• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PROFESI DAN KOMPETENSI GURU BERBASIS MORAL DAN KULTUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PROFESI DAN KOMPETENSI GURU BERBASIS MORAL DAN KULTUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Pendidikan nasional kita masih menghadapi aneka persoalan. Karena itu perhatian masyarakat terhadap masalah pendidikan tidak pernah surut. Persoalan itu tidak akan pernah selesai, karena substansi yang ditransformasikan selama proses pendidikan dan pembelajaran selalu berada di bawah kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemajuan masyarakat. Beberapa persoalan pendidikan yang masih menonjol saat ini adalah rendahnya mutu proses dan luaran pendidikan. Lebih mendasar lagi apabila yang diperbincangkan itu adalah mengenai mutu atau kualitas pendidikan, dimana mutu pendidikan di Indonesia memang belum memuaskan atau rendah. Indikator

rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa, seperti nilai Ujian Nasional (UN) rata-rata masih rendah. Selama bertahun-tahun kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia sudah terasa, dan untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah dan menyempurnakan kurikulum, mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994, kurikulum berbasis kompetensi 2004, dan terakhir adalah Kurilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tudingan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan

PENGEMBANGAN PROFESI DAN KOMPETENSI GURU

BERBASIS MORAL DAN KULTUR

Syahrul

Dosen Fakultas Teknik UNM Email: syahrulab@yahoo.co.id

Abstrak

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa untuk mampu bertahan dalam era kompetisi. Sebagai pekerjaan professional, seorang guru diharuskan memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, agen pembaharu, inovator, konselor, evaluator, dan administrator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru harus tetap membangun moral dan kultur yang baik, seperti berbudi luhur, jujur, beriman; kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan sebagaimana yang terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan memegang dan membangun kultur dan moral yang baik dalam melaksanakan profesi sebagai guru maka langsung atau tidak langsung kualitas pendidikan akan dapat ditingkatkan. Kata Kunci: Pengembangan; Profesi; Kompetensi Guru; Berbasis; Moral; Kultur

(2)

diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Sumargi (1996) mengemukakan bahwa profesionalisme guru masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000). Kedua pendapat di atas sama-sama mengakui bahwa profesionalisme guru masih belum memadai sebagaimana diharapkan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam beberapa tahun terakhir pemerintah senantiasa berupaya meningkatkan profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga profesional telah ditetapkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 39 Ayat 2. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Nomor 19/2005 meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan guru sebagai jabatan dan atau pekerjaan professional, namun di sini disebutkan seorang guru sebagai agen pembelajaran diharuskan memiliki kompetensi profesional, di samping kompetensi lainnya: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (Pasal 28 Ayat 3). Dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pengertian kata profesional (Pasal 1 Ayat 4) adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Rumusan ini tidak memberikan spesifikasi mengenai guru professional, namun tentu saja dalam UU ini adalah pekerjaan atau jabatan guru dan dosen.

Sebagai jabatan professional maka kepada guru diberlakukan akuntabilitas publik, yang mengacu pada pemenuhan kriteria kelayakan profesi guru. Sehubungan dengan hal tersebut, uji kompetensi guru adalah langkah awal yang dilakukan pemerintah untuk menentukan langkah selanjutnya dalam perbaikan kualitas pendidikan. Dengan uji kompetensi, maka dapat ditentukan standard kompetensi guru, yaitu suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Standardisasi kompetensi guru diperoleh dari uji kompetensi bertujuan untuk memformulasikan peta kemampuan guru secara nasional, memformulasikan peta kebutuhan dan peningkatan mutu guru, dan menumbuhkan kreativitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan bertanggung jawab, serta menumbuhkan kultur dan moral yang tinggi.

B. Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru.

Seiring dengan di tetapkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat kita, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada. Mereka berharap, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan seorang guru yang profesional dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah. Hal ini jelas menunjukkan masih adanya perhatian masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Namun sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa profesionalisme guru pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan masih rendah.

Dalam mewujudkan tuntutan kemampuan profesionalisasi guru seringkali dihadapkan pada berbagai permasalahan yang dapat menghambat perwujudannya. Masih rendahnya tingkat profesionalisme

(3)

guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dalam diri guru itu sendiri (internal), dan permasalahan yang ada di luar diri guru (eksternal). Permasalahan internal menyangkut sikap guru yang masih konservatif, rendahnya motivasi guru untuk mengembangkan kompetensinya, dan guru kurang/tidak mengikuti berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan permasalahan eksternal menyangkut sarana dan prasarana yang terbatas.

Dari sisi internal, masih banyak guru yang memiliki sikap konservatif. Guru cenderung mempertahankan cara yang biasa dilakukan dari waktu ke waktu dalam melaksanakan tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif), mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerja. Guru-guru yang masih memiliki sikap konservatif, memandang bahwa tuntutan semacam itu merupakan tambahan beban kerja bagi dirinya. Selain itu, masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyaknya guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada. Guru kurang berminat untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkan tingkat profesionalisme. Selain daripada itu, guru kurang termotivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Dari sisi eksrternal, rendahnya profesionalisme guru kemungkinan disebabkan sarana dan prasarana yang kurang memadai dan mendukung bagi proses pembelajaran baik. Sarana dan prasarana itu tidak harus berupa berbagai peralatan yang canggih, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan yang memungkinkan untuk diwujudkan. Betapa pun lengkap dan canggihnya sarana yang tersedia, jika masih ada masalah-masalah seperti gurunya konservatif tidak mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknolgi serta motivasi untuk meningkatkan kinerja lemah, maka ada kecenderungan pengadaan sarana dan prasarana kurang bermanfaat. Sebaliknya, jika masalah-masalah itu dapat diatasi, tetapi sarana dan prasarananya terbatas, maka tidak akan mendukung keberhasilan pendidikan atau pembelajaran.

Selain itu, adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan, maka tidaklah heran jika banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan, disamping belum adanya standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di negara-negara maju.

Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terkait. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.

Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Oleh karena itu profesionalisme guru harus tetap dan selalu dikembangkan.

(4)

C. Pengembangan Profesi dan Kompetensi Guru Berbasis Moral dan Kultur

Kompetensi guru erat kaitannya dengan profesionalisasi guru. Profesi keguruan merupakan jabatan yang dilandasi oleh berbagai kemampuan dan keahlian yang bertalian dengan keguruan. Untuk memahami tugas pekerjaan guru, maka dapatlah dilakukan pengenalan terhadap kompetensinya. Kompetensi profesional guru menggambarkan tentang kemampuan yang dituntutkan kepada seseorang yang memangku jabatan sebagai guru. Artinya kemampuan yang ditampilkan itu menjadi ciri keprofesionalannya. Oleh karena itu, pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, sebab guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa untuk mampu bertahan dalam era kompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Supriadi (1998) mengutip jurnal Educational Leadership 1993 bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar

dalam lingkungan profesinya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Arifin (2000) mengemukakan guru yang profesional dipersyaratkan mempunyai; dasar ilmu yang kuat, menguasai kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan, serta melakukan pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru terpenuhi, maka akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Semiawan (1991) mengemukakan bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru harus memahami berbagai fungsi yang diembannya, yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, agen perubahan, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Para guru sepatutnya menyadari, bahwa menduduki jabatan profesional sebagai guru, tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga memperdulikan apa yang seharusnya dicapai dari pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya keperdulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam melaksanakan tugas, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yaitu kecenderungan untuk selalu berupaya memperbaiki hasil yang selama ini telah dicapai, sehingga tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya selalu dilaksanakan dan diupayakan untuk selalu meningkat.

Pengembangan profesi dan kompetensi guru dapat dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di sekolah, seperti meningkatkan dan mengefektifkan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), meningkatkan budaya membaca bagi guru-guru, dan juga meningkatkan kemampuan berbahasa asing terutama bahasa Inggris dan kemampuan menggunakan berbagai media teknologi informasi (TI), dan sebagainya.

(5)

Beberapa yang disebutkan di atas merupakan sebagian kecil alternatif yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme guru. Mustahil KBK bisa berhasil tanpa diimbangi dengan kompetensi gurunya terlebih dahulu sebagai ujung tombak (front liner). Guru yang profesional dan sekolah yang kondusif akan menjadi jalan mulus untuk mencapai cita-cita pendidikan nasional kita. Oleh karena itu profesionalisme guru harus tetap dan selalu dikembangkan.

Terkait dengan profesinya, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai sesuai dengan standard kompetesi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Terdapat beberapa pendapat tentang pengelompokkan kompetensi guru. Dalam UU Sisdiknas, dan UU Guru dan Dosen, kompetensi guru dikelompokkan ke dalam empat rumpun, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Menurut Depdiknas dalam buku “ Standar Kompetensi Guru Pemula SMK”, kompetensi guru dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) rumpun, yaitu: penguasaan bidang studi, pemahaman peserta didik, penguasaan pembelajaran yang mendidik, dan pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. Di samping itu, Paul Suparno (2003) mengelompokkan kompetensi guru kedalam tiga rumpun, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi bidang studi, dan kompetensi dalam pembelajaran/pendidikan. Dari ketiga pendapat di atas tampaknya tidak ada yang saling bertentangan melainkan saling memperkuat.

Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral; kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi dengan orang lain; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat ambil keputusan dan lain-lain. Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jadi diri seorang guru sebagai pribadi yang baik, tanggungjawab, terbuka, dan terus mau

belajar untuk maju. Yang pertama ditekankan adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini jelas merupakan kompetensi yang sangat penting karena salah satu tugas guru adalah membantu anak didik bertakwa dan beriman serta menjadi anak yang baik.

Kompetensi dalam bidang studi memuat pemahaman akan karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsepnya, mengenal metodologi ilmu yang bersangkutan, memahami konteks bidang itu dan juga kaitannya dengan masyarakat, lingkungan dan dengan ilmu lain. Jadi guru tidak cukup hanya mendalami ilmunya sendiri tetapi termasuk bagaimana dampak dan relasi ilmu itu dalam hidup masyarakat dan ilmu-ilmu yang lain. Maka guru diharapkan punya wawasan yang luas.

Kompetensi dalam pembelajaran atau pendidikan memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa.

Persoalan yang melekat dengan guru dan menarik untuk dicermati adalah persoalan kultur guru. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan. Keberhasilan negara-negara maju di Asia, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan tidak lain dan tidak bukan karena mereka memegang dan membangun kultur yang baik.

Menurut Mochtar Lubis, bangsa Indonesia -tentu saja termasuk guru- memang terkenal dengan kultur yang kurang baik. Misalnya tidak suka bekerja keras, tidak jujur, tidak disiplin, mudah putus asa, malu mengakui kesalahan, senang jalan pintas, tidak rasional. Jika kultur itu tidak dapat berubah pada diri seorang guru, penulis pesimistis akan keberhasilan pelaksanaan KBK seperti harapan insan pendidikan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

(6)

Pelaksanaan KBK menjadikan beban yang cukup berat pada sosok guru. Mulai dari pencermatan standar kompetensi, menyeleksi kompetensi dasar yang harus dipelajari siswa, membuat silabus, memilih pendekatan, memperhatikan pengalaman belajar, mengetahui secara personal setiap anak didiknya, sampai pada tahap pelaksanaan evaluasi yang begitu "renik" hingga pemberian remedi bagi yang belum tuntas penguasaan kompetensi dasar yang harus dikuasai. Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru hendaknya mau membangun kultur yang baik. Tanpa kerja keras dan etos kerja yang tinggi tidak mungkin seorang guru mau berusaha untuk mencermati kompetensi dasar yang sesuai bagi siswanya, membuat silabus sebelum masuk ruang kelas, mencari sebuah pendekatan yang relevan, memilih model pembelajaran yang cocok, membuat evaluasi yang rinci, dan seterusnya.

Kultur kejujuran juga harus dibangun lewat penilaian terhadap anak didik. Pemberian nilai tidak asal memberi angka yang sementara ini banyak dilakukan teman-teman guru. Di samping itu, tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran juga perlu diperhatikan. Di manakah letak tanggung jawab guru bila kelas sering kosong, sementara guru duduk-duduk di kantor atau "ngopi" di warung? Kita tidak boleh gampang melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, sehingga kita sering "cuci tangan" bila terjadi permasalahan. Dan, jangan lupa bahwa guru merupakan model bagi siswanya.

Berangkat dari berbagai pengalaman yang lalu, kita sebenarnya tahu bahwa kegagalan dalam dunia pendidikan bukan hanya karena perangkat dan pelaksananya tidak menguasai perangkat yang digunakan. Akan tetapi, berpulang kepada mental pelaksana yang ada di lapangan. Kita semua tahu bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme itu tidak baik, tetapi karena kegiatan itu sudah menjadi kultur bangsa kita maka kita sulit untuk menghilangkannya. Jika kultur bersantai-santai, malas, suka bohong, tidak malu dengan kesalahan yang dilakukan, suka jalan pintas, gampang melimpahkan

tanggung jawab kepada orang lain, dan sebagainya yang sudah terpatri di dalam jiwa bangsa Indonesia -termasuk guru- tidak dikikis sedikit demi sedikit, maka sulit bagi kita mengharapkan keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang berkualitas.

Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Sebagai pendidik, guru harus yang menjadi tokoh panutan dan identilikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.

Berkaitan dengan tanggung jawab; guru harus mengetahui, serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. (guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat.

Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan mtelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pcmahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.

Guru juga harus mampu mengambil keputusan secara mandiri (independent), terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan lingkungan. Guru harus mampu bertindak dan mengambil keputusan secara cepat, tepat waktu, dan tepat sasaran, terutama berkaitan dengan masalah pembelajaran dan peserta didik, tidak menunggu perintah atasan atau kepala sekolah.

Sedangkan disiplin; dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas

(7)

kesadaran professional, karena guru bertugas mendisiplinkan para peserta didik di sekolah, terutama dalam pembelajaran. Oleh karena itu, dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya. Kita tidak begitu yakin dengan paradigma "jika guru mendapatkan imbalan yang memadai akan bekerja dengan baik" kalau tanpa didukung dengan kultur yang baik. Dengan demikian, agar pelaksanaan pendidikan (pembelajaran) berjalan sukses, marilah kita bersama-sama membangun kultur yang baik.

D. Penutup

Guru sebagai tenaga profesional telah ditetapkan dalam berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (UU Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagai pekerjaan professional, seorang guru diharuskan memiliki berbagai kompetensi antara lain kompetensi professional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Disamping itu, guru juga memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Untuk melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru harus tetap membangun moral dan kultur yang baik, seperti berbudi luhur, jujur, beriman, kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin,

tanggung jawab; kemampuan

mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan sebagaimana yang terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan memegang dan membangun kultur dan moral yang baik dalam melaksanakan profesi sebagai guru maka pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi berjalan sukses,

sehingga kualitas pendidikan akan meningkat.

Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya, diperlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud, seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat.

Sebagai saran, pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu, perlu didukung fasilitas yang memadai, perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan. DAFTAR PUSTAKA

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com).

Anderson, S. and Ball, S. 1978. The Profession and Practice of Program Evaluation. San Francisco: Jossey-Bass Publisher.

Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional

Pendidikan di Universitas

Muhammadiyah Malang.

Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Mcnciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan, Cetakan kedua,

Bandung: Penerbit PT REMAJA ROSDAKARYA.

Paul Suparno. 2003. Guru Demokrasi Di Era Reformasi Pendidikan, Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan (Kompetensi dan Pengembangannya): Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

(8)

Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo. Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan

Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. I No. 7/1998.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.

Referensi

Dokumen terkait

Kaitannya dengan tindakan diskresi yang dilakukan oleh penyidik terhadap suatu perkara pidana, diskresi tidak hanya mengedepankan hukum pidana secara formil yang sangat kaku

• Suatu titik itu visible dengan pointcode jika nilai l, r, t dan b adalah nol, artinya jika salah satu nilai dari l, r, t dan b tidak sama degan nol maka dapat diketahui bahwa

mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja karyawan pada PT. Bumi Sentosa Dwi Agung. Bumi Sentosa Dwi Agung. Sebaliknya apabila terjadi penurunan lingkungan kerja, maka

Berupa iritasi pada area genital, rasa panas, gatal dan nyeri yang dapat terasa di daerah vulva dan paha, perineum (kulit diantara vagina dan anus), dapat pula

Independen : Kapasitas Sumber Daya Manusia, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Sistem Pengendalian Intern, Standar Akuntansi Pemerintahan Dependen : Kualitas Informasi

Beberapa sumber bahan baku baru telah diperkenalkan dan mulai dimanfaatkan, misalnya jenis kayu cepat tumbuh (fast growing) dari hutan tanaman, jenis kayu kurang dikenal (lesser

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan suatu cara yang akan dipilih oleh seorang guru dalam merencanakan

[r]