BAB II
TINJAUAN TEORETIS
2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Lansia 2.1.1.1 Pengertian
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Menurut Stanley & Beare (2007), mendefinisikan lansia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi. World Health Organization (WHO) menetapkan 65 tahun yang termasuk katagori lansia (AS dan Eropa Barat). Sedangkan di negara-negara Asia, lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas. Orang sehat aktif berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai pemulaan lanjut usia (Brunner dan Suddart dalam Azizah, 2011).
Menurut Surini & Utomo, 2003 dalam buku Azizah, 2011 lanjut usia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.
2.1.1.2 Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO (2010) batasan umur lansia dapat dibagi dalam empat kelompok :
a. 65 : Usia Pertengahan (Middle Age) b. 65 > - 74 : Lanjut Usia (Junior Old Age) c. 75 - 90 : Usia Lanjut Tua (Old Age)
d. 90 > : Usia Sangat Tua (Very / Longevity Old Age)
Menurut Setyonegoro, 2010 dalam buku Azizah, LM, 2011 masa usia lanjut (geriatric age) yaitu umur >65 atau 70 tahun. Masa usia lanjut (geriatric age) ini dibagi menjadi tiga batasan umur yaitu: young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old (>80 tahun).
2.1.1.3 Tugas Perkembangan Lanjut Usia
Lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Hal ini dideskripsikan oleh Burnside, Duvall, dan Havighurst, dalam Potter dan Perry (2005). Lima kategori tugas perkembangan lansia meliputi:
1. Menyesuaikan diri terhadap penurunan kekuatan fisik. Lansia meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit dengan pola hidup sehat, ketika lansia menyesuaikan diri saat terjadinya perubahan normal tubuh seiring terjadinya
penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh.
2. Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan.
Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna sehingga harus menyesuaikan diri dan membuat perubahan karena hilangnya peran bekerja.
3. Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan.
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan, teman, dan kadang anak. Kehilangan ini kadang sulit untuk diselesaikan, apalagi pada lansia yang menggantungkan hidupnya dari seseorang yang meninggal dan sangat berarti bagi dirinya.
4. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia.
Beberapa lansia kesulitan untuk menerima diri sendiri selama penuaan. Mereka memperlihatkan ketidakmampuannya sebagai koping dan menyangkal penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak memanggil mereka “nenek/kakek” atau menolak bantuan 5. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup.
Lansia dapat merubah rencana kehidupannya. Beberapa masalah kesehatan mengharuskan lansia untuk tinggal dengan keluarga atau temannya. Perubahan rencana
kehidupan lansia membutuhkan periode penyesuaian yang lama, selama lansia memerlukan bantuan dan dukungan professional perawatan kesehatan dan keluarga.
2.1.2 Posyandu Lansia 2.1.2.1 Pengertian
Posyandu Lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut disuatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu Lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), Posyandu Lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan terhadap lansia ditingkat desa/ kelurahan dalam masing-masing wilayah kerja puskesmas. Keterpaduan dalam Posyandu Lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang dilatar belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit. Dasar pembentukan Posyandu Lansia
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama lansia.
2.1.2.2 Tujuan Posyandu Lansia
Menurut Erfandi (2008), tujuan Posyandu Lansia secara garis besar yakni (1) meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia dimasyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia, (2) mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan, disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut.
2.1.2.3 Sasaran Posyandu Lansia
Menurut Fallen, 2010 terdapat dua sasaran Posyandu Lansia, yakni sasaran langsung, yaitu kelompok pra usia lanjut (45-59 tahun), kelompok usia lanjut (60 tahun ke atas), dan kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas); dan sasaran tidak langsung, yaitu keberadaan keluarga lansia berada, organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut, masyarakat luas.
2.1.2.4 Kegiatan Posyandu Lansia
Bentuk pelayanan pada Posyandu Lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional, yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dialami. Menurut Effendi, 2009 ada sembilan kegiatan pada Posyandu Lansia adalah :
1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
2. Pemeriksaan status mental terkait mental emosional dengan menggunakan pedoman metode dua menit.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh.
4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5. Pemeriksaan urin, guna mengetahui kadar gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula (diabetes mellitus).
6. Pemeriksaan urin, guna mengetahui zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal. 7. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan
dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir-butir diatas.
8. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan di dalam atau di luar kelompok dalam rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.
9. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Selain itu banyak juga Posyandu Lansia yang mengadakan kegiatan tambahan seperti senam lansia, pengajian, membuat kerajian ataupun kegiatan silaturahmi antar lansia. Kegiatan seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang bertujuan untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan berdisiplin diri. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Posyandu Lansia dibutuhkan sarana dan prasarana penunjang yaitu: tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka), meja, kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan, dewasa, meteran pengukuran tinggi
badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer, dan Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia.
2.1.2.5 Masalah Kesehatan pada Lansia
Masalah kesehatan pada lansia ialah gabungan dari kelainan-kelainan akibat penyakit dan proses menua yaitu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti sel serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Siburian (2008) pemerhati masalah kesehatan pada lansia menyatakan ada empat belas belas masalah kesehatan pada lansia, yaitu:
1. Immobility (kurang bergerak), disebabkan oleh gangguan fisik, faktor lingkungan sehingga dapat menyebabkan lansia kurang bergerak. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf dan penyakit jantung.
2. Instability (tidak stabil/ mudah jatuh), dapat disebabkan oleh faktor intrinsik (yang berkaitan dengan tubuh penderita), baik karena proses menua, penyakit maupun
ekstrinsik (yang berasal dari luar tubuh) seperti obat-obatan tertentu dan faktor lingkungan. Akibatnya akan timbul rasa sakit, cedera, patah tulang yang akan membatasi pergerakan. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaan takut.
3. Incontinence (buang air) yaitu keluarnya air seni tanpa disadari dan frekuensinya sering. Meskipun keadaan ini normal pada lansia tetapi sebenarnya tidak dikehendaki oleh lansia dan keluarganya. Hal ini akan membuat lansia mengurangi minum untuk mengurangi keluhan tersebut, sehingga dapat menyebabkan kekurangan cairan.
4. Intellectual Impairment (gangguan intelektual/dementia), merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari.
5. Infection (infeksi), merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada lansia, karena sering didapati juga dengan gejala tidak khas bahkan asimtomatik yang menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
6. Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalencence, skin integrity (gangguan panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit), merupakan akibat dari proses menua. Semua panca indera berkurang fungsinya, demikian juga pada otak, saraf dan otot-otot yang dipergunakan untuk berbicara, sedangkan kulit menjadi lebih kering, rapuh dan mudah rusak dengan trauma yang minimal.
7. Impaction (konstipasi), sebagai akibat dari kurangnya gerakan, makanan yang kurang mengandung serat dan kurang minum.
8. Isolation (depresi), akibat perubahan sosial, bertambahnya penyakit dan berkurangnya kemandirian sosial. Pada lansia, depresi yang muncul adalah depresi yang terselubung, gangguan fisik saja seperti sakit kepala, jantung berdebar-debar, nyeri pinggang, gangguan pecernaan, dan lain-lain.
9. Inanition (kurang gizi), dapat disebabkan karena perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, isolasi sosial (terasing dari masyarakat), terutama karena kemiskinan, gangguan panca indera; sedangkan faktor kesehatan berupa
penyakit fisik, mental, gangguan tidur, obat-obatan, dan lainnya.
10. Impecunity (tidak punya uang), semakin bertambahnya usia, maka kemampuan tubuh untuk menyelesaikan suatu pekerjaan akan semakin berkurang, sehingga jika tidak dapat bekerja maka tidak akan mempunyai penghasilan. 11. Iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan), sering dijumpai
pada lansia yang mempunyai riwayat penyakit dan membutuhkan pengobatan dalam waktu yang lama, jika tanpa pengawasan dokter maka akan menyebabkan timbulnya penyakit akibat obat-obatan.
12. Insomnia (gangguan tidur), sering dilaporkan oleh lansia, mereka mengalami sulit untuk masuk dalam proses tidur, tidur tidak nyenyak dan mudah terbangun, tidur dengan banyak mimpi, jika terbangun susah tidur kembali, terbangun didini hari, lesu setelah bangun di pagi hari. 13. Immune deficiency (daya tahan tubuh menurun),
merupakan salah satu akibat dari proses menua, meskipun terkadang dapat pula sebagai akibat dari penyakit menahun, kurang gizi dan lainnya.
14. Impotence (impotensi), merupakan ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan senggama yang memuaskan yang terjadi
paling sedikit tiga bulan. Hal ini disebabkan karena terjadi hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah, baik karena proses menua atau penyakit.
2.1.2.6 Mekanisme Pelayanan Posyandu
Mekanisme pelayanan Posyandu Lansia berbeda dengan posyandu balita. Menurut Fallen, 2010 mekanisme pelayanan ini tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan Posyandu Lansia ini dengan sistem 5 meja seperti posyandu balita, ada pula yang hanya 3 meja. Tiga meja tersebut meliputi:
1. Meja I: pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau tinggi badan.
2. Meja II: pencatatan berat badan, tinggi badan dan index massa tubuh (IMT); juga pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus.
3. Meja III: melakukan kegiatan konseling atau penyuluhan, dapat juga dilakukan pelayanan pojok gizi.
2.1.2.7 Kunjungan Posyandu Lansia
Kunjungan posyandu adalah kedatangan atau pergi untuk melakukan kunjungan posyandu, dengan tujuan memeriksakan kondisi kesehatannya. Kunjungan ke Posyandu idealnya dalam satu tahun minimal frekuensi kunjungannya dilaksanakan sebanyak 12 kali kunjungan. Hal ini karena seharusnya posyandu menyelenggarakan kegiatan setiap bulan, jadi bila teratur akan ada 12 kali setiap tahun. Dalam kenyataannya tidak semua posyandu dapat berfungsi setiap bulan. (Novi, 2007).
2.1.2.8 Kendala Pelaksanaan Posyandu Lansia
Erfandi (2008) mengemukakan ada lima faktor kendala dalam pelaksanaan Posyandu Lansia yaitu:
1. Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu. Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan mendapat penyuluhan tentang cara hidup sehat dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat
mendorong minat atau motivasi mereka untuk selalu mengikuti Posyandu Lansia.
2. Jarak rumah lansia dengan lokasi Posyandu Lansia jauh atau sulit dijangkau. Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan dalam menjangkau lokasi posyandu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan bagi lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka hal ini dapat mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal dari terbentuknya motivasi untuk menghadiri Posyandu Lansia. 3. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun
mengingatkan lansia untuk datang ke Posyandu Lansia. Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan Posyandu Lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu,
mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia.
4. Sikap lansia yang kurang baik terhadap petugas posyandu yaitu ketidaksiapan atau ketidaksediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia, karena sikap seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek.
5. Kader Posyandu Lansia. Kader juga harus mampu berkomunikasi dengan efektif, baik dengan individu atau kelompok maupun masyarakat, kader juga harus dapat membina kerjasama dengan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan posyandu, serta untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan lansia pada hari buka posyandu yaitu pendaftaran, penimbangan, pencatatan/pengisian KRS, penyuluhan dan pelayanan kesehatan sesuai kewenangannya dan pemberian PMT, serta dapat melakukan rujukan jika diperlukan.
2.1.3 Kepatuhan 2.1.3.1 Pengertian
Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka
menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan.
Komitmen seseorang terhadap nilai dapat dinyatakan antara lain pada kepatuhannya terhadap suatu yang dianggap baik. Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Sacket (dalam Niven, 2002), mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali, 2002 dalam Tisna 2009).
2.1.3.2 Proses Perubahan Sikap dan Perilaku (Teori Kelman) Proses perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, tahap identifikasi, dan kemudian
baru menjadi internalisasi. Berikut tahapan proses perubahan sikap dan perilaku:
1. Tahap kepatuhan / kesediaan
Dalam tahap ini individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan dan seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut. Perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas.
2. Tahap identifikasi
Dalam tahap ini kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan manfaat dari tindakan tersebut, tetapi jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.
3. Tahap internalisasi
Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri.
Memang proses internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.
2.1.3.3 Variable yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
Menurut Suddart & Brunner (2002) ada empat variable yang mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu:
1. Variable demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status social ekonomi dan pendidikan.
2. Variable penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi.
3. Variable program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan.
4. Variable psikososial seperti sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap
penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya financial.
2.1.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain:
1. Pemahaman tentang intruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi interuksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
3. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Becker, dkk dalam Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan, sebab
orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang mengalami depresi, ansietas sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada diri sendiri.
2.1.3.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan (Ferry Effendi, 2009)
1. Dukungan professional kesehatan
Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh professional kesehatan dalam menanamkan ketaatan bagi pasien.
2. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para professional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3. Prilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. 4. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
2.2 Perspektif teoritis
Faktor-faktor
Tingkat pengetahuan lansia mengenai Posyandu Lansia Kesadaran akan manfaat Posyandu
Lansia
Jarak rumah lansia dengan lokasi Posyandu Lansia
Status ekonomi
Pandangan lansia terhadap diri sendiri
Sikap petugas posyandu Dukungan keluarga Prasarana Posyandu lansia Usia
pendidikan
Gambar 2.2.1 Kerangka Konseptual
Kepatuhan
Lansia Posyandu Lansia
Berkunjung an