PEMBACAAN AYAT-AYAT AL-QUR‟AN DALAM TRADISI
WELASAN OLEH
JAM‟IYAH AHLI THARIQAH QODIRIYYAH
NAQSYABANDIYYAH
(Studi
Living Qur‟an
di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Al-
Qur‟an
dan Tafsir (S.Ag)
OLEH:
ANNISA FITRI
215-14-008
PROGRAM STUDI ILMU AL-
QUR‟AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
v
MOTTO
«
رُ خَ لَّ خَ خَ خَآ مْ رُ مْا خَ لَّ خَ خَيْ مْ خَ مْ رُ رُ مْيْ خَ
»
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar
Al-Qur’an dan mengajarkannya
vi
PERSEMBAHAN
Untuk kedua Orangtuaku tercinta,
Para dosenku, adik-adikku, sahabat-sahabat seperjuangan
IAT
’14 yang setiap saat berbagi semangat dan
kebahagiaan, teman-temanku di manapun kalian berada,
almamater IAIN Salatiga , dan teruntuk seseorang yang
sedang berjuang , yang selalu menyebut namaku didalam
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا
alif tidak dilambangkan tidak dilambangkanب
ba‟ b Beت
ta‟ t Teث
ṡa ṡ es (dengan titik di atas)ج
jim j Jeح
ḥa‟ ḥ ha (dengan titik di bawah(خ
kha‟ kh ka dan haد
dal d Deذ
żal ż zet (dengan titik di atas)ر
ra‟ r Erز
zal Z zetس
sin S Esviii
ص
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)ض
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)ط
ṭa‟ ṭ te (dengan titik di bawah)ظ
ẓa‟ ẓ zet (dengan titik di bawah)ع
„ain „ koma terbalik (di atas)غ
gain g geؼ
fa‟ f efؽ
qaf q qiؾ
kaf k kaؿ
lam l elـ
mim m emف
nun n enك
wawu w weق
ha‟ h haء
hamzah ` apostrofix
B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap
ةددعتم
Ditulis Muta‟addidahةدع
Ditulis „iddahC. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h
a. Bila dimatikan ditulis h
ةمكح
Ditulis Ḥikmahةيزج
Ditulis Jizyah(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki
lafal aslinya)
b. Bila diikuti kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.
ءايلكلاا ةمرك
Ditulis Karâmah al-auliyā`c. Bila Ta‟ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah
ditulis t.
ةرطفلا ةاكز
Ditulis Zakat al-fiṭrahD. Vokal Pendek
__َ
_
Fatḥah Ditulis A__ِ
_
Kasrah Ditulis I__ُ
x
E. Vokal Panjang
Fatḥah bertemu Alif
ةيلىاج
Ditulis ĀJahiliyyah
Fatḥah bertemu Alif Layyinah
ىسنت
Ditulis ĀTansa
Kasrah bertemu ya‟ mati
يمرك
Ditulis ĪKarīm
Ḍammah bertemu wawu mati
ضكرف
Ditulis ŪFurūḍ
F. Vokal Rangkap
Fatḥah bertemuYa‟ Mati
مكنيب
Ditulis AiBainakum
Fatḥah bertemu Wawu Mati
ؿوق
Ditulis AuQaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
متنأأ
Ditulis A`antumتدعأ
Ditulis U‟iddatxi
H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah
ditulis dengan menggunkan “al”
فارقلا
Ditulis Al-Qur`ānسايقلا
Ditulis Al-Qiyāsءامسلا
Ditulis Al-Samā`سمشلا
Ditulis Al-SyamsI. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
ضكرفلا لكذ
Ditulis Żawi al-furūḍxii
KATA PENGANTAR
الله الرحمن الرحيم مسب
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah
mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Pembacaan Ayat-ayat Al-Qur‟an dalam
Tradisi Welasan oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
(Studi Living Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang) ini. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi agung Muhammad SAW
semoga kita termasuk umat yang mendapat syafaatnya di akhirat nanti. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari
berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Dr. Benny Ridwan, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab
dan Humaniora IAIN Salatiga.
2. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M.Ag, selaku Ketua Prodi Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir beserta jajarannya yang tak pernah menyerah memotivasi kami
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. M. Ghufron Ma‟ruf, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang dengan
kesabarannya berkenan memberikan bimbingan, petunjuk dan saran
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Kedua orangtuaku tercinta ( Bapak Tumari dan ibu Supriyati) yang tak
xiii
mendo‟akan dalam setiap langkahku. Beribu terimakasih mungkin tak
cukup untuk membalas jasamu, semoga kelak putrimu ini dapat
membanggakanmu.
5. Teman-teman seperjuangaan IAT‟ 14, Abrar Azfar al-Akram, M. Nur
Hasan Mudda‟i, M. Sayfun Nuha, M. Latif, Syamsul Arifin, M. Nur
Rochim, Trisna Aditiya Kusuma, Fissabil Ibrohim, Siti robikah, Novita
Intan Purwasih, Wahyu Nur Hidayah, Lailatul Khodariyah, Ayusta Gilang
Wanodya, Fathimah, dan Sahabat karibku Neny Muthiatul Awwaliyah,
terimakasih keakraban,dan kekompakannya selama ini.
6. Keluarga besar IAT, baik alumni maupun adik tingkat yang telah berkenan
mendengarkan keluh kesah selama proses penelitian skripsi ini.
7. Keluarga besarku terutama ( Mbahkung Jumari dan Mbah Seneng) yang
juga selalu memberi dukungan, motivasi dan semua do‟a-do‟anya.
8. Bapak Ahmad Jauhari selaku mursyid pimpinan Jam‟iyyah Ahli Thariqah
Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, Bapak Sulimin, Bapak Syamsudi, dan
segenap anggota Jam‟iyyah Thariqah yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu yang telah berkenan menjadi informan dalam penelitian skripsi ini.
9. Keluarga Besar Alumni Kholaf Darul Falah di IAIN Salatiga
10.Teman-teman KKN di Surodadi, Magelang yang telah banyak memotivasi,
mengkritik dan memberi saran.
11.Dan tak lupa pula kepada pihak-pihak terkait lain yang tak sempat penulis
xiv
Teriring do‟a, semoga segala kebaikan semua pihak yang
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini diterima di sisi Allah SWT.
Dan mendapat pahala yang dilipat gandakan. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kebaikan dan
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Salatiga, 22 Maret 2018
Penulis,
Annisa Fitri
xv
ABSTRAK
Fitri, Annisa. 2018. Pembacaan Ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Tradisi Welasan oleh
Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah ( Studi Living Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang). Skripsi. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Kata kunci: Ayat-ayat Al-Qur‟an, Tradisi welasan, Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, Living Qur‟an.
Tradisi welasan merupakan sebuah tradisi rutinan yang dilaksanakan setiap tanggal 10 ke atas dalam bulan hijriyah oleh seluruh anggota Jam‟iyyah Ahli thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun bagongan. Yang mana tujuan dari pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan adalah untuk meminta welas asih kepada Allah. Untuk mendalami kajian Living Qur‟an dalam tradisi welasan ini, peneliti menemukan tiga permasalahan yaitu: prosesi pelaksanaan tradisi welasan, signifikansi tradisi welasan, dan persepsi jama‟ah terhadap ayat-ayat yang dibaca. Kemudian penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Pertama, Bagaimana prosesi pelaksanaan tradisi welasan oleh Jam‟iyyah
Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang? Kedua, Bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi Jam‟iyyah Ahli
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang?
Ketiga, Bagaimana persepsi Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang terhadap ayat-ayat yang dibaca dalam tradisi welasan.
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah penelitian lapangan (Field research). Sumber utama dalam penelitian ini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi welasan yang dilakukan di dusun Bagongan, Getasan, Tolokan. Untuk pengumpulan datanya penulis menggunakan metode Observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Setelah melakukan analisis yang mendalam, penulis menemukan tiga jawaban dari rumusan masalahnya yaitu: Pertama, Praktik prosesi pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan yang dimulai dengan Niat, membaca al-Fatihah, tahlil, ḥasbunallah wa ni‟ma al-wakil, La Ḥaula wa la quwwata illa billah, Ya Latif, al-Waqi‟ah, Manaqib, Do‟a, dan diakhiri dengan Mauidhah hasanah. Kedua, Signifikansi tradisi welasanyang diungkapkan oleh para jama‟ah adalah sebagai: amalan yang baku, amalan penyempurna, dan amalan istimewa. Jawaban Ketiga persepsi anggota jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yaitu dianggap sebagai; surah yang agung, pendatang rizki, dan pemberi ketenangan jiwa bagi para pengamalnya.
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL... i
NOTA PEMBIMBING... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISANDAN KESEDIAAN UNTUK DIPUBLIKASIKAN ... iv
MOTTO... v
PERSEMBAHAN... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI... vii
KATA PENGANTAR... xii
ABSTRAK... xv
DAFTAR ISI... xvi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7
D. Telaah Pustaka... 8
E. Kerangka Teori... 10
F. Metode Penelitian... 14
G. Sistematika Pembahasan... 18
xvii
2. Keadaan pendidikan Masyarakat... 20
3. Keadaan Sosial Budaya masyarakat... 21
4. Keadaan Ekonomi Masyarakat... 22
5. Kondisi Pemerintahan Masyarakat... 22
B. Biografi Perintis Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah 1. Asal Usul Syekh Ahmad Khatib... 23
2. Guru dan Murid Syekh Ahmad Khatib... 24
3. Karier Syekh Ahmad Khatib... 25
C. Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah 1. Sejarah Singkat Munculnya Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah... 28
2. Sejarah Menyebarnya Jam’iyyah Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan... 33
a. Kegiatan Rutinan... 37
b. Struktur Kepengurusan... 39
c. Data Anggota... 41
BAB III: TINJAUAN UMUM TRADISI WELASAN A. Sejarah Tradisi Welasan... 45
1. Praktik Tradisi Welasan a) Waktu dan Tempat ... 47
xviii
c) Adab Melakukan Tradisi Welasan... 48
d) Prosesi Tradisi Welasan... 50
e) Properti Yang Digunakan... 57
f) Motivasi Pelaksanaan Tradisi Welasan... 59
g) Hambatan Pelaksanaan Tradisi Welasan... 62
B. Signifikansi Tradisi Welasan Oleh Jam’iyyah Ahli Thariqah Qadariyyah Naqsyabandiyyah Dusun Bagongan... 63
C. Persepsi Jam’iyyah Terhadap Ayat-ayat Yang Dibaca Dalam Tradisi Welasan... 66
BAB IV: ANALISIS DATA A. Prosesi Pelaksanaan tradisi welasan... 71
B. Signifikansi Tradisi Welasan... 75
C. Persepsi Jam’iyaah Terhadap Ayat Yang Dibaca... 76
BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan... 78
B.Saran... 80
DAFTAR PUSTAKA... 82
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... 84
LAMPIRAN A. Dokumentasi... 85
B. Nama-nama Informan... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan
suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun
sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi Al-Qur‟an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada
bacaan semacam Al-Qur‟an yang dibaca ratusan juta orang yang tidak
mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan
dihafal huruf demi huruf oleh seorang dewasaa, remaja, dan anak-anak.1
Tiada bacaan seperti Al-Qur‟an yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang
tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua
dituangkan dalam jutaan jilid buku, genarasi demi generasi. Kemudian apa
yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua
mengandung kebenaran. Al-Qur‟an layaknya sebuah permata yang
memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.2
Berinteraksi dengan Al-Qur‟an bagi seorang muslim tidaklah
sebagai hal yang baru lagi, melainkan hal yang sudah seharusnya dilakukan,
1
Shihab,Quraish, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,(Bandung:Mizan,1996),hlm 3
2
2
baik berinteraksi yang dilakukan secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.
Karena semakin sering kita berinteraksi, maka semakin banyak hal-hal dan
pengalaman yang akan kita dapat.
Dalam lintasan sejarah Islam, bahkan pada era yang sangat dini,
praktek memperlakukan Al-Qur‟an atau unit-unit tertentu dari Al-Qur‟an
sehingga bermakna dalam kehidupan praksis umat pada dasarnya sudah
terjadi. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, sebuah masa yang paling
baik bagi Islam, masa dimana semua perilaku umat masih terbimbing wahyu
Nabi secara langsung, praktek semacam ini konon dilakukan oleh Nabi
sendiri. Menurut laporan riwayat, Nabi pernah menyembuhkan penyakit
dengan ruqyah lewat surat Fatihah, atau menolak sihir dengan surat
Al-Mu‟awwizatain.3
Kalaulah praktek semacam ini sudah ada pada zaman Nabi, maka
hal ini berarti bahwa Al-Qur‟an diperlakukan sebagai pemangku fungsi diluar
kapasitasnya sebagai teks. Sebab secara semantis surat Al-Fatihah tidak
memiliki kaitan dengan soal penyakit tetapi digunakan untuk fungsi diluar
semantisnya. Barangkali lantaran ini pula maka mushaf-mushaf tertentu tidak
menjadikan surat-surat ini sebagai dari teks Al-Qur‟an.4 Sebagaimana seperti
yang diungkapkan oleh Nasr Hamid Ab Zayd (w. 2010), Beliau menyebutnya
“The Qur‟an as a living phenomenon, Al-Qur‟an itu seperti alat musik yang
dimainkan oleh para pemain musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu
3
Symasuddin,Syahiron,Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan
Hadis,(Yogyakarta,Teras,2007),hlm 3 4
3
seperti note musik (ia diam).5 Artinya teks Al-Qur‟an akan selalu diam tanpa
adanya campur tangan manusia sebagai penggerak.
Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pula
praktik-praktik pemberlakuan Al-Qur‟an dalam lingkungan masyarakat.
Praktik tersebut muncul dengan berbagai macam kegiatan, acara ataupun
dalam sebuah tradisi. Praktik tersebut bisa dilakukan secara individual
maupun secara kelompok. Yang mana inti dari praktik tersebut adalah
menghidupkan Al-Qur‟an dalam kehidupan masyarakat baik secara pribadi
maupun secara umum. Sehingga dari itu masyarakat benar-benar merasakan
bahwa Al-Qur‟an itu hidup bukan hanya sebagai teks saja.
Banyak praktik kegiatan penggunaan Al-Qur‟an yang telah muncul
di lingkungan masyarakat yang sudah lama menjadi rutinitas kegiatan, antara
lain, Yasinan, Tahlilan, Mujahadah, Pembacaan surat-surat tertentu dalam
suatu acara misalnya ( Pembacaan Surah Maryam dan Surah Yusuf dalam
acara 7 bulanan, Pembacaan Surah Yasiin dan Al-Kahfi setiap malam jum‟at,
Pembacaan Surah Jin bagi seseorang yang akan menempeti rumah baru,
Pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an untuk pengobatan, penuliskan ayat-ayat
tertentu yang dipercaya sebagai jimat, dan lain sebagainya.) dan dalam
tradisi-tradisi lain yang di dalamnya tidak terlepas dari pembacaan ayat-ayat
dari Al-Qur‟an.
Seperti halnya tradisi yang dilakukan oleh Jam‟iyyah Ahli
Thariqah Qodiriyyah Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan,
5
4
Semarang. Jam‟iyyah Ahli Thariqah ini merupakan suatu organisasi sosial
keagamaan Nahdlatul Ulama yang berada di Dusun Bagongan. Organisasi ini
dirintis oleh KH Mukhlasin (alm)6 yang telah berdiri sejak kurang lebih 27
tahun yang lalu, Anggota dalam tradisi ini diikuti oleh orang-orang yang
benar-benar ingin memperdalam agama Islam dengan tujuan memiliki guru
dalam berdzikir khususnya dan dalam beribadah umumnya. Keanggotaan
dalam organisasi ini sifatnya sama sekali tidak memaksa (bersifat kesadaran
dan kemauan diri). Di dalam organisasi ini juga terdapat beberapa amalan
baik secara individu maupun kelompok yang harus dijalankan oleh semua
anggota yang telah mengikutinya, salah satunya adalah tradisi ” Welasan”,
dinamakan tradisi Welasan karena agar anggota Jama‟ah Thariqah yang ikut
membaca amalan tersebut mendapat Kawelasan Dari Gusti Allah7. Tradisi ini
dilaksanakan setiap satu bulan sekali setiap tanggal sepuluh keatas dalam
bulan Hijriah. Pelaksanaan tradisi ini dipimpin oleh seorang Badal8. Badal
disini merupakan orang pilihan Kyai yang dipercaya untuk memimpin
jalannya tradisi welasan, sekaligus sebagai kepala pimpinan Jam‟iyyah
Thariqah di dusun Bagongan. Adapun ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibacakan
antara lain, Tahil, Ḥasbunallah Wa ni‟ma Al-wakiil9, La Ḥaula Wa La
6 Guru Jama‟ah Thariqah di
dusun Bagongan,Getasan,Semarang dari dusun Keditan,Ngablak,Magelang
7 Wawancara dengan Bapak Sulimin (ketua pimpinan jama‟ah Thariqah di dusun
Bagongan.) pada 26 Februari 2018. (Kawelasan adalah basa jawa yang mempunyai arti ”
Mendapatkan Rahmat Allah, agar kelak hidupnya selamat di Dunia dan Akhirat.) 8
Badal(Pengganti Kyai yang telah di tunjuk dan dipercaya oleh guru KH Mukhlasin untuk memimpin jalannya tradisi Welasan tersebut.)
9
5
Quwwata Illa Billahi, Ya Lathif10, membaca surat Al-Waqi‟ah, Manaqib.11 Kemudian acara tersebut ditutup dengan do‟a, yang kemudian dilanjutkan
dengan siraman Rahani yang disampaikan langsung oleh Mursyid atau yang
menggantikannya. Karena dalam hal ini Mursyidnya telah meninggal, maka
kepemimpinan ke-Mursyidannya digantikan oleh adik kandungnya yakni
Bapak KH Zaenal Arifin.
Praktik pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi Welasan
tersebut merupakan kegiatan untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Khalik
Allah SWT. Organisasi tersebut dijadikan sebagai wadah oleh sebagian
masyarakat dusun Bagongan untuk mempermudah menjalankan ibadah
terutama bagi mayoritas masyarakat dusun Bagongan yang telah memasuki
usia lanjut. Di dalam organisasi ini seseorang yang telah menjadi anggota
akan diajari bagaimana cara beribadah yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad
SAW. selain itu semua anggota juga akan diajari beberapa amalan-amalan
untuk lebih merasa dekat dengan Allah SWT.12
Untuk kesanadan ajarannyapun sudah tidak perlu diragukan lagi,
karena ajaran yang diamalkan dalam tradisi ini sudah turun-temurun dari para
kyai yang langsung diajarkan kepada muridnya yang dalam hal ini adalah
sang Mursyid. Dahulu Mbah Kyai Mukhlasin (Mursyid di dusun Bagongan)
menerima ajaran thariqah ini dari Simbah Kyai Sofan, sering juga dipanggil
10
Salah satu nama dari Asmaul Husna 11
Khusus dibaca oleh badal dan Jama‟ah hanya mendengarkan saja
12 Hasil wawancara dengan Ibu Seneng (salah satu Anggota Jama‟ah Thariqah
6
dengan sebutan Mbah Ya‟kub dari Grabag Magelang. Kemuadian Mbah
Ya‟kub ini belajar kepada Simbah Kyai haji Umar yang berasal dari
Payaman, Magelang. Sebelum akhirnya menyebarluaskan ajaran Thariqah ini
Mbah Umar dulunya belajar dengan Simbah Kyai Haji Nawawi dari Berjan
Purworejo, yang mana telah menjadi kiblat untuk para Jam‟iyyah Ahli
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah khususnya di Jawa Tengah.13
Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan Jama‟aah
Thariqah dan sedikit ulasan di atas, penulis menemukan beberapa keunikan
yang menonjol dalam tradisi Welasan ini karena didalamnya terdapat bacaan
Tahlil, Surah Waqi‟ah, Qs Al-Imran ayat 173 sebanyak 11X, kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan Manaqib dan diakhiri dengan Siraman rahani
(Mauidhah hasanah) serta do‟a. Namun sayangnya dalam pelaksanaan tradisi
ini hanya boleh diikuti oleh anggota jama‟ah saja tidak terbuka untuk umum.
Bertolak belakang dari tujuan tradisi welasan itu sendiri yang pada
dasarnya adalah memohon kawelasan dari sang Khalik, Allah SWT dengan
membacakan ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai lantarannya, namun sepengetahuan
peneliti baik secara sadar maupun tak sadar dari para anggota jama‟ah
Thariqah maupun Badal kadang masih bertindak yang tidak mencerminkan
sikap welas asih sebagaimana tujuan dari diadakannya tradisi welasan. Baik
welas asih terhadap masyarakat umum ataupun terhadap sesama anggota
jama‟ah thariqah.
13Wawancara dengan Bapak Sulimin ( pimpinan jama‟ah Thariqah di dusun Bagongan)
7
Dari beberapa keunikan bacaan yang digunakan dalam tradisi
welasan, dan juga fakta di atas, penulis tertarik untuk meneliti pembacaan
ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Tradisi Welasan tersebut. Dan penulis
mengangkat judul: Pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an Dalam Tradisi Welasan
Oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (Studi Living
Qur‟an di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang.)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini menjawab pertanyaan-pernyataan berikut:
1. Bagaimana prosesi pelaksanaan pembacaan Ayat-Ayat Al-Qur‟an
dalam Tradisi Welasan oleh Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang ?
2. Bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi Jam‟iyyah Ahli Thariqah
Qadiriyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan, Semarang ?
3. Bagaimana persepsi Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, Semarang terhadap
Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam Tradisi Welasan ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk Mengetahui Bagaimana Prosesi Pelaksanaan pembacaan
8
Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan, Getasan,
Semarang.
2) Untuk mengetahui bagaimana signifikansi tradisi welasan bagi
Jam‟iyyah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun
Bagongan, Getasan, Semarang.
3) Untuk mengetahui bagaimana persepsi Jam‟iyyah Tariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah di dusun Bagongan, Getasan, semarang terhadap
Ayat-Ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi Welasan.
2. Kegunaan Penelitian
1) Menambah wawasan di bidang ilmu-ilmu keislaman, khususnya
ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
2) Dapat mendapat khazanah studi Al-Qur‟an terutama dalam bidang
Living Qur‟an
3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para
akademisi untuk lebih peka terhadap fenomena keberagamaan
yang berada disekitarnya.
4) Mendorong masyarakat untuk semakin mencintai Al-Qur‟an.
D. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, telah banyak penelitian mengenai
Living Qur‟an seperti dalam Skripsi yang ditulis oleh Rafi‟uddin dengan
mengangkat judul “Pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam Upacara Peret
9
Madura). Dalam Skripsi tersebut Rafi‟uddin membahas tentang amalan
-amalan yang dibaca dalam tradisi tersebut seperti Surah Yusuf,Surah
Maryam,Surah Luqman, Surah Sajadah, Surah Yasin,Surah Waqi‟ah, dan
Surah Fathir. Dalam penelitian tersebut penulis menitik beratkan pada
bagaimana pemaknaan Masyarakat Poteran terhadap pembacaan ayat-ayat
yang dibacakan dalam Upacara Peret Kandung tersebut.
Penelitian Living Qur‟an juga sebelumnya telah dilakukan oleh
Rizki Jizala Albisri dengan Skripsinya yang berjudul “ Pembacaan Ayat-ayat
Al-Qur‟an dalam Mujahadah Nisful Lail di Pondok Pesantren Al-Fitroh
Pereng wetan Sedayu Bantul (Studi Living Qur‟an). Penulis Skripsi tersebut
membahas tentang bagaimana prosesi pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam
Mujahadah Nisful Lail di PP Al-Fitroh Pereng meliputi (tempat dan waktu
pelaksanaan, etika dalam prosesi Mujahadah, Urut-urutan bacaan, dan Tata
cara pelaksanaan Mujahadah) dan juga Apa saja makna Pembacaan
Mujahadah Nisful Laili di PP Al-Fitroh dalam Mujahadah Nisful lail.
Penelitian sejenis juga penulis temukan dalam Skripsi milik
Rochmah Nur Azizah dengan judul “Tradisi Pembacaan Surah Al-Fatikhah
dan Surah Al-Baqarah (Kajian Living Qur‟an di PPTQ „Aisyiyah Ponorogo).
Dalam skripsi ini dibahas dalil yang mendasari Tradisi pembacaan
Surah-surah pilihan di PPTQ „Aisyiyah ponorogo yakni Pengasuh pesantren
berpegang pada Firman Allah Qs Al-Baqarah ayat 121. Kemudian Nur
Azizah juga menuliskan bagaimana cara penerapan Tradisi tersebut antara
10
hari Senin dan Selasa yang dilaksanakan setelah Shalat Ashar yang
berlangsung kurang lebih 45 menit yang dipimpin langsung oleh salah satu
santri dan diikuti oleh semua santri. Dan juga disebutkan apa makna yang
terkandung dalam tradisi pembacaan Surah-Surah yang telah dipilih di PPTQ
„Aisyiyah Ponorogo. Makna tersebut adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan tujuan memohon barakah kepada Allah dan menumbuhkan rasa
cinta terhadapa Al-Qur‟an kepada semua santri.
Dari pemaparan literatur di atas, beberapa praktik Living Qur‟an
telah dikaji oleh akademisi, namun pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam
tradisi welasan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, baik itu dari waktu
pelaksanaan, keanggotaan, prosesi, mapun bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an yang
terdapat didalamnya. Di sini penulis juga akan menguraikan tentang
bagaimana signifikansi tradisi welasan, dan juga bagaimana persepsi para
jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca. Di sinilah terletak
perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, penulis merasa berkesempatan membahas beberapa hal di
atas, agar memperoleh pemahaman dengan fokus bagaimana praktik
pembacaan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam tradisi welasan di dusun Bagongan,
Getasan, Semarang. Bagaimana signifikansi dan juga presepsi anggota
jama‟ah Thariqah terhadap Al-Qur‟an.
E. Kerangka Teori
Living Qur‟an muncul bermula dari fenomena Qur‟an in Everyday
11
masyarakat muslim. Misalnya fenomena sosial terkait dengan pelajaran
membaca Al-Qur‟an di lokasi tertentu, fenomena penulisan bagian-bagian
tertentu dari Qur‟an ditempat-tempat tertentu, penggalan unit-unti
Al-Qur‟an yang kemudian menjadi formula pengobatan, do‟a-do‟a dan
sebagainya yang ada dalam masyarakat muslim tertentu tetapi tidak ada di
masyarakat muslim lainnya. Karena fenomena sosial ini muncul lantaran
kehadiran Al-Qur‟an, maka kemudian diinisiasikan ke dalam wilayah studi
Al-Qur‟an pada perkembangannya kajian ini dikenal dengan istilah studi
Living Qur‟an.14
Sebenarnya gambaran secara umum mengenai fenomena sosial
masyarakat muslim merespon Al-Qur‟an tergambar dengan jelas sejak jaman
Rasulullah dan para sahabatnya. Tradisi yang muncul adalah Al-Qur‟an
dijadikan objek hafalan (tahfiz), listening (sima‟an) dan kajian tafsir
disamping sebagai obyek pembelajaran (sosialisasi) ke berbagai daerah dalam
bentuk “Majlis Al-Qur‟an” sehingga Al-Qur‟an telah tersimpan di “dada”
para sahabat. Setelah umat islam berkembang dan mendiami di seluruh
belahan dunia, respon mereka terhadap Al-Qur‟an semakin berkembang dan
bervariatif, tak terkecuali oleh umat Islam Indonesia.15
14Muhammad Mansur, “ Living Qur‟an dalam lintasan sejarah studi al
-Qur‟an”, dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 5-7
12
Kajian Living Qur‟an sebagai penelitian yang bersifat keagamaan
(religious research), yakni menempatkan agama sebagai system keagamaan,
yang meletakkan agama sebagai gejala sosial. Living Qur‟an dimaksudkan
untuk mensikapi respon masyarakat muslim dalam realita sehari-hari menurut
konteks budaya dan pergaulan sosial. Jadi apa yang dilakukan masyarakat
untuk memberikan penghargaan, penghormatan, cara memuliakan (ta‟dzim)
terhadap kitab suci yang diharapkan pahala dan barakah dari Al-Qur‟an
sebagaimana keyakinan umat islam terhadap fungsi Al-Qur‟an yang
dinyatakan sendiri secara beragam. Oleh karena itu, maksud yang dikandung
bisa sama, tetapi ekspresi dan ekspetasi masyarakat terhadap Al-Qur‟an antar
kelompok satu dengan kelompok yang lain berbeda, begitu juga antar
golongan, antar etnis, dan antar bangsa.16
Disisi lain bahwa kajian Living Qur‟an dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat
lebih maksimal dalam mengapresiasi Al-Qur‟an. Sebagai contoh, apabila di
masyarakat terdapat fenomena menjadikan ayat-ayat Al-Qur‟an „hanya‟
dibaca sebagai aktivitas rutin setelah magrib, sementara sebenarnya mereka
kurang memahami apa pesan dari Al-Qur‟an, maka kita dapat mengajak dan
menyadarkan mereka bahwa fungsi Al-Qur‟an tidak hanya dibaca tetapi perlu
13
pengkajian dan pengamalan. Dengan begitu, maka cara berpikir masyarakat
dapat ditarik kepada cara berpikir akademik, berupa kajian tafsir misalnya.17
Selanjutnya dalam mendalami kajian Living Qur‟an ini yang dicari
bukan kebenaran agama lewat Al-Qur‟an atau menghakimi (judgement)
kelompok keagamaan tertentu dalam islam, tetapi lebih mengedepankan
penelitian tentang tradisi yang menggejala (fenomena) di masyarakat dilihat
dari persepsi kualitatif. Meskipun terkadang Al-Qur‟an dijadikan sebagai
simbol keyakinan (symbolic faith) yang dihayati, kemudian diekspresikan
dalam bentuk perilaku keagamaan. Nah, dalam penelitian Living Qur‟‟an
diharapkan dapat menemukan segala sesuatu dari hasil pengamatan
(observasi) yang cermat dan teliti atas perilaku komunitas muslim dalam
pergaulan sosial-keagamaannya hingga menemukan segala unsur yang
menjadi komponen terjadinya perilaku itu melalui struktur luar dan struktur
dalam agar dapat ditangkap makna dan nilai-nilai yang melekat dari sebuah
fenomena yang diteliti.18
Seorang peneliti Living Qur‟an akan membaca sebuah fenomena
sosial dengan melihat lokasi dan momen sejarah yang menandainya. Oleh
karenanya, penelitian model ini bersifat kualitatif yang memiliki focus
terhadap banyak paradigma, para penelitinya dituntut memiliki kepekaan
tinggi terhadap nilai pendekatan, multymetode disamping tingkat komitmen
17Abdul Mustaqim” Metode penelitian living Qur‟an” dalam “ Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 69
14
dan kesabaran tinggi dan “ ketelatenan”, agar hasil tangkapan berupa data
yang bersifat fenomenologis dapat dicerna, dideskripsikan dianalisis
kemudian disimpulkan secara tepat dengan prespektif socio-Qur‟anic.19
Akhirnya diharapkan Living Qur‟an dapat melihat fakta
masyarakat sosial dalam merespons, menyikapi dan mempraktekkan sisi-sisi
Al-Qur‟an secara cultural sebagai pemahaman mereka terhadap Al-Qur‟an itu
sendiri. Dan pada titik jenuh penelitian model Living Qur‟an secara
metamorfosis, cepat atau lambat dapat menemukan format desain, pendekatan
dan metodenya. Sehingga penelitian seputar Al-Qur‟an dapat berkembang
seiring peradaban zaman.20
F. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Lapangan (Field Research)
yang menggunakan metode diskriptif analisis yaitu menyajikan data yang
sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dari subjek penelitian di
lapangan. Informasi maupun data-data yang diperoleh yaitu dengan cara
terjun langsung ke lapangan sesuai dengan pokok penelitian ini.
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah:
19 Muhammad Yusuf “ Pendekatan sosiologi dalam Penelitian Living Qur‟an” dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, Syahiron Syamsudin (Yogyakarta: TH Press, 2007). Hlm, 63
15
a) Pemimpin Tradisi Welasan Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah (Mursyid)
b) Badal (pemimpin pengganti) Tradisi Welasan Jama‟ah Ahli
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
c) Anggota Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
Subjek penelitian di atas adalah orang-orang yang akan
diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi
selama pelaksanaan Tradisi Welasan dari awal hingga akhir.
Sedangkan Objek penelitian ini yaitu Pelaksanaan Tradisi Welasan
oleh Jama‟ah Ahli Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang
dilaksanakan di Dusun Bagongan,Getasan,Semarang.
2. Metode Pengumpulan Data
Sebagai penelitian kualitatif, maka metode pengumpulan
data yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Dari metode pengumpulan data
yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder.21 Yang mana
dari kedua data tersebut akan dianalisis untuk menemukan jawaban
yang sesuai dengan data yang akan diperoleh.
a) Observasi
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
Observasi Analisis deskriptif yang mana penulis hanya menjadi
pengamat tidak ikut serta dalam prosesi acara. Karena dalam
21
16
acara ini yang diperbolehkan mengikuti hanyalah anggotanya
saja. Sehingga gerak penulis menjadi sedikit terbatas akan
tetapi dengan adanya wawancara yang akan dilakukan maka
penulis akan memperoleh data yang valid sehingga dalam
penelitian ini tingkat kevaliditasan datanya tidak diragukan
lagi.
b) Wawancara
Dalam penelitian ini penulis memilih Informan untuk
diwawancarai upaya untuk memperoleh data informasi
mengenai pelaksanaan Tradisi Welasan oleh jam‟iyyah Ahli
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan,
Tolokan, Getasan, Semarang. Di sini penulis akan menggali
tentang sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan, bagaimana
prosesi kegiatan, motivasi, hambatan, struktur kepengurusan,
data anggota, dan data-data lain yang masih berkaitan dengan
adanya tradisi tersebut. Sebagaimana informan yang telah
dipilah dalam subjek penelitian. Adapun metode wawancara
yang penulis gunakan adalah metode tersusun, yakni penulis
telah menyusun pertanyaan terlebih dahulu sebelum akhirnya
melakukan wawancara. Dan untuk mendukung pengumpulan
data dan informasi maka penulis menggunakan alat bantu
berupa kamera, dan alat rekam serta sejenisnya.
17
Metode dokumentasi yang penulis gunakan bertujuan untuk
mengumpulkan data-data terkait dengan tema penelitian
meliputi gambar-gambar selama pelaksanaan Tradisi Welasan
berlangsung seperti foto pelaksanaan tradisi, Musholla sebagai
tempat pelaksanaan, buku pedoman pelaksanaan tradisi
welasan, dan dokumentasi ketika melakukan wawancara.
Disini penulis akan mendokumentasikan semua aktivitas yang
berhubungan dengan pelaksanaan tersebut. Metode ini
digunakan upaya menyempurnakan data-data yang diperoleh
dari metode observasi dan interview.
3. Metode Analisis
Dalam rangka menganalisis data yang penulis peroleh
selama proses pengumpulan data, penulis melakukan tiga tahapan.
Pertama penulis melakukan penyeleksian dan pemfokusan dari
catatan lapangan. Semua data yang diperoleh dalam pengumpulan
data. Dipilah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dengan harapan
agar tidak terlalu bertele-tele dalam pembahasan.
Kedua metode analisis, yaitu metode yang dimaksudkan untuk
pemeriksaan serta konseptual atas realitas yang terjadi, kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan sehingga diperoleh
kejelasan atau realitas sebenarnya.
Ketiga penulis melakukan analisis mendalam terhadap data yang
18
tahap ini kesimpulan yang diperoleh telah sesuai dan sama ketika
penulis kembali untuk mengecek ulang terhadap hasil observasi
dan wawancara dengan informan.
Sesuai dengan metodenya diskriptif analitif yaitu
menganalisa data yang telah dideskripsikan dengan cara
memaparkan data serta menjabarkan pendapat-pendapat yang
diperoleh dari hasil observasi, interview, dan dokumentasi.
G. Sitematika Pembahasan
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi seputar latar
belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah
pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang gambaran umum lokasi pelaksanaan
tradisi welasan, sejarah berdirinya thariqah dan biografi perintis Jama‟ah Ahli
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.
Bab ketiga berisi data lapangan yang akan menjawab mengenai
rumusan masalah mengenai Tradisi Welasan meliputi bagaimana prosesi
tradisi welasan, signifikansi tradisi welasan, serta bagaimana persepsi
jama‟ah terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi welasan
tersebut.
Bab keempat berisi analisis data yang telah diperoleh penulis
ketika melakukan observasi
Bab kelima merupakan kesimpulan yang memuat jawaban dari
19
BAB II
GAMBARAN UMUM DUSUN BAGONGAN, BIOGRAFI PERINTIS
DAN SEJARAH BERDIRINYA THARIQAH QADIRIYYAH
NAQSYABANDIYYAH
A. Gambaran Umum Dusun Bagongan
1. Letak Geografis Dusun Bagongan
Dusun Bagongan merupakan dusun milik pemerintah Kabupaten
Semarang paling barat. Tepatnya berada diperbatasan antara Kabupaten
Semarang dan Kabupaten Magelang. Dusun Bagongan memiliki empat
titik perbatasan yaitu, berada di sebelah timur dusun Dalangan (Kab.
Magelang), sebelah barat dusun Kejalan, sebelah utara dusun Salaran, dan
sebelah barat dusun Kasiran.
Penduduk dusun Bagongan merupakan bagian Desa Tolokan yang
hanya berjarak sekitar 2 Km saja dan berada di sebelah barat dari pusat
Desa. Secara administrasi wilayah dusun Bagongan terbagi menjadi Dua
Rukun Tetangga/RT yaitu, 013,dan 014 dengan Satu Rukun Warga/RW
02. Pada tahun ini, sekitar 350 jumlah penduduk dan 100 KK. Meskipun
letaknya jauh dari pusat kota, dusun ini dilewati jalur transportasi darat
yaitu jalur alternatif Salatiga-Magelang, sehingga memudahkan
masyarakat untuk bepergian.
Di dusun Bagongan hampir 60% berupa lahan pertanian dan 40%
20
yang dominan yaitu pertanian karena memang tepat berada di kaki
gunung Telomoyo dan sebagian penduduknya bekerja sebagai petani yang
masing-masing menggarap lahannya sendiri.
2. Keadaan Pendidikan Masyarakat
Masyarakat dusun Bagongan terkait pendidikan formal pada tahun
90-an, masih sangat kurang. Masyarakat beranggapan bahwa pendidikan
itu mahal dan hanya bisa diperoleh untuk orang yang mempunyai uang
lebih, selain itu anak yang telah memperoleh pendidikan tinggi pun tetap
saja menjadi petani. Dampak dari hal tersebut mengakibatkan banyak dari
anak-anak muda yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SD
maupun SMP.
Memasuki tahun 2000-an memasuki era pendidikan yang lebih
maju, pola pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan mulai berubah.
Masyarakat mulai beranggapan bahwa pendidikan formal menjadi sebuah
kebutuhan dalam mencari bekal kehidupan. Hal ini ditandai dengan
masyarakat yang mulai menyekolahkan anaknya sejak usia dini (PAUD),
Taman Kanak-kanak (TK), dan telah ada satu orang yang melanjutkan
studinya ke perguruan tinggi.
Adapun rincian tingkat pendidikan masyarakat dusun Bagongan
dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tingkat Pendidikan Masyarakat22
No. Jenjang Sekolah Jumlah
22
21
01. Tidak tamat SD 23
02. Tamat SD 217
03. Tamat SMP 47
04. Tamat SMA 31
05 Tamat Perguruan Tinggi 2
Sumber:Data penduduk Bagongan, Desa Tolokan, Ke. Getasan.
Kab. Semarang, th 2017
3. Keadaan Sosial Budaya Masyarakat
Manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantun orang lain, maka
manusia disebut makhluk sosial. Meskipun keberadaannya sangat beragam
mulai dari warna kulit, bahasa, perekonomian, dan lain sebagainya. Dari
keberagaman itu manusia dituntut untuk menghormati satu sama lain. Hal
ini dibuktikan dengan adanya gotong royong, tegur sapa, ramah-tamah
dalam bergaul dan lain sebagainya yang menjadi ciri khas masyarakat
pegunungan.
Sebagai besar masyarakat dusun Bagongan masih ada perikatan
darah antara yang satu dengan yang lain, karena mayarakat setempat
menikah dengan tetangganya sendiri. Sehingga tidak heran jika hanya
terdiri dari beberapa keluarga besar saja, adapun jalinan silaturahim masih
sangat terjaga.
Keadaan masyarakat dusun Bagongan yang 100% memeluk agama
islam, membawa dampak positif terhadap seluruh masyarakatnya. Terlihat
22
tradisi masyarakatnya bercorak islam. Masyarakat dusun Bagongan adalah
masyarakat yang bersuku jawa. Hal inilah yang menjadikan adanya
akulturasi antara budaya islam dan budaya jawa, dibuktikan dengan
adanya beberapa tradisi yang masih dilestarikan di tengah masyarakat
seperti, Upacara Pekawinan, Upacara anak dalam kandungan, Upacara
Kelahiran, Upacara Khitanan, Upacara Penguburan jenazah, dan Upacara
Sedekah bumi (Saparan).
4. Keadaan Ekonomi Masyarakat
Karena dusun Bagongan terletak di sekitar pegunungan, maka
mayoritas pekerjaan masyarakatnya sebagai petani, lebih tepatnya petani
sayuran. Bahkan hampir 60% dari seluruh wilayah di dusun Bagongan
adalah ladang yang ditanami berbagai sayuran seperti: Kolbis, slobor,
buncis, cabai, kentang, selada, lotus, terong dan lain sebagainya.
Sektor lain yang mendorong perekonomian masyarakat adalah
pedagang sayur, buruh pabrik, kuli bangunan, dan tukang kayu. Dan
dengan penghasilan yang sangat berfariatif untuk setiap bulannya. Dari
semua pekerjaan yang masyarakat lakukan itu demi untuk mencukupi
kebutuhan keluarga sehari-hari.
5. Kondisi Pemerintahan Masyarakat
Terkait dengan pemerintahan yang ada di dusun Bagongan, dusun
Bagongan berada dibawah kepemimpinan kepala Desa Tolokan. Dusun
Bagongan sendiri terdiri dari satu RW, yakni RW 02 dan membawahi dua
23
dibatasi masa jabatannya mereka dipilih oleh langsung oleh masyarakat
setempat karena dianggap mampu memimpin anggota masyarakatnya. Dan
jika ada suatu hal yang mengharuskan diganti, maka masyarakat akan
mengadakan pemilihan kembali.
Ada beberapa organisasi yang ada di Dusun Bagongan antara lain,
LKMD, PKK, Karang taruna, dan RT/RW. Selain organisasi tersebut, di
dusun Bagongan juga terdapat beberapa kelompok yang tergabung dalam
wadah organisasi Fatayat NU, dan Remaja Masjid.
B. Biografi Perintis Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
1. Asal-usul Syekh Ahmad Khatib
Syekh Ahmad Khatib lahir pada tanggal 6 Zulhijjah 1276 H
bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1860 M di Koto gadang. Ayah Ahmad
bernama Abdullatif, berasal dari Koto Gadang, sebuah desa di sebelah
barat kota Bukittinggi Sumatera Barat. Abdullatif ini bergelar Khatib
Nagari, beliau adalah saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras
(Kepala Pemerintahan) desa Koto Gadang pada masa penjajahan Belanda.
Kakeknya Abdurrahman, bergelar Datuk Rangkayo Basa. Salah satu putra
Abdurrahman lainnya bernama Sultan Muhammad Salim, beliau adalah
ayah Haji Agus Salim, seorang ulama besar dari politikus Indonesia
menjelang awal kemerdekaan. Ayah Abdurrahman ialah Tuanku Syekh
24
Ibu Ahmad Khatib bernama Limbak Urai. Berasal dari Koto Tuo
Balaigurah, kecamatan Ampek Angkek Candung, sebuah desa di sebelah
timur kota Bukittinggi. Limbak Urai mempunyai empat saudara yaitu
Gandam Urai, Muhammad Saleh Datuk Bagindo, Laras Ampek Angkek,
dan Haji Ibrahim Limbak. Urai sendiri adalah anak ketiga, kakaknya yang
bernama Gandam Urai adalah Ibu Syekh Tahir Jalaluddin, seorang ulama
besar Minangkabau. Ayah limbak Urai ialah Tuanku Nan Rancak, seorang
terkemuka pada zaman Paderi. Ibu Limbak Urai bernama Siti Zainab putri
dari Tuanku Bagindo Khatib, pembantu Regent (Bupati) Agam.23
2. Guru dan Murid Syekh Ahmad Khatib
Di makkah beliau Syekh Ahmad Khatib belajar ilmu-ilmu islam
termasuk ilmu tasawuf, dan mencapai posisi yang sngat dihargai di antara
teman-teman sejawatnya, dan kemudian menjadi seorang tokoh yang
berpengaruh di seluruh Indonesia. Diantara gurunya adalah:24
a. Syaikh Daud bin Abd Allah bin Idris al-fantani (w 1843)
b. Syekh Syams al-Din
c. Syaikh Abd al-Arsyad al-banjari (w 1812)
d. Syaikh Abd al-Shamad al-palimbani
e. Syaikh Muhammad Shalih Rays
f. Syaikh „Umar bin Abd al-Karim bin Abd al-Rasul al-Attar (w
1833)
23
HAMKA, Ayahku, (Jakarta: Djajamurni, 1967), hlm 230 24
25
g. Syaikh abd al-Hafizh Ajami‟ ( w 1819)
h. Syaikh Bisri al-Jabati
i. Sayyid Ahmad al-Marzuqi
j. Sayyid Abd Allah bin Muhammad al-Mirghani
k. Utsman bin hasan al-Dimyati (w 1849)
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari
beberapa daerah dikawasan Nusantara, dan beberapa orang khalifah
diantaranya adalah sebagai berikut:25
a. Syaikh Abd al-Karim dari Banten
b. Syaikh Tolhah di Cirebon
c. K. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura
d. Muhammad Ismail ibn Abd al-Rahim dari Bali
e. Syaikh Yasin dari Kedah (Malaya)
f. Syaikh Haji Ahmad Lampung
g. Muhammad Ma‟ruf ibn Abdallah Khatib dari Palembang
3. Karier Syekh Ahmad Khatib
Untuk pendidikan yang ditempuhnya mulai dari sekolah rendah
dan sekolah guru di kota Bukittinggi yang didirikan oleh pemerintah
Belanda26
25
Snouk Hurgronje, Adviezen III,1874 26
26
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1286 M, beliau pergi ke Makkah
bersama Ayahnya yang kemudian menetap di Makkah untuk mempelajari
agama islam disana.27
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam
menuntut pelajaran, baik sewaktu di tanah air maupun di Makkah. Ilmu
pengetahuan yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu agama dan ilmu umum
seperti ilmu falak, ilmu hisab, ilmu aljabar dan sebagainya.28 Dalam waktu
sembilan tahun, beliau berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan
ulama-ulama Makkah yang terkemuka..
Setelah menyelesaikan studinya, Ahmad Khatib mulai mengajar
dirumahnya untuk kalangan keluarga, materi yang diajarkannya adalah
ilmu agama dari tingkatan rendah sebagai seorang pemula. Nama Khatib
makin lama makin dikenal dan muridnya semakin banyak.
Kemudian Syakih Shaleh (mertuanya) beruasaha agar Syaikh
Ahmad Khatib bisa mengajar di Masjidil Haram, maka mulailah beliau
mengajar disana, ditempat yang hanya guru-guru ternama saja yang
dibolehkan mengajar di Masjidil Haram. Selanjutnya, namanya mulai
terkenal sebagai ulama besar, yang kebesaran namanya sampai ke tanah
air, sehingga menarik minat putra-putra Minangkabau untuk menuntut
27
Sidi Ibrahim Bochari, PengaruhTimbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta:Gunung Tiga, 1981), hlm, 77
28
27
ilmu kepada beliau. Murid-muridnya bukan saja berasal dari Minangkabau
tetapi juga berasal dari daerah lain.
Di abad 20, Ahmad Khatib bukan hanya dikenal sebagai guru di
Masjidil haram, tetapi juga sebagai imam dan khatib dari Madzhab
Syafi‟i. Hal ini merupakan penghargaan dari Syarif „awn al-Rafiq,
penguasa Makkah saat itu. Ahmad Khatib pernah menegur kesalahan
bacaan Syarif „Awn al-Rafiq ketika mengimami shalat Magrib di Istana,
hal ini membuatnya kagum kepada Ahmad Khatib karena kefasihan
ibadahnya dalam bacaan shalat dan keberaniannya untuk membenarkan
suatu kekeliruan meskipun kecil, maka setelah Syarif „Awn al-Rafiq
mengijinkan Ahmad Khatib sebagaimam dari madzhab Syafi‟i di Masjidil
Haram dan menambah jabatannya sebagai khatib disana. Sejak itu
namanya ditambah dengan “Khatib “ dibelakang nama kecilnya Ahmad.29
Syekh Ahmad Khatib telah mencapai puncak popularitas di dunia
islam saat itu. Di Turki, nama besar Ahmad Khatib sebagai ilmuan telah
menembus masuk kalangan Istana. Beliau dianugerahi gelar “ Bey Tunis”
oleh penguasa islam Turki. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang
berjasa besar di bidang ilmu pengetahuan, kalau masa sekarang sama
tingkatannya dengan” Doktor honoris Causa”.30
29
Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib, Ilmuan Islam di Permulaan Aabad ini,(jakarta:Panjimas, 1983), hlm. 29
30
28 C. Sejarah Berdirinya Jam’iyyah Thariqah
Sejarah berdirinya Jam‟iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di
dusun Bagongan tidak bisa lepas dari sejarah awal munculnya Jam‟iyyah
Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah itu sendiri. Untuk itu, penulis akan
lebih dahulu menuliskan Sejarah munculnya Jam‟iyyah Thariqah secara
singkat.
1. Sejarah singkat munculnya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
Secara historis tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah adalah
sebuah tarekat yang merupakan hasil penggabungan dari dua tarekat
besar, yaitu Tarekat Qadiriyyah yang didirikan syekh Abd Qadir
al-Jailani (w. 561 H/1166 M di Baghdad) dan Tarekat Naqsyabandiyyah
yang didirikan oleh Syekh Baha al-Din al-Naqsyabandi dari Turkistan
(w. 1399 m di Bukhara ).31
Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat induknya.
Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadhah dan
ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang seperti ini memang
suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah,32 seperti
31
Zulkarni Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya, dalam Harun Nasution, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah: sejarah, Asal-usul dan perkembangannya (Tasikmalaya:IAILM, 1990), hlm. 83
32
29
manaqiban33 dan dziba‟an34 dalam Tarekat Qadiriyah dilakukan pula
dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyahh (TQN) adalah sebuah
tarekat yang dicetuskan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas
(1803-1875), seorang ulama besar di Nusantara asal Sambas, Kalimantan
Barat, yang telah lama menetap, bahkan sampai wafat di Mekah.
Menurut Bruneissen, Syekh Ahmad Khatib Sambas mulai
mengajarkan Tariqah Qadiriyah naqsyabandiyah ini sejak pertengahan
abad ke-19 M.35 Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat
Naqsyabandiyah.36 Akan tetapi ia hanya menyebutkan silsilah
tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah.37 Sampai sekarang belum
diketemukan informasi secara pasti dari sanad mana Syekh Ahmad
Khatib menerima bai‟at Tarekat Naqsyabandiyah, tetapi yang jelas
pada saat itu telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di
33Manaqib
merupakan pembacaan sejarah Syekh Abd al-Qadir al-Jailani yang didahului pembacaan tahlil.
34 Dziba‟an
adalah pembacaan shalawat atas Nabi Muhammad SAW dengan kalimat-kalimat yang baik.
35
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat ( Bandung: Mizan, 1995), hlm 214
36
Zurkarnain Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya, dalam Harun Nasution, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah: sejarah, Asal-usul dan perkembangannya (Tasikmalaya:IAILM, 1990), hlm. 83
37
Dari berbagai silsilah yang penulis dapatkan disemua cabang, silsilah tarekat ini
bersumber pada suatu “sanad” dari Syekh Abd Qadir Jailani. Lihat misalnya, Muhammad Usman
30
Makkah dan Madinah.38 Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai‟at Tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut,
yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan
pada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Nusantara.39
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas
dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat
saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara),
sedangkan Tarekat Naqsyabandiyyah menekankan model dzikir sirri
(diam), atau dzikir lathif.40 Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan
cara yang lebih efektif dan efisien.
Masuknya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke Mekah
diterangkan oleh beberapa ilmuwan, seperti Snouck Hurgronje
memberitakan ketika ia belajae di Mekkah, ia melihat terdapat markas
besar (ribath) Tarekat Naqsyabandiyah di kaki gunung jabal Qais.41
Demikian pula menurut Trimingham ada seorang Syekh dari
Minangkabau dibai‟at di Makah pada tahun 1845.42
Zamaksyari dhofierr, Tradisi Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakaerta:LP3ES, 1985) hlm. 141 42
31
Bruinessen baik Tarekat Qadiriyah maupun Naqsyabandiyah dibawa
ke Makkah melalui para pengikutnya dari India.43
Sebagai seorang mursyid, Syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas
untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya.
Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu,
bagi yang telah mencapai derajat mursyid.44 Namun seperti yang
diterangkan dalam kitabnya Fath al-Arifin, sebenarnya Tarekat ini
tidak hanya merupakan modivikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi
merupakan penggabungan dari lima ajaran tarekat yaitu, Tarekat
Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anafisah, Junaidiyyah, dan muwafaqah.45
Hanya saja yang paling dominan ajaran dari Tarekat Qadiriyah dan
naqsyabandiyah, maka dinamai Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Penamaan tarekat ini tidak telepas dari sikap rendah diri (tawadlu)
dan mengagungkan guru (ta‟zim) Syekh Ahmad Khatib kepada pendiri
dua tarekat tersebut. Sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekatnya
itu pada dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual
tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamai dengan Tarekat
Khatibiyyah atau Tarekat Sambasiah. Karena memang hasil dari
43
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat ( Bandung: Mizan, 1995), hlm. 72-73
44
Amir al-Najjar, Al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr (Kairo: Maktabah Anjlu al-Misriyyah), hlm. 115
45
Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh=tokohnya di Nusantara
32
ijtihadnya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan beberapa ajaran
tarekat menjadi satu Tarekat yang mandiri.46
Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dan khalifah dari
beberapa daerah di Nusantara. Di antara khalifah-khalifahnya yang
terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai
sekarang yaitu, Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Talhah
al-Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbullah al-Maduri.47 Sedangkan Khalifah-khalifah yang lain seperti: Muhammad Isma‟il ibn Abdul
Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari kedah Malaysia, Syekh H. Ahmad
lampung dari Lampung Sumatera Selatan, dan Muhammad Ma‟ruf ibn
Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu tersebar luas
sejarah perkembangan dalam tarekat ini.48
Syekh Muhammad Isma‟il dari Bali menetap dan mengajar di
Makkah. Sedangkan Syekh Yasin dari Kedah Malaysia menyebarkan
tarekat di Mepwah Kalimantan Barat. Syekh H. Ahmad mengajar
tarekat di Lampung dan Syekh Muhammad Ma‟ruf mengajar tarekat di
Palembang. Penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
46Marwan. Salahudin, 2016.”
Amalan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah Sebagai Proses Pendidikan Jiwa Di Masjid Babul Muttaqin Desa Kradenan Jetis Ponorogo”
Esoterik: Jurnal Akhlak Tsawuf,. Volume 2 no 1, hlm 366 47
Dadang ahmad, Tarekat Dalam Islam Spritualitas Masyarakat Modern ( Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 100
48
33
daerah Sambas dilakukan oleh kedua Khalifahnya, yaitu Syekh
Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa‟ad al-Sambasi.49
Mugkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh
sebuah lembaga yang permanen, seperti pesantren-pesantren di Jawa,
maka penyebaran tarekat ini di luar Jawa kurang begitu berhasil.
Sehingga sampai sekarang ini, keberadaanya tidak begitu dominan.
Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, kepemimpinan Tarekat
Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syekh
Abdul Karim al-Bantani, dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib
menerima kemurssyidannya. Tetapi setelah Syekh Abdul Karim
meninggal, para Khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan
masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada
kemursyidan yang lain.50
2. Sejarah menyebarnya Jam’iyyah Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di Dusun Bagongan
Dusun Bagongan merupakan dusun yang dikenal akan dusun yang
mengenal agama islam tertua dibandingkan dengan tiga dusun yang
saling bersandingan yaitu, dusun Salaran, dusun Kejalan, dan dusun
Dalangan. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya warga yang
masuk kedalam Thariqah.
49
Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 181 50
34
Mula-mula awal masuknya ajaran Thariqah di dusun Bagongan
ketika sudah mulai mengenal islam, terutama bagi orang yang sudah
lanjut usia, mereka telah mendengarkan banyak ilmu dari para Kyai
sekitar. Dari beberapa Kyai itu menganjurkan agar warga dusun
Bagongan unuk terus mengaji dan mengaji. Sampai pada akhirnya
bertemulah dengan Simbah Kyai Munawir dari Tingkir, Salatiga. Dari
pertemuan tersebut menghasilkan sebuah pandangan bahwasanya
menuntut ilmu itu sangatlah wajib bagi semua orang, tidak terlepas
juga bagi orang yang sudah memasuki usia lanjut. Akan tetapi karena
telah memasuki usia yang sudah tidak muda lagi maka sebagian orang
merasa sulit apabila harus mengaji mulai dari nol, mengaji kitab
dasar-dasar dan juga kitab kuning.
Dari situlah Simbah Kyai Munawir mengatakan bahwasanya
utama-utamanya orang yang sudah tua untuk ikut mengaji dan
mengamalkan ajaran Thariqah. Selang beberapa hari setelah mengenal
apa itu ajaran Thariqah, tujuh orang warga dusun Bagongan datang
kepada Simbah Kyai Munawir meminta untuk bergabung masuk
menjadi anggota Thariqah, dan kemudian proses masuknya tersebut
ditandai dengan adanya bai‟at.51 Ketujuh orang tersebut adalah Mbah Dinomo (79 th ), Mbah Supomo (alm), Mbah Salimin (alm), Mbah
Paidi (alm), Mbah Urip (alm), Mbah Hj. Rumi ( 68 th), dan Simbah Hj.
51Bai‟at
35
Tugi (75 th ). Hingga saat ini telah 27 tahun mengikuti ajaran Thariqah
Qadiriyyah Naqsyabandiyyah.
Setelah dari warga ada yang telah bergabung menjadi anggota
maka lambat laun sebagian dari warga berminat dan akhirnya ikut
bergabung, dan sampai saat ini telah ada sekitar 60 Jama‟ah yang
sebagian besar diikuti oleh warga yang telah memasuki usia lanjut.52 Akan tetapi mereka masuk Jama‟ah dengan Mursyid yang berbeda.
Setelah ke-tujuh orang yang masuk Thariqah berbai‟at kepada Simbah
Kyai Munawir dari Tingkir, Salatiga. kemudian para jama‟ah lain yang
menyusul menjadi anggota Thariqah di Bai‟at oleh Simbah Kyai
Mukhlasin (alm) atas permintaan dari Simbah Kyai Munawir, yang
mana keduanya masih memiliki hubungan darah dan masih
bersaudara. Dengan alasan jarak agar tidak terlalu jauh antara (Dusun
Bagongan-Keditan) dengan (Dusun Bagongan- Tingkir), karena untuk
mempermudah perjalanan dan juga Simbah Kyai Munawir akan fokus
menerima pengikut baru anggota jam‟iyyah Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah yang dari sekitar daerahnya. Karena Simbah Kyai
Munawir masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Simbah Kyai
Mukhlasin, dan juga dengan menerima ajaran dari mursyid yang sama
yakni Simbah Kyai Ya‟qub yang berasal dari daerah Grabag,
Magelang, maka antara metode yang digunakan dan amalan-amalan