SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Donald Tandiose NIM : 058114130
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
sukacita tanpa kesedihan, dan kedamaian tanpa penderitaan.
Namun, Allah menjanjikan kekuatan untuk menempuh hari ini,
Dia telah menjanjikan istirahat bagi para pekerja,
Terang di jalan yang gelap, rahmat untuk mengatasi pencobaan,
Bantuan dari atas, simpati yang tak berkesudahan,
dan kasih yang tak kunjung padam
Kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya
(Gereja Santo Antonius Kotabaru, 27 Mei 2008)
Kupersembahkan Untuk :
Tuhan Yesus Kristus atas berkat, hikmah, serta perlindungan yang telah diberikan Papa dan Mama tercinta atas doa, kasih sayang dan pengorbanan selama ini Kakak-kakaku tersayang
Almamaterku
penulisan skripsi yang berjudul ”Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems Pada Pasien Rumah Sakit Bethesda Periode Agustus 2008 (Kajian Penggunaan Obat Sistem Saluran Pernapasan)” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada Fakultas Farmasi, Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa materil, moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Direktur Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan ijin menggunakan Rumah Sakit Bethesda sebagai tempat untuk menjalankan penelitian.
2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, saran serta dukungan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.
5. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. yang telah bersedia menjadi dosen penguji serta yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Ana, selaku apoteker di bangsal kelas III RS. Bethesda yang telah bersedia untuk diwawancarai dan banyak membantu peneliti selama penelitian.
7. Seluruh apoteker di RS Bethesda yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan saran serta arahan kepada peneliti.
8. Seluruh dokter yang menjadi responden untuk diwawancarai dalam penelitian. 9. Pak Sis, selaku Kepala Bagian Rekam Medis RS Bethesda beserta staf karyawan
yang telah mengijinkan dan membantu peneliti dalam pengambilan data.
10.Mba Igun, sektretaris di Farmasi Rawat Inap RS Bethesda yang telah membantu selama pengurusan ijin penelitian.
11.Ibu Catur Widjastuti, AMK selaku kepala ruang B, bangsal kelas III RS Bethesda yang telah mengijinkan dan membimbing peneliti selama pengambilan data di ruang B.
14.Kakak-kakakku tersayang Irma, Iwan dan Denny yang telah mengayomi penulis dan menjadi motivator dan inspirator kepada penulis dalam menyusun penelitian. 15.Fransisca Ayuningtyas, yang telah mendukung, memberi semangat dan doa ketika
peneliti dalam keadaan sulit serta sebagai teman yang selalu setia disisi, ketika peneliti dalam masalah dan menjadi inspirasi yang sangat berarti kepada peneliti. 16.Siska dan Stela yang sudah dibuat sibuk, pusing dan emosi oleh penulis serta
sebagai tempat mencari jawaban ketika penulis sedang dalam kesusahan dalam menyusun skripsi ini.
17.Andien, Bambang, Nolen, Sekar dan Vivi yang merupakan rekan dalam penelitian di RS Bethesda yang telah membantu peneliti dalam penelitian serta bersama-sama dalam suka dan duka menjalankan penelitian.
18.Weli, teman peneliti yang tidak dapat melanjutkan penelitian ini. Seorang yang ceria dan penuh tawa.
19.Akursius Rony dan Feri Dian Sanubari yang telah banyak membantu peneliti dan memberi masukan serta inspirasi selama proses penyusunan skripsi di kontrakan. 20.Teman-teman kelas C angkatan 2005 dan FKK angkatan 2005 yang telah
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui masalah utama terjadinya ME fase administrasi dan DTP pada penggunaan obat sistem saluran pernapasan serta untuk mengetahui profil kasus pasien, profil penggunaan obat sistem saluran pernapasan serta mengetahui kerasionalan terapi kasus pasien di Bangsal Kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008 (kajian obat gangguan sistem saluran pernapasan). Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian eksploratif deskriptif yang bersifat prospektif.
Kasus yang menerima obat sistem saluran pernapasan sebanyak 22 kasus. 46% kasus berumur diatas 55 tahun sampai 75 tahun, jenis kelamin terbanyak laki-laki (59%), berpendidikan SLTA (45%), pekerjaan sebagai swasta (26%), kasus dengan satu diagnosa (63.6%). Profil obat yang paling banyak digunakan yaitu golongan antibiotik (77,3%), sediaan oral padat (222,7%), dekstrometorphan 15mg dengan frekuensi penggunaan 3 kali sehari 1 tablet digunakan oleh 22,7% kasus pasien.
DTP dan ME yang terjadi, dosis terlalu tinggi 4 kasus, dosis terlalu rendah 12 kasus, ADR 5 kasus, interaksi obat 8, complience 6 kasus, potensi administration error 3 kasus, pemberian diluar instruksi dokter 1 kasus dan kegagalan mengecek instruksi 3 kasus. Masalah utama DTP disebabkan kelemahan paramedis terutama farmasi klinis dalam memonitor penggunaan obat pasien. Kelemahan ini terjadi karena terbatasnya apoteker yang menjalankan praktek farmasi klinis di bangsal rumah sakit, sedangkan masalah utama medication error disebabkan oleh kelemahan pencatatan identitas pasien di rumah sakit (human error).
The objective of this research is to know the main problem of the administration phase of ME and DTP in the use of the respiratory tract system drug and also to know the profile case of the patient, the rationality of patient case therapy at 3rd room in the Bethesda Yogyakarta Hospital during the period of August 2008 (The analysis of respiratory tract system drug use). This research is non experimental, the design of the research is explorative-descriptive research which is prospective.
There are 22 cases received in respiratory tract system drug cases. 46% cases are up to 55 until 75 years old, most of them are men (59%), senior high school educated 45%, private officers are 26% , cases with one diagnose 63,6%. The most drug used profile is antibiotics (77,3%), the solid oral drug (222,7%), 15 mg Dextrometorphan three times a day one tablet frequency used by 22,7% patient cases.
The cases of DTP and ME are too high dossage are 4 cases, too low dossage are 12, ADR are 5 cases, drug interaction are 8 cases complience are 6 cases, ME potential related to dossage are 3 cases, additional medicine out of the doctor intruction is one case and the failure in the intruction checking are 3 cases.
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
PRAKATA... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... x
INTISARI... xi
ABSTRACT... xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xx
BAB I PENGANTAR... 1
A. Latar Belakang... 1
1. Permasalahan ... 4
2. Keaslian penelitian... 4
3. Manfaat penelitian... 6
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum... 6
2. Tujuan khusus... 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 8
A. Medication Error... 8
B. Drug Therapy Problems (DTPs)……… 9
C. Interaksi Obat………. 11
D. Pharmaceutical Care………... 12
E. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pernapasan……… 12
F. Gangguan Saluran Pernapasan... 1. Emfisema paru... 14
2. Epidemiologi………. 18
3. Etiologi……….. 19
4. Patofisiologi……….. 19
5. Manifestasi klinik……….. 19
6. Strategi terapi……… 20
H. COPD (ChronicObstructivePulmonaryDisease)……….. 21
1. Definisi……….. 21
1. Definisi……….. 23
2. Epidemiologi………. 24
3. Etiologi……….. 24
4. Patofisiologi………... 24
5. Manifestasi klinik……….. 25
6. Strategi terapi………. 25
J. Pneumonia……… 26
1. Definisi……….. 26
2. Epidemiologi………. 27
3. Etiologi………. 27
4. Patofisiologi……….. 27
5. Manifestasi klinik……….. 27
6. Strategi terapi……… 28
K. Bronchitis……… 28
1. Definisi……….. 28
2. Epidemiologi……….. 29
3. Etiologi……….. 29
4. Patofisiologi……….. 29
5. Manifestasi klinik……….. 30
6. Strategi terapi……… 30
L. TBC (Tuberculosis)……….……… 31
1. Definisi……….. 31
2. Epidemiologi……….. 31
3. Etiologi……….. 32
4. Patofisiologi……….. 32
5. Manifestasi klinik……….. 32
6. Strategi terapi……… 32
M. Keterangan Empiris……… 33
BAB III METODE PENELITIAN……….. 34
A. Jenis dan Rancangan Penelitian………. 34
B. Definisi Operasional……… 34
C. Subjek Penelitian ……… 36
D. Bahan Penelitian………. 37
E. Alat Penelitian……… 37
F. Tempat Penelitian……….. 37
G. Tata Cara Penelitian……… 38
1. Tahap orientasi……….. 38
2. Tahap pengambilan data……… 38
3. Tahap penyelesaian data……… 39
1. Dokter ……….. 45
2. Perawat……….. 46
3. Apoteker……… 48
B. Profil Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan……….. 49
1. Berdasarkan kelompok umur……… 49
2. Berdasarkan jenis kelamin……… 50
3. Berdasarkan pendidikan……… 52
4. Berdasarkan pekerjaan……….. 53
5. Berdasarkan diagnosa utama……… 55
C. Profil Penggunaan Obat Sistem Saluran Pernapasan………. 56
1. Jumlah macam obat dan golongan obat……… 56
2. Golongan obat dan jumlah saluran pernapasan………. 63
3. Bentuk sedíaan……….. 65
4. Kekuatan dan frekuensi penggunaan obat... 67
D. Evaluasi Drug Therapy Problems dan Medication Error Pasien Kasus yang Mengggunakan Obat Sistem Saluran Pernapasan... 69
1. Drug therapy problems (DTPs)... 69
2. Medicationerror (ME)... 76
E. Evaluasi Masalah Utama Drug Therapy Problems dan Medication Error Pasien Kasus yang Mengggunakan Obat Sistem Saluran Pernapasan Periode Agustus 2008... 91
F. Rangkuman Pembahasan... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 94
A. Kesimpulan... 94
B. Saran... 95
DAFTAR PUSTAKA... 96
Tabel III Pengelompokkan Berdasarkan Diagnosis Utama Kasus Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 56 Tabel IV Pengelompokkan Berdasarkan Jumlah Macam Obat Kasus
Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 57 Tabel V Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 4
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 57 Tabel VI Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan
5 Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 58 Tabel VII Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 6
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 58 Tabel VIII Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 7
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 59 Tabel IX Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 8
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 59 Tabel X Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 9
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 60 Tabel XI Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 10
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 60 Tabel XII Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 11
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 61 Tabel XIII Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 13
Agustus 2008... 62 Tabel XV Pengelompokkan Kasus Pasien yang Mendapatkan 15
Macam Obat Berdasarkan Jumlah dan Golongan Obat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 63 Tabel XVI Pengelompokkan Berdasarkan Jenis Obat Kasus Pasien
yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 64 Tabel XVII Pengelompokkan Berdasarkan Sediaan Obat Kasus
Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus 2008... 66 Tabel XVIII Pengelompokkan Berdasarkan Kekuatan dan Frekuensi
Obat Kasus Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus 2008... 67 Tabel XIX Kelompok Kasus DTP Dosis Terlalu Tinggi pada Kasus
Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 70 Tabel XX Kelompok Kasus DTP Dosis Terlalu Rendah pada Kasus
Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 71 Tabel XXI Kelompok Kasus DTP ADR pada Kasus Pasien
yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 72 Tabel XXII Kelompok Kasus DTP Interaksi Obat pada Kasus Pasien
yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode
Agustus 2008... 73 Tabel XXIII Kelompok Kasus DTP Complience pada Kasus Pasien
yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 75 Tabel XXIV Jumlah Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 76 Tabel XXV Kelompok Kasus Potensi ME terkait Administration Error
Yogyakarta Periode Agustus 2008... 78 Tabel XXVII Kelompok Kasus ME Kegagalan Mencek Instruksi pada
Kasus Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 79 Tabel XXVIII Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 81 Tabel XXIX Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 82 Tabel XXX Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 83 Tabel XXXI Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 84 Tabel XXXII Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 85 Tabel XXXIII Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 86 Tabel XXXIV Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 87 Tabel XXXV Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 88 Tabel XXXVI Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 89 Tabel XXXVII Contoh Kasus DTP pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 90 Tabel XXXVIII Jumlah Kasus ME pada Kasus Pasien yang Menggunakan
Gambar 3 Pengelompokkan Umur Kasus Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus 2008... 50 Gambar 4 Pengelompokkan Jenis Kelamin Kasus Pasien
yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus 2008……… 51 Gambar 5 Pengelompokkan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kasus Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008... 53 Gambar 6 Pengelompokkan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Kasus
Pasien yang Menggunakan Obat Gangguan Sistem Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Bethesda
Lampiran 2 Hasil Wawancara Terhadap Dokter di Bangsal
Kelas III RS Bethesda……….. 100
Lampiran 3 Hasil Wawancara Terhadap Perawat di Bangsal Kelas III RS Bethesda……….….. 102
Lampiran 4 Hasil Wawancara Terhadap Apoteker di Bangsal Kelas III RS Bethesda………... 111
Lampiran 5 Hasil Wawancara Pasien Ketika Home Visit di Rumah Pasien………... 113
Lampiran 6 Hasil Wawancara Pasien Ketika Home Visit di Rumah Pasien………... 114
Lampiran 7 Hasil Wawancara Pasien Ketika Home Visit di Rumah Pasien………... 115
Lampiran 8 Hasil Wawancara Pasien Ketika Home Visit di Rumah Pasien………... 116
Lampiran 9 Hasil Wawancara Pasien Ketika Home Visit di Rumah Pasien………... 117
Lampiran 19 Rekam Medis Kasus 10... 128
Lampiran 20 Rekam Medis Kasus 11... 130
Lampiran 21 Rekam Medis Kasus 12... 131
Lampiran 22 Rekam Medis Kasus 13... 132
Lampiran 23 Rekam Medis Kasus 14... 133
Lampiran 24 Rekam Medis Kasus 15... 134
Lampiran 25 Rekam Medis Kasus 16... 135
Lampiran 26 Rekam Medis Kasus 17... 136
Lampiran 27 Rekam Medis Kasus 18... 138
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Pharmaceutical care adalah tanggung jawab farmasis untuk
memaksimalkan hasil terapi dan meminimalkan efek negatif terapi sehingga tercapai tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang seharusnya dapat dicegah dan proses tersebut masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan (Anonim, 1998), sementara adverse drug reaction (ADR) adalah salah satu DTP respon obat yang tidak diharapkan pada dosis lazim profilaksis, diagnosis, penyembuhan, dan koreksi atau mengubah fungsi fisiologi. Mengingat isu paradigma baru patient safety, sangat penting melakukan observasi kejadian riil drug therapy problems (DTPs) dan medication error (ME) pada pasien sehingga dapat disusun suatu strategi pelaksanaan patient safety tersebut.
dengan bermacam-macam brand name dari berbagai perusahaan farmasi maka menjadi tantangan tersendiri bagi farmasis untuk mampu memberikan rekomendasi pilihan terapi dengan jaminan kualitas dan mutu obat yang baik.
Untuk memenuhi kriteria patient safety diperlukan suatu observasi tentang kejadian ME dan DTP yang nyata di masyarakat, sehingga dari observasi tersebut kita dapat menarik benang merah agar didapat suatu strategi pencapaian terapi yang aman kepada pasien (patient safety).
Kasus medication error di Indonesia tergolong sangat banyak. Salah satunya pembuatan puyer yang mencampur berbagai macam obat. Medication error yang terjadi pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia mencapai 3 sampai 6,9%, sedangkan peneliti lain melaporkan angka kejadian medication error yang lebih besar yaitu 4-17% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa medication error yang terjadi pada fase administrasi menduduki urutan kedua setelah fase ordering/prescribing (39%) yaitu sebesar 38% (Dwiprahasto and Kristin, 2008).
yang dikenal dengan nama obat anti tuberkolosis (OAT). Berdasarkan seminar tentang manajemen medication error di rumah sakit Bethesda, diketahui bahwa golongan antibiotik misalnya obat anti tuberkolosis (OAT) merupakan golongan obat yang memiliki risiko terbesar terjadinya medication error dibandingkan 9 golongan obat yang lain.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Bethesda karena merupakan rumah sakit swasta tipe utama dengan akreditasi ISO 9000 versi 2001 dan merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rumah sakit ini memiliki 7 orang apoteker dan telah mulai menjalankan kegiatan farmasi klinis. Selain itu, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan RS. Bethesda Yogyakarta telah melakukan suatu kerjasama mengenai masalah patient safety yang berupa penelitian medication error di RS. Bethesda yang dilakukan pada tahun 2007.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah: ”apakah yang menjadi masalah utama terjadinya Medication Error (ME) fase adminstrasi dan Drug Therapy Problems (DTPs) pada penggunaan obat sistem saluran pernapasan pasien di RS Bethesda periode Agustus 2008?”. Selain masalah utama diatas, beberapa penelitian tambahan yang ingin diamati, yaitu :
a. seperti apa profil pasien yang menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan yang meliputi umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, diagnosa utama yang mengalami medication error dan drug therapy problem di RS Bethesda periode Agustus 2008?
b. seperti apa profil penggunaan obat gangguan sistem pernapasan yang meliputi jumlah obat, jenis obat, bentuk sediaan, aturan pakai obat, kekuatan obat dan frekuensi penggunaan obat pada pasien yang mengalami medication error dan drug therapy problem di RS Bethesda periode Agustus 2008?
c. medication error dan drug therapy problems apa saja yang terjadi pada pasien RS Bethesda dalam penggunaan obat gangguan sistem saluran pernapasan periode Agustus 2008 (berdasarkan pengamatan prospektif)?
2. Keaslian Penelitian
pernah dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan masalah medication error dan drug therapy problems serta peresepan penggunaan obat sistem saluran pernapasan telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut.
a. Pola Pengobatan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 1997.
b. Evaluasi Peresepan Obat Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas Nonkomplikasi pada Anak di Instalasi Rawat Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000.
c. Persepsi Pembaca Resep Mengenai Resep yang Berpotensi menyebabkan Medication Error di Apotek di Kota Yogyakarta periode Januari-Februari 2005.
d. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode 2007 : Kajian Kasus Gangguan Sistem Pernapasan.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi tenaga kesehatan untuk mendeskripsikan ME dan DTP penggunaan obat gangguan sistem pernapasan yang terjadi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk pengambilan keputusan mengenai penggunaan obat gangguan sistem saluran pernapasan oleh farmasis dalam mempraktekkan pharmaceutical care dan menerapkan isu patient safety di rumah sakit yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan terapi obat di Rumah Sakit Bethesda dan secara umum rumah sakit di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah mengetahui masalah utama kejadian ME fase administrasi dan DTP pada penggunaan obat pada pasien di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008 (kajian obat gangguan sistem saluran pernapasan).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini bertujuan untuk :
pekerjaan, diagnosa utama yang mengalami ME dan DTP di RS Bethesda periode Agustus 2008.
b. menggambarkan profil obat gangguan sistem saluran pernapasan meliputi jumlah obat, jenis obat, bentuk sediaan, aturan pakai obat, kekuatan obat dan frekuensi penggunaan obat pada pasien yang mengalami ME dan DTP di RS. Bethesda periode Agustus 2008.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Medication Error
Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang
seharusnya dapat dicegah dan proses tersebut masih berada dalam pengawasan
dan tanggung jawab profesi kesehatan (Cohen, 1991), dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa
pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya
dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase
prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration.
Dari fase-fase medication error di atas, dapat dikemukakan bahwa faktor
penyebabnya dapat berupa, (Cohen, 1991) :
1. komunikasi yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep maupun
secara lisan (antara pasien, dokter dan apoteker),
2. sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem
penyimpanan obat, dan lain sebagainya)
3. sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan, dll),
4. edukasi kepada pasien kurang,
Tabel I. Bentuk-bentuk Medication error (Dwiprahasto dan Kristin, 2008)
Prescribing Transcribing Dispensing Administration
Kontraindikasi Duplikasi Tidak terbaca Instruksi tidak jelas Instruksi keliru Ada instruksi yang terlewatkan
Sediaan obat buruk Instruksi pengguna-an obat tidak jelas
Salah menghitung dosis Salah memberi label Salah menulis instruksi Dosis keliru
Pemberian obat di luar instruksi
Instruksi verbal dijalankan keliru
Administration error
Kontraindikasi Obat tertinggal di samping bed
Patient off unit
Pemberian obat di luar instruksi
Instruksi verbal dijalankan keliru
B. Drug Therapy Problems (DTPs)
Drug Therapy Problems adalah suatu permasalahan atau kejadian yang
tidak diharapkan atau yang kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi
akibat obat, sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi drug
therapy problems merupakan fokus penentuan dan keputusan akhir yang dibuat
dalam tahapan proses pelayanan pasien. Drug therapy problems merupakan
konsekuensi dari kebutuhan akan obat yang kurang tepat, yang juga merupakan
sesuatu yang sentral dalam pharmaceutical care practice. Setiap praktisi tenaga
kesehatan bertanggung jawab untuk membantu pasien yang memerlukan tenaga
profesional dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah
Tabel II. Penyebab-penyebab Drug Therapy Problems (DTPs) (Cipolle and Strand, 2004).
No Jenis DTP Contoh Penyebab DTP
1
Butuh tambahan terapi obat (need for additional drug therapy)
Timbulnya kondisi medis baru memerlukan tambahan obat baru Kondisi kronis memerlukan terapi lanjutan terus-menerus Kondisi yang memerlukan terapi kombinasi
Pasien potensial timbul kondisi medis baru yang perlu dicegah atau terapi profilaksi.
2
Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
Terapi yang diperoleh sudah tidak valid saat itu Terapi dengan dosis toksik
Penyalah-gunaan obat, merokok, dan alkohol Terapi sebaiknya non-farmakologi
Polifarmasi yang sebaiknya terapi tunggal
Terapi efek samping akibat suatu obat yang sebenarnya dapat digantikan dengan yang lebih aman
3 Salah obat (wrong drug)
Obat yang digunakan bukan yang efektif atau bukan yang paling efektif
Pasien alergi atau kontraindikasi
Obat efektif tetapi relative mahal atau bukan yang paling aman Obat sudah resisten terhadap infeksi
Kondisi sukar sembuh dengan obat yang sudah pernah diperoleh perlu mengganti obat
Kombinasi obat yang salah.
4 Dosis terlalu rendah (dose too low)
Dosis terlalu rendah
Waktu pemberian yang tidak tepat, misalnya profilaksis antibiotika untuk operasi
Obat, dosis, rute, atau formulasi yang kurang sesuai untuk pasien
5
Efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan interaksi obat
Obat diberikan terlalu cepat
Risiko yang sudah teridentifikasi karena obat tertentu Pasien alergi atau reaksi indiosinkrasi
Bioavalibilitas atau efek obat diubah oleh obat lain atau makanan.
Interaksi obat karena induksi atau inhibisi enzim, penggeseran dari tempat ikatan, atau dengan hasil laboratorium
6 Dosis terlalu tinggi (dose too high)
Dosis terlalu besar, kadar obat dalam plasma melebihi rentang terapi yang diharapkan
Dosis dinaikkan terlalu cepat
Obat akumulasi karena terapi jangka panjang
Obat, dosis, rute, atau formulasi yang kurang sesuai untuk pasien Dosis dan interval pemberian misalnya analgesik bila perlu diberikan terus
7
Ketaatan pasien (compliance) / gagal menerima obat
Pasien gagal menerima obat yang sesuai karena medication error Pasien tidak menuruti aturan yang ditetapkan secara sengaja maupun karena tidak mengerti maksudnya
C. Interaksi Obat
Interaksi antar obat dapat dapat diartikan sebagai hasil pemberian obat
kombinasi yang dapat berupa respon farmakologi atau klinik yang berbeda dari
respon farmakologi masing-masing obat tersebut apabila diberikan secara tunggal.
Hasil klinis dari interaksi antar obat dapat berefek antagonisme, sinergisme, atau
idiosinkrasi.
Dalam mengevaluasi interaksi obat, yang perlu diperhatikan adalah
signifikansi interaksi. Signifikansi berhubungan dengan jenis dan besarnya efek
yang menentukan kebutuhan monitoring pasien dan perlu tidaknya pengubahan
terapi untuk mencegah efek yang merugikan. Menurut Tatro (2001), signifikansi
klinik meliputi kelas signifikansi, onset dari efek interaksi, dan tingkat keparahan
interaksi.
Semakin rendah suatu nilai kelas interaksi menandakan bahwa interaksi
yang terjadi berbahaya dan telah terbukti, sebaliknya semakin besar nilai
interaksinya maka kemungkinan terjadi interaksi belum jelas karena belum
memiliki bukti. Onset menandakan kecepatan timbulnya efek, ada yang cepat
(terjadi kurang dari 24 jam) dan tertunda (terjadi lebih dari 24 jam atau bahkan
berhari-hari). Terdapat tiga tingkat keparahan, yaitu berat (mengancam jiwa dan
dapat menyebabkan kerusakan permanen), sedang (efek yang terjadi
menyebabkan kondisi klinis pasien menurun, serta ringan (tidak mengancam
D. Pharmaceutical Care
Pharmaceutical care atau “asuhan kefarmasian” adalah suatu praktek yang
dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan yang berhubungan obat
individu pasien dan diselenggarakan berdasarkan komitmen tanggung jawab
tersebut (pharmaceutical care is a practice in which the practioner takes
responsibility for a patient’s drug-related needs, and is held accountable for
commitment). Tanggung jawab tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian,
yaitu :
1. menjamin semua terapi yang diterima oleh individu pasien sesuai
(appropriate), paling efektif (the most effective possible), paling aman (the
safest available), and praktis (convenient enough to be taken as indicated).
2. mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan berhubungan
terapi dengan obat yang menghambat pelaksanaan tanggung yang pertama
(Strand et.al., 2004 dan Rovers et.al., 2003).
E. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pernapasan
Sistem saluran pernapasan dapat dibedakan menjadi 2 menurut letaknya,
yaitu sistem saluran napas bagian atas dan sistem saluran napas bagian bawah.
1. Saluran nafas bagian atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal, yaitu
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi (terdiri dari,
Pseudostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi menggerakkan
partikel partikel halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan
disaring oleh bulu hidung, sel goblet dan kelenjar serous yang berfungsi
melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi
menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian
udara akan diteruskan ke :
b. nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)
c. orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat
pangkal lidah)
d. laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
(Anonim, 2008b).
2. Saluran napas bagian bawah
Saluran napas bagian bawah terdiri dari :
a. laring, terdiri dari tiga struktur yang penting, seperti tulang rawan krikoid,
selaput/pita suara, epiglotis, glotis
b. trakhea, merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾
cincin tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh
membran fibroelastic menempel pada dinding depan esofagus
c. bronkhi, merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut carina. Bronchus kanan lebih pendek, lebar dan
superior, medius, inferior. Bronchus kiri terdiri dari lobus superior dan
inferior
d. alveoli, terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisia (Anonim,
2008b).
Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Pernapasan (Anonim, 2008a)
F. Gangguan Saluran pernapasan
Obstruksi paru atau saluran pernapasan didefinisikan sebagai penurunan
kapasitas paru untuk mengeluarkan udara dari dalam paru melalui saluran
bronkus. Penurunan kapasitas paru ini dapat disebabkan oleh pengecilan diameter
saluran bronkus, kehilangan integritas paru (bronchomalacia), atau penurunan
bronkus. Penyakit yang berhubungan dengan obstruksi saluran pernapasan adalah
asma dan infeksi bronkus (bronkhitis kronis) (Beggs et.al., 2007).
Gambar 2. Mekanisme Kerja Obat Gangguan Sistem Saluran Penapasan (Neal, M.J., 2006)
Restrictive lung disease didefinisikan sebagai ketidakmampuan paru untuk
memasukkan udara kedalam paru dan untuk mempertahankan udara dalam paru
pada keadaan normal. Kebanyakan restrictive lung disease sering dihubungkan
dengan gangguan atau destruksi dari membran kapiler alveoli (Dipiro, 2005).
1. Emfisema paru
Istilah emfisema paru berarti adanya udara yang berlebihan di dalam paru.
destruktif paru yang kompleks akibat merokok selama bertahun-tahun. Efek
fisiologis dari emfisema kronik sangat bervariasi, bergantung pada beratnya
penyakit dan perbandingan derajat infeksi bronkiolis relatif terhadap kerusakan
parenkim paru. Emfisema kronik biasanya berkembang secara lambat selama
bertahun-tahun. Seseorang akan mengalami hipoksia dan hiperkapnia karena
hipoventilasi pada banyak alveoli dan karena kehilangan dinding alveolus. Hasil
akhir dari semua efek ini adalah kekurangan udara (air hunger) yang hebat, lama,
dan bersifat merusak yang dapat berlangsung bertahun-tahun sampai hipoksia dan
hiperkapnia menyebabkan kematian (Guyton dan Hall, 2007).
2. Sianosis
Istilah sianosis berarti kebiruan pada kulit, dan penyebabnya adalah
hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam
pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen berwarna biru gelap keunguan yang terlihat melalui kulit.
Pada umumnya, sianosis muncul apabila darah arteri mengandung lebih dari 5
gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap 100 ml darah
(Guyton dan Hall, 2007).
3. Dispnea
Dispnea berarti penderitaan mental yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan udara. Sinonim yang
sering dipakai adalah “air hunger”. Tiga faktor yang sering menyertai
perkembangan sensasi dispnea, yaitu kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan
jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapasan untuk menghasilkan
ventilasi yang memadai, keadaan pikiran orang tersebut. Seseorang menjadi
sangat dispnea terutama akibat pembentukan karbon dioksida yang berlebihan
dalam cairan tubuh. Namun, pada suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen
dalam cairan tubuh dalam batas normal, tetapi untuk mencapai gas-gas ini dalam
batas normal, orang tersebut harus bernapas dengan kuat pada keadaan seperti ini,
aktivitas otot-otot pernapasan yang kuat sering kali memberi sensasi dispnea pada
orang tersebut (Guyton dan Hall, 2007).
4. Efusi pleura
Efusi pleura berarti terjadi penggumpalan sejumlah besar cairan bebas dalam
ruang pleura. Keadaan ini analog dengan cairan edema dalam jaringan, dan dapat
disebut sebagai “edema rongga pleura”. Penyebab efusi adalah sama dengan yang
menyebabkan edema pada jaringan lain, yaitu :
a. hambatan drainase limfatik dari rongga pleura
b. gagal jantung, yang menyebabkan tekanan perifer dan kapiler paru menjadi
sangat tinggi, sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan
kedalam rongga pleura.
c. tekanan osmotik koloid plasma yang sangat menurun, sehingga
memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan.
d. infeksi atau setiap penyebab peradangan lainnya pada permukaan rongga
pleura, yang merusak membran kapiler dan memungkinkan kebocoran protein
G. Asma 1. Definisi
Asma merupakan gangguan yang terjadi pada saluran napas berupa
inflamasi kronis akibat pengaruh sel-sel, seperti pada sel mast, eosinofil dan
limfosit T. Pada orang-orang yang rentan proses inflamasi ini dapat memunculkan
gejala berupa wheezing, sesak napas, nyeri dada dan batuk terutama pada malam
dan subuh. Gejala-gejala ini biasanya dapat meluas, akan tetapi serangan dapat
kembali secara sendirinya atau dengan penanganan (Borner et.al., 1998).
Berdasarkan NAEP (Health Nasional Astma Education Program)
mendefinisikan asma sebagai gangguan paru yang memiliki ciri/gejala :
a. penyumbatan saluran napas yang bersifat reversibel (tetapi tidak sepenuhnya
reversibel pada pasien-pasien tertentu) secara spontan atau dengan
menggunakan penanganan.
b. pembengkakan saluran napas
c. peningkatan respon saluran napas akibat berbagai macam stimulus.
Namun dengan berkembangnya teknologi, dapat meningkatkan pengetahuan kita
tentang adanya pengaruh asma yang muncul berhubungan dengan imunobiologi,
biokimia, psikologi dan bahkan tentang pengaruh genetik terhadap timbulnya
asma (Dipiro, 2005).
2. Epidemiologi
Asma bronkial merupakan penyakit umum yang dapat diderita oleh anak
maupun dewasa (Dipiro, 2005). Namun insidensi serangan asma pada orang
Survey, menyatakan bahwa serangan asma pada orang dewasa lebih tinggi pada
perempuan dibanding laki-laki (Borner et.al., 1998), walaupun alasan peningkatan
insidensi asma tidak diketahui dengan pasti, namun pemejanan akibat alergen dan
iritasi pada jalan napas seperti asap rokok pada anak-anak dapat meningkatkan
risiko terjadinya asma. Kualitas udara yang jelek dapat meningkatkan risiko
terjadinya asma (Dipiro, 2005).
3. Etiologi
Penyebab asma yang umum adalah hipersensitivitas kontraktil bronkiolus
sebagai respon terhadap benda – benda asing di udara. Pada pasien dibawah usia
30 tahun, sekitar 70% asma disebabkan oleh hipersensitivitas alergik, terutama
hipersensitivitas terhadap bahan iritan nonalergik di udara. Pada pasien yang
lebih tua, penyebab hampir selalu hipersensitivitas terhadap bahan iritan non
alergenik di udara, seperti iritan kabut asap (Guyton dan Hall, 2007).
4. Patofisiologi
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan
faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas,
hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi
mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan
analisis gas darah (Borner et.al., 1998).
5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik asma adalah dispnea, suara wheezing ketika inspirasi
6. Strategi terapi
a. Non-farmakologi
1) Menjauhkan pasien dari penyebab atau alergen yang dapat memicu
terjadinya asma
2) Olahraga ringan secara teratur
b. Farmakologi
1) β2 agonis
β2 agonis merupakan bronkodilator yang paling efektif. Terdapat 2 tipe
obat bronkodilator, yaitu : Simpatomimetik bronkodilator dan Derivat
xantin (methylxanthines).
Simpatomimetik bronkodilator bekerja dengan membuka bronkus
sehingga udara dapat mengalir masuk kedalam bronkus. Mekanisme
kerjanya yaitu menstimulasi sistem saraf parasimpatik dan melepaskan
mediator kimiawi sehingga menimbulkan bronkodilatasi (Beringer et.al.,
2005). Contoh golongan obat simpatomimetik yaitu salbutamol
(Salbron®), orsiprenalin sulfat (Alupent®), prokaterol HCl (Meptin®),
salmeterol (Seretide®).
Derivat xantin (metilxantin) menstimulasi SSP untuk menghasilkan efek
bronkodilatasi. Mekanisme obat derivat xantin yaitu meningkatkan siklik
cAMP dan menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang mendegradasi
cAMP (Beringer et.al., 2005). Contoh obat golongan ini yaitu teofilin
2) Kortikosteroid
Obat-obat kortikosteroid, misalnya flutikason propionat (Flixotide®)
diberikan secara inhalasi dan bekerja dengan menurunkan proses inflamasi
pada pasien asma.
3) Antagonis reseptor leukotrien dan penghambat saluran leukotrien
Golongan obat antagonis reseptor leukotrien misalnya zafirlukast
(Accolate®) merupakan contoh obat golongan penghambat saluran
leukotrien. Zafirlukast bekerja sebagai antagonis reseptor leukotrien
dengan menghambat reseptor leukotrien untuk berikatan dengan leukotrien
di saluran napas, mencegah edema sehingga menghasilkan bronkodilatasi
(Beggs et.al., 2007).
H. COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) 1. Definisi
Chronic obstructivepulmonarydisease (COPD) adalah penyakit progresif
yang memiliki karakteristik terbatasnya aliran udara yang tidak sepenunya
reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi paru-paru akibat partikel
atau gas yang berbahaya (Dipiro, 2005).
2. Epidemiologi
COPD merupakan penyebab kematian nomor empat di Amerika Serikat
setelah kanker, gangguan hati, dan cerebrovaskular accident. Pada tahun 2000,
meninggal diseluruh dunia akibat COPD. Kematian tertinggi lebih banyak pada
pria dan jenis kulit berwarna putih (Dipiro, 2005).
3. Etiologi
Penyebab utama COPD adalah asap rokok. Faktor lain dapat berupa
gangguan atau predisposisi genetik, debu atau partikel serta zat kimia yang
terhirup dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan sel dan berujung dengan
COPD (Dipiro, 2005).
4. Patofisiologi
COPD dikarakteristikkan sebagai proses inflamasi kronik pada saluran
pernapasan. Tidak hanya pada saluran pernapasan, proses inflamasi ini juga pada
pembuluh darah pada paru-paru. Inflamasi pada penyakit COPD sering
berhubungan dengan neutrofil di alam, akan tetapi makrofag, dan limfosit CD8
juga memainkan peran yang cukup besar (Dipiro, 2005).
5. Manifestasi klinik
Diagnosis COPD didasarkan atas gejala yang ditunjukkan oleh pasien
yang berupa, batuk, produksi sputum, sesak napas, serta pernah terpejan faktor
risiko seperti merokok, dan pemejanan bahan berisiko (debu atau zat kimia)
(Dipiro, 2005).
6. Strategi terapi
a. Non-farmakologi
1) Mengurangi atau bahkan menghentikan merokok, jika pasien bukan
seorang perokok jauhkan dari asap rokok.
b. Farmakologi
Pada umumnya terapi COPD hampir sama dengan terapi asma, yaitu
penggunaan agen bronkodilator yaitu golongan simpatomimetik (β2 agonis),
antikolinergik dan metilxantin. Namun yang membedakan antara terapi asma
dengan COPD adalah dari segi bentuk sediaan. Untuk terapi COPD lebih
disarankan dalam bentuk sediaan inhalasi, hal ini karena sediaan oral dan
parenteral kurang efektif dibanding sediaan inhalasi (MDI), selain itu efek
samping yang berupa takikardi dan tremor lebih banyak terjadi pada sediaan
oral dan parenteral (Dipiro, 2005).
Salah satu terapi COPD yang sering disarankan yaitu penggunaan agen
kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik. Terapi ini disarankan kepada
pasien yang mengalami penyakit yang progress dan tidak memperlihatkan
gejala yang semakin baik. Contoh terapi ini yaitu inhalasi kombinasi
salbutamol dan ipratropium bromida (Combivent MDI®).
I. Sinusitis 1. Definisi
Sinusitis merupakan suatu proses inflamasi atau infeksi pada sinus
pranasal mukosa. Istilah rhinosinusitis digunakan oleh beberapa ahli karena
sinusitis secara khas juga terjadi pada mukosa nasal. Sinusitis dibagi menjadi dua
macam, yaitu sinusitis akut dan kronis. Sinusitis akut didefinisikan sebagai proses
inflamasi yang terjadi selama 30 hari sedangkan sinusitis kronis didefinisikan
2. Epidemiologi
Sinusitis lebih banyak terjadi pada anak-anak dibanding dewasa. Diantara
anak-anak yang terinfeksi saluran napas akibat virus, 5%-13% mengalami
komplikasi sinusitis akibat bakteri. Infeksi saluran napas bagian atas akibat virus
yang terjadi pada dewasa, hanya 0,5%-2% yang mengalami komplikasi sinusitis
akibat bakteri (Dipiro, 2005).
3. Etiologi
Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus dan tidak jarang juga infeksi
bakteri, dimana cukup sulit untuk membedakan penyebabnya karena memilki
gejala yang sama. Infeksi virus biasanya dapat sembuh setelah 7 sampai 10 hari.
Jika gejala tidak berkurang setelah 7 sampai 10 hari diindikasi terinfeksi bakteri
(Dipiro, 2005).
4. Patofisiologi
Hampir sama dengan otitis media, akut sinusitis didahului dengan infeksi
saluran pernapasan oleh virus sehingga menyebabkan inflamasi pada mukosal.
Inflamasi ini dapat menyebabkan obstruksi pada sinus ostia. Sekresi mukosal
menjadi terjebak, pertahanan lokal gagal, bakteri yang berasal dari luar mulai
berploriferase. Patogenesis sinusitis kronis tidak diketahui secara pasti.
Kemungkinan disebabkan oleh patogen yang mempengaruhi fungsi imun
penderita. Beberapa pasien mengalami gejala kronis setelah mengalami infeksi
5. Manifestasi klinik
Gejala atau tanda sinusitis akut pada dewasa, yaitu keluarnya cairan
hidung (meler), nyeri pada sinus maxillary, jika gejala muncul selama 7 hari atau
lebih kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada anak-anak, yaitu
keluarnya cairan hidung, batuk, lebih dari 10-14 hari atau suhu tubuh mencapai
39OC atau pembengkakan hidung disertai nyeri (Dipiro, 2005).
Gejala atau tanda sinusitis kronis umumnya seperti gejala sinusitis akut
tetapi tidak spesifik. Terjadi rhinorhea yang berhubungan dengan eksaserbasi
akut. Batuk tidak produktif yang kronis, laringitis, dan sakit kepala. Biasanya
terjadi 3 hingga 4 kali pertahun dan tidak dapat diatasi oleh dekongestan (Dipiro,
2005).
6. Strategi terapi
a. Non-farmakologi
1) Banyak minum air putih untuk menurunkan konsentrasi mukus
2) Menggunakan terapi uap panas untuk melegakan jalan napas
3) Istirahat yang cukup
b. Farmakologi
1) Dekongestan
Merupakan obat yang digunakan untuk menurunkan bengkak pada saluran
hidung. Dekongestan sering digunakan untuk mengatasi gejala common cold,
badan panas (fever), sinusitis, rhinitis dan alergi saluran pernapasan lainnya.
Dekongestan hidung merupakan obat simpatomimetika, dimana obat ini
hidung. Vasokonstriksi dapat menurunkan bengkak pada saluran hidung
(Beggs, Susan, et al, 2007). Contoh obat dekongestan oral yaitu, gabungan
pseudoefedrin dan terfenadin (Rhinofed®).
2) Antitusif
Antitusif merupakan substansi yang bekerja secara spesifik untuk
menghambat dan menekan batuk. Golongan antitusif dapat diklasifikasikan
berdasarkan tempat kerjanya. Misalnya antitusif yang bekerja dengan
menekan SSP dan menghambat pusat batuk di medula serta meningkatkan
ambang refleks batuk. Kategori lain antitusif yaitu antitusif narkotik misalnya
kodein dan nonnarkotik misalnyadekstrometorfan HBr(Beringer et.al., 2005).
3) Mukolitik dan Ekspektoran
Mukolitik merupakan golongan obat yang mengencerkan dahak di saluran
pernapasan, dengan cara menurunkan viskositas atau kekentalan dari dahak
(Beggs et.al., 2007). Contoh obat mukolitik, seperti asetil sistein (Fluimucil®),
ambroksol HCl (Mucopect®), bromheksin HCl (Bisolvon®, Mucosulvan®).
Ekspektoran merupakan golongan obat yang berfungsi untuk menolong
mengeluarkan dahak yang kental dari saluran pernapasan (Beggs et.al., 2007).
Contoh agen ekspektoran adalah Sanadryl® dan Deladryl® .
J. Pneumonia
1. Definisi
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru, dengan beberapa
2. Epidemiologi
Pneumonia merupakan infeksi umum yang menyebabkan kematian
terbanyak di Amerika Serikat, dimana 4 juta kasus didiagnosis tiap tahunnya.
Pneumonia dapat menyerang semua kalangan umur, akan tetapi yang paling
banyak terjadi pada balita, orang tua dan yang mengidap penyakit kronis (Dipiro,
2005).
3. Etiologi
Patogen yang paling banyak menyebabkan pneumonia pada dewasa adalah
S. pneumoniae dan M. pneumoniae. Pneumococcus merupakan bakteri penyebab
umum pneumonia di semua kelompok umur. M. pneumoniae menyebabkan
10%-20% kasus pneumonia (Dipiro, 2005).
4. Patofisiologi
Bakteri yang masuk ke dalam saluran pernapasan, kemudian akan kontak
dengan alveoli kemudian bakteri akan ditangkap lapisan cairan epitelial,
kemudian individu akan membentuk antibodi imunoglobulin G sesuai dengan
respon imunologisnya. Tahap selanjutnya adalah tahap fagositosis oleh makrofag
alveolar. Terjadinya pneumonia disebabkan jika pertahanan paru-paru gagal
menahan infeksi bakteri (Dipiro, 2005).
5. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi
(non spesifik), gejala pada paru, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik
meliputi demam, menggigil, dan gelisah. Gejala pada paru timbul ketika proses
dirasakan disebabkan peradangan pada pleura akibat infeksi bakteri (Guyton dan
Hall, 2008).
6. Strategi terapi
Terapi suportif dapat digunakan untuk mengatasi gejala penyakit
pneumonia. Terapi suportif yang dapat digunakan yaitu penggunaan oksigen,
penggunaan bronkodilator, misalnya salbutamol ketika terjadi bronkospasme,
analgesik antipiretik ketika pasien mengalami demam.
Terapi menggunakan antibiotik pada umumnya sama seperti terapi
penyakit infeksi lain, yaitu menggunakan antibiotik spektrum luas pada awal
pengobatan yang efektif melawan patogen. Antibiotik empiris dapat digunakan
setelah mendapatkan hasil kultur kuman penyebab pneumonia. Bakteri yang
umumnya terdapat pada pasien dewasa penderita bronchitis kronis yaitu
Pneumococcus, H. influenzae, M. catarrhalis. Terapi yang dapat digunakan yaitu
cefuroksim, makrolida-azalide misalnya klaritromisin (0,5–1gram/hari),
eritromisin (1-2 gram/hari), azitromisin (500mg/hari kemudian menjadi
250mg/hari selama 4 hari) dan fluorokuinolon misalnya levofloksasin (0,5 – 0,75
gram/hari).
K. Bronchitis 1. Definisi
Bronchitis merupakan kondisi inflamasi pada elemen yang kecil maupun
yang luas pada batang tracheobronkial. Infamasi yang terjadi tidak mencapai
akut dapat terjadi pada semua umur sedangkan bronchitis kronis biasanya hanya
muncul pada dewasa (Dipiro, 2005).
2. Epidemologi
Bronchitis kronis merupakan penyakit nonspesifik yang sering diderita
oleh orang dewasa. Antara 10% - 20% populasi orang dewasa berumur 40 tahun
atau lebih menderita bronchitis kronis. Bronchitis kronis lebih banyak diderita
oleh pria dibandingkan wanita (Dipiro, 2005).
3. Etiologi
Bronchitis kronis merupakan hasil dari berbagai faktor, misalnya merokok,
pemejanan debu atau bahan yang berbahaya, asap, dan berbagai polutan serta
infeksi bakteri atau kemungkinan virus. Pengaruh berbagai faktor ini baik secara
tunggal ataupun kombinasi berbagai faktor dapat menyebabkan bronchitis kronis,
namun mekanismenya tidak diketahui. Asap rokok dapat mengiritasi saluran
napas dan dipercaya sebagai faktor predominan bronchitis kronis (Dipiro, 2005).
4. Patofisiologi
Pada bronchitis kronis, dinding bronkus menjadi tebal dan terjadi sekresi
mukus secara berlebihan oleh sel goblet di permukaan epitelium pada bronkus
yang besar dan kecil. Secara normal, sel goblet umumnya tidak muncul pada
bronkus yang kecil. Akibat peningkatan jumlah sel goblet, terjadi hipertropi dari
kelenjar mukus dan dilatasi dari kelenjar duktus mukus. Sebagai hasil dari
perubahan yang terjadi, bronchitis kronis terjadi akibat banyaknya mukus pada
saluran napas sehingga mengganggu kerja paru secara normal. Selain itu terjadi
vaskularitas dari membran saluran napas dan inflamasi kronis pada sel infiltrasi.
Hasil akhir dari semua proses ini adalah obstruksi dan kelemahan dinding bronkus
(Dipiro, 2005).
5. Manifestasi klinik
Penanda bronchitis kronis yaitu batuk produktif ringan hingga berat.
Biasanya batuk dan produksi dahak akan meningkat pada pagi hari. Warna
sputum bervariasi mulai dari putih hingga kuning kehijauan. Beberapa pasien
yang melaporkan diri telah batuk berdahak selama hampir 3 bulan berurutan
mengidap bronchitis kronis. Pada tahap bronchitis kronis yang progresif,
ditemukan cor pulmonale, hepatomegali, edema pada anggota gerak bagian
bawah. Secara umum, bronchitis kronis tidak menyebabkan penurunan berat
badan (dapat mempertahankan berat badan pada kisaran normal ), namun juga
dapat menyebabkan peningkatan berat badan hingga kegemukan (Dipiro, 2005).
6. Strategi terapi
a. Non-farmakologi
1) Hindarkan pasien dari bahan-bahan yang dapat mengiritasi, misalnya
asap rokok.
2) Banyak minum air putih untuk menurunkan kekentalan dahak
b. Farmakologi
Pasien yang pernapasannya terbatas dapat diberikan obat bronkodilator
misalnya salbutamol inhalasi dengan dosis 3-4 kali sehari 1-2 semprot, jika
produksi dahaknya berlebih dan sulit untuk dikeluarkan dapat digunakan agen
Diagnosis etiologik bronchitis sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
pemberian antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan hasil kultur
kuman penyebab. Misalnya jika penyebab pneumonia akibat bakteri
Streptococcus pneumonia maka antibiotik yang dapat digunakan yaitu
eritromisin (0,5 gram 3x/hari) atau turunannya misalnya klaritromisin dan
azitromisin (0,25-0,5 gram 1x/hari). Altenatif antibiotik lain yang berasal dari
golongan fluorokuinolon misalnya, levofloksasin (0,5–0,75 gram 1x/hari)
dapat digunakan.
L. TBC (Tuberculosis) 1. Definisi
Tuberkolosis merupakan suatu penyakit infeksi menular yang tertinggi
dibanding penyakit infeksi lain yang dapat membunuh penderitanya tanpa
diketahui secara perlahan-lahan, atau cepat jika tidak ditangani dengan benar
(Dipiro, 2005).
2. Epidemologi
Di Indonesia hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun
1995 menunjukan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor
tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok umur, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. WHO
1999 memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru dengan kematian
3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri penyebab penyakit TBC,
dimana berbentuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya
mengandung komplek lipida-glikolipida sarta lilin (wax) yang sulit ditembus zat
kimia. Kuman ini memiliki sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan pada uji mikrobiologis sputum dahak, oleh karena itu disebut sebagai
Basil Tahan Asam (BTA) (Dipiro, 2005).
4. Patofisiologi
Ketika kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran
pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem
peredaran darah dan saluran limfe, saluran pernapasan serta melalui saluran lain.
Infeksi berlangsung ketika kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, mengakibatkan peradangan di dalam paru.
5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami
batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau
pernah batuk darah, nafsu makan dan berat badan menurun, demam dan
berkeringat pada malam hari (Dipiro, 2005).
6. Strategi terapi
Terapi penyakit tuberkolosis menggunakan antibiotik yang dikenal dengan
nama obat anti tuberkolosis (OAT). Terdapat tiga kategori pengobatan, yaitu
Tahap kategori 1 (intensif) terdiri dari HRZE (isonisazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol) yang diminum setiap hari selama 4 bulan. Terapi
kategori ini diberikan kepada pasienn baru TB paru BTA positif.
Rifampisin digunakan dengan dosis TB laten yaitu 10mg/kg BB
(maksimal 600mg/hari) selama 4 bulan. Isoniasid digunakan dengan dosis TBC
aktif: 5mg/kg/hari (dosis yang umum digunakan yaitu 300mg/hari). Etambutol
digunakan dengan dosis terapi harian 15-25mg/kg atau pasien dengan berat badan
40-55kg : 800mg, 56-75kg : 1200mg, 76-90kg : 1600mg. Pirazinamid digunakan
dengan dosis :dewasa : 15-30mg/kg/hari, Terapi harian : 40-55 kg : 1000mg ;
56-75 kg : 1500mg ; 76-90kg : 2000 mg (Lacy et.al., 2006).
M.Keterangan Empiris
Penelitian mengenai Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors
(ME) Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pasien RS
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008 (Kajian Obat Gangguan Sistem
Saluran Pernapasan) diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kejadian medication error dan drug therapy problems yang terjadi di RS
Bethesda, serta dapat digunakan untuk mengurangi kejadian ME dan DTP
penggunaan obat gangguan sistem saluran pernapasan pada pasien di RS Bethesda
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien RS Bethesda Periode Agustus 2008 (Kajian Penggunaan Obat Sistem Saluran Pernapasan) merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian eksploratif deskriptif yang bersifat prospektif (Pratiknya, 1986).
Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa adanya manipulasi atau intervensi serta perlakuan dari peneliti (Pratiknya, 1986). Rancangan penelitian deskriptif eksploratif merupakan rancangan yang mendeskripsikan suatu fenomena tanpa mencoba menganalisis mengapa dan bagaimana fenomena itu dapat terjadi. Penelitian ini bersifat prospektif karena data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti keadaan kasus (observasi pasien) selama mendapatkan perawatan dan juga dengan melihat lembar catatan mediknya serta melakukan wawancara pasien dan tenaga kesehatan.
B. Definisi Operasional
2. Fase administrasi merupakan suatu fase pada saat obat diberikan dan digunakan oleh pasien.
3. Periode Agustus 2008 pada penelitian ini dimulai dari tanggal 4 Agustus – 4 September 2008.
4. Kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang menerima resep dan menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan di Bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008.
5. Lembar catatan medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data tentang karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, alamat, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, hasil laboratorium, lama perawatan, dan lembar resume pasien dewasa yang menerima obat gangguan sistem saluran pernapasan di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008.
6. Karakteristik pasien meliputi distribusi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, diagnosis dan penyakit penyerta.
7. Karakteristik peresepan obat meliputi unsur jumlah obat, jenis obat, bentuk sediaan obat, aturan pemakaian obat, kekuatan, frekuensi pemberian.
8. Evaluasi dosis berdasarkan sumber referensi dari buku Drug Information Handbook (Lacy et.al., 2006).
10.Home visit adalah pengamatan penggunaan obat dan kondisi pasien setelah keluar dari rumah sakit tanpa melakukan intervensi, yang dilakukan pada pasien yang menyetujui informed consent.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian meliputi: pasien yang dirawat inap di Bangsal Kelas III RS Bethesda periode Agustus 2008. Kriteria inklusi subyek adalah pasien yang dirawat di bangsal dewasa yang dilayani oleh farmasis klinis Rumah Sakit Bethesda dan pasien rawat jalan rumah sakit yang menerima terapi obat sistem saluran pernapasan pada bulan Agustus 2008. Bahan penelitian meliputi catatan medik pasien termasuk peresepannya. Kriteria eksklusi subyek adalah pasien yang tidak bersedia bekerja sama dan meninggal dunia selama penelitian sedang berlangsung.
Terdapat 80 kasus pasien yang dirawat di Bangsal Kelas III Rumah Sakit Bethesda selama Periode Agustus 2008. Terdapat 22 kasus pasien yang menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan. Dari 22 kasus pasien yang menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan yang dirawat di bangsal rawat inap, terdapat 5 pasien yang menyetujui informed consent untuk dilakukan home visit.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar catatan medik pasien dewasa yang menerima resep obat gangguan sistem saluran pernapasan dan dirawat inap di Bangsal Kelas III RS Bethesda periode Agustus 2008 yang ditulis oleh dokter, perawat, dan apoteker mengenai data klinis pasien. Hasil wawancara kepada perawat dan pasien atau keluarga yang mendampingi bila dimungkinkan
E. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. alat-alat untuk monitoring tanda vital dan data laboratorium sederhana seperti tensi meter (Tensoval®), termometer, alat pengukur kadar gula (Gluco Dr®), dan alat pengukur kadar kolesterol (Easy Touch®)
2. form pemantauan pasien dan form penggunaan obat pasien selama di bangsal dan di rumah.
3. panduan wawancara terstruktur kepada pasien pada saat visit bangsal dan homevisit di rumah pasien.
4. panduan wawancara terstruktur kepada perawat, apoteker dan dokter.
F. Tempat penelitian
dan di tempat tinggal pasien untuk pasien yang bersedia dilaksanakannya home visit dan yang telah menyetujui informed consent.
G. Tata Cara Penelitian
Terdapat tiga tahapan dalam penelitian ini, yaitu tahap orientasi, tahap pengambilan data dan tahap penyelesaian data.
1. Tahap Orientasi
Pada tahap ini, penelitian dimulai dengan penyusunan proposal dan kemudian dipresentasikan didepan perwakilan dokter dan apoteker RS Bethesda. Pada tahap orientasi ini peneliti mencari informasi mengenai penggunaan obat gangguan sistem saluran pernapasan di Bangsal RS Bethesda. Selain itu, untuk mencari teknis pengambilan data yang sesuai agar tidak mengganggu aktivitas di bangsal tersebut. Tahap orientasi dari penyusunan proposal kegiatan hingga melakukan orientasi langsung ke lapangan menghabiskan waktu 2 bulan, yaitu dari bulan Juni hingga Agustus.
2. Tahap pengambilan data
Pada tahap ini, pengambilan data terbagi menjadi 2, yaitu pengambilan data primer dan pengambilan data sekunder.
Pengumpulan data primer dibagi meliputi :
b. wawancara langsung kepada pasien bila memungkinkan atau kepada keluarga pasien yang mendampingi. Selain itu wawancara dilakukan terhadap dokter, perawat, dan keluarga pasien. Data hasil wawancara digunakan sebagai data penunjang untuk membantu mendeskripsikan hasil penelitian.
Pengumpulan data sekunder meliputi pencatatan lembar catatan medis pasien. Data yang dikumpulkan meliputi identitas, tanda vital, riwayat pengobatan, riwayat penyakit, riwayat keluarga, lama tinggal di rumah sakit, anamnesis, diagnosis, obat yang diberikan (terapi), dan data laboratorium serta keterangan kesembuhan pasien.
3. Tahap Penyelesaian Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dengan beberapa keterangan, yaitu tabel tentang golongan obat, dosis serta cara pemakaian, tanggal pemberian obat, data laboratorium, tanda vital, waktu penggunaan obat oleh pasien, serta nama obat yang diberikan kepada pasien di RS Bethesda Yogyakarta yang menerima obat gangguan sistem saluran pernapasan.
Data digunakan untuk identifikasi medication error dan drug therapy problems yang mungkin terjadi dan juga untuk identifikasi masalah utama kejadian ME dan DTP.
H. Tata Cara Analisis Hasil
Data dibahas secara evaluatif dengan bantuan tabel atau gambar.
1. Persentase berdasarkan umur pasien dikelompokkan dalam umur 18 tahun – 35 tahun ; >35 tahun – 55 tahun ; >55 tahun – 75 tahun dan >75 tahun, dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok umur dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien yang dirawat dan menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan kemudian dikalikan 100%.
2. Persentase berdasarkan jenis kelamin pasien dikelompokkan menjadi 2, yaitu pasien berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien yang dirawat dan menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan kemudian dikalikan 100%.