• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Asma Bronkhial - Yuniati BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Asma Bronkhial - Yuniati BAB II"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Teori

1. Asma Bronkhial

a. Pengertian Asma Bronkhial

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya ―terengah -engah‖ dan berarti serangan nafas pendek (Price, 2005). Nelson

mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 2006).

(2)

Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis dari saluran pernapasan dengan banyak elemen sel dan selular yang memegang peran. Inflamasi kronik yang terjadi dihubungkan dengan hiperresponsif dari saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya episode wheezing yang rekuren, sesak napas, dada seperti terikat, dan batuk terutama pada malam hari atau pada pagi hari. Episode ini biasanya dihubungkan dengan adanya obstruksi dari aliran udara pernapasan pada paru yang biasanya reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (Eric, 2010).

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Kepmenkes, 2009).

(3)

b. Epidemiologi Asma Bronkhial

Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun (Sundaru, 2006). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari.

Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992 (Richman (1997). Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8% (Naning, 2011).

(4)

bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak (Hadibroto, 2005).

c. Etiologi Asma Bronkhial

Sampai saat ini etiologi dari asma bronkhial belum diketahui. Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik) (Mangunnegoro, 2006).

(5)

Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.

Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya.

d. Patofisiologi Asma Bronkhial

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.

(6)

dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Iris, 2008).

(7)

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan rekasi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (Iris, 2008).

(8)
(9)

Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil utnuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena itu dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru (Bambang; 2009).

e. Tanda dan Gejala Asma Bronkhial

(10)

mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat memunculkan gejala:

1) Sesak napas/sulit pernapas 2) Sesak dada

3) Mengi/napas berbunyi (wheezing)

4) Batuk (lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa Tidak semua orang akan mengalami gejala tersebut. Beberapa orang dapat mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainnya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya. Gejala asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak dengan pemicu asma (Azis, 2009).

f. Klasifikasi Asma Bronkhial

(11)

1) Asma ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat.

2) Asma intrinsik

Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kondisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.

Pedoman pelayanan medik dalam konsensus nasional membagi asma anak menjadi tiga tingkatan berdasarkan kriteria dalam tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Pembagian Derajat Klinis Asma Pada Anak Parameter klinis

kebutuhan obat dan faal paru Asma episodik jarang (asma ringan) Asma episodik sering (asma sedang) Asma persisten (asma berat) Frekuensi Serangan < dari 1x/bulan > dari 1x/bulan Sering Lama Serangan Beberapa hari Seminggu atau

lebih

Sering

Intensitas Serangan Ringan Sedang Berat

Diantara Serangan Tanpa gejala Ada gejala Gejala siang dan malam Tidur dan Aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu Pemeriksaan Fisik

Luar Serangan

(12)

Parameter klinis kebutuhan obat dan

faal paru Asma episodik jarang (asma ringan) Asma episodik sering (asma sedang) Asma persisten (asma berat) Faal Paru diluar

Serangan

PEF/PEVI>80% PEF/PEVI 60-80% PEV/FEVI<60% Variabilitas

20-30% Faal Paru saat

Serangan

Variabilitas Variabilitas 20-30%

Variabilitas 50%

Sumber: Konsensus Nasional Penangan Asma Pada Anak (1994).

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2006) penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:

1) Asma Intermiten (asma jarang) a) Gejala kurang dari seminggu b) Serangan singkat

c) gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan d) FEV 1 atau PEV > 80%

e) PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30% 2) Asma mild persistent (asma persisten ringan)

a) Gejala lebih dari sekali seminggu

b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan d) FEV 1 atau PEV > 80%

e) PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30% 3) Asma moderate persistent (asma persisten sedang)

(13)

b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur c) Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu d) FEV 1 tau PEV 60% – 80%

e) PEF atau FEV 1 variabilitas > 30% 4) Asma severe persistent (asma persisten berat)

a) Gejala setiap hari b) Serangan terus menerus

c) Gejala pada malam hari setiap hari d) Terjadi pembatasan aktivitas fisik e) FEV 1 atau PEF = 60%

f) PEF atau FEV variabilitas > 30%

Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu:

1) Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi.

2) Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi.

(14)

4) Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi.

Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian (GINA, 2006).

g. Diagnosis Asma Bronkhial

Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan pemeriksaan tambahan (Ramailah, 2006).

1) Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak dada, kesulitan bernafas.

2) Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas, alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan alergen.

3) Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi torak. 4) Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian

(15)

Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif (Dahlan, 2008).

h. Penatalaksanaan Asma Bronkhial 1) Anamnese

(16)

2) Pemerikaan Fisik

(17)

Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan : (Kepmenkes, 2008).

a) Inspeksi

(1) Pasien terlihat gelisah,

(2) Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal)

(3) Sianosis b) Palpasi

(1) Biasanya tidak ditemukan kelainan

(2) Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus c) Perkusi

Biasanya tidak ditemukan kelainan d) Auskultasi

(1) Ekspirasi memanjang (2) Mengi

(3) Suara lendir 3) Pemeriksaan penunjang

a) Faal paru

(18)

untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai (Iris, 2008). Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). b) Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi (Iris, 2008).

c) Arus Puncak Ekspirasi (APE)

(19)

puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya.

Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (Iris, 2008). Cara pemeriksaan variabiliti APE harian. Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :

a) Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

APE malam – APE pagi

Variabiliti harian = ———————————– x 100 % (APE malam + APE pagi)

(20)

4) Pemeriksaan lain untuk Diagnosis a) Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik (Iris, 2008).

b) Pengukuran Status Alergi

(21)

konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi (Iris, 2008).

5) Senam Asma

Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaaat lain pada olahraga umumnya. Manfaat senam asma telah diteliti baik manfaat subyektif (kuesioner) maupun obyektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3-6 bulan, terutama manfaat subjektif dan peningkatan VO2max (Mangunnegoro, 2006).

Senam asma adalah senam yang diciptakan khusus untuk penderita asma yang gerakan-gerakannya disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan penderita berdasarkan berat atau ringannya penyakit asma. Senam asma dimulai sejak tahun 1980an (Supriyantoro, 2004).

a) Tujuan Senam Asma

(22)

(1) Meningkatkan kemampuan otot yang berkaitan dengan mekanisme pernapasan.

(2) Meningkatkan kapasitas serta efisiensi dalam proses pernapasan (respirasi).

(3) Mencegah, mengurangi kelainan bentuk/sikap postur tubuh. (4) Meningkatkan kebugaran jasmani/kemampuan fisik

(physical fitness).

(5) Meningkatkan kepercayaan diri bahwa penderita asma mampu melakukan aktivitas yang sama seperti orang sehat lainnya, sehingga mencapai nilai produktivitas kerja yang tinggi atau bahkan berprestasi.

Sedangkan manfaat senam asma adalah : (1) Melatih cara bernapas yang benar.

(2) Melenturkan dan memperkuat otot pernapasan. (3) Melatih ekspektorasi yang efektif.

(4) Meningkatkan sirkulasi. b) Waktu Pelaksanaan Senam Asma

Latihan senam asma dilaksanakan pada : (1) Frekuensi latihan 3 – 5 kali seminggu

(23)

(3) Intensitas dimulai dari intensitas rendah. Target zone 60 – 65% dari denyut nadi maksimal (DNM) (Supriyantoro, 2004).

c) Persiapan Senam Asma

Persiapan sebelum mengikuti senam asma khususnya bagi penderita asma adalah:

(1) Melakukan pemeriksaan ke dokter khususnya untuk mengetahui derajat (berat/ringan) penyakit asmanya, mengetahui ada/tidaknya penyakit lain yang menyertai (misalnya penyakit jantung)

(2) Latihan sebaiknya dilakukan pada suhu yang agak panas dan lembab, bukan pada suhu dingin atau kering.

(3) Harus selalu membawa obat bronchodilator (khususnya dalam bentuk inhaler).

(4) Bagi penderita asma tipe exercise Induced Asthma harus memperhatikan beberapa hal yaitu : intensitas latihan jangan terlalu melelahkan (misalnya setiap 6 menit latihan diselingi istirahat kurang lebih 1menit kemudian latihan lagi), sebelum senam gunakan obat bronchodilator inhaler (Supriyantoro, 2004).

d) Tahapan Senam Asma

(24)

(1) Pemanasan dan Peregangan

Gerakan pemanasan dan peregangan ditujukan untuk mempersiapkan otot sendi, jantung dan paru-paru, sehingga tubuh dalam keadaan siap untuk melakukan latihan. Gerakan pemanasan dan peregangan pada prinsipnya melibatkan seluruh persendian dan dimulai dari bagian atas ke arah bawah.

(2) Gerakan inti A

Pada setiap gerakan inti A selalu diikuti dengan menarik nafas (inspirasi) dan mengeluarkan nafas (ekspirasi), dimana pada pernapasan yang ideal/normal perbandingan waktu inspirasi dan ekspirasi 1 : 2, oleh karena itu pada gerakan ini dirancang menjadi 4 hitungan yaitu : hitungan 1 inspirasi/ tarik nafas, hitungan 2 tahan nafas, hitungan 3 dan 4 hembuskan nafas (ekspirasi). Agar gerakan dan pernapasan dapat terkontrol dengan baik dan teratur, maka irama musik pada tahap ini menggunakan ketukan 50 – 60 kali/menit. Total waktu gerakan dan pernapasan ini tidak lebih dari 8 menit, karena jika lebih dapat memicu timbulnya sesak nafas.

(3) Gerakan inti B

(25)

gerakannya. Maksud gerakan pada tahap ini adalah, melicinkan gerak sendi diseluruh tubuh sehingga mampu melakukan aktifitas maksimal, melibatkan kontraksi otot yang teratur dengan irama yang ritmis sehingga otot-otot akan menjadi relaks, sebagai latihan pra aerobic karena gerakan-gerakan yang teratur dan cukup lama, sehingga dapat menambah kemampuan daya tahan tubuh. Musik yang dipakai mengiringi lebih cepat dengan ketukan 80-90 kali/menit.

(4) Aerobik

(26)

(5) Pendinginan

Pada tahap pendinginan baban latihan secara berangsur kembali diturunkan sehingga denyut nadi dan frekuensi pernapasan menjadi normal, setelah mengalami peningkatan pada saat latihan.

(6) Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan untuk menilai efek dari senam asma terhadap fungsi paru dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan spirometri setiap 3 – 6 bulan. Pemeriksaan Peak Flow Rate (PFR) dengan alat mini Peak Flowmeter pada saat sebelum dan sesudah latihan (Supriyantoro, 2004).

2. Faktor yang Menyebabkan Kekambuhan Pasien Asma Bronkhial

a. Genetik

(27)

Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya (Eric, 2010).

(28)

b. Umur

Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak

(7-10%), yaitu umur 5 – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh

Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8,8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP

Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).

c. Obesitas

Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas (BMI >30 kg / m2) dan pada individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada pasien dengan obesitas memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan morbiditas biasanya lebih meningkat pada pasien dengan obesitas daripada pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat mengakibatkan obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas menyebabkan terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma masih belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa faktor.

(29)

sendiri, berkembangnya pro-inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan pengaruh dari hormon atau neurogenik. Sehingga pada pasien obesitas terjadi penurunan volume ekspirasi, perubahan pola pernapasan ini dapat menyebabkan perubahan dari elastisitas dan fungsi dari otot polos saluran pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator inflamasi melalui adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- ά, eotaxin, dan leptin, kombinasi dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana mekanisme sehingga mempengaruhi saluran napas (Eric, 2010 & Mangunnegoro, 2006). d. Sex (jenis kelamin)

Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko asma pada anak-anak. Terutama pada usia 14 tahun, prevalensi asma hampir dua kali lebih besar pada remaja laki dan perempuan. Ketika anak beranjak dewasa perbedaan prevalensi antara keduanya semakin tajam dimana pada dewasa lebih banyak terjadi pada wanita. Alasan faktor risiko ini tidak sepenuhnya dapat dimengerti, namun ukuran paru pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan pada saat kelahiran tetapi menjadi lebih besar pada saat dewasa (Eric, 2010).

Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan

(30)

manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).

Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Amu, 2006).

Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.

(31)

mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan.

e. Alergen

Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma

yang paling penting. Alergen – alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya

ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002)

dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya

dibawa oleh angin dalam bentuk partikel – partikel besar

Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk sari, spora jamur) dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan khususnya dalam perkembangan asma masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan (Iris, 2008).

(32)

terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vita, 2005). Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama (Danusaputro, 2007).

f. Infeksi

Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan fenotip asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus memproduksi pola gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan asma pada masa kanak-kanak. Beberapa studi prospektif pada anak dengan RSV menunjukkan bahwa 40 % akan berlanjut menjadi wheezing atau memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun pada penelitian lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi yang jelas. Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi infeksi dari cacing tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan selanjutnya (Iris, 2008).

g. Bahan di Lingkungan Kerja

(33)

molekul kecil dengan reaktivitas tinggi seperti isocyanate, iritan yang dapat menyebabkan respon dari saluran napas, imunogen seperti garam platinum, dan tumbuhan dan produk biologi hewan yang menstimulasi di produksinya IgE. Pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi untuk terjadi asma termasuk pertanian dan agrikultur, mengecat (termasuk cat semprot), bersih-bersih, dan pabrik plastik. Kebanyakan asma akibat kerja memiliki periode laten dari bulan hingga tahunan setelah onset terpapar (Eric, 2010).

Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner.

(34)

h. Asap Rokok.

Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi paru pada individu dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif terhadap pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi terkontrolnya gejala asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun setelah melahirkan meningkatkan perkembangan terjadinya asma pada usia dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit alergi masih belum jelas. Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan gejala wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok (perokok pasif) meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi dan usia dini (Anthony, 2008).

Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (Soeparman, 2006).

(35)

dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma (Venable, 2007).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41- 5,74) Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risiko berkembangnya asma secara umum.

i. Makanan

Bayi dengan susu formula dari susu sapi atau protein kedelai memiliki insiden lebih tinggi terkena penyakit dengan wheezing daripada bayi dengan ASI. Peningkatan konsumsi makanan pengawet dan mengurangi anti oksidan (dalam bentuk buah dan sayur), meningkatkan n-6 polyunsaturated asam lemak (margarine dan minyak sayur), dan mengurangi asam lemak n-3 polyunsaturated (minyak ikan) memiliki kontribusi meningkatnya penyakit atopi dan asma (Anthony, 2008).

(36)

industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu asma. Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma (Ramailah, 2006).

Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi yang sensitif terhadap makanan tertentu akan mudah menderita asma kemudian, anak-anak yang menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma. Alergi makanan lebih kuat hubungannya dengan penyakit alergi secara umum dibanding asma.

j. Exercise-Induced Asthma (Olahraga)

(37)

k. Perubahan Cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, kemarau, bunga (serbuk sari berterbangan) (Iris, 2008).

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan.

B. Analisis Survival

1. Pengertian Analisis Survival

(38)

(time) sampai suatu kejadian (event) muncul (Kleinbaum, 1997). Variabel Outcome time sampai terjadi event

Start follow up Event

Yang dimaksud dengan time adalah tahun, bulan, minggu atau hari mulai dari awal suatu pengamatan kejadian sampai kejadian itu muncul. Yang dimaksud dengan event adalah kematian, insiden penyakit, kekambuhan, kesembuhan, kembali bekerja atau kejadian lain yang dipilih sesuai dengan kepentingan peneliti.

Dalam analisis survival, variabel waktu sebagai survival time, karena variabel ini menunjukkan waktu dari seseorang untuk survived dalam periode waktu tertentu. Kita juga secara tipikal merujuk variabel event sebagai failure/ kegagalan, karena hal mengenai event biasanya adalah kematian, insiden penyakit, atau hal negatif pada individual. Akan tetapi bisa juga suatu kasus positif, misalnya penelitian tentang lamanya waktu kembali bekerja setelah operasi bedah elektif (Kleinbaum, 1997).

Analisis survival adalah suatu metode yang berhubungan dengan waktu, mulai dari time origin atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian khusus atau end point. Dengan kata lain, analisis survival memerlukan data yang merupakan waktu survival dari suatu individu. Dalam bidang kesehatan data ini diperoleh dari suatu pengamatan terhadap sekelompok atau beberapa kelompok individu dan dalam hal ini adalah pasien, yang diamati dan dicatat waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu (Collet, 1994). Kegagalan yang dimaksudkan antara lain adalah

(39)

kematian karena penyakit tertentu, keadaan sakit yang terulang kembali setelah pengobatan atau munculnya penyakit baru. Apabila kegagalan yang diamati adalah terjadinya kematian pada pasien maka waktu survival yang dicatat antara lain sebagai berikut :

a. Selisih waktu mulai dilakukannya pengamatan sampai terjadinya kematian dan data tersebut termasuk data tidak terpotong (uncensored data).

b. Jika waktu kematiannya tidak diketahui, maka memakai selisih waktu mulai dilakukannya pengamatan sampai waktu terakhir penelitian dan data tersebut termasuk data terpotong (censored data).

Menurut Cox dan Oakes (1984), terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam menentukan waktu survival secara tepat, yaitu sebagai berikut :

a. Waktu awal tidak ambigu yang berarti tidak ada dua pengertian atau lebih.

b. Definisi terjadinya kegagalan secara keseluruhan harus jelas. c. Skala waktu sebagai satuan pengukuran harus jelas.

Pada analisis survival, ada problem yang terjadi pada waktu pengamatan, bahwa kita tidak mengetahui time yang kita ukur secara pasti (sensor) (Kleinbaum, 1997). Hal ini terjadi karena :

a. Orang yang kita amati tidak mengalami event

(40)

c. Orang yang kita amati meninggal yang terjadi bukan karena event (withdrawn)

0 2 4 6 8 10 12 Time > 0 A ---x 5

B --- 12 C ---withdrawn 3,5

D --- 8 E --- Lost 6 F ---x 3,5 Study end

Contoh :

6 orang diamati lamanya waktu penyembuhan luka operasi bedah dengan ditandai tumbuhnya granulasi pada luka operasi.

a. Pasien diamati sejak awal penelitian dan granulasi tumbuh pada minggu ke-5. Berarti survive time adalah 5 dan bukan sensor.

b. Pasien diamati sejak awal penelitian dan granulasi tidak tumbuh sampai selesai pengamatan. Berarti survive time adalah 12 dan merupakan sensor.

c. Pasien masuk dalam penelitian pada minggu ke-2 dan 3, ternyata pasien meninggal pada minggu ke-6 karena serangan jantung. Berarti survive time adalah 3,5 dan merupakan sensor

(41)

e. Pasien masuk dalam penelitian pada minggu ke-3, akan tetapi pasien ini pulang paksa tidak selesai sampai akhir masa pengamatan. Berarti survive time adalah 6 dan merupakan sensor.

f. Pasien masuk dalam penelitian pada minggu ke-8, dan granulasi tumbuh pada minggu ke-11,5. Berarti survive time adalah 3,5 dan bukan sensor.

Dari data survival time untuk 6 orang pada grafik diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 sensor (B,C,D dan E) dan 2 event (A dan F) dalam bagan adalah sebagai berikut ;

Tabel 2.2. Bagan Sensor

Orang Survival time Failure(1), Sensor(0)

A 5 1

B 12 0

C 3,5 0

D 8 0

E 6 0

F 3,5 1

(42)

Tujuan utama dari analisis survival adalah sebagai berikut:

a. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi survivor atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan lain-lain.

b. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih kelompok.

c. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan survival time/waktu ketahanan misalnya dengan menggunakan “Cox

proportional hazard”(Kleinbaum, 1997).

d. Untuk memodelkan dan menganalisis data time to even yaitu data yang memiliki batas waktu usia dari suatu kejadian atau event. Kejadian itu disebut dengan failure. Beberapa contoh antara lain: waktu sampai komponen elektronik rusak, waktu kematian, waktu untuk mempelajari suatu keahlian.

Dalam contoh diatas terlihat bahwa mungkin saja suatu failure time tak teramati baik karena rancangan percobaannya ataupun karena random censoring. Misalnya ternyata pasien masih hidup sampai akhir dari suatu percobaan klinis. Survival analisis adalah suatu istilah modern yang diberikan terhadap sekumpulan prosedur statistik yang mengakomodasi time to event censored data.

2. Notasi dan Terminologi a. Notasi

(43)

t = nilai spesifik untuk T

δ = variabel dikotomi (status) = (0-1) variabel, untuk status failure (1)

atau sensor (0) b. Terminologi

S(t) = survivor function (fungsi survivor), merupakan probabilitas seseorang untuk sukses setelah unit waktu yang ditentukan ǻ

membentuk kurva 1) Fungsi Survivor

Fungsi survivor S(t) adalah probabilitas seseorang untuk survived atau bertahan hidup lebih lama atau sama dengan waktu t,

S(t) = P (individu) e‖ t

S(t) = P (T e‖ t)

S(t) = Jumlah individu yang survived pada waktu e‖ t Jumlah individu pada data set

Fungsi survivor merupakan hal pokok dalam analisis survival, karena terdapat probabilitas survival untuk berbagai nilai t yang merupakan informasi penting dari data survival.

Secara teori, t berkisar dari 0 sampai tak terhingga, fungsi survivor dapat digambarkan dalam grafik/kurva halus, dimana t adalah baris dan S(t) adalah kolom. Terjadi penurunan dari S(t)=1 pada t=0 sampai S(t)=0 pada t=‖. Yaitu probabilitas hidup adalah=1

(44)

waktu tak terhingga, ada kemungkinan setiap orang dalam studi tidak muncul kejadian yang diinginkan, sehingga estimasi S(0)=1 fungsi survivor yang dilambangkan dengan S pada grafik tidak selalu menjadi 0 pada akhir studi.

S(t) S(∞)=0

∞  0 t

Pada kenyataannya grafik yang terbentuk membentuk step function dan tidak akan menuju pada keadaan 0.

S(t) juga dikenal sebagai Cummulative survival rate. Untuk menggambarkan arah survival (survival curve), fungsi survival digunakan untuk mencari median (50 persentil) dan persentil lainnya dari waktu survival. Jadi nilai yang diambil dari suatu distribusi, bukan mean akan tetapi median. Hal ini dikarenakan waktu/time dalam analisis survival aka nada nilai-nilai ekstrim, terlalu pendek atau terlalu lama (Kleinbaum, 1997).

(45)

F(t) = P (T < t ) yaitu probabilitas seseorang untuk survived kurang dari waktu t, sehingga

S(t) = P (T e‖ t) = 1 – F (t)

Fungsi survivor digunakan untuk merepresentasikan probabilitas individu untuk survived dari waktu awal sampai beberapa waktu tertentu.

2) Fungsi Hazard

H(t) = hazard function (fungsi hazard), merupakan probabilitas seseorang gagal setelah unit waktu yang ditentukan, seperti kebalikan dari fungsi S(t) (Kleinbaum, 1997).

Suatu fungsi hazard yang tinggi menandakan probabilitas kematian yang tinggi Fungsi Hazard merupakan probabilitas seseorang gagal setelah unit waktu yang ditentukan, seperti kebalikan dari fungsi survival S(t), Fungsi hazard h(t) dari suatu waktu survival T menunjukkan “conditional failure rate”

Formula hazard dapat diartikan probabilitas kondisional yaitu probabilitas terjadinya suatu kejadian pada interval waktu antara t dan ∆t dimana waktu survival T adalah lebih besar atau sama dengan

t. Jadi berbeda dengan fungsi survival, dimana fokusnya adalah‖not

falling” pada fungsi hazard fokusnya adalah “falling‖ pada

(46)

Contoh dari bentuk kurva hazard :

a) Eksponsial, contoh pada orang sehat, pasien tetap sehat selama periode penelitian.

b) Increasing Weibull, contoh pasien leukemia yang tidak sembuh dengan pengobatan dan akhirnya meninggal pada periode waktu tertentu.

(47)

d) Log normal, contoh seperti itu pada penderita Tuberkulosis, pada awal pengobatan, sebelum 6 bulan kemungkinan meninggal meningkat, tapi bila telah selesai pengobatan kemungkinan meninggalnya menurun. Kegunaan fungsi hazard adalah :

(1) Memberikan gambaran tentang keadaan failure rate (2) Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik

(3) Membuat model matematik untuk survival analisis biasanya ditulis dalam bentuk fungsi hazard (Kleinbaum, 1997)

C. Metode Analisis Survival

Metode analisis survival yang sering digunakan adalah : 1. Metode tabel kehidupan (life table) /akturial (cutler ederer)

Metode ini menggunakan cara dengan menentukan interval waktu yang dikehendaki. Pemilihan interval ini dilakukan dengan memperhitungkan karakteristik penyakit atau efek yang akan dipelajari (Sastroasmoro, 2002). Pada metode ini dibuat interval arbitrer, dengan menganggap peluang terjadinya efek selama masa interval tersebut dianggap konstan. Keadaan ini dianggap sebanding dengan pengukuran dengann skala kategorikal. Syarat dan asumsi yang harus dipenuhi pada metode ini adalah (Sastroasmoro, 2002) :

(48)

b. Efek yang diteliti harus jelas, harus berskala nominal dikotom (dianggap sebanding dengan pengukuran dengan skala kategorikal) dan harus tidak bersifat multiple (setiap subyek hanya dapat mengalami efek 1 kali. Bila efek terjadi berulang kali maka efek pertamalah yang dihitung

c. Kejadian lost to follow up harus independen terhadap efek

d. Risiko untuk terjadi efek tidak bergantung terhadap pada tahun kalender dan resiko untuk terjadi efek pada interval waktu yang dipilih dianggap sama

e. Pasien yang tersensor dianggap mengalami ½ efek

Asumsi yang berlaku pada metode ini adalah subyek yang hilang terjadi pada pertengahan interval dan probabilitas untuk bertahan hidup pada periode tidak tergantung pada probabilitas bertahan hidup pada periode lainnya.

2. Metode Kaplan Meier

(49)

Metode ini digunakan dengan jumlah subyek yang sedikit. Metode ini juga dapat memberikan proporsi ketahanan hidup yang pasti karena menggunakan waktu ketahanan hidup secara tepat karena efek tidak dikelompokkan dalam interval, melainkan diperhitungkan sesuai saat terjadinya efek pada tiap subyek (Tabachnick, 2001).

3. Regresi Cox (Cox Proportional Hazard)

Jika ingin ada variabel kovariat yang ingin dikontrol atau bila menggunakan beberapa variabel explanatory dalam menjelaskan hubungan survival time maka kita menggunakan regresi cox.

Regresi cox dapat digunakan untuk yang membuat model menggambarkan hubungan antara survival time sebagai dependen variabel dengan satu set variabel independen (kontinyu/ kategorik). Regresi cox menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan Relative Risk untuk gagal.

Fungsi hazard h(t) adalah sebuah rate yang merupakan estimasi potensi untuk mati pada 1 unit waktu pada saat tertentu, dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak interval waktu tersebut. Karena fungsi hazard bukan suatu probability (0-1), maka ia dapat mempunyai nilai 0 hingga∞. Tujuan penggunaan regresi cox adalah

untuk: Mengestimasi hazard ratio, menguji hipotesa dan melihat confident interval dari hazard ratio.

(50)

hazard failure pada x terpapar disbanding tak terpapar. Interpretasi HR~seperti RR atau OR.

Model Regresi Cox

h(t,x) = ho(t).e-(b1x1+b2x2+…..bixi) Dimana :

X = kovariat

b = koefisien regresi

ho(t) = baseline hazard function ketika x=0

Cox Proporsional hazard model sangat popular digunakan karena :

a. Dapat mengestimasi hazard ratio tanpa perlu diketahui ho(t) atau baseline hazard function

b. Dapat mengestimasi ho(t),h(t,x) dan fungsi survivor meskipun ho(t) tidak spesifik

c. Cox model robust sehingga hasil dari cox model hamper sama dengan hasil model parametric

Formula model cox menyatakan bahwa hazard pada waktu t adalah merupakan hasil dari 2 kuantitas. Pada bagian pertama disebut dengan baseline hazard function sedangkan pada kuantitas kedua disebut dengan eksponensial yang dinyatakan dengan e hingga jumlah linier dari bixi dimana jumlah tersebut adalah menerangkan variabel x.

(51)

dengan time independen x(x tidak tergantung waktu), bila hal ini terjadi maka x disebut time dependen variables, model ini disebut dengan extended cox model.

Asumsi pada model Cox Proporstional Hazard adalah hazard rasio yang membandingkan du kategori dari predictor adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung waktu. Apabila asumsi tidak terpenuhi maka model yang digunakan disarankan regresi cox dengan time dependent covariat atau extended cox model. Secara umum ada 3 pendekatan untuk mengkaji asumsi proportional membuat plot Log Minus hazard, yaitu ;

a. Pendekatan grafik, caranya dengan Log (LML) dari fungsi ketahanan hidup. Pada plot ini untuk setiap strata harus parallel/sejajar. Cara ini hanya dapat digunakan untuk variabel kategorik. Untuk variabel kontinyu harus diubah menjadi kategorik (2 atau 3 kelompok)

b. Menggunakan variabel time dependent dalam extended cox model, caranya adalah membuat interaksi antar variabel bebas dengan waktu ketahanan hidup kemudian lihat nilai signifikannya.

c. Menggunakan goodness of fit test. Untuk menguji dengan cara ini menggunakan computer khusus.

(52)

D. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka teori

Sumber : Global Initiative for Asthma (GINA, 2006), Gershwin, M Eric dkk. (2006)

Tidak Tertangani Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan asma: A.Faktor Presipitasi:

1. Genetik 2. Umur 3. Obesitas 4. Jenis kelamin B. Faktor Predisposisi

1. Alergen 2. Infeksi

3. Bahan dilingkungan kerja 4. Asap rokok

5. Makanan 6. Olahraga 7. Perubahan cuaca

Tertangani

Penanganan

Sembuh Kekambuhan

Gangguan Sistem Pernafasan

PPOK Bronchopnemonia Asma TBC

T. Medis: a. Nebulizer b. Bronchodilator

T. Keperawatan: a. Edukasi b. Ajarkan latihan

otot pernafasan c. Ajarkan batuk

(53)

E. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Keterangan:

: variabel yang diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

D. HIPOTESIS

Hipotesis dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian, maka hipotesis dapat benar atau salah, bisa diterima bisa ditolak (Notoatmodjo, 2010). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ha : Adanya pengaruh antara faktor umur, riwayat keluarga dan alergi terhadap kekambuhan asma bronkhial.

Ha1 : Variabel umur menjadi faktor dominan terhadap kekambuhan asma bronkhial.

Kejadian Kekambuhan Asma Faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian asma:

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Alergi

Gambar

Tabel 2.1 Pembagian Derajat Klinis Asma Pada Anak
Tabel 2.2. Bagan Sensor
Gambar 2.1. Kerangka teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Kedudukan Dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Perumusan Isu Strategis Analisis lingkungan internal Analisis lingkungan eksternal Perumusan Tujuan, Sasaran, Strategi,

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Menurut Indra Lesmana Karim, upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak adalah melalui lingkungan yang terkecil

Pada IKM keramik putaran mesin yang digunakan sekitar 40 rpm sampai 60 rpm. Sedangkan pada penelitian ini, putaran mesin dapat diatur dengan menggunakan inverter

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

Pada bagian tubuh manakah saudara merasakan keluhan nyeri/panas/kejang/mati4. rasa/bengkak/kaku/pegal?.. 24 Pergelangan

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA