• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. yang pesat, industrialisasi dan urbanisasi telah mempengaruhi seluruh komunitas dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. yang pesat, industrialisasi dan urbanisasi telah mempengaruhi seluruh komunitas dan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

9 Bab 2

Landasan Teori

2.1 Konsep Masyarakat Jepang Modern

Ciri masyarakat Jepang modern adalah dengan ditandainya perkembangan ekonomi yang pesat, industrialisasi dan urbanisasi telah mempengaruhi seluruh komunitas dan semua kelas dalam masyarakat. Kerangka sosial tradisional dalam komunitas lokal dan kelompok-kelompok kecil telah semakin menjadi lemah, disertai dengan runtuhnya sanksi-sanksi kelompok dan berhamburnya penduduk meninggalkan tempatnya. Perkembangan ini adalah ciri keadaan dalam masyarakat besar yang sedang berkembang. Suatu masyarakat kapitalis yang didasarkan pada produksi massa dengan menggunakan mesin-mesin membawa setiap manusia ke dalam proses pembagian kerja yang semakin khusus. Hubungan sosial yang impersonal dalam masyarakat yang mekanis itu membuatnya merasa terasing dan kesepian. (Fukutakute, 1990:10).

Ekonomi Jepang yang tumbuh pesat itu telah mengubah pola-pola konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun bukan sebuah kebajikan, pengeluaran biaya tinggi untuk konsumsi dapat dibenarkan bahkan membawa gengsi, kaum remajanya di Jepang sekarang ini lebih senang berfoya-foya, hidup mewah dan enggan bekerja keras. (Suara karya, 1992).

2.2 Konsep Kyouiku Mama

Setelah perang dunia (1945), negara Jepang mengalami banyak perkembangan baik di bidang ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Seiring dengan perkembangan yang kian meningkat (1980), kompetisi di berbagai bidang, khususnya pendidikan pun tidak dapat

(2)

10 dihindari sehingga menjadikan masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang mengutamakan pendidikan (Gakurei Shakai) dimana status sosial seseorang dalam masyarakat Jepang dilihat bukan berdasarkan latar belakang keluarga saja, melainkan juga pendidikannya. Seperti pernyataan yang dikutip oleh Fujimura (1995:96) dari Morosawa (1978:23-24) yang mengatakan:

The fundamental basis for an enriched country lies with education, whose basis is with women’s education. The success or failure of the country depends upon women’s education. This must not be forgotten. In the process of educating girls and women, we must put across the idea of serving and helping their country. The models for women are a mother nurturing her child; a mother teaching her child.

Terjemahan :

Dasar pokok untuk sebuah negara maju terletak pada pendidikan, dimana dasarnya adalah dengan pendidikan wanita. Sebuah kesuksesan atau kegagalan dari negara itu tergantung pada pendidikan wanita. Hal ini tidak boleh dilupakan. Dalam proses mendidik anak perempuan dan wanita, kita harus memupuk ide tentang melayani serta membantu negara mereka. Bentuk bagi para wanita adalah dengan seorang ibu mengasuh anaknya; seorang ibu mendidik anaknya. Pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa bagi orang Jepang, anak-anak merupakan investasi jangka panjang untuk kemajuan negara dan ibu menjadi aspek yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan. Alasan itulah yang mendorong kaum ibu Jepang untuk memprioritaskan rumah tangganya saja, terutama pendidikan anak. Banyak diantara mereka yang memilih berhenti dari pekerjaan demi pendidikan anaknya. Berdasarkan peran ibu yang mengutamakan pendidikan anak-anak inilah menimbulkan suatu pemikiran baru tentang kaum ibu dalam masyarakat Jepang yakni konsep kyouiku mama.

Pada awalnya, apabila diartikan secara harfiah, kyouiku mama (教育ママ) berasal dari penggabungan dua kata yakni kyouiku(教育)dan mama(ママ). Kyouiku memiliki arti pendidikan dan pengajaran. Namun, pasca perang dunia II pengertian

(3)

11 kyouiku mama pun mengalami perubahan. Menurut Cummings (1984:555) kyouiku dalam pengertian kyouiku mama ini lebih dekat pada istilah yang terdapat dari dua kanji dalam kata kyouiku yakni (教える育てること) oshieru sodateru koto yang berarti mendidik dan membesarkan. Istilah ini biasanya digunakan dalam rangka pembentukan karakter anak yang dilakukan oleh ibu diluar pendidikan sekolah. Adapun pendidikan yang diberikan yaitu menanamkan serta mensosialisasikan kebudayaan dan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Jepang. Salah satunya yakni kesadaran berkelompok dan berkompetisi untuk mencapai keberhasilan hidup. Sedangkan mama(ママ)yang berarti ibu merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris. Makna yang terkandung dalam kata mama( マ マ ) berbeda dengan makna yang terkandung dalam kata okaasan (おかあさん) yang juga berarti ibu dalam bahasa Jepang. Kata mama(ママ) memiliki makna lebih umum yang menggambarkan peran ibu sama pentingnya dengan peran ayah dalam keluarga. Sedangkan kata okaasan (おかあさん) memiliki makna yang terhormat dalam kebudayaan Jepang.

Dalam kyouiku mama ini, ibu mempunyai peranan yang sangat penting rehadap pendidikan anak. Anak-anak di didik dengan keras dan disiplin kuat. Tentu saja hal ini dilakukan demi kebahagiaan anak di masa mendatang. Tapi di lain pihak tanpa disadari mempunyai dampak negatif yang timbul dalam diri si anak bersangkutan. Perasaan tertekan ini tertimbun dalam diri si anak. Meskipun ia tetap melakukan tugas-tugasnya dengan baik, di dalam rumah anak-anak memang patuh terhadap orangtua, tetapi jika ia berada di luar rumah mereka berontak dan melampiaskan ketegangan mereka dengan melakukan tindakan kekerasan di sekolah (bouryoku).

(4)

12 2.2.1 Konsep Kyouiku Mama Menurut Amano

Adapun konsep kyouiku mama menurut Amano (1990) merupakan konsep yang muncul dalam masyarakat Jepang akibat sistem pendidikan yang berdasarkan seleksi ujian masuk, perekonomian rumah tangga, serta kompetisi di berbagai aspek kehidupan kian meningkat pada tahun 1974. Sebuah konsep dimana para ibu memiliki ambisi berlebihan terhadap pendidikan anaknya sehingga rela mengorbankan seluruh pikiran, tenaga, pekerjaan, maupun uang demi memberikan anaknya pendidikan serta penghidupan yang layak yang tidak bisa mereka dapatkan dulu atau sewaktu perekonomian Jepang belum stabil.

日本の経済が むかしは まずしかったので、好きなだけ教育を受け られなかったのです。ですから、かわりに自分の子どもには、良い教 育をさせたい、と思う母親がたくさん多かったです。

Terjemahan :

Karena perekonomian Jepang zaman dahulu sulit, maka mereka hanya bisa mengikuti pendidikan yang disukai saja. Oleh karena itu, banyak para ibu yang berpikir bahwa sebagai penggantinya, mereka memberikan anak-anaknya pendidikan yang terbaik (Amano, 1990).

Hal itu juga diperkuat oleh Fukushima (1996) mendeskripsikan konsep kyouiku mama dalam pernyataannya, yakni:

教 育 マ マ と い う の は 子 ど も の 将 来 に 行 き す ぎ た 期 待 を し て 、 塾 や習いごとなどに子どもを熱心に通わせる母親であります。教育ママ という 言葉は、その母親を批判するために使われる言葉です。

Terjemahan :

Kyouiku mama adalah seorang ibu yang memiliki pengharapan yang tinggi terhadap masa depan anaknya serta dengan tekun mengantar anak-anaknya ke juku maupun ke tempat anak melakukan hobinya. Kata kyouiku mama merupakan sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengkritik para ibu tersebut.

(5)

13 Adapun pengembangan konsep kyouiku mama setelah perang dunia II yakni para ibu yang memiliki konsep kyouiku mama ini tidak hanya melaksanakan perannya di bidang domestik saja, melainkan juga melaksanakan perannya di bidang sosial. Di bidang domestik, mereka menjalankan perannya sebagai ibu yang merawat serta mengasuh anak-anaknya. Sedangkan di bidang publik, mereka menjalankan perannya dalam proses sosialisasi serta akademik anak-anaknya (Amano: 1990).

2.2.2 Konsep Kyouiku Mama Menurut Kevin Steede

Para kyouiku mama merupakan para ibu yang memaksa anak-anaknya untuk berhasil di segala bidang serta berambisi mengarahkan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Semua orangtua boleh menghendaki yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, dalam semangat memberikan keterampilan untuk hidup efektif dan sistem nilai yang kokoh, terkadang orangtua tanpa sadar menanamkan sebuah ranjau mental (Steede, 1998:1). anak- Jadi, apabila dilihat dari psikologi kejiwaan tersebut, maka para ibu yang memiliki konsep kyouiku mama telah menanamkan ranjau mental terhadap anak-anaknya.

Adapun pengertian ranjau mental menurut Steede (1998:1) adalah keyakinan-keyakinan yang menyebabkan anak terjebak pada kondisi yang kurang positif yang memiliki efek yang sangat besar pada kehidupan masa depannya. Ranjau mental terbagi atas beberapa bagian, yakni:

a. Ranjau Mental Pertama (harus menjadi yang terbaik dalam segala hal)

Kebanyakan orangtua ingin mendorong buah hatinya untuk melakukan hal yang terbaik dalam hidup ini. Orangtua ingin anak-anak mereka bebas menggali bakat dan minat yang dimilikinya. Kendati bertujuan baik, para orangtua itu bisa tanpa sengaja

(6)

14 mengirimkan pesan-pesan yang sebenarnya tidak ditujukan kepada buah hatinya. Ada garis tipis yang memisahkan antara memotivasi anak-anak untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya dengan memupuk keyakinan yang salah bahwa anak harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Ranjau mental ini tertanam pada saat kita mendorong anak-anak ke dalam aktivitas yang kurang diminati anak. Ranjau mental ini akan tertanam ke dalam benak buah hati setiap kali anak menerima hasil yang kurang memuaskan dari aktivitas yang mereka lakukan.

Apabila ranjau mental menjadi suatu keyakinan dalam diri anak, menyebabkan rasa percaya diri anak mengalami erosi yang sangat drastis. Sangat tidak mungkin bagi seorang anak menjadi yang terbaik dalam segala hal. Anak yang merasa tidak menjadi yang terbaik dengan segera akan meyakini bahwa ia telah mengecewakan orangtua dan diri sendiri. Beberapa orang dewasa yang telah tertanam ranjau ini pada saat masa kanak-kanaknya sering menjadi mudah marah atau depresi ketika merasa tidak mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh orang lain.

Biasanya, orangtua yang demikian hanya melihat suatu kesuksesan belaka, baik kesuksesan pada dirinya atau orang lain. Mereka ingin melihat kesuksesan itu pada diri anak, walaupun dengan cara memaksanya. Atau, barangkali orangtua yang seperti itu karena kurang sempurna di suatu bidang sehingga memaksa anaknya agar mengimbangi kekurangan itu.

b. Ranjau Mental Kedua (harus berprestasi)

Ranjau mental ini adalah sepupu dekat ranjau mental pertama. Sekali lagi, keyakinan ini terbentuk akibat hasrat orangtua yang menginginkan, bahkan cenderung memaksakan anak-anak mereka untuk melakukan segala hal yang mereka perintahkan.

(7)

15 membedakan antara menerima atau menolak. Dengan kata lain, penerimaan dari orangtua terhadap suatu prestasi yang dicapai anak bisa diinterpretasikan oleh anak sebagai rasa cinta terhadap mereka. Sebaliknya, penolakan terhadap suatu tindakan dapat diartikan bahwa ia tidak dicintai lagi. Anak-anak yang merasakan bahwa cinta orangtua mereka adalah cinta bersyarat, mereka akan merasa tidak aman dan lebih bergantung pada persetujuan eksternal untuk meyakinkan diri mereka. Ketergantungan eksternal untuk memperoleh rasa harga diri membuat mereka jauh lebih rapuh terhadap tekanan teman-teman sebaya. Ketika anak-anak tumbuh dewasa dalam cinta yang bersyarat, mereka terobsesi dan mencari penerimaan melalui kemajuan karier atau perubahan hubungan antarpribadi. Mereka tampak tidak pernah merasa cukup baik. Sayangnya, individu seperti ini telah diajarkan mendefinisikan diri mereka dengan apa yang mereka capai.

2.3 Konsep Ibu Dalam Masyarakat Jepang Menurut Iwao dan Ohinata

Iwao (1993:126) mendeskripsikan pandangannya tentang kaum Ibu dalam masyarakat Jepang, yakni: ”Women are weak, but mothers are strong” yang artinya kaum wanita merupakan kaum yang lemah, namun kaum Ibu merupakan kaum yang kuat. Pandangan Iwao tersebut menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Jepang, status istri yang belum memiliki anak masih lemah dan belum dapat disejajarkan dengan suami sampai ia dapat melahirkan seorang anak.

Umumnya, terdapat tiga alasan yang mendasari kaum wanita Jepang sekarang ini untuk memiliki dan membesarkan anaknya. Adapun tiga alasan tersebut adalah agar menjadi seorang yang lebih dewasa dengan membesarkan anak, untuk mempererat tali kekeluargaan, dan memiliki generasi baru yang melanjutkan status sosial keluarga dalam

(8)

16 masyarakat (Iwao, 1993:132). Walaupun membesarkan seorang anak lebih berhubungan dengan sebuah penderitaan dan bukan sebuah kesenangan, namun dengan membuat anak menjadi seorang yang mandiri akan membuat seorang ibu memiliki kepuasan hati serta membuat keberadaannya lebih berarti.

Adapun pandangan lain tentang ibu yakni, menurut Ohinata (1995:205) tentang analisa budaya konsep pemikiran masyarakat Jepang terhadap kaum ibu yakni merupakan sosok yang memiliki nilai lebih dari sekedar ibu yang sedarah dari anak-anaknya. Ia adalah sebuah simbol yang mengilhami banyak nilai. Maksudnya ketika orang Jepang mendengar kata ibu, mereka lebih melihat pada makna dibalik kata ibu tersebut yakni seorang wanita yang penuh dengan curahan cinta kasih, pengorbanan, perlindungan, serta motivator yang setia pada anak.

Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Youshi (2006) : ” 母親は受験も重要

だが、それ以上に趣味的な習い事は重要と考えています” yang artinya ibu

beranggapan bahwa ujian masuk sekolah merupakan hal yang penting, namun terdapat hal lebih penting lagi yakni minat anak. Maksud dari pernyataan tersebut yakni para ibu bijaksana ini tetap memperhatikan pendidikan anak-anaknya, namun mereka juga tetap memperhatikan minat anak-anak tersebut. Para ibu ini biasanya hanya dituntut melaksanakan perannya di bidang domestik saja, sedangkan bidang publik dilaksanakan oleh kaum laki-laki. Anak-anak yang dibesarkan oleh para ibu bijaksana ini, umumnya menjadi pribadi yang pandai, ceria, dan mudah bergaul.

(9)

17 2.4 Konsep Keluarga Jepang

Definisi keluarga Jepang menurut Kiyomi dalam Soelistyowati (2003:18) adalah sebagai berikut:

「家族とは夫妻関係を基礎として、親子、兄弟など近親者をする、 感情 裔虫合に支えられた、第一次的福祉追求の集団である」

Terjemahan :

Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak - adik dan orangtua – anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.

Pengertian keluarga menurut Osada dalam Prayogo (2007:18-19) adalah sebagai berikut :

家族は「夫婦を中心とし、親子、兄第などの近親の血緑者を構成員と する。互の哀情と信頼の性で結ばれた小集団である」という定義であ る。

Terjemahan :

Definisi dari keluarga adalah ”suami istri sebagai pusat, anggota kerabat dekat yang mempunyai hubungan darah adalah orangtua dan anak, kakak adik, dan lain – lain. Anggota tersebut saling mengasihi satu sama lain dan mempunyai ikatan kepercayaan yang mengikat.

Keluarga yang harmonis adalah apabila struktur keluarga itu utuh dan interaksi di antara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis di antara mereka cukup memuaskan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Apabila struktur keluarga itu tidak utuh lagi misalnya karena kematian di antara orangtua atau karena perceraian, maka kehidupan keluarga tidak harmonis lagi, dengan bahasa asing yang disebut “broken home”(Willis, 1994:64).

Hawari (1996:176) juga menambahkan bahwa keluarga yang tidak harmonis adalah keluarga dengan struktur yang tidak lengkap. Ketidaklengkapan struktur keluarga

(10)

18 ini disebabkan kematian, perceraian, perpisahan ataupun karena pertengkaran Ayah dan Ibu, sehingga mengganggu hubungan interpersonal antar anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga seperti ini mengalami yang disebut disharmonis atau disfungsi dalam keluarga.

Broken home dapat juga terjadi apabila Ayah dan Ibu sibuk mengurus kepentingannya di luar rumah, sehingga jarang sekali berkumpul bersama anak – anak mereka (Willis, 2007:44).

Keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi berkembangnya kepribadian anak yang tidak sehat. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, ditemukan bahwa hubungan interpersonal dalam keluarga yang patologis atau tidak sehat memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap sakit mental seseorang (Yusuf, 2007:44).

2.5 Konsep Pola Asuh

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak, bagaimana sikap orangtua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk cara menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh dan panutan bagi anaknya (Shanti,2008).

2.5.1 Pola Asuh yang Efektif

Pola asuh yang efektif adalah landasan cinta dan kasih sayang. Hal-hal yang dapat dilakukan orangtua untuk menuju pola asuh yang efektif adalah pola asuh yang dinamis, yaitu pola asuh yang sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Misalnya, pola asuh untuk anak batita dan pola asuh untuk anak usia sekolah. Pola

(11)

19 asuh juga harus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak, kedua orangtua pun harus berkompromi dalam menetapkan nilai-nilai yang boleh atau tidak, pola asuh harus disertai perilaku positif dari orangtua sehingga bisa dijadikan contoh atau panutan untuk anaknya, orangtua harus menanamkan nilai-nilai kebaikan yang disertai penjelasan yang mudah dipahami. Pola asuh juga berhubungan erat dengan komunikasi, antara orangtua dan anak harus memiliki komunikasi yang efektif. Orangtua harus mempunyai waktu untuk berbincang-bincang dengan anaknya, misalnya bertukar pikiran atau berdiskusi, tetapi tidak meremehkan pandapat anak. Orangtua dapat member masukan atau saran kepada pendapat anak yang keliru. Disiplin pun merupakan bagian dari penerapan pola asuh, misalnya mengajarkan anak membuat jadwal harian agar kegiatan menjadi lebih teratur dan terarah. Orangtua pun harus bersikap konsisten, jangan sampai lain perkataan dengan perbuatannya.

2.5.2 Jenis Pola Asuh

Ada beberapa pola asuh yang akan dibahas di bab dua ini, seperti di bawah ini. a. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif yaitu jenis pola mengasuh anak yang acuh terhadap anak. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai

(12)

20 orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter yaitu pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orangtua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orangtuanya.

Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orangtua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orangtua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.

c. Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif yaitu pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat, dan lain-lain (Legault, 2006:228).

(13)

21 2.6 Teori Penokohan Menurut Nurgiyantoro

Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Seperti yang dikatakan Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2007:165) mengemukakan bahwa penggunaan istilah ‘karakter’ (character) sendiri dalam berbagai literature bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh-tokoh tersebut.

Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007:165), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non-verbal). Pembedaan tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

Dengan demikian, istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Nurgiyantoro (2007:177) juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut

(14)

22 mana penamaan itu dilakukan. Misalnya saja pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Disebut sebagai tokoh utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

2.7 Teknik Montase

Istilah montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Teknik montase di bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang-tindih dan lainnya. Adapun faktor-faktor yang mengawasi asosiasi adalah memory, sense, dan imagination.

Teknik montase juga seringkali digunakan untuk menciptakan suasana. Teknik ini juga digunakan dalam penyajian percakapan karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul. Teknik montase pun bisa menyajikan latar seperti hiruk pikuk kota atau suatu kekalutan (Humprey, 2005:150).

Referensi

Dokumen terkait

Target penerimaan perpajakan pada APBN tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp1.193,0 triliun, terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun

Pengolahan data dengan menerapkan metode saving pada tahap konstruksi dan lima metode perbaikan dilakukan dengan mengeksekusi program pada Lampiran 2 dan hasilnya dapat

terlampir dalam dokumen tersebut, surat pernyataan kesediaan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang ditandatangani oleh Ketua Koperasi

Me- mang benar, saya perlu ada paling tidak pun 10% daripada harga pangsapuri tersebut tetapi terdapat beberapa kaedah yang membo- lehkan kita membeli

Ilmu Pragmatik membantu untuk menemukan cara pengajaran bahasa asing yang menghasilkan pembelajar bahasa asing yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan

Masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat yang bercirikan antara lain: (1) adanya stabilitas di segala bidang; (2) terciptanya interaksi personal yang intim yang

Grafik di atas menunjukkan pada FBG dengan material terdispersi di dapati lebih dari satu pulsa koefisien transmisi dengan ukuran yang beragam disebabkan oleh dispersi yang

Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah dibawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan