• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir (S.Ag)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir (S.Ag)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBACAAN AYAT-AYAT AL-QUR‟AN DALAM TRADISI

WELASAN OLEH

JAM‟IYAH AHLI THARIQAH QODIRIYYAH

NAQSYABANDIYYAH

(Studi

Living Qur‟an

di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Al-

Qur‟an

dan Tafsir (S.Ag)

OLEH:

ANNISA FITRI

215-14-008

PROGRAM STUDI ILMU AL-

QUR‟AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

«

رُ خَ لَّ خَ خَ خَآ مْ رُ مْا خَ لَّ خَ خَيْ مْ خَ مْ رُ رُ مْيْ خَ

»

Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar

Al-Qur’an dan mengajarkannya

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Untuk kedua Orangtuaku tercinta,

Para dosenku, adik-adikku, sahabat-sahabat seperjuangan

IAT

’14 yang setiap saat berbagi semangat dan

kebahagiaan, teman-temanku di manapun kalian berada,

almamater IAIN Salatiga , dan teruntuk seseorang yang

sedang berjuang , yang selalu menyebut namaku didalam

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan

0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب

ba‟ b Be

ت

ta‟ t Te

ث

ṡa ṡ es (dengan titik di atas)

ج

jim j Je

ح

ḥa‟ ḥ ha (dengan titik di bawah(

خ

kha‟ kh ka dan ha

د

dal d De

ذ

żal ż zet (dengan titik di atas)

ر

ra‟ r Er

ز

zal Z zet

س

sin S Es

(8)

viii

ص

ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

ض

ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)

ط

ṭa‟ ṭ te (dengan titik di bawah)

ظ

ẓa‟ ẓ zet (dengan titik di bawah)

ع

„ain „ koma terbalik (di atas)

غ

gain g ge

ؼ

fa‟ f ef

ؽ

qaf q qi

ؾ

kaf k ka

ؿ

lam l el

ـ

mim m em

ف

nun n en

ك

wawu w we

ق

ha‟ h ha

ء

hamzah ` apostrof

(9)

ix

B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap

ةددعتم

Ditulis Muta‟addidah

ةدع

Ditulis „iddah

C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h

a. Bila dimatikan ditulis h

ةمكح

Ditulis Ḥikmah

ةيزج

Ditulis Jizyah

(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam

bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki

lafal aslinya)

b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.

ءايلكلاا ةمرك

Ditulis Karâmah al-auliyā`

c. Bila Ta‟ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah

ditulis t.

ةرطفلا ةاكز

Ditulis Zakat al-fiṭrah

D. Vokal Pendek

__َ

_

Fatḥah Ditulis A

__ِ

_

Kasrah Ditulis I

__ُ

(10)

x

E. Vokal Panjang

Fatḥah bertemu Alif

ةيلىاج

Ditulis Ā

Jahiliyyah

Fatḥah bertemu Alif Layyinah

ىسنت

Ditulis Ā

Tansa

Kasrah bertemu ya‟ mati

يمرك

Ditulis Ī

Karīm

Ḍammah bertemu wawu mati

ضكرف

Ditulis Ū

Furūḍ

F. Vokal Rangkap

Fatḥah bertemuYa‟ Mati

مكنيب

Ditulis Ai

Bainakum

Fatḥah bertemu Wawu Mati

ؿوق

Ditulis Au

Qaul

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

متنأأ

Ditulis A`antum

تدعأ

Ditulis U‟iddat

(11)

xi

H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah

ditulis dengan menggunkan “al

فارقلا

Ditulis Al-Qur`ān

سايقلا

Ditulis Al-Qiyās

ءامسلا

Ditulis Al-Samā`

سمشلا

Ditulis Al-Syams

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya

ضكرفلا لكذ

Ditulis Żawi al-furūḍ

(12)

xii

KATA PENGANTAR

الله الرحمن الرحيم مسب

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah

mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pembacaan Ayat-ayat Al-Qur‟an dalam

Tradisi Welasan oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

(Studi Living Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang) ini. Shalawat serta

salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi agung Muhammad SAW

semoga kita termasuk umat yang mendapat syafaatnya di akhirat nanti. Penulis

menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari

berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya

kepada:

1. Dr. Benny Ridwan, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab

dan Humaniora IAIN Salatiga.

2. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M.Ag, selaku Ketua Prodi Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir beserta jajarannya yang tak pernah menyerah memotivasi kami

untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. M. Ghufron Ma‟ruf, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang dengan

kesabarannya berkenan memberikan bimbingan, petunjuk dan saran

kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Kedua orangtuaku tercinta ( Bapak Tumari dan ibu Supriyati) yang tak

(13)

xiii

mendo‟akan dalam setiap langkahku. Beribu terimakasih mungkin tak

cukup untuk membalas jasamu, semoga kelak putrimu ini dapat

membanggakanmu.

5. Teman-teman seperjuangaan IAT‟ 14, Abrar Azfar al-Akram, M. Nur

Hasan Mudda‟i, M. Sayfun Nuha, M. Latif, Syamsul Arifin, M. Nur

Rochim, Trisna Aditiya Kusuma, Fissabil Ibrohim, Siti robikah, Novita

Intan Purwasih, Wahyu Nur Hidayah, Lailatul Khodariyah, Ayusta Gilang

Wanodya, Fathimah, dan Sahabat karibku Neny Muthiatul Awwaliyah,

terimakasih keakraban,dan kekompakannya selama ini.

6. Keluarga besar IAT, baik alumni maupun adik tingkat yang telah berkenan

mendengarkan keluh kesah selama proses penelitian skripsi ini.

7. Keluarga besarku terutama ( Mbahkung Jumari dan Mbah Seneng) yang

juga selalu memberi dukungan, motivasi dan semua do‟a-do‟anya.

8. Bapak Ahmad Jauhari selaku mursyid pimpinan Jam‟iyyah Ahli Thariqah

Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, Bapak Sulimin, Bapak Syamsudi, dan

segenap anggota Jam‟iyyah Thariqah yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu yang telah berkenan menjadi informan dalam penelitian skripsi ini.

9. Keluarga Besar Alumni Kholaf Darul Falah di IAIN Salatiga

10.Teman-teman KKN di Surodadi, Magelang yang telah banyak memotivasi,

mengkritik dan memberi saran.

11.Dan tak lupa pula kepada pihak-pihak terkait lain yang tak sempat penulis

(14)

xiv

Teriring do‟a, semoga segala kebaikan semua pihak yang

membantu penulis dalam penulisan skripsi ini diterima di sisi Allah SWT.

Dan mendapat pahala yang dilipat gandakan. Penulis menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu, saran dan kritik

yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Salatiga, 22 Maret 2018

Penulis,

Annisa Fitri

(15)

xv

ABSTRAK

Fitri, Annisa. 2018. Pembacaan Ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Tradisi Welasan oleh

Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ( Studi Living Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang). Skripsi. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Kata kunci: Ayat-ayat Al-Qur‟an, Tradisi welasan, Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, Living Qur‟an.

Tradisi welasan merupakan sebuah tradisi rutinan yang dilaksanakan setiap tanggal 10 ke atas dalam bulan hijriyah oleh seluruh anggota Jam‟iyyah Ahli thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun bagongan. Yang mana tujuan dari pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan adalah untuk meminta welas asih kepada Allah. Untuk mendalami kajian Living Qur‟an dalam tradisi welasan ini, peneliti menemukan tiga permasalahan yaitu: prosesi pelaksanaan tradisi welasan, signifikansi tradisi welasan, dan persepsi jama‟ah terhadap ayat-ayat yang dibaca. Kemudian penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Pertama, Bagaimana prosesi pelaksanaan tradisi welasan oleh Jam‟iyyah

Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang? Kedua, Bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi Jam‟iyyah Ahli

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang?

Ketiga, Bagaimana persepsi Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang terhadap ayat-ayat yang dibaca dalam tradisi welasan.

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (Field research). Sumber utama dalam penelitian ini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi welasan yang dilakukan di dusun Bagongan, Getasan, Tolokan. Untuk pengumpulan datanya penulis menggunakan metode Observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Setelah melakukan analisis yang mendalam, penulis menemukan tiga jawaban dari rumusan masalahnya yaitu: Pertama, Praktik prosesi pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan yang dimulai dengan Niat, membaca al-Fatihah, tahlil, ḥasbunallah wa ni‟ma al-wakil, La Ḥaula wa la quwwata illa billah, Ya Latif, al-Waqi‟ah, Manaqib, Do‟a, dan diakhiri dengan Mauidhah hasanah. Kedua, Signifikansi tradisi welasanyang diungkapkan oleh para jama‟ah adalah sebagai: amalan yang baku, amalan penyempurna, dan amalan istimewa. Jawaban Ketiga persepsi anggota jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yaitu dianggap sebagai; surah yang agung, pendatang rizki, dan pemberi ketenangan jiwa bagi para pengamalnya.

(16)

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL... i

NOTA PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISANDAN KESEDIAAN UNTUK DIPUBLIKASIKAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI... vii

KATA PENGANTAR... xii

ABSTRAK... xv

DAFTAR ISI... xvi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Telaah Pustaka... 8

E. Kerangka Teori... 10

F. Metode Penelitian... 14

G. Sistematika Pembahasan... 18

(17)

xvii

2. Keadaan pendidikan Masyarakat... 20

3. Keadaan Sosial Budaya masyarakat... 21

4. Keadaan Ekonomi Masyarakat... 22

5. Kondisi Pemerintahan Masyarakat... 22

B. Biografi Perintis Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah 1. Asal Usul Syekh Ahmad Khatib... 23

2. Guru dan Murid Syekh Ahmad Khatib... 24

3. Karier Syekh Ahmad Khatib... 25

C. Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah 1. Sejarah Singkat Munculnya Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah... 28

2. Sejarah Menyebarnya Jam’iyyah Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan... 33

a. Kegiatan Rutinan... 37

b. Struktur Kepengurusan... 39

c. Data Anggota... 41

BAB III: TINJAUAN UMUM TRADISI WELASAN A. Sejarah Tradisi Welasan... 45

1. Praktik Tradisi Welasan a) Waktu dan Tempat ... 47

(18)

xviii

c) Adab Melakukan Tradisi Welasan... 48

d) Prosesi Tradisi Welasan... 50

e) Properti Yang Digunakan... 57

f) Motivasi Pelaksanaan Tradisi Welasan... 59

g) Hambatan Pelaksanaan Tradisi Welasan... 62

B. Signifikansi Tradisi Welasan Oleh Jam’iyyah Ahli Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah Dusun Bagongan... 63

C. Persepsi Jam’iyyah Terhadap Ayat-ayat Yang Dibaca Dalam Tradisi Welasan... 66

BAB IV: ANALISIS DATA A. Prosesi Pelaksanaan tradisi welasan... 71

B. Signifikansi Tradisi Welasan... 75

C. Persepsi Jam’iyaah Terhadap Ayat Yang Dibaca... 76

BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan... 78

B.Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 82

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... 84

LAMPIRAN A. Dokumentasi... 85

B. Nama-nama Informan... 91

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan

suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun

sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat

menandingi Al-Qur‟an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada

bacaan semacam Al-Qur‟an yang dibaca ratusan juta orang yang tidak

mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan

dihafal huruf demi huruf oleh seorang dewasaa, remaja, dan anak-anak.1

Tiada bacaan seperti Al-Qur‟an yang dipelajari bukan hanya

susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang

tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua

dituangkan dalam jutaan jilid buku, genarasi demi generasi. Kemudian apa

yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai

dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua

mengandung kebenaran. Al-Qur‟an layaknya sebuah permata yang

memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang

masing-masing.2

Berinteraksi dengan Al-Qur‟an bagi seorang muslim tidaklah

sebagai hal yang baru lagi, melainkan hal yang sudah seharusnya dilakukan,

1

Shihab,Quraish, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,(Bandung:Mizan,1996),hlm 3

2

(20)

2

baik berinteraksi yang dilakukan secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.

Karena semakin sering kita berinteraksi, maka semakin banyak hal-hal dan

pengalaman yang akan kita dapat.

Dalam lintasan sejarah Islam, bahkan pada era yang sangat dini,

praktek memperlakukan Al-Qur‟an atau unit-unit tertentu dari Al-Qur‟an

sehingga bermakna dalam kehidupan praksis umat pada dasarnya sudah

terjadi. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, sebuah masa yang paling

baik bagi Islam, masa dimana semua perilaku umat masih terbimbing wahyu

Nabi secara langsung, praktek semacam ini konon dilakukan oleh Nabi

sendiri. Menurut laporan riwayat, Nabi pernah menyembuhkan penyakit

dengan ruqyah lewat surat Fatihah, atau menolak sihir dengan surat

Al-Mu‟awwizatain.3

Kalaulah praktek semacam ini sudah ada pada zaman Nabi, maka

hal ini berarti bahwa Al-Qur‟an diperlakukan sebagai pemangku fungsi diluar

kapasitasnya sebagai teks. Sebab secara semantis surat Al-Fatihah tidak

memiliki kaitan dengan soal penyakit tetapi digunakan untuk fungsi diluar

semantisnya. Barangkali lantaran ini pula maka mushaf-mushaf tertentu tidak

menjadikan surat-surat ini sebagai dari teks Al-Qur‟an.4 Sebagaimana seperti

yang diungkapkan oleh Nasr Hamid Ab Zayd (w. 2010), Beliau menyebutnya

“The Qur‟an as a living phenomenon, Al-Qur‟an itu seperti alat musik yang

dimainkan oleh para pemain musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu

3

Symasuddin,Syahiron,Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan

Hadis,(Yogyakarta,Teras,2007),hlm 3 4

(21)

3

seperti note musik (ia diam).5 Artinya teks Al-Qur‟an akan selalu diam tanpa

adanya campur tangan manusia sebagai penggerak.

Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pula

praktik-praktik pemberlakuan Al-Qur‟an dalam lingkungan masyarakat.

Praktik tersebut muncul dengan berbagai macam kegiatan, acara ataupun

dalam sebuah tradisi. Praktik tersebut bisa dilakukan secara individual

maupun secara kelompok. Yang mana inti dari praktik tersebut adalah

menghidupkan Al-Qur‟an dalam kehidupan masyarakat baik secara pribadi

maupun secara umum. Sehingga dari itu masyarakat benar-benar merasakan

bahwa Al-Qur‟an itu hidup bukan hanya sebagai teks saja.

Banyak praktik kegiatan penggunaan Al-Qur‟an yang telah muncul

di lingkungan masyarakat yang sudah lama menjadi rutinitas kegiatan, antara

lain, Yasinan, Tahlilan, Mujahadah, Pembacaan surat-surat tertentu dalam

suatu acara misalnya ( Pembacaan Surah Maryam dan Surah Yusuf dalam

acara 7 bulanan, Pembacaan Surah Yasiin dan Al-Kahfi setiap malam jum‟at,

Pembacaan Surah Jin bagi seseorang yang akan menempeti rumah baru,

Pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an untuk pengobatan, penuliskan ayat-ayat

tertentu yang dipercaya sebagai jimat, dan lain sebagainya.) dan dalam

tradisi-tradisi lain yang di dalamnya tidak terlepas dari pembacaan ayat-ayat

dari Al-Qur‟an.

Seperti halnya tradisi yang dilakukan oleh Jam‟iyyah Ahli

Thariqah Qodiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan,

5

(22)

4

Semarang. Jam‟iyyah Ahli Thariqah ini merupakan suatu organisasi sosial

keagamaan Nahdlatul Ulama yang berada di Dusun Bagongan. Organisasi ini

dirintis oleh KH Mukhlasin (alm)6 yang telah berdiri sejak kurang lebih 27

tahun yang lalu, Anggota dalam tradisi ini diikuti oleh orang-orang yang

benar-benar ingin memperdalam agama Islam dengan tujuan memiliki guru

dalam berdzikir khususnya dan dalam beribadah umumnya. Keanggotaan

dalam organisasi ini sifatnya sama sekali tidak memaksa (bersifat kesadaran

dan kemauan diri). Di dalam organisasi ini juga terdapat beberapa amalan

baik secara individu maupun kelompok yang harus dijalankan oleh semua

anggota yang telah mengikutinya, salah satunya adalah tradisi ” Welasan”,

dinamakan tradisi Welasan karena agar anggota Jama‟ah Thariqah yang ikut

membaca amalan tersebut mendapat Kawelasan Dari Gusti Allah7. Tradisi ini

dilaksanakan setiap satu bulan sekali setiap tanggal sepuluh keatas dalam

bulan Hijriah. Pelaksanaan tradisi ini dipimpin oleh seorang Badal8. Badal

disini merupakan orang pilihan Kyai yang dipercaya untuk memimpin

jalannya tradisi welasan, sekaligus sebagai kepala pimpinan Jam‟iyyah

Thariqah di dusun Bagongan. Adapun ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibacakan

antara lain, Tahil, Ḥasbunallah Wa ni‟ma Al-wakiil9, La Ḥaula Wa La

6 Guru Jama‟ah Thariqah di

dusun Bagongan,Getasan,Semarang dari dusun Keditan,Ngablak,Magelang

7 Wawancara dengan Bapak Sulimin (ketua pimpinan jama‟ah Thariqah di dusun

Bagongan.) pada 26 Februari 2018. (Kawelasan adalah basa jawa yang mempunyai arti ”

Mendapatkan Rahmat Allah, agar kelak hidupnya selamat di Dunia dan Akhirat.) 8

Badal(Pengganti Kyai yang telah di tunjuk dan dipercaya oleh guru KH Mukhlasin untuk memimpin jalannya tradisi Welasan tersebut.)

9

(23)

5

Quwwata Illa Billahi, Ya Lathif10, membaca surat Al-Waqi‟ah, Manaqib.11 Kemudian acara tersebut ditutup dengan do‟a, yang kemudian dilanjutkan

dengan siraman Rahani yang disampaikan langsung oleh Mursyid atau yang

menggantikannya. Karena dalam hal ini Mursyidnya telah meninggal, maka

kepemimpinan ke-Mursyidannya digantikan oleh adik kandungnya yakni

Bapak KH Zaenal Arifin.

Praktik pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi Welasan

tersebut merupakan kegiatan untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Khalik

Allah SWT. Organisasi tersebut dijadikan sebagai wadah oleh sebagian

masyarakat dusun Bagongan untuk mempermudah menjalankan ibadah

terutama bagi mayoritas masyarakat dusun Bagongan yang telah memasuki

usia lanjut. Di dalam organisasi ini seseorang yang telah menjadi anggota

akan diajari bagaimana cara beribadah yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad

SAW. selain itu semua anggota juga akan diajari beberapa amalan-amalan

untuk lebih merasa dekat dengan Allah SWT.12

Untuk kesanadan ajarannyapun sudah tidak perlu diragukan lagi,

karena ajaran yang diamalkan dalam tradisi ini sudah turun-temurun dari para

kyai yang langsung diajarkan kepada muridnya yang dalam hal ini adalah

sang Mursyid. Dahulu Mbah Kyai Mukhlasin (Mursyid di dusun Bagongan)

menerima ajaran thariqah ini dari Simbah Kyai Sofan, sering juga dipanggil

10

Salah satu nama dari Asmaul Husna 11

Khusus dibaca oleh badal dan Jama‟ah hanya mendengarkan saja

12 Hasil wawancara dengan Ibu Seneng (salah satu Anggota Jama‟ah Thariqah

(24)

6

dengan sebutan Mbah Ya‟kub dari Grabag Magelang. Kemuadian Mbah

Ya‟kub ini belajar kepada Simbah Kyai haji Umar yang berasal dari

Payaman, Magelang. Sebelum akhirnya menyebarluaskan ajaran Thariqah ini

Mbah Umar dulunya belajar dengan Simbah Kyai Haji Nawawi dari Berjan

Purworejo, yang mana telah menjadi kiblat untuk para Jam‟iyyah Ahli

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah khususnya di Jawa Tengah.13

Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan Jama‟aah

Thariqah dan sedikit ulasan di atas, penulis menemukan beberapa keunikan

yang menonjol dalam tradisi Welasan ini karena didalamnya terdapat bacaan

Tahlil, Surah Waqi‟ah, Qs Al-Imran ayat 173 sebanyak 11X, kemudian

dilanjutkan dengan pembacaan Manaqib dan diakhiri dengan Siraman rahani

(Mauidhah hasanah) serta do‟a. Namun sayangnya dalam pelaksanaan tradisi

ini hanya boleh diikuti oleh anggota jama‟ah saja tidak terbuka untuk umum.

Bertolak belakang dari tujuan tradisi welasan itu sendiri yang pada

dasarnya adalah memohon kawelasan dari sang Khalik, Allah SWT dengan

membacakan ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai lantarannya, namun sepengetahuan

peneliti baik secara sadar maupun tak sadar dari para anggota jama‟ah

Thariqah maupun Badal kadang masih bertindak yang tidak mencerminkan

sikap welas asih sebagaimana tujuan dari diadakannya tradisi welasan. Baik

welas asih terhadap masyarakat umum ataupun terhadap sesama anggota

jama‟ah thariqah.

13Wawancara dengan Bapak Sulimin ( pimpinan jama‟ah Thariqah di dusun Bagongan)

(25)

7

Dari beberapa keunikan bacaan yang digunakan dalam tradisi

welasan, dan juga fakta di atas, penulis tertarik untuk meneliti pembacaan

ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Tradisi Welasan tersebut. Dan penulis

mengangkat judul: Pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an Dalam Tradisi Welasan

Oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (Studi Living

Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang.)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini menjawab pertanyaan-pernyataan berikut:

1. Bagaimana prosesi pelaksanaan pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an

dalam Tradisi Welasan oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang ?

2. Bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi Jam‟iyyah Ahli Thariqah

Qadiriyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang ?

3. Bagaimana persepsi Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang terhadap

Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam Tradisi Welasan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk Mengetahui Bagaimana Prosesi Pelaksanaan pembacaan

(26)

8

Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan,

Semarang.

2) Untuk mengetahui bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi

Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun

Bagongan, Getasan, Semarang.

3) Untuk mengetahui bagaimana persepsi Jam‟iyyah Tariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, semarang terhadap

Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi Welasan.

2. Kegunaan Penelitian

1) Menambah wawasan di bidang ilmu-ilmu keislaman, khususnya

ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

2) Dapat mendapat khazanah studi Al-Qur‟an terutama dalam bidang

Living Qur‟an

3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para

akademisi untuk lebih peka terhadap fenomena keberagamaan

yang berada disekitarnya.

4) Mendorong masyarakat untuk semakin mencintai Al-Qur‟an.

D. Telaah Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, telah banyak penelitian mengenai

Living Qur‟an seperti dalam Skripsi yang ditulis oleh Rafi‟uddin dengan

mengangkat judul “Pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Upacara Peret

(27)

9

Madura). Dalam Skripsi tersebut Rafi‟uddin membahas tentang amalan

-amalan yang dibaca dalam tradisi tersebut seperti Surah Yusuf,Surah

Maryam,Surah Luqman, Surah Sajadah, Surah Yasin,Surah Waqi‟ah, dan

Surah Fathir. Dalam penelitian tersebut penulis menitik beratkan pada

bagaimana pemaknaan Masyarakat Poteran terhadap pembacaan ayat-ayat

yang dibacakan dalam Upacara Peret Kandung tersebut.

Penelitian Living Qur‟an juga sebelumnya telah dilakukan oleh

Rizki Jizala Albisri dengan Skripsinya yang berjudul “ Pembacaan Ayat-ayat

Al-Qur‟an dalam Mujahadah Nisful Lail di Pondok Pesantren Al-Fitroh

Pereng wetan Sedayu Bantul (Studi Living Qur‟an). Penulis Skripsi tersebut

membahas tentang bagaimana prosesi pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam

Mujahadah Nisful Lail di PP Al-Fitroh Pereng meliputi (tempat dan waktu

pelaksanaan, etika dalam prosesi Mujahadah, Urut-urutan bacaan, dan Tata

cara pelaksanaan Mujahadah) dan juga Apa saja makna Pembacaan

Mujahadah Nisful Laili di PP Al-Fitroh dalam Mujahadah Nisful lail.

Penelitian sejenis juga penulis temukan dalam Skripsi milik

Rochmah Nur Azizah dengan judul “Tradisi Pembacaan Surah Al-Fatikhah

dan Surah Al-Baqarah (Kajian Living Qur‟an di PPTQ „Aisyiyah Ponorogo).

Dalam skripsi ini dibahas dalil yang mendasari Tradisi pembacaan

Surah-surah pilihan di PPTQ „Aisyiyah ponorogo yakni Pengasuh pesantren

berpegang pada Firman Allah Qs Al-Baqarah ayat 121. Kemudian Nur

Azizah juga menuliskan bagaimana cara penerapan Tradisi tersebut antara

(28)

10

hari Senin dan Selasa yang dilaksanakan setelah Shalat Ashar yang

berlangsung kurang lebih 45 menit yang dipimpin langsung oleh salah satu

santri dan diikuti oleh semua santri. Dan juga disebutkan apa makna yang

terkandung dalam tradisi pembacaan Surah-Surah yang telah dipilih di PPTQ

„Aisyiyah Ponorogo. Makna tersebut adalah untuk mendekatkan diri kepada

Allah dengan tujuan memohon barakah kepada Allah dan menumbuhkan rasa

cinta terhadapa Al-Qur‟an kepada semua santri.

Dari pemaparan literatur di atas, beberapa praktik Living Qur‟an

telah dikaji oleh akademisi, namun pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam

tradisi welasan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, baik itu dari waktu

pelaksanaan, keanggotaan, prosesi, mapun bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an yang

terdapat didalamnya. Di sini penulis juga akan menguraikan tentang

bagaimana signifikansi tradisi welasan, dan juga bagaimana persepsi para

jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca. Di sinilah terletak

perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.

Oleh karena itu, penulis merasa berkesempatan membahas beberapa hal di

atas, agar memperoleh pemahaman dengan fokus bagaimana praktik

pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan di dusun Bagongan,

Getasan, Semarang. Bagaimana signifikansi dan juga presepsi anggota

jama‟ah Thariqah terhadap Al-Qur‟an.

E. Kerangka Teori

Living Qur‟an muncul bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday

(29)

11

masyarakat muslim. Misalnya fenomena sosial terkait dengan pelajaran

membaca Al-Qur‟an di lokasi tertentu, fenomena penulisan bagian-bagian

tertentu dari Qur‟an ditempat-tempat tertentu, penggalan unit-unti

Al-Qur‟an yang kemudian menjadi formula pengobatan, do‟a-do‟a dan

sebagainya yang ada dalam masyarakat muslim tertentu tetapi tidak ada di

masyarakat muslim lainnya. Karena fenomena sosial ini muncul lantaran

kehadiran Al-Qur‟an, maka kemudian diinisiasikan ke dalam wilayah studi

Al-Qur‟an pada perkembangannya kajian ini dikenal dengan istilah studi

Living Qur‟an.14

Sebenarnya gambaran secara umum mengenai fenomena sosial

masyarakat muslim merespon Al-Qur‟an tergambar dengan jelas sejak jaman

Rasulullah dan para sahabatnya. Tradisi yang muncul adalah Al-Qur‟an

dijadikan objek hafalan (tahfiz), listening (sima‟an) dan kajian tafsir

disamping sebagai obyek pembelajaran (sosialisasi) ke berbagai daerah dalam

bentuk “Majlis Al-Qur‟an” sehingga Al-Qur‟an telah tersimpan di “dada”

para sahabat. Setelah umat islam berkembang dan mendiami di seluruh

belahan dunia, respon mereka terhadap Al-Qur‟an semakin berkembang dan

bervariatif, tak terkecuali oleh umat Islam Indonesia.15

14Muhammad Mansur, “ Living Qur‟an dalam lintasan sejarah studi al

-Qur‟an”, dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 5-7

(30)

12

Kajian Living Qur‟an sebagai penelitian yang bersifat keagamaan

(religious research), yakni menempatkan agama sebagai system keagamaan,

yang meletakkan agama sebagai gejala sosial. Living Qur‟an dimaksudkan

untuk mensikapi respon masyarakat muslim dalam realita sehari-hari menurut

konteks budaya dan pergaulan sosial. Jadi apa yang dilakukan masyarakat

untuk memberikan penghargaan, penghormatan, cara memuliakan (ta‟dzim)

terhadap kitab suci yang diharapkan pahala dan barakah dari Al-Qur‟an

sebagaimana keyakinan umat islam terhadap fungsi Al-Qur‟an yang

dinyatakan sendiri secara beragam. Oleh karena itu, maksud yang dikandung

bisa sama, tetapi ekspresi dan ekspetasi masyarakat terhadap Al-Qur‟an antar

kelompok satu dengan kelompok yang lain berbeda, begitu juga antar

golongan, antar etnis, dan antar bangsa.16

Disisi lain bahwa kajian Living Qur‟an dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat

lebih maksimal dalam mengapresiasi Al-Qur‟an. Sebagai contoh, apabila di

masyarakat terdapat fenomena menjadikan ayat-ayat Al-Qur‟an „hanya‟

dibaca sebagai aktivitas rutin setelah magrib, sementara sebenarnya mereka

kurang memahami apa pesan dari Al-Qur‟an, maka kita dapat mengajak dan

menyadarkan mereka bahwa fungsi Al-Qur‟an tidak hanya dibaca tetapi perlu

(31)

13

pengkajian dan pengamalan. Dengan begitu, maka cara berpikir masyarakat

dapat ditarik kepada cara berpikir akademik, berupa kajian tafsir misalnya.17

Selanjutnya dalam mendalami kajian Living Qur‟an ini yang dicari

bukan kebenaran agama lewat Al-Qur‟an atau menghakimi (judgement)

kelompok keagamaan tertentu dalam islam, tetapi lebih mengedepankan

penelitian tentang tradisi yang menggejala (fenomena) di masyarakat dilihat

dari persepsi kualitatif. Meskipun terkadang Al-Qur‟an dijadikan sebagai

simbol keyakinan (symbolic faith) yang dihayati, kemudian diekspresikan

dalam bentuk perilaku keagamaan. Nah, dalam penelitian Living Qur‟‟an

diharapkan dapat menemukan segala sesuatu dari hasil pengamatan

(observasi) yang cermat dan teliti atas perilaku komunitas muslim dalam

pergaulan sosial-keagamaannya hingga menemukan segala unsur yang

menjadi komponen terjadinya perilaku itu melalui struktur luar dan struktur

dalam agar dapat ditangkap makna dan nilai-nilai yang melekat dari sebuah

fenomena yang diteliti.18

Seorang peneliti Living Qur‟an akan membaca sebuah fenomena

sosial dengan melihat lokasi dan momen sejarah yang menandainya. Oleh

karenanya, penelitian model ini bersifat kualitatif yang memiliki focus

terhadap banyak paradigma, para penelitinya dituntut memiliki kepekaan

tinggi terhadap nilai pendekatan, multymetode disamping tingkat komitmen

17Abdul Mustaqim” Metode penelitian living Qur‟an” dalam “ Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 69

(32)

14

dan kesabaran tinggi dan “ ketelatenan”, agar hasil tangkapan berupa data

yang bersifat fenomenologis dapat dicerna, dideskripsikan dianalisis

kemudian disimpulkan secara tepat dengan prespektif socio-Qur‟anic.19

Akhirnya diharapkan Living Qur‟an dapat melihat fakta

masyarakat sosial dalam merespons, menyikapi dan mempraktekkan sisi-sisi

Al-Qur‟an secara cultural sebagai pemahaman mereka terhadap Al-Qur‟an itu

sendiri. Dan pada titik jenuh penelitian model Living Qur‟an secara

metamorfosis, cepat atau lambat dapat menemukan format desain, pendekatan

dan metodenya. Sehingga penelitian seputar Al-Qur‟an dapat berkembang

seiring peradaban zaman.20

F. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian Lapangan (Field Research)

yang menggunakan metode diskriptif analisis yaitu menyajikan data yang

sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dari subjek penelitian di

lapangan. Informasi maupun data-data yang diperoleh yaitu dengan cara

terjun langsung ke lapangan sesuai dengan pokok penelitian ini.

1. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah:

19 Muhammad Yusuf “ Pendekatan sosiologi dalam Penelitian Living Qur‟an” dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 63

(33)

15

a) Pemimpin Tradisi Welasan Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah (Mursyid)

b) Badal (pemimpin pengganti) Tradisi Welasan Jama‟ah Ahli

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

c) Anggota Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

Subjek penelitian di atas adalah orang-orang yang akan

diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi

selama pelaksanaan Tradisi Welasan dari awal hingga akhir.

Sedangkan Objek penelitian ini yaitu Pelaksanaan Tradisi Welasan

oleh Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang

dilaksanakan di Dusun Bagongan,Getasan,Semarang.

2. Metode Pengumpulan Data

Sebagai penelitian kualitatif, maka metode pengumpulan

data yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode observasi,

wawancara, dan dokumentasi. Dari metode pengumpulan data

yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder.21 Yang mana

dari kedua data tersebut akan dianalisis untuk menemukan jawaban

yang sesuai dengan data yang akan diperoleh.

a) Observasi

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

Observasi Analisis deskriptif yang mana penulis hanya menjadi

pengamat tidak ikut serta dalam prosesi acara. Karena dalam

21

(34)

16

acara ini yang diperbolehkan mengikuti hanyalah anggotanya

saja. Sehingga gerak penulis menjadi sedikit terbatas akan

tetapi dengan adanya wawancara yang akan dilakukan maka

penulis akan memperoleh data yang valid sehingga dalam

penelitian ini tingkat kevaliditasan datanya tidak diragukan

lagi.

b) Wawancara

Dalam penelitian ini penulis memilih Informan untuk

diwawancarai upaya untuk memperoleh data informasi

mengenai pelaksanaan Tradisi Welasan oleh jam‟iyyah Ahli

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan,

Tolokan, Getasan, Semarang. Di sini penulis akan menggali

tentang sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan, bagaimana

prosesi kegiatan, motivasi, hambatan, struktur kepengurusan,

data anggota, dan data-data lain yang masih berkaitan dengan

adanya tradisi tersebut. Sebagaimana informan yang telah

dipilah dalam subjek penelitian. Adapun metode wawancara

yang penulis gunakan adalah metode tersusun, yakni penulis

telah menyusun pertanyaan terlebih dahulu sebelum akhirnya

melakukan wawancara. Dan untuk mendukung pengumpulan

data dan informasi maka penulis menggunakan alat bantu

berupa kamera, dan alat rekam serta sejenisnya.

(35)

17

Metode dokumentasi yang penulis gunakan bertujuan untuk

mengumpulkan data-data terkait dengan tema penelitian

meliputi gambar-gambar selama pelaksanaan Tradisi Welasan

berlangsung seperti foto pelaksanaan tradisi, Musholla sebagai

tempat pelaksanaan, buku pedoman pelaksanaan tradisi

welasan, dan dokumentasi ketika melakukan wawancara.

Disini penulis akan mendokumentasikan semua aktivitas yang

berhubungan dengan pelaksanaan tersebut. Metode ini

digunakan upaya menyempurnakan data-data yang diperoleh

dari metode observasi dan interview.

3. Metode Analisis

Dalam rangka menganalisis data yang penulis peroleh

selama proses pengumpulan data, penulis melakukan tiga tahapan.

Pertama penulis melakukan penyeleksian dan pemfokusan dari

catatan lapangan. Semua data yang diperoleh dalam pengumpulan

data. Dipilah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dengan harapan

agar tidak terlalu bertele-tele dalam pembahasan.

Kedua metode analisis, yaitu metode yang dimaksudkan untuk

pemeriksaan serta konseptual atas realitas yang terjadi, kemudian

diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan sehingga diperoleh

kejelasan atau realitas sebenarnya.

Ketiga penulis melakukan analisis mendalam terhadap data yang

(36)

18

tahap ini kesimpulan yang diperoleh telah sesuai dan sama ketika

penulis kembali untuk mengecek ulang terhadap hasil observasi

dan wawancara dengan informan.

Sesuai dengan metodenya diskriptif analitif yaitu

menganalisa data yang telah dideskripsikan dengan cara

memaparkan data serta menjabarkan pendapat-pendapat yang

diperoleh dari hasil observasi, interview, dan dokumentasi.

G. Sitematika Pembahasan

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi seputar latar

belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah

pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang gambaran umum lokasi pelaksanaan

tradisi welasan, sejarah berdirinya thariqah dan biografi perintis Jama‟ah Ahli

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.

Bab ketiga berisi data lapangan yang akan menjawab mengenai

rumusan masalah mengenai Tradisi Welasan meliputi bagaimana prosesi

tradisi welasan, signifikansi tradisi welasan, serta bagaimana persepsi

jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi welasan

tersebut.

Bab keempat berisi analisis data yang telah diperoleh penulis

ketika melakukan observasi

Bab kelima merupakan kesimpulan yang memuat jawaban dari

(37)

19

BAB II

GAMBARAN UMUM DUSUN BAGONGAN, BIOGRAFI PERINTIS

DAN SEJARAH BERDIRINYA THARIQAH QADIRIYYAH

NAQSYABANDIYYAH

A. Gambaran Umum Dusun Bagongan

1. Letak Geografis Dusun Bagongan

Dusun Bagongan merupakan dusun milik pemerintah Kabupaten

Semarang paling barat. Tepatnya berada diperbatasan antara Kabupaten

Semarang dan Kabupaten Magelang. Dusun Bagongan memiliki empat

titik perbatasan yaitu, berada di sebelah timur dusun Dalangan (Kab.

Magelang), sebelah barat dusun Kejalan, sebelah utara dusun Salaran, dan

sebelah barat dusun Kasiran.

Penduduk dusun Bagongan merupakan bagian Desa Tolokan yang

hanya berjarak sekitar 2 Km saja dan berada di sebelah barat dari pusat

Desa. Secara administrasi wilayah dusun Bagongan terbagi menjadi Dua

Rukun Tetangga/RT yaitu, 013,dan 014 dengan Satu Rukun Warga/RW

02. Pada tahun ini, sekitar 350 jumlah penduduk dan 100 KK. Meskipun

letaknya jauh dari pusat kota, dusun ini dilewati jalur transportasi darat

yaitu jalur alternatif Salatiga-Magelang, sehingga memudahkan

masyarakat untuk bepergian.

Di dusun Bagongan hampir 60% berupa lahan pertanian dan 40%

(38)

20

yang dominan yaitu pertanian karena memang tepat berada di kaki

gunung Telomoyo dan sebagian penduduknya bekerja sebagai petani yang

masing-masing menggarap lahannya sendiri.

2. Keadaan Pendidikan Masyarakat

Masyarakat dusun Bagongan terkait pendidikan formal pada tahun

90-an, masih sangat kurang. Masyarakat beranggapan bahwa pendidikan

itu mahal dan hanya bisa diperoleh untuk orang yang mempunyai uang

lebih, selain itu anak yang telah memperoleh pendidikan tinggi pun tetap

saja menjadi petani. Dampak dari hal tersebut mengakibatkan banyak dari

anak-anak muda yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SD

maupun SMP.

Memasuki tahun 2000-an memasuki era pendidikan yang lebih

maju, pola pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan mulai berubah.

Masyarakat mulai beranggapan bahwa pendidikan formal menjadi sebuah

kebutuhan dalam mencari bekal kehidupan. Hal ini ditandai dengan

masyarakat yang mulai menyekolahkan anaknya sejak usia dini (PAUD),

Taman Kanak-kanak (TK), dan telah ada satu orang yang melanjutkan

studinya ke perguruan tinggi.

Adapun rincian tingkat pendidikan masyarakat dusun Bagongan

dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tingkat Pendidikan Masyarakat22

No. Jenjang Sekolah Jumlah

22

(39)

21

01. Tidak tamat SD 23

02. Tamat SD 217

03. Tamat SMP 47

04. Tamat SMA 31

05 Tamat Perguruan Tinggi 2

Sumber:Data penduduk Bagongan, Desa Tolokan, Ke. Getasan.

Kab. Semarang, th 2017

3. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat

Manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantun orang lain, maka

manusia disebut makhluk sosial. Meskipun keberadaannya sangat beragam

mulai dari warna kulit, bahasa, perekonomian, dan lain sebagainya. Dari

keberagaman itu manusia dituntut untuk menghormati satu sama lain. Hal

ini dibuktikan dengan adanya gotong royong, tegur sapa, ramah-tamah

dalam bergaul dan lain sebagainya yang menjadi ciri khas masyarakat

pegunungan.

Sebagai besar masyarakat dusun Bagongan masih ada perikatan

darah antara yang satu dengan yang lain, karena mayarakat setempat

menikah dengan tetangganya sendiri. Sehingga tidak heran jika hanya

terdiri dari beberapa keluarga besar saja, adapun jalinan silaturahim masih

sangat terjaga.

Keadaan masyarakat dusun Bagongan yang 100% memeluk agama

islam, membawa dampak positif terhadap seluruh masyarakatnya. Terlihat

(40)

22

tradisi masyarakatnya bercorak islam. Masyarakat dusun Bagongan adalah

masyarakat yang bersuku jawa. Hal inilah yang menjadikan adanya

akulturasi antara budaya islam dan budaya jawa, dibuktikan dengan

adanya beberapa tradisi yang masih dilestarikan di tengah masyarakat

seperti, Upacara Pekawinan, Upacara anak dalam kandungan, Upacara

Kelahiran, Upacara Khitanan, Upacara Penguburan jenazah, dan Upacara

Sedekah bumi (Saparan).

4. Keadaan Ekonomi Masyarakat

Karena dusun Bagongan terletak di sekitar pegunungan, maka

mayoritas pekerjaan masyarakatnya sebagai petani, lebih tepatnya petani

sayuran. Bahkan hampir 60% dari seluruh wilayah di dusun Bagongan

adalah ladang yang ditanami berbagai sayuran seperti: Kolbis, slobor,

buncis, cabai, kentang, selada, lotus, terong dan lain sebagainya.

Sektor lain yang mendorong perekonomian masyarakat adalah

pedagang sayur, buruh pabrik, kuli bangunan, dan tukang kayu. Dan

dengan penghasilan yang sangat berfariatif untuk setiap bulannya. Dari

semua pekerjaan yang masyarakat lakukan itu demi untuk mencukupi

kebutuhan keluarga sehari-hari.

5. Kondisi Pemerintahan Masyarakat

Terkait dengan pemerintahan yang ada di dusun Bagongan, dusun

Bagongan berada dibawah kepemimpinan kepala Desa Tolokan. Dusun

Bagongan sendiri terdiri dari satu RW, yakni RW 02 dan membawahi dua

(41)

23

dibatasi masa jabatannya mereka dipilih oleh langsung oleh masyarakat

setempat karena dianggap mampu memimpin anggota masyarakatnya. Dan

jika ada suatu hal yang mengharuskan diganti, maka masyarakat akan

mengadakan pemilihan kembali.

Ada beberapa organisasi yang ada di Dusun Bagongan antara lain,

LKMD, PKK, Karang taruna, dan RT/RW. Selain organisasi tersebut, di

dusun Bagongan juga terdapat beberapa kelompok yang tergabung dalam

wadah organisasi Fatayat NU, dan Remaja Masjid.

B. Biografi Perintis Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

1. Asal-usul Syekh Ahmad Khatib

Syekh Ahmad Khatib lahir pada tanggal 6 Zulhijjah 1276 H

bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1860 M di Koto gadang. Ayah Ahmad

bernama Abdullatif, berasal dari Koto Gadang, sebuah desa di sebelah

barat kota Bukittinggi Sumatera Barat. Abdullatif ini bergelar Khatib

Nagari, beliau adalah saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras

(Kepala Pemerintahan) desa Koto Gadang pada masa penjajahan Belanda.

Kakeknya Abdurrahman, bergelar Datuk Rangkayo Basa. Salah satu putra

Abdurrahman lainnya bernama Sultan Muhammad Salim, beliau adalah

ayah Haji Agus Salim, seorang ulama besar dari politikus Indonesia

menjelang awal kemerdekaan. Ayah Abdurrahman ialah Tuanku Syekh

(42)

24

Ibu Ahmad Khatib bernama Limbak Urai. Berasal dari Koto Tuo

Balaigurah, kecamatan Ampek Angkek Candung, sebuah desa di sebelah

timur kota Bukittinggi. Limbak Urai mempunyai empat saudara yaitu

Gandam Urai, Muhammad Saleh Datuk Bagindo, Laras Ampek Angkek,

dan Haji Ibrahim Limbak. Urai sendiri adalah anak ketiga, kakaknya yang

bernama Gandam Urai adalah Ibu Syekh Tahir Jalaluddin, seorang ulama

besar Minangkabau. Ayah limbak Urai ialah Tuanku Nan Rancak, seorang

terkemuka pada zaman Paderi. Ibu Limbak Urai bernama Siti Zainab putri

dari Tuanku Bagindo Khatib, pembantu Regent (Bupati) Agam.23

2. Guru dan Murid Syekh Ahmad Khatib

Di makkah beliau Syekh Ahmad Khatib belajar ilmu-ilmu islam

termasuk ilmu tasawuf, dan mencapai posisi yang sngat dihargai di antara

teman-teman sejawatnya, dan kemudian menjadi seorang tokoh yang

berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah:24

a. Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris al-fantani (w 1843)

b. Syekh Syams al-Din

c. Syaikh Abd al-Arsyad al-banjari (w 1812)

d. Syaikh Abd al-Shamad al-palimbani

e. Syaikh Muhammad Shalih Rays

f. Syaikh „Umar bin Abd al-Karim bin Abd al-Rasul al-Attar (w

1833)

23

HAMKA, Ayahku, (Jakarta: Djajamurni, 1967), hlm 230 24

(43)

25

g. Syaikh abd al-Hafizh Ajami‟ ( w 1819)

h. Syaikh Bisri al-Jabati

i. Sayyid Ahmad al-Marzuqi

j. Sayyid Abd Allah bin Muhammad al-Mirghani

k. Utsman bin hasan al-Dimyati (w 1849)

Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari

beberapa daerah dikawasan Nusantara, dan beberapa orang khalifah

diantaranya adalah sebagai berikut:25

a. Syaikh Abd al-Karim dari Banten

b. Syaikh Tolhah di Cirebon

c. K. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura

d. Muhammad Ismail ibn Abd al-Rahim dari Bali

e. Syaikh Yasin dari Kedah (Malaya)

f. Syaikh Haji Ahmad Lampung

g. Muhammad Ma‟ruf ibn Abdallah Khatib dari Palembang

3. Karier Syekh Ahmad Khatib

Untuk pendidikan yang ditempuhnya mulai dari sekolah rendah

dan sekolah guru di kota Bukittinggi yang didirikan oleh pemerintah

Belanda26

25

Snouk Hurgronje, Adviezen III,1874 26

(44)

26

Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1286 M, beliau pergi ke Makkah

bersama Ayahnya yang kemudian menetap di Makkah untuk mempelajari

agama islam disana.27

Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam

menuntut pelajaran, baik sewaktu di tanah air maupun di Makkah. Ilmu

pengetahuan yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu agama dan ilmu umum

seperti ilmu falak, ilmu hisab, ilmu aljabar dan sebagainya.28 Dalam waktu

sembilan tahun, beliau berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan

ulama-ulama Makkah yang terkemuka..

Setelah menyelesaikan studinya, Ahmad Khatib mulai mengajar

dirumahnya untuk kalangan keluarga, materi yang diajarkannya adalah

ilmu agama dari tingkatan rendah sebagai seorang pemula. Nama Khatib

makin lama makin dikenal dan muridnya semakin banyak.

Kemudian Syakih Shaleh (mertuanya) beruasaha agar Syaikh

Ahmad Khatib bisa mengajar di Masjidil Haram, maka mulailah beliau

mengajar disana, ditempat yang hanya guru-guru ternama saja yang

dibolehkan mengajar di Masjidil Haram. Selanjutnya, namanya mulai

terkenal sebagai ulama besar, yang kebesaran namanya sampai ke tanah

air, sehingga menarik minat putra-putra Minangkabau untuk menuntut

27

Sidi Ibrahim Bochari, PengaruhTimbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta:Gunung Tiga, 1981), hlm, 77

28

(45)

27

ilmu kepada beliau. Murid-muridnya bukan saja berasal dari Minangkabau

tetapi juga berasal dari daerah lain.

Di abad 20, Ahmad Khatib bukan hanya dikenal sebagai guru di

Masjidil haram, tetapi juga sebagai imam dan khatib dari Madzhab

Syafi‟i. Hal ini merupakan penghargaan dari Syarif „awn al-Rafiq,

penguasa Makkah saat itu. Ahmad Khatib pernah menegur kesalahan

bacaan Syarif „Awn al-Rafiq ketika mengimami shalat Magrib di Istana,

hal ini membuatnya kagum kepada Ahmad Khatib karena kefasihan

ibadahnya dalam bacaan shalat dan keberaniannya untuk membenarkan

suatu kekeliruan meskipun kecil, maka setelah Syarif „Awn al-Rafiq

mengijinkan Ahmad Khatib sebagaimam dari madzhab Syafi‟i di Masjidil

Haram dan menambah jabatannya sebagai khatib disana. Sejak itu

namanya ditambah dengan “Khatib “ dibelakang nama kecilnya Ahmad.29

Syekh Ahmad Khatib telah mencapai puncak popularitas di dunia

islam saat itu. Di Turki, nama besar Ahmad Khatib sebagai ilmuan telah

menembus masuk kalangan Istana. Beliau dianugerahi gelar “ Bey Tunis”

oleh penguasa islam Turki. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang

berjasa besar di bidang ilmu pengetahuan, kalau masa sekarang sama

tingkatannya dengan” Doktor honoris Causa”.30

29

Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib, Ilmuan Islam di Permulaan Aabad ini,(jakarta:Panjimas, 1983), hlm. 29

30

(46)

28 C. Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Thariqah

Sejarah berdirinya Jam‟iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di

dusun Bagongan tidak bisa lepas dari sejarah awal munculnya Jam‟iyyah

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah itu sendiri. Untuk itu, penulis akan

lebih dahulu menuliskan Sejarah munculnya Jam‟iyyah Thariqah secara

singkat.

1. Sejarah singkat munculnya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah

Secara historis tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah adalah

sebuah tarekat yang merupakan hasil penggabungan dari dua tarekat

besar, yaitu Tarekat Qadiriyyah yang didirikan syekh Abd Qadir

al-Jailani (w. 561 H/1166 M di Baghdad) dan Tarekat Naqsyabandiyyah

yang didirikan oleh Syekh Baha al-Din al-Naqsyabandi dari Turkistan

(w. 1399 m di Bukhara ).31

Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi

sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat induknya.

Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadhah dan

ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang seperti ini memang

suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah,32 seperti

31

Zulkarni Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya, dalam Harun Nasution, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah: sejarah, Asal-usul dan perkembangannya (Tasikmalaya:IAILM, 1990), hlm. 83

32

(47)

29

manaqiban33 dan dziba‟an34 dalam Tarekat Qadiriyah dilakukan pula

dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyahh (TQN) adalah sebuah

tarekat yang dicetuskan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas

(1803-1875), seorang ulama besar di Nusantara asal Sambas, Kalimantan

Barat, yang telah lama menetap, bahkan sampai wafat di Mekah.

Menurut Bruneissen, Syekh Ahmad Khatib Sambas mulai

mengajarkan Tariqah Qadiriyah naqsyabandiyah ini sejak pertengahan

abad ke-19 M.35 Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat

Naqsyabandiyah.36 Akan tetapi ia hanya menyebutkan silsilah

tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah.37 Sampai sekarang belum

diketemukan informasi secara pasti dari sanad mana Syekh Ahmad

Khatib menerima bai‟at Tarekat Naqsyabandiyah, tetapi yang jelas

pada saat itu telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di

33Manaqib

merupakan pembacaan sejarah Syekh Abd al-Qadir al-Jailani yang didahului pembacaan tahlil.

34 Dziba‟an

adalah pembacaan shalawat atas Nabi Muhammad SAW dengan kalimat-kalimat yang baik.

35

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat ( Bandung: Mizan, 1995), hlm 214

36

Zurkarnain Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya, dalam Harun Nasution, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah: sejarah, Asal-usul dan perkembangannya (Tasikmalaya:IAILM, 1990), hlm. 83

37

Dari berbagai silsilah yang penulis dapatkan disemua cabang, silsilah tarekat ini

bersumber pada suatu “sanad” dari Syekh Abd Qadir Jailani. Lihat misalnya, Muhammad Usman

(48)

30

Makkah dan Madinah.38 Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai‟at Tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut,

yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan

pada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Nusantara.39

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas

dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat

saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.

Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara),

sedangkan Tarekat Naqsyabandiyyah menekankan model dzikir sirri

(diam), atau dzikir lathif.40 Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan

cara yang lebih efektif dan efisien.

Masuknya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke Mekah

diterangkan oleh beberapa ilmuwan, seperti Snouck Hurgronje

memberitakan ketika ia belajae di Mekkah, ia melihat terdapat markas

besar (ribath) Tarekat Naqsyabandiyah di kaki gunung jabal Qais.41

Demikian pula menurut Trimingham ada seorang Syekh dari

Minangkabau dibai‟at di Makah pada tahun 1845.42

Zamaksyari dhofierr, Tradisi Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai

(Jakaerta:LP3ES, 1985) hlm. 141 42

(49)

31

Bruinessen baik Tarekat Qadiriyah maupun Naqsyabandiyah dibawa

ke Makkah melalui para pengikutnya dari India.43

Sebagai seorang mursyid, Syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas

untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.

Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu,

bagi yang telah mencapai derajat mursyid.44 Namun seperti yang

diterangkan dalam kitabnya Fath al-Arifin, sebenarnya Tarekat ini

tidak hanya merupakan modivikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi

merupakan penggabungan dari lima ajaran tarekat yaitu, Tarekat

Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anafisah, Junaidiyyah, dan muwafaqah.45

Hanya saja yang paling dominan ajaran dari Tarekat Qadiriyah dan

naqsyabandiyah, maka dinamai Tarekat Qadiriyah wa

Naqsyabandiyah.

Penamaan tarekat ini tidak telepas dari sikap rendah diri (tawadlu)

dan mengagungkan guru (ta‟zim) Syekh Ahmad Khatib kepada pendiri

dua tarekat tersebut. Sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekatnya

itu pada dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual

tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamai dengan Tarekat

Khatibiyyah atau Tarekat Sambasiah. Karena memang hasil dari

43

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat ( Bandung: Mizan, 1995), hlm. 72-73

44

Amir al-Najjar, Al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr (Kairo: Maktabah Anjlu al-Misriyyah), hlm. 115

45

Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh=tokohnya di Nusantara

(50)

32

ijtihadnya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan beberapa ajaran

tarekat menjadi satu Tarekat yang mandiri.46

Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dan khalifah dari

beberapa daerah di Nusantara. Di antara khalifah-khalifahnya yang

terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai

sekarang yaitu, Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Talhah

al-Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbullah al-Maduri.47 Sedangkan Khalifah-khalifah yang lain seperti: Muhammad Isma‟il ibn Abdul

Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari kedah Malaysia, Syekh H. Ahmad

lampung dari Lampung Sumatera Selatan, dan Muhammad Ma‟ruf ibn

Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu tersebar luas

sejarah perkembangan dalam tarekat ini.48

Syekh Muhammad Isma‟il dari Bali menetap dan mengajar di

Makkah. Sedangkan Syekh Yasin dari Kedah Malaysia menyebarkan

tarekat di Mepwah Kalimantan Barat. Syekh H. Ahmad mengajar

tarekat di Lampung dan Syekh Muhammad Ma‟ruf mengajar tarekat di

Palembang. Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di

46Marwan. Salahudin, 2016.”

Amalan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah Sebagai Proses Pendidikan Jiwa Di Masjid Babul Muttaqin Desa Kradenan Jetis Ponorogo

Esoterik: Jurnal Akhlak Tsawuf,. Volume 2 no 1, hlm 366 47

Dadang ahmad, Tarekat Dalam Islam Spritualitas Masyarakat Modern ( Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 100

48

(51)

33

daerah Sambas dilakukan oleh kedua Khalifahnya, yaitu Syekh

Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa‟ad al-Sambasi.49

Mugkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh

sebuah lembaga yang permanen, seperti pesantren-pesantren di Jawa,

maka penyebaran tarekat ini di luar Jawa kurang begitu berhasil.

Sehingga sampai sekarang ini, keberadaanya tidak begitu dominan.

Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, kepemimpinan Tarekat

Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syekh

Abdul Karim al-Bantani, dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib

menerima kemurssyidannya. Tetapi setelah Syekh Abdul Karim

meninggal, para Khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan

masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada

kemursyidan yang lain.50

2. Sejarah menyebarnya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan

Dusun Bagongan merupakan dusun yang dikenal akan dusun yang

mengenal agama islam tertua dibandingkan dengan tiga dusun yang

saling bersandingan yaitu, dusun Salaran, dusun Kejalan, dan dusun

Dalangan. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya warga yang

masuk kedalam Thariqah.

49

Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara

(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 181 50

(52)

34

Mula-mula awal masuknya ajaran Thariqah di dusun Bagongan

ketika sudah mulai mengenal islam, terutama bagi orang yang sudah

lanjut usia, mereka telah mendengarkan banyak ilmu dari para Kyai

sekitar. Dari beberapa Kyai itu menganjurkan agar warga dusun

Bagongan unuk terus mengaji dan mengaji. Sampai pada akhirnya

bertemulah dengan Simbah Kyai Munawir dari Tingkir, Salatiga. Dari

pertemuan tersebut menghasilkan sebuah pandangan bahwasanya

menuntut ilmu itu sangatlah wajib bagi semua orang, tidak terlepas

juga bagi orang yang sudah memasuki usia lanjut. Akan tetapi karena

telah memasuki usia yang sudah tidak muda lagi maka sebagian orang

merasa sulit apabila harus mengaji mulai dari nol, mengaji kitab

dasar-dasar dan juga kitab kuning.

Dari situlah Simbah Kyai Munawir mengatakan bahwasanya

utama-utamanya orang yang sudah tua untuk ikut mengaji dan

mengamalkan ajaran Thariqah. Selang beberapa hari setelah mengenal

apa itu ajaran Thariqah, tujuh orang warga dusun Bagongan datang

kepada Simbah Kyai Munawir meminta untuk bergabung masuk

menjadi anggota Thariqah, dan kemudian proses masuknya tersebut

ditandai dengan adanya bai‟at.51 Ketujuh orang tersebut adalah Mbah Dinomo (79 th ), Mbah Supomo (alm), Mbah Salimin (alm), Mbah

Paidi (alm), Mbah Urip (alm), Mbah Hj. Rumi ( 68 th), dan Simbah Hj.

51Bai‟at

(53)

35

Tugi (75 th ). Hingga saat ini telah 27 tahun mengikuti ajaran Thariqah

Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.

Setelah dari warga ada yang telah bergabung menjadi anggota

maka lambat laun sebagian dari warga berminat dan akhirnya ikut

bergabung, dan sampai saat ini telah ada sekitar 60 Jama‟ah yang

sebagian besar diikuti oleh warga yang telah memasuki usia lanjut.52 Akan tetapi mereka masuk Jama‟ah dengan Mursyid yang berbeda.

Setelah ke-tujuh orang yang masuk Thariqah berbai‟at kepada Simbah

Kyai Munawir dari Tingkir, Salatiga. kemudian para jama‟ah lain yang

menyusul menjadi anggota Thariqah di Bai‟at oleh Simbah Kyai

Mukhlasin (alm) atas permintaan dari Simbah Kyai Munawir, yang

mana keduanya masih memiliki hubungan darah dan masih

bersaudara. Dengan alasan jarak agar tidak terlalu jauh antara (Dusun

Bagongan-Keditan) dengan (Dusun Bagongan- Tingkir), karena untuk

mempermudah perjalanan dan juga Simbah Kyai Munawir akan fokus

menerima pengikut baru anggota jam‟iyyah Thariqah Qadiriyyah

Naqsyabandiyyah yang dari sekitar daerahnya. Karena Simbah Kyai

Munawir masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Simbah Kyai

Mukhlasin, dan juga dengan menerima ajaran dari mursyid yang sama

yakni Simbah Kyai Ya‟qub yang berasal dari daerah Grabag,

Magelang, maka antara metode yang digunakan dan amalan-amalan

Gambar

Tabel Nama

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Data dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang menyebut beberapa istilah yang mendekati kata istri dalam al-Qur‟an,yang lebih spesifik dalam

Metode maudhu‟i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al- Qur‟an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-

Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada perhitungan beban kerja mental mahasiswa Universitas XYZ Yogyakarta jurusan Teknik Industri

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kajian al-Qur‟an adalah mentelaah atau meneliti mengenai ayat-ayat al-Qur‟an dan yang berkaitan dengannya seperti ilmu-ilmu

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB

Maerupakan bentuk ujian test hasil hafalan yang didapat santri selama berada di kelas tahfidz tersebut. Pelaksanaannya berdasarkan cepat atau lambatnya santri dalam

Mencintai harta merupakan sebuah tabiat manusia. Hal ini tidak akan menjadi sebuah masalah jika kecintaannya terhadap harta tidak menyebabkan seseorang menjadi