• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Notaris sebagai pejabat umum, sekaligus pula sebagai sebuah profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat.

Sejarah mencatat awal lahirnya profesi jabatan Notaris adalah profesi kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan.1 Para Notaris ketika itu mendokumentasikan sejarah dan titah raja. Para Notaris juga menjadi orang dekat Paus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan pada abad kegelapan (Dark Age 500 – 1000 setelah Masehi) dimana penguasa tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi masyarakat yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak awal lahirnya profesi

1 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris

(2)

jabatan Notaris, termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi.2

Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya.3 Landasan filosofis lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.4 Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and

2 Ibid, hlm. 33. 3

Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Magister Kenotariatan USU, Medan, 2007, hlm. 57.

4 H. Salim HS. & H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta,

(3)

Independency).5 Notaris merupakan pejabatan umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti otentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya.6

Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.7 Meskipun Notaris adalah pejabat umum/publik yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris bukan pegawai pemerintah/negeri yang memperoleh gaji dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian tidak berlaku terhadap Notaris. Notaris adalah pejabat umum/publik yang juga melaksanakan kewibawaan pemerintah dibidang hukum tapi tidak memperoleh gaji dari pemerintah. Namun Notaris bukanlah pejabat Tata Usaha Negara sehingga Notaris tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 11a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5 Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2007, hlm. 22.

6 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 64.

7 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita,

(4)

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penegasan kepada Notaris sebagai pejabat umum. Pasal 1868 tersebut menyatakan bahwa, “Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat dimana akta itu dibuat”. Namun demikian Notaris bukanlah satu-satunyaa pejabat umum yang ditugasi oleh undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada pejabat umum lainnya yang ditunjuk undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu seperti pejabat kantor catatan sipil dalam membuat akta kelahiran, perkawinan dan kematian, Pejabat kantor lelang negara dalam membuat akta lelang, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan Kepala Kantor Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak dan rujuk dan lain sebagainya. Namun secara umum dapat dikatakan Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang yang cukup besar dalam membuat hampir seluruh akta otentik.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati.

Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :8

8 Liliana Tedjasaputro, Etika Profesi Notaris (dalam penegakan hukum pidana), BIGRAF

(5)

1. memiliki integeritas moral yang mantap

2. harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual) 3. sadar akan batas-batas kewenangannya

4. tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang

Di dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004, Notaris diwajibkan bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak

dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris sebagai pejabat umum harus peka, tanggap, mempunyai

ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang dimaksud disini adalah keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral dan etika.9

Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah juga merupakan kepercayaan masyarakat terhadap akta yang dibuatnya, itulah sebabnya mengapa jabatan Notaris sering pula disebut dengan jabatan kepercayaan. Kepercayaan pemerintah sebagai instansi yang mengangkat dan memberhentikan Notaris sekaligus pula kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris.

9 Wawan Setiawan, Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik, Media

(6)

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik harus dapat mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya tersebut apabila ternyata dikemudian hari timbul masalah dari akta otentik tersebut. Masalah yang timbul dari akta yang dibuat oleh Notaris perlu dipertanyakan, apakah akibat kesalahan dari Notaris tersebut atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan, dokumen yang dibutuhkan secara jujur dan lengkap kepada Notaris.

Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan memberikan keterangan tidak jujur dan dokumen tidak lengkap (disembunyikan) oleh para pihak, maka akta otentik yang dibuat Notaris tersebut mengandung cacat hukum, dan bila karena keterangan para pihak yang tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu dokumen penting yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris, maka para pihak yang melakukan perbuatan tersebut dapat saja dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta otentik tersebut. Pasal pidana yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan pidana terhadap para pihak tersebut adalah Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang menyatakan “Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian”.

(7)

Notaris yang membuat akta otentik sebagaimana dimaksud di atas meskipun ia tidak terlibat dalam pemalsuan keterangan dalam akta otentik tersebut dapat saja dilakukan pemanggilan oleh pihak penyidik Polri dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam masalah tersebut.10 Bila dalam penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian ternyata didapati bukti permulaan yang cukup atas keterlibatan Notaris dalam memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik yang dibuatnya tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan Notaris tersebut dapat dijadikan sebagai tersangka. Bukti permulaan yang cukup menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP tersebut antara lain :

1. Dengan sadar/sengaja memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik yang dibuatnya sehingga menguntungkan dirinya dan/atau orang yang memasukkan keterangan palsu itu ke dalam akta otentik tersebut serta merugikan pihak lain. 2. Karena kelalaian/kecerobohannya yang membuat masuknya keterangan palsu

tersebut ke dalam akta otentik yang dibuatnya.

Kedua poin tersebut di atas merupakan dasar perbuatan pidana yang mengakibatkan seorang notaris dapat dipanggil oleh penyidik Polri yang masing-masing berdiri sendiri dan bukan merupakan syarat kumulatif. Dengan sadar/sengaja memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik merupakan suatu perbuatan pidana yang disebut dengan dolus (kesengajaan), sedangkan karena kelalaian/ kecerobohannya yang membuat masuknya keterangan palsu dalam akta otentik merupakan suatu perbuatan pidana yang disebut dengan culpa (kelalaian).

10 PAF Lamintang, Delik-delik Khusus (Kejahatan-kejahatan Membahayakan Kepercayaan

Umum Terhadap Surat-surat, Alat-alat Pembayaran, Alat-alat Bukti dan Peradilan), Mandar Maju,

(8)

Namun dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Notaris oleh pihak penyidik Polri harus memenuhi prosedur hukum yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam memanggil dan memeriksa Notaris selaku pejabat umum berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam jabatannya.

Prosedur hukum pemanggilan, pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri maupun untuk kepentingan proses peradilan terdapat dalam Pasal 66 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 ayat (1) dan (2). Pasal 66 ayat 1 UUJN menyatakan, “Untuk kepentingan proses peradilan penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

a. Mengambil fotocopy minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Pasal 66 ayat (2) UUJN menyatakan, “Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan”.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) UUJN tersebut di atas diketahui bahwa setiap kali Notaris akan dipanggil oleh pihak penyidik Polri berkaitan dengan perbuatan hukum dalam ruang lingkup jabatannya, maka penyidik

(9)

Polri harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari Majelis Pengawas Daerah tempat dimana Notaris tersebut menjalankan tugas jabatannya.

Pasal 66 ayat (1) dan (2) UUJN nomor 30 tahun 2004 tersebut merupakan dasar hukum yang harus dipenuhi oleh instansi berwenang manapun termasuk penyidik Polri setiap kali melaksanakan pemanggilan atau melakukan pemeriksaan terhadap Notaris dalam penyelidikan dan penyidikan hukum pidana. Penyidik Polri yang melakukan pemanggilan langsung terhadap Notaris tanpa memperoleh ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah, merupakan suatu perbuatan/tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang, karena tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 66 ayat (1) UUJN nomor 30 Tahun 2004.

Dalam lima tahun terakhir ini, fenomena Notaris memperoleh panggilan dari penyidik Polri semakin sering terjadi di masyarakat. Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri tersebut biasanya pada awal pemanggilan menempatkan Notaris tersebut sebagai saksi atas sengketa para pihak yang aktanya dibuat oleh dan dihadapan Notaris tersebut.11 Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri tersebut setelah didahului oleh laporan salah satu pihak yang merasa dirugikan atas akta tersebut ke pihak kepolisian. Notaris yang dipanggil oleh penyidik Polri sebagai saksi tidak tertutup kemungkinan setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kepolisian ditingkatkan status hukum pemeriksaannya menjadi tersangka. Peningkatan status

11 Nurman Rizal, Pemanggilan yang Menghantui Notaris, Media Notaris Edisi 11 Juli 2007,

(10)

pemeriksaan notaris dari saksi menjadi tersangka perlu memperoleh ijin tertulis dari MPD, dimana penyidik Polri mengirimkan surat permohonan ijin tertulis kepada MPD mengenai peningkatan status pemeriksaan dari notaris tersebut. Pasal-pasal yang sering digunakan oleh penyidik Polri terhadap Notaris yang status hukum

pemeriksaannya telah menjadi tersangka adalah Pasal 55 sampai dengan 62 KUH Pidana tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, Pasal 263

sampai dengan Pasal 275 KUH Pidana tentang memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik atau menggunakan surat palsu yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain, Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 tentang penggelapan, Pasal 378 s/d 395 KUH Pidana tentang perbuatan curang. Notaris yang pernah dipanggil oleh pihak penyidik Polri berkaitan dengan akta yang dibuatnya antara lain adalah AH, pasal yang disangka pemalsuan surat/keterangan palsu, ER, Pasal 372 Jo Pasal 378 KUHP, penggelapan dan penipuan, AP, Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat, NN, Pasal 263 KUHP, pemalasuan surat, MR, Pasal 263 Jo Pasal 315 KUHP, pemalsuan surat, PES, Pasal 266 KUHP, pemalsuan surat, GM, Pasal 378 KUHP, penipuan dan EW Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat.

Untuk membuktikan sangkaan yang ditujukan kepada Notaris dalam suatu proses pemeriksaan hukum oleh penyidik Polri dibutuhkan bukti-bukti yang kuat yang diperoleh melalui serangkaian penyidikan yang benar-benar objektif. Muara dari pembuktian kesalahan/pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam jabatannya adalah hakim melalui sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

(11)

Konsekwensi sebuah jabatan publik yang dilekatkan pada Notaris memang sangat berat untuk dilaksanakan. Namun pada hakikatnya bila Notaris tetap berpegang teguh pada rambu-rambu hukum yang berlaku, UUJN dan kode etik Notaris, maka fenomena Notaris dipanggil pihak penyidik Polri yang sering terjadi di masyarakat dalam lima tahun terakhir ini, seharusnya tidak terjadi lagi.

Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya membutuhkan penyelidikan dan penyidikan yang lebih mendalam dan seksama dari pihak penyidik Polri. Apakah benar pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh Notaris, atau para pihak yang menandatangani akta tersebutlah yang melakukan pelanggaran hukum dengan memberikan keterangan yang tidak jujur dan menyembunyikan dokumen yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris. Pelanggaran hukum yang dilakukan Notaris dapat bersifat administratif, tidak merupakan pelanggaran hukum pidana. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan hukum yang mendalam dan paradigma berfikir yang luas untuk mengambil keputusan yang benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku menetapkan bersalah tidaknya seorang Notaris dalam suatu pemeriksaan hukum pidana.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam 3 tahun terakhir tahun 2005, 2006 dan 2007 maka penyidikan yang telah dilakukan oleh Polri dalam rangka pemanggilan dan pemeriksaan Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka sesuai dengan jenis kasus yang dilaporkan ke penyidik Polri berjumlah 143 kasus, dimana 10 (sepuluh) kasus

(12)

diantaranya menetapkan Notaris sebagai tersangka, dan 133 kasus lainnya menetapkan Notaris sebagai saksi dalam pemanggilan dan pemeriksaan kasus tersebut.12 Pada tahun 2008 ada 21 orang Notaris yang dipanggil penyidik Polri dengan status hukum sebagai saksi kemudian pada tahun 2009 ada 5 orang Notaris yang dipanggil sebagai saksi. Pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri pada tahun 2008 tersebut diantaranya 4 orang Notaris menyangkut Pasal 263 KUHP, 5 orang Notaris menyangkut Pasal 266 KUHP, 4 orang Notaris menyangkut Pasal 372 KUHP, kemudian Pasal 378 menyangkut kepada 6 orang Notaris dan Pasal 385 KUHP menyangkut kepada 2 orang Notaris. Tahun 2009, 2 orang Notaris menyangkut Pasal 263, 1 orang Notaris menyangkut Pasal 266 dan 2 orang Notaris menyangkut Pasal 378.13

Peristiwa pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri yang cukup banyak tersebut jelas mencemarkan jabatan profesi Notaris yang selama ini dikenal sebagai suatu jabatan yang bermartabat, luhur terhormat dan dipercaya. Kasus pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri yang terjadi selama ini bila dikaji secara lebih mendalam penyebabnya adalah :

1. Karena kelalaian/ kecerobohan yang bersumber dari minimnya pengetahuan dibidang hukum kenotariatan yang dimiliki oleh Notaris tersebut.

12 Data Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara, tanggal 1

Oktober 2007 yang ditandatangani oleh Pelaksana Harian (LAKHAR) Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut, Kombes Pol. Drs. Arsianto Darmawan, diperoleh pada tanggal 07 Agustus 2009

13 Data SAT I Pidum Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Polda Sumatera Utara

Tanggal 12 Agustus 2009 yang Ditandatangani oleh Kasat I Pidum Polda Sumut, AKBP. Drs. Yustan Alpiani, SIK,M.Hum.

(13)

2. Kesengajaan melakukan pelanggaran hukum yang bersumber dari rendahnya mentalitas dan moral serta etika yang dimiliki oleh Notaris tersebut dalam melaksanakan tugas jabatannya.

Batas-batas kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan akta diatur di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, Kode Etik Notaris

dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang Notaris yang bersangkutan mematuhi dan mentaati aturan-aturan yang terdapat dalam UUJN maupun kode etik Notaris maka Notaris yang bersangkutan akan aman dari segala tindakan atau perbuatan yang melawan hukum terutama bidang hukum pidana. Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat dijadikan sebagai tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris tersebut nyata-nyata karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak jahat, maka pada fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai terdakwa. Apabila pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara fakta hukum, Notaris tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka pada fase itu Notaris tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sanksi-sanksi terhadap Notaris mengenai pelanggaran administratif dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris, dalam hal ini adalah Dewan Kehormatan Daerah (Kabupaten/Kota), Dewan Kehormatan Wilayah (Propinsi) dan Dewan Kehormatan Pusat (Jakarta). Sanksi yang dijatuhkan kepada seorang Notaris yang melanggar

(14)

ketentuan administratif adalah berupa teguran (lisan/tertulis) surat peringatan maupun pemberhentian sementara (skorsing).

Dengan demikian diharapkan pada akhirnya proses pemanggilan, penangkapan dan penahanan Notaris oleh penyidik Polri wajib mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku terhadap prosedur dan tata cara tersebut diatas diantaranya dengan mematuhi KUHAP, Nota kesepahaman antara penyidik Polri dengan Notaris dan juga Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris yang mewajibkan penyidik Polri memperoleh ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah Notaris untuk melakukan pemanggilan terhadap Notaris, sehingga proses pemanggilan, penangkapan dan penahanan Notaris dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak semena-mena.

Dalam hal ini juga setiap laporan.pengaduan secara profesional, proporsional, objektif, transparan dan akuntabel melalui penyelidikan dan penyidikan (Pasal 14 angka 1 Surat Keputusan Kapolri nomor 12 Tahun 2009).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum yang berlaku tentang kewenangan, kewajiban dan larangan terhadap Notaris sebagai pejabat umum berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 dan kode etik Notaris ?

(15)

2. Bagaimana prosedur hukum yang berlaku terhadap pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya ?

3. Bagaimana status hukum Notaris dari segi jabatan dan kewenangan, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan, kewajiban dan larangan terhadap Notaris sebagai pejabat umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kenotariatan yaitu UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dan kode etik Notaris.

2. Untuk mengetahui prosedur hukum yang berlaku terhadap pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.

3. Untuk mengetahui status hukum Notaris dari segi jabatan dan kewenangan, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan

(16)

hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu mengenai pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap para Notaris berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai, “Kajian Hukum Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik Polri Berkaitan Dengan Dugaan Pelanggaran Hukum Atas Akta yang Dibuatnya” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah Notaris, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan Notaris yang pernah dilakukan adalah :

1. Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus di Kota Medan) oleh : Yusnani (057011100).

(17)

2. Kajian Terhadap Penggunaan Hak Ingkar Notaris Dalam Pemberian Kesaksian Pada Perkara Perdata dan Pidana oleh : Asep Sudrajat (017011005).

3. Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang mengandung sengketa (Studi di Kota Medan) oleh Gloria Gita Putri Ginting (037011029).

4. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana oleh : Agustining (087011001).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/penunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.15

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami Notaris sebagai pejabat umum dan kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya yang mengakibatkan terjadinya pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum

14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986, hlm. 6.

15 JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam UI Press,

(18)

sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah Notaris, kewenangan, kewajiban dan larangan bagi Notaris maupun prosedur hukum pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya dengan didasarkan kepada penelitian lapangan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.16

Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum kenotariatan, hukum perjanjian dan hukum pidana, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.17 Teori yang digunakan adalah teori keseimbangan dan keadilan hukum. Keseimbangan dan keadilan hukum sebagai landasan yuridis pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum kepada masyarakat yang menggunakannya dalam pembuatan akta otentik sekaligus pula keseimbangan dan keadilan hukum terhadap pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri dalam kaitannya dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta otentik yang dibuatnya sesuai prosedur hukum yang berlaku dalam pemanggilan dan pemeriksaan Notaris sebagai Pejabat Umum oleh Penyidik Polri.18

16 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,

Bandung, 2006, hlm. 17.

17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. 18 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo

(19)

Apabila pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh penyidik Polri tidak mengindahkan prosedur hukum yang berlaku, maka dikhawatirkan akan terjadi kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan.19 Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan adanya kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang. Undang-undang tersebut antara lain meliputi Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 tahun 2004, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, kode etik Notaris, nota kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Nomor Polisi B/1056/V/2006, Nomor : 01/MOU/PP-INI/V/2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum, dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum.20

Dalam menganalisis masalah pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah tersebut

19 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 102.

20 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,

(20)

dibutuhkan pendekatan sistem (Approach system). Maksud menggunakan pendekatan sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum yang berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris sebagai pejabat umum, dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang menyederhanakan masalah tugas dan jabatan Notaris sebagai pejabat umum tersebut, sehingga menghasilkan pendapat yang keliru.21

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, diatas mana dibangun tertib hukum.22 Berdasarkan teori sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum kenotaariatan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jabatan profesi Notaris itu dibangun. Dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum kenotariatan merupakan suatu sistem hukum.23

Asas-asas hukum jabatan profesi Notaris harus bersumber daari Pancasila, sebagai asas Idiil (Filosofis, UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut memiliki tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.24

Lembaga notariat timbul karena dibutuhkan oleh pergaulan di masyarakat, dimana hubungan hukum keperdataan dalam masyarakat membutuhkan alat bukti. Kebutuhan masyarakat akan alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan tersebut

21 Komar Anda Sasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni Bandung, 1999, hlm. 24. 22

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, 1986, hlm. 14-16.

23 Ibid, 1986, hlm. 14-16. 24 Ibid, hlm. 18.

(21)

mendorong lahirnya lembaga notariat yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk dimana perlu bila Undang-Undang mengharuskan atau masyarakat menghendakinya, dapat membuat alat bukti tertulis guna dipergunakan sebagai alat bukti otentik dalam hubungan hukum keperdataan tersebut. Nama Notaris berasal dari bahasa Romawi yaitu “Notaris” (dalam arti (jamak Notari’i) yang artinya segolongan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan tulis-menulis seiring deengan perkembangan masyarakat dalam hubungan hukum keperdataannya, lama-kelamaan arti Notari’i berubah dan orang yang memiliki pekerjaan tulis menulis menjadi orang yang memiliki keahlian mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat dalam pekerjaan mereka (sekarang pekerjaan menulis cepat ini dikenal dengan istilah stenografi)”25 Pada abad III jaman pemerintahan Ulpianus, diperkenalkan istilah “Tabelliones” disamping juga nama notari’i, yang artinya juga orang-orang yang menjalankan pekerjaan tulis-menulis, akan tetapi untuk kepentingan publik, yaitu membuat akta-akta, rekes-rekes, yang tugasnya hampir sama dengan pekerjaan Notaris sekarang ini. Bedanya adalah pada tabelliones tidak diangkat oleh kekuasaan umum, karena itu tabelliones bukan pejabat umum, artinya ia bukan pejabat negara sehingga hasil akta yang dibuatnya tidak otentik.26 Pada tahun 568 s/d 774 Masehi yaitu sewaktu Lango Barden berkuasa, para tabelliones ini ada yang diangkat menjadi Notari’i dan dipekerjakan pada konselerijen kerajaan, sehingga mereka merasa lebih terangkat derajatnya dan lebih terhormat, apalagi ditambah dengan masyarakat yang lebih suka menggunakan jasa

25 R. Soesanto, Op.cit, hlm. 49. 26 Ibid, hlm. 50.

(22)

Notari’i daripada tabelliones. Oleh karena itu banyak dari tabelliones yang tanpa pengangkatan dari kerajaan mengangkat diri mereka sendiri menjadi Notari’i. Maka terjadilah kerancuan yang mengakibatkan istilah “tabellio” kemudian diganti dengan istilah “notarius”27. Dengan demikian ada 2 bentuk lembaga yaitu notarius dan notari’i yang mana keduanya diangkat menjadi pegawai negeri. Akhirnya tabellionat dan notariat (golongan yang diangkat) ini, bergabung menjadi suatu lembaga yang dinamakan “collegium” Notarius yang bergabung menjadi collegium inilah yang dianggap sebagai satu-satunya pejabat yang berhak membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan Notarius inilah yang memiliki tugas dan kewenangan yang sama dengan Notaris sekarang, meskipun terdapat perbedaan yaitu akta-akta yang dihasilkan oleh collegium ini tidak otentik dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial”.28

Di Indonesia, Notaris mulai masuk pada permulaan abad 17, dengan adanya Oost Indische Compagnie, yaitu gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dengan gubernur jenderalnya yang bernama Jan Pieter Zoon Coen, sekaligus pula mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris pertama di Jakarta (Batavia) pada tanggal 27 Agustus 1620.29 Sejak masuknya Notaris di Indonesia sampai tahun 1822, diatur dengan dua reglement yaitu dari tahun 1625 dan

27 Ibid, hlm. 51 28 Ibid, hlm. 52.

(23)

tahun 1765. Pada tahun 1822 (Staatsblad Nomor II) dikeluarkan Instructie Voor de Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal.30

Pada tahun 1860 pemerintah Hindia Belanda melakukan penyesuaian peraturan mengenai jabatan Notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di negeri Belanda, maka diundangkan peraturan jabatan Notaris (Notaris Reglement) Staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan tanggal 26 Januari 1860 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Juli 1860. Peraturan jabatan Notaris tersebut terdiri dari 63 pasal yang merupakan kodifikasi (terjemahan secara utuh) dari Notaris wet yang berlaku di negeri Belanda sedangkan Notaris wet yang berlaku di Belanda merupakan kodifikasi dari Ventosewet yang berlaku bagi Notaris di Perancis.31

Upaya yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) untuk membuat Undang-Undang yang bersifat nasional mengenai peraturan jabatan Notaris dan mengajukannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggantikan peraturan Jabatan Notaris peninggalan kolonial Belanda akhirnya membuahkan hasil setelah berjuang dan menunggu selama lebih dari tiga dasawarsa. Rancangan Undang-undang Jabatan Notaris yang diajukan oleh pemerintah bekerjasama dengan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

30 Ibid, hlm. 18.

31 Nico Winanto, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Contractor Documentation

(24)

Indonesia (DPR-RI) pada tanggal 14 September 2004.32 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tersebut mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Oktober 2004 yang merupakan perwujudan unifikasi hukum kenotariatan.

Ada tiga hal pokok berkaitan dengan pelaksanaan UUJN yaitu : pengawasan, perlindungan dan organisasi Notaris.33 Dalam rangka pengawasan terhadap Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, bahwa pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris, Majelis Pengawas Notaris anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi Notaris, dan ahli/akademi dengan anggota masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang.

Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris ditingkat pusat, propinsi (wilayah) dan tingkat kabupaten/kota (daerah). Selama ini telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPP), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) di setiap propinsi, dan Majelis Pengawas Daerah (MPD) di sebagian daerah Kabupaten/Kota. Dalam memberikan perlindungan hukum kepada Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya, MPW/MPD memiliki kewenangan menetapkan boleh tidaknya seorang Notaris dipanggil oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta

32

Abdul Bari Azed, Undang-Undang Jabatan Notaris, Pembaharuan Bidang Kenotariatan, Media, Notariat, Edisi September – Oktober 2004, hlm. 6.

33 Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http:/www.dephumham.go.id/

(25)

yang dibuatnya, karena adanya pengaduan pihak lain di kemudian hari yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta tersebut. Prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatan juga perlu dimiliki oleh Notaris dengan cara mengkopi segala surat-surat yang berhubungan dengan dasar hukum pembuatan akta tersebut dan menjahitkannya pada minuta akta tersebut. Dengan demikian Notaris telah melakukan upaya perlindungan hukum terhadap dirinya sendiri bila ternyata dikemudian hari akta yang dibuat Notaris tersebut menimbulkan permasalahan hukum khususnya hukum pidana.

“Sekalipun keahlian seorang Notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksnakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang seorang Notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh dengan jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan”.34

Sejak lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, dunia kenotariatan mengalami perkembangan hukum yang cukup signifikan dalam hal :35

1. Perluasan kewenangan Notaris yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f dan g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, yaitu kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, kewenangan untuk membuat akta risalah lelang serta perluasan wilayah kewenangan (yuridiksi), berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUJN Nomor

34

Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hlm. 86.

35 Muhammad Affandi Nawawi, Notaris Sebagai Pejabat Umum Berdasarkan UUJN Nomor

(26)

30 Tahun 2004, yaitu Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah Propinsi dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota.

2. Pelaksanaan sumpah jabatan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

3. Notaris dibolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUJN Nomor 30 tahun 2004. Dengan kata lain dalam menjalankan jabatannya Notaris bisa secara bersama-sama (lebih dari satu orang) dalam mendirikan suatu kantor notaris. 4. Masalah pengawasan Notaris, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004 membentuk Majelis Pengawas Notaris.

5. Mengamanatkan agar Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi Notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004. Sebagaimana diketahui hingga saat ini hanya ada satu wadah notaris untuk berorganisasi yaitu INI sebagai wadah tunggal notaris di Indonesia.

Pasal 2 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan. Pada saat ini Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya

(27)

meliputi bidang kenotariatan yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Untuk dapat diangkat/dilantik menjadi seorang Notaris harus telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pasal 3 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 yaitu :

1. Warga Negara Indonesia

2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Berumur paling sedikit 27 (duapuluh tujuh) tahun 4. Sehat jasmani dan rohani

5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan 6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan

Notaris dalam waktu 12 (duabelas) bulan berturut-turut pada Kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi Notaris setelah lulus Strata dua Kenotariatan, dan

7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada Pasal 3 UUJN diatas maka sebelum menjalankan tugas jabatannya, Notaris harus terlebih dahulu mengucapkan sumpah/janji menurut agama dan keyakinannya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk yaitu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatannya sebagai Notaris sesuai Pasal 5 dan 6 UUJN No. 30

(28)

Tahun 2004. Apabila jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal keputusan peengangkatan Notaris tersebut terlewati, maka keputusan pengangkatan sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri. Persyaratan pengambilan sumpah jabatan Notaris tersebut telah semakin dinamis dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Nomor : M.UM.01.06-139 tanggal 8 Nopember 2004 yang intinya telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan sumpah jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri atau dihadapan Kepala Daerah, sejak 8 Nopember 2004 sumpah jabatan Notaris tersebut dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setelah resmi menjalan tugas jabatan sebagai seorang Notaris, pasca dilakukan pelaksanaan sumpah jabatan tersebut, maka Notaris juga tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu kode etik Notaris. Kode etik Notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan hasil kongres perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para pejabat sementara Notaris, Notaris pengganti dan Notaris pengganti khusus.36

Di dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004 pengaturan tentang pemberhentian Notaris dari jabatannya oleh Menteri diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14.

36 Kode Etik Notaris, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Hasil Kongres Bandung pada Tanggal 28

(29)

Pemberhentian tersebut dapat berupa pemberhentian sementara, dan pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Pasal 8 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena :

1. Meninggal dunia

2. Telah berumur 65 (enampuluh lima) tahun 3. Permintaan sendiri

4. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatannya sebagai Notaris secar terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau 5. Merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak

sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Di dalam Pasal 9 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena :

1. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang. 2. Berada dibawah pengampuan

3. Melakukan perbuatan tercela

4. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Pasal 12 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 menyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat apabila :

(30)

1. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Berada dibawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun. 3. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan

Notaris, atau

4. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Dalam Pasal 13 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Incracht van gewijsde) karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dari pernyataan yang dikemukakan Pasal 13 UUJN Nomor 30 Tahun 2004 tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila keputusan atas hukuman pidana yang diterimanya 5 (lima) tahun atau lebih tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian status hukum dari Notaris tersebut telah berubah dari terdakwa menjadi terpidana.37

Dalam proses pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri dalam suatu perkara pidana, baik pemanggilan Notaris sebagai saksi maupun sebagai tersangka merupakan suatu proses penyelidikan dan penyidikan yang tujuannya adalah mencari

37 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan dan Pra peradilan Dalam Teori dan Praktek,

(31)

bukti permulaan yang cukup dan bukti-bukti lainnya yang akan membuat jelas dan terang suatu perbuatan pidana yang telah terjadi dan bagaimana perbuatan pidana yang telah terjadi tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.38

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu disinggung secara umum mengenai sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia.39 Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (Integrated criminal justice system). Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice system untuk menegakkan, melaksanakan/menjalankan dan memutuskan hukum pidana. Dengan demikian sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan empat fungsi utama yaitu :40

1. Fungsi pembuatan Undang-Undang (Law making function). Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain berdasarkan delegated legislation. Tujuan yang diharapkan adalah hukum yang diatur dalam Undang-Undang “tidak kaku” (not rigid), sedapat mungkin fleksibel yang bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial.

2. Fungsi penegakan hukum (Law enforcement function). Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan untuk tata tertib sosial (social order).

3. Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (Function of adjudication). 4. Fungsi memperbaiki terpidana (The function of correction)

38 Mortiman Proajohamidjojo, Laporan dan Pengaduan, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 1982,

hlm. 11.

39 Ibid, hlm. 12.

40 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan

(32)

Dari keempat fungsi utama dalam kegiatan sistem peradilan pidana tersebut di atas dapat disimpulkan ada empat instansi penegak hukum yang terintegrasi dalam

pelaksanaan penegakan hukum pidana tersebut yaitu Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Dari uraian tersebut di atas tentang Integrated Criminal Justice System dapat dilihat berhasil tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim untuk menyatakan terdakwa “salah” serta “memidananya”, sangat tergantung atas “hasil penyelidikan dan penyidikan” Polri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi dari penyidik Polri merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana. Secara internasional hal inipun terlihat jelas dalam laporan Kongres perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-5/1975 (mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, (Pencegahan kejahatan dan cara memperlakukan orang yang bersalah) khususnya dalam membicarakan masalah “the emerging roles of the police and other law enforcement egenced. (Penegakan hukum yang adil oleh kepolisian Dalam

keadaaan darurat) yang menegaskan It was recognized that the police were a component of the larger system of criminal justice to hich operated against

criminality”.41 (Penegakan hukum oleh pihak kepolisian sebagai komponen/subsistem dari suatu kesatuan besar sistem peradilan pidana).

41 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

(33)

Status Polri sebagai komponen|unsur|sub sistem dari sistem persoalan pidana sudah cukup jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini, baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 28 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Perubahan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut diharapkan dapat memberi penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tribrata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang diayominya.42

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 8 Januari 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, merupakan dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 dan ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000, yang menyatakan keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yang memelihara keamanan adan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

42 Penjelasan Umum Angka 1, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

(34)

Dalam melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan, Undang-Undang memberi “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana. Akan tetapi dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process (Menjunjung tinggi Hak-hak tersangka dalam proses penegakan hukum). Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “Supremasi hukum” dalam menangani tindak pidana. Tidak seorangpun yang berada dan menempatkan diri di atas hukum (Law fair manuver), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manuver) Esensi due process adalah setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus mentaati hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bahagian ketentuan umum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.43

Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan anggota masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau “diskresi” (kebijakan khusus yang dapat saja menyimpang dari kebijakan yang telah ditetapkan namun tetap dalam koridor hukum yang berlaku), yang dilakukan penyidik, sangat

(35)

bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan penyelidikan atau penyidikan. Oleh karena itu, tujuan mengemukakan permasalahan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan “ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law.44

Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “memedomani” dan “mengakui” (recognized), “menghormati” (to respect for), dan melindungi (to protect) serta “menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incorporation doctrin), yang memuat berbagai hak, antara lain (sebagian diantaranya telah dirumuskan dalam Bab VI KUHAP) : 45

1) The right of self incrimination. Tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.

2) “Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” (deprive) “hak hidup” (life), “kemerdekaan” (liberty) atau “harta benda” (property) tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara (without due process of law).

3) Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri” (person), “kediaman, surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan” (unreasonable searches and seizures).

4) “Hak konfrontasi” (the right to confront) dalam bentuk “pemeriksaan silang” (cross-examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan).

44 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 91 45 Ibid, hlm. 92

(36)

Dari pengamatan maupun dari suara-suara yang sering kedengaran, pemeriksaan penyidikan jarang memberi kesempatan “konfrontasi” atau cross-examination. Hal ini sangat bertentangan dengan HAM serta dapat merugikan kepentingan tersangka untuk membela kepentingannya.

5) “Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan)” yang cepat (the right to a speedy

trial). Pelanggaran atas hak ini pada tahap penyidikan sering muncul

ke permukaan. Ada laporan pengaduan yang tidak pernah ditangani. Pemeriksaan penyidikan tersangka yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak dihentikan dalam bentuk SP3, tetapi juga tidak dilimpahkan pada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Atau pemeriksaan tambahan yang tidak pernah disempurnakan.

Dalam kasus-kasus yang seperti ini, sering menimbulkan benturan kepentingan antara pelapor dan tersangka. “Pelapor” atau “korban” merasa dirinya “dizalimi” dan “diabaikan”. Sebaliknya tersangka juga terkatung-katung nasibnya dalam kegelisahan yang tidak menentu.

6) “Hak perlindungan yang sama” dan “perlakuan yang sama dalam hukum” (equal protection and equal treatment of the law). Terutama dalam menangani kasus yang sama (similar case), harus ditegakkan asas perlindungan dan perlakuan yang sama. Memberi perlindungan dan perlakuan yang berbeda adalah tindakan “diskriminatif”.

7) “Hak mendapat bantuan penasihat hukum” (the right to have assistance of counsil) dalam pembelaan diri. Hak ini merupakan prinsip yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Dan apa yang diatur dalam Pasal 56 ini merupakan bagian

(37)

yang tidak terpisah dari asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dalam KUHAP, seperti :

- Melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan” (brutality to coerce confession).

- Melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (Psychological intimidation).

Berbarengan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberikan hak untuk “diperingati hak konstitusionalnya” (warning of his constitutional rights) atau disebut Miranda Warning yang harus disampaikan aparat penegak hukum kepadanya berupa :

- Hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent);

- Hak didampingi (menghadirkan) penasihat hukum (a right to the presence of an attorney or the right to counsil).

Kedua hak ini hanya dapat “dihapus” atau “dikesampingkan” berdasar “kemauan sadar” dan “sukarela” (knowingly and voluntarely) dari tersangka. 46

Kaitan antara kedua “hak” di atas dengan Miranda Warning adalah apabila tersangka secara tegas menyatakan dia “didampingi penasihat hukum” dalam pemeriksaan penyidikan, tersangka dapat mempergunakan the right to remain in silent (hak untuk tidak menjawab) sampai dia didampingi penasihat hukum sesuai dengan Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang bersifat “imperatif”.

(38)

Mengabaikan ketentuan ini, mengakibatkan : “tuntutan JPU tidak dapat diterima”.47 Pendirian dan penerapan yang demikian, dapat dilihat dalam salah satu putusan peradilan (MA No. 1565 K/Pid/1991, 16 September 1993). Dalam kasus ini, proses pemeriksaan penyidikan melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yakni penyidikan berlanjut terhadap tersangka tanpa didampingi penasihat hukum. Pelanggaran itu dijadikan alasan kasasi, dan dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan : Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan PU dinyatakan tidak dapat diterima. Dari pertimbangan ini ditegaskan, pelanggaran atas Miranda Rule yang digariskan Pasal 56 ayat (1) mengakibatkan penyidikan “tidak sah” (illegal).

Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan HAM dalam penegakan hukum, dan salah satu diantara tuntutan itu berkenaan dengan kualitas penegakan Miranda Rule dan Miranda Principle, sudah selayaknya Polri menyiapkan SDM yang memahami dengan baik aspek-aspek pengertian dan penerapan Miranda Rule secara komprehensif. 48 Miranda Warning atau Miranda Rule adalah suatu perlindungan terhadap tersangka dalam suatu perbuatan pidana yang pada mulanya berasal dari hukum anglo saxon khususnya Amerika dimana ketika itu seorang tersangka bernama Miranda ditangkap oleh pihak penyidik, namun tidak dihargai hak-haknya sebagai seorang tersangka. Pada waktu itu Miranda ditahan secara

47 Ibid, hlm. 77 48 Ibid, hlm. 78

(39)

sewenang-wenang tanpa didasarkan kepada aturan hukum yang jelas. Sejak peristiwa tersebut, maka di Amerika dibuatlah suatu peraturan yang menghormati hak-hak tersangka pada saat dilakukan penangkapan maupun penahanan dengan tetap menggunakan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sejak peristiwa itu pula peraturan tersebut dikenal dengan istilah Miranda Warning atau Miranda Rule yang intinya meskipun telah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka namun harus tetap menghormati hak-hak asasi dari seorang tersangka yang ditangkap ataupun ditahan tersebut.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bahagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian (observasi) masalah yang akan diteliti.49 Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.50 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.51

49 John W, Creswell, Research Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Alih Bahasa

Angkatan III dan IV Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) – UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, Kata Pengantar Parsudi Suparlan, KIK Press, Jakarta, 1994, hlm. 79.

50 Sumadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,

hlm. 28.

(40)

Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu : Kajian Hukum adalah : suatu proses penelitian, penelaahan, pengujian secara lebih mendalam secara hukum mengenai pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.52

Pemanggilan adalah pemberitahuan tertulis kepada Notaris oleh penyidik Polri dalam rangka penyelidikan dan/atau penyidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut berkaitan dengan tugas jabatannya.53

Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan.54

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.55

52 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2001, hlm. 46.

53 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990,

hlm. 29.

54

Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

55 Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

(41)

Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.56

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.57

Dugaan pelanggaran hukum adalah suatu dugaan yang disangkakan kepada Notaris berupa pelanggaran hukum dibidang hukum pidana atau dugaan melakukan tindak pidana berkaitan dengan akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan Notaris tersebut.58

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004.59

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004.60

56 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

57 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

58

Hadari Djanawi Tahir, Pokok-pokok Pikiran Dalam KUHAP, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 59.

59 Pasal 1 Ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004. 60 Pasal 1 Ayat (7) UUJN Nomor 30 Tahun 2004.

(42)

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.61 Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, dalam praktek penegakan hukum pemanggilan Notaris yang berawal dari Premis umum yang kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Penelitian ini juga berupaya untuk menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisa masalah pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data dengan menelaah bahan kepustakaan yang meliputi :

a. Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

61 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,

(43)

Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kode etik Notaris dan peraturan pelaksana perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder antara lain yaitu buku-buku tentang ilmu kenotariatan, hasil-hasil seminar, karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Wawancara langsung secara sampling dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu : 1. Notaris (6 orang), Penyidik Polri (3 orang), Satuan reserse Kriminal Kepolisian Kota Besar medan Sekitarnya, Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan majelis Pengawas Daerah Kota Medan dan Deli Serdang, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan nara sumber.

3. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, yaitu dengan cara meneliti prosedur hukum pemanggilan Notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya, proses pemeriksaan dan penetapan Notaris sebagai saksi atau tersangka, kemudian analisis ini dipaparkan secara sistematis sehingga terjawab keseluruhan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini bersifat evaluatif analisis yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan, penambahan SCa-kedelai pada level yang berbeda dalam konsentrat tidak mempengaruhi pH, konsentrasi amonia, populasi mikroba, kecernaan bahan

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan arah dan metode pengembangan bisnis yang dilakukan oleh Arcapada Motor dan mengetahui peran yang diberikan

(Sasaran Mutu) Satuan Unit Base Line Target Capaian Keterangan 2012 2012 2012.. 1 Perencanaan, pengembangan, pemutakhiran, dan monitoring kurikulum secara berkala dan

Ekstrak potensial bunga melati yang dapat membentuk zona hambat terbesar pada uji penapisan awal yaitu ekstrak etil asetat dengan diameter zona hambat sebesar

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan yang dialami oleh pemain PS Tamsis Bima adalah senam vitalisasi otak yaitu sebuah latihan fisik yang bertujuan

Rafiza, 2006, Panduan dan Referensi Kamus Fungsi PHP 5 Untuk Membangun Database Berbasis Web.. Elex Media

baik secara lisan maupun tertulis. Selain itu komunikasi sesama karyawan maupun komunikasi karyawan dan pelanggan perlu di tingkatkan. Karyawan dalam menerima

Kondisi perbaikan sifat fisik tanah ini juga didukung sifat kimia biochar bambu (Tabel 2) seperti; pH biochar agak alkalis yang dapat menurunkan pH tanah, C-organik