• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Penggunaan Level Sabun Kalsium Minyak Kedelai dalam Ransum Terhadap Karakteristik Fermentasi, Populasi Mikroba dan Kecernaan Nutrien Secara In Vitro Menggunakan Cairan Rumen Sapi Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Optimalisasi Penggunaan Level Sabun Kalsium Minyak Kedelai dalam Ransum Terhadap Karakteristik Fermentasi, Populasi Mikroba dan Kecernaan Nutrien Secara In Vitro Menggunakan Cairan Rumen Sapi Bali"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

11

Optimalisasi Penggunaan Level Sabun Kalsium Minyak Kedelai dalam Ransum

Terhadap Karakteristik Fermentasi, Populasi Mikroba dan Kecernaan Nutrien

Secara

In Vitro

Menggunakan Cairan Rumen Sapi Bali

Ali Bain1*, Komang G. Wiryawan2, Dewi Apri Astuti2, Chairrusyuhur Arman3, Sri Suharti2

1Fakultas Peternakan, Universitas Halu Oleo,

Jl. H.E.A. Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma, Anduonohu, Kendari 93232

2Department Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor

Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia

3Fakultas Peternakan, Universitas Mataram

Jl. Majapahit No. 62, Gomong, Kec. Mataram, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83121 *Email korespondensi: alibain1967@yahoo.com

(Diterima: 15-7-2018; disetujui 25-8-2018)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi optimalisasi penggunaan level sabun kalsium yang berbeda dalam ransum secara in vitro terhadap karakteristik fermentasi, populasi mikroba dan kecernaan nutrien ransum, menggunakan sumber inokulum cairan rumen sapi Bali. Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 jenis perlakuan dalam 3 ulangan. Ransum penelitian terdiri atas : R1, 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandungn 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% kedelai), R4 (40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai). Variabel yang diukur terdiri atas karakteristik fermentasi in vitro (pH, N-NH3, produksi total

volatile fatty acids), populasi mikroorganisme (total bakteri dan total protozoa), dan kecernaan nutrien (kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik). Data dianalisis menggunakan analysis of varians (ANOVA) dan perbedaan antara perlakuan diuji dengan Duncan’s Multiple Range Test. Hasil penelitian menunjukkan, penambahan SCa-kedelai pada level yang berbeda dalam konsentrat tidak mempengaruhi pH, konsentrasi amonia, populasi mikroba, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik fermentasi tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0.002) terhadap produksi total VFA. Produksi total VFA tertinggi diperoleh pada ransum perlakuan R4 (konsentrat yang mengandung 7.5% SCa-kedelai). Produksi total VFA tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 dan produksi total VFA paling rendah terjadi pada perlakuan ransum R1 (kontrol). Produksi total VFA ransum R1 dan R2 dan ransum R2 dan R3 tidak berbeda nyata namun produksi total VFA ransum R3 lebih tinggi dibanding ransum kontrol. Penambahan SCa-kedelai dalam konsentrat menghasilkan produksi total VFA tetinggi namun mulai menekan populasi total bakteri. Mempertimbangkan hasil peubah fermentasi dan populasi mikroba serta biaya pembuatan produk sabun kalsium, SCa-kedelai pada level 5% merupakan level penggunaan SCa-kedelai yang terbaik dalam ransum.

Kata kunci: sabun kalsium, fermentasi, in vitro, kecernaan

ABSTRACT

The study to evaluate the optimalization the different level of soybean oil calcium soap (CaS-soybean) in ration on in vitro fermentation using Bali cattle rumen fluid. The experiment was arranged in a complete randomized block design with 4 different ration treatments and 3 replicates. Ration treatments were R1: 40% native grass (NG) + 60% concentrate (C), R2 : 40% NG + 60% C, supplemented with 2.5% soybean oil calcium soap (CaS-soybean), and R3 (40% NG + 60% C, supplemented with 5.0% CaS-soybean and R4 (40% NG + 60% C, supplemented with 7.5% CaS-soybean). Variables measured were fermentation

Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti Keputusan No: 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018

(2)

12

characteristics (pH, NH3-N, total volatile fatty acids), microbial population (total bacteria and total

protozoa), and nutrient digestibility (dry matter and organic matter digestibility). Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and the differences between treatments means were examined by Duncan Multiple Range Test. Results of the study showed that the four different level of CaS-soybean in ration did not have any significant effect (P>0,05) on pH, NH3-N, total bacteria, total protozoa, dry matter and organic matter digestibility. The treatments significantly increased (P<0.05) the production of total volatile fatty acids. The highest production of total VFA was obtained from ration R4 (concentrate containing 7.5% CaS-soybean) and the lowest was obtained from treatment R1 (control). There were no significant differences between R1 and R2, and between R2 and R3 on the total VFA production. However, the total productions of VFA in ration R3 were higher than that of the control ration. The addition of CaS-soybean in the concentrate had increased the total production of VFA, but at the same time, it began pressing the total population of bacteria. Considering the results of the fermentation variables and microbial population as well as the cost of making calcium soap products, CaS-soybean at 5% level was selected as the best level of CaS-soybean in ration.

Keywords :calcium soap, fermentation, in vitro, digestibility

PENDAHULUAN

Minyak kedelai telah banyak digunakan pada ransum ternak sapi, unggas dan babi karena mengandung asam lemak esensial (asam linoleat, C18:2n-6 dan asam oleat, C18:3n-3) yang tinggi (Garcia dan Casal 2013). Komposisi asam lemak minyak kedelai terdiri atas asam linoleat (>50%), asam oleat (21% sampai 25%) dan asam linolenat

(5% sampai 6%) (Jokić et al. 2013). Penelitian pemanfaatan minyak kedelai untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh produk ternak ruminansia telah banyak dilakukan, tetapi belum dapat memberikan hasil yang optimal.

Awawdeh et al. (2009) melaporkan, penambahan minyak kedelai 32 g kg-1 pada pakan

berbasis barley dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan lemak kasar. pertambahan bobot badan sebesar 237 g ekor-1 hari-1 dan bobot badan akhir,

tetapi belum dapat memperbaiki kualitas karkasnya. Penambahan minyak kedelai 33 g kg-1

BK berbasis hijauan tinggi pada pakan penggemukan sapi pedaging meningkatkan kandungan conjugated linoleic acid (CLA) yang terdeposisi pada lemak intramuskuler dan subkutan, kandungan asam lemak vasenik dan profil asam lemak tidak jenuh serta menurunkan komposisi asam lemak jenuh (Aharoni et al.

2005).

Pemanfaatan minyak nabati dalam ransum ternak ruminansia dibatasi oleh adanya efek negatif PUFA di dalam rumen. PUFA di dalam pencernaan ruminansia mengalami banyak perubahan (Carriquiry et al. 2008) dan menimbulkan efek negatif terhadap fermentasi rumen, pencernaan serat kasar dan konsumsi

bahan kering ransum mengandung jerami barley

(jelai) dan konsetrat (Manso et al. 2006). Lanier dan Corl (2015) melaporkan, PUFA yang terdapat dalam pakan ruminansia mengalami proses esterifikasi dan biohidrogenasi ketika memasuki pencernaan rumen. Proses biohidrogenasi dalam rumen merupakan mekanisme detoksifikasi untuk menghindari efek anti bakterial asam lemak tak jenuh yang dapat merusak integritas membran sel yang berimplikasi pada penurunan pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Maia et al. 2010). Wynn et al. (2006) melaporkan, suplementasi CLA tanpa proteksi akan mengalami biohidrogenasi sebesar 91.5% dalam rumen domba sedangkan jika diberikan dalam bentuk terproteksi hanya 35% mengalami biohidrogenasi.

Adanya efek negatif PUFA terhadap fermentasi rumen menjadi alasan utama agar pemanfaatan minyak nabati yang mengandung PUFA tinggi harus dibatasi dan diproteksi agar tidak mengganggu fungsi rumen. Jika hal ini dapat dikontrol dan dilakukan dengan tepat maka penggunaan minyak nabati mengandung PUFA tinggi dapat berimplikasi positif dalam memperbaiki produktivitas dan kualitas produk ternak ruminansia (Garcia dan Casal 2013). Perbedaan respon ternak terhadap penggunaan minyak tanaman pada ransum sapi dipengaruhi oleh fase pertumbuhan sapi, jumlah lemak atau minyak dalam total ransum dan kadar asam lemak linoleat yang terkandung dalam minyak nabati.

Beberapa teknologi telah dikembangkan untuk memproteksi lemak pakan dalam pencernaan rumen yaitu bentuk lemak aldehid, sabun kalsium dan amida asam lemak (Jenkins dan Bridges 2007). Block et al. (2005) melaporkan, sabun kalsium asam lemak

(3)

13 dikembangkan sebagai salah satu teknologi proteksi asam lemak yang tahan terhadap enzim mikroba dan produk yang dapat mencegah terganggunya proses fermentasi rumen oleh asam lemak. Selain itu sabun kalsium asam lemak mempunyai kecernaan yang lebih tinggi dibanding sumber asam lemak lainnya (lemak sapi, gliserida terhidrogenasi, minyak biji kapas, asam lemak prilled dan sabun kalsium asam lemak sawit) selanjutnya dapat menyediakan nilai energi tercerna untuk meningkatkan produksi ternak (Block et al. 2005).

Beberapa produk sabun kalsium telah diproduksi secara komersial untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh dalam jaringan tubuh ternak daging sapi (Jenkins dan Bridges 2007). Wu dan Palmquist (1991) melaporkan, pemberian lemak dalam bentuk sabun kalsium dapat memproteksi sebagian asam lemak tersebut dari proses biohidrogenasi mikroba rumen. Adanya keragaman hasil yang diperoleh berkaitan dengan penggunaan sabun kalsium minyak nabati yang disebabkan oleh perbedaan jenis minyak, jumlah kandungan PUFA, kuantitas dan kualitas produk sabun kalsium yang digunakan, faktor fisiologis dan pencernaan ternak. Beragamnya faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas pemanfaatan dalam ransum ruminansia merupakan alasan utama perlunya kajian pemanfaatan sabun kalsium masih untuk terus dilakukan. Beberapa alasan tersebut dikonfirmasi pula dengan data yang dilaporkan (Bain et al.

2014), penggunaan jenis minyak nabati yang berbeda dalam bentuk tidak terproteksi dan terproteksi sabun kalsium tidak menghasilkan kinerja fermentasi yang berbeda tetapi penggunaan minyak kedelai dalam bentuk tidak terproteksi dan terproteksi sabun kalsium secara

mandiri menghasilkan produksi total VFA yang paling tinggi, kadar pH, konsentrasi N-NH3,

populai mikroba dan kecernaan nutrien yang relatif sama. Namun demikian kombinasi perlakuan dapat menciptakan peubah fermentasi yang kondusif untuk kelangsungan proses fermentasi dan pertumbuhan mikroba. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan sabun kaslium minyak kedelai pada level berbeda terhadap karakteristik fermentasi, populasi mikroba dan kecernaan nutrien pakan secara in vitro dalam cairan rumen sapi Bali.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen INTP Fakultas Peternakan IPB. Analisis sampel penelitian dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Laboratorium Terpadu IPB Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA IPB dan di PT ADEV Natural Indonesia. Pengukuran populasi mikroba di Laboratorium Mikrobiologi, Fisiologi dan Biokimia Nutrisi Departemen INTP, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok 4 x 3 untuk menguji 4 jenis ransum perlakuan. Seluruh perlakuan dilaksanakan dalam 3 ulangan (berdasarkan periode pengambilan cairan rumen sapi Bali).Ransum perlakuan terdiri atas 40% rumput lapang (RL) dan 60% konsentrat (K). Rumput lapang yang digunakan adalah campuran rumput yang tumbuh liar pada lahan-lahan di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bahan pakan pembuatan konsentrat terdiri atas dedak, bungkil kelapa, onggok, pollard, sabun kalsium minyak kedelai (SCa-kedelai), molasses, CaCO3 dan urea.

Tabel 1. Komposisi bahan ransum perlakuan penelitian

Komposisi bahan ransum (%) Perlakuan

R1 R2 R3 R4 Rumput Lapang 40.00 40.00 40.00 40.00 Kosentrat : 60.00 60.00 60.00 60.00 Onggok 30.00 27.50 25.00 22.50 Pollard 31.50 31.50 31.50 31.50 Bungkil Kelapa 20.50 20.50 20.50 20.50 Molasses 15.00 15.00 15.00 15.00 CaCO3 1.50 1.50 1.50 1.50 Urea 1.50 1.50 1.50 1.50 SCa- kedelai 0.00 2.50 5.00 7.50

R1 : 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K , mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4(40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai)

(4)

14

Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan penelitian Kandungan nutrien ransum

(% bahan kering) Perlakuan R1 R2 R3 R4 Bahan Kering 76.00 76.05 76.09 76.13 Abu 6.37 6.64 6.91 7.17 Protein Kasar 13.21 13.19 13.17 13.15 Serat Kasar 16.71 16.55 16.38 16.22 Lemak Kasar 3.91 5.19 6.48 7.77 BETN 59.80 58.43 57.06 55.68 TDN 71.19 72.47 73.76 75.05 Ca 0.52 0.52 0.51 0.51 P 0.25 0.25 0.25 0.25

R1 : 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4(40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai). Komposisi nutrien adalah hasil estimasi berdasarkan komposisi nutrien bahan pakan ternak

Kandungan nutrien ransum perlakuan disusun menurut standar Kearl (1982) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sapi Bali bobot 250 kg dengan pertambahan bobot badan 0.75 kg ekor-1 hari-1. Komposisi dan kadar nutrien ransum

perlakuan berturut-turut disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Kombinasi ransum perlakuan yaitu: R1 (40% (RL) + 60% (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandungn 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4 (40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai).

Peubah penelitian terdiri atas karakteristik fermentasi rumen (pH, N-NH3 dan produksi total

VFA), populasi mikroba (populasi total bakteri dan total protozoa) dan kecernaan nutrien (kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik). Analisis kandungan nutrisi ransum yang terdiri atas bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan lemak kasar (LK) menggunakan metode AOAC (2005). Analisis kandungan mineral kalsium (Reitz et al. 1960) dan phosphor (Taussky dan Shor 1953) menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Analisis kandungan

Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) menggunakan metode Goering dan Soest (1970). Kandungan Total Digestible Nutrient (TDN) di hitung menurut persamaan Hartadi (1980). Analisis kadar pH diukur menggunakan pH meter digital merk Hanna 70, kadar N-NH3 (Conway 1962), produksi

total VFA (General Laboratory Procedures 1966) dan populasi bakteri dan protozoa diukur dengan metode Ogimoto dan Imai (1981). Data penelitian

dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) menggunakan software SPSS 21.0 pada taraf kepercayaan 5% dan 1%. Jika perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan uji beda antar perlakuan menggunakan Duncan’s Multiple RangeTest (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam konsentrat

terhadap karakteristik fermentasi in vitro

Efek perlakuan terhadap karakteristik fermentasi (kadar pH, konsentrasi N-NH3 dan

produksi total VFA) in vitro pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Data dalam Tabel 3 menunjukkan, penggunaan sabun kalsium minyak kedelai pada level yang berbeda tidak mempengaruhi kadar pH dan konsentrasi N-NH3. Penambahan

SCa-kedelai pada level yang berbeda sangat mempengaruhi (P<0.002) produksi total VFA. Produksi total VFA tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 dan produksi total VFA paling rendah terjadi pada perlakuan R1 (kontrol). Produksi total antara ransum R1 dengan R2 dan antara R2 dab R3 tidak berbeda nyata namun produksi total VFA R3 lebih tinggi di banding ransum kontrol.

Penggunaan SCa-kedelai pada level yang berbeda menghasilkan rataan kadar pH yang relatif sama pada seluruh perlakuan yaitu dalam kisaran pH 6.5 sampai 6.64. Kadar pH tersebut merupakan kisaran pH yang normal untuk mendukung kelangsungan proses fermentasi. McDonald et al. (2010) menyatakan, nilai rataan

(5)

15 pH ruminal (6 sampai 7) merupakan pH yang normal dan ideal untuk mendukung pertumbuhan mikroba dan berlangsung proses fermentasi pakan dalam rumen. Franzolin dan Dehority (2010) menyatakan, bahwa mempertahankan kadar pH rumen sangat penting bagi kelangsungan dan stabilisasi pertumbuhan mikroba rumen. Kadar pH rumen dipengaruhi oleh jenis dan frekwensi pemberian ransum pada setiap spesies ternak ruminansia. Kestabilan pH rumen yang dicapai dalam penelitian ini diduga berkaitan pula dengan efektivitas dari sabun kalsium dalam memproteksi asam lemak tak jenuh rantai panjang agar tidak membentuk ikatan komplek dengan kation-kation yang dapat mempengaruhi kondisi pH rumen dan kebutuhan mikroba akan kation (Wina dan Susana 2013). Kadar pH ruminal pada kisaran pH 6.53 sampai 6.64 merupakan pH yang ideal untuk menjamin stabilisasi ketahanan ikatan asam lemak tak jenuh dan ion kalsium dalam produk sabun kalsium di dalam rumen (Block et al. 2005). Kestabilan ikatan PUFA dan ion kalsium akan mencegah efek negatif dan terjadinya proses biohidrogenasi PUFA di dalam rumen. Perlakuan suplementasi SCa-kedelai pada level yang berbeda (2.5%, 5.0% dan 7.5%) dalam konsentrat juga menghasilkan kadar N-NH3 dan produksi

total VFA yang ideal untuk mendukung pertumbuhan mikroba dalam melakukan proses fermentasi pakan di dalam rumen. McDonald et al.

(2010) menyatakan, fermentasi dalam rumen dapat berlangsung normal jika kondisi ekosistem rumen mempunyai kisaran suhu, 38 sampai 42 0C,

pH, 6.0 sampai 7.0, konsentrasi N-NH3, 6 sampai

21 mM dan kadar total VFA, 70 sampai 150 mM. Kadar pH, konsentrasi N-NH3 dan produksi total

VFA mempunyai korelasi yang saling berkaitan satu sama lain dalam menciptakan kondisi ekosistem rumen yang ideal untuk mendukung kelangsungan proses fermentasi. Lana et al.

(1998) melaporkan, penurunan pH rumen dari 6.5 menjadi pH 5.7 dapat mengakibat penurunan produksi N-NH3 secara nyata.

Studi lain dilaporkan Russell (1998), produksi total VFA pada sapi yang mengkonsumsi konsentrat tinggi berkorelasi positif dengan pH, yaitu produksi total VFA menurun jika pH menurun sampai 5.3. Kadar pH yang normal dalam penelitian ini memberi kontribusi positif terhadap konsetrasi N-NH3 dan produksi total

VFA yang berada dalam kisaran normal, yaitu kadar N-NH3 (9.43 sampai 10.55 mM) dan

produksi total VFA (125.29 sampai 167.89 mM). Data kadar pH, konsentrasi N-NH3 dan produksi

total VFA yang relatif sama pada seluruh perlakuan dapat digunakan sebagai indikator bahwa penambahan SCa-kedelai pada level yang berbeda dalam konsentrat tidak memberikan dampak negatif terhadap ekosistem dan pencernaan substrat pakan. Fenomena ini berarti pula bahwa suplementasi minyak kedelai yang terproteksi sabun kalsium cukup efektif memproteksi PUFA dalam ekosistem rumen sehingga keberadaan PUFA tersebut tidak menggangu pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam mendegradasi fraksi serat pakan. Tingkat degradasi serat pakan yang baik akan berimplikasi pada pembentukan komponen VFA selama proses inkubasi. Fenomena ini ditunjukkan pula dengan capaian produksi total VFA tertinggi pada penggunaan 7.5% SCa-kedelai yaitu mencapai 167.89 mM. Hasil penelitian ini sejalan dengan Hidayah et al. (2014), suplementasi minyak biji rami yang diproteksi dalam bentuk sabun kalsium sangat nyata meningkatkan produksi total VFA. Produksi total VFA yang tinggi pada perlakuan 7.5% SCa-kedelai diduga berkaitan tingginya kadar PUFA asam linoleat dalam level SCa-kedelai tersebut. Dimana semakin tinggi kandungan PUFA dari minyak nabati yang digunakan sebagai bahan pembuatan sabun kalsium akan membutuhkan ion kalsium yang lebih banyak pula dalam proses penyabunannya. Banyaknya jumlah ion kalsium yang tersedia tersebut berpotensi baik untuk menyediakan ion kalsium yang dibutuhkan

Tabel 3. Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam konsentrat terhadap karakteristik fermentasi in vitro

Karakteristik fermentasi Perlakuan Nilai P R1 R2 R3 R4 pH 6.64 ± 0.17 6.59 ± 0.17 6.56 ± 0.20 6.53 ± 0.26 0.47 N-NH3 (mM) 9.43 ± 0.88 10.55 ± 1.35 10.42 ± 0.87 10.13 ± 2.65 0.73 Total VFA (mM) 125.29 ± 35.75A 133.75 ± 33.16AB 148.19 ±28.55B 167.89 ± 31.3C 0.002

R1 : 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4(40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai). ABCAngka-angka pada kolom yang

(6)

16 untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri pencerna serat di dalam rumen (Hidayah et al. 2014). Jenkins dan Palmquist (1984) melaporkan, CaCl2 meningkatkan kapasitas

pembentukan sabun kalsium, toksisitasnya terhadap bakteri rumen rendah dan meningkatkan kecernaan dinding sel tanaman dibanding

dicalcium phosphate. Mineral kalsium berperan dalam sintesis dan stabilitas struktur dinding sel mikroba dan mampu mengaktivasi berbagai enzim mikroba seperti α-amylase dan dibutuhkan oleh mikroba untuk mencerna selulosa (Ruckebusch dan Thivend 1980). Meningkatnya kecernaan fraksi serat pakan selanjutnya berimplikasi pada peningkatan produksi total VFA yang dihasilkan di dalam rumen.

Peningkatan produksi total VFA seiring dengan penggunaan level sabun kalsium diduga berkaitan pula dengan peningkatan konsentrasi gliserol yang tersedia di dalam rumen yang merupakan salah satu prekusor pada proses sintesis VFA. Peningkatan jumlah glierol dalam rumen seiring dengan peningkatan level sabun kalsium dapat dipahami sebagai implikasi dari meningkatnya kadar lemak ransum (Tabel 2) yang digunakan dalam penelitian ini. Fenomena tersebut berkaitan pula dengan masih adanya potensi terpisahnya ikatan asam linoleat dengan ion kalsium dari produk sabun kalsium minyak kedelai ketika memasuki pencernaan rumen. Jenkins dan Bridges (2007) melaporkan, asam lemak tak jenuh rantai panjang seperti asam linoleat dan asam linolenat sukar terlindungi dari proses biohidrogenasi bakteri rumen dibanding asam lemak oleat. Peningkatan produksi total VFA seiring dengan peningkatan level SCa-kedelai yang tidak diikuti dengan peningkatan populasi mikroba dan kecernaan nutrien (KcBK dan KcBO) diduga merupakan implikasi masih adanya pengaruh PUFA (asam linoleat) SCa-kedelai yang terpisah dari ion kalsiumnya. Peningkatan kadar PUFA tersebut selanjutnya meracuni dan menekan pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang terlibat dalam proses degradasi senyawa yang terkandung dalam substrat pakan, khususnya fraksi serat. Fenomena ini ditunjukkan dengan data populasi mikroba (Tabel 4), dimana konsentrat yang mengandung 7.5% SCa-kedelai menghasilkan produksi total VFA tertinggi tetapi mulai mengganggu pertumbuhan populasi bakteri total dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Data penelitian ini mengkonfirmasi teori bahwa meskipun penggunaan produk sabun kalsium asam lemak ditujukan untuk menekan efek negatif

lemak di dalam rumen namun jumlah masih tetap harus dikontrol karena masih adanya potensi terpisahnya ikatan linoleat-ion kalsium dari produk sabun kalsium ketika berada di dalam ekosistem rumen.

Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam konsentrat terhadap populasi mikroba

Efek suplementasi SCa-kedelai pada level yang berbeda dalam konsentrat terhadap populasi mikroba disajikan pada Tabel 4. Penggunaan SCa-kedelai pada level yang berbeda dalam konsentrat tidak mempengaruhi populasi total bakteri dan protozoa. Populasi total bakteri dan populasi protozoa antar perlakuan tidak berbeda nyata. Meskipun demikian penggunaan SCa-kedelai pada level 7.5% mulai menekan populasi total bakteri. Populasi total bakteri pada perlakuan R4 (6.71±1.30 log CFU ml-1) lebih

rendah jika dibandingkan dengan ransum kontrol (8.10 ± 0.61 log CFU ml-1) dan R3 (7.61 ± 0.61

log CFU ml-1). Hasil ini mengindikasikan bahwa

penggunaan SCa-kedelai pada level 7.5% dalam ransum sudah memberikan dampak yang buruk terhadap ekosistem in vitro, sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan bakteri secara keseluruhan selama proses fermentasi. Pertumbuhan total bakteri yang mulai tertekan tersebut kemungkinan berkaitan dengan tingginya kadar asam lemak linoleatyang masih berpotensi terpisah dari ion kalsiumnya selama berlangsungnya proses inkubasi.

Meskipun demikian, pada prinsipnya penambahan berbagai level SCa-kedelai dalam penelitian ini belum memberikan dampak negative yang signifikan terhadap populasi protozoa, karakteristik fermentasi dan kecernaan nutrien.

Kadar pH yaitu, pH (6.53 sampai 6.64), kadar N-NH3 (9.43 sampai 10.55 mM) dan

produksi total VFA yang optimal (125.29 sampai 167.89 mM) yang diperoleh masih dalam kisaran yang relatif normal untuk kelangsungan proses fermentasi dan pertumbuhan mikroba. Stabilisasi nilai peubah fermentasi sangat penting dan merupakan prasyarat utama untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam rumen. McDonald et al. (2010) menyatakan bahwa fermentasi dalam rumen dapat berlangsung normal jika kondisi ekosistem pada suhu, 38 0C sampai 42 0C, pH 6.0 sampai 7.0,

konsentrasi N-NH3, 6 sampai 21 mM dan kadar

(7)

17

Tabel 4 Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam konsentrat terhadap populasi mikroba

Populasi mikroba Perlakuan Nilai P

R1 R2 R3 R4

Bakteri Total (logCFU/ml) 8.10 ± 0.61 6.78 ±1.59 7.61± 1.02 6.71 ± 1.30 0.20 Protozoa (log sel/ml) 4.69 ± 0.64 5.00 ± 0.60 4.97 ± 0.30 5.00 ± 0.18 0.75

R1 : 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4(40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai)

amonia rumen merupakan sumber nitrogen utama dalam proses sintesis protein mikroba rumen. Sintesis protein mikroba sangat penting bagi ruminansia karena protein mikroba yang disintesis dalam rumen menyediakan 50% dari total asam amino untuk sapi potong. Karsli dan Russell (2002) melaporkan, pertumbuhan dan sintesis protein mikroba tergantung pada kecukupan energi (ATP) yang dihasilkan dari fermentasi bahan organik dalam rumen dan ketersediaan nitrogen yang dihasilkan dari degradasi sumber nitrogen non protein (NPN) dan protein serta nutrien lain seperti mineral sulfur, phosphor dan mineral lainnya. Populasi protozoa yang relatif sama antar perlakuan kemungkinan berkaitan dengan efek level penggunaan sabun kalsium yang tidak membahayakan bagi pertumbuhan protozoa. Pada hal diketahui protozoa lebih sensitif terhadap keberadaan lemak dibandingkan dengan bakteri. Efek perlakuan yang tidak menghambat pertumbuhan protozoa berimplikasi pada tercapainya stabilisasi kadar pH inkubasi yang optimal. Franzolin dan Dehority (2010) melaporkan, protozoa memiliki peranan penting dalam menyangga (mempertahankan) stabilisasi pH rumen yang dikarenakan kemampuan protozoa mencerna partikel pati yang lebih cepat. Terciptanya kondisi ekosistem fermentasi yang normal tersebut berkaitan pula dengan peranan sabun kalsium dalam menekan efek negatif dan toksisitas PUFA terhadap pertumbuhan mikroba dan proses fermentasi selama proses inkubasi. Hal ini sesuai dengan tujuan penggunaan sabun kalsium asam lemak yaitu agar PUFA tidak mengganggu fermentasi dalam rumen (Jenkins dan Palmquist 1984), tidak bersifat toksik pada bakteri rumen dan mencegah penurunan

kecernaan serat kasar (Palmquist et al. 1986). Meskipun kadar pH, dan konsentrasi VFA dalam penelitian ini berada dalam kisaran normal namun pada perlakuan yang mengandung 7.5% SCa-kedelai mulai menekan pertumbuhan total bakteri jika dibandingkan dengan populasi total bakteri pada perlakuan kontrol dan perlakuan ransum yang mengandung 5% SCa-kedelai.

Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam ransum terhadap kecernaan nutrien

Pengaruh suplementasi berbagai level SCa-kedelai terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik disajikan pada Tabel 5. Hasil Anova menunjukkan, penggunaan SCa-kedelai pada level yang berbeda tidak mempengaruhi nilai KcBK dan KcBO. Nilai KcBK dan KcBO yang tidak berbeda pada seluruh perlakuan merupakan data yang mengkonfirmasi bahwa penambahan SCa-kedelai pada level yang berbeda dapat menciptakan kondisi ekosistem rumen yang cukup stabil dan ideal untuk mendukung pertumbuhan mikroba dalam melakukan aktivitas fermentatif atau proses degradasi substrat pakan.

Doreau dan Chilliard (1997) melaporkan, untuk menghindari pengaruh negatif lemak pada ruminansia maka penambahan lemak dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 6% sampai 7% dari total bahan kering ransum. Teori tersebut dikonfirmasi dengan data penelitian ini, dimana penggunaan SCa-kedelai pada level 7.5% mulai menekan populasi total bakteri. Efek penambahan SCa-kedelai yang mulai menekan populasi total bakteri kemungkinan juga disebabkan oleh kualitas dan ketahanan produk sabun kalsium

Tabel 5 Efek penambahan level sabun kalsium minyak kedelai yang berbeda dalam ransum terhadap kecernaan nutrien Kecernaan nutrien (%) Perlakuan Nilai P R1 R2 R3 R4 KcBK 71.04 ± 2.03 70.94 ± 2.07 72.00 ± 1.14 71.19 ± 0.70 0.73 KcBO 74.63 ± 1.64 74.31 ± 2.85 75.28 ± 3.15 74.35 ± 0.47 0.79

R1 : 40% rumput lapang (RL) + 60% konsentrat (K), R2 (40% RL + 60% K, mengandung 2.5% SCa-kedelai), R3 (40% RL + 60% K, mengandung 5% SCa-kedelai), R4(40% RL + 60% K, mengandung 7.5% SCa-kedelai).

(8)

18 minyak kedelai yang belum dicapai secara optimal dalam memproteksi PUFA proses inkubasi. Fotouhi dan Jenkins (1992) melaporkan, sabun kalsium linoleat tidak sepenuhnya dapat diproteksi dan lolos dari proses biohidrogenasi bakteri rumen. Meskipun demikian dengan nilai kecernaan nutrien (kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik) ransum yang relatif sama antara perlakuan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa produk SCa-kedelai yang digunakan cukup bermanfaat dalam mencegah efek negatif terhadap keberlangsungan proses fermentasi selama proses inkubasi. Hasil positif yang diperoleh dalam penelitian ini dikonfirmasi dengan nilai rataan kecernaan bahan kering yang mencapai 72% dan kecernaan bahan organik (75.28%) yang lebih tinggi dibanding dengan hasil hasil penelitian yang dilaporkan (Hidayah et al.

2014), dimana ransum yang disuplementasi dengan sabun kalsium minyak wijen, canola dan tanaman flax mempunyai kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi masing-masing 64.96% dan 64.58%. Efektivitas produk sabun kalsium dalam menekan efek negatif PUFA terhadap nilai kecernaan nutrien ransum selama proses fermentasi di dalam rumen sangat ditentukan dengan kualitas produk sabun kalsium yang digunakan yang mana sangat ditentukan oleh teknik pembuatan dan proses penyimpanan dari produk sabun kasium sebelum digunakan (Block

et al. 2005).

KESIMPULAN

Penambahan SCa-kedelai dalam konsentrat menghasilkan produksi total VFA tetinggi namun mulai menekan populasi total bakteri secara in vitro. Mempertimbangkan hasil peubah fermentasi dan populasi mikroba serta biaya pembuatan produk sabun kalsium, SCa-kedelai pada level 5% merupakan level penggunaan SCa-kedelai yang terbaik dalam ransum.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kemristek Dikti Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan dana penelitian melalui program MP3EI, No. 0263/E5/2014, the year 2014-2015

DAFTAR PUSTAKA

Aharoni Y, A. Orlov, A. Brosh , R. Granit , Kanner J. 2005. Effects of soybean oil supplementation of high forage fattening

diet on fatty acid profiles in lipid depots of fattening bull calves, and their levels of blood vitamin E. Anim Feed Sci Technol.

119(3-4):191-202.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. 18th.

New York, AOAC International.

Awawdeh M.S., B.S. Obeidat, A.Y. Abdullah, & W.M. Hananeh. 2009. Effects of yellow grease or soybean oil on performance, nutrient digestibility and carcass characteristics of finishing Awassi lambs.

Anim Feed Sci Technol. 153(3-4):216-227.

Bain A, K.G. Wiryawan, D.A. Astuti, S. Suharti, S., & C. Arman. 2014. Effect of protected vegetable oils on in vitro fermentation characteristics and nutrient digestibility of Bali cattle rumen fluid. The 16th AAAP Congress, Yogyakarta, Indonesia. Block E., W. Chalupa, E. Evans , T. Jenkins, P.

Moate, D. Palmquist, & C. Sniffen. 2005. Calcium salts are highly digestible.

Feedstuffs. 77(30):1-7.

Carriquiry M., W.J. Weber, L.H. Baumgard, & B.A. Crooker. 2008. In vitro bio-hydrogenation of four dietary fats. Anim Feed Sci and Tech. 141:339–355.

Conway E.J. 1962. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error: Crosby Lockwood, London.

Doreau M. & Y. Chilliard. 1997. Digestion and metabolism of dietary fat in farm animals.

British J Nut. 78(Suppl. 1): S15-S35. Fotouhi N. & T.C. Jenkins. 1992. Ruminal

biohydrogenation of linoleoyl methionine and calcium linoleate in sheep. J Anim Sci.

70(11):3607-3614.

Franzolin R. & B.A. Dehority. 2010. The role of pH on the survival of rumen protozoa in steers. R Bras Zootec. 39(10):2262-2267. Garcia P.T. & J.J. Casal. 2013. Effect of dietary plant lipids on conjugated linoleic acid (CLA) concentrations in beef and lamb meats. In Tech.135-159.

Goering H.K. & P.J.V. Soest. 1970. Forage Fiber Analyses (Apparatus, Reagents, Procedures, and Some Applications),

(9)

19 Agriculture Handbook. Agricultural Research Service. Washington DC: 1-20. Hidayah N., S. Suharti, & K.G. Wiryawan. 2014.

In vitro rumen fermentation of ration supplemented with protected vegetable oils. Med Pet. 37(2):129-135.

Jenkins T.C. & W.C. Bridges . 2007. Protection of fatty acids against ruminal biohydrogen-ation in cattle. Eur J Lipid Sci Technol.

109(8):778-789.

Jenkins T.C. & D.L. Palmquist. 1984. Effect of fatty acids or calcium soaps on rumen and total nutrient digestibility of dairy rations.

Journal of dairy science. 67(5):978-986. Jokić S., S. Sudar, S. Vidović, M. Bilić, D. Velić,

& V. Jurković. 2013. Fatty acid composition of oil obtained from soybeans by extraction with supercritical carbon dioxide. Czech J Food Sci.

31(2):116-125.

Karsli M.A. & J.R. Russell. 2002. Effects of source and concentrations of nitrogen and carbohydrate on ruminal microbial protein synthesis. Turk J Vet Anim Sci.

26:201-207.

Kearl C.L. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries Utah (US): Utah State University.

Lana R.P., J.B. Russell, & M.E. Van Amburgh. 1998. The role of pH in regulating ruminal methane and ammonia production. J Anim Sci. 76(8):2190-2196.

Lanier J.S. & B.A. Corl. 2015. Challenges in enriching milk fat with polyunsaturated fatty acids. J Anim Sci Biotechnol.

6(26):1-9.

Maia M.R., L.C. Chaudhary, C.S. Bestwick, A.J. Richardson, N. McKain, T.R. Larson, I.A. Graham, & R.J. Wallace. 2010. Toxicity of unsaturated fatty acids to the biohydrogenating ruminal bacterium,

Butyrivibrio fibrisolvens. BMC Microbiol. 10(52):1-10.

Manso T., T. Castro, A.R. Mantecón, & V. Jimeno. 2006. Effects of palm oil and calcium soaps of palm oil fatty acids in fattening diets on digestibility, performance and chemical body

composition of lambs. Anim Feed Sci Technol. 127:175-186.

McDonald P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, C.A. Morgan, L.A. Sinclair, & R.G. Wilkinson. 2010. Animal Nutrition: Pearson Education Limited. United Kingdom.

Ogimoto K. & S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology: Japan Scientific Societies Press. Tokyo.

Palmquist D.L., T.C. Jenkins, & A.E. Joyner J. 1986. Effect of dietary fat and calcium source on insoluble soap formation in the rumen J Dairy Sci. 69:1020-1025. Reitz L.L, W.H. Smith, & M.P. Plumlee. 1960.

Simple, wet oxidation procedure for biological materials. Anal Chem.

32(12):1728–1728.

Ruckebusch Y. & P. Thivend. 1980. Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants. MTP Press Limited Falcon House Lancaster, England.

Russell J.B. 1998. The importance of pH in the regulation of ruminal acetate to propionate ratio and methane production

in vitro. J Dairy Sci. 81(12):3222-3230. Taussky H.H. & E. Shor. 1953. A

microcolorimetric method for the determination of inorganic phosphorus. J Biol Chem. 202:675-685.

Wina E, & I. Susana. 2013. Manfaat lemak terproteksi untuk meningkatkan produksi dan reproduksi ternak ruminansia.

Wartazoa. 23(4):176-184.

Wu Z & D.L. Palmquist. 1991. Synthesis and biohydrogenation of fatty acids by ruminal microorganisms in vitro. J Dairy Sci. 74:3035-3046.

Wynn R.J., Z.C. Daniel, C.l. Flux, J. Craigon, A.M. Salter, & P.J. Buttery. 2006. Effect of feeding rumen-protected conjugated linoleic acid on carcass characteristics and fatty acid composition of sheep tissues. J Anim Sci. 84(12):3440-3450.

Gambar

Tabel 2. Kandungan nutrien ransum perlakuan penelitian   Kandungan nutrien ransum
Tabel 3. Efek  penambahan  level  sabun  kalsium  minyak  kedelai  yang  berbeda  dalam    konsentrat    terhadap  karakteristik fermentasi in vitro
Tabel  4  Efek  penambahan  level  sabun  kalsium  minyak  kedelai  yang  berbeda  dalam  konsentrat  terhadap  populasi  mikroba

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kompensasi yang sesuai dan pemunculan whistleblower terhadap pengungkapan kecurangan pada organisasi..

2) Sebagai penghayatan estetis artinya musik merupakan suatu karya seni. Suatu karya seni dapat dikatakan karya seni apabila memiliki unsur keindahan atau estetika di

a) Memiliki Disiplin kerja yang baik dan tepat waktu dalam melaksanakan suatu pekerjaan. b) Memiliki wibawa dan daya tarik agar mampu membimbing dan memimpin bawahannya. c)

In the previous study of cerebellar vermis, patients were found to have a positive correlation between the size of the vermis and the size of the temporal lobe, with both of

ditarik suatu gambaran umum mengenai tahap moral judgement pada mahasiswa yang sudah dan belum melakukan hubungan seksual yang tinggal di tempat kos pada

[r]

The research was aimed at identifying the use of peer feedback to improve students’ skills in writing narrative text s and investigating students’ response s

kemajuan belajar siswa, kehadiran, dan kendala-kendala yang ditemui di lapangan selama pelaksanaan Prakerin. Monitoring kompetensi dilakukan untuk melihat kesesuaian materi