• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sukses. Pada pertengahan tahun 1990-an, dalam penghitungan pendapatan perkapita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sukses. Pada pertengahan tahun 1990-an, dalam penghitungan pendapatan perkapita"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang telah terkenal di berbagai belahan dunia sebagai negara maju yang sukses. Pada pertengahan tahun 1990-an, dalam penghitungan pendapatan per-kapita dan taraf hidup masyarakat, Jepang menduduki peringkat kedua tertinggi setelah Swiss, dan pada akhir tahun yang sama, perusahaan dagang Jepang telah dapat menguasai sekitar 10 persen ekspor dunia. Selain itu, kesuksesan Jepang juga dapat diketahui dengan banyaknya merek perusahaan-perusahaan raksasa yang kini telah mendunia, seperti misalnya Toyota, Mitsubishi, Honda, Canon, Yamaha, Toshiba, dan masih banyak lagi. (Azhari, 2011: 153-159)

Kesuksesan yang diraih Jepang tersebut tidak lepas dari pengaruh manajemen Jepang yang efisien. Sistem manajemen yang telah dilestarikan oleh masyarakat Jepang sejak lama ini sangat efektif untuk memacu kesuksesan berbagai perusahaan raksasa Jepang, juga menyebabkan cepatnya pertumbuhan ekonomi Jepang (Odaka, 1896: 1-6). Sistem manajemen ini tidak tercipta begitu saja tetapi berasal dari nilai-nilai tradisi lama yang telah dianut Jepang.Sistem manajemen Jepang tumbuh dengan membawa nilai-nilai budaya yang juga tercermin pada karakteristik masyarakat Jepang.

Wierzbicka (1997) di bukunya yang berjudul Understanding Cultures Through Key Words menyebutkan bahwa Jepang mempunyai kata kunci yang juga menjadi nilai budaya mereka, misalnya amae/kebergantungan ke orang lain,

(2)

enryo/ menahan diri, wa/harmoni, on dan giri/ kewajiban dan pembalasan budi, seishin/ jiwa, dan omoiyari/ kepedulian ke sesama.Sedangkan Davies dan Ikeno (2002) di bukunya yang berjudul The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture yang diterbitkan tahun 2002 menyebutkan beberapa kata kunci nilai budaya lain yang ada di Jepang, yaitu aimai/ambiguitas, amakudari/ keturunan dari Surga, bigaku/ nilai estetika, Bushidou/ jalan hidup seorang samurai, chinmoku/ keheningan dalam komunikasi, danjou kankei/hubungan pria dan wanita, ganbari/perjuangan, haragei/seni berkomunikasi, hedataru to najimu/ruang privasi dan pendekatan diri, honne to tatemae/niat yang sesungguhnya dan ungkapan basa-basi, ie/keluarga, iitoko-dori/adopsi budaya asing, ikuji/membesarkan anak, kenkyo/kerendahan hati, kisetsu/konsep musim di Jepang, newamashi/pertimbangan sebelum bekerja, omiai/perjodohan, otogibanashi/cerita rakyat tradisional Jepang, ryousaikenbo/istri yang baik dan ibu yang bijaksana, senpai-kouhai/hubungan senior dan junior, shuudan ishiki/kesadaranberkelompok, soushiki/upacara kematian, uchi to soto/orang dalam dan orang luar, wabi-sabi/kesederhanaan dan elegansi, dan zoutou/pemberian hadiah.

Tidak hanya terkenal dengan budayanya, Jepang juga terkenal sebagai negara yang rawan bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Beberapa gempa bumi yang dahsyat telah mengguncang Jepang satu abad terakhir ini, dari gempa besar Kanto tahun 1923, gempa besar di Kobe tahun 1995, sampai gempa yang mengakibatkan munculnya tsunami di Sendai bulan Maret 2011.

(3)

Situasi mencekam yang dialami Jepang tidak hanya terjadi karena bencana alam. Jepang juga pernah mengalami kejadian lain yang membuat kondisi negara menjadi kacau. Pada Agustus 1945 kotaHiroshima dan Nagasaki juga dijatuhi bom atom oleh Sekutu, yang menyebabkan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Kejadian-kejadian tersebut menyebabkan hancurnya beberapa kota di Jepang yang membuat keadaan Jepang menjadi memprihatinkan.

Dengan kondisi yang menyedihkan seperti itu pun, masyarakat dan pemerintah Jepang tidak membuang waktu untuk meratap, tetapi dengan sigap mereka bersikap tanggap terhadap bencana maupun situasi yang terjadi. Pemerintah beserta masyarakat bekerja sama untuk memulihkan negara. Masyarakat Jepang mau belajar dari pengalaman mereka, dan berusaha sebaik mungkin untuk mempersiapkan segala sesuatunya jika di masa yang akan datang terjadi hal-hal yang serupa. Sewaktu menghadapi bencana, mereka tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri dan kabur. Para korban bencana saling membantu untuk bertahan hidup. Tidak ada istilah untung-rugi, yang ada hanyalah rasa solidaritas dan kebersamaan. Tidak hanya duduk diam dan meratapi nasib, masyarakat Jepang tidak mau menyerah pada keadaan. Sebisa mungkin mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki keadaan (Citraningtyas, 2011: 60-70).

Dalam tindakan pemerintah dan masyarakat Jepang untuk memulihkan kondisi negri tersebut, terdapat cerminan dari nilai-nilai budaya yang telah dianut oleh masyarakat Jepang itu sendiri sebagai dasar manajemen tindakan mereka. Demikian pula dengan tindakan tanggap bencana dalam rangka pemulihan pasca

(4)

bencana besar(gempa bumi, tsunami, ledakan reaktor nuklir) yang diberi nama Higashi Nihon Daishinsai,yang terjadi di Jepang bulan Maret 2011. Meskipun belum pulih dengan sempurna dan masih terdapat beberapa masalah akibat meledaknya reaktor nuklir di Fukushima, hanya berselang setahun setelahnya, situasi di tempat kejadian telah menjadi jauh berbeda dari sebelumnya. Jalan-jalan telah tertata dengan baik kembali, dan puing-puing bekas gedung yang hancur telah disingkirkan. Pemulihan telah dijalankan dengan sangat cepat.1

Penjelasan tentang tercerminnya nilai-nilai budaya dari tindakan tanggap bencana masyarakat dan pemerintah yang juga menjadi unsur pemicu pesatnya pemulihan, dapat menjadi suatu hal yang bermanfaat terutama bagi negara yang rawan bencana. PemulihanJepang yang terlihat pesat pun dapat menjadi cerminan bagi negara-negara lain untuk mempersiapkan diri mereka sebaik mungkin sewaktu terjadi bencana maupun hal-hal yang tak diinginkan. Karena itulah kali ini, dengan menjadikan tindakan tanggap bencana yang dilakukan masyarakat dan pemerintah Jepang pasca bencana besar yang terjadi di Jepang Timur pada bulan Maret 2011 sebagai obyeknya, penelitian ini akan dilakukan untuk melihat cerminan nilai budaya dalam tindakan tanggap bencana tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Nilai budaya Jepang apa sajakah yang tercermin dari tindakan

1

Egidius Patnistik, “Setahun Setelah Bencana Jepang, Apa yang Berubah?”,

Kompas.com, diakses dari http://sains.kompas.com/read/2012/02/27/16305050/Setahun.Setelah. Bencana.Jepang.Apa.yang.Berubah, pada 5 Mei 2013 pukul 21.20 WIB

(5)

tanggap bencana masyarakat dan pemerintah Jepang pasca bencana besar di Jepang Timur pada bulan Maret 2011?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan tentang nilai budaya Jepang apa sajakah yang tercermin dari tindakan tanggap bencana masyarakat dan pemerintah Jepang pasca bencana besar yang terjadi di Jepang Timur pada bulan Maret 2011.

1.4 Batasan Masalah

Pada penelitian ini, ruang lingkup waktu yang digunakan untuk pengambilan data penelitian akan diberi batasan, yaitu sampai dua tahun pasca bencana besar yang terjadi di Jepang pada bulan Maret 2011. Tindakan tanggap bencana yang akan diteliti juga dibatasi dengan tindakan tanggap bencana yang dilakukan di daerah Touhoku, terutama daerah Fukushima dan Sendai yang mendapat kerusakan parah.

1.5 Landasan Teori

Karena pada penelitian ini akan dibahas mengenai nilai-nilai budaya yang tercermin dari tindakan tanggap bencana masyarakat dan pemerintah Jepang, maka dari itu akan digunakan teori tentang kebudayaan dan nilai budaya, serta Bushidou sebagai landasan teori.

(6)

Nilai budaya merupakan suatu bagian dari kebudayaan yang tertanam di masyarakat. Kebudayaan, menurut ilmu antropologi, merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang ditemui dalam kehidupan masyarakat, dan dijadikan milik sendiri dengan cara pembelajaran. Kebudayaan sendiri berasal dari kata yang ada di bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang berarti bentuk jamak dari buddhi yang memiliki makna „budi/akal‟. Kebudayaan akan memantapkan pola-pola dari tindakan dan kepribadian masyarakat dan dapat memberi arah pada kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1980: 193-195). Kata „budaya‟ sendiri dapat dipahami sebagai pengalaman yang dipelajari, dan mengacu pada pola perilaku kelompok sosial. Budaya merupakan proyeksi dari kepribadian dan bahkan dapat menentukan perilaku orang dewasa. Tentu saja, cara masyarakat penganut suatu budaya memandang dan menilai budaya tersebut berbeda dengan cara masyarakat luar dalam memandang dan menilainya. Masyarakat penganut budaya lebih menguasai budaya tersebut, maka dari itu pemahaman tentang budaya tersebut akan menjadi lebih dalam. Dapat dikatakan bahwa nilai sebuah budaya bagi masyarakat atau kelompok sosial tertentu juga berbeda satu dengan yang lainnya (Keesing, 1989: 94-97).

Karena penelitian kali ini mengacu kepada nilai budaya yang tertanam pada diri masyarakat Jepang, konsep tentang nilai budaya itu sendiri pastinya diperlukan. Menurut Clyde dan Florence Kluckhohn (Murniatmo, 1999), nilai budaya bersifat paling abstrak dari nilai-nilai yang lain, dan merupakan konsep mengenai sesuatu dari alam pikiran yang dianggap masyarakat bernilai. Jika diterapkan dengan benar, maka nilai budaya ini dapat menjadi motivasi untuk

(7)

mengembangkan suatu negara. Nilai budaya terdapat dalam jiwa emosional dari masyarakat penganut kebudayaan tersebut karena nilai budaya bersifat luas dan tidak konkret. Salah satu fungsi dari nilai budaya tersebut adalah menjadi pedoman dari konsep pada masyarakat, yang juga menjadi suatu pendorong di kehidupan. Perwujudannya dapat dilihat dari perilaku masyarakat penganut nilai budaya tersebut. Nilai budaya ini dapat tertanam dalam masyarakat jika nilai tersebut diresapkan ke kehidupan sejak kecil. Nilai ini tidak mudah tergantikan oleh nilai lain, dan berpengaruh kuat pada mental dan sikap masyarakat.

Nilai budaya tersebut memberikan suatu pengaruh terhadap manajemen suatu negara, yang juga berarti manajemen tindakan pada pemerintah dan masyarakat. Nilai budaya merupakan suatu bagian dari lingkungan budaya yang ada pada masyarakat. Menurut Handoko (2001), lingkungan budaya itulah yang juga memberikan pengaruh yang besar dalam pengoperasian suatu manajemen. Nilai-nilai budaya Jepang pun telah menjadi suatu motivasi tersendiri bagi masyarakat Jepang sewaktu menjalankan manajemennya. Masyarakat Jepang akan berusaha sebaik mungkin menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut dapat direalisasikan dengan suatu kesuksesan, tidak hanya menjadi sesuatu untuk diucapkan saja (Marbun Ed., 1986: 3-6). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pencerminan nilai-nilai tersebut juga membawa pengaruh ke penentuan manajemen aktivitas masyarakat Jepang untuk membangun negrinya kembali pasca bencana yang terjadi.

(8)

Nilai budaya yang tertanam pada diri masyarakat Jepang tidak lepas dari pengaruh Bushidou. Bushidou merupakan faktor penting yang memberikan pengaruh besar kepada pandangan hidup masyarakat Jepang.

Kata Bushidou terdiri dari tiga karakter kanji, yaitu 武士道. Kanji 武士 (bushi) memiliki makna „satria, pahlawan, samurai‟, dan kanji 道 (michi, dibaca secara onyomi sebagai dou) memiliki makna „jalan, perjalanan, cara‟. Kata dou ini dimaknai sebagai doktrin ataupun jalan hidup, sehingga dapat dikatakan bahwa Bushidou merupakan jalan hidup seorang samurai (Chandra, 2008: 6, 56). Kata Bushidou ini memang mengacu pada sikap dasar samurai pada masa pemerintahan Jepang sejak abad kedua belas sampai abad kesembilan belas. Pada masa tersebut samurai mendominasi kelas teratas di struktur masyarakat Jepang pada masa itu. Walaupun sudah muncul sejak jaman Kamakura, namun kata ini baru populer setelah adanya Restorasi Meiji.

Bushidou tidak hanya merefleksikan segala sesuatu yang berhubungan dengan keahlian berperang maupun menggunakan senjata, namun Bushidou mengandung makna tentang adanya kesetiaan kepada tuan masing-masing, harga diri yang tinggi, dedikasi terhadap pekerjaan, keberanian, dan juga pengorbanan diri.

Salah seorang samurai jaman Edo mengatakan bahwa Bushidou berarti seseorang memiliki ketetapan hati untuk mati. Yang dimaksud dengan ketetapan hati untuk mati adalah bahwa jika seorang samurai mati, mereka akan mati dengan penuh kebanggaan atas diri mereka. Hal ini menunjukkan suatu kesetiaan karena para samurai dengan siap akan mengorbankan nyawanya untuk

(9)

menunjukkan kesetiaan mereka kepada tuan mereka. Kebanggaan diri mereka diwujudkan dengan suatu tindakan ekstrim bahwa para samurai akan lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus hidup menanggung malu. Selanjutnya, hal ini memunculkan adanya istilah seppuku atau harakiri, yang diterjemahkan sebagai „bunuh diri‟ (Davies dan Ikeno, 2002: 41-48).

Pada masa kini, Bushidou telah menjadi nilai dasar yang memberi pengaruh kepada nilai-nilai budaya Jepang lainnya sekaligus kepada pandangan hidup masyarakat Jepang. Dengan demikian, penulis akan menggunakan Bushidou sebagai akar dari nilai-nilai budaya Jepang yang akan dianalisis dalam penelitian ini.

1.6 Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini akan digunakan dua penelitian sebagai tinjauan pustaka. Bahan acuan pertama merupakan penelitian yang sudah dipublikasikan sebagai buku yang berjudul Ganbatte, Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang yang ditulis oleh A.A, Azhari (2011). Buku ini menjelaskan tentang kata ganbatte sebagai salah satu kata pembentuk karakter tangguh masyarakat Jepang. Selain ganbatte, disebutkan pula bahwa semangat Bushidou juga ikut mengambil peran penting dalam kesuksesan Jepang. Aplikasi ganbatte dan Bushidou ini terlihat di manajemen perusahaan-perusahaan raksasa di Jepang yang sekarang telah mendunia, juga pada pesatnya pertumbuhan ekonomi di Jepang. Tidak hanya itu, ganbatte juga telah memacu Jepang untuk bangkit dari keterpurukan. Azhari menyebutkan bahwa ayahnya pun merupakan saksi mata dari cepatnya

(10)

pertumbuhan Jepang pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Azhari lalu mendapatkan hasil bahwa cepatnya kebangkitan Jepang tersebut merupakan hasil dari ketangguhan Jepang itu sendiri. Kata ganbatte ini sendiri telah ditanamkan sejak dini. Masyarakat dilatih untuk belajar dari pengalaman masa lalu demi memperbaiki keadaan, tetap berjuang pada situasi dan kondisi apapun dan memberikan yang terbaik dari mereka. Penerapan ganbatte pasca bencana mulai terlihat sejak pasca Gempa Besar Kanto tahun 1923. Pada waktu itu pemerintah dan masyarakat bekerja sama meminimalisir korban dan kerugian, serta menyiapkan berbagai hal untuk berjaga-jaga seandainya terjadi gempa lagi.Dalam bencana yang terjadi bulan Maret 2011 pun, kata ganbatte menjadi salah satu motivasi dalam proses pemulihan negara. Pada bab terakhir buku ini disebutkan beberapa usaha pemerintah untuk memberikan semangat dan dorongan kepada para korban. Tidak hanya itu, disebutkan pula bahwa para korban tidak berdiam diri, tetapi membantu para korban lain serta menyemangati mereka. Di sub-bab terakhir pun disebutkan bahwa ganbatte mempengaruhi sikap dan karakteristik masyarakat Jepang yang diantaranya adalah sikap tanggung jawab, tabah, kerja keras, dan peduli pada sesama.

Bahan acuan kedua merupakan penelitian yang telah disusun menjadi sebuah skripsi berjudul Nilai Budaya Jepang yang Tercermin di dalam Pelaksanaan Mitigasi Gempa di Tokyo Tahun 1993-2000 yang disusun oleh Picco Novradara tahun 2008. Di penelitian ini dilakukan studi kasus atas pelaksanaan proyek mitigasi gempa, khususnya daerah Tokyo, dan yang ditekankan adalah nilai budaya Jepang yang berupa gakumon, wa, dan makoto, yang terlihat dalam

(11)

pelaksanaan mitigasi gempa tersebut. Ketiga nilai budaya tersebut sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme, Shintou, dan Buddha. Menurut hasil analisisnya, dapat diketahui bahwa nilai budaya gakumon tercermin dalam dilaksanakannya bousai kyouiku atau pendidikan bencana di kurikulum pendidikan di Jepang. Nilai budaya wa tercermin dalam kerja sama masyarakat dengan pembentukan kelompok penanggulangan bencana di tiap daerah, dan nilai budaya makoto tercermin dalam kesungguhan pemerintah menyediakan dana yang besar untuk pelaksanaan mitigasi dalam hal tata kota.

Penelitian di bahan acuan pertama berbeda dengan apa yang akan diteliti dalam penelitian kali ini karena di penelitian Azhari tersebut dicontohkan bagaimana aplikasi ganbatte dan semangat Bushidou dalam manajemen masyarakat Jepang, serta dalam manajemen perusahaan-perusahaan raksasa di Jepang, sedangkan pada penelitian kali ini yang akan diteliti adalah bagaimana cerminan nilai-nilai budaya Jepang dalam tindakan masyarakat dan pemerintah pasca bencana. Studi kasus pada penelitian kali ini akan dilakukan dengan metode yang sama tetapi berbeda obyek dengan penelitian di bahan acuan kedua. Yang dibahas di penelitian yang dilakukan oleh Picco Novradara adalah mitigasi yang merupakan komponen manajemen bencana yang dilakukan sebelum bencana terjadi. Obyeknya adalah pelaksanaan mitigasi gempa di Tokyo tahun 1993-2000. Sedangkan yang akan dibahas pada penelitian kali ini ialah tindakan tanggap bencana yang dilakukan dalam rangka pemulihan kembali negara setelah bencana terjadi. Obyek pada penelitian kali ini pun berbeda, yaitu tindakan tanggap

(12)

bencana yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Jepang setelah terjadinya bencana besar di Jepang pada bulan Maret 2011.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang akan dipakai untuk mengumpulkan data adalah metode deskriptif kualitatif. Kirk dan Miller mengungkapkan bahwa penelitian secara kualitatif bergantung pada pengamatan pada manusia. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 1989), metode ini mengarahkan pendekatannya pada individu dan latar secara utuh, dan akan menghasilkan data yang berupa kata-kata tertulis maupun lisan. Data akan dikumpulkan, disusun, lalu dijelaskan. Dengan pendekatan kualitatif, penulis akan berusaha memahami makna terjadinya suatu peristiwa dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Teknik pengumpulan yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah teknik studi pustaka. Penulis akan meneliti menggunakan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber tertulis.

1.8 Sistematika Laporan

Laporan penelitian ini terdiri IV bab.

Bab I berisi tentang pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode dan teknik penelitian, dan sistematika laporan.

Bab II berisi tentang penjelasan mengenai konsep tindakan tanggap bencana dan Higashi Nihon Daishinsai, serta penjelasan mengenai nilai-nilai

(13)

Bushidou sebagai dasar dari nilai-nilai budaya Jepang dan uraian tentang beberapa nilai budaya Jepang.

Bab III berisi tentang tindakan tanggap bencana masyarakat dan pemerintah Jepang pasca Higashi Nihon Daishinsai bulan Maret 2011 beserta uraian tentang cerminan nilai budaya Jepang dalam tindakan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan alterasi dengan mineralisasi pada daerah penelitian berdasarkan model endapan Lowell-Guilbert (1995, Dalam Pirajno, 2009), seperti pada Gambar 2, daerah

Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan

pelaksanaan langkah-langkah untuk mendokumentasi pertemuan keputusan atau transaksi elektronik dan meng- capture (menangkap) aktivitas dalam sistem pengelolaan

Oleh kerana umat Islam biasanya tidak mampu memahami ajaran agama Islam dengan hanya membaca al-Quran atau Hadith sendiri sama ada dalam bahasa Arab atau bahasa lain, maka

AE, laki-laki, usia 28 tahun, penduduk Kelurahan Monjok Timur, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram;.. TFH, laki-laki, usia 35 tahun, penduduk Kelurahan Pagesangan

Kepadatan bakteri coliform pada stasiun 3, stasiun 7 dan stasiun 9 memiliki nilai yang cukup tinggi pada saat pasang maupun surut.. Stasiun 3 merupakan lokasi

Berdasarkan permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui strategi yang dilakukan guru dalam menerapkan pembelajaran nyanyian Kakor Lalong pada siswa

Algoritma K-Means Clustering mampu mengelompokan data DAS menjadi beberapa kelompok sesuai kemiripan dan karekteristik masing-masing dengan Tingkat validasi data