• Tidak ada hasil yang ditemukan

Brine shrimp lethality test fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan [Lantana camara L.] beserta profil kromatografi lapis tipisnya - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Brine shrimp lethality test fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan [Lantana camara L.] beserta profil kromatografi lapis tipisnya - USD Repository"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST FRAKSI EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL

KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

R. Hendra Krismawan NIM : 018114123

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya untuk mengobati pembengkakan/tumor, sebagai antiseptik dan antitoksik. Telah diketahui bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan memiliki efek toksik terhadap larva artemia akan tetapi belum ada laporan ilmiah mengenai efek paling toksik dari fraksi ekstrak etanol. Untuk mengetahui fraksi paling toksik tersebut dilakukan penelitian dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST), yang dinyatakan dengan nilai Lethal Concentration 50 (LC50).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest

only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak

etanol dari daun tumbuhan tembelekan yang dibuat fraksi. Fraksi diperoleh dengan metode Vaccum Coloumn Chromatography (VCC). Hasil fraksinasi diperoleh 3 fraksi yaitu F2, F3, dan F4 yang kemudian diuji dengan metode BST.

Sampel uji dan kontrol dibuat seri konsentrasi yaitu F2 (100; 178; 316,84;

563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml, dan F4 (10; 32;

102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva Artemia salina Leach yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Fraksi dikatakan toksik apabila harga LC50 ≤ 1000 μg/ml. Dari fraksi yang paling toksik dilakukan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui profil bercak yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan nilai LC50 dari F2 sebesar 508 μg/ml, F3

sebesar 23 μg/ml, dan F4 sebesar 101 μg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa F3

bersifat paling toksik. Gambaran profil bercak dari fraksi yang paling toksik dengan KLT menunjukkan bahwa bercak yang diduga menyebabkan kematian larva artemia adalah golongan terpenoid dengan Rf sebesar 0,3.

Kata kunci : Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L. ), Vaccum

Coloumn Chromatography (VCC), Fraksi toksik, Brine Shrimp

(7)

ABSTRACT

People often use Tembelekan leaf (Lantana camara L) as the traditional medicine to cure tumor, as antiseptic and also as an antitoxin. It has been known that the ethanol extract and chloroform extract of Lantana camara L has toxin effect to artemia larva but there is no scientific report about the most toxicity of fraction etanol extract. To know the toxicibility of that fraction, the research using Brine Shrimp Lethality Test (BST) method which was determined with LC50.

This research was a pure experiment by applying the posttest only control group design and the etanol extract of tembelekan leaf -that was made into fraction- was used. To get the fraction, the Vaccum Coloumn Chromatography method that was applied. Three fractions to test by using BST method- those are F2, F3, F4 , were

gotten. The test and control sample were formed as concentration series-those were

F2 (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml

and F4 (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. The control used the water with 5

replicate. The number of the dead Artemia Salina Leach on every concentration was counted after 24 hours. The percentage of LC50 was counted by using the probit analysis. Fraction was determined as toxin if the percentage of LC50 was ≤ 1000

μg/ml. To know the contents of the spotted profile, a thin layer chromatography was done to the most toxic fraction.

The result of the research showed that the LC50 percentage of F2 was 508

μg/ml, F3 was 23 μg/ml, and F4 was 101 μg/ml. So it could be said that F3 was the

most toxic fraction. The description of spotted profile of the most toxic fraction by using a Thin Layer Chromatography showed that the spot that was estimated as the causing the artemia dead is terpenoid and had Rf of 0,3

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas setiap anugerah Tuhan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Brine Shrimp Lethality Test Fraksi Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L. ) Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya”. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Rita Suhadi M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing pertama yang selalu

memberi dukungan, pengetahuan, kritik dan saran yang luar biasa dan selalu

sabar pada penulis.

3. Bpk. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Pembimbing kedua yang

banyak memberi dukungan, pengetahuan, masukan dan saran yang berharga.

4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji atas masukan-masukan

dan saran yang berharga.

5. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji atas masukan-masukan

dan saran yang berharga.

6. Bapak Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si. Terima kasih atas diskusi, masukan

dan saran yang diberikan

7. Bapak, Ibu, juga Mas Andre dan adikku Siska terima kasih atas kepercayaan,

(9)

8. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Andre selaku staf laboratorium.

Terima kasih atas bantuan, “guyonan” dan saran yang diberikan..

9. Team Proyek Tembelekan : Lia KKT, Novi dan Apri. Terima kasih atas

kerjasama dan bantuan serta semangat yang diberikan.

10.Rekan-rekan angkatan 2001 : Rudi Kembongce, Deny, Rima, Endah Sari,

Mario Cahyo, Delila, Wiwin, Mirah, Ade, Theo, Freddy, Prastowo, Prasojo,

Gita, Awan, Maya, Himawan, Lita, Lisa, Themy, Dio, Dewi, serta khususnya

kelompok E. Terima kasih atas semuanya.

11.Wiwid Lecek serta teman-teman Kost : Andi, Tumbur, Dian, Koeprit, Pak

Min, Tommy. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan dan pinjaman printer.

12.Mas Bondan, Mbak Dama, Mita serta Mbak Mimin sekeluarga. Terimakasih

atas pinjaman camera juga support yang diberikan.

13.Martina Herliana Wati. Terima kasih untuk diskusi, support, bantuan, dan

kasih sayang yang pernah diberikan. Terimakasih juga telah menyalakan

kembali semangat yang hampir padam. Thank’s.

14.Rekan-rekan angkatan 2003 : Marga (thank’s), Rosa, Devi, Titin, Mitea,

Vitea, Rani, Lintang, Yohana, Nella, Doni, Wati, Hengky, Vera, Ari, Eta,

Galeh. Terima kasih atas diskusi, bantuan, dan kebersamaannya.

15.Rekan-rekan angkatan 2002 : Eddy (thank’s), Kobo, Heri, Nowo, Firman,

Bowo, Peter, Elni, Vicky, TeGe, Puri. Terima kasih atas kebersamaan, canda

tawa, “sindiran” dan diskusi yang diberikan.

16.Ibu Retno dan Bpk. Bagus Wahyuono atas pengertian dan dukungan yang

(10)

17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dalam kesempatan ini, tak lupa penulis memohon maaf kepada semua

pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh

karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik

yang membangun.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA….………. v

INTISARI……… vi

ABSTRACT ………. vii

KATA PENGANTAR ….…………...……… viii

DAFTAR ISI..………. xi

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR...……….……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….…….. xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG………..… xx

BAB I. PENGANTAR………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian………... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………. 5

(12)

1. Keterangan botani ... 5

2. Nama daerah... 5

3. Deskripsi tanaman... 5

4. Kandungan kimia... 6

5. Kegunaan... 6

6. Penelitian dengan BST... 6

B. Terpenoid... 7

C. Artemia... 8

1. Lingkungan hidup artemia... 9

2. Penggunaan artemia pada metode BST... 10

D. Uji Toksisitas Akut... 13

E. Kanker... 14

F. Penyarian... 15

G. Kromatografi Vakum kolom... 16

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 17 I. Keterangan Empiris... 19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 20

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 20

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 20

1. Variabel penelitian... 20

2. Definisi Operasional... 21

C. Bahan dan Alat Penelitian... 22

(13)

2. Alat penelitian... 23

D. Tata Cara Penelitian... 24

1. Determinasi tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L.) ... 24

2. Pengumpulan bahan... 24

3. Penyiapan bahan... 24

4. Maserasi... 24

5. Fraksinasi... 25

6. Pembuatan air laut buatan... 27

7. Penetasan telur artemia... 27

8. Pembuatan larutan sampel... 28

9. Uji toksisitas akut dengan BST... 30

10.Uji KLT fraksi toksik daun tumbuhan tembelekan... 30

11.Analisis hasil... 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32

A. Determinasi Tanaman... 32

B. Pengumpulan Bahan ... 32

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan... 33

D. Fraksinasi Ekstrak etanol hasil maserasi……….…………... 35

E. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB) ... 44

F. Penetasan Telur Artemia... 44

G. Uji Toksisitas dengan Metode BST... 46

(14)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 65

C. Keterbatasan Penelitian... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66

LAMPIRAN... 69

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel I Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan... 29

Tabel II Penggabungan hasil fraksinasi menjadi 5 fraksi berdasarkan

data gambar 6……… 43

Tabel III Persentase kematian larva artemia akibat pemberian fraksi

ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan... 50

Tabel IV Data kromatogram tiga fraksi toksik... 57

(16)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke,

Warbers, Duke, Brielmann, 1988)……… 7

Gambar 2. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

93:7……… 36

Gambar 3. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

90:10..……… 38

Gambar 4. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

85:15..……… 39

Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

80:20..……… 40

Gambar 6. Kromatogram 12 fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan

tembelekan hasil fraksinasi dengan jarak pengembangan 15

cm……….. 42

Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F2... 51

(17)

Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F4... 52

Gambar 10. Kromatogram tiga fraksi toksik daun tumbuhan

tembelekan………. 56

Gambar 11. Potongan atas gambar 14, Kromatogram fraksi toksik daun

tumbuhan tembelekan... 58

Gambar 12 Potongan bawah Gambar 14, Kromatogram fraksi toksik

daun tumbuhan tembelekan... 59

Gambar 13. Potongan tengah Gambar 14, Kromatogram fraksi toksik

daun tumbuhan tembelekan.……….. 60

Gambar 14. Foto kromatogram kontrol KLTP. (A) deteksi UV 365 nm,

(B) deteksi vanilin-asam sulfat... 61

Gambar 15. Foto kromatogram KLTP bercak Rf 0,3 dari fraksi

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tumbuhan tembelekan... 69

Lampiran 2. Foto tumbuhan tembelekan... 70

Lampiran 3. Foto bunga tumbuhan tembelekan... 70

Lampiran 4. Foto buah tumbuhan tembelekan... 71

Lampiran 5. Foto aquarium untuk uji BST... 71

Lampiran 6. Foto rangkaian alat Vaccum Coloumn Chromatography (VCC)……… 72

Lampiran 7. Foto hasil fraksinasi Vaccum Coloumn Chromatography… 72 Lampiran 8. Data fraksinasi dan penggabungan fraksi………. 73

Lampiran 9. Data orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi yang akan digunakan dalam pengujian serta data kematian setelah perlakuan... 74 Lampiran 10. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan menggunakan analisis probit terhadap F2 daun tumbuhan tembelekan... 83

Lampiran 11. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan

menggunakan analisis probit terhadap F3 daun tumbuhan

tembelekan... 86

Lampiran 12. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan

menggunakan analisis probit terhadap F4 daun tumbuhan

(19)

Lampiran 13. Data kromatogram dari 3 fraksi toksik... 92

Lampiran 14. Data kromatogram KLTPreparatif dari bercak Rf 0,3 pada

F3... 93

(20)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. ALB = Air Laut Buatan

2. CaCl2 = kalsium klorida

3. cm = centi meter

4. g = gram

5. KCl = kalium klorida

6. KLT = Kromatografi Lapis Tipis

7. LC50 = Median Lethal Concentration

8. m = meter

9. mg = miligram

10. MgCl2 = magnesium klorida

11. MgSO4 = magnesium sulfat

12. ml = mililiter

13. mm = milimeter

14. NaCl = natrium klorida

15. NaHCO3 = natrium hidrokarbonat

16. nm = nanometer

17. UV = ultraviolet

18. oC = derajat celcius

19. l = liter

20. % = prosen/persen

21. μg/ml = microgram per mililiter

22. μl = microliter

(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Alam Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang layak diteliti

dan dikembangkan potensinya sebagai sumber obat. Salah satunya adalah

tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas sudah digunakan

oleh masyarakat untuk menghilangkan pembengkakan/tumor, rematik, tetanus,

malaria, sebagai antiseptik, antitoksik, dan perangsang muntah (Rana, Prasad, and

Blazquez, 2005).

Daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa golongan terpenoid

diantaranya 1-triacontanol, α-pinene, cadidene, cadinol, camerene, β

-caryophyllen, cineole, citral, dipentene, eugenol, furfural, γ-terpinene, geraniol,

icterogenin, isocamarene, lantadene A, lantadene B, lantanic acid, lantanine,

lantanolic acid, linalool, methyl-3-oxo-ursolate, p-cymene, phellandral,

phellandrene, phellandrone, dan terpineol.(Duke, 2001).

Penelitian dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) yang

dilakukan oleh Sugianti (2007) menggunakan ekstrak etanol daun tumbuhan

tembelekan menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

bersifat toksik dengan nilai LC50 sebesar 60,4 μg/ml. Perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut untuk fraksi dari ekstrak etanol tumbuhan tembelekan dengan harapan

dapat diketahui suatu fraksi yang memberikan efek paling toksik sehingga dapat

(22)

Metode fraksinasi yang digunakan adalah Vaccum Coloumn Chromatography

(VCC) karena dapat memisahkan suatu senyawa dengan cepat. Metode VCC

termasuk pemisahan senyawa secara preparatif yang dilakukan dalam suatu kolom

dan diaktifkan dengan vakum. Proses eluasi yang terjadi berdasarkan gradien

kepolaran fase gerak (Coll & Bowden, 1986).

Metode BST adalah suatu metode yang cukup praktis, murah, sederhana,

cepat tapi tidak mengesampingkan keakuratannya untuk skrining awal tanaman

berpotensi antikanker dengan menggunakan hewan uji larva Artemia salina Leach.

Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap artemia dengan penentuan

nilai LC50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols,

and McLaughlin, 1982). Artemia digunakan sebagai hewan uji karena artemia

memiliki kesamaan tanggapan dengan mammalia, misalnya tipe DNA-dependent

RNA polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mammalia dan

organisme ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependend ATPase,

sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut

dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Phillipson, 1993).

Metode BST tidak spesifik terhadap antikanker dan sebagian aksi

fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek

sitotoksik tanpa perlu menghabiskan waktu dan biaya penelitian dibandingkan

dengan pengujian sitotoksisitas umum, misalnya dengan menggunakan biakan sel

kanker. Penelitian yang dilakukan Meyer et al., (1982) dan Solis et al., (1993)

menunjukkan bahwa senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila

(23)

belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu dilakukan uji tingkat lanjut dengan

menggunakan biakan sel kanker. Suatu larutan memiliki nilai LC50 < 1000 μg/ml

maka larutan tersebut memiliki efek toksik yang besar yang nantinya diharapkan

memiliki efek sitotoksik, yang merupakan syarat utama untuk aktivitas antikanker.

Dengan demikian, diharapkan metode BST dapat digunakan sebagai langkah awal

untuk menemukan senyawa-senyawa yang memiliki efek sitotoksik.

1. Perumusan masalah

a. Fraksi manakah dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang

paling toksik terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan nilai LC50

paling kecil?

b. Bagaimanakah profil KLT fraksi paling toksik ekstrak etanol daun

tumbuhan tembelekan?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan daun tumbuhan

tembelekan antara lain isolasi dan identifikasi komponen kimia daun tembelekan

asal Tamalanrea Ujung Pandang oleh Aida (1990); penelitian farmakognosi dan

kandungan kimia dari daun Lantana camara oleh Soelastru (1986); pemeriksaan

flavonoid dan verbaskosid daun Lantana camara L. oleh Asterina (1994); uji

potensi antibakteri ekstrak etanol daun tembelekan terhadap Staphylococcus

aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218 oleh Asteria (2006).

Brine Shrimp Lethality test (BST) ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

(Lantana camara L.) beserta profil kromatografi lapis tipisnya oleh Sugiyanti

(24)

mengenai toksisitas akut fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

terhadap larva artemia.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna

bagi ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai besarnya

toksisitas fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap

larva artemia sehingga dapat dilakukan isolasi untuk mendapatkan

senyawa yang berpotensi untuk pengobatan kanker.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai kemungkinan pengobatan alternatif penyakit kanker

menggunakan daun tumbuhan tembelekan.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang paling

toksik terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan nilai LC50 paling kecil.

2. Mengetahui profil KLT dari fraksi paling toksik ekstrak etanol daun tumbuhan

(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tembelekan 1. Keterangan botani

Tembelekan (Lantana camara L.) termasuk dalam familia

Verbenaceae. Tembelekan mempunyai sinonim: L. aculeata L., L. antillana

Rafin, L. mutabilis Salisb., L. polyacanthus SCH., L. scabrida Soland, L.

viburnoides Blanco (Dalimartha, 2002)

2. Nama daerah

Sumatra : Bunga pagar, kayu singapore, tahi ayam (Melayu)

Sunda : Kembang satek, saliyara, saliyere, tahi ayam, t. Kotok,

cente.

Jawa : Kembang telek, Oblo, puyengan, pucengan, tembelek,

tembelekan, teterapan, waung, weliran.

Madura : Kamanco, mainco, tamanjho.

(Dalimartha, 2002).

3. Deskripsi tumbuhan

Tembelekan berupa perdu bercabang banyak, tinggi 0,5-5 m. Batang

segi empat, batang muda penuh rambut, kelenjar kecil dan selalu dengan duri

tempel. Daun bertangkai sangat panjang, bulat telur dengan pangkal tumpul, dan

ujung runcing, bergigi, bergerigi, dari sisi atas berbulu kasar, dari sisi bawah

berbulu jarang, (5-8) kali (3,5-5) cm. Bentuk bunga bulir pendek di ketiak,

(26)

berbentuk tabung lonceng, berlekuk tidak dalam, tinggi ± 2 mm. Tabung mahkota

membengkok, panjang ± 1 cm, tepian bertaju 4-5, taju tidak sama besarnya,

orange, merah muda, merah atau putih, sering bergantian warna. Benangsari

empat, yang panjang dua. Buah batu saling berdekatan, bentuk bulat telur, berinti

satu. Tumbuhan hias atau pagar, berasal dari Amerika Tropis, sebagian besar liar,

tumbuh pada ketinggian 1-700 m di atas permukaan laut, tumbuh di daerah yang

cerah matahari sampai cukup teduh. (Van Steenis, 1975).

4. Kandungan kimia

Daun tembelekan mengandung 1-triacontanol, aldehid, α-pinene,

amylase, cadidene, cadinol, camerene, β-caryophyllen, katalase, cineole, citral,

dipentene, eugenol, furfural, γ-terpinene, geraniol, glukosidase, icterogenin,

invertase, isocamarene, lantadene A, lantadene B, lantanic acid, lantanine,

lantanolic acid, linalool, lipase, methyl-3-oxo-ursolate, oksidase, p-cymene,

phellandral, phellandrene, phellandrone, sodium, tannase, tannin, dan terpineol

(Duke, 1999)

5. Khasiat dan kegunaan

Daun tembelekan berkhasiat untuk mengatasi sakit kulit, gatal-gatal,

bisul, luka, batuk, dan perangsang muntah sedangkan akar tembelekan untuk

mengatasi influenza, TBC kelenjar, rematik, keputihan, memar, bengkak, kencing

nanah, gondongan, dan asma (Dalimartha, 2002).

6. Penelitian dengan BST

Penelitian dengan BST diketahui ekstrak etanol daun tumbuhan

(27)

tembelekan mempunyai nilai LC50 sebesar 60,4 μg/ml terhadap larva artemia.

Dugaan senyawa yang berperan dalam kematian larva artemia adalah pentasiklik

triterpenoid dan flavonoid (Sugiyanti, 2007).

B. TERPENOID

Terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2.

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak

atsiri yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap sampai ke

senyawa yang tidak mudah menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta

pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1984). Triterpen tersebar luas dalam damar

gabus, dan kutin tumbuhan (Robinson, 1991). Triterpen di alam dapat berbentuk

ester atau glikosida dan kemungkinan berstruktur alifatik, tetrasiklik atau

pentasiklik. Triterpen saponin biasanya dalam bentuk pentasiklik (Evans and

Trease, 2002). Triterpen alkohol terdapat bebas dan juga sebagai glikosida.

(Robinson, 1999).

HO

(28)

Pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase

I dan II serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel

(Lee, Fang, Wang, Li, Cook, 1991). Untuk mendeteksi adanya triterpenoid salah

satunya dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis. Metode ini dapat

menggunakan fase diam silika gel dan dengan memakai pengembang seperti

heksan, etil asetat (1:1); kloroform, metanol (10:1); atau toluene : etil asetat

(93:7). Sebagai deteksi dapat digunakan penyemprotan dengan vanilin-asam sulfat

pekat, diteruskan dengan pemanasan pada 100°C - 105°C sampai pembentukan

warna sempurna (Harborne, 1984). Untuk senyawa terpenoid, akan menghasilkan

warna abu-abu, merah violet , atau ungu (Wagner, Brady, and Zgainski, 1984).

C. Artemia

Artemia termasuk dalam familia Artemidae, genus Artemia, spesies

Artemia salina Leach (Mudjiman, 1989). Istilah untuk telur artemia yang benar

adalah siste, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan

kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna

untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar

ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Sehingga sangat tahan terhadap

keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

Apabila telur artemia direndam dalam air laut bersuhu 25o C, maka

akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Setelah menetas, dari dalam cangkang

keluarlah burayak atau larva/nauplius. Burayak yang baru saja menetas masih

(29)

mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu

makan.

Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi instar

II. Pada tingkatan instar II, larva sudah mulai mempunyai mulut, saluran

pencernaan dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan.

Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis.

Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerak-gerakkan antena II

nya. Selain untuk mengumpulkan makanan, antena II tersebut juga berguna untuk

bergerak.

1. Lingkungan hidup artemia

Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6o C atau

lebih dari 35o C, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat

hidup. Dengan demikian pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu

antara 25-30o C (Mudjiman, 1989).

Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia

dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium

dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut alami adalah 28, maka artemia

masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).

Perkembangan artemia yang baik membutuhkan kadar garam yang

tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya sudah tidak dapat

hidup lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa gangguan. Untuk

(30)

pada suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk setiap jenis artemia

(Mudjiman,1989).

Artemia dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar

oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen. Pengaruh pH

terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh

terhadap penetasan telur. Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8, maka

efisiensi penetasan akan menurun (Mudjiman, 1989).

2. Penggunaan artemia pada metode BST

Artemia adalah hewan coba yang digunakan untuk praskrining

aktivitas antikanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat (Meyer

et al., 1982). Metode ini sering digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa

aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak

memerlukan kondisi aseptis), dan dapat dipercaya (Meyer et al., 1982). Artemia

secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas farmakologi ekstrak suatu

tanaman. Lebih dari itu, uji larva udang ini juga dapat digunakan untuk skrining

awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena

uji ini seringkali mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai

antitumor (Anderson, Goets, and Mc Laughin, 1991).

Penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor

maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu

menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik

berupa ekstrak tanaman, atas aksinya sebagai antitumor secara lebih cepat

(31)

dengan biakan sel tumor (Meyer et al., 1982). Melihat adanya potensi sebagai

antitumor tersebut, maka penelitian lanjutan dapat dilakukan, yaitu dengan

mengisolasi senyawa berkhasiat yang terdapat didalam ekstrak disertai dengan

monitoring aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik

sebagai antitumor (Mayer et al., 1982).

Penggunaan hewan uji artemia dimaksudkan bahwa artemia memiliki

kesamaan tanggapan dengan mammalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mammalia dan organisme

ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependend ATPase. Pengujian dengan

artemia terhadap tingkat ketoksikan senyawa kimia, antara lain adalah pengujian

pestisida, mikotoksin, anestetika, dan lain-lain (Meyer et al., 1982).

Artemia dapat digunakan sebagai hewan uji karena artemia memiliki

kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polymerases yang terdapat pada artemia serupa dengan yang terdapat pada

mamalia dan organisme ini juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+

dependent ATPase (Solis et al., 1992).

DNA-dependent RNA polymerases merupakan DNA yang

mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerases.

Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan

mengkaitkannya bersama-sama nukleotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida

ini membentuk pasangan-basa di sepanjang cetakan DNA. Eukariotik mempunyai

3 macam RNA polymerases yaitu mRNA (messenger RNA) yang merupakan

(32)

berfungsi untuk menterjemahkan kodon dan mengikat asam amino yang akan

disusun menjadi protein dan mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal

RNA) yang bersama dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerases

tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat

terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen

utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon,

imunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan

lainnya (Nuswantari, 1998). Tidak terbentuknya protein dapat mengganggu

metabolisme sel, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

Enzim Na+ K+ ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis

ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3 Na+ dari sel

dan mengambil 2 K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+ K+

ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh

ouabaine. Adanya ouabaine menyebabkan keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap

terjaga (homeostasis). Selain itu, sekarang ini ouabaine juga digunakan untuk

terapi payah jantung. Di dalam jantung, Na+ K+ ATPase secara tak langsung

mempengaruhi transport Ca2+ karena Na+ ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+

intrasel. Jika kerja Na+ K+ ATPase dihambat, maka lebih sedikit Ca2+ intrasel

dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot

jantung (Ganong, 1995).

Suatu senyawa yang mempunyai aktivitas mengganggu kerja salah

satu enzim ini pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa

(33)

BST dengan hewan uji artemia tidak dapat digunakan untuk pengujian senyawa

yang dalam mengganggu kerja salah satu enzim tersebut memerlukan aktivasi

dalam sel mamalia, seperti 6-mercaptopurine yang harus dimetabolisme terlebih

dahulu dalam sel mamalia. Sehingga jika senyawa 6-mercaptopurine diujikan

pada artemia, maka akan memberikan LC50 yang lebih besar dari 1000 (bersifat

tidak toksik pada artemia) (Solis et al.,1992)

Tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan

melihat harga LC50. Analisis data dilakukan dengan analisis probit untuk

menghitung LC50. Dari persentase data kematian larva artemia dikonversikan

probit untuk menghitung harga LC50. Apabila harga LC50 ≤ 1000 μg/ml maka

dikatakan toksik. Apabila pengujian dengan larva artemia menghasilkan harga

LC50 ≤ 1000 μg/ml dapat dilanjutkan dengan pengujian antikanker menggunakan

biakan sel kanker. Dengan cara ini akan menghemat waktu dan biaya penelitian

(Meyer et al., 1982). Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah

kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil

sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi (Meyer et al., 1982).

D. Toksisitas Akut

Pada prinsipnya metode BST merupakan uji toksisitas akut yang

dilakukan dengan menghitung jumlah kematian Artemia salina Leach untuk

menentukan besarnya efek toksik.

Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk

menimbulkan kerusakan (Katzung, 1987). Uji toksisitas akut merupakan uji

(34)

ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji

tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut

yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat

pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut

berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan

histopatologi organ (Loomis, 1978).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan

terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan presentase kematian.

Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang

dinyatakan dengan LD50 (median lethal dose) atau LC50 (median lethal

concentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai

dengan lamanya pengamatan. Bilamana lama pengamatan tidak ditunjukkan,

dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).

Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas

biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian. Keuntungan penggunaan

artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif

singkat, dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologis (Meyer

et al., 1982).

E. Kanker

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya

pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.

Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan,

(35)

cepat dihentikan dan diobati maka sel kanker akan terus berkembang. Sel kanker

akan tumbuh menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive), lalu membuat anak

sebar (metastasis) ke tempat yang lebih jauh melalui pembuluh darah dan

pembuluh getah bening. Selanjutnya akan tumbuh kanker baru di tempat lain

sampai akhirnya menyebabkan kematian penderita. Pembentukan kanker dapat

dirangsang oleh karsinogen seperti senyawa kimia, faktor fisika (radiasi bom atom

dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha,

2003).

F. Penyarian

Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus

dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif

yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa

lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif

berkhasiat yang diinginkan (Anonim, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Anonim,

1979).

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam penyari. Penyari akan

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat

aktif. Zat aktif akan larut karena adanya beda konsentrasi antara larutan di dalam

(36)

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di

luar sel (Anonim, 1986 ).

G. Kromatografi Kolom Vakum

Kromatografi kolom vakum adalah suatu bentuk fraksinasi kolom yang

terutama bermanfaat untuk fraksinasi secara kasar dengan cepat. Metode ini

merupakan modifikasi kromatografi kinerja tinggi, sehingga dapat diperoleh

resolusi atau pemisahan senyawa yang lebih baik. Cara ini mengacu pemisahan

terpen dan campuran lipid. Kelebihan metode ini antara lain: tekniknya sederhana,

waktunya cepat, fase diam dan fase gerak yang digunakan relatif sedikit. Selain

itu, pemilihan sistem pelarut dapat dilakukan dengan sistem yang sederhana dan

murah yaitu Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Cara ini melibatkan elusi

berdasarkan tingkat kepolaran fase gerak dan kolom diperbolehkan mengering

setelah masing-masing fraksi dikumpulkan. Sampel yang digunakan tidak kurang

dari 1 gram dan hanya 10-15 ml fraksi yang bisa dikumpulkan dari

masing-masing polaritas. Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel dan diisikan

ke dalam kolom dengan tinggi tidak lebih dari 5 cm (coll & bowden, 1986).

Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar

diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang

kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penyerap lalu di vakumkan lagi.

Kolom di hisap sampai kering dan siap dipakai. Cuplikan, dilarutkan dalam

pelarut yang cocok, dimasukkan langsung di bagian atas kolom dan dihisap

(37)

dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang kepolarannya

rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan (Hostettman & Marston, 1986)

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) ialah metode pemisahan fisikokimia.

Lapisan yang memisahkan terdiri dari bahan berbutir-butir (fase diam),

ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok

(Stahl, 1985).

Kelebihan khas KLT ialah keserbagunaan, kecepatan, dan

kepekaannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa disamping

silika, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca

atau penyangga lain. Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat

penjerap yang lebih padat bila disaputkan pada pelat dan merupakan keuntungan

bila digunakan untuk menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT sedemikian rupa,

sehingga bila diperlukan dapat dipisahkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit

dari ukuran µg (Harborne, 1987)

Fase diam (lapisan penjerap) dibuat dari salah satu penjerap yang

khusus digunakan untuk KLT. Penjerap yang umum digunakan ialah silika gel,

aluminium oksida, kieselgur, selulosa, dan lain-lain. Untuk analisis, tebal

penyerap 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm (Stahl, 1985).

Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri dari satu atau beberapa

pelarut, bergerak di dalam fase diam yang merupakan lapisan berpori, yang

(38)

Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan

penyemprotan (Harborne, 1987). Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa

yang menunjukkan penyerapan di daerah UV dengan panjang gelombang 254 nm

(gelombang pendek) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi

UV gelombang pendek dan atau gelombang panjang (365 nm) (Stahl, 1985).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dapat

digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisa.

Rf =

awal titik dari depan garis

Jarak

awal titik dari bercak pusat

(39)

I. KETERANGAN EMPIRIS

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data empiris tentang

toksisitas fraksi paling toksik ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap

larva artemia dengan metode BST yang dinyatakan dalam LC50 serta untuk

memperoleh profil kromatografi lapis tipis fraksi paling toksik daun tumbuhan

tembelekan.

Data empiris yang diperoleh melalui uji toksisitas fraksi daun

tumbuhan tembelekan ini memungkinkan untuk dilakukan eksplorasi guna

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan rancangan

Posttest Only Control GroupDesign.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

Jenis fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang

diujikan pada metode BST.

b. Variabel tergantung

Nilai LC50 dari tiap fraksi setelah diuji dengan metode BST.

c. Variabel pengacau terkendali

1) Lingkungan tempat percobaan: sinar lampu 5 watt, suhu penetasan

25o -30o C, serta pH air laut buatan antara 7-8 dengan kadar garam 5

permil.

2) Hewan uji: Umur larva artemia adalah 48 jam.

3) Tanaman: spesies atau varietas tumbuhan tembelekan.

4) Air laut buatan : merupakan campuran dari 5 gram natrium klorida

(41)

(MgCl2), 0,3 g kalsium klorida (CaCl2), 0,2 g kalium klorida (KCl),

dan 2 g natrium hidrokarbonat (NaHCO3) dalam 1 liter aquades.

2. Definisi operasional

a. Daun tumbuhan tembelekan yang digunakan adalah daun yang masih

muda, merupakan daun ke-3 sampai 4 dari ujung tangkai, dipetik pada saat

tumbuhan sedang berbunga.

b. LC50 (lethal concentration-50) merupakan kadar senyawa uji yang mampu

mengakibatkan terbunuhnya separuh (50%) jumlah hewan uji dan

ditentukan setelah 24 jam perlakuan

c. Ekstrak etanol yang digunakan untuk proses fraksinasi merupakan ekstrak

etanol kering yang telah diketahui toksisitasnya terhadap larva artemia.

d. Fraksi merupakan hasil dari pemisahan ekstrak etanol dengan metode

Vaccum Coloumn Chromatography (VCC) yang belum diketahui LC50

-nya.

e. Fraksi toksik adalah fraksi yang diperoleh dari fraksinasi ekstrak etanol

kering dengan metode VCC menggunakan fase gerak toluen-etil asetat

(85:15 v/v) serta fase diam Silika gel GF 254, yang memiliki LC50 ≤ 1000

μg/ml dalam metode BST.

f. Fraksi paling toksik adalah fraksi yang memiliki harga LC50 paling kecil

dari semua fraksi uji dalam kisaran ≤ 1000 μg/ml dalam metode BST.

(42)

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

a. Bahan utama

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus 2006

dari tumbuhan tembelekan di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman,

Yogyakarta.

b. Bahan untuk penyarian

Bahan yang digunakan untuk penyarian berderajat pro analysis

(p.a.), kecuali bila disebutkan lain. Bahan tersebut adalah aquades (yang

diambil dari Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta).

c. Bahan untuk BST

1) Telur artemia Viper (Jeannie Hoo., LTD, China)

2) Air laut buatan dengan kadar garam 5 per mil

3) Fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan,

4) Ragi Saccharomyces cerevisae.

d. Bahan untuk air laut buatan

Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan

berderajat teknis. Bahan-bahan terdiri dari natrium klorida, magnesium

sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, natrium

(43)

e. Bahan untuk KLT

Lempeng KLT dengan fase diam silika gel GF254 (MERCK),

larutan pengembang toluen, etilasetat, pereaksi semprot vanillin-asam

sulfat, ekstrak etanol dan fraksi aktif tumbuhan tembelekan.

f. Bahan untuk Fraksinasi

Fase diam silika gel GF 254 (E.merck), fase gerak Toluen, Etil

asetat, ekstrak etanol tumbuhan tembelekan.

2. Alat penelitian

a. Alat untuk penyarian

Gelas ukur (Pyrex), waterbath (Memmert), Erlenmeyer (Pyrex),

neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), vaccum rotary evaporator (Janke

& Kunkel), batang pengaduk, sendok, cawan porselen.

b. Alat untuk uji BST

Flakon, bak penetasan artemia (lokal), mikropipet (Socorex ISBA

S.A), lampu 5 watt (dop), aerator (Niko Nk 1200), pipet tetes, neraca

analitik (Mettler Toledo AB 204), Vortex (Dijkstra).

c. Alat untuk KLT

Pipa kapiler 5 µl, bejana kromatografi, alat semprot, kertas saring,

plat kaca, lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm.

d. Alat untuk Fraksinasi

Pipa kolom, vaccum hose Buchner, Beaker glass, gelas ukur, corong,

(44)

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan tembelekan

Determinasi tumbuhan bertujuan untuk memastikan bahwa tumbuhan

yang digunakan adalah Lantana camara L.. Determinasi tumbuhan dilakukan di

Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dengan

menggunakan buku acuan menurut Becker and Backhuizen vol. I (1963) dan Vol

II (1965). Hasil determinasi tumbuhan berupa nama jenis (species) tumbuhan

yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Pengumpulan bahan

Daun tumbuhan tembelekan diambil saat tumbuhan sedang berbunga

dan berbuah pada bulan Agustus 2006 di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman,

Yogyakarta.

3. Penyiapan bahan

Daun tumbuhan tembelekan yang sudah diambil dicuci dengan air bersih

yang mengalir, kemudian diangin-anginkan. Apabila sudah bersih daun tumbuhan

tembelekan dikeringkan dibawah sinar matahari secara tidak langsung dengan

ditutupi kain hitam. Daun dapat diasumsikan kering apabila daun diremas dapat

hancur. Setelah kering dipotong kecil-kecil dan diserbuk.

4. Maserasi

Serbuk daun tumbuhan tembelekan ditimbang sebanyak 30 g,

dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan pelarut etanol pro analysis

(p.a) sebanyak 225 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil, lalu diletakkan

(45)

larutan disaring dengan kertas saring. Maserat ditampung dan disimpan pada suhu

kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 225 ml etanol p.a.

menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam, lalu disaring dan maserat

ditampung untuk digabungkan dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama.

Maserat yang terkumpul lalu dipekatkan dengan vaccum rotary

evaporator sampai kental (volume kira-kira 1/3 nya). Setelah itu, dengan

menggunakan cawan porselen yang sudah ditimbang terlebih dahulu, ekstrak

diuapkan di atas waterbath dengan suhu 50°C dan dengan kipas angin sampai

didapatkan ekstrak kering.

5. Fraksinasi

Sebelumnya dilakukan KLT orientasi/panduan untuk fraksinasi. Hal ini

dilakukan untuk optimasi pemilihan fase gerak pada proses fraksinasi. Fase diam

yang digunakan adalah silika gel GF 254 dan fase gerak yang digunakan adalah

campuran toluen-etil asetat dengan perbandingan 85:15 v/v.

a. Pembuatan kolom fase diam

Serbuk silica gel dimasukkan ke dalam kolom sampai setinggi ± 5 cm,

dituang ke dalam beaker glass 200 ml, ditambahkan fase gerak sampai terendam

lalu diaduk hingga menjadi bubur homogen. Kolom dipasang di atas vaccum hose

buchner, beakerglass 100 ml diletakkan ke dalamnya, pompa vakum

dihubungkan. Bubur dituangkan ke dalam kolom, kemudian dihisap sampai tidak

(46)

b. Persiapan sampel

Ekstrak kental ditimbang 0,5 – 1 g dengan cawan porselen, ditambahkan

silica gel sesedikit mungkin, diaduk hingga menjadi serbuk kering. Serbuk sampel

dituang ke atas fase diam sampai rata. Sedikit serbuk silica gel ditaburkan di atas

serbuk sampel, ditutup dengan kertas saring sesuai dengan diameter kolom untuk

menjaga agar ekstrak tidak bergeser ketika dituangi fase gerak.

c. Proses Fraksinasi

Beaker gelas kosong ditempatkan pada posisi penampungan, fase gerak

pertama sebanyak 50 ml dituangkan secara hati-hati pada kolom, hisap dengan

pompa vakum sampai tidak menetes. Beaker gelas yang berisi larutan sampel

dipindahkan dan disimpan, diberi label no 1. Beaker gelas diganti dengan yang

baru, fase gerak kedua dituang sebanyak 50 ml ke dalam kolom secara hati-hati,

hisap dengan pompa vakum sampai tidak menetes. Pindahkan dan simpan beaker

gelas yang berisi larutan sampel, beri label no 2. Cara yang sama dilakukan untuk

sampel no 3 dan selanjutnya. Proses fraksinasi dihentikan ketika profil bercak

pada KLT fraksi sudah sesuai dengan profil bercak pada KLT orientasi.

d. Uji KLT fraksinasi

Sampel yang diperoleh kemudian dikentalkan sampai sekitar ± 30 ml,

ditotolkan 5 µl pada lempeng KLT (fase diam silica gel GF 254), dielusi pada fase

gerak toluene-etil asetat (85:15). Deteksi dengan dilihat pada UV 254 nm dan 365

nm serta dengan vanillin-asam sulfat. Kromatogram didokumentasikan. Fraksi

(47)

6. Pembuatan air laut buatan

Komposisi bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan

berkadar garam 5 per mil adalah 5 gram natrium klorida (NaCl), 1,3 g magnesium

sulfat (MgSO4), 1 g magnesium klorida (MgCl2), 0,3 g kalsium klorida (CaCl2),

0,2 g kalium klorida (KCl), dan 2 g natrium hidrokarbonat (NaHCO3) dicampur

dalam 1 liter aquades. Bahan-bahan sebagian dilarutkan dalam sebagian aquadest

dalam labu takar satu liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan dalam air

panas, sedangkan natrium hidrokarbonat dilarutkan dengan air bebas CO2.

Kemudian ditambah aquadest sampai volume tepat 1 liter. Air laut buatan

berkadar garam 5 per mil dan pH antara 7,3 – 8,4 (Mudjiman, 1989).

7. Penetasan telur artemia

Artemia ditetaskan dari telurnya dengan media air laut buatan berkadar

5 permil. Telur artemia ditetaskan dalam aquarium yang disekat menjadi dua

bagian, bagian terang dan bagian gelap, dengan sekat berlubang. Bagian gelap

merupakan tempat telur artemia ditaburkan. Telur menetas setelah kira-kira 24-36

jam kemudian menjadi nauplius (Mudjiman, 1989). Nauplius yang aktif akan

bergerak menuju tempat yang terang melalui lubang pada sekat. Setelah 48 jam,

nauplius diambil dari bagian yang terang menggunakan pipet dan digunakan

(48)

8. Pembuatan larutan sampel

a. Pembuatan larutan A dan B ( larutan stok )

1) F2

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml (10 μg/μl) dibuat

dengan menimbang 100,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan B dengan

konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml.

2) F3

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat

dengan menimbang 50,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 5,0 ml. Larutan B dengan

konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan C dengan

konsentrasi 0,5 μg/μl dibuat dengan mengambil 0,5 ml dari larutan A

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml.

3) F4

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat

dengan menimbang 50,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 5,0 ml. Larutan B dengan

konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A

(49)

b. Pembuatan larutan sampel

Dari larutan stok tersebut dibuat seri konsentrasi untuk tiap fraksi (cara

memperoleh konsentrasi lihat pada Lampiran 9).

1) F2 : (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml.

2) F3 : ( 5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml.

3) F4 : (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml.

Tabel I. Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan

(50)

9. Uji toksisitas akut dengan BST

Uji toksisitas dilakukan dengan menggunakan larva artemia yang

berumur 48 jam (Meyer et al., 1982). Sepuluh ekor larva artemia yang berumur 48

jam diambil, dimasukkan ke dalam flakon yang telah berisi sampel dengan

konsentrasi tertentu, air laut buatan sebanyak 3 ml dan 1 tetes ragi (3mg/5ml)

sebagai makanan yang kemudian divortek. Air laut buatan ditambahkan sampai 5

ml. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan masing-masing

konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat

penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva artemia yang mati dihitung untuk

mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer et al.,

1982).

10.Uji KLT fraksi toksik daun tumbuhan tembelekan

Uji dengan KLT ini bertujuan untuk mengetahui profil bercak dari fraksi

yang terdapat dalam fraksi daun tumbuhan tembelekan. Ekstrak kental fraksi daun

tumbuhan tembelekan dilarutkan dengan etanol dan ditotolkan pada lempeng

KLT. Lempeng KLT dimasukkan dalam bejana yang berisi fase gerak yang telah

jenuh lalu dielusi sampai jarak rambat 15 cm, kemudian diangkat dan dikeringkan.

Setelah itu elusi yang terjadi diamati dengan melihat bercak yang timbul.

Pengamatan bercak dilakukan dibawah sinar UV dengan panjang gelombang 254

nm dan 365 nm serta dengan pereaksi semprot.

Identifikasi triterpenoid, sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut :

fase diam : silika gel GF 254 (MERCK)

(51)

deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm, dan vanillin asam sulfat

(pemanasan 100-110 °C, 10 menit)

11.Analisis hasil

Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis

menggunakan analisis probit SPSS untuk menghitung harga LC50. Dalam

perhitungan analisis probit secara manual, konsentrasi ditransformasikan menjadi

log konsentrasi (sebagai nilai x) dan % kematian ditransformasikan menjadi nilai

probit (sebagai nilai y). Setelah didapatkan persamaan garis data di atas, dicari

nilai LC50 dengan menghitung nilai x pada y=5. Setelah itu, nilai x di anti-log kan

untuk mendapatkan konsentrasi dimana dapat membunuh 50% hewan uji.

Jika pada kontrol ada artemia yang mati, maka persen kematian

ditentukan dengan rumus Abbot :

kontrol

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman

Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tumbuhan yang

akan digunakan dalam penelitian. Determinasi tumbuhan dilakukan secara

makroskopis dengan melihat ciri-ciri morfologi tumbuhan secara keseluruhan

mulai dari daun, bunga, batang kemudian dibandingkan dengan determinasi

tumbuhan yang terdapat dalam buku acuan menurut Backer and Bakhuizen Van

den Brink (1963 & 1965).

Berdasarkan determinasi tumbuhan yang telah dilakukan (lampiran 1),

diperoleh kesimpulan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah benar-benar

tumbuhan Lantana camara L.

B. Pengumpulan Bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh dari tumbuhan tembelekan yang

tumbuh di belakang RSJ Grahasia, Pakem.Lokasi tumbuh diusahakan sama untuk

menghindari variasi kandungan kimia yang terlalu besar karena perbedaan kondisi

lingkungan. Pemilihan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai bertujuan agar

daun yang digunakan memiliki umur yang relatif sama sehingga kadar senyawa

aktifnya tidak berbeda secara bermakna (Anonim, 1985). Daun diambil dalam

keadaan tumbuhan sedang berbunga karena pada saat itu kandungan kimia

mencapai kadar optimum sehingga senyawa aktif yang terbentuk juga dalam

(53)

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga tidak

ditumbuhi jamur, mempermudah pembuatan serbuk, dan menjamin agar

kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.

Reaksi enzimatis serta perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga

senyawa aktif yang terkandung dalam daun tumbuhan tembelekan tidak hilang

terurai (Anonim, 1986).

Pembuatan serbuk bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak

dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses

penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna

(Anonim, 1986).

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan

Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan merendam

serbuk sampel dalam cairan penyari. Penyarian merupakan peristiwa perpindahan

massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari

sehingga di dalam cairan penyari terdapat zat aktif. Penyarian dengan cara

maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar

serbuk sampel sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya

perbedaan konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan

larutan diluar sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya

dorong untuk memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari

(54)

Maserasi kinetika adalah maserasi dengan menggunakan mesin shaker

yang berputar terus menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Anonim, 1986). Dalam

penelitian ini digunakan 30 gram serbuk daun tembelekan dan 225 ml etanol p.a.

yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup dengan aluminium foil. Hal ini

bertujuan agar larutan penyari (etanol p.a.) tidak menguap terlebih dahulu,

sehingga penyarian dapat maksimal.

Pada penelitian didapatkan maserat sebanyak 450 ml. Untuk

mendapatkan ekstrak etanol kering maka etanol diuapkan menggunakan vaccum

rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan lagi di

waterbath dengan suhu tidak lebih 60° C menggunakan cawan. Vaccum rotary

evaporator digunakan karena dengan alat ini dapat diketahui dan diatur tekanan

alat (175 mmHg pada 40o C untuk etanol), sebab pada tekanan sebesar itu dapat

menurunkan titik didih dari etanol yang nantinya akan mempercepat penguapan

etanol tanpa membutuhkan pemberian panas tinggi. Selain itu, dengan

menggunakan alat ini dapat meningkatkan efisiensi biaya penelitian karena etanol

yang menguap dapat diperoleh kembali dalam suatu wadah penampung pada

rangkaian alat.

Pengeringan maserat didapatkan 2,27 gram ekstrak etanol kering. Cawan

porselen yang berisi ekstrak etanol kemudian ditutup dengan aluminium foil lalu

dimasukkan dalam eksikator. Dalam eksikator tidak ada air dan udara yang

masuk, karena dalam eksikator terdapat kapur tohor yang dapat menyerap air di

udara, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan senyawa dalam ekstrak

(55)

itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih tertinggal dalam ekstrak

karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

D. Fraksinasi Ekstrak Etanol Hasil Maserasi

Kromatografi kolom vakum adalah suatu bentuk kolom yang terutama

bermanfaat untuk fraksinasi secara kasar dengan cepat. Fraksinasi ini tidak dapat

mengisolasi dalam bentuk suatu senyawa tunggal namun hanya mengisolasi

berdasarkan polaritas senyawa pada fase gerak. Senyawa ataupun golongan

senyawa yang diperoleh bisa lebih dari satu. Penggunaan vakum akan

mempercepat proses pengeluasian karena selain adanya gaya gravitasi juga

terdapat perbedaan tekanan pada kolom.

Ekstrak etanol dari tumbuhan tembelekan yang didapat dari metode

maserasi kemudian di fraksinasi dengan kromatografi kolom vakum. Sebelum di

fraksinasi dilakukan tahap KLT orientasi berdasarkan pemisahan senyawa

terpenoid. Hal ini didasarkan pada kandungan senyawa golongan terpenoid yang

terdapat di daun tumbuhan tembelekan. Fase gerak yang digunakan pada KLT

adalah toluen-etil asetat dengan perbandingan 93 banding 7 (v/v) dan fase diam

yang digunakan adalah silika gel. Toluen merupakan pelarut yang relatif

non-polar memiliki indeks non-polaritas 2,4 P’ dan etil-asetat merupakan pelarut yang

relatif lebih polar daripada toluen memiliki indeks polaritas 4,4 P’ (Skoog, 1985).

Campuran kedua fase gerak didapatkan indeks polaritas sebesar 2,54 P’. Silika gel

merupakan bahan penjerab yang polar. Hal ini dikarenakan adanya atom oksigen

(56)

Hasilnya pemisahan belum cukup optimal karena pada profil bercak KLT masih

terdapat beberapa bercak yang bertumpuk pada daerah awal jarak pengeluasian

(awal penotolon) yang menunjukkan bahwa beberapa bercak bersifat lebih polar

sehingga lebih berinteraksi kuat dengan fase diamnya (Gambar 2)..

Gambar 2. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 93:7, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (93:7 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

(57)

Bercak yang menumpuk akan mempengaruhi hasil dari proses fraksinasi

yang diharapkan akan diperoleh fraksi dengan profil bercak yang jelas serta

terpisah menurut kepolarannya. Modifikasi fase gerak diperlukan untuk bisa

mengeluasi bercak yang bertumpuk hingga bercak terpisah dan juga untuk

mendapatkan kerapatan jarak antar bercak yang teratur. Melihat sifat bercak yang

polar maka modifikasi fase gerak dibuat menjadi lebih polar daripada sebelumnya

yang non polar. Fase gerak non polar, dalam hal ini toluen, dikurangi

konsentrasinya dan fase gerak yang lebih polar, etil asetat, konsentrasinya

ditambah. Perbandingan fase gerak dibuat toluen (90) : etil asetat (10), indeks

polaritas campuran 2,6 P’.

Setelah dilakukan proses eluasi, hasil pemisahan dengan perbandingan

ini masih belum memuaskan karena masih terdapat bercak yang menumpuk dan

(58)

Gambar 3. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 90:10, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (90:10 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Modifikasi selanjutnya dirubah pada perbandingan toluen (85) : etil

asetat (15), indeks polaritas campuran fase gerak 2,7 P’. Pemisahan becak sudah

baik karena bercak sudah tidak menumpuk dan diperoleh kerapatan jarak antar

(59)

Gambar 4. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 85:15, jarak pengembangan 15 cm..

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (85:15 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Hasil dengan perbandingan 85:15 sudah baik, namun dirasa masih perlu

dilakukan modifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

Perbandingan selanjutnya yang digunakan adalah toluen (80) banding etil asetat

(60)

bercak sudah merata dan namun terdapat bercak yang menumpuk pada posisi

akhir jarak pengeluasian(Gambar 5).

Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 80:20, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

(61)

Melihat profil dari ke empat KLT orientasi di atas maka diputuskan

untuk memakai fase gerak toluen-etil asetat dengan perbandingan 85:15 v/v.

Setelah diperoleh sistem pemisahan dari KLT orientasi, kemudian

diaplikasikan ke metode Vaccum Coloumn Chromatography (VCC) atau disebut

juga Kromatografi Kolom Vakum. Volume fase gerak yang digunakan untuk

setiap kali fraksinasi sebanyak 50 ml karena diharapkan dapat mengeluasi bercak

berdasarkan urutan kepolarannya. Pada perbandingan fase gerak 85:15, indeks

polaritas campuran dari kedua senyawa tersebut adalah 2,7 P’ yang masuk dalam

kategori fase gerak yang relatif non-polar. Bercak/senyawa yang bersifat non

polar akan terfraksinasi terlebih dahulu. Berturut-turut selanjutnya akan

didapatkan bercak/senyawa yang cenderung lebih polar. Senyawa-senyawa yang

non-polar akan berinteraksi dengan fase gerak yang non-polar sehingga lebih

cepat tereluasi sedangkan senyawa yang relatif lebih polar akan berinteraksi

dengan fase diam sehingga waktu eluasinya lebih lama.

Fase diam yang digunakan adalah silika gel yang dibuat menjadi bubur

dengan pelarut fase gerak yang akan digunakan. Pembuatan bubur ini bertujuan

untuk memudahkan dalam pemasukan ke dalam kolom serta untuk menghindari

terjadinya rongga udara pada kolom yang dapat mengganggu dalam proses

fraksinasi. Penghisapan pelarut bubur dalam kolom dimaksudkan untuk lebih

memampatkan fase diam sehingga diperoleh kerapatan fase diam yang kompak

dan merata.

Fraksinasi dengan menggunakan kromatografi vakum-cair didapatkan 12

(62)

Gambar 6. Kromatogram 12 fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan hasil fraksinasi dengan jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (85:15 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Proses fraksinasi dapat dihentikan karena sudah didapatkan profil bercak

yang sesuai dengan KLT orientasi. Pada fraksi no 1 didapatkan profil bercak yang

berwarna hijau pada UV 365 nm. Profil bercak ini sudah sesuai dengan profil

bercak pada KLT orientasi yang tereluasi pertama kali yang juga memberikan

warna hijau pada UV 365 nm. Akhir pengeluasian pada profil bercak KLT

orientasi juga ditandai dengan bercak yang berwarna hijau pada UV 365 nm dan

(63)

Fraksi-fraksi yang mempunyai kesamaan bercak kemudian digabung.

Selain itu penggabungan bercak juga didasarkan pada bercak yang dominan pada

fraksi. Bercak dominan adalah bercak yang mempunyai area relatif lebih lebar dan

terlihat lebih tebal. Fraksi yang mempunyai kesamaan bercak yaitu pada fraksi no

8 sampai 12 yang kemudian digabung menjadi satu. Profil bercak pada fraksi no 3

sampai 7 mempunyai profil yang hampir sama dalam rentang panjang bercak

pengeluasiannya. Namun, profil bercak pada fraksi no 4 sampai 7 lebih dominan

pada bercak bagian bawah pengeluasian (polar) sehingga fraksi no 4 sampai 7

digabung menjadi satu. Fraksi no 1 sampai 3 tidak digabung karena mempunyai

karakteristik bercak dominan yang berbeda. Penggabungan ini bertujuan untuk

mendapatkan profil fraksi dari yang nonpolar sampai ke fraksi yang polar. Selain

itu untuk mendapatkan profil dari fraksi yang memiliki efek toksik pada larva

artemia.

Tabel II. Penggabungan hasil fraksinasi menjadi 5 fraksi berdasarkan data gambar 6

Penggabungan Fraksi

no nama dan berat fraksi gabungan 1 F1 berat 40 mg

2 F2 berat 150 mg

3 F3 berat 60 mg

4 sampai 7 F4 berat 150 mg

8 sampai 12 F5 berat 20 mg

Hasil penggabungan didapatkan lima fraksi yaitu F1, F2, F3, F4, F5. Tabel

penggabungan fraksi menunjukkan berat dari fraksi gabungan. Berat fraksi yang

besar ditunjukkan pada F2 dan F4. Lima fraksi gabungan tersebut, tiga fraksi yang

Gambar

Tabel I Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan...
Gambar 1. Struktur
Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F4........
Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke , Warbers,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dibuatnya suatu situs untuk pemesanan rumah maka semua proses jual beli didalam suatu perusahaan property menjadi lebih efisien dan mudah bila dibandingkan dengan cara

[r]

Ruang lingkup Peraturan Daerah Penyelenggaraan Perlindungan Anak ini lebih difokuskan pada tiga sektor yang dianggap memiliki peran strategis untuk

Please state your university, field of study, and year of degree obtained or non-degree training course(s)

PENGARUH LATIHAN POWER LENGAN MENGGUNAKAN MODEL LATIHAN PULL OVERPASS DAN PULL OVER TERHADAP HASIL LEMPARAN PADA ATLET LEMPAR LEMBING JAWA BARAT.

Pengaruh Nilai Viskositas Mooney Terhadap Jumlah Berat Molekul Karet Remah SIR 20 [Karya Ilmiah].. Universitas Sumatra Utara: Fakultas Matematika dan Ilmu

Alat Destilasi Analisa Nitrogen Pada Pupuk Urea..

In the process of classification, surface growing algorithm is employed to segment the point clouds into planar patches, and eight features are derived and employed to separate