1 BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Di Indonesia saat ini pertumbuhan transportasi udara dapat dikatakan berkembang pesat. Pada tahun 2016 terdapat 61 maskapai penerbangan niaga berjadwal yaitu maskapai yang memiliki jadwal penerbangan tetap setiap harinya dan tidak berjadwal yang tidak memiliki jadwal terbang tetap, serta maskapai yang terdaftar serta penerbangan kargo (Pamudji, 2016). Transportasi udara yang ada saat ini membutuhkan sektor pendukung baik dari sisi fasilitas dan sumber daya manusianya. Salah satu sumber daya manusia yang harus hadir dalam menunjang transportasi udara adalah Air Traffic Controller atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan Pemandu Lalu Lintas Udara. Tugas Air Traffic Controller secara umum bertugas untuk mengatur pergerakan lalu lintas pesawat.
Seorang Air Traffic Controller harus menjalani pendidikan khusus dan seleksi yang ketat. Ketatnya kriteria untuk menjadi seorang Air Traffic Controller disebabkan tugas dan tanggung jawabnya yang sangat penting dalam mengatur ruang lalu lintas udara. Sedikit kesalahan dari Air Traffic Controller dalam mengatur lalu lintas udara bisa menyebabkan akibat yang fatal yaitu kecelakaan. Salah satu kecelakaan pesawat yang melibatkan Air Traffic Controller terjadi pada penerbangan
Bashkirian pada 2002 yang mengalami tabrakan saat mengudara dengan korban tewas 71 orang (Bundesstelle fur Flugunfalluntersuchung, 2004).
Transportasi udara merupakan salah satu moda transportasi paling aman dibandingkan yang lainnya. Seorang akan memiliki kemungkinan celaka di jalan raya lebih besar daripada dengan moda transportasi udara. Seorang akan memiliki kemungkinan mengalami kecelakaan sebanyak 1 kali diudara dalam setiap 7178 melakukan perjalanan dengan pesawat. Keamanan moda transportasi udara ditunjang dengan dukungan dari teknologi yang semakin canggih dan sumber daya manusia yang dituntut sempurna. Transportasi udara menjadi pilihan yang paling diminati masyarakat diiringi dengan perkembangan bisnis yang menjanjikan bagi segelintir pengusaha. Globalisasi yang terjadi saat ini membuat banyak pengusaha memiliki kemudahan untuk mendapatkan peminjaman utang di luar negri untuk modal mendirikan maskapai penerbangan. Kemudahan dalam mendapatkan modal membuat jumlah pesawat yang terbang di langit Indonesia semakin banyak. Arus lalu lintas udara di Indonesia mulai padat terutama di daerah-daerah wisata dan bisnis.
Kepadatan lalu lintas udara menuntut para pekerja yang terlibat dalam dunia penerbangan bekerja lebih. Air Traffic Controller, Pilot dan Ground Staff juga semakin dituntut tahan dalam tekanan kerja. Air Traffic Controller dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan dengan sempurna tanpa cacat sedikitpun. Air Traffic
Controller bekerja dengan tugas pokok pelayanan lalu lintas udara berdasarkan
udara. Air Traffic Controller secara umum bertugas untuk mengatur pergerakan pesawat yang sedang mengudara, akan terbang maupun mendarat. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 170 menjelaskan lebih rinci bahwa tugas Air Traffic Controller antara lain adalah untuk mencegah tabrakan pesawat, mempercepat dan mempertahankan pergerarakan pesawat, memberi saran dan informasi yang berguna bagi keselamatan dan efisiensi lalu lintas serta memberitahukan kepada pihak berwenang terhadap pencarian atau evakuasi terhadap kecelakaan udara yang terjadi.
Di Indonesia para Air Traffic Controller bekerja di bawah Perum LPPNPI atau yang lebih dikenal dengan AirNav. AirNav adalah salah satu BUMN yang dibentuk khusus oleh Kementrian Perhubungan untuk bertanggung jawab terhadap kelancaran lalu lintas udara di Indonesia. Saat ini pesawat yang terbang dan melewati ruang udara Indonesia dikatan terlalu padat (Rumeksa, 2014). Kepadatan yang terjadi saat ini menuntut kerja para Air Traffic Controller lebih waspada dan fokus dengan kondisi pekerjaan. Semakin padatnya lalu lintas udara dan terbatasnya jumlah Air Traffic Controller yang ada saat ini membuat banyak para
Air Traffic Controller yang mengalami tekanan dan dapat menyebabkan stres saat
bekerja maupun setelah selesai melakukan aktifitas pekerjaannya (Taufik, 2013).
Seorang Air Traffic Controller idealnya harus memiliki stres kerja yang rendah. Resiko pekerjaan yang tinggi dan melibatkan nyawa orang banyak menjadi beban dan tanggung jawab tersendiri bagi seorang Air Traffic Controller. Pada ruang
lingkup dunia penerbangan internasional dan nasional kecelakaan yang terjadi akibat kesalahan Air Traffic Controller sudah beberapa kali terjadi. Salah satu kejadian yang pernah terjadi dan diduga melibatkan pengatur lalu lintas sebagai penyebabnya adalah kecelakaan GA 152 jenis Airbus A300-B4-200 yang jatuh pada tanggal 26 September 1997 sekitar pukul 13.30 WIB di kawasan perladangan warga di Desa Buah Nabar Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, sekitar 50 kilometer dari Medan yang mengakibatkan 222 penumpang dan 12 awak pesawat tewas. Kejadian tersebut terjadi dikarenakan Air Traffic Controller gagal memandu pesawat GA 152 yang diterbangkan oleh Pilot Hance Rahmowiyogo menghindari kabut asap dan menabrak wilayah perbukitan sesaat sebelum mendarat di Bandara Polonia Medan (Gunawan, 2015). Kejadian tersebut menunjukan kritisnya pengaruh pekerjaan seorang Air
Traffic Controller dalam dunia penerbangan. Air Traffic Controller harus mampu
mengatur pergerakan pesawat secara cepat dan tepat. Pilot membutuhkan bantuan Air
Traffic Controller untuk berkoordinasi mengenai keadaan di udara dan di darat.
Keputusan pilot untuk menyalakan mesin, merubah ketinggian dan kecepatan pesawat juga harus mendapatkan izin dari Air Traffic Controller. Pesawat yang akan terbang, mengudara dan mendarat membutuhkan izin dari Air Traffic Controller untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan dan keteraturan jadwal penerbangan.
Menjadi Air Traffic Controller tidak mudah karena harus melalui pendidikan khusus yang ketat. Ketatnya pendidikan Air Traffic Controller ditujukan untuk
menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten dan disiplin dalam bekerja. Seorang Air Traffic Controller harus disiplin dan memiliki fokus yang baik. Air
Traffic Controller bekerja dengan cara berkomunikasi melalui jaringan komunikasi
khusus dibantu dengan sistem instrumen yang ada di ruang kerja. Instrumen yang membantu kerja Air Traffic Controller merupakan alat-alat yang digunakan untuk mengetahui koordinat pesawat, arah angin, pergerakan pesawat dan informasi cuaca. Keadaan lalu lintas udara di Indonesia sendiri yang padat dan sistem radar yang ada juga dapat dikatakan sudah tertinggal dan sering mengalami kerusakan. Sistem radar yang dimiliki saat ini juga sudah tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Insiden yang hampir terjadi salah satunya adalah pada saat radar Bandara Soekarno Hatta yang sempat mati membuat pesawat Lion Air hampir bertabrakan di udara. Kondisi tersebut dapat menjadi potensi stres kerja dan menambah tingkat kesulitas tugas bagi seorang Air Traffic Controller karena harus memandu dengan peralatan seadanya, dimana sewaktu waktu dapat menjadi ancaman dan mengakibatkan kejadian fatal (Kusumadewi dan Galih, 2012)
Woolfolk (Mangkunegara, 2009) berpendapat efikasi diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri atau tingkat keyakinan individu mengenai seberapa besar kemampuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dengan mencapai hasil tertentu. Seorang yang tidak berhasil mengatasi stres cenderung akan menghindar atau menarik diri secara psikologis dari pekerjaanya. Masalah yang muncul kemudian adalah tubuh tidak dapat membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi
stres. Keadaan stres yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi yang dimulai dengan kelelahan fisik, emosional dan mental dapat mengakibatkan pekerja mengalami burnout. Berdasarkan penjelasan tersebut seharusnya stres kerja bagi Air
Traffic Controller harus dihindari karena dapat berpengaruh kepada kesehatan diri
maupun performa dalam bekerja. Pekerjaan Air Traffic Controller membutuhkan fokus dan tenaga yang banyak seharusnya dapat diimbangi dengan sumber daya manusia yang banyak pula. Seorang Air Traffic Controller dituntut dapat melakukan pekerjaanya secara multitasking, yaitu seorang Air Traffic Controller harus mampu mengawasi sistem secara detail, membuat perhitungan dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Bekerja secara multitasking tersebut membuat Air Traffic
Controller harus selalu fokus, sesuai peraturan yang ada Air Traffic Controller
berkerja dalam sistem shift . Sistem shift yang ada seringkali tidak berjalan dengan efektif karena kurangnya sumber daya manusia.
Idealnya seorang Air Traffic Controller bekerja selama 7 jam dengan rincian 2 jam kerja dengan 45 menit istirahat perhari serta jadwal 3 hari kerja dan 2 hari libur Tak jarang seorang Air Traffic Controller bekerja melebihi shift yang sudah diatur karena berbagai hal (Prokal, 2014). Hasil wawancara dengan B, pria usia 36 tahun pernah bekerja melebihi shjitnya karena menggantikan posisi rekan kerja yang sedang sakit dan kekurangan sumber daya manusia. Temuan yang terjadi di lapangan para
Air Traffic Controller bekerja selama 3 hari kerja dengan 1 hari libur dan
bertujuan untuk menjaga fokus, terhindar dari kejenuhan dan kondisi fisik tetap prima. Hal tersebut menunjukan bahwa waktu kerja dinilai belum sejalan dengan aturan yang ada. Waktu kerja seorang Air Traffic Controller diatur oleh peraturan dengan tujuan menghindari adanya insiden fatal disebabkan oleh kelelahan yang dialami oleh Air Traffic Controller.
Ketua umum Ikatan Air Traffic Controller dalam suatu kesempatan mengutarakan fakta bahwa Indonesia bahwa pada 2016 sampai 2025 mendatang Indonesia masih kekurangan 4000 Air Traffic Controller. Jumlah yang ada saat ini dinilai belum memenuhi kebutuhan akan tenaga Air Traffic Controller yang ada. Kekurangan tersebut akan bertambah seiring dengan akan pensiunnya Air Traffic
Controller yang segera purna tugas dalam waktu dekat (Helmi, 2016). Kekurangan
Air Traffic Controller tersebut membuat sistem shift tidak berjalan dengan efisien. Air
Traffic Controller banyak yang bekerja diluar batas jam kerja yang ditentukan.
Bekerja diluar waktu yang ditentukan tersebut membuat para Air Traffic Controller kehilangan waktu dengan keluarganya bahkan waktu untuk bersantai sejenak dari pekerjaan. Air Traffic Controller dituntut professional, dalam hal ini professional adalah para Air Traffic Controller bekerja sesuai dengan aturan dan prosedur yang ada.
Menurut Bandura (Ghufron & Risnawati, 2010) efikasi diri adalah keyakinan mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan
lebih memiliki semangat yang lebih baik dalam menjalankan suatu tugas tertentu dibandingkan dengan orang yang memiliki efikasi diri rendah. Sehingga seorang yang memiliki efikasi diri tinggi mampu mengembangkan sikap-sikap positif seperti rasa percaya diri dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan peran dan fungsinya secara baik. Air Traffic Controller idealnya memiliki efikasi diri yang tinggi. Efikasi diri yang tinggi akan memberikan manfaat bagi diri Air Traffic Controller agar dapat bertugas dengan baik.
Kondisi yang ditemukan di lapangan efikasi diri yang dimiliki berbeda-beda tiap saatnya. Hasil wawancara dengan A, Perempuan usia 21 tahun seorang Air
Traffic Controller di Bandara X mengatakan bahwa dia memiliki keyakinan akan
kemampuan yang dimilikinya cukup baik, namun bila dipindahtugaskan di Bandara dengan kepadatan tinggi A merasa tidak yakin dan belum siap dengan beban pekerjaan yang akan dihadapi. Sedangkan wawancara dengan B, Pria usia 36 tahun memiliki efikasi diri yang tinggi dan mengatakan bahwa jarang mengalami stres kerja. B merasa jarang merasakan stres kerja karena merasa yakin dengan kemampuannya dan pengalamannya.
Berdasarkan permasalahan yang ada dapat dibayangkan betapa besarnya tanggung jawab dan beban kerja para Air Traffic Controller tersebut. Tanggung jawab dan beban kerja yang berlebihan tersebut dapat membuat Air Traffic Controller rentan mengalami stres kerja. Permasalahan yang dihadapi Air Traffic Controller sendiri dapat membuat tingkat stres kerja cukup tinggi. Idealnya seorang Air Traffic
Controller memiliki stres kerja yang rendah serta diikuti dengan. Efikasi diri yang tinggi. Hal ini di karenanakan dapat berpengaruh dalam pekerjaanya. Air Traffic
Controller dituntut mampu bekerja dengan segala tekanan yang tidak terduga.
Tekanan yang berasal dari pekerjaan seorang Air Traffic Controller tidak jarang muncul rasa jenuh dan bosan. Jam kerja yang terkadang melebihi batas tenaga juga membuat keyakinan akan kemampuan diri seorang Air Traffic Controller menjadi rendah karena kondisi fisik yang tidak prima dan hubungan diluar pekerjaanya. Berdasarkan latar belakang permasalahan, peneliti tertarik dan ingin membuktikan apakah ada hubungan antara efikasi diri dengan stres kerja pada Air Traffic Controller.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan stres kerjapara Air Traffic Controller di Indonesia.
C. Manfaat Penelitiaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara praktis maupun secara teoritis.
1. Teoritis
Secara teoritis manfaat penelitian ini agar mampu memberikan pengetahuan dan wawasan baru dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Dengan adanya penelitian ini mampu memberikan wawasan baru bagi penelitian yang akan
membahas topik ini di masa mendatang. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan referensi pada bidang keilmuan psikologi tentang bagaimana efikasi diri dapat berpengaruh pada perilaku organisasi seperti stres kerja bagi dunia industry.
2. Praktis
Secara praktis manfaat penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi Instansi yang terlibat dalam memahami keadaan para Air Traffic Controller.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian serupa terkait stres kerja dan efikasi diri telah banyak dilakukan sebelumnya, namun penelitian yang membahas Air Traffic Controller sendiri dapat dikatakan belum banyak. Adapun landasan peneliti untuk meneliti penelitian ini tidak luput dari penelitian-penelitian sebelumnya, seperti:
1. Penelitian yang dilakukan Ferdianto (2014) dengan judul “Hubungan Antara Efikasi Diri dan Stres Kerja Pada Karyawan SOLOPOS”. Subjek pada penelitian ini adalah para karyawan SOLOPOS. Hasil penelitian adalah adanya hubungan negativ yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan stres kerja.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfa (2007) dengan judul “Hubungan Antara Efikasi diri dengan Stres kerja pada karyawan penjualan PT Nasmoco Semarang” Subjek dari penelitian ini adalah karyawan bagian penjualan. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan negatif signifikan antara efikasi diri dengan stres kerja.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2012) dengan judul “Hubungan Antara Efikasi Diri (Self Efficacy) dan Stres Kerja dengan Kejenuhan Kerja Pada Perawat IGD dan ICU RSUD Bekasi”. Subjek dari penelitian ini adalah para perawat yang bekerja dibagian ICU dan IGD. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan stres kerja.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Herdia (2014) dengan judul “Hubungan Antara Efikasi Diri dan Stres Kerja Pada Anggota Raider ” Subjek dari penelitian ini adalah para Tentara Nasional Indonesia yang mengabdi di kesatuan Raider 400 Srondol, Semarang. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan stres kerja.
Adapun perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yakni subjek penelitian. Variabel yang dipakai dipenelitian sebelumnya sama dengan yang sedang diteliiti peneliti saat ini. Namun perbedaan subjek yang belum pernah diteliti sebelumnya membuat peneliti yakin penelitian ini asli.
1. Topik Penelitian
Penelitian ini menggunakan judul-judul penelitian yang terdahulu. Namun, efikasi diri menjadi variabel independen dan stres kerja sebagai variabel dependen. Topik penelitian dengan judul yang sama sudah beberapa kali dilakukan penelitian. Seperti diuraikan di atas beberapa penelitian menggunakan variable yang sama.
2. Subjek Penelitian
Penelitian ini mejadikan Air Traffic Controller atau pemandu lalu lintas udara sebagai subjek penelitian, dimana penelitian sebelumnya yang sudah pernah dilakukan belum pernah membahas dengan subjek dan variabel yang sama. Namun penelitian dengan variable yang berbeda dengan penelitan ini dimana menjadikan Air Traffic Controller sebagai subjek penelian sudah ada. Berdasarkan hal itu peneliti yakin bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
3. Teori
Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Bandura (1997) terkait dengan efikasi diri dan teori stres kerja yang digunakan adalah Robbins (2005).
4. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh peneliti. Alat ukur efikasi disusun berdasarkan aspek aspek efikasi diri oleh Bandura (1997) yaitu, strength, magnitude, dan generality. Alat ukur stres kerja di susun berdasarkan teori oleh Robbins (2005) berdasarkan aspek psikologis, fisologis dan tingkah laku.