• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (Wijana, 2009:1). Bahasa lisan atau ujaran yang dikirimkan secara lisan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (Wijana, 2009:1). Bahasa lisan atau ujaran yang dikirimkan secara lisan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah alat komunikasi verbal manusia berwujud ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia atau tulisan sebagai representasi ujaran tersebut (Wijana, 2009:1). Bahasa lisan atau ujaran yang dikirimkan secara lisan digunakan jika pembicara berhadapan langsung dengan lawan bicara dan relatif tidak ada rentang waktu yang panjang. Sementara itu, bahasa tulis atau ujaran yang dikirimkan secara tulisan digunakan jika penutur tidak berhadapan langsung dengan lawan bicara, dan lazimnya ada rentang waktu yang relatif lama dalam menyampaikan pesan. Namun, berkembangnya teknologi perekaman dan komunikasi menyebabkan waktu penyampaian pesan secara lisan menjadi lebih lama, sedangkan waktu penyampaian secara tertulis menjadi lebih cepat (Wijana, 2009:1-2).

Saat berkomunikasi, manusia memproses satuan-satuan bahasa berupa bunyi, kata, frase dan klausa yang diperoleh dari lawan bicara ke dalam otak. Kemudian satuan-satuan tersebut disusun ke dalam struktur kalimat yang dapat dimengerti oleh lawan bicara. Proses pengolahan bahasa manusia merupakan salah satu aspek studi bahasa yang tidak hanya dilihat dari segi ilmu linguistik, tetapi juga dari segi ilmu psikologi. Bahasa dipengaruhi oleh pikiran, dan pikiran dipengaruhi oleh bahasa.

(2)

Gabungan dari psikologi dan linguistik disebut psikolinguistik. Harley (via Dardjowidjojo, 2003:7) berpendapat, bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa harus terlebih dahulu belajar memperoleh bahasa, baik bahasa pertama atau bahasa ibu, maupun bahasa kedua. Psikolinguistik tidak hanya berperan dalam pengajaran bahasa, tetapi juga dalam kepentingan belajar bahasa pertama, kedua, dan bahasa asing. (Pateda. 1991:21)

Di Indonesia, masyarakat umumnya menguasai dua sampai tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional digunakan saat pengajaran di sekolah dan acara-acara resmi lainnya, sedangkan bahasa daerah biasanya digunakan saat berada di rumah dan di sekitar lingkungan yang penutur bahasa daerahnya masih sangat kuat. Bahasa asing dipelajari untuk keperluan praktis dan keperluan mengikuti perkembangan ilmu melalui buku-buku yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar (Pateda, 1991:98). Bahasa Inggris adalah bahasa asing utama yang dipelajari oleh orang-orang Indonesia, tetapi seiring dengan berkembangnya era globalisasi, menguasai dua bahasa asing atau lebih kini menjadi sebuah tuntutan. Selain bahasa Inggris, bahasa Mandarin, Jepang, Prancis, dan Korea adalah sebagian dari bahasa asing yang kini telah banyak dipelajari oleh orang-orang Indonesia.

Untuk mengukur kemahiran bahasa asing, lembaga-lembaga pendidikan di dunia umumnya menerapkan tes kemahiran bahasa. Tes berasal dari bahasa Prancis kuno testum yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia.

(3)

Namun menurut istilah, tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan tertentu (M. Chabib Thoha via Mustaqim, 2004: 174-175). Jika TOEFL digunakan untuk mengukur kemahiran bahasa Inggris, TOPIK atau Test of Proficiency in Korean

digunakan untuk mengukur kemahiran bahasa Korea.

Sama halnya dengan tes kemahiran bahasa asing lain, soal-soal TOPIK juga menuntut seseorang menguasai keterampilan berbahasa, seperti menyimak, membaca, dan menulis, tidak terkecuali penguasaan kosakata dan tatabahasa. Dalam menghadapi tes, terdapat aspek-aspek yang mendukung peserta TOPIK. Selain itu, peserta TOPIK menggunakan serangkaian pola pikir untuk mengolah informasi bahasa di dalam otak saat menyelesaikan soal. Hubungan inilah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, berikut adalah rumusan dari pokok-pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini:

1. Apa saja aspek-aspek yang mendukung peserta TOPIK dalam menghadapi tes?

2. Apa saja hal-hal yang mendasari pola pikir peserta TOPIK dalam menyelesaikan soal, khususnya soal segmen pemahaman kosakata dan tatabahasa?

(4)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan aspek-aspek pendukung peserta TOPIK dalam menghadapi tes.

2. Mendeskripsikan hal-hal yang mendasari pola pikir peserta TOPIK dalam menyelesaikan soal, khususnya soal segmen pemahaman kosakata dan tatabahasa.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Tema yang diangkat dalam penelitian ini cukup luas dan rumit. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian telah dibatasi agar lebih terarah. Objek penelitian difokuskan pada 10 orang responden yang terdiri atas mahasiswa, lulusan, dan pengajar program studi bahasa Korea Universitas Gadjah Mada yang telah lulus TOPIK minimal tingkat menengah. Hal ini dilakukan karena TOPIK tingkat menengah dianggap sebagai standar bagi orang asing untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa Korea dengan baik. Dari 10 orang responden, 2 orang di antaranya sama sekali belum pernah pergi ke Korea.

Para responden diberikan kuesioner yang terdiri atas 14 pertanyaan dan simulasi soal tes yang terdiri atas 10 soal pemahaman kosakata dan tatabahasa yang diambil dari soal-soal TOPIK tingkat menengah ke-22, 24, 26, 28, 30, dan 32. Alasan pemilihan segmen soal adalah karena pemahaman kosakata dan tatabahasa merupakan salah satu syarat dasar dari segala bentuk keterampilan berbahasa. Soal-soal tersebut merupakan soal tipe B yang dirancang khusus untuk pelaksanaan TOPIK di Korea Selatan dan negara-negara Asia.

(5)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan proses-proses mental berbahasa yang berpengaruh terhadap peserta TOPIK dalam menghadapi tes, sekaligus memperkaya wawasan tentang bahasa Korea dan penerapan ilmu psikolinguistik. Sementara itu, secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi TOPIK, khususnya mahasiswa dan mahasiswi program studi bahasa Korea dan masyarakat yang berminat mendalami bahasa Korea.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai tes kemahiran bahasa asing, khususnya TOPIK dan orang Indonesia sebagai pesertanya masih belum banyak dilakukan. Meski demikian, terdapat beberapa referensi penelitian yang menggabungkan bahasa dan manusia sebagai objek.

Penelitian pertama adalah skripsi berjudul “Students’ Difficulties in

Understanding Word Form As Seen in TOEFL-Like Test Result” tulisan Nita Wardani, lulusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2007. Fokus bahasan yang ada dalam skripsi tersebut adalah kesulitan yang dialami para peserta TOEFL-Like Test, yang merupakan mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam menganalisis bentuk kata dalam bahasa Inggris pada bagian structure and written expression.

Penelitian tersebut ditinjau dari segi linguistik murni melalui lembar jawaban para peserta. Hanya saja alasan pemilihan jawaban merupakan dugaan dari penulis,

(6)

sehingga pengembangan analisis dari data eksternal masih berupa kemungkinan-kemungkinan.

Kedua, terdapat skripsi serupa berjudul “Error Analysis of the Parallel

Structure on the Toefl-Like Test of New Students of Gadjah Mada University 2006”

karya Prasetyo Hadi, lulusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2008. Perbedaannya terdapat pada objek formal yang dibahas, yakni kesalahan pada struktur kalimat majemuk.

Ketiga adalah laporan penelitian berjudul “Pengaruh Convergence pada Kemampuan Menyimak” oleh Adi Sutrisno, Dosen Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada tahun 2000. Laporan tersebut mengemukakan besarnya pengaruh convergence, berupa percepatan berbicara, jeda dan redundancy terhadap kemampuan menyimak mahasiswa yang mengambil mata kuliah listening ‘menyimak’. Penulis lebih menitikberatkan

unsur suprasegmental dalam bidang linguistik. Kemudian, analisis pengaruhnya terhadap manusia didapat dari perbandingan hasil penyimakan dari rekaman yang berisi penutur asli bahasa asing formal (non-convergence), dengan rekaman yang telah direkayasa dalam hal percepatan, jeda dan pengulangan, tanpa mengabaikan keluwesan komunikasi.

Jika dibandingkan dengan ketiga referensi tersebut, skripsi ini lebih menitikberatkan proses-proses mental yang dialami peserta TOPIK dan hal-hal yang berpengaruh, mulai dari pembelajaran bahasa, tes dan pengolahan bahasa yang terjadi di dalam pemikiran para responden, sehingga dapat menghasilkan alasan dan jawaban yang beragam.

(7)

1.7 Landasan Teori

Teori yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa kedua dan pengolahan bahasa dalam ruang lingkup psikolinguistik. Menurut G. Kempen (via Mar’at, 2005:3), psikolinguistik adalah studi mengenai sistem-sistem yang ada pada manusia sebagai pemakai bahasa, seperti menangkap ide-ide orang lain dan diekspresikan kembali melalui bahasa tulis maupun lisan versi dirinya sendiri.

Keterkaitan antara manusia secara pribadi dengan bahasa juga pernah disinggung oleh Ferdinand de Saussure dalam dua aspek bahasa, yakni language

dan parole. Language adalah sistem konvensi bahasa dalam masyarakat, sedangkan parole adalah penggunaan aktual konvensi bahasa oleh seorang individu (via Mar’at, 2005:17). Semua anggota masyarakat tersebut menggunakan bahasa tertentu dan bertingkah laku sesuai aturan yang berlaku di antara masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, language adalah suatu masalah sosiologi, sedangkan parole adalah masalah psikologi (Mar’at, 2005:12).

Perihal menguasai bahasa kedua atau bahasa asing yang dimiliki seseorang, tentunya tidak terlepas dari cara dan proses pembelajaran yang dilalui untuk mencapai keahlian tersebut. Krashen & Terrell (Nababan 1992:87-88) mengemukakan sebuah teori yang disebut Acquisition vs Learning Hypothesis.

Teori tersebut berbunyi:

“orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua, dapat mencamkan dalam hati (internalize) aturan-aturan bahasa kedua melalui satu atau dua sistem yang berbeda, yaitu pemerolehan secara implisit di bawah alam sadar (acquisition atau pemerolehan) dan secara eksplisit di alam sadar (learning

(8)

Teori tersebut menunjukan bahwa terdapat dua cara dalam mempelajari bahasa kedua atau asing, yakni pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Hanya saja perbedaan kedua cara tersebut adalah pemerolehan bahasa didapat seperti seorang anak penutur bahasa pertama, sedangkan pembelajaran didapat melalui pendidikan secara formal. Selain itu, pemerolehan bahasa kedua yang dilakukan secara formal, cenderung tidak menambah kemampuan berbahasa pelajar bahasa kedua tesebut, sedangkan pembelajaran bahasa kedua secara formal sangat membantu menambah kemampuan.

Proses pembelajaran bahasa kedua bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, terdapat beberapa faktor yang mendukung proses pembelajaran. Dalam bukunya yang berjudul “Psikolinguistik: Kajian Teoretik”, Abdul Chaer menyebutkan lima faktor, yaitu motivasi, usia, penyajian formal, bahasa pertama dan lingkungan.

1) Faktor Motivasi

Dalam pembelajaran bahasa kedua ada asumsi yang menyatakan bahwa orang yang di dalam dirinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil dibandingkan dengan orang yang belajar tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan, atau motivasi lain (Chaer, 2003: 251). Motivasi terbagi atas motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri, seperti seorang murid yang menghadapi tes bahasa Inggris karena ia sendiri senang dengan bahasa Inggris. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik adalah motivasi melakukan

(9)

sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan atau hukuman, seperti belajar keras menghadapi tes untuk mendapat nilai yang baik (Santrock, 2007: 514).

Menurut Gardner dan Lambert (1972: 3) dalam Chaer (2003: 251) motivasi yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa kedua mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi integratif dan fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integratif kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sementara itu, motivasi berfungsi instrumental kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kemauan mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat tersebut.

2) Faktor Usia

Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis; tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutan (Chaer, 2003: 253). Dalam belajar bahasa kedua atau asing, Mar’at (2005:95-96) menyebut bahwa masalah usia sangat penting peranannya dan terdapat beberapa keuntungan jika belajar bahasa asing sebelum menginjak usia 12 tahun. Keuntungan tersebut di antaranya adalah:

(10)

a) Setelah usia 10 tahun, sistem motorik akan mengalami kesulitan dalam mengadapsi diri pada bahasa kedua, terutama masalah pelafalan yang dipengaruhi logat bahasa pertama, karena sistem tersebut telah menyatu selama masa anak-anak. b) Perasaan tidak percaya diri karena takut berbuat salah pada anak-anak relatif tidak ada dibandingkan dengan orang tua atau remaja.

c) Setelah usia 9/10 tahun otak akan mengalami kesukaran dalam belajar bahasa (Penfield & Robert via Mar’at, 2005:96). Hal ini terbukti pada kasus pasien yang menderita aphasia sesudah usia 10 tahun dan harus belajar bahasa pertamanya lagi, akan mengalami kesulitan seolah-olah belajar bahasa asing.

d) Waktu yang dipergunakan untuk belajar dan latihan-latihan lebih banyak.

e) Fungsi kognitif untuk berpikir secara ilmiah, seperti mengobservasi data bahasa dan belajar tentang aturan-aturannya yang berkembang pada usia 12-13 tahun menyebabkan keseganan melakukan latihan-latihan.

f) Sebelum usia 12 tahun, motivasi untuk belajar bahasa lebih besar.

g) Situasi belajar pada saat kanak-kanak lebih menyenangkan daripada situasi belajar di kelas yang statis. Hal ini

(11)

dikarenakan adanya kesempatan untuk mengasosiasikan bunyi dengan situasi dan belajar mengombinasikan situasi dengan ilmu-ilmu linguistik dalam situasi yang informal seperti bermain.

Pernyataan-pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Klein Identity Hyphotesis yang menyebut bahwa seseorang berumur lebih dari 12-14 tahun, yang mempelajari bahasa kedua jarang ditemui orang yang memiliki lafal seperti native (Nababan, 1992: 86)

3) Faktor Penyajian Formal

Penyajian formal yang dimaksud adalah cara pembelajaran bahasa yang dilakukan secara formal dan bersifat nonalamiah, seperti perkuliahan dan kursus, serta didukung oleh perangkat formal pembelajaran, seperti buku.

4) Faktor Bahasa Pertama

Pada saat pembelajar menggunakan bahasa kedua terkadang secara sadar atau tidak telah mengalihkan unsur-unsur bahasa pertamanya sehingga menimbulkan interferensi, alih kode, campur kode, dan kekeliruan (error). Dengan demikin, menurut Banathy (via Chaer, 2003: 257) adalah sangat penting untuk mengetahui keadaan linguistik bahasa pertama agar dapat menentukan strategi pembelajaran bahasa kedua. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa kedua adalah kegiatan men-transfer

(12)

5) Faktor Lingkungan

Lingkungan adalah salah satu faktor sosial seperti hal-hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar terkait bahasa kedua yang dipelajari. Sonnenfield (via Bonnes dan Secchiaroli, 1995: 112) menjelaskan bahwa salah satu dari empat konsep utama Environmental Personality Inventory

adalah kontrol lingkungan.

Semua faktor tersebut tentunya akan berdampak pada evaluasi hasil belajar sebagai tolak ukur penilaian yang terhubung dengan proses belajar. Evaluasi merupakan tahap yang digunakan untuk membandingkan dan mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk secara kualitatif dan kuantitatif (Suharsimi Arikunto via Mustaqim, 2004: 161). Alat yang digunakan untuk mengevaluasi antara lain non tes, seperti kuesioner, observasi, wawancara dan tes (Mustaqim, 2004: 170).

Tes merupakan suatu kondisi untuk menilai pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa secara individu oleh manusia, tidak terlepas dari istilah kompetensi dan performansi. Noam Chomsky (via Mar’at, 2005:18) menuturkan bahwa, kompetensi adalah kapasitas kreatif dari pemakai bahasa yang diperoleh melalui proses pemerolehan atau pembelajaran bahasa. Contoh dari kompetensi adalah pengetahuan tentang huruf, kosakata dan tatabahasa sekaligus budaya Korea yang dimiliki oleh seorang mahasiswa program studi Bahasa Korea. Sementara itu, performansi adalah penggunaan bahasa secara aktual, berupa aktivitas mendengarkan, berbicara, berpikir dan menulis. Menerjemahkan sebuah novel berbahasa Korea, berbicara dengan orang Korea, mendengarkan sebuah lagu

(13)

berbahasa Korea lalu melantunkannya kembali adalah beberapa contoh performansi yang dimiliki oleh seorang mahasiswa program studi Bahasa Korea.

Dardjowidjojo (2003:7) menyebutkan bahwa selain produksi, landasan biologis, dan pemerolehan bahasa, komprehensi adalah salah satu dari empat topik utama dalam studi psikolinguistik. Pada awal tahap komprehensi terdapat beberapa hal yang mendasari pola pikir manusia untuk mengolah suatu informasi bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua. Hal-hal tersebut adalah:

(1). Leksikon Mental

Leksikon mental adalah istilah yang memungkinkan seseorang mendapatkan kembali kata-kata yang diingat secara cepat (Booij, 2007:18). Leksikon mental berguna untuk memahami arti dari suatu makna yang ingin disampaikan seperti kamus. Hanya saja sifatnya abstrak dan terletak pada pikiran. Jika dibandingkan dengan kamus pada umumnya, leksikon mental memiliki jumlah kata yang lebih terbatas, tetapi lebih update dan tetap berkesinambungan dari masa lampau hingga kini. Kata-kata yang tersimpan juga dapat menunjang sejumlah hubungan antarkata. Selain itu, juga tersimpan informasi tentang banyaknya frekuensi kata yang telah ditemukan (Booij, 2007:232-233). Leksikon mental merupakan sumber dari segala proses pengolahan bahasa. Penggunaan leksikon mental dapat dilihat dari sesorang yang sedang mengamati sebuah kata lalu berusaha mengingat-ingat untuk mencari tahu maknanya.

(14)

(2). Intuisi

Manusia menggunakan intuisi guna memberikan penilaian terhadap suatu ungkapan bahasa untuk menghindari ambiguitas dan memilih kata-kata yang tepat dalam suatu struktur bahasa dalam proses pengenalan kata-kata atau word recognition (Garnham, 1985:42). Salah satu contohnya adalah pemakaian kata ‘kawin’ yang lebih sesuai untuk merujuk pada hewan-hewan yang sedang bereproduksi daripada kata “nikah”. Dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa kedua, pengetahuan intuitif dalam bahasa ibu juga diperlukan guna memperkuat intuisi sebuah makna kata dalam bahasa asing. Hal tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan harus dikembangkan sejak dini sejalan dengan pertumbuhannya guna memperkuat daya kognitif.

(3). Persepsi

Persepsi berarti tanggapan atau penerimaan langsung dari sesuatu. Persepsi berfungsi sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan saat mengenal kata (Garnham, 1985:43) dan biasa digunakan dalam kasus relasi antarkata pada kalimat tertulis. Misalnya membandingkan makna kata ’bisa’ saat dipadankan dengan kata ‘ular’ yang berarti racun, dengan saat dipadankan dengan kata ‘mati’ yang berarti dapat terjadi atau mungkin terjadi.

(4). Kontekstual

Selain persepsi yang berfungsi sebagai jenis informasi yang juga dapat dimanfaatkan saat mengenal kata (Garnham, 1985:43), terdapat juga

(15)

kontekstual yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan situasi yang menjelaskan suatu kejadian atau konteks. Kontekstual muncul dalam wacana atau teks tertentu, iklan, kondisi yang sedang digambarkan dan pengetahuan tentang budaya. Salah satu contohnya adalah slogan iklan pariwisata Malaysia ‘Truly Asia’ yang mengindikasi bahwa berbagai budaya dari negara-negara Asia dapat ditemukan saat berkunjung ke Malaysia.

(5). Konseptual

Dalam proses berbahasa, terdapat sistem yang digunakan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dan lain-lain disebut konseptual. Sistem konseptual lebih mengenal jaringan atau ketergantungan antarkata yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kasus tertentu, di samping konsep atau rancangan kata yang dapat berdiri sendiri atau regenten (Mar’at, 2005:37 - 38). Salah satu contohnya adalah kata ‘wisma’ pada istilah ‘tuna wisma’. Selain wisma, ada kata lain yang merujuk pada arti tempat tinggal, yakni rumah dan griya. Namun, dalam bahasa Indonesia hanya terdapat konsep istilah ’tuna wisma’ yang berarti tidak memiliki tempat tinggal. Bukan ‘tuna rumah’, bukan juga ‘tuna griya’.

(6). Prototipe

Dalam memahami konteks kalimat atau wacana, terkadang keterbatasan makna sebuah kata juga memengaruhi seseorang. Sistem yang membatasi makna sebuah kata terhadap kelompok kata tertentu

(16)

lainnya disebut prototipe. Prototipe berarti model atau contoh baku. Sama halnya dengan konseptual, prototipe digunakan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Wittgenstein pada tahun 1953 (via Nababan 1992) pernah menyebutkan sebuah teori:

“Kebanyakan kata tidak dapat dibatasi atau didefinisikan dengan memberikan seperangkat persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota kelompok kata yang mewakili kata itu”.

Salah satu contoh dari penggunaan prototipe adalah kata ‘pesawat’ yang kini lebih sering diartikan sebagai transportasi udara, padahal kata ‘pesawat’ juga mengandung makna kata ‘alat/perkakas’ seperti pada istilah ‘pesawat telepon’ dan ‘pesawat sederhana’.

1.8 Metode Penelitian

Guna menjawab semua rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya, metode yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas 3 tahap, yakni tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan tahap penyajian data.

Pada tahap ini, teknik cakap temu muka diterapkan terhadap 10 orang responden yang telah memenuhi syarat untuk mengisi kuesioner serta simulasi soal. Soal-soal tersebut diperoleh dengan cara mengunduh soft file-nya di website resmi TOPIK (www.topik.go.kr). Setelah menyelesaikan kuesioner dan simulasi soal, para responden diwawancarai untuk mencari tahu alasan pemilihan jawaban dengan metode rekam catat.

Pada tahap kedua, data-data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan metode padan yang terdiri atas teknik pilah unsur penentu dan teknik hubung-banding. Melalui teknik pilah unsur penentu, alat penentu yang digunakan dalam

(17)

penelitian ini adalah ortografis (bahasa tulis Korea pada soal-soal TOPIK), translasional (sampel soal-soal TOPIK yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia) dan pragmatis (para responden dan seorang native Korean untuk mengakuratkan data-data bahasa Korea). Kemudian, hasil dari analisis-analisis tersebut digabungkan melalui teknik hubung banding.

Pada tahap ketiga, data-data analisis disajikan secara kuantitatif dan kualitatif, yang disertai beberapa grafik dan tabel agar mudah dipahami oleh pembaca.

1.9 Sistematika Penyajian

Penjabaran hasil penelitian dalam skripsi ini yang disajikan dalam empat bab. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian, ruang lingkup, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian serta sistematika penyajian. Bab II berupa analisis aspek pendukung peserta TOPIK. Bab III berupa analisis pola pikir peserta TOPIK dalam menyelesaikan soal, dan bab IV berupa simpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

56 Berdasarkan hasil uji F, variabel gaya kepemimpinan transformasional, disiplin kerja dan kompensasi secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Ke*iatan Inti a Peserta didik men.imak penjelasan *uru men*enai jenis"jenis perantara .an* akan di*unakan dalam saluran distri0usi. (materi mengacu pada modul Membuka

Menurut Syaiful (2000: 197) dalam jurnal [ CITATION Wir \l 1033 ]bahwa pendekatan eksperimen mempunyai kelebihan yaitu 1) Menjadikan siswa lebih percaya diri

Untuk membantu menganalisis permasalahan yang terjadi maka dilakukan pendekatan six big losses dan analisis menggunakan metode seven tools yaitu histogram untuk mencari

Argumen yang mendukung adanya ketentuan peraturan rotasi mandatory karena adanya sikap independensi auditor dapat dirusak oleh masa perikatan yang panjang dengan manajer

di antara kelemahan yang bersifat mendasar bagi mayoritas lulusan lembaga pendidikan (formal) Islam, dari lulusan tingkat pertama (Madrasah Tsanawiyah), menengah atas

[r]

Ada kecenderungan bahwa pasien yang memiliki kecemasan tinggi adalah pasien dengan biaya umum, sebaliknya kecemasan rendah dimiliki oleh pasien dengan biaya pemerintah