dikatakan reliable jika nilai koefisien alpha > 0,6 (Aurelia, 2013).
Penilaian Pelayanan Kefarmasian
Penilaian dilakukan dengan
menggunakan analisis korelasi, yaitu dilakukan dengan cara melihat skor atau nilai rata-rata dari variabel yang satu dengan skor rata-rata dari variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Analisis kualitas pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 5 aspek meliputi pelayana farmasi klinik, pengelolaan sediaa farmasi, administrasi, sarana
247
dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing skor penilaian dibagi menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup, dan kurang yang mengacu pada Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek (Anonim, 20062).
Tabel 1. Skor Penilaian Pelayanan Kefarmasian
Skor Nilai (%) Baik Cukup Kurang 81-100 61-80 20-60
HASIL DAN DISKUSI
A. Frekuensi Kehadiran Apoteker
Menurut Surat Keputusan Menteri kesehatan Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa waktu kerja apoteker pengelola apotek (APA) adalah selama apotek memulai aktivitas pelayanan sesuai dengan jam kerja setiap harinya (8 jam per hari) (Anonim, 2002). Hasil penelitian tentang frekuensi kehadiran apoteker dapat dilihat pada Tabel 2.
Frekuensi kehadiran apoteker yang
tinggi akan memberikan pelayanan
kefarmasian yang lebih tinggi di apotek, tetapi pada kenyataan sehari-hari tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan karena apoteker berhadir di apotek
tidak selalu memberikan pelayanan
kefarmasian (Darmasaputra, 2014).
Rendahnya frekuensi kehadiran apoteker disebabkan hampir sebagian besar apoteker memiliki pekerjaan lain selain menjadi Apoteker Pengelola Apotek (Kwando, 2014). Kebanyakan apoteker pengelola apotek (APA) hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja di apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan,
sehingga jam bekerja apoteker tidak selama apotek buka (Ginting, 2009)
B. Jumlah Apoteker Pendamping
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan apoteker pendamping merupakan apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker
Pengelola Apotek (APA) dan atau
menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Hasil penelitian tentang jumlah apoteker pendamping dapat dilihat pada Tabel 3.
Hadirnya apoteker pendamping
membuat pelayanan kefarmasian di apotek berjalan sesuai dengan standar yang
ditetapkan dan meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian apotek. Sebagian besar apotek tidak menunjuk apoteker pendamping karena pemilik sarana apotek (PSA) mempertimbangkan hasil pendapatan dari apotek, jika keuangan apotek belum stabil maka dengan penambahan apoteker pendamping akan membebani pendapatan apotek, usaha perapotekan bukan hanya mempunyai fungsi pelayanan kepada masyarakat, melainkan juga mempunyai fungsi bisnis untuk kelangsungan apotek (Yuliastuti, 2012).
C. Jumlah Asisten Apoteker
Asisten apoteker merupakan tenaga kefarmasian yang bekerja membantu apoteker dalam melakukan kerja profesi farmasi, sehingga jumlah asisten apoteker setiap apotek diatur oleh kebijakan
masing-248
masing daerah (Anonim, 2002). Kebijakan daerah kota Banjarbaru menetapkan jumlah asisten apoteker untuk mendirikan apotek minimal 2 orang. (BPPTPM&PM, 2013). Hasil penelitian tentang asisten apoteker dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan apotek di wilayah Banjarbaru sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
D. Sarana dan Prasarana
Pelayanan kefarmasian meliputi sarana dan prasarana, setiap apotek perlu menyediakan ruang konseling sekurang-kurangnya satu set meja dan kursi konseling
untuk memudahkan apoteker untuk
memberikan informasi kepada pasien. (Anonim, 2014). Hasil penelitian tentang sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 5.
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
dilakukan pemberian informasi mengenai obat, baik obat resep, obat bebas seperti
swamedikasi dan herbal. Konseling
diperlukan terutama untuk pasien dengan kondisi khusus seperti pediatrik, geriatrik, ibu hamil dan menyusui; pasien dengan terapi jangka panjang seperti DM, TBC, epilepsi; pasien dengan obat yang perlu instruksi khusus seperti kortikosteroid; pasien dengan indeks terapi sempit seperti digoksin, teofilin, fenitoin; pasien dengan polifarmasi yaitu pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama; serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah (Anonim, 2014). Hal ini yang menjadi dasar ditetapkannya kebijakan bahwa apotek harus memiliki ruang racik dan ruang konseling.
Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa hanya sebagian apotek menyediakan ruang konseling dan PIO. Hal ini juga terjadi di daerah
lain. Penelitian di kota Banjarmasin
menunjukkan dari 30 apotek yang diteliti hanya 10% apotek yang memiliki ruang konseling dan PIO (Mardiati, 2011). Penelitian di Apotek Kartens Manado menunjukkan belum memiliki ruang khusus untuk konseling dan PIO (Pojoh et.al., 2013). Penelitian di kota Medan menunjukkan hanya 29,41% yang memiliki ruang konseling dan PIO (Ginting, 2009).
E. Penilaian Pelayanan Kefarmasian
Pemerintah pada tahun 2008 telah menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian, dimana dalam petunjuk teknis tersebut telah dijelaskan penilaian kinerja apotek kedalam 3 (tiga) kategori yaitu kategori baik, cukup baik, dan kurang baik. Peneliti masih mengacu pada petunjuk teknis tersebut dalam melakukan penilaian dengan menyesuaikan isi pada
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 35 tahun 2014. Hasil penelitian tentang penilaian pelayanan kefarmasian dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa
sebagian besar pelaksanaan pelayanan
kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru masih
pada kategori cukup. Penelitian yang
dilaksanakan di kota Tegal juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dari 7 apotek yang diteliti, ada 3 apotek masuk dalam kategori baik dan 4 apotek dalam kategori sedang (Bertawati, 2013).
Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori baik dilihat dari penilaian kegiatan pelayanan farmasi klinik, kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, kegiatan administrasi, kegiatan
249
sarana dan prasarana, dan kegiatan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang telah dilaksanakan dengan baik. Apoteker pengelola apotek (APA) yang selalu berhadir di apotek, memiliki apoteker pendamping dan 2 orang asisten apoteker.
Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori cukup mayoritas masih kurang maksimal pada aspek administrasi, sarana dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori kurang mayoritas tidak melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik seperti monitoring efek samping obat,
pemantauan terapi obat, home care dan
konseling. Kegiatan administrasi, evaluasi mutu pelayanan kefarmasian, dan sarana dan prasarana juga belum dilakukan dengan maksimal, sehingga penilaian keseluruhan menyebabkan apotek termasuk dalam kategori kurang.
Faktor yang menyebabkan sebagian besar apotek di wilayah Banjarbaru berada pada kategori cukup terletak pada aspek administrasi,
seperti belum melaksanakan kegiatan
dokumentasi hasil monitoring penggunaan obat dan mendokumentasikan kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling. Faktor lain yaitu tidak tersedianya ruang pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling, tidak
tersedianya prosedur tetap dan tidak adanya mekanisme evaluasi seperti kotak saran. Prosedur Tetap (Protap) merupakan proses-proses yang dilakukan di apotek secara spontan sedangkan evaluasi merupakan proses yang dilakukan secara berkala terhadap semua komponen kegiatan yang dilakukan, sehingga menjadi dasar perbaikan terhadap pelayanan kefarmasian selanjutnya. Penelitian di apotek Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar apotek tidak memiliki protap dan sebagian lagi memiliki protap yang hanya tersimpan di
komputer (Atmini et.al., 2011). Evaluasi
menggunakan kotak saran juga tidak banyak dilakukan karena masyarakat sendiri tidak mengisi kotak saran tersebut (Ihsan et.al, 2014)
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu apoteker tidak setiap saat hadir saat apotek buka (Ginting, 2009) dan keterbatasan kemampuan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam farmasi klinik maupun manajerial apotek (Supardi et.al, 2011). Jika seorang apoteker sedang tidak ada di apotek, maka pelayanan pun tidak akan berjalan. Tidak adanya apoteker pendamping menyebabkan tugas tersebut seringkali dilimpahkan pada asisten apoteker. Hal ini yang menyebabkan pelayanan kefarmasian belum berjalan sesuai standarnya (Sukrasno, 2008).
Tabel 2. Frekuensi Kehadiran Apoteker
Frekuensi Kehadiran Jumlah
(N=21) Persentase (%)
a. Selama apotek buka
b. Setiap hari (kecuali hari libur) pada jam tertentu
c. 2-3 kali seminggu d. 1x seminggu e. 1x sebulan 3 3 3 6 6 14.29 14.29 14.29 28.57 28.57
250
Tabel 3. Jumlah Apoteker Pendamping
Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah
(N=21) Persentase (%) a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 4 0 0 17 19.05 0 0 80.95
Tabel 4. Jumlah Asisten Apoteker
Jumlah Asisten Apoteker Jumlah
(N=21) Persentase (%) a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 0 14 7 0 0 66,67 33,33 0
Tabel 5. Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana Jumlah
(N=21) Persentase (%)
a. Terdapat ruang peracikan,
penyimpanan dan penyerahan obat
- Ya
- Tidak
b. Terdapat ruang konseling atau ruang
PIO - Ya - Tidak 21 0 8 13 100 0 38,1 61,9
Tabel 6. Penilaian Pelayanan Kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru
Penilaian Pelayanan Kefarmasian Jumlah
(N=21) Persentase (%) a. Kategori Baik b. Kategori Cukup c. Kategori Kurang 7 10 4 33.33 47,62 19,05 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu frekuensi kehadiran apoteker pada saat apotek buka sebesar 14,29%; Apoteker yang memiliki apoteker pendamping sebesar 19,05%; Apoteker yang memiliki 2 atau lebih asisten
apoteker sebesar 100%; Apoteker yang memiliki ruang untuk melaksanakan konseling dan PIO sebesar 38,1%; dan hasil penilaian pelaksanaan pelayanan kefarmasian menunjukkan 47,62% masuk pada kategori cukup.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1332 tahun 2002 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Anonim. (20061). Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 189 tahun 2006 tentang kebijakan obat nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Anonim. (20062). Surat keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004) tentang petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Anonim. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan
251
kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Anonim. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 889 tahun 2011 tentang registrasi, izin praktek, dan izin tenaga kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Aurelia, E. (2013). Harapan dan kepercayaan konsumen apotek terhadap peran apoteker yang berada di wilayah Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 1-20. Bertawati. (2013). Profil pelayanan kefarmasian dan
kepuasan konsumen apotek di kecamatan Adiwerna kota Tegal. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 2-4
Darmasaputra, E. (2014). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di Apotek di Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 3, 1-5.
Ferguson, E., & Cox, T. (1993). Exploratory factor analysis: A user’s guide. International Journal of Selection and Assessment. 1, 84–94.
Ginting, A.BR. (2009). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan
Ihsan, S., Rezkya, P., & Akib, N.I. (2014). Evaluasi mutu pelayanan di apotek komunitas kota Kendari
berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1, 30-35. Kwando, R.R. (2014). Pemetaan peran apoteker dalam
pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di apotek di Surabaya Timur. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.3, 1-12.
Mardiati, N. (2011). Gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian apotek di kota Banjarmasin periode Maret-April 2011. Skripsi. Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru
Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Pojoh, J.A., Ulaen, S.P.J., & Sael, Y. (2013). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek kartens Manado. Skripsi. Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes, Manado.
Sudibyo, S.R., Handayani, Raharni, M., Herman, & Susyanti, A.L. (2011). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Review : 140-141 Sukrasno. (2008). Pengembangan pendidikan profesi
apoteker untuk mendukung eksistensi apoteker di apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. V, 130-137. Supardi, S., Handayani, R.S., Raharni, Herman, M.I., &
Susyanty A.L. (2011). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Buletin Penelitian Kesehatan.39,138-144.
Wasis. (2008). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.