• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

245

Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota

Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

(

Review of Pharmacy Services in The Pharmacy Area of Banjarbaru Based on

Government Pharmaceutical Services Standards

)

Nani Kartinah

1*

; Shofia Annisa

1

; Thaita Yuniarti

1

& Hari Setyanto

2

1

Farmasi Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 37 Banjarbaru, Kalsel, Indonesia

2

Puskesmas Sungai Rangas, Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalsel, Indonesia

Corresponding email: nanikartinah@unlam.ac.id

ABSTRAK

Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan Apoteker untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran pelayanan kefarmasian di apotek wilayah kota Banjarbaru berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik menggunakan kuisioner pada bulan januari hingga maret 2015. Sampel penelitian adalah 21 orang apoteker dan 42 orang asisten apoteker di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Pengukuran yang dilakukan yaitu Frekuensi kehadiran Apoteker; Jumlah apoteker pendamping ; Jumlah asisten apoteker; Sarana dan prasarana (ruang racik dan ruang PIO); dan Penilaian pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi kehadiran apoteker Frekuensi kehadiran Apoteker selama apotek buka (14,29%), setiap hari pada jam tertentu (14,29%), 2-3 kali seminggu (14,29%), 1 kali seminggu (28,57%), 1 kali sebulan (28,57%); Apoteker pendamping berjumlah 1 orang (19,05%), 2 orang (0%), lebih dari 2 orang (0%), tidak memiliki (80,95%); Asisten apoteker berjumlah 1 orang (0%), 2 orang (66,67%), lebih dari 2 orang (33,33%), tidak memiliki (0%); Memiliki ruang racik (100%) dan ruang PIO (38,1%); Pelayanan kefarmasian kategori baik (33,33%), cukup (47,62%), kurang (19,05%)

Kata Kunci: Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Banjarbaru

PENDAHULUAN

Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 2009). Pemerintah menetapkan Permenkes Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek sebagai acuan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yang berorientasi pada keselamatan

pasien. Pengaturan standar pelayanan

kefarmasian di apotek memiliki maksud dan tujuan, yaitu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, serta melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Anonim, 2014)

(2)

246

Hasil penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian masih sangat kurang, dari total 30 apotek yang diteliti hanya 1 apotek yang termasuk kategori baik, 9 apotek kategori cukup dan 20 apotek termasuk kategori kurang (Mardiati, 2011). Penelitian di 4 kota wilayah DKI Jakarta menunjukkan hampir 90% pelayanan swamedikasi dilakukan oleh asisten apoteker dan hanya 10% apoteker pengelola apotek (APA) yang ikut aktif dalam pelayanan informasi obat. Penelitian terhadap 19 APA di Jawa Tengah menyatakan bahwa sekitar 50% pengunjung belum pernah bertemu apoteker pengelola apotek dan hanya 5,3% apoteker pengelola apotek yang memberikan informasi (Sudibyo et.al., 2011). Penelitian di kota Tegal menunjukkan dari 7 apotek yang diteliti 3 apotek termasuk kategori baik dan 4 apotek termasuk kategori kurang (Bertawati, 2013). Penelitian di kota Surabaya menunjukkan 60% pelayanan kefarmasian masuk dalam kategori kurang (Darmasaputra, 2014).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor

189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional (KONAS) pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga ketersediaan, pemerataan, dan profesionalisme tenaga farmasi yang masih kurang (Anonim,

20061). Untuk meningkatkan profesionalisme

tenaga farmasi, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009

(Anonim, 2009), Permenkes Nomor

889/MENKES/PER/V/2011 (Anonim, 2011), dan Permenkes Nomor 35 tahun 2014 (Anonim, 2014).

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian survey analitik

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah

Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan pada bulan Januari hingga Maret 2015

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh Apoteker (43 orang) dan Asisten Apoteker (86 orang) yang bekerja di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Sampel penelitian yaitu 21 orang Apoteker dan 42 orang Asisten Apoteker yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validasi dan reliabilitas. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada 20 orang (Ferguson & Cox, 1993) yang memiliki kesamaan ciri dengan sampel penelitian (Notoatmojo, 2010). Hasil uji dikatakan valid jika r hitung > r tabel (Wasis, 2008)

dan dikatakan reliable jika nilai koefisien alpha > 0,6 (Aurelia, 2013).

Penilaian Pelayanan Kefarmasian

Penilaian dilakukan dengan

menggunakan analisis korelasi, yaitu dilakukan dengan cara melihat skor atau nilai rata-rata dari variabel yang satu dengan skor rata-rata dari variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Analisis kualitas pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 5 aspek meliputi pelayana farmasi klinik, pengelolaan sediaa farmasi, administrasi, sarana

(3)

247

dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing skor penilaian dibagi menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup, dan kurang yang mengacu pada Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek (Anonim, 20062).

Tabel 1. Skor Penilaian Pelayanan Kefarmasian

Skor Nilai (%) Baik Cukup Kurang 81-100 61-80 20-60

HASIL DAN DISKUSI

A. Frekuensi Kehadiran Apoteker

Menurut Surat Keputusan Menteri kesehatan Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa waktu kerja apoteker pengelola apotek (APA) adalah selama apotek memulai aktivitas pelayanan sesuai dengan jam kerja setiap harinya (8 jam per hari) (Anonim, 2002). Hasil penelitian tentang frekuensi kehadiran apoteker dapat dilihat pada Tabel 2.

Frekuensi kehadiran apoteker yang

tinggi akan memberikan pelayanan

kefarmasian yang lebih tinggi di apotek, tetapi pada kenyataan sehari-hari tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan karena apoteker berhadir di apotek

tidak selalu memberikan pelayanan

kefarmasian (Darmasaputra, 2014).

Rendahnya frekuensi kehadiran apoteker disebabkan hampir sebagian besar apoteker memiliki pekerjaan lain selain menjadi Apoteker Pengelola Apotek (Kwando, 2014). Kebanyakan apoteker pengelola apotek (APA) hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja di apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan,

sehingga jam bekerja apoteker tidak selama apotek buka (Ginting, 2009)

B. Jumlah Apoteker Pendamping

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan apoteker pendamping merupakan apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker

Pengelola Apotek (APA) dan atau

menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Hasil penelitian tentang jumlah apoteker pendamping dapat dilihat pada Tabel 3.

Hadirnya apoteker pendamping

membuat pelayanan kefarmasian di apotek berjalan sesuai dengan standar yang

ditetapkan dan meningkatkan mutu

pelayanan kefarmasian apotek. Sebagian besar apotek tidak menunjuk apoteker pendamping karena pemilik sarana apotek (PSA) mempertimbangkan hasil pendapatan dari apotek, jika keuangan apotek belum stabil maka dengan penambahan apoteker pendamping akan membebani pendapatan apotek, usaha perapotekan bukan hanya mempunyai fungsi pelayanan kepada masyarakat, melainkan juga mempunyai fungsi bisnis untuk kelangsungan apotek (Yuliastuti, 2012).

C. Jumlah Asisten Apoteker

Asisten apoteker merupakan tenaga kefarmasian yang bekerja membantu apoteker dalam melakukan kerja profesi farmasi, sehingga jumlah asisten apoteker setiap apotek diatur oleh kebijakan

(4)

masing-248

masing daerah (Anonim, 2002). Kebijakan daerah kota Banjarbaru menetapkan jumlah asisten apoteker untuk mendirikan apotek minimal 2 orang. (BPPTPM&PM, 2013). Hasil penelitian tentang asisten apoteker dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan apotek di wilayah Banjarbaru sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan.

D. Sarana dan Prasarana

Pelayanan kefarmasian meliputi sarana dan prasarana, setiap apotek perlu menyediakan ruang konseling sekurang-kurangnya satu set meja dan kursi konseling

untuk memudahkan apoteker untuk

memberikan informasi kepada pasien. (Anonim, 2014). Hasil penelitian tentang sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 5.

Pelayanan Informasi Obat (PIO)

dilakukan pemberian informasi mengenai obat, baik obat resep, obat bebas seperti

swamedikasi dan herbal. Konseling

diperlukan terutama untuk pasien dengan kondisi khusus seperti pediatrik, geriatrik, ibu hamil dan menyusui; pasien dengan terapi jangka panjang seperti DM, TBC, epilepsi; pasien dengan obat yang perlu instruksi khusus seperti kortikosteroid; pasien dengan indeks terapi sempit seperti digoksin, teofilin, fenitoin; pasien dengan polifarmasi yaitu pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama; serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah (Anonim, 2014). Hal ini yang menjadi dasar ditetapkannya kebijakan bahwa apotek harus memiliki ruang racik dan ruang konseling.

Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa hanya sebagian apotek menyediakan ruang konseling dan PIO. Hal ini juga terjadi di daerah

lain. Penelitian di kota Banjarmasin

menunjukkan dari 30 apotek yang diteliti hanya 10% apotek yang memiliki ruang konseling dan PIO (Mardiati, 2011). Penelitian di Apotek Kartens Manado menunjukkan belum memiliki ruang khusus untuk konseling dan PIO (Pojoh et.al., 2013). Penelitian di kota Medan menunjukkan hanya 29,41% yang memiliki ruang konseling dan PIO (Ginting, 2009).

E. Penilaian Pelayanan Kefarmasian

Pemerintah pada tahun 2008 telah menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian, dimana dalam petunjuk teknis tersebut telah dijelaskan penilaian kinerja apotek kedalam 3 (tiga) kategori yaitu kategori baik, cukup baik, dan kurang baik. Peneliti masih mengacu pada petunjuk teknis tersebut dalam melakukan penilaian dengan menyesuaikan isi pada

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia nomor 35 tahun 2014. Hasil penelitian tentang penilaian pelayanan kefarmasian dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa

sebagian besar pelaksanaan pelayanan

kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru masih

pada kategori cukup. Penelitian yang

dilaksanakan di kota Tegal juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dari 7 apotek yang diteliti, ada 3 apotek masuk dalam kategori baik dan 4 apotek dalam kategori sedang (Bertawati, 2013).

Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori baik dilihat dari penilaian kegiatan pelayanan farmasi klinik, kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, kegiatan administrasi, kegiatan

(5)

249

sarana dan prasarana, dan kegiatan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang telah dilaksanakan dengan baik. Apoteker pengelola apotek (APA) yang selalu berhadir di apotek, memiliki apoteker pendamping dan 2 orang asisten apoteker.

Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori cukup mayoritas masih kurang maksimal pada aspek administrasi, sarana dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori kurang mayoritas tidak melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik seperti monitoring efek samping obat,

pemantauan terapi obat, home care dan

konseling. Kegiatan administrasi, evaluasi mutu pelayanan kefarmasian, dan sarana dan prasarana juga belum dilakukan dengan maksimal, sehingga penilaian keseluruhan menyebabkan apotek termasuk dalam kategori kurang.

Faktor yang menyebabkan sebagian besar apotek di wilayah Banjarbaru berada pada kategori cukup terletak pada aspek administrasi,

seperti belum melaksanakan kegiatan

dokumentasi hasil monitoring penggunaan obat dan mendokumentasikan kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling. Faktor lain yaitu tidak tersedianya ruang pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling, tidak

tersedianya prosedur tetap dan tidak adanya mekanisme evaluasi seperti kotak saran. Prosedur Tetap (Protap) merupakan proses-proses yang dilakukan di apotek secara spontan sedangkan evaluasi merupakan proses yang dilakukan secara berkala terhadap semua komponen kegiatan yang dilakukan, sehingga menjadi dasar perbaikan terhadap pelayanan kefarmasian selanjutnya. Penelitian di apotek Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar apotek tidak memiliki protap dan sebagian lagi memiliki protap yang hanya tersimpan di

komputer (Atmini et.al., 2011). Evaluasi

menggunakan kotak saran juga tidak banyak dilakukan karena masyarakat sendiri tidak mengisi kotak saran tersebut (Ihsan et.al, 2014)

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu apoteker tidak setiap saat hadir saat apotek buka (Ginting, 2009) dan keterbatasan kemampuan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam farmasi klinik maupun manajerial apotek (Supardi et.al, 2011). Jika seorang apoteker sedang tidak ada di apotek, maka pelayanan pun tidak akan berjalan. Tidak adanya apoteker pendamping menyebabkan tugas tersebut seringkali dilimpahkan pada asisten apoteker. Hal ini yang menyebabkan pelayanan kefarmasian belum berjalan sesuai standarnya (Sukrasno, 2008).

Tabel 2. Frekuensi Kehadiran Apoteker

Frekuensi Kehadiran Jumlah

(N=21) Persentase (%)

a. Selama apotek buka

b. Setiap hari (kecuali hari libur) pada jam tertentu

c. 2-3 kali seminggu d. 1x seminggu e. 1x sebulan 3 3 3 6 6 14.29 14.29 14.29 28.57 28.57

(6)

250

Tabel 3. Jumlah Apoteker Pendamping

Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah

(N=21) Persentase (%) a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 4 0 0 17 19.05 0 0 80.95

Tabel 4. Jumlah Asisten Apoteker

Jumlah Asisten Apoteker Jumlah

(N=21) Persentase (%) a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 0 14 7 0 0 66,67 33,33 0

Tabel 5. Sarana dan Prasarana

Sarana dan Prasarana Jumlah

(N=21) Persentase (%)

a. Terdapat ruang peracikan,

penyimpanan dan penyerahan obat

- Ya

- Tidak

b. Terdapat ruang konseling atau ruang

PIO - Ya - Tidak 21 0 8 13 100 0 38,1 61,9

Tabel 6. Penilaian Pelayanan Kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru

Penilaian Pelayanan Kefarmasian Jumlah

(N=21) Persentase (%) a. Kategori Baik b. Kategori Cukup c. Kategori Kurang 7 10 4 33.33 47,62 19,05 KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu frekuensi kehadiran apoteker pada saat apotek buka sebesar 14,29%; Apoteker yang memiliki apoteker pendamping sebesar 19,05%; Apoteker yang memiliki 2 atau lebih asisten

apoteker sebesar 100%; Apoteker yang memiliki ruang untuk melaksanakan konseling dan PIO sebesar 38,1%; dan hasil penilaian pelaksanaan pelayanan kefarmasian menunjukkan 47,62% masuk pada kategori cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1332 tahun 2002 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Anonim. (20061). Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia nomor 189 tahun 2006 tentang kebijakan obat nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Anonim. (20062). Surat keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004) tentang petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Anonim. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan

(7)

251

kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Anonim. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 889 tahun 2011 tentang registrasi, izin praktek, dan izin tenaga kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Aurelia, E. (2013). Harapan dan kepercayaan konsumen apotek terhadap peran apoteker yang berada di wilayah Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 1-20. Bertawati. (2013). Profil pelayanan kefarmasian dan

kepuasan konsumen apotek di kecamatan Adiwerna kota Tegal. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 2-4

Darmasaputra, E. (2014). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di Apotek di Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 3, 1-5.

Ferguson, E., & Cox, T. (1993). Exploratory factor analysis: A user’s guide. International Journal of Selection and Assessment. 1, 84–94.

Ginting, A.BR. (2009). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan

Ihsan, S., Rezkya, P., & Akib, N.I. (2014). Evaluasi mutu pelayanan di apotek komunitas kota Kendari

berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1, 30-35. Kwando, R.R. (2014). Pemetaan peran apoteker dalam

pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di apotek di Surabaya Timur. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.3, 1-12.

Mardiati, N. (2011). Gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian apotek di kota Banjarmasin periode Maret-April 2011. Skripsi. Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru

Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Pojoh, J.A., Ulaen, S.P.J., & Sael, Y. (2013). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek kartens Manado. Skripsi. Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes, Manado.

Sudibyo, S.R., Handayani, Raharni, M., Herman, & Susyanti, A.L. (2011). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Review : 140-141 Sukrasno. (2008). Pengembangan pendidikan profesi

apoteker untuk mendukung eksistensi apoteker di apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. V, 130-137. Supardi, S., Handayani, R.S., Raharni, Herman, M.I., &

Susyanty A.L. (2011). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Buletin Penelitian Kesehatan.39,138-144.

Wasis. (2008). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Gambar

Tabel 2.   Frekuensi Kehadiran Apoteker
Tabel 5.   Sarana dan Prasarana

Referensi

Dokumen terkait

Dari rata-rata skor pelayanan kefarmasian kuesioner apoteker dan kepuasan konsumen apotek menunjukkan tidak ada hubungan antara pelayanan kefarmasian yang dilakukan apoteker

Dari rata-rata skor pelayanan kefarmasian kuesioner apoteker dan kepuasan konsumen apotek menunjukkan tidak ada hubungan antara pelayanan kefarmasian yang dilakukan apoteker

Hubungan tingkat kepuasan konsumen dengan standar pelayanan kefarmasian apotek dapat dilakukan dengan cara mengukur tingkat kepuasan konsumen dan mengukur standar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian menurut Permenkes Nomor 35 Tahun 2014 di apotek mandiri wilayah Surabaya Timur sudah dilaksanakan

4.10 Grafik Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Bagian Pelayanan Manajerial Yaitu Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 di apotek mandiri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek-apotek

Perlu peningkatan penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek oleh apoteker pengelola apotek terutama pelayanan farmasi klinik bidang pengkajian resep,