• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut little’s disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam terminologi cerebral palsy atau umunya disingkat CP1.

Sebagian besar penderita tersebut lahir prematur atau mengalami komplikasi saat persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin. Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus1.

Disamping pengamatan oleh Freud, keyakinan yang menyatakan bahwa komplikasi persalinan menyebabkan banyak kasus CP tersebar luas diantara dokter, keluarga dan tenaga riset medis. Ditahun 1980, dianalisis data penelitian pemerintah pada >35.000 persalinan dan hasilnya sangat mengejutkan dengan ditemukan kasus komplikasi hanya <10%. Sebagian besar kasus CP sering dijumpai kasus tanpa faktor resiko. Penemuan dari NINDS tersebut dapat

(2)

mengubah teori medis mengenai CP dan sangat memotivasi peneliti masa kini untuk mencari lebih lanjut penyebab lain dari CP1.

Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan penderita CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya paparan intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi dini CP pada bayi akan memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat penanganan optimal dalam upaya memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil dalam memperbaiki teknik diagnostik misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait modern. Kondisi tertentu yang sudah diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus, pada saat ini sudah dapat diterapi dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal dengan metode khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan braces banyak membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit yang berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas1.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah Cerebral Palsy ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Neurologi

RSUP H. Adam Malik Medan

2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, terutama mengenai manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana

(3)

BAB 2 ISI

2 . 1. Definisi

Cerebral palsy (CP) adalah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah

cerebral ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisphere, dan palsy

mendeskrispsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan, terjadi perkembangan yang salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekwat1.

2 . 2. Epidemiologi

Asosiasi CP dunia memperkirakan >500.000 penderita CP di Amerika. Disamping peningkatan dalam prevensi dan terapi penyakit penyebab CP, jumlah anak-anak dan dewasa yang terkena CP tampaknya masih tidak banyak berubah atau mungkin lebih meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir. Hal tersebut sebagian mungkin karena banyak bayi prematur yang mengalami masa kritis dan bayi-bayi lemah banyak yang berhasil diselamatkan dengan kemajuan di bidang kegawatdaruratan neonatologi. Yang patut disayangkan, banyak dari bayi-bayi tersebut mengalami masalah perkembangan sistem saraf atau menderita kerusakan neurologis. Penelitian banyak dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut terutama pada bayi-bayi yang mengalami masalah pernafasan dan penggunaan terapi medikasi untuk mencegah perdarahan pada otak sebelum atau segera setelah lahir. Angka kejadian CP berkisar 1,2-2,5 anak per 1000 anak usia sekolah dini. Satu penelitian menunjukkan prevalensi CP kongenital derajat sedang sampai berat mencapai 1,2 per 1000 anak usia 3 tahun. Angka harapan hidup penderita CP tergantung dari tipe CP dan beratnya kecacatan motorik1,2.

(4)

Penelitian di negara yang sudah berkembang menunjukkan bahwa prevalensi CP tidak menurun pada setiap kelompok berat lahir. Dengan meningkatnya bayi BBLR yang dapat diselamatkan, dimana merupakan faktor resiko CP1.

2 . 3. Klasifikasi

CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis. Spastik diplegia, untuk pertama kali di deskripsikan oleh dr.Little (1860), merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya sebagai CP. Hingga saat ini, CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu1,2,3:

1. CP Spastik

Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissors gait).

Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis, dimana seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh. Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat. CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu1:

a. Monoplegia: Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan

(5)

b. Diplegia: keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua lengan.

Gambar 2. Diplegia1

c. Triplegia: Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua lengan dan 1 kaki.

Gambar 3. Triplegia1

(6)

Gambar 4. Quadriplegia1

e. Hemiplegia: mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat.

Gambar 5. Hemiplegia1

2. CP Atetoid/diskinetik

Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan, atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stres dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20% penderita CP1.

3. CP Ataksid

Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil

(7)

dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru digunakan dan tampak memburuk sama dengan saat penderita akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5-10% penderita CP1. 4. CP campuran

Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah spastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai1.

CP juga dapat diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal (Tabel 1)1,3.

Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan Derajat Penyakit1 Klasifikasi Perkembangan

Morik Gejala

Penyakit Penyerta Minimal Normal, hanya

terganggu secara kualitatif • Kelainan tonus sementara • Refleks primitif menetap terlalu lama • Kelainan postur ringan • Gangguan gerak motorik kasar & halus, misalnya clumpsy • Gangguan komunikasi • Gangguan belajar spesifik

Ringan Berjalan umur

24 bulan • Beberapa kelainan pada pemeriksaan neurologis • Perkembangan refleks primitif abnormal • Respon

(8)

terganggu • Gangguan motorik, misalnya tremor • Gangguan koordinasi Sedang Berjalan umur 3

tahun, kadang memerlukan bracing

Tidak perlu alat khusus • Berbagai kelainan neurologis • Refleks primitif menetap dan kuat • Respon postural terlambat • Retardasi mental • Gangguan belajar dan komunikasi • Kejang

Berat Tidak bisa berjalan, atau berjalan dengan alat bantu Kadang perlu operasi • Gejala neurologis dominan • Refleks primitif menetap • Respon postural tidak muncul 2 . 4. Etiologi

Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab CP berbeda–beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi antara lain: terminologi tentang anak– anak yang secara neurologik sakit sejak dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat badan lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat rendah, yang berisiko CP dan terminologi tentang anak–anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko mengalami CP setelah masa kanak–kanak4.

Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal4,5.

(9)

1. Pranatal4,5

• Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom

• Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun • Usia ayah < 20 tahun dan > 40 tahun

• Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis • Radiasi sewaktu masih dalam kandungan

• Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain – lain) • Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan

alkohol

• Induksi konsepsi

• Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental atau sensory deficit)

• Toksemia gravidarum

Dalam buku–buku masih dipakai istilah toksemia gravidarum untuk kumpulan gejala–gejala dalam kehamilan yang merupakan trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema), yang kadang–kadang bila keadaan lebih parah diikuti oleh KK (kejang–kejang/konvulsi dan koma). Patogenetik hubungan antara toksemia pada kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini mungkin terjadi karena toksemia menyebabkan kerusakan otak pada janin.

• Inkompatibilitas Rh

Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian pranatal pada salah satu bayi kembar

Maternal thyroid disorder

(10)

Maternal mental retardation

Maternal seizure disorder

2. Perinatal4,5

• Anoksia / hipoksia

Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-servik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio caesar.

• Perdarahan otak akibat trauma lahir

Perdarahan dan anoksi dapat terjadi bersama–sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan dan peredaran darah, sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.

• Prematuritas

• Berat badan lahir rendah • Postmaturitas

• Primipara • Antenatal care

• Hiperbilirubinemia

Bentuk CP yang sering terjadi adalah athetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi yang tinggi pada anak–anak yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan terapi yang diperlukan untuk mencegah peningkatan konsentrasi unconjugated bilirubin. Gejala–gejala kernikterus yang terdapat pada bayi yang mengalami jaundice biasanya tampak setelah hari kedua dan ketiga kelahiran. Anak menjadi lesu dan tidak dapat menyusu dengan baik.

(11)

Kadangkala juga terjadi demam dan tangisan menjadi lemah. Sulit mendapatkan Reflek Moro dan tendon pada mereka, dan gerakan otot secara umum menjadi berkurang. Setelah beberapa minggu, tonus meningkat dan anak tampak mengekstensikan punggung dengan

opisthotonus dan diikuti dengan ekstensi ektremitas. • Status gizi ibu saat hamil

• Bayi kembar • Ikterus

Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.

• Meningitis purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP.

• Kelahiran sungsang • Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II sekitar 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I : 7 jam dan kala II : 1/5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.

• Partus dengan induksi / alat • Polyhidramnion

• Perdarahan pada trimester ketiga 3. Postnatal4,5

• Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus. • Trauma kepala : hematom subdural.

• Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan,

(12)

• Luka parut pada otak pasca operasi • Racun : logam berat, CO

• Malnutrisi

2 . 5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik dari penyakit ini bermacam–macam, tergantung pada lokasi yang terkena, apakah kelainan terjadi secara luas di korteks dan batang otak, atau hanya terbatas pada daerah tertentu. Kelainan kromosom atau pengaruh zat–zat teratogen yang terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan, dapat berpengaruh terhadap proses embriogenesis sehingga dapat mengakibatkan kelainan yang berat. Pengaruh zat–zat teratogen setelah trimester I akan mempengaruhi maturasi otak. Infeksi pada janin yang terjadi pada masa pertumbuhan janin, akan mengakibatkan kerusakan pada otak. Kejadian hipoksik–iskemik dapat mengakibatkan kelainan mikroanatomi sekunder akibat dari gangguan migrasi

neural crest. Komplikasi perinatal tipe hipoksik atau iskemik, dapat mengakibatkan iskemik atau infark bayi. Bayi prematur sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit ini. Penyebab postnatal seperti infeksi, meningoensefalitis, trauma kepala, racun–racun yang berasal dari lingkungan seperti CO atau logam berat juga mengakibatkan terjadinya CP4.

Manifestasi dari gangguan motorik atau postur tubuh dapat berupa spastisitas, rigiditas, ataksia, tremor, atonik / hipotonik, tidak adanya reflek primitif (pada fase awal) atau reflek primitif yang menetap (pada fase lanjut), diskinesia (sulit melakukan gerakan volunter). Gejala–gejala tersebut dapat timbul sendiri–sendiri ataupun merupakan kombinasi dari gejala–gejala tersebut4.

Gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis CP. Kelainan fungsi motorik terdiri dari4,2,3:

1. Spastisitas

Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak

(13)

sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas dengan kecemderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan pronasi, serta jari–jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam fleksi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam.

Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita CP.

2. Tonus otot yang berubah

Bayi pada golongan ini pada bulan pertama kehidupannya tampak flasid dan berbaring seperti kodok terlentang, sehingga tampak seperti kelainan pada

lower motor neuron. Menjelang usia 1 tahun terjadi perubahan tonus otot dari yang rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring akan tampak flasid dan seperti kodok terlentang, tetapi apabila dirangsang atau mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis.

3. Koreoatetosis

Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak bayi

flasid, tetapi setelah itu barulah muncul kelainan tersebut.

Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak di ganglia basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau kernikterus pada masa neonatus. Golongan ini meliputi 5 – 15 % dari kasus CP.

4. Ataksia

Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flasid dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di serebelum. Terdapat kira–kira 5 % dari kasus CP.

(14)

Terdapat pada 5 – 10 % anak dengan CP. Gangguan berupa kelainan neurologen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata– kata. Terdapat pada golongan koreoatetosis.

6. Gangguan bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot–otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata–kata dan sering tampak anak berliur.

7. Gangguan penglihatan

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25 % penderita CP menderita kelainan mata.

2 . 6. Diagnosis

Cerebral palsy adalah suatu keadaan penurunan fungsi motorik yang terjadi saat awal kehidupan. Defisit ini dapat mempengaruhi satu atau lebih bagian–bagian dari sistem syaraf yang akan mengakibatkan berbagai gejala. Beberapa tipe yang utama antara lain : (1) piramidal, yaitu spatik quadriplegia, yang biasanya berhubungan dengan retardasi mental dan epilepsi; diplegia (biasanya terdapat pada bayi prematur) atau hemiplegia; (2) ekstrapiramidal, termasuk tipe distonik dan koreoathetonik; serta (3) tipe campuran yang melibatkan sistem piramidal dan ekstrapiramidal4.

Probabilitas kejadian CP meningkat seiring dengan meningkatnya prematuritas, kehamilan kembar dan juga meningkatnya intracranialhemorrhage, meningitis atau kejang neonatal. Untuk mengetahui adanya disfungsi otak yang serius, dapat dilakukan dengan menggunakan indikator yang reliabel yaitu lingkar kepala per umur. Salah satu bentuk yang dapat teraba oleh tangan adalah tolakan dari sutura cranial dan fontanella yang menutup dini, yang merupakan indikasi

(15)

berikut, meningkatkan keparahan pada kerusakan motorik di masa yang akan datang4,3:

1. Kesulitan makan dan komunikasi

Kesulitan makan yang terjadi pada bayi berumur 34 minggu atau lebih adalah suatu pointer diagnosis jika sebab–sebab spesifik lainnya diabaikan. Kesulitan makan dan komunikasi ini kemungkinan disebabkan karena adanya air liur yang berlebihan akibat fungsi bulbar yang buruk, aspirasi pneumonia yang berulang dan terdapat kegagalan pertumbuhan paru-paru.

Masalah kesulitan makan yang menetap dapat menjadi gejala awal dari kesulitan untuk mengekspresikan bahasa di masa yang akan datang. Penilaian awal kemampuan berkomunikasi dilakukan dengan bantuan ahli terapi bicara dan bahasa adalah penting dilakukan untuk mengetahui alat yang sesuai sebagai alternatif untuk membantu berkomunikasi. Hal ini penting dilakukan untuk memantau perkembangan kognitif anak .

2. Hipotonia, stereotipe motorik dan kelainan postur tubuh

Hipotonia berat merupakan tanda awal yang penting dari adanya kerusakan neurologis. Dan dalam ketidakhadiran sebab–sebab sistemik, harus dilakukan tindakan tertentu untuk melakukan penyelidikan secara mendetail. Bayi yang mengalami lemas (floppy) dapat berkembang menjadi distonia atau diskinesia sampai akhir tahun pertama usia kehidupannya. Sedikitnya variabilitas pada gerakan tungkai atau gerakan yang terus–menerus atau cramped postures, juga merupakan indikasi adanya kemungkinan kerusakan motorik.

3. Kejang

Kejang pada bayi dan neonatal menunjukkan adanya penyakit pada struktur utama otak dengan kemungkinan konsekuensi kerusakan pada sistem motorik. Walaupun cedera struktural meningkat, hubungan antara spasme dan kejang pada bayi, mempengaruhi kejadian CP sebanyak 20%, terutama pada mereka yang menderita quadriplegia dan hemiplegia yang disertai pre-existing cortical. Anak–anak yang mengalami diplegia jarang mengalami kejang. 4. Penglihatan

(16)

Masalah penglihatan yang biasanya muncul adalah juling. Untuk mengetahui apakah retinopati pada bayi prematur dapat menyebabkan retinal detachment, membutuhkan surveillance yang menyeluruh terhadap semua penderita CP dewasa muda sampai setelah 10 tahun kedua kehidupannya. Kerusakan pada kortikal atau white matter menyebabkan field loss reflect pada organ penglihatan. Anak–anak yang mengalami kerusakan visual, biasanya disertai dengan keterlambatan perkembangan motorik, walaupun tanpa adanya gejala neurologis pada fokal. Dalam PVL, kelainan pada bagian inferior dapat menyebabkan munculnya suatu gejala dimana penderita mengalami jalan terhuyung–huyung, tersandung dan jatuh yang dapat menimbulkan kesalahan diagnosa bahwa penderita mengalami fungsi motorik yang buruk. Secara keseluruhan, 11% penderita CP mengalami kerusakan visual yang parah. 5. Pendengaran

Kehilangan pendengaran berhubungan dengan mikrosefali, mikroftalmia dan penyakit jantung bawaan, dimana disarankan untuk memeriksa ada tidaknya infeksi TORCH (toksoplasma, rubella, sitomegalovirus dan herpes simpleks). Pada sebagian penderita diskinesia, kernikterus dapat menyebabkan ketulian sensorineural frekuensi tinggi.

6. Fungsi kognitif dan perilaku

Sebanyak 20 % penderita CP mengalami masalah kognitif dan tidak dapat berjalan. Pemeriksaan pada anak hemiplegia berusia 6 – 10 tahun menunjukkan 61% mengalami satu atau lebih masalah psikiatrik, antara lain gelisah dan depresi (25%), kelainan tingkah laku (24%), hiperaktifitas berat dan inattention (10%) dan autisme (13%).

Diagnosis tersangka CP dilakukan oleh neonatologis, dokter anak atau komunitas dokter anak yang telah berpengalaman mendiagnosis CP. Gejala kelainan neurologi yang terjadi pada masa perkembangan otak, seringkali tersembunyi hingga struktur otak cukup matang untuk mengetahuinya. Sehingga sebagian besar dokter akan menunda diagnosis formal hingga anak berusia 2 tahun. The National Collaborative Perinatal Project di Amerika Serikat merekomendasikan peringatan bahwa ⅔ dari anak–anak yang didiagnosa

(17)

mengalami diplegia spastik dan ½ dari semua anak yang menunjukkan tanda– tanda CP pada tahun pertama kehidupan mereka, akan tampak sebagai gejala CP setelah mereka berusia 7 tahun4.

Dokter–dokter mendiagnosa CP pada bayi–bayi dengan melakukan tes pada kemampuan motorik dan analisis menyeluruh pada catatan medis mereka. Suatu riwayat medis, tes diagnosis dan regular check-up dapat digunakan untuk memastikan diagnosis CP atau untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya penyakit yang lain.

Untuk mendiagnosis CP disamping berdasarkan anamnesis yang teliti, gejala–gejala klinis, juga diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya.Berikut adalah beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis CP4,6:

1. Elektroensefalogram (6G)

6G dapat dilakukan dari usia bayi sampai dewasa. Merupakan salah satu pemeriksaan penting pada pasien dengan kelainan susunan saraf pusat. Alat ini bekerja dengan prinsip mencatat aktivitas elektrik di dalam otak, terutama pada bagian korteks (lapisan luar otak yang tebal). Dengan pemeriksaan ini, aktifitas sel-sel saraf otak di korteks yang fungsinya untuk kegiatan sehari-hari, seperti tidur, istirahat dan lain-lain, dapat direkam. Pada infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, pemeriksaan 6G perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan, misalnya terjadi kejang yang tersembunyi atau adanya bagian otak yang terganggu.

2. Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV)

Alat ini sangat berguna untuk membuktikan dugaan adanya kerusakan pada otot atau syaraf. NCV digunakan terlebih dahulu sebelum EMG, dan digunakan untuk mengukur kecepatan saat dimana saraf–saraf mentransmisikan sinyal.

Selama pemeriksaan NCV, elektroda ditempelkan pada kulit yang dilalui syaraf yang spesifik untuk suatu otot atau sekelompok otot. Prinsip kerja NCV adalah memberikan stimulus elektrik yang dihantarkan melalui elektrode, kemudian respon dari otot dideteksi, diolah dan ditampilkan. Kekuatan dari

(18)

sinyal yang diberikan juga dihitung. Kondisi neurologis dapat menyebabkan NCV melambat atau menjadi lebih lambat pada salah satu sisi tubuh.

EMG mengukur impulse dari saraf dalam otot. Elektrode kecil diletakkan dalam otot pada lengan dan kaki dan respon elektronik diamati dengan menggunakan suatu alat yang menampilkan gerakan suatu arus listrik (oscilloscope). Alat ini mendeteksi bagaimana otot bekerja.

3. Tes Laboratorium a. Analisis kromosom

Analisis kromosom dapat menunjukkan identifikasi suatu anomali genetik (contohnya Down’s Syndrome) ketika anomali tersebut muncul pada sistem organ.

b. Tes fungsi tiroid

Tes fungsi tiroid dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang rendah yang dapat menyebabkan beberapa cacat bawaan dan retardasi mental berat.

c. Tes kadar ammonia dalam darah

Kadar ammonia yang tinggi di dalam darah (hyperammonemia) bersifat toksik terhadap sistem saraf pusat (seperti otak dan sumsum tulang belakang). Defisiensi beberapa enzim menyebabkan kerusakan asam amino yang menimbulkan hyperammonemia. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan liver atau kelainan metabolisme bawaan.

4. Imaging test

Tes gambar sangat membantu dalam mendiagnosa hidrosefalus, abnormalitas struktural dan tumor. Informasi yang diberikan dapat membantu dokter memeriksa prognosis jangka panjang seorang anak.

a. Magnetic Resonance Imaging atau MRI

MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menciptakan gambar dari struktur internal otak. Studi ini dilakukan pada anak–anak yang lebih tua. MRI dapat mendefinisikan abnormalitas dari

(19)

white matter dan korteks motorik lebih jelas daripada metode–metode lainnya.

b. CT scan

Teknik ini merupakan gabungan sinar X dan teknologi komputer, menghasilkan suatu gambar yang memperlihatkan setiap bagian tubuh secara terinci termasuk tulang, otot, lemak dan organ-organ tubuh. Suatu

computed tomography scan dapat menunjukkan malformasi bawaan, hemorrhage dan PVL pada bayi.

c. Ultrasound

Ultrasound menggunakan echo dari gelombang suara yang dipantulkan ke dalam tubuh untuk membentuk suatu gambar yang disebut sonogram. Alat ini seringkali digunakan pada bayi sebelum tulang tengkorak mengalami pengerasan dan menutup untuk mendeteksi kista dan struktur otak yang abnormal.

2 . 7. Diagnosis Banding4

1. Mental subnormal

Sukar membedakan CP yang disertai retardasi mental dengan anak yang hanya menderita retardasi mental. Kedua keadaan ini pada umumnya saling menyertai. Oleh karena itu kalau ditemukan anak dengan retardasi mental, maka harus dicari tanda–tanda CP, demikian pula sebaliknya.

2. Retardasi motorik terbatas

Sukar untuk membedakan CP tipe diplegia yang ringan, dengan kelainan motorik terbatas pada tungkai bawah.

3. Tahanan volunter terhadap gerakan pasif

Anak mungkin didiagnosis sebagai tipe spastik, padahal sebenarnya hanya menunjukkan adanya tahanan terhadap gerakan pasif, biasanya pada abduksi paha.

(20)

Keterbatasan abduksi sendi paha dapat terjadi pada dislokasi kongenital. Gerakan yang terbatas, terdapat pula arthrogryposis multiplex congenital, seringkali dikelirukan dengan tipe spastik. Pada anak dengan mental subnormal atau hipotonia berat yang tidur pada satu sisi, dapat menyebabkan kontraktur otot yang menyebabkan gerakan abduksi paha terbatas.

5. Cara berjalan yang belum stabil

Cara anak yang baru belajar berjalan terutama pada mereka yang terlambat berjalan, sering diduga menderita CP.

6. Gerakan normal

Gerakan lengan dan kaki yang normal pada bayi sering dikelirukan dengan tipe athetoid. Terutama pada bayi dengan risiko athetoid, seperti pada hiperbilirubinemia. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan yang teliti.

7. Berjalan berjinjit

Sebagian besar penderita tipe spatik berjalan dengan cara berjinjit. Tetapi cara berjalan dengan berjinjit kadang-kadang terdapat pada anak yang normal yang mulai belajar berjalan dengan cara ini. Untuk membedakan dengan tipe spastik, maka pada anak yang masih belajar berjalan dengan tonus otot, tendon jerk dan reaksi plantar yang normal. Cara berjalan berjinjit juga terdapat pada tendon akiles yang pendek kongenital, muskular distrofi, dislokasi sendi paha unelateral, autisme dan distonia muskolorum.

8. Pemendekan kongenital pada gluteus maksimus, gastroknemius dan hamstring.

Keadaan ini menyebabkan anak sulit duduk, sehingga terlambat duduk. Tetapi tendon Jerk pada anak ini normal, untuk membedakannya dengan penderita tipe spastik.

9. Kelemahan otot–otot pada miopati, hipotoni atau palsy Erb.

Pada semua kasus ini akan ditemukan kelamahan otot. Knee Jerk, abduksi paha dan dorsofleksi sendi pergelangan kaki adalah normal. Palsy Erb jarang yang menetap.

(21)

Penyebab yang dimaksud termasuk didalamnya adalah tremor, spasme torsi, spasme nutans, korea dan tik. Sering membingungkan adalah antara athetosis dangan ataksia, sebelum gerakan involunter yang khas timbul. Pada spasme torsi, gejala pertama adalah sering terdapat hipertonus pada otot–otot betis, fleksi plantar dan inversi dengan aduksi kaki. Kemudian terjadi tortikolis, yang diikuti dengan spame torsi yang khas. Spasme nutans sering dikelirukan dengan tremor, tetapi tanda yang khas adalah kepala yang mengangguk– angguk atau twitching, disertai dengan kebiasaan melihat dengan ujung mata. Harus dapat membedakan athetosis dengan gerak yang lebih tidak teratur pada korea Sydenham atau Huntington.

11. Penyakit–penyakit degeratif pada susunan saraf

Penyakit–penyakit seperti lipoidosis, leukoensefalopati, penyakit Schilder

(ensefalitis periaksialis) dan multiple sklerosis sering dikelirukan dengan CP dengan penyebab pranatal. Toksoplasmosis dapat meyebabkan kejang–kejang atau spastisitas, sehingga sering mengaburkan penyebab utamanya. Phenyl ketonuria, walaupun jarang juga dapat menyebabkan spastisitas.

12. Kelainan pada medula spinalis

Kelainan disini adalah diastematomieli, siringomieli dan disrafisme spinal. Diastematomieli adalah kelainan kongenital pada medula spinalis yang menyebabkan paresis progresif pada tungkai bawah. Siringomieli terjadi pada anak yang agak besar, yang ditandi dengan adanya atrofi otot, arthropati, kelemahan atau spastisitas dan terdapat gangguan pada rasa sakit.

Kelainan kongenital lain adalah tidak terbentuknya tulak sakrum, menyebabkan kelemahan pada kaki dan disertai gangguan kontrol sfingter. Spastis diplegia atau monoplegia adalah sangat jarang, oleh kareba itu harus dicari gejala–gejala lain pada ekstremitas atas.

13. Sindrom lain

Kleidokranial diastosis yaitu tidak terbentuknya 1/3 bagian medial klavikula, kadang–kadang diikuti spastisitas dan mental subnormal. Platibasia dan kelainan lain pada dasar kepala, kadang–kadang disertai leher yang pendek, ataksia atau hipotonia.

(22)

2 . 8. Penatalaksanaan

Terapi Fisik, Perilaku dan Lainnya

Terapi, apakah untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas sederhana, merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita sesuai dengan perkembangan usia1.

Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera setelah diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2 tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila berlanjut akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah menghindari kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan menimbulkan posisi tubuh abnormal1.

Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal, dengan panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat berjalan dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan berkembang dalam kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan mencegah peregangan otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat berkembang cukup pesat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau dengan kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah komplikasi dengan cara melakukan peregangan pada otot yang spastik. Sebagai contoh, jika anak mengalami spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga seharusnya mendorong anak untuk duduk dengan kaki diluruskan untuk meregangkan ototnya1.

Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar dari program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang menyebabkan hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan berusaha untuk menetralkan refleks tersebut

(23)

dengan memposisikan anak pada posisi yang berlawanan. Jadi, sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi pada lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang kali pada lengan tersebut1.

Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya berkembang secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan membimbing anak sesuai dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal. Sebagai contoh, anak belajar gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk dan merangkak sebelum anak mampu berjalan, yang berhubungan dengan tanpa melihat usianya1.

Terapi fisik hanya merupakan satu elemen dari program perkembangan bayi selain juga meliputi usaha untuk menyediakan satu lingkungan yang bervariasi dan dapat menstimulasi perkembangan motorik anak. Anak CP juga membutuhkan pengalaman baru dan interaksi dengan lingkungan disekitarnya dalam upaya pembelajaran. Program stimulasi dapat memberikan pengalaman yang bervariasi pada anak yang secara fisik tidak memungkinkan untuk bereksplorasi1.

Pada saat anak CP mencapai usia sekolah, penekanan terapi bergeser dari perkembangan motorik dini. Usaha sekarang ditujukan pada persiapan anak untuk masuk sekolah, membantu anak untuk membangun aktivitas harian rutin, dan memaksimalkan kemampuan anak untuk berkomunikasi1.

Terapi fisik saat ini dapat membantu anak CP mempersiapkan sekolah dengan meningkatkan kemampuan untuk duduk, bergerak leluasa atau dengan kursi roda, atau melakukan tugas misalnya menulis. Pada terapi okupasi, terapis bekerja dengan anak untuk mengembangkan kemampuan makan, berpakaian, atau menggunakan kamar mandi. Hal ini akan menurunkan kebutuhan pada pengasuh dan mempertinggi kepercayaan pada diri sendiri. Untuk anak yang mengalami kesulitan berkomunikasi, terapi wicara bekerja untuk mengidentifikasi kesulitan spesifik dan membawa mereka dalam program latihan, menggunakan alat komunikasi khusus, misalnya komputer dengan suara1.

(24)

kemampuan anak. Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi, yang dapat melengkapi terapi fisik, bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam kotak dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan menggunakan tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata dengan huruf depan b dapat menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain, terapis dapat mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau perilaku merusak, misalnya menarik rambut atau menggigit, dengan menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan aktivitas yang baik1.

Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan tipe terapi dan pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah. Terapi fisik berkelanjutan berdasarkan masalah pergerakan dan disuplementasi dengan latihan vokal, rekreasi dan program yang menyenangkan, dan edukasi khusus jika diperlukan. Konseling untuk perubahan emosi dan psikologis dapat dibutuhkan pada setiap usia, tetapi paling sering pada masa remaja. Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin membutuhkan pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau pekerjaan1.

Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat1.

Alat Mekanik

Mulai dengan bentuk yang sederhana misalnya sepatu velcro atau bentuk yang canggih seperti alat komunikasi komputer, mesin khusus dan alat yang diletakkan dirumah, sekolah dan tempat kerja dapat membantu anak atau dewasa dengan CP untuk menutupi keterbatasannya1.

Komputer merupakan contoh yang canggih sebagai alat baru yang dapat membuat perubahan yang bermakna dalam kehidupan penderita CP. Sebagai

(25)

contoh, anak yang tidak dapat berbicara atau menulis tetapi dapat membuat gerakan dengan kepala mungkin dapat belajar untuk mengendalikan komputer dengan menggunakan pointer lampu khusus yang diletakkan di ikat kepala. Dengan dilengkapi dengan komputer dan sintesiser suara, anak akan berkomunikasi dengan orang lain. Pada kasus lain, tehnologi telah mendukung penemuan versi baru dari alat lama, misalnya kursi roda tradisional dan bentuk yang lebih baru yang dapat berjalan dengan menggunakan listrik1.

Terapi Medikamentosa

Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. obat yang diberikan secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai efektivitas pengontrolan kejang.

Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita CP adalah1:

1. Diazepam

Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6 bulan diberikan dengan dosis 0,12 – 0,8 mg/Kg4/hari per oral dibagi dalam 6– 8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis

2. Baclofen

Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot. Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:

• 2 – 7 tahun:

Dosis 10 – 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 – 4 dosis. Dosis dimulai 2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 – 15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari

(26)

• 8 – 11 tahun:

Dosis 10 – 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 – 15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari

• > 12 tahun:

Dosis 20 – 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari

3. Dantrolene

Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari

Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat- obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat- obat tersebut1.

Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride1.

Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat menunda kebutuhan untuk melakukan

(27)

pembedahan1.

Botulinum Toxin (BOTOX)

Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan puncak terjadi pada 60 hari1.

Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat dramatik1.

Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang diinginkan1.

Baclofen Intratekal

Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan

(28)

otot berat yang sangat mengganggu fungsi normal tubuh . Karena Baclofen tidak dapat menembus 4B secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik1.

Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak tahun 1990, metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan menunjukkan efikasi yang baik1.

Terapi Bedah

Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan tendon, menentukan dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang merekam saat penderita berjalan, komputer akan menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter akan lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk memeriksa hasil operasi1.

Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah, pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan operasi yang terkait secara bersama-sama1.

Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam

(29)

prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya1.

Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya1.

Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis1.

2 . 9. Prognosis

Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sesungguhnya, tidak pernah terjadi pada CP. Tetapi terjadi perbaikan sesuai dengan tingkat maturitas otak yang sehat sebagai kompensasinya. Pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Cooper dkk menunjukkan adanya tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik dengan bertambahnya umur pada anak yang mendapat stimulasi dengan baik4,7.

Morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan tingkat keparahan CP dan bersamaan dengan komplikasi–komplikasi medis lain (seperti kesulitan pernafasan dan kelainan gastrointestinal). Pada penderita quadriplegia lebih berisiko mengalami epilepsi, abnormalitas ekstrapiramidal dan kelainan kognitif berat daripada mereka yang menderita diplegia atau hemiplegia4,7.

Epilepsi terjadi pada 15 – 60 % penderita CP dan lebih sering terjadi pada pasien dengan spastik quadriplegia atau retardasi mental. Ketika dibandingkan dengan kontrol, anak–anak penderita CP memiliki insidensi epilepsi lebih tinggi dengan onset selama tahun pertama kehidupannya dan lebih banyak memiliki

(30)

riwayat kejang neonatal, status epilepticus, politerapi dan pengobatan dengan menggunakan anti konvulsan baris kedua4.

Di Inggris dan Skandinavia sebanyak 20 – 30 % dari penderita dengan kelainan ini mampu bekerja sebagai buruh penuh. Sedangkan 30 –35 % penderita yang disertai dengan retardasi mental, memerlukan perawatan khusus. Prognosis yang paling baik pada derajat fungsional ringan. Prognosis bertambah berat bila disertai retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Angka kematian penyakit ini adalah 53 % pada tahun pertama dan 11 % meninggal pada umur 7 tahun4.

(31)

BAB 3 PENUTUP

Cerebral palsy (CP) adalah kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya. CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis. Hingga saat ini, CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4 kategori1.

Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal4.

Manifestasi klinik dari penyakit ini bermacam–macam, tergantung pada lokasi yang terkena, apakah kelainan terjadi secara luas di korteks dan batang otak, atau hanya terbatas pada daerah tertentu4.

Diagnosis tersangka CP dilakukan oleh neonatologis, dokter anak atau komunitas dokter anak yang telah berpengalaman mendiagnosis CP. Dokter– dokter mendiagnosa CP pada bayi–bayi dengan melakukan tes pada kemampuan motorik dan analisis menyeluruh pada catatan medis mereka4.

Terapi, apakah untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas sederhana, merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita sesuai dengan perkembangan usia1. Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sesungguhnya, tidak pernah terjadi pada CP4.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D. CerebralPalsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing Education: Surabaya.pp.1-33

2. Syarif WS. Perawatan Dental Anak dengan Cerebral Palsy. Prosiding Temu Ilmiah Bandung Densitry 9: Bandung.pp.1-8

3. Alvian R. 2012. Pendekatan Brain Based Learning untuk meningkatkan prestasi belajar IPA anak cerebral palsy. Available from: eprints.uny.ac.id/9555/2/bab%202%20-%2005103241017.pdf

4. Mardiani E. 2006. Faktor-Faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian Cerebral Palsy. Universitas Diponegoro: Semarang.

5. Reddihough DS, Collins KJ. The epidemiology and causes of cerebral palsy.

Australian Journal of Physiotherapy 49: 7-12

6. Jan MMS. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update. Ann Saudi Med 2006;26(2):123-132

7. Latif S. 2010. Cerebral palsy in children and young people. Available from: https://www.cerebra.org.uk/SiteCollectionDocuments/CP%20brief.pdf

Gambar

Gambar 4. Quadriplegia 1
Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan Derajat Penyakit 1 Klasifikasi Perkembangan

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya dengan pengetahuan komunikasi terapeutik perawat, kemampuan perawat yang sebagian besar pada kategori cukup baik tersebut kemungkinan karena adanya

Penelitian yang dilakukan di TK AndiniSukarame Bandar Lampung betujuan meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal konsep bilangan melalui media gambar pada usia

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus