• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi geologi daerah tersebut masih belum dapat terungkap secara maksimal (Bothe, 1929; van Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1959; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Rahardjo, 1983; Toha dkk., 1994; Surono dkk., 2006; Rahardjo, 2007; Surono, 2008; Surono, 2009; Akmaluddin, 2011; Novita, 2012).

Penelitian mengenai penentuan umur pembentukan formasi ini menjadi menarik dikarenakan terdapatnya perbedaan pendapat mengenai umur pembentukan formasi ini oleh beberapa peneliti pendahulu yang melakukan penelitian mengenai penentuan umur Formasi Kebobutak seperti Sumarso & Ismoyowati (1979) yang melakukan penelitian di jalur Tegalrejo – Cremo menggunakan foraminifera plangtonik atau Akmaluddin (2011) yang melakukan penelitian di jalur Tegalrejo - Cremo menggunakan foraminifera plangtonik.

Penentuan lokasi daerah penelitian didasarkan pada terdapatnya singkapan batuan Formasi Kebobutak yang menerus dan terdapatnya batuan yang bersifat karbonatan, serta belum adanya penelitian mengenai nannofosil gampingan khususnya tentang biostratigrafi di lokasi daerah tersebut.

I.2. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan keberadaan nannofosil gampingan di daerah penelitian.

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah : 1) Membuat biozonasi Formasi Kebobutak.

2) Menentukan umur Formasi Kebobutak.

3) Melakukan korelasi umur Formasi Kebobutak berdasarkan kandungan nannofosil gampingan dengan beberapa peneliti pendahulu.

(2)

Daerah penelitian berada di Desa Pundungrejo, Desa Cremo, dan Desa Tegalrejo (Gambar 1.1). Desa Tegalrejo dan Desa Cremo termasuk di dalam Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Desa Pundungrejo termasuk di dalam Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Gambar 1.1. Peta lokasi daerah penelitian

Daerah penelitian ini berbentuk persegi panjang dengan panjang 2,5 kilometer dan lebar 1,5 kilometer. Daerah ini berada pada 49 M 9138800 (Easting) – 49 M 9136000 (Northing) dan 49 M 0460000 (Easting) – 49 M 0461600 (Northing).

Di lokasi tersebut dibuat dua jalur pengukuran stratigrafi. Kedua jalur tersebut diasumsikan mewakili Formasi Kebobutak dari yang paling tua hingga yang paling muda, tentunya dengan pertimbangan jalur yang memungkinkan adanya kandungan nannofosil gampingan di dalam batuannya. Kedua jalur tersebut adalah :

(3)

1. Jalur Pundungrejo

Desa Pundungrejo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Koordinat titik awal pengukuran berada pada 49 M 0461028 (Easting) 9138249 (Northing) sedangkan titik akhir pengukuran pada jalur ini berada pada 49 M 0461076 (Easting) 9138185 (Northing). Pada jalur ini diambil sampel dengan kode S1 – S38 (Lihat gambar 1.2).

2. Jalur Tegalrejo - Cremo

Jalur ini dimulai dari Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat 49 M 0460362 (Easting) 9137897 (Northing) hingga Desa Cremo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan koordinat 49 M 0460570 (Easting) 9136286 (Northing). Pada jalur ini diambil sampel dengan kode T1 – T9 (Jalur Tegalrejo, lihat gambar 1.3) dan C1 – C4 (Jalur Cremo, lihat gambar 1.4).

I.4. BATASAN MASALAH

Lingkup penelitian yang dilakukan ini dibatasi pada beberapa aspek, yaitu ruang, metode, dan objek. Batasan ruang pada penelitian ini adalah pada jalur – jalur yang sudah ditentukan pada daerah penelitian (lihat subbab I.3). Batasan metode yang digunakan adalah penentuan biozonasi dengan biostratigrafi nannofosil gampingan yang dalam pendeskripsian fosilnya menggunakan mikroskop polarisasi dengan perbesaran 1000 kali. Objek dalam penelitian ini dibatasi pada singkapan permukaan batuan sepanjang jalur penelitian. Singkapan batuan sepanjang jalur penelitian ini meliputi seluruh Kebo beds (Bothe, 1929) dan sebagian besar Butak beds (Bothe, 1929).

I.5. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai tiga manfaat. Manfaat yang pertama yaitu mengetahui keragaman spesies nannofosil gampingan yang ada pada Formasi Kebobutak. Manfaat yang kedua yaitu diketahuinya biozonasi nannofosil gampingan Formasi Kebobutak. Manfaat yang ketiga yaitu mengetahui aplikasi /

(4)

sedimentasi Formasi Kebobutak di daerah penelitian.

Gambar 1.2. Peta penelitiaan jalur Pundungrejo

I.6. PENELITI PENDAHULU

I.6.1. Peneliti terdahulu tentang geologi regional Pegunungan Selatan

Bothe (1929) melakukan penelitian di daerah Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan. Dalam penelitiannya tersebut disebutkan bahwa pada daerah tersebut tersusun oleh batuan-batuan yang terbentuk sejak Pra - Tersier hingga Miosen Atas, dan diantaranya terdapat 3 ketidakselarasan. Mulai dari yang paling tua adalah batuan sedimen Pra - Tersier yang tersusun oleh filit, sekis, genes,

(5)

Gambar 1.3. Peta penelitian jalur Tegalrejo

(6)

terdapat batugamping, napal, batupasir, dan konglomerat yang terbentuk pada Eosen Tengah hingga Eosen Atas. Kemudian tidak selaras di atasnya terdapat konglomerat, batupasir, serpih, aglomerat, dan tuf yang terbentuk pada Miosen Tengah, namun batuan ini diperkirakan juga sudah muncul sejak Miosen Bawah. Kemudian tidak selaras di atasnya terdapat batugamping dan napal yang berumur Miosen Tengah dan diperkirakan hingga Miosen Atas.

Toha dkk. (1994) berdasarkan data tentang Pegunungan Selatan menyimpulkan bahwa stratigrafi daerah Pegunungan Selatan terutama bagian barat tersusun oleh batuan hasil pengendapan gaya berat sejak Kala Oligosen Akhir sampai Miosen Akhir. Batuan-batuan tersebut membentuk Formasi Kebobutak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, dan Formasi Wonosari. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa batuan vulkanik penyusun Formasi Kebobutak adalah bersifat andesitan sampai dasitan. Selain itu dalam penelitian tersebut juga diperkirakan terjadi pengangkatan di daerah Pegunungan Selatan pada Kala Oligosen Akhir.

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa terdapat tiga pola struktur penting yang mengenai Pulau Jawa, yaitu Pola Meratus yang berarah timur laut - barat daya, Pola Sunda yang berarah utara - selatan, dan yang terakhir adalah Pola Jawa yang berarah barat - timur. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa peristiwa tektonik yang terbentuk di sekitar batas Paleogen dan Neogen adalah peristiwa tektonik paling penting di Pulau Jawa, dimana peristiwa tektonik tersebut mempengaruhi pola cekungan, sedimentasi, dan tatanan stratigrafi di Pulau Jawa.

I.6.2. Peneliti terdahulu Formasi Kebobutak

Marks (1961) menyebutkan bahwa Formasi Kebo (Kebo Beds) yang mempunyai tipe lokasi di Gunung Kebo kemungkinan besar menumpang secara langsung di atas batuan Pra Tersier dan batuan Eosen Perbukitan Jiwo. Formasi Kebo tersusun oleh batupasir, serpih, tuff, dan aglomerat. Pada formasi itu juga dijumpai 2 lapisan batuan beku andesit basaltik yang diduga merupakan sill.

(7)

Kondisi geologi Pegunungan Selatan mulai dari basement hingga batuan yang berumur relatif muda terwakili oleh daerah Perbukitan Jiwo dan daerah Pegunungan Selatan di sisi selatan Perbukitn Jiwo. Pegunungan Selatan tersusun oleh basement berupa batuan metamorf seperti filit, sekis, dan genes (Bothe, 1929; Sumosusastro, 1956; Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Di atas basement terbentuk

Wungkal Beds dan Gamping Beds (Bothe, 1929; Sumosusastro, 1956) yang

tersusun oleh batupasir kuarsa dan batugamping yang kaya akan foraminifera besar yang menunjukkan Zona Ta – Tb atau setara dengan Eosen Tengah – Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Pada bagian bawah batugamping dijumpai fragmen Orbitolina. Orbitolina tersebut yang mengarahkan kesimpulan bahwa umur basement Pegunungan Selatan adalah Kapur (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Di atas Wungkal Beds dan Gamping Beds (Bothe, 1929; Sumosusastro, 1956) terbentuk suatu susunan batuan vulkaniklastik yang disebut sebagai Kebo -

Butak Beds (Bothe, 1929; Sumosusastro, 1956) dan Semilir Beds (Bothe, 1929;

Sumosusastro, 1956). Kebo - Butak Beds (Bothe, 1929; Sumosusastro, 1956) tersusun oleh serpih tufan, batulanau berlapis, batupasir, konglomerat, dan tuf dengan dua sisipan sill andesit basaltik (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Berdasarkan kandungan foraminifera plangtoniknya Sumarso dan Ismoyowati (1975) menyimpulkan bahwa Kebo – Butak Beds terbentuk pada zona N2 - N5 (Oligosen Akhir – Miosen Awal).

Rahardjo (1983) melakukan pengamatan batuan secara megaskopis dan membuat penampang stratigrafi terukur di Sungai Cermo. Berdasarkan data tersebut Rahardjo dapat memisahkan batuan yang termasuk ke dalam Kebo Beds,

Butak Beds, Semilir Beds, dan Nglanggran Beds. Menurut Rahardjo (1983) yang

disebut dengan Kebo Beds adalah seri batuan yang tersusun oleh perulangan batupasir berukuran butir sedang, batulempung, dan batulumpur / batulanau. Pada bagian batupasir berukuran butir sedang menunjukkan struktur gradasi normal, sedangkan pada bagian batulempung dan batulanau menunjukkan struktur laminasi paralel. Pada perulangan batuan-batuan tersebut juga dijumpai sisipan batupasir kerikilan masif yang mengandung fragmen batulempung dan serpih. Sisipan tersebut sering dijumpai pada bagian tengah dan bagian atas dari Kebo Beds. Di

(8)

Total ketebalan dari Kebo Beds berdasarkan data stratigrafi terukur penulis adalah 575 meter. Di atas Kebo Beds secara selaras terdapat Butak Beds. Butak Beds bagian bawah tersusun oleh perulangan batupasir kerikilan gradasi nomal. Batupasir kerikilan tersebut bergradasi menjadi batupasir kasar atau pada beberapa tempat bergradasi menjadi batulanau. Bagian kasar dari tiap lapisan lebih dominan, sehingga tiap lapisan nampak seperti satu lapisan batuan yang masif. Fragmen yang terdapat pada batupasir kerikilan berbeda dengan fragmen pada batupasir kerikilan

Kebo Beds, dimana di sini fragmennya berupa batulanau tufan terkloritisasi dan

andesit berbentuk subrounded. Kloritisasi juga terjadi pada matriks batupasir, sehingga memberikan kenampakan sedikit berwarna hijau. Sedangkan Butak Beds bagian atas tersusun oleh batupasir dan batulempung yang sedikit bersifat gampingan dengan struktur berlapis dan laminasi. Kloritisasi juga terjadi pada batupasir di Butak Beds bagian atas ini. Ketebalan dari Butak Beds ini menurut peneliti adalah 360 meter. Dengan membandingkan dengan model fasies yang sudah ada, peneliti menyimpulkan bahwa Kebo Beds dan Butak Beds terbentuk pada kipas bawah laut bagian distal, dengan beberapa berubah menjadi kipas bawah laut bagian tengah. Akhirnya, berdasarkan Sandi Stratigrafi Indonesia tahun 1975 peneliti mengusulkan nama untuk Kebo Beds dan Butak Beds menjadi Formasi Kebo dengan Anggota Butak.

Surono (2008) mengusulkan penamaan Formasi Kebo dan Formasi Butak untuk memisahkan Formasi Kebobutak (Surono dkk., 1992). Fomasi Kebo berada di bagian bawah dan kemudian secara gradual berubah menjadi Formasi Butak, sehingga pada beberapa daerah keduanya ssah untuk dibedakan (Surono, 2008). Formasi Kebo dialasi oleh lava bantal yang oleh Surono (2008) disebut sebagai Lava Bantal Nampurejo. Formasi Kebo tersusun oleh perselingan antara batupasir dan batupasir kerikilan dengan sisipan batulanau, batulempung, serpih, dan tuf (Surono, 2008). Formasi Butak tersusun oleh breksi polemik dengan sisipan batupasir, batupasir kerikilan, batulempung, dan batulanau (Surono, 2008). Lava Bantal Nampurejo, Formasi Kebo, dan Formasi Butak terbentuk pada lingkungan laut dalam – dangkal dengan pengaruh gaya berat selama proses sedimentasinya,

(9)

hal tersebut ditunjukkan oleh struktur sedimen yang ditunjukkan oleh batuannya (Surono, 2008).

Akmaluddin (2011) melakukan penelitian tentang biostratigrafi foraminifera plangtonik di daerah Tegalrejo – Baturagung ekuivalen dengan jalur Tegalrejo – Cremo pada penelitian ini). Pada bagian bawah dari jalur penelitian tersebut (Tegalrejo) didapatkan asosiasi fosil Catapsydrax dissimilis, Globigerina

tripartita, Globigerina binaensis, Globorotalia nana, dan Globigerina venezuelana. Pada bagian bawah tersebut awal kemunculan dari Globigerina primordius menjadi biodatum, yang menunjukkan Zona P22 (Blow, 1969) atau

Oligosen Akhir. Pada bagian tengah jalur penelitian (Cremo) diumpai kehadiran

Globigerina ampliapertura, G. venezuelana, G. praebulloides, G. binaensis, dan G. sellii yang menunukkan Zona P20 (Blow, 1969) atau Oligosen Tengah. Sedangkan

untuk bagian atas jalur penelitian (Cremo) menunjukkan Zona N5 (Blow, 1969) yang ditandai oleh akhir kemunculan Globigerina ampliapertura. Fosil reworked berumur Eosen terdapat di dalam jalur penelitian ini. Berdasarkan hasil tersebut Akmaluddin (2011) menyimpulkan adanya thrust fault pada jalur penelitian tersebut.

Novita (2012) melakukan penelitian pada Formasi Kebo, dalam hal ini yang dimaksud adalah sama dengan Formasi Kebobutak bagian bawah pada Peta Geologi Regional Lembar Surakarta-Giritontro (Surono dkk, 1992). Novita (2012) memercayai bahwa yang dimaksud dengan Formasi Kebobutak adalah susunan batuan yang pada bagian bawah tersusun oleh perselang - selingan batupasir, batulanau, dan batulempung yang mencirikan struktur turbidit dan pada bagian atas tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Berdasarkan penelitiannya tersebut disimpulkan bahwa Formasi Kebo (sama dengan istilah Kebo beds yang digunakan oleh Bothe tahun 1929) bagian bawah tersusun oleh sembilan fasies, yaitu Fasies Breksi Vulkanik dengan Sisipan Micrite Mudrok, Fasies Perulangan Coarse Crystal Tuff

- Fine Crystal Tuff, Fasies Perulangan Vitric Tuff - Coarse Crystal Tuff, Fasies

Breksi Polimik, Fasies Coarse Crystal Tuff, Fasies Coarse Crystal Tuff dengan sisipan Fine Crystal Tuff, Fasies Vitric Tuff dengan Sisipan Fine Tuff. Dari pengambilan sampel dan pengamatan fosil foraminifera plangtonik pada Formasi

(10)

bagian bawah tersusun oleh 13 biozonasi yang menunjukkan umur Eosen Tengah-Miosen Awal (P11 – N5).

Sari dan Husein (2012) menyatakan bahwa Formasi Kebobutak terbentuk pada Oligosen Tengah pada kedalaman batial atas – batial tengah. Kedua peneliti tersebut juga mengemukakan bahwa Formasi Kebobutak terbentuk pada lereng bawah laut dengan mekanisme pengendapan gaya berat.

Rangkuman umur pembentukan Formasi Kebobutak oleh beberapa peneliti terdahulu disajikan seperti dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1. Umur Formasi Kebobutak dari beberapa peneliti terdahulu

Blow (1969) Martini (1971) 1 Bothe (1929) Miosen Awal ‐ Miosen Tengah Geologi regional Foraminifera plangtonik N 4 ‐ N 10 NN 1 ‐ NN 5 3 Sumarso dan Ismoyowati (1975) Oligosen Akhir ‐ Miosen Awal Biostratigr afi Foraminifera plangtonik P 21 ‐ N 5 NP 23 ‐ NN 2

4 Rahardjo (1983) Miosen Awal Litostratigr

afi Foraminifera plangtonik P 22 ‐ N 4 NP 24 ‐ NN 1 6 Surono (2008) Oligosen Akhir ‐ Miosen Awal Litostratigr afi Nanofosil gampingan N 6 NN 3 5 Akmaluddin (2011) Oligosen Tengah ‐ Miosen Awal Biostratigr afi Foraminifera plangtonik P 20 ‐ N 5 NP 23 ‐ NN 2

7 Novita (2012) Eosen Tengah ‐ Miosen Awal Biostratigrafi dan litostratigrafi Foraminifera plangtonik P 13 ‐ N 5 NP 16 ‐ NN 2 No Peneliti Umur Formasi Zona Dasar penentuan umur Fokus Peneliti an

Gambar

Gambar 1.1. Peta lokasi daerah penelitian
Gambar 1.2. Peta penelitiaan jalur Pundungrejo
Gambar 1.4. Peta penelitian jalur Cremo.
Tabel 1.1. Umur Formasi Kebobutak dari beberapa peneliti terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang memuat identitas responden, riwayat penggunaan kontrasepsi, serta keluhan dan gejala

Bertanggung jawab untuk melakukan produksi sesuai dengan penjadwalan yang telah dilakukan dan menjaga kelancaran proses produksi sehingga dapat memenuhi permintaan pasar..

Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa tingkat inteligensi siswa berpengaruh signifikan dan positif terhadap hasil belajar siswa kelas

Dengan mengucap rasa syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat Nya sehingga penyusunan tesis dengan judul “Evaluasi Terhadap Manajemen Tanaman

Pengendalian derivatif (D) menggunakan tingkat perubahan sinyal error sebagai elemen prediksi pada aksi pengendalian. Komponen derivatif tidak dapat digunakan sebagai

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 29 ayat (4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, maka perlu

Pada dasarnya peran advokat pada tingkat pemeriksaan di muka sidang adalah membela tersangka/terdakwa dan mengikuti jalannya proses persidangan sehingga setelah

Ini bisa berupa peristiwa yang terjadi akibat aksi perorangan, seperti yang ditunjukkan pada vaksinasi atau keikutsertaan (partisipasi politik) dalam pemilihan