POLA ASUH DI PONDOK PESANTREN
DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI
KEWIRAUSAHAAN SANTRI
(Studi Pada Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit,
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
AFIF HUSEIN
NIM 11114077
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
v
MOTTO
“PEKERJAANKU MERUPAKAN AMALAN DARI ILMUKU”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tua (Rifa’i dan Fadhilah) yang senantiasa memberikan semua
dukungan materi maupun non materi, dan senantiasa memberikan doa yang
terbaik untuk anak-anaknya.
Saudaraku (Andhika Preatama) yang selalu mengingatkanku akan sebuah
tanggungjawab dalam mendidik adik-adiknya.
Abah dan Ummah (K. Roikhudin Mahbub dan ) yang selalu membimbing
dan mengarahkan di perantauan.
Keluarga besar Pondok Pesantren Ittihadul Asna yang telah banyak
memberikan ilmu dan pengalamanya terutama dibidang agama.
Keluarga besar Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi dan Brigsus
Nagasandhi IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengalamanya dalam berorganisasi.
Orang tersayang (Esti Makrufah) yang setia menemani dan motivasi dalam
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam meneliti dan menyusun
skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Sholawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya kelak di Yaumul
Akhir.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak bantuan yang
diterima dari berbagai pihak, baik berupa material maupun spiritual. Dengan
berakhirnya penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
IAIN Salatiga.
4. Bapak Imam Mas Arum, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang
senantiasa membimbing dan mengarahkan dari awal hingga akhir sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Dr. Sa’adi, M.Ag selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang senantiasa membimbing dan mengarahkan dalam proses nimbingan akademik
viii
6. Seluruh Dosen dan Staf IAIN Salatiga yang telah membantu proses
penyusunan skripsi.
7. Bapak, ibu, keluarga dan teman-teman yang telah berkontribusi selama masa
studi.
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Ittihadul Asna yang telah memberikan
banyak ilmu dan pengalaman serta tempat untuk menempa diri dalam bidang
agama.
9. Keluarga besar Racana Kusuma Dilaga – Woro Srikandhi dan Brigsus Nagasandhi IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak ilmu dan
pengalaman serta tempat untuk menempa diri dalam berorganisasi.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Harapan penulis, semoga amal baik yang telah diberikan mendapatkan
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 5 Maret 2018
ix ABSTRAK
Husein Afif. 2018. Pola Asuh di Pondok Pesantren Dalam Mengembangkan Potensi Kewirausahaan Santri (Studi Pada Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga). Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Insitut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Imam Mas Arum, M.Pd.
Kata Kunci: Pola Asuh Kewirausahaan Santri
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pola asuh di Pondok Pesantren Ittihadul Asna dalam mengembangkan potensi kewirausahaan santri. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana pola asuh pondok pesantren dalam mengembangkan potensi kewirausahan santri di Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?, (2) apa faktor pendukung dan penghambat dari pola asuh pondok pesantren dalam mengembangkan potensi kewirausahan santri di Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?.
Jenis penelitian ini adalah termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber primer yaitu hasil wawancara kepada santri yang berwirausaha, dan sumber sekunder yang dapat berupa foto-foto peralatan/fasilitas santrri dalam berwirausaha, dan struktur pengurus. Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengadakan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
x DAFTAR ISI
HALAM JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO ... v
E.Ruang Lingkup Penelitian ... 5
F.Penegasan Istilah ... 6
G.Metode Penelitian ... 8
H.Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Pola Asuh ... 16
1.Pengertian Pola Asuh ... 16
2.Macam-macam Pola Asuh ... 17
3.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua ... 20
4.Pola Asuh Orang Tua Menurut Perspektif Islam ... 22
5.Pondok Pesantren ... 27
6.Pengertian Pondok Pesantren ... 27
7.Unsur-unsur Pondok Pesantren ... 29
8.Sistem Pendidikan Pondok Pesantren ... 36
xi
10.Pengertian Kewirausahaan ... 38
11.Karakteristik Kewirausahaan ... 40
12.Sifat-sifat Wirausaha Muslim ... 41
BAB III PROFIL TEMPAT PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN A.Profil Tempat Penelitian 1.Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ittihadul Asna ... 45
2.Visi dan Misi Pondok Pesantren Ittihadul Asna ... 47
3.Kegiatan dalam Pondok Pesantren Ittihadul Asna ... 47
4.Struktur Organisasi Pondok Pesantren Ittihadul Asna ... 48
B.Metode Penelitian ... 49
1.Pendekatan dan jenis penelitian ... 49
2.Teknik Pengumpulan Data ... 50
3.Teknik Analisi Data ... 52
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan dalam
mengembangkan potensi peserta didik guna memiliki kepribadian, akhlak
yang baik, kecerdasan, serta keterampilan yang ada pada peserta didik
yang diperlukan dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam
dimana di dalamnya terjadi interaksi atau komunikasi antara kiai dan
ustadz sebagai guru, dan santri sebagai murid yang bertempat di masjid,
halaman pondok, atau di rumah-rumah untuk mengaji dan membahas
buku-buku agama karya ulama masa lalu.
Pada umumnya pondok pesantren didirikan oleh para ulama secara
mandiri, sebagai tanggungjawab ketaatan terhadap Allah Swt. Untuk
mengajarkan, mengamalkan dan mendakwahkan ajaran-ajaran agamanya.
Kurikulum dalam pesantren beragam, tetapi terdapat kesamaan fungsi
pendidikan dalam pesantren, yaitu pondok pesantren sebagai pusat
pendidikan dan pendalaman ilmu-ilmu agama khususnya dan ilmu
pengetahuan yang lain pada umumnya.
Mengingat pendirian dan pengolahan pendidikan pesantren
dilakukan secara mandiri dan penuh keikhlasan para ulama, masyarakat
dan pendukungnya, maka di kalangan santripun tumbuh pula jiwa
2
perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pondok pesantren juga terus berbenah diri dan meningkatkan kualitas
pendidikannya, baik dalam materi/kurikulumnya, maupun metode
pembelajarannya.
Pola asuh merupakan cara, model dalam mendidik, mendampingi,
membimbing anak dengan tujuan mengubah perilaku, pengetahuan,
keterampilan, serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat dan benar agar
anak tersebut mandiri, tumbuh, dan berkembang secara sehat dan optimal.
Wirausaha merupakan sebuah usaha yang dilakukan seseorang
dengan memanfaatkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki seseorang
guna menciptakan, mengkolaborasikan serta mengembangkan
keterampilan yang dimiliki guna menghasilakan sebuah produk guna
mendapatkan penghasilan yang diinginkan.
Pondok Pesantren Ittihadul Asna merupakan suatu lembaga
pendidikan agama yang berbasis salafi modern. Artinya santri yang belajar
di dalam pondok tidak hanya belajar kitab kuning saja yang identik dengan
pondok salafi, tetapi para santri juga mengenyam pendidikan di sekolah.
Didalam pondok ini juga terdapat banyak santri yang hanya mengikuti
kegiatan mengaji saja, tidak mengenyam pendidikan sekolah seperti
kebanyakan santri yang lain. Santri yang tidak sekolah, aktivitas
keseharian setiap pagi sampai sore hari tidur ataupun melakukan hal yang
kurang berguna dalam masa depanya, mereka hanya mengikuti pendidikan
3
Dalam hal ini pengasuh pondok pesantren berusaha menerapkan
pola asuh kepada santrinya agar memanfaatkan segala waktu yang tersedia
dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Salah satunya yaitu dengan
mengajari para santriuntuk berwirausaha dalam mempersiapkan diri
menghadapi masa depan ketika kembali kemasyarakat dan dalam
menghidupi keluarga.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui
secara mendalam tentang “POLA ASUH DI PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI KEWIRAUSAHAAN SANTRI (Studi Pada Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kec. Tingkir Kota Salatiga)”
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat
dikemukakan suatu fokus penelitian dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pola asuh pengasuh pondok pesantren dalam
mengembangkan potensi kewirausahaan santri di Pondok Pesantren
Ittihadul Asna Klumpit, Kec. Tingkir Kota Salatiga?
2. Apa faktor yang mendukung dan menghambat dari pola
asuhAuthoratitative pengasuh pondok pesantren dalam
mengembangkan potensi kewirausahaan santri di Pondok Pesantren
4 C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian pasti memiliki arah dan tujuan yang ditargetkan.
Tanpa tujuan, maka penelitian yang dilakukan tidak memberikan manfaat
dan penyelesaian dari penelitian yang dilakukan. Adapun tujuan utama
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola asuh pengasuh pondok pesantren dalam
mengembangkan potensi kewirausahaan santri di Pondok Pesantren
Ittihadul Asna Klumpit, Kec. Tingkir Kota Salatiga.
2. Untuk mengetahui faktor yang mendukung dan menghambat dari pola
asuh Authoratitativepengasuh pondok pesantren dalam
mengembangkan potensi berwirausaha santri di pondok pesantren
Ittihadul Asna Klumpit, Kec. Tingkir Kota Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tidaklah berarti jika tidak memiliki manfaat yang
dapat diperoleh, oleh karena itu penelitian dikatakan berharga apabila
memiliki manfaat yang dapat diperoleh baik secara teoritis maupun
praktis. Adapun manfaat penelitian ini secara terperinci adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan ilmu sebagai
sarana memperluas khazanah pengetahuan tentang pendidikan
berwirausaha pada umumnya dan pola asuh pengasuh pondok
5 2. Manfaat Praktis
a. Bagi pondok pesantren khususnya santri, untuk dapat memberikan
gambaran, pemahaman dan masukan bagi pengasuh pondok
pesantren agar dalam mendidik/mengasuh santri tidak hanya
dalam hal agama, tetapi juga dalam berwirausaha agar para santri
punya ketrampilan/usaha ketika besok sudah kembali
kemasyarakat asalnya.
b. Bagi peneliti, untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang pola asuh pengasuh pondok pesantren terhadap santri dan
bekal peneliti dalam dunia kewirausahaan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mempermudah penulisan laporan skripsi ini serta lebih
terarah dan berjalan dengan baik, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan
masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam
laporan penulisan skripsi ini adalah :
1. Peneliti hanya meneliti santri Pondok Pesantren Ittihadul Asna
Klumpit, Kec. Tingkir Kota Salatiga.
2. Peneliti hanya mengakses aktivitas santri yang berkaitan dengan
berwirausaha santri Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kec.
Tingkir Kota Salatiga.
3. Aktivitas yang diteliti adalah bagaimana usaha santri dalam
mengembangkan potensi berwirausaha yang telah diarahkan pengasuh
6 F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah persepsi dalam penggunaan kata pada
judul penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa istilah pokok antara
lain adalah:
1. Pola Asuh
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja,
bentuk (struktur) yang tetap (Depdikbud, 1988:54). Sedangkan kata
asuh dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil,
membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan memimpin
(mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga
(Depdikbud, 1988:692). Jadi pola asuh merupakan suatu keseluruhan
model mendidik anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan,
nilai-nilai yang dianggap paling tepat agar anak dapat mandiri,
tumbuh, dan berkrembang secara sehat dan optimal.
2. Pondok Pesantren
Secara etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok
dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti
hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih disamakan dengan
lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar
sebagai asrama bagi para santri. Lembaga Research Islam (Pondok
Pesantren Luhur)mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang
7
islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya (Mujamil,
2005:2). Jadi, pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan
islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan
sistem asrama, dimana santri-santri menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada
dibawah seorang kiai atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas
yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Arifin,
1991:240)
3. Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah suatu kemampuan menciptakan kegiatan
usaha. Kemampuan menciptakan dan memerlukan adanya kreativitas
dan inovasi dari yang sudah ada sebelumnya. Kemampuan
berwirausaha yang kreatif dan inovatif dapat dijadikan dasar, kiat, dan
sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses (Suryana, 2006:2)
4. Santri
Istilah “santri” mempunyai dua konotasi atau pengertian, pertama:
dikonotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan
melaksanakan perintah agama Islam," atau dalam terminologi lain
sering disebut “muslim ortodoks”. Istilah “santri” dibedakan secara
kontras dengan kelompok abangan, yakni orang-orang yang lebih
dipengaruhi oleh nilai budaya jawa pra Islam, khususnya
nilai-nilai yang berasal dari mistisisme hindu dan budha (Raharjo, 1986:37).
8
dilembaga pendidikan pesantren. Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas
pula kesamaannya, yakni sama-sama taat dalam menjalankan syariat
Islam (Bawani, 1993:93).
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah
pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif ini
dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi dilapangan,
mencatat secara hati-hati, melakukan analisis reflektif terhadap
berbagai dokumen yang ditemukan dilapangan, dan membuat laporan
penelitian secara mendetail (Sugiyono, 2011:14). Oleh karena itu
peneliti akan terjun langsung kelapangan dengan mencatat serta
menganalisis data yang ditemukan secara mendetail dan dijadikan
sebuah laporan yang ditemukan di Pondok Pesantren Ittihadul Asna
guna memperoleh data yang valid tentang pola asuh kiai dalam
mengembangkan potensi kewirausahaan santri.
Bogdan taylor mendefinisikan “Metodologi Kualitatif” sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moloeng, 2011:3). Maka dari itu peneliti tidak hanya terjun
kelapangan melihat apa yang terjadi di lapangan, tetapi juga
melakukan wawancara dan mengamati hal-hal yang diteliti dalam
9
mengembangkan potensi kewirausahaan santri Pondok Pesantren
Ittihadul Asna.
2. Lokasi Penelitian
Peneliti memilih lokasi penelitian di Pondok Pesantren Ittihadul
Asna Klumpit, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Alasan peneliti
memilih lokasi tersebut karena pondok Ittihadul Asna memiliki
karakteristik berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya di
Salatiga yaitu banyak santri yang diberi kebebasan untuk
mengembangkan potensinya dalam berwirausaha baik di dalam
pondok maupun di luar pondok. Selain itu pola asuh kiai yang sangat
karismatik dan menyatu dengan santri tidak seperti pondok pesantren
yang lain antara kiai dan santri ada jarak pisah yang jauh. Maka dari
itu, peneliti akan melakukan penelitian tentang pola asuh di pondok
pesantrendalam mengembangkan potensi para santrinya dalam
berwirausaha.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti bertindak sebagai
instrumen sekaligus pengumpul data. Kehadiran peneliti mutlak
diperlukan, karena disamping itu kehadiran peneliti juga sebagai
pengumpul data. Sebagaimana salah satu ciri penelitian kualitatif
dalam pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti (Moleong,
2002:117). Sedangkan kehadiran peneliti dalam penelitian ini sebagai
10
data peneliti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secermat
mungkin sampai yang sekecil-kecilnya dari data yang didapat tentang
pola asuh di pondok pesantren terhadap potensi kewirausahaan santri
di Pondok Pesantren Ittihadul Asna.
4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat data diperoleh dengan menggunakan
metode tertentu baik berupa manusia, artefak, ataupun
dokumen-dokumen (Sutopo 2006:56-57). Sumber data dikelompokan menjadi 2
kelompok yaitu:
a. Data Primer
Sumber data primer adalah data dalam bentuk verbal atau
kata-kata yang diperlukan secara lisan, gerak-gerik ataupun perilaku
yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya (Arikunto,
2010:22). Sumber data primer yang peneliti dapatkan berasal dari
informasi-informasi santri yang ada di Pondok Pesantren Ittihadul
Asna.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat, SMS, dan
lain-lain), foto, film, rekaman video, dan benda-benda yang dapat
memperkaya data primer (Arikunto, 2012:22). Peneliti
menggunakan data sekunder ini untuk melengkapi dan
11
wawancara. Adapun sumber data yang digunakan adalah data dari
foto peralatan/fasilitas agar santri dapat mengembangkan potensi
wirausaha yang dimiliki para santri.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan adalah langkah-langkah yang digunakan
sebagai alat untuk mengumpulkan data dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah penelitian. Pengumpulan data dapat
diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi, dan
gabungan/triangulasi (Sugiyono, 2011:225). Pada penelitian ini
peneliti menggunakan prosedur pengumpulan data dengan cara
observasi, dokumentasi, dan wawancara.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan dengan
sengaja dan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain
yang diselidiki (Kusuma, 1987:25). Metode ini digunakan untuk
memperoleh data tentang situasi dan kondisi santri di Pondok
Pesantren Ittihadul Asna serta hal-hal yang ada hubunganya
dengan data yang penulis butuhkan, karena itu penulis
kemukakan bahwa pelaksanaan dari metode ini juga didukung
oleh metode lain.
b.Metode Wawancara
Wawancara adalah suatu alat pengumpulan data atau
12
dijawab secara lisan pula (margono, 2000:165). Adapun metode
ini peneliti gunakan untuk mencari data tentang pola asuh di
pondok pesantren dalam mengembangkan potensi berwirausaha
santri.
c. Metode Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental (Sugiyono, 2011:240). Metode ini peneliti gunakan
untuk memperkuat bukti-bukti dari hasil observasi dan
wawancara yang peneliti lakukan berupa gambar, karya, ataupun
tulisan.
6. Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain (Moleong, 2011:248). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa langkah awal dari analisis data adalah mengumpulkan data
yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian mempresentasikan
13 7. Pengecekan Keabsahan Data
Ada empat kriteria dalam menetapkan keabsahan data yaitu:
kepercayaan(creadibility), keteralihan (transferability), ketergantungan
(dependability), kepastian (confirmability) (moleong, 2011:324).
Peneliti akan menggunakan kriteria kepercayaan (creadbility).
Kriteria kepercayaan berfungsi untuk melakukan penelaahan data
secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai.
Peneliti melakukan pengamatan secara teliti dan detail mengenai
pondok pesantren dengan melakukan observasi sampai data yang
diperlukan cukup.
8. Tahap-tahap Penelitian
Pelaksanaan penelitian yang akan penulis lakukan ada empat tahap
yaitu :
a. Tahap Sebelum Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini meliputi kegiatan :
1) Mengajukan judul penelitian
2) Menyusun proposal penelitian
3) Konsultasi kepada pembimbing
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini meliputi kegiatan:
1) Melaksanakan penelitian ditempat yang telah ditentukan
14
3) Pencatatan data yang terkumpul
4) Mengembangkan data yang terkumpul
c. Tahap Analisis Data
Tahap ini meliputi kegiatan:
1) Mencoding data
2) Menganalisis data
3) Penemuan hal-hal penting dalam penelitian
4) Pengecekan keabsahan data
d. Tahap Penulisan Laporan
Tahap ini meliputi kegiatan:
1) Melaporkan hasil kegiatan
2) Konsultasi kepada pembimbing
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti akan membagi dalam
beberapa bab agar pembahasan dalam skripsi ini dapat tersusun dengan
baik dan dapat memenuhi standar penulisan sebagai karya ilmiah.
Sistematika penulisan dalam penyusunan penelitian ini terdiri dari lima
BAB, yaitu:
BAB I Pendahuluan:Menjelaskan secara umum tentang arah penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pola asuh di pondok
pesantren dalam mengembangkan potensi kewirausahan santri, sehingga
15
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Pustaka:Berisi tentang hakekat dan arti pola asuh, macam-macam tipe pola asuh, arti pondok pesantren, arti santri dan arti
kewirausahaan.
BAB III Profil Tempat Penelitian dan Metode Penelitian:Menjelaskan tentang data dan temuan yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur yang diuraikan dalam Bab I. Uraian
ini terdiri dari data yang berhubungan pola asuh pondok pesantren dalam
mengembangkan potensi kewirausahaan santri sesuai dengan
pertanyaan-pertanyaan peneliti dan hasil analisis data. Data tersebut diperoleh dari
pengamatan, hasil wawancara serta deskripsi informasi lainnya.
BAB IV Analisis dan Temuan Data : Berisi tentang pembahasan yang terdiri atas hasil penelitian, yaitu analisis data dan temuan data dari
Pola Asuh di Pondok Pesantren Dalam Mengembangkan Potensi
Kewirausahaan Santri Pada Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit,
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
16
nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orang tua
kepada anak sepanjang situasi yang berkembang.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji.
Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dan utama dalam
kehidupan anak, dan harus menjadi suri tauladan yang baik bagi
anak-anaknya. Menurut Baumrind pola asuh pada prinsipnya merupakan
parental control, yakni bagaimana orang tua mengontrol, membimbing,
dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembanganya menuju proses pendewasaan.
Di dalam pondok pesantren seorang kiai berkedudukan sebagai
orang tua menggantikan peran orang tua kandung yang telah
mempercayakan kepada kiai pondok untuk mendidik anaknya dalam
segala hal selayaknya orang tua kandung.
Dalam mendidik anaknya, orang tua memiliki berbagai macam
bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan. Tapi sebelum
membahas tentang macam-macam pola asuh orang tua. Terlebih
17
Menurut Khon pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi
dengan anak yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman,
pemberian perhatian, serta tanggapan orang tua terhadap setiap
perilaku anak. Menurut Theresia Indira Shanti pola asuh merupakan
pola interaksi antara anak dan orang tua. Lebih jelasnya, yaitu
bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak.
Termasuk caranya menerapkan aturan, mengerjakan nilai, memberikan
perhatian dan kasih sayang, serta menunjukan sikap dan perilaku yang
baik, sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya (Mualifah,
2009:42-43)
Dari pengertian tersebut, pola asuh adalah semua interaksi antara
orang tua dengan anak dimana orang tua mengajarkan sesuatu yang
Bentuk pola asuh Baumrind ada tiga macam yaitu:
a. Pola asuh Authoritarian
Menurut Baumrind, bentuk pola asuh Authoritarian (otoriter)
18
1) Memperlakukan anaknya dengan tegas.
2) Suka menghukum anak yang dianggap tidak sesuai dengan
keinginan orang tua.
3) Kurang memiliki kasih sayang.
4) Kurang simpatik.
5) Mudah menyalahkan segala aktifitas anak terutama ketika anak
ingin berlaku kreatif.
Pola perilaku authoritarian, orang tua mempunyai ciri-ciri yaitu
suka memaksakan anak-anaknya untuk patuh terhadap
aturan-aturan yang sudah ditetapkan orang tua, berusaha membentuk
tingkah laku, sikap, serta cenderung mengekang keinginan anak,
tidak mendorong anak untuk mandiri, jarang memberikan pujian
ketika anak sudah mendapatkan prestasi atau melakukan sesuatu
yang baik, hak anak sangat dibatasi tetapi dituntut untuk
mempunyai tanggung jawab sebagaimana halnya orang dewasa,
dan yang sering terjadi adalah anak harus tunduk dan harus patuh
terhadap orang tua yang memaksakan kehendaknya, pengontrolan
tingkah laku anak sangat ketat, sering menghukum anak dengan
hukuman fisik, serta terlalu banyak mengatur kehidupan anak,
sehingga anak tidak dibiarkan untuk mengembangkan segala
19 b. Pola Asuh Authoritative
Sedangkan pola asuh authoritative mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Hak dan kewajiban antara anak dan orang tua diberikan secara
seimbang.
2) Saling melengkapi satu sama lain, orang tua yang menerima
dan melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang terkait
dengan pengambilan keputusan keluarga.
3) Memiliki tingkat pengendalian yang tinggi dan mengharuskan
anak-anaknya bertindak pada tingkat intelektual dan sosial
sesuai usia dan kemampuan mereka, tetapi orang tua tetap
memberi kehangatan, dan komunikasi dua arah.
4) Memberikan penjelasan dan alasan atas hukuman yang
diberikan orang tua kepada anak.
5) Selalu mendukung apa yang dilakukan oleh anak tanpa
membatasi segala potensi yang dimilikinya serta kreatifitasnya,
namun tetap membimbing dan mengarahkan anak.
Dalam bertindak, bersikap kepada anak selalu memberikan
alasan kepada anak, mendorong untuk saling membantu dan
bertindak secara objektif. Orang tua cenderung tegas, tetapi kreatif
dan percaya diri, mandiri, bahagia, serta memiliki tanggung jawab
batas-20
batas normatif. Anak dari orang tua seperti ini akan tumbuh
menjadi anak yang mandiri tegas terhadap diri sendiri, ramah
dengan teman sebaya, dan mau bekerja sama dengan orang tua.
Mereka juga kemungkinan berhasil secara intelektual dan sosial
(Mualifah, 2009:46-47).
c. Pola Asuh Permisif
Sedangkan pola asuh permisif mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Orang tua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin
2) Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab.
3) Anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa, dan diberi
kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur diri sendiri.
4) Orang tua tidak banyak mengatur dan mengontrol, sehingga
anak tidak diberi kesempatan untuk mengatur diri sendiri dan
kewenangan untuk mengontrol dirinya sendiri.
5) Orang tua kurang peduli pada anak (Mualifah, 2009:48-49).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Banyak pemikiran yang melahirkan sikap yang mengakui
otoritas orang tua hanya karena rasa takut dan anggapan bahwa orang
tua adalah bagian dari kehidupannya. Akibatnya, tidak ada
konformitas dan transaksional antara orang tua dan anak sebagai
panutan untuk mengembangkan nilai-nilai yang diharapkan. Menurut
21
penuh keterbukaan akan melahirkan kepadaman pengakuan anak
terhadap otoritasnya.
Karena adanya pemikiran yang demikian, maka orang tua
memberikan gagasan yang sulit untuk diterima oleh anak-anaknya dan
sulit untuk dihilangkan, bahwa orang tua harus menggunakan
kekuasaan dalam menghadapi anak-anaknya, penggunaan pola asuh
seperti ini merupakan penghalang bagi terciptanya keharmonisan
keluarga.
Menurut Mussen ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pola asuh orang tua :
1. Lingkungan Tempat Tinggal
Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan
mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini
bisa dilihat bila suatu keluarga tinggal di kota besar, maka orang
tua kemungkinan akan banyak mengontrol karena merasa khawatir,
hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal disuatu
pedesaan,
2. Sub Kultur Budaya
Budaya disuatu lingkunan tempat keluarga menetap akan
mempengaruhi pola asuh orang tua. Hal ini dapat dilihat banyak
orang tua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak
mereka untuk mempertanyakan tindakan orang tua dan mengambil
22
Meksiko, perilaku seperti ini dianggap tidak sopan dan tidak pada
tempatnya.
3. Status Sosial
Keluarga dari kelas sosial yang berbeda mempunyai
pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat
dan dapat diterima (Mussen, 1994:392).
4. Pola Asuh Orang Tua Menurut Perspektif Islam
Dalam syariat Islam sudah diajarkan bahwa mendidik anak dan
membimbing anak merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim
karena anak merupakan amanat yang harus dipertanggungjawabkan
oleh orang tua.
Pernyataan tersebut berangkat dari hadist Rasulluah Saw:
Artinya : “Qutaibah bin Said memberitahu kami, Abdul Aziz,
yakni Al-Darawardiy memberitahu kami, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw, pernah bersabda:
“setiap orang dilahirkan ibunya dalam keadaan suci (fitrah).
Selanjutnya kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Jika kedua orang tuanya muslim, maka ia akan menjadi muslim. Setiap orang saat dilahirkan ibunya, ia ditonjok oleh kepalan tangan setan pada kedua sisi lambungnya, kecuali Maryam dan puteranya (Isa as)” (Syamsi Hasan, : 422-423)
Hadits tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya
kesuksesan atau bahkan masa depan anak adalah tergantung
bagaimana orang tua mendidik dan membimbingnya. Hadits tersebut
juga bermakna bahwa setiap anak yang lahir sesungguhnya sudah
memiliki potensi, namun potensi itulah yang kemudian bisa
23
(keluarga dan sekitar) dengan baik. Hal ini juga dipertegas dalam
firman Allah Swt :QS. At-Tahrim (66) : 6
َٰٓ َي
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Kementerian Agama, 2010:560)
Maksud dari ayat tersebut adalah perintah memelihara keluarga,
termasuk anak, bagaimana orang tua bisa mengarahkan, mendidik dan
mengajarkan anak agar dapat terhindar dari siksa api neraka. Hal ini
juga memberikan arahan bagaimana orang tua harus mampu
menerapkan pendidikan yang bisa membuat anak mempunyai prinsip
untuk menjalankan hidupnya dengan positif, menjalankan ajaran Islam
dengan benar, sehingga mampu membentuk mereka menjadi anak
yang mempunyai akhlakul karimah, dan menunjukan kepada mereka
hal-hal yang bermanfaat.
Konsep pendidikan dalam Islam ini mengajarkan bahwa pola asuh
yang dilakukan oleh orang tua juga termasuk mencakup bagaimana
orang tua mampu membentuk akhlakul karimah terhadap
anak-anaknya, yang didalamnya mencakup tentang model pola asuh yang
bagaimana seharusnya dilakukan oleh para orang tua dan tentunya
disesuaikan dengan karakter anak. Beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pola asuh orang tua :
24
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf (Kementerian Agama, 2010:37)
QS. Al-Luqman (31) : 13
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"(Kementerian Agama, 2010:412)
beberapa ayat yang sudah diuraikan tersebut menunjukan bahwa
konsep pola asuh dalam Islam memang tidak menjelaskan gaya pola
asuh yang terbaik atau lebih baik, namun lebih menjelaskan tentang
hgal-hal yang selayaknya dan seharusnya dilakukan oleh orang tua
yang semuanya harus tergantung pada situasi dan kondisi anak, karena
semua hal yang dilakukan oleh orang tua pasti berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian anak, terutama ketika anak sedang
mengalami masa perkembangan modelling (mencontoh setiap perilaku
di sekitarnya). Adapun pengaruh orang tua bisa mencakup lima
dimensi potensi anak, yaitu fisik, emosi, kognitif, sosial, dan spiritual.
Kelima hal tersebut seharusnya dikembangkan orang tua untuk
membentuk anak-anak yang shalih dan sholihah (Mualifah, 2009:60).
Konsep pola asuh dalam islam lebih berorientasi pada praktik
pengasuhan, bukan pada gaya pola asuh dalam sebuah keluarga.
25
Pengasuhan yang lebih mengarah kepada pendidikan yang
berpengaruh terhadap anak. Adapun metode-metode tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Pola Asuh yang Bersifat Nasehat
Didalamnya mengandung beberapa hal. Pertama, seruan
atau ajakan yamg menyenangkan disertai dengan penolakan yang
lemah lembut jika memang ada perilaku anak yang dianggap tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kedua, metode cerita
yang disertai perumpamaan yang mengandung pelajaran dan
nasihat. Ketiga, gabungan antara metode wasiat dan nasehat
(Mualifah, 2009:63)
1) Seruan yang menyenangkan dan diiringi dengan kelembutan
atau upaya penolakan. Metode ini mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap jiwa dan perasaan. Seruan yang
menyenangkan disertai kelembutan akan lebih mudah diterima
oleh masyarakat. Misalnya, bentuk seruan kepada wanita
QS. Al-Imron (3) : 42-43
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai
Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku´lah bersama orang-orang
26
Dari ayat tersebut, kita bisa ambil benang merahnya,
sesungguhnya Allah memerintahkan Maryam untuk taat,
namun metode yang digunakan tidak langsung menunjukan
perintah, tetapi dengan memuji dan menyanjung kelebihan
Maryam terlebih dahulu. Sehingga, inilah yang disebut
menyampaikan dan memerintahkan sesuatu dengan cara yang
menyenangkan dan penuh kelembutan. Demikian juga dalam
menyampaikan atau memerintah kepada anak dengan metode
yang serupa di dalam Al-Qur’an, yakni memuji kelebihan anak tersebut. setelah itu, kita menyampaikan konsep pendidikan
yang kita inginkan sehingga anak tidak merasa sebagai objek
yang diperintah, tetapi merasa dihargai dengan kelebihan yang
dimilikinya.
2) Metode cerita disertai perumpamaan yang mengandung
pelajaran nasihat. Metode ini mempunyai pengaruh terhadap
jiwa dan akal, melalui argumentasi-argumentasi dan cara yang
lebih rasional. Didalam Al-Qur’an, metode ini dipergunakan dibeberapa tempat, lebih-lebih dalam berita tentang rasul dan
kaumnya. Sebagai pelajaran yang bisa diambil dari sana
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
27
Dari beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua menurut perspektif islam
adalah, mempersiapkan anak yang sholeh dan sholehah dan
berpegang teguh pada ajaran Islam, dalam mendidik anak sesuai
dengan Al-Qur’an dan Hadist. B. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Istilah pondok pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan
satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat
belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata
pondok berasal dari bahasa arab Funduq yang berarti asrama atau
hotel. Dijawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan
istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah
dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau
disebut Surau (Zamakhsyari, 1994:18).
Pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para
pelajar yang jauh dari asalnya. Merupakan tempat tinggal kiai bersama
santrinya bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal
atau asrama santri untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh kiai,
melainkan juga sebagai tempat latihan bagi santri untuk hidup mandiri
28
Adapun secara terminologi definisi pondok pesantren banyak
sekali ragamnya sesuai dengan versi para ahli yang
mengemukakannya, akan tetapi berbagai ragam definisi tersebut
memiliki dasar yang kuat dan rasional serta dapat
dipertanggungjawabkan secara logika, dan masing-masing dari
definisi tersebut saling melengkapi kekurangannya. Oleh karena itu,
layak untuk dicermati pengertian dan makna pondok pesantren yang
terkandung secara representatif dan komprehensif.
Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana
para siswanya semua tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan
guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama
untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam komplek
yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar
dan kegiatan keagamaan lainnya. Komplek ini biasanya dikelilingi
oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri
sesuai dengan peraturan yang berlaku (Zamakhsyari, 1994:18).
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara non klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan
ilmu agama islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang
ditulis dalam bahasa arab oleh ulama’ abad pertengahan, dan para
santrinya biasanya tinggal dipondok (asrama) dalam pesantren
29
Pesantren merupakan lembaga pendidikan trasidional Islam untuk
memahami, menghayati dan mengamnalkan ajaranIslam dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:55).
Dari beberapa definisi yang diberikan oleh beberapa ahli diatas
dapat diambil kesimpulam bahwa pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan yang bernafaskan Islam untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan moral agama sebagai
pedoman hidup bermasyarakat, yang didalamnya mengandung
beberapa elemen yang tidak bisa dipisahkan yang antara lain kiai
sebgaai pengasuh sekaligus pendidik, masjid sebagai sarana
peribadatan sekaligus berfungsi sebagai tempat pendidikan para santri
dan asrama sebagai tempat tinggal dan belajar santri.
2. Unsur-unsur Pondok Pesantren
Dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren
sekurang-kurangnya ada unsur-unsur : Kiai yang mengajar dan
mendidik serta jadi panutan, santri yang belajar kepada kiai, masjid
sebagai tempat penyelenggara pendidikan dan sholat jama’ah, dan
asrama tempat tinggal santri. Sementara itu menurut zamakhsyari
Dhofier ada lima elemen utama pesantren yaitu pondok, masjid,
pengajian kitab-kitab klasik, santri dan kiai (Zamakhsyari, 1994:44).
Unsur-unsur pondok pesantren tersebut sebagaimana berikut:
30
Menurut Hasbullah bahwa perkembangan pondok pesantren
bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau
asrama para santri untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh
kiai, tetapi juga sebagai latihan bagi santri yang bersangkutan agar
mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Dalam perkembangan
selanjutnya, terutama masa sekarang tampaknya lebih menonjol
fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap
santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan
pondok tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa harus menyediakan asrama atau
tempat bagi santri, antara lain adalah:
1) Kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuanya
tentang Islam yang dapat menarik perhatian santri-santri jauh.
2) Hampir semua pesantren berada di desa-desa diminta tidak
tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk
menampung santri-santri.
3) Ada sikap timbal balik antara santri dan kiai, dimana para
santri menganggap kiai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri.
Sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan tuhan
yang senantiasa harus dilindungi. (Zamakhsyari, 1994:46-47)
Fenomena diatas menunjukan bahwa dalam sistem pendidikan
pesantren berlangsung sehari semalam, yang artinya semua tingkah
31
Sehingga bila terjadi suatu yang menyimpang dari tingkah laku
santri dapat langsung ditegur dan diberi bimbingan langsung dari
kiai.
b. Masjid
Menurut bahasa, masjid merupakan isim makan (nama tempat)
yang diambil dari fiil (kata kerja) bahasa Arab sajada, yang artinya
tempat untuk sujud. Pada mulanya yang dimaksud dengan masjid
adalah bagian (tempat) di muka bumi yang dipergunakan untuk
bersujud, baik dihalaman, lapangan, ataupun di padang pasir yang
luas. Akan tetapi, pengertian masjid ini lama kelamaan tumbuh dan
berubah sehingga pengertiannya menjadi satu bangunan yang
membelakangi arah kiblat dan dipergunakan sebagai tempat sholat
baik sendiri atau jamaah (Mundzirin, 1983:1-2)
Di dunia pesantren masjid dijadikan ajang atau sentral kegiatan
pendidikan Islam baik dalam pengertian modern maupun
tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh masjidlah yang menjadi
pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar
adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik dengan
pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah
pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat
rumahnya.
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat
32
memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai
tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,
sosial, politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek
kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam
rangka pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang paling
tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang umat, dan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Zamakhsyari, 1994:49).
c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, santri
biasanya terdiri dari dua kelompok yaitu santri mukim dan santri
kalong sebagaimana dijelaskan oleh Hasbullah bahwa:
1) Santri Mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh
dan menetap di pesantren. Santri mukim yang telah lama
tinggal dipesantren biasanya diberi tanggung jawab untuk
mengurusi kebutuhanya sehari-hari.
2) Santri kalong adalah santri yang berasal dari desa sekitar
pesantren yang tidak menetap dipesantren. Mereka biasanya
pulang pergi dari rumah ke pesantren (Hasbullah, 1996:143)
Adapun alasan santri pergi dan menetap disuatu pesantren
33
1) Santri ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
Islam secara lebih mendalam dibawah bimbingan kiai yang
memimpin pesantren tersebut.
2) Santri ingin memperoleh pengalaman kehidupan bersama, baik
dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun hubungan
pesantren-pesantren terkenal.
3) Santri ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukan
kewajiban sehari-hari di keluarganya(Zamakhsyari, 1994:52).
d.Kiai
Peran penting kiai dalam pendirian, pertumbuhan,
perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia
merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin
pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung
pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kiai. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantrenn
(Hasbullah, 1999:144)
Istilah kiai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari
bahasa jawa (Manfed, 1986:130). Dalam bahasa jawa, perkataan
kiai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
keramat. Contohnya, “kiai garuda kencana” dipakai untuk
34
2) Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya.
3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren
dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang sangat
mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral
yang memberikan pengajaran, karena kiai menjadi satu-satunya
yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren.
Menurut Saiful Akhyar Lubis Menyatakan bahwa “Kiai
adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju
mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan
kharisma sang kiai (Saiful, 2007:169)
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa jawa
dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda:
1) Kiai merupakan tokoh sentral yang memberikan pengajaran.
2) Kiai merupakan elemen paling esensial sebagai pendiri dan
penentu pertumbuhan perkembangan pesantrennya.
3) Kiai merupakan julukan atau gelar yang diberikan oleh
masyarakat bahwa umumnya tokoh-tokoh tersebut alumni
dari pesantren.
Predikat kiai akan diperoloeh oleh seseorang apabila
35
1) Keturunan, biasanya kiai besar mempunyai silsilah yang
cukup panjang dan falid.
2) Pengetahuan agama, seseorang tidak akan pernah
memperoleh predikat kiai apabila tidak menguasai
pengetahuan agama atau kitab islam klasik, bahkan
kepopuleran kiai ditentukan oleh keahlianya menguasai
cabang ilmu tertentu.
3) Jumlah muridnya merupakan indikasi kebesaran kiai yang
terlibat banyaknya murid yang mengkaji kepadanya.
4) Cara mengabdi kiai kepada masyarakat (Abudin, 2001:144).
Berdasrkan proses tersebut, dapat kita ketahui bahwa untuk
menjadi seorang kiai setiap orang mempunyai kesempatan
bilamana mampu memenuhi beberpa kriteria diatasdan dapat
diterima oleh masyarakat,
e. Pengajian Kitab-kitab Klasik
Unsur lain yang membedakan antara pondok pesantren
dengan lembaga pendidikan lain adalah bahwa dalam pondok
pesantren ini diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang oleh
ulama’ terdahulu. Dikalangan pesantren kitab-kitab klasik ini
disebut dengan kitabkuning, bahkan karena tidak
dilengkapiderngan sandangan (syakal), istilah lain kerap oleh
36
Kitab-kitab yang diajarkan dalam pondok pesantren sangatlah
beranekaragam. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan
dipesantren dapat digolongkan dalam beberpa kelompok : (1)
nahwu dan shorof, (2) fiqh, (3) ushul fiqh, (4) hadits, (5) tafsir,
(6) tauhid (akidah), (7) tasawuf dan etika. Disamping itu,
kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh dan
tasawuf. Kesemuanya ini dapat digolonggkan kedalam tiga
kelompok yaitu kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah, dan
kitab-kitab besar(Zamakhsyari, 1994:52).
3. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara
meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang dan sesuai dengan
perkembangan serta kemajuan zaman karena saat sekarang ini kita
berada dalam era globalisasi yang serba canggih dengan
perkembangan teknologi yang begitu pesat sehingga untuk
meningkatkan kualitas hidup pondok pesantren harus selalu berproses
menuju kearah yang lebih baik dengan meningkatkan kualitasnya.
Sistem merupakan suatu keseluruhan komponen yang
masing-masing bekerja dalam fungsiunya berkaitan dengan fungsi dari
komponen lainnya yang secara terpadu bergerak menuju kearah satu
tujuan yang telah ditetapkan. Komponen yang bertugas sesuai
37
sistem. Sistem pendidikan adalah satu keseluruhan terpadu dari semua
satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan yang lainnya,
untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan (Arifin, 2003:72).
Sedangkan dalam pesantren dengan pola hidup bersama antara
santri dengan kiai dan masjid sebagai pusat aktivitas merupakan suatu
sistem pendidikan yang khas yang tidak ada dalam lembaga
pendidikan lain. Keunikan lain yang terdapat dalam sistem pendidikan
pesantren adalah tentang metode pengajarannya sebagai berikut :
1) Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa jawa Sodoran atau yang
disodorkan artinya suatu sistem belajar secara individu dimana
seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi
saling mengenal diantara keduanya (Hasbullah, 1996 : 50).
Seorang kiai atau guru menghadap satu persatu, secara bergantian.
Sedangkan dalam pelaksanaannya, santri datang bersama-sama,
akan tetapi para santri antri menunggu gilirannya.
Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa kiai dalam
memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan,
selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca,
mengerti dan mendalami isi kitab. Dengan adanya suatu sistem
pengajaran sorogan ini seorang kiai mampu mengevalusi langsung
kemampuan santri, dan hubungan antara santri dan kiai lebih
38 2) Wetonan
Metode wetonan atau bandongan adalah metode yang
paling utama di lingkungan pesantren. Metode wetonan
(bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru
membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku-buku
Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri
mendengarkan. Mereka memperhatikan bukunya sendiri dan
membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang
kata-kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari, 1984:28).
C. Kewirausahaan
1. Pengertian Kewirausahaan
Istilah wirausaha merupakan terjemah dari kata entrepreneur
(bahasa prancis) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan
arti betweentaker atau gobetween, yaitu orang yang berani bertindak
mengambil peluang (Sudrajat, 2005:5-6).
Menurut intruksi Presiden RI No. 4 tahun 1995 : “Kewirausahaan adalah semangat, sikap perilaku, dan kemampuan seseorang dalam
menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya
mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan
pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan lebih
39
Jadi, wirausaha ini mengarah kepada orang yang melakukan usaha
atau kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Sedangkan kewirausahaan menunjukkan kepada sikap mental yang
dimiliki seorang wirausaha dalam melaksanakan usaha/kegiatan
(Basrowi, 2011:2).
Objek studi kewirausahaan meliputi kemampuan seseorang dalam
hal-hal sebagai berikut :
a. Kemampuan merumuskan tujuan hidup atau usaha. Dalam hal
merumuskan tujuan hidup/usaha diperlukan adanya perenungan
dan koreksi, yang kemudian dibaca dan diamati berulang-ulang
sampai dipahami apa yang menjadi kemauannya.
b. Kemampuan memotivasi diri, yaitu untuk melahirkan suatu tekad
kemauan besar.
c. Kemampuan berinisiatif, yaitu mengajarkan sesuatu yang baik
tanpa menunggu perintah orang lain, yang dilakukan
berulang-ulang sehingga menjadi terbiasa berinisiatif.
d. Kemampuan berinovasi, yang melahirkan kreativitas (daya cipta)
dan setelah dibiasakan berulang-ulang akan melahirkan motivasi.
Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk selalu mencari
berbagai kemungkinan atau kombinasi baru yang dapat dijadikan
perangkat dalam penyajian barang dan jasa bagi kemakmuran
masyarakat.
40
f. Kemampuan mengatur dan membiasakn diri, yaitu untuk selalu
tepat waktu dalam segala tindakan melalui kebiasaan dan tidak
menunda pekerjaan.
g. Kemampuan mental yang dilandasi agama.
h. Kemampuan membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari
pengalaman yang baik ataupun menyakitkan (Suryana, 2006:2-5)
2. Karakteristik Kewirausahaan
Perilaku dan sikap tidak bisa dipisahkan untuk menjadikan lebih
sempurna karena kedua-duanya memiliki karakteristik yang berbeda.
Sikap itu cara pandang dan pola pikir atas hal-hal yang dihadapinya.
Sedangkan perilaku adalah tindakan dari kebiasaan atas kebenaran
yang ia pegang teguh. Keduanya masuk menjadi ciri-ciri dan
karakteristik wirausaha yang cerdas. Perilaku juga disebut sebagai
langkah dan tindakan yang ia lakukan untuk menghadapai dan
menyiasati pekerjaan sehari-hari (Hendro, 2011:166).
Seorang wirausahawan harus profesional, terutama dalam
berbisnis. Selain itu, ia harus memiliki karakteristik yang baik
didasarkan pada pandangan Al-Qur’an agar bisnisnya terus sejalan dengan semangat Al-Qur’an. Sehingga dia bisa menjalankan bisnis dengan baik dalam bimbingan Allah dan mencapai sukses dunia
akhirat.
41
Sifat atau karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pengusaha
yang sesuai dengan ajaran islam yaitu:
a. Sifat Takwa, Tawakal, Dzikir, dan Syukur.
Sifat tersebut harus dilakukan dalam kehidupan (praktek bisnis)
sehari-hari.
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”
(Kementerian Agama, 2010:558)
Berdzikir artinya, selalu menyebut asma Allah dalam hati dengan
merendahkan diri dan rasa takut serta tidak mengeraskan suara
dalam segala keadaan, selalu ingat Allah membuat hati tenang
segala usaha dapat dilakukan dengan kepala dingin dan lancar.
Tawakal adalah suatu sifat penyerahan diri kepada Allah secara
aktif, tidak cepat menyerah. Karena sudah biasa dalam dunia
wirausaha mengalami jatuh bangun sebelum bisnis berhasil. Sifat
tawakal akan tercermin dalam hubungan manusia muslim dengan
Allah seperti membaca dzikir dan bersyukur (Bukhari Alma,
2008:270-272).
42
Jujur dalam segala kegiatan bisnis, menimbang, mengukur,
membagi janji membayar hutang, jujur dalam berhubungan dengan
orang lain, akan membuat ketenangan lahir batin.
Seorang penguasaha harus jujur dan dapat dipercaya. Dia harus
menyadari bahwa status dan profesinya adalah amanah. Ini adalah
amanah dari Allah, sehingga ia harus menjaganya.
QS. Al-Mu’minun (23) : 8
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya” (Kementerian Agama, 2010:342)
Rasulullah SAW adalah pebisnis yang jujur dan adil dalam
membuat perjanjian bisnis. Ia tidak pernah membuat para
pelangganya mengeluh dan sering menjaga janjinya dan
menyerahkan barang-barang yang dipesan dengan tepat pada
waktunya.
c. Niat Suci dan Ibadah
Az-Zariyat (51) : 56
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”(Kementerian Agama, 2010:523)
Bagi seorang muslim melakukan bisnis adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah. Demikian pula hasil yang diperoleh dalam
bisnis akan dipergunakan kembali dijalan Allah.
43
Rosulullah telah mengajarkan kepada kita agar mulai bekerja sejak
pagi hari, selesai shalat subuh, jangan kamu tidur, bergeraklah,
carilah rizki dari Rabb-Mu. Para malaikat akan turun dan membagi
rizki sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
e. Toleransi
Toleransi, tenggang rasa, tepo seliro (jawa), harus dianut oleh
orang-orang yang bergerak dalam bidang bisnis. Dengan demikian
tampak orang bisnis itu supel, mudah bergaul, komunikatif, praktis,
tidak banyak teori, fleksibel, pandai melihat situasi dan kondisi,
toleransi terhadap langganan, dan tidak kaku.
f.
Berinfaq dan Berzakat“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah
beserta orang-orang yang ruku”(Kementerian Agama, 2010:7)
Mengeluarkan zakat dan infaq harus menjadi budaya muslim yang
bergerak dalam bidang bisnis. Harta yang dikelola dalam bidang
bisnis, laba yang diperoleh, harus disisakan sebagian untuk
membantu anggota masyarakat yang membutuhkan. Dalam ajaran
islam sudah jelas bahwa harta yang dizakatkan dan di infaqkan
tidak akan hilang, melainkan menjdai tabungan kita yang dilipat
ganda baik di dunia maupun di akhirat.
44
Manfaat silaturahmi disamping mempererat persaudaraan, juga
sering kali membuka peluang bisnis bagi yang lainnya. Hadits nabi
menyatakan: “siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi
(HR.Buhari)” (Bukhari Alma, 2007:273).
h. ProAktif
Berfikir positif terhadap fenomena yang terjadi di lingkungannya,
selektif dalam merespon pada hal yang positif saja. Ciri-ciri orang
yang pro aktif dalam keseharian tidak pernah marah, sabar, tenang,
dewasa, bijaksana, selalu berupaya menjadi bagian dari
penyelesaian masalah dan diterima disemua komunitas masyarakat
45 BAB III
PROFIL TEMPAT PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN
A. Profil Tempat Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ittihadul Asna
Awal mula berdirinya Pondok Pesntren Ittihadul Asna sekitar tahun
1980-an y1980-ang di pimpin oleh Beliau K.H. Aff1980-andi namun belum berbentuk pondok
pesantren seperti umunya, hanya dalam segi pembelajaran yaitu ada seorang
guru atau ustadz dan santri yang belajar kitab kuning.
Setelah KH. Affandi wafat, dilanjutkan oleh putra pertama yang bernama
Kiai Mahbub bin Affandi, dalam kepemimpinan beliau pondok tersebut
masih sama tak jauh beda dengan kondisi ketika di asuh oleh bapaknya KH.
Affandi.
Sekitar tahun 1990-an Kiai Mahbub wafat, dan sepeninggal beliau terjadi
kefakuman dalam aktivitas pondok pesantren karena tidak ada yang
meneruskan atau mengelola pondok pesantren tersebut. Karena putra-putri
beliau belum siap untuk memimpin pondok pesantren tersebut.
Setelah terjadi kefakuman sekitar 12 tahun, tepatnya pada tahun 2002
akhirnya pondok pesantren tersebut kembali diaktifkan dan dipimpin oleh
Kiai Roikhudin bin Mahbub, beliau adalah putra ketiga dari lima bersaudara.
46
yaitu ada santri, bangunan, pembelajaran, tempat ibadah, dan seorang
pengasuh.
Sebenarnya Kiai Roikhudin tidak tahu bahwa kakek dan bapaknya
mempunyai Pondok Pesantren, karena beliau dari kecil sudah berada di
pondok pesantren yaitu di pondok pesantren Al-Ittihad Poncol selama 5 tahun
dan Pondok Pesantrren Mahir Ar-Riyad Kediri selama kurang lebih 10 tahun.
Setelah beliau pulang ke kampung halaman, beliau diberi wasiat oleh
bapaknya yang dititipkan melalui pamanya yang bernama KH. Nuroodin
Zuhri, bahwa beliau diminta untuk melanjutkan pondok pesantren yang telah
di dirikan kakeknya KH. Affandi.
Pada saat itu Kiai Roikhudin masih sangatlah muda dan belum menikah
yaitu berumur 29 tahun yang diminta untuk melanjutkan perjuangan pondok
pesantren tersebut.
Awal mula berdirinya pondok pesantren Ittihadul Asna dari dulunya bukan
langsung bernama “Ittihadul Asna” tetapi dulunya bernama “Tanbihul Ghofilin” yang merupakan nama Mushola yang ada di pondok tersebut.
Tetapi oleh Kiai Roikhudin Mahbub nama tersebut diganti dengan nama
“IttihadulAsna”.
Nama Ittihadul Asna diambil dari dua latar belakang pendidikan beliau
yaitu “Al-Ittihad” merupakan nama pondok pesantren pertama yang menjadi tempat singgahnya untuk menuntut ilmu yang berada di Poncol, Popongan,
Kec. Bringin Kab. Semarang. Sedangkan kata “Al-Asna” merupakan nama