• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALLAH DAN TRINITAS Sebuah Pendasaran Dialektis-Filosofis Hegelian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALLAH DAN TRINITAS Sebuah Pendasaran Dialektis-Filosofis Hegelian"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

ALLAH DAN TRINITAS

Sebuah Pendasaran Dialektis-Filosofis Hegelian Fitzerald Kennedy Sitorus

Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan Email: fiksitorus@yahoo.com

Abstract

Mengapa gerangan Hegel bagi Protestan tidak seperti Thomas Aquinas bagi Katolik Roma? – Karl Barth1 Pokok permasalahan agama dan filsafat adalah kebenaran abadi dalam objektivitasnya, yakni Allah dan tidak lain dari Allah dan pemaparan mengenai Allah ... (Karena itu), agama dan filsafat itu identik, perbedaan keduanya adalah kekhasan

cara masing-masing dalam memahami Allah tersebut – G.W.F. Hegel2 Semua hal pada

dirinya sendiri adalah kontradiktif – G.W.F. Hegel3

Kata Kunci : Agama dan Filsafat

I. Integrasi Iman (Glauben) dan Akal Budi (Vernunft) pada Hegel

Filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (* Stuttgart, 27 Agustus 1770, + Berlin, 14 November 1831) disebut oleh filsuf Karl Löwith sebagai “filsuf Kristen terakhir”4 karena Hegel adalah filsuf terakhir yang membangun sebuah sistem filsafat di mana tema agama/teologi dan filsafat sungguh-sungguh menyatu secara sistematik. Sejarah filsafat modern memperlihatkan bahwa para filsuf setelah Hegel, yakni Ludwig Feuerbach, S-A. Kierkegaard, Karl Marx dan para pengikutnya segera memutuskan hubungan antara agama dan filsafat tersebut: Feuerbach dan Marx mengutamakan filsafat dan melihat agama semata-mata secara negatif, sementara Kierkegaard mengutamakan agama dan melihat filsafat secara negatif. Hegel lain. Sekalipun Hegel pertama-tama adalah seorang filsuf, namun tema teologi atau filsafat agama menduduki posisi yang sangat sentral dalam pemikirannya. Dan sentralitas yang dimaksud di sini bukan sekadar bahwa refleksi tentang Tuhan dan agama (teologi) menempati posisi penting dalam kerangka inti pemikiran Hegel, melainkan bahwa

1 Karl Barth, Protestant Theology in the Nineteenth Century (terj. Brian Cozens and John Bowden; Grand Rapids, Michigan/Cambridge, U.K.: 2002), hal. 370.

2 G.W.F. Hegel, Vorlesungen über die Philosophie der Religion I, hal. 28-29. Mengenai teknis pengutipan karya-karya Hegel yang digunakan dalam tulisan ini, lihat keterangan dalam bagian daftar pustaka. 3 „Alle Dinge sind an sich selbst widersprechend,“ Hegel, Wissenschaft der Logik II, hal. 58.

4 Karl Löwith, Von Hegel zu Nietzsche: der revolutionäre Bruch im Denken des neuzehnten Jahrhunderts, (Stuttgart/Berlin/Köln/Mainz, W. Kohlhammer, 1950/1964), hal. 62.

(2)

2

sentralitas di sini harus dipahami sebagai fondasionalitas. Maksudnya adalah bahwa Hegel membangun sistem filsafatnya dengan menggunakan kerangka dasar kekristenan, yakni Trinitas, sebagai fondasinya. Karena itu tidaklah berlebihan bila seorang komentator terkemuka Hegel, J.N. Findlay, mengatakan bahwa Hegel adalah “yang paling Kristen dari antara para pemikir, karena sementara para pemikir pembela Kekristenan biasanya meminjam logika dan kerangka pemikiran mereka dari Aristoteles atau dari sumber lain, hanya Hegel pemikir yang meminjam seluruh kerangka dasar pemikirannya dari Kekristenan.”5 Bagaimana persisnya Hegel melakukan hal ini, itu akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Penggunaan pilar Kekristenan sebagai fondasi sistem filsafatnya, yang oleh Hegel sendiri dinamai Idealisme Absolut itu, mengakibatkan bahwa tema teologi bukanlah sekadar sebuah komponen sampingan dalam sistem pemikiran Hegel. Dapat dikatakan bahwa teologi adalah pusat gravitasi sistem filsafat Hegel. Karena itu, dalam usaha memahami filsafat Hegel yang terkenal sulit itu, kedudukan filsafat agama-nya jauh lebih penting dibandingkan misalnya dengan filsafat politik atau filsafat seninya. Kita hanya dapat memahami pemikiran Hegel dengan baik bila kita memahami filsafat agamanya, dan itu berarti bila kita memahami kerangka dasar kekristenan, terutama ajaran Trinitas. Tali temali yang bersifat sistemik antara filsafat dan teologi ini membuat bahwa -- sebagaimana juga sering diterapkan untuk pemikiran Thomas Aquinas -- filsafat Hegel itu sangat teologis, sementara teologinya sangat filosofis. Sejalan dengan itu, dalam konteks filsafat Hegel kita dapat mengatakan bahwa filsafat baru sungguh-sungguh filosofis hanya bila ia juga teologis. Tidaklah berlebihan bila Wilhelm Weischedel, dalam karya klasiknya Der Got der Philosophen (Tuhan para Filsuf) menulis bahwa teologi filosofis dalam sejarah pemikiran Barat mencapai puncaknya pada Hegel.6 Memang, tidak ada filsuf, baik pada era klasik, abad pertengahan maupun modern, yang memiliki perhatian yang sedemikian besar terhadap pendekatan filosofis terhadap Allah dan eksistensi-Nya, selain Hegel.

5 J.N. Findlay, Hegel: A Re-examination (London: Allen & Unwin; New York: Macmillan, 1958), hal. 359. Cetak miring dari penulis (FKS).

6 Wilhelm Weischedel, Der Gott der Philosophen. Grundlegung einer philosophischen Theologie im Zeitalter

(3)

3

Sebagaimana dalam cabang filsafat lainnya, Hegel juga mempengaruhi perkembangan teologi modern dengan mendalam. Dan pengaruh tersebut tidak hanya berlangsung secara implisit, eksplisit, tapi juga secara negatif. Yang dimaksud dengan pengaruh negatif di sini adalah pemikiran teologi yang dibangun sebagai hasil penolakan terhadap pemikiran Hegel. Teologi eksistensialis Kierkegaard, misalnya, dapat dimasukkan ke dalam golongan ini; Kierkegaard membangun pemikirannya sebagai reaksi terhadap filsafat Hegel yang menurutnya meleburkan segala sesuatu ke dalam sistem filsafat Idealisme Absolut yang serba mencakup itu (all-encompassing system). Para teolog besar pada zaman modern juga berusaha menafsirkan pemikiran Hegel dalam konteks diskusi teologi kontemporer. Di sini kita misalnya dapat menyebut Karl Barth, Karl Rahner, Wolfgang Pannenberg, Hans Küng,7 Jürgen Moltmann, Eberhard Jüngel,8 Peter C. Hodgson9 dan lain-lain.

Pengaruh mendalam Hegel atas perkembangan teologi modern, khususnya teologi Protestan itulah, ditambah dengan fakta bahwa Hegel dapat dikatakan berhasil membangun sebuah sistem filsafat yang serba-mencakup yang berpusat pada Allah serta bahwa dalam sistem filsafatnya filsuf ini berhasil mengajukan argumen-argumen yang meyakinkan perihal mengapa agama Kristen Protestan adalah agama yang paling modern dan pantas disebut sebagai tahap terakhir dari rangkaian perkembangan agama-agama historis10 – hal-hal itulah kiranya yang menjadi latar belakang keheranan Karl Barth untuk bertanya mengapa gerangan bagi kelompok Protestan Hegel tidak memperoleh kedudukan yang sama dengan Thomas Aquinas dalam kelompok Katolik Roma.

7 The Incarnation of God. An Introduction to Hegel`s Theological Thought as Prolegomena to a Future

Christology (terj. by J.R. Stephenson, Crossroad, New York, 1987). Asli: Menschwerdung Gottes (Tuhan yang Menjadi Manusia), 1970. Dalam buku ini Küng mengeksplorasi pemikiran teologis Hegel secara

mendalam dengan berfokus terhadap visi Hegel mengenai historisitas eksistensi Allah. Küng, yang mengakui bahwa Hegel mempengaruhi pemikiran teologisnya secara mendalam, juga membahas pemikiran Hegel dalam buku Existiert God? Antwort auf die Gottesfrage der Neuzeit (Piper & Co. Verlag, München/Zürich 1978), yakni untuk melakukan sintesa antara iman (Glaube) dan akal budi (Vernunf) dalam rangka proyek teologi Küng sendiri, yakni bahwa Allah harus dilihat dalam perspektif sejarah – sebuah pandangan yang sangat Hegelian.

8God as the Mystery of the World: On the Foundation of the Theology of the Crucified One in the Dispute

between Theism and Atheism, 1983. Buku ini antara lain membahas pemikiran Hegel mengenai “kematian Tuhan” dan arti penting konsep ini bagi refleksi teologis.

9God in History: Shapes of Freedom, Nashville: Abingdon Press, 1989. Dalam buku ini, Hodgson

menawarkan sebuah respons kreatif terhadap pemikiran postmodern dengan bantuan pemikiran teologis Hegel mengenai trinitas dan konsepsi mengenai eksistensi Tuhan yang bersifat historis.

10 Lebih jauh mengenai hal ini lihat tulisan saya, „Tanpa Dunia, Tuhan Bukanlah Tuhan“. Tentang Struktur

Konseptual Tuhan dan Momen-Momen Kesadaran Religius menurut Hegel, dalam: Tuhan, Manusia dan Kebenaran, Festchrift untuk 65 Tahun Prof. Dr. J. Sudarminta, SJ.,(ed. F. Budi Hardiman, Penerbit Buku

(4)

4

Di kalangan teologi Reformed sendiri, Hegel (dan juga filsuf Idealisme Jerman lainnya, seperti Schelling dan Fichte) juga berpengaruh besar. Dalam bukunya Reformed Dogmatic, Herman Bavinck membahas pemikiran Hegel dengan cukup ekstensif dan mengapresiasi pemikiran teologis serta metode filsafat filsuf ini sebagai pemikiran yang „tidak bertolak dari ajaran gereja atau dari ajaran Kitab Suci tapi dari orang yang percaya, dari kesadaran Kristen (from the believing subject, from the Christian consciousness).“11 Tokoh teologi Reformed lainnya, Abraham Kuyper, juga dipengaruhi Hegel secara cukup mendalam. James D. Bratt, dalam bukunya yang berjudul, Abraham Kuyper. Modern Calvinist, Christian Democrat, menulis bahwa “secara harafiah Kuyper tidak dapat berpikir di luar metode Hegel yang mengatakan bahwa Roh yang merealisasikan diri dalam waktu menentukan esensi sejarah.”12 Sementara itu, Wallace M. Alston, Jr., dan Michale Welker, dalam bukunya Reformed Theology, menulis demikian: „dalam tradisi Reformed, cukup banyak teolog yang dengan hangat menyambut pendekatan Hegel terhadap agama dan kekristenan. Untuk menyebut beberapa di antaranya, ada Daub di Jerman, Biedermann di Swiss, Scholten di Belanda dan Cairds di Skotlandia. Mereka menerima garis teologi rasional yang diinspirasikan oleh filsafat metafisis Hegel.“13 Sambutan positif para teolog Reformed terhadap pemikiran Hegel ini tentu tidaklah berarti bahwa mereka menerima Hegel tanpa sikap kritis. Herman Bavinck misalnya, dalam buku yang disebut di atas, juga memaparkan ketidaksetujuannya terhadap sejumlah aspek dari pemikiran Hegel.14

II. Sepintas Garis Besar Filsafat Hegel15

Henry D. Aiken pernah memberi julukan mulia pada Hegel, yakni sebagai “sekretaris Roh Absolut”.16 Disebut demikian karena keseluruhan sistem filsafat Hegel tidak lain dari pemaparan segenap aktivitas Roh Absolut (der absolute Geist) dalam rangka merealisasikan dirinya. Realisasi diri ini berlangsung secara dialektis melalui tiga momen besar yang disebut

11 Herman Bavinck, Reformed Dogmatics. Volume I: Prolegomena (terj. John Vriend, Grand Rapids, MI.,: Baker Academic, 2004), hal. 66.

12 James D. Bratt, Abraham Kuyper. Modern Calvinist, Christian Democrat (William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan Cambridge, 2013), hal 39.

13 Wallace M. Alston Jr and Michael Welker, Reformed Theology: Identity and Ecumenicity, (Eeerdmans Publishing Company, MI., 2003), hal. 54.

14 Lihat misalnya Herman Bavinck, Reformed Dogmatics. Volume I: Prolegomena, hal. 257 dst.

15 Penulisan bagian ini sebagian besar saya dasarkan pada tulisan di atas „Tanpa Dunia, Tuhan Bukanlah

Tuhan“. Tentang Struktur Konseptual Tuhan dan Momen-Momen Kesadaran Religius menurut Hegel, hal.

43-51.

(5)

5

Hegel sebagai Roh „pada dirinya sendiri“ (an sich), „untuk dirinya sendiri“ (für sich) dan „pada dan untuk dirinya sendiri“ (an und für sich). Ketiga momen dialektis inilah yang membentuk sistem filsafat Hegel. Semua tema yang dibahas Hegel dalam sistem filsafatnya termasuk dalam ketiga momen tersebut dan merupakan deskripsi fenomenologis atas proses perealisasian diri Roh. Sistem tersebut dan tema-tema yang terdapat dalam sistem itu, dengan demikian, tidak lain dari momen-momen yang dialami oleh Roh dalam rangka perealisasian dirinya. Karena itu, filsafat Hegel adalah filsafat Roh, artinya filsafat yang berpusat pada Roh. Roh adalah subjek dan sekaligus objek filsafat Hegel. Roh menjadi subjek karena dalam sistem filsafat itu Roh-lah yang sedang berproses; isi dari sistem itu tidak lain dari Roh yang sedang merealisasikan dirinya itu. Tapi sekaligus dengan itu, Roh juga menjadi objek sistem tersebut karena sistem itu adalah deskripsi fenomenologis atas Roh yang sedang merealisasikan dirinya. Dalam bahasa teologis, Roh tidak lain dari Allah. „Apa yang kita sebut sebagai Roh Absolut, itu sama dengan Allah,“ tulis Hegel.17

Ketiga momen besar di atas sekaligus merupakan momen-momen dialektis yang terdiri dari tesis, antitesis dan sintesis. Momen Roh an sich adalah tesis, momen Roh für sich antitesis, sementara sintesis adalah momen Roh an und für sich. Dalam sistem filsafat Hegel, ketiga momen ini kemudian membentuk tiga tema besar, yakni Ilmu Logika (Wissenschaft der Logik), Filsafat Alam (Naturphilosophie), Filsafat Roh (Geistphilosophie). Ilmu Logika sebagai tesis memaparkan momen Roh an sich, Filsafat Alam sebagai antitesis memaparkan Roh für sich, dan Filsafat Roh sebagai sintesa memaparkan Roh an und für sich.18

Kalau gagasan dasar sistem filsafat Hegel ini hendak diungkapkan dalam bahasa sederhana, maka kita dapat mengungkapkannya demikian: pada momen pertama (tesis), Roh berada pada dirinya sendiri (Ilmu Logika). Ilmu Logika, kata Hegel, adalah „pemaparan mengenai Tuhan, sebagaimana ia dalam hakikat abadinya, sebelum penciptaan dunia dan roh-roh yang

terbatas.“19 Pada momen kedua (antitesis), Roh itu menyangkal atau menegasi atau

mengasingkan dirinya dari dirinya sendiri; ia seakan-akan „keluar“ dari dirinya dan menjadi Roh yang objektif, ada di sana, di luar dirinya (Filsafat Alam). Dalam bahasa Hegel: „Roh

17 TW 16, Vorlesungen über die Philosophie der Religion I, hal. 32-33.

18 Kunzmann, Peter, et. al, Atlas zur Philosophie, Muenchen: DTV, 1991, hal. 154.

19 TW 5, Wissenschaft der Logik I, hal. 44. Yang dimaksud dengan roh-roh yang terbatas adalah segala benda yang bersifat empiris yang terdapat dalam kenyataan ini.

(6)

6

memproduksi dirinya menjadi alam.“20 Jadi Hegel tidak melihat alam (Natur) hanya sebagai materi yang objektif ada di sana, melainkan sebagai Roh yang menampakkan dirinya dalam bentuk materi yang terbatas; alam itu adalah „Roh yang tidur,“21 katanya. Diungkapkan dalam bahasa teologis, momen antitesis ini tidak lain dari Penciptaan alam semesta dan segala isinya, sebagai terdapat dalam Kitab Kejadian. Pada momen ketiga (sintesis), Roh itu menyadari dirinya yang terasing itu atau menyadari bahwa yang lain dari dirinya itu, yakni alam fisik objektif, sejarah dan manusia, adalah dirinya dalam bentuk yang lain, karena yang-lain itu tidak yang-lain dari hasil negasi atau determinasi dirinya. Ini dibahas dalam Filsafat Roh. Jadi, „Tuhan menyingkapkan diri-nya dalam dua cara: sebagai alam dan sebagai roh. Kedua manifestasi itu adalah Rumah Allah, yang dipenuhinya dan di mana Ia hadir,“22 tulis Hegel dalam Filsafat Alam-nya.

Untuk kepentingan tulisan ini, kita memberi perhatian hanya pada momen besar Filsafat Roh, di mana momen agama dan filsafat, yang menjadi tema tulisan ini, termasuk. Sebagaimana kedua momen besar lainnya, momen Filsafat Roh juga dibagi ke dalam momen-momen yang lebih kecil yang bersifat triadik (dialektis), yakni Roh Subjektif, Roh Objektif dan Roh Absolut. Roh Subjektif dibagi lagi ke dalam momen antropologi, kesadaran dan psikologi. Roh Objektif dibagi menjadi hukum, moralitas dan tatanan sosial etis (Sittlichkeit) — tatanan sosial etis terbagi lagi ke dalam keluarga, masyarakat sipil (bürgerliche Gesellschaft) dan negara. Sementara Roh Absolut dibagi ke dalam seni, agama dan filsafat. Alasan pemberian identitas subjektif, objektif dan absolut terhadap Roh dalam momen ini dapat dilihat dari tema-tema yang dibahas pada momen-momen dimaksud. Tema-tema antropologi, kesadaran dan psikologi menyangkut dimensi-dimensi subjektif manusia, sementara hukum, moralitas dan tatanan sosial etis adalah Roh yang telah terobjektivasi dalam realitas sosial empiris. Seni, agama dan filsafat adalah momen-momen yang muncul berdasarkan relasi dialektis dengan dua momen sebelumnya; artinya, seni, filsafat dan agama tidak lagi berada pada level subjektif atau objektif, melainkan absolut karena mereka hadir sebagai sintesa atau respons atas apa yang terdapat dalam realitas objektif sebelumnya.

20 TW 20, hal. 460.

21 Roh adalah “der schlafender Geist,” kata Hegel dalam TW 7, Paragraf 258 (Tambahan), 22 TW 9, hal.23.

(7)

7

Karena Roh atau Allah adalah „isi“ dari keseluruhan momen dalam sistem tersebut, maka, sekalipun puncak realisasi diri Roh itu terdapat dalam dan melalui filsafat, Roh selalu bisa dikenali pada setiap momen dalam sistem itu, karena setiap momen itu tidak lain dari manifestasi dari Roh. Yang berbeda dalam pengenalan akan Roh pada masing-masing momen itu adalah bentuk pengetahuan mengenai Roh itu sendiri. Semakin momen itu dekat ke momen filsafat dalam sistem filsafat Hegel maka semakin konkret pula pengenalan akan Roh. Jadi bisa dikatakan bahwa proses perkembangan dialektis momen-momen tersebut juga sekaligus merupakan proses pengetahuan yang semakin konkret mengenai Roh, atau, jika dilihat dari sisi Roh itu sendiri, proses konkretisasi Roh itu sendiri. Karena itu, seperti dikutip di atas, isi dan tujuan seni, agama dan filsafat (dan juga sebenarnya dengan semua momen dalam sistem itu) adalah sama, yakni Roh itu sendiri dan realisasi dirinya. Dalam Filsafat Agama-nya, Hegel mengatakan, “objek agama dan filsafat adalah kebenaran abadi dalam objektivitasnya, Tuhan dan tidak lain dari Tuhan, dan eksplikasi Tuhan.”23 Bidang ilmu pengetahuan (Wissenschaft) yang berbeda-beda itu hanyalah cara-cara yang berbeda dalam memahami eksplikasi-diri Roh.

Berdasarkan konsepsi sistem filsafat sebagaimana diuraikan di atas, Hegel kemudian dapat mengklaim bahwa filsafat dan agama, dan juga seni, adalah sama karena ketiganya menyangkut isi atau tema yang satu dan sama, yakni Tuhan atau yang Absolut yang sedang merealisasikan dirinya.24 “Objek agama, sebagaimana filsafat, adalah kebenaran abadi dalam objektivitasnya, Tuhan dan tidak lain dari Tuhan, dan eksplikasi Tuhan. Filsafat bukanlah sebuah kebijaksanaan mengenai dunia, melainkan pengetahuan mengenai apa yang bukan mengenai dunia. Filsafat adalah ... pengetahuan mengenai yang abadi, mengenai apa sesungguhnya Tuhan itu, dan apa yang mengalir keluar dari hakikat-Nya.... Karena hakikat ini harus menyingkapkan dirinya dan mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, filsafat mengeksplisitkan dirinya hanya bila ia mengeksplisitkan agama, dan dalam mengeksplisitkan dirinya ia mengeksplisitkan agama.”25

Filsafat, dengan demikian, sesuai dengan hakikatnya, adalah diskursus atau logos mengenai teos. Filsafat adalah teologi, karena ia, sama dengan teologi, juga menyibukkan diri dengan

23 TW 16, hal. 28. 24 TW 2, hal. 96. 25 TW 16, hal. 28.

(8)

8

Tuhan. „Studi esoteris mengenai Tuhan dan identitasnya (maksudnya: identitas antara Tuhan dengan hasil negasi dirinya itu – FKS) sebagai pengetahuan dan konsep, itulah filsafat itu sendiri.“26 Ini sesuai dengan tujuan dan tugas filsafat, yakni, menurut Hegel, untuk mengkonstruksi yang Absolut dalam kesadaran, dengan cara -- sebagaimana telah kita lihat sepintas di atas -- mensintesakan secara dialektis proses-proses yang ditempuh yang Absolut itu dalam merealisasikan dirinya. „Filsafat tidak memiliki tujuan lain, kecuali untuk mengetahui Tuhan secara rasional.“27 Karena itu, “agama dan filsafat adalah satu. Pada dasarnya, filsafat itu sendiri adalah ibadah kepada Tuhan (Gottesdienst), ia adalah agama, karena filsafat berarti penolakan konsepsi-konsepsi subjektif dan opini dalam penyibukan diri mengenai Tuhan.”28 Berfilsafat sama dengan beribadah, karena keduanya adalah kegiatan di mana manusia menghubungkan diri atau menyatu dengan Allah. Dalam beribadah atau berfilsafat, “dualisme” antara Roh dan dunia diatasi, manusia “melepaskan diri” dari yang temporal, lalu bertemu dengan yang kekal. Dalam arti ini, berfilsafat dalam konsepsi Hegel sama dengan berdoa dalam konsepsi Anselmus karena kedua kegiatan tersebut merupakan

ascensio mentis in Deum (menaik untuk menyatu dengan Allah).29 Tentu, sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, perbedaan kedua kegiatan yang sama-sama menyibukkan diri dengan Tuhan ini tidak boleh diabaikan.

Karena Tuhan adalah objek sekaligus subjek pada masing-masing momen dalam sistem tersebut maka, dalam konsepsi Hegel, Tuhan dapat dipahami dan didefinisikan dengan berbagai cara. Barangkali Hegel-lah satu-satunya filsuf yang memiliki paling banyak definisi mengenai Tuhan. Dalam karya-karya filsuf ini kita dengan mudah menemukan berbagai definisi mengenai Tuhan. Tuhan itu didefinisikan antara lain sebagai „Yang Absolut“30, sebagai „Kebenaran“31 atau „inti hakikat Kebenaran“32 dan juga „Cinta“.33 Tuhan juga adalah

26 TW 10, Paragraf 573.

27 TW 11, hal. 241. 28 TW 16, hal. 28.

29 Quentin Lauer, Essays in Hegelian Dialectic, Fordham University Press, New York, 1977, hal. 150. 30 TW 16, hal. 32-33: „Apa yang kita sebut sebagai yang Absolut, itu sama dengan Tuhan.“

31 TW 11, Berliner Schriften, hal. 330.

32 TW 11, hal. 383. Hegel menulis: „Mengetahui dunia tidak lain dari mengetahui kebenaran dunia, dan kebenaran ini adalah Tuhan.“

33 Sesuai dengan konsep kesadaran-diri, yakni kesadaran akan yang-lain sebagai diri sendiri dalam bentuk yang lain, maka Hegel mendefisinikan Cinta sebagai „kesadaran mengenai kesatuan saya dengan sesuatu yang lain,“ dalam TW 7, Paragraf 158 Tambahan.

(9)

9

„Konsep“34, juga „Ide,“35 „Roh“36 dan „Subjek“37. Akhirnya Tuhan juga dapat dipahami sebagai „Roh Absolut“38, sebagai „kenyataan Absolut,“39 atau sebagai „Kesadaran-diri“.40 Konseptualisasi Tuhan sebagai Kebenaran itu tidak boleh dipahami hanya sebagai wujud dari karakter teologis sistem filsafat Hegel. Bagi filsuf ini, Tuhan adalah bentuk tertinggi dan hakikat dari kebenaran. Atas dasar itulah maka ia mengawali bukunya Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Pengetahuan Filosofis dengan pernyataan: „Filsafat memang memiliki objek yang sama dengan agama. Objek keduanya adalah kebenaran dalam arti yang paling sempurna – yakni bahwa Tuhan adalah kebenaran dan satu-satunya kebenaran.“41

III. Konsep Dialektika Hegel

Pemaparan secara singkat sistem filsafat Hegel di atas sedikit banyak telah memberi gambaran mengenai apa itu dialektika dalam konsepsi Hegel. Yang Absolut atau Allah berhubungan dengan keseluruhan kenyataan ini secara dialektis. Artinya adalah karena seluruh kenyataan ini adalah hasil realisasi-diri atau manifestasi-diri atau multiplikasi-diri (dalam bahasa teologi: ciptaan) dari Roh Absolut/Allah, maka seluruh kenyataan ini identik sekaligus berbeda dari Roh itu sendiri. Apa maksudnya?

Seluruh kenyataan ini identik dengan Roh karena kenyataan ini tidak lain dari hasil manifestasi-diri Roh; kenyataan ini pada hakikatnya adalah Roh itu sendiri, namun dalam bentuk yang lain, yakni dalam bentuk yang material atau terbatas. Roh itu sendiri immaterial dan tidak terbatas, namun ia membuat diri-Nya menjadi material dan terbatas. Itulah alam semesta dan segala isinya. Itu berarti, Roh terdapat juga dalam kenyataan ini justru karena kenyataan ini adalah hasil realisasi dirinya, seluruh kenyataan ini adalah Roh dalam bentuk yang-lain; karena itu, esensi kenyataan ini justru adalah Roh itu sendiri. Jadi, Allah atau Roh

34 TW 16, hal.32. 35 TW 16, hal. 32.

36 TW 16, hal. 52: „Menurut konsep filosofisnya, Tuhan itu adalah Roh.“ Pada bagian lain, Hegel menulis: „Yang Absolut itu adalah Roh; inilah definisi tertinggi dari Yang Absolut,” dalam TW 10, Paragraf 384, hal. 29.

37 TW 17, hal. 14, passim. 38 TW 16, hal. 33.

39 TW 16, hal. 190: “Satu-satunya kenyataan absolut hanyalah Tuhan.”

40 TW 17, hal. 187. „Gott ist Selbstbewusstsein.“ Tuhan itu dapat didefinisikan sebagai Kesadaran- diri karena ia menyadari bahwa yang lain itu, yakni hasil negasi dirinya (alam dan segala isinya) adalah dirinya dalam bentuk yang lain, atau adalah Tuhan dalam bentuk yang indrawi atau terbatas. Kesadaran ini disebut kesadaran diri. Tuhan menjadikan dirinya sebagai objek bagi dirinya sendiri, dan menyadari objek ini sebagai dirinya juga.

(10)

10

yang tidak terbatas itu membuat dirinya, memultiplikasi dirinya menjadi yang-terbatas. Namun, sekaligus dengan itu, harus juga dikatakan bahwa kenyataan ini juga berbeda dari Roh justru karena kenyataan ini adalah hasil manifestasi dirinya. Kenyataan ini bukanlah Roh itu sendiri; Roh dan kenyataan ini berbeda, karena Roh itu tidak-terbatas sementara kenyataan ini terbatas; Roh itu immaterial sementara kenyataan ini material. Itu berarti, kenyataan ini berbeda dari Roh. Roh itu adalah Roh, kenyataan ini kenyataan ini. Roh dan kenyataan ini adalah dua hal yang berbeda.

Lalu mana yang benar? Apakah Roh itu identik dengan kenyataan ini atau berbeda dari kenyataan ini? Pandangan ilmiah tentu akan memilih salah satu, yakni bahwa Roh dan kenyataan ini berbeda. Karena, secara logis-ilmiah, tidak mungkin Roh dan kenyataan ini identik, atau identik sekaligus berbeda. Mengatakan Roh dan kenyataan ini identik, tentu tidak masuk akal karena keduanya jelas berbeda. Tapi mengatakan bahwa Roh dan kenyataan ini identik sekaligus berbeda tentu akan lebih tidak masuk akal lagi karena itu sebuah kontradiksi. Dalam pandangan ilmiah, tidak mungkin dua hal identik sekaligus berbeda, atau tidak mungkin dua hal yang beroposisi menyatu.

Namun tidak demikian halnya dengan metode dialektika. Dalam metode dialektika, yang benar adalah kedua-duanya: Roh dan keseluruhan kenyataan ini identik sekaligus berbeda, dengan alasan sebagaimana dijelaskan di atas. Dan justru di sinilah letak kekhasan dialektika Hegel yang membedakannya dari para filsuf lain, misalnya Plato yang juga menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat.42

Dialektika43 adalah sebuah metode berpikir yang melihat segala sesuatu, pada dirinya sendiri, kontradiktif;44 artinya bahwa segala sesuatu, entah itu sesuatu yang abstrak (misalnya sebuah konsep) atau yang konkrit (misalnya buku di atas meja ini) terdiri dari unsur-unsur atau momen-momen yang bertentangan satu sama lain. Di sini kita akan melihat bahwa dialektika

42 Plato memahami dan mempraktikkan dialektika sebagai seni diskursus rasional, yakni sebua metode berfilsafat untuk menemukan kebenaran yang bersifat umum (definisi) mengenai sesuatu dengan cara melakukan tanya jawab (dialog).

43 Terminologi dialektika (Yunani: he dialektike) berasal dari kata kerja bahasa Yunani: dialegein yang harafiah berarti „dengan cara/lewat berbicara“ (dia = lewat/melalui, legein: berbicara). Dari kata ini kemudian diturunkan kata dialog, percakapan atau bercakap-cakap (dialegesthai).

(11)

11

bukanlah sekadar proses tanya-jawab atau proses saling menanggapi, sebagaimana sering dipahami.

Dalam metode dialektika, apa yang dihindari atau diharamkan dalam metode ilmiah, yakni kontradiksi atau pertentangan, justru dijadikan/diterima sebagai hakikat dari segala sesuatu. Prinsip utama dialektika mengatakan: „segala sesuatu itu pada dirinya sendiri kontradiktif,“ sementara prinsip ilmu pengetahuan mengatakan clara et distincta (kejelasan dan keterpilah-pilahan). Artinya adalah bahwa objek yang hendak diteliti atau dipikirkan itu harus jelas dan terpilah-pilah dalam persepsi subjek. Konsep-konsep harus jelas dan spesifik, dapat dimengerti dari dirinya sendiri dan tidak tercampur dengan konsep-konsep lain. Prinsip kejelasan dan keterpilah-pilahan dimaksudkan untuk menghindari kontradiksi. Kontradiksi adalah tanda ketidakilmiahan. Metode dialektika justru sebaliknya: segala sesuatu, ya segala hal, selalu terdiri dari momen-momen atau elemen-elemen yang bertentangan; jadi segala sesuatu itu terdiri positivitas dan negativitas, terdiri dari keterbatasan dan ketidakterbatasan, terdiri dari ada dan tidak-ada, dan seterusnya, terdiri dari imanensi dan transendensi. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Pertanyaan ini membawa kita ke jantung persoalan dialektika.

III. a. Prinsip Kontradiksi

Sebut saja konsep “merah” sebagai contoh. Merah itu, pada dirinya sendiri, tentu positif karena ia ada secara objektif, ia bukan tidak-ada. Merah di sini sama dengan seluruh benda atau konsep lain yang kita temui dalam kenyataan ini. Namun, apa yang terkandung dalam konsep merah tersebut? Bagaimana “kemerahan” merah itu mungkin sehingga ia dapat hadir secara positif sebagai sesuatu?

Mari kita meneliti kemerahan merah itu. Sesuatu itu disebut merah, atau sesuatu itu dapat hadir sebagai merah, sejauh semua warna lain yang bukan-merah tidak ada padanya. Seandainya dalam merah itu ada warna lain, misalnya biru, maka ia tentu tidak disebut lagi merah, melainkan ungu. Jadi merah dapat menjadi merah karena semua warna lain yang bukan merah tidak ada pada merah. Apa artinya ini? Itu berarti, merah hanya bisa hadir secara positif sebagai merah hanya kalau ia menegasi semua warna lain yang bukan merah:

(12)

12

omnis determinatio est negatio setiap determinasi adalah negasi, kata filsuf Spinoza.45

Menegasi di sini dapat dipahami menolak semua warna lain yang bukan-merah. Hanya berkat negasi atas semua warna lain yang bukan-merah itulah maka merah dapat eksis sebagai merah. Itu berarti semua warna lain yang bukan-merah secara konseptual turut menentukan kemerahan dari merah. Dengan cara apa? Yakni dengan cara tidak ada atau tidak hadir pada merah. Dengan kata lain, semua yang bukan-merah terdapat pada warna merah, tapi secara negatif. Maksudnya adalah merah dapat eksis sebagai merah hanya kalau mereka (semua warna lain yang bukan-merah itu) tidak hadir pada merah. Semua yang lain itu mendeterminasi merah sebagai merah dengan cara tidak hadir pada merah. Dan karena semua warna lain itu melakukan determinasi sehingga merah dapat menjadi merah, itu berarti secara konseptual semua warna lain itu terdapat pada merah karena mereka turut mengkonstitusukan kemerahan dari warna merah. Tapi karena determinasi itu dilakukan oleh semua warna lain itu dengan cara tidak hadir atau tidak ada pada merah, maka itu berarti semua yang lain itu tidak terdapat pada merah. Merah tidak identik dengan yang bukan-merah. Kesimpulannya, semua yang bukan-merah ada sekaligus tidak ada pada bukan-merah. Semua yang bukan-merah tidak ada pada merah, karena itu merah dapat tampak sebagai merah. Tapi sekaligus semua yang merah ada pada merah, karena semua yang bukan-merah itulah yang memungkinkan bukan-merah sebagai bukan-merah. Semua yang bukan-bukan-merah ada pada merah dengan cara tidak ada, atau semua yang bukan-merah tidak hadir pada merah dengan cara hadir.

Inilah cara berpikir dialektika: kontradiksi. Inilah yang dimaksud dengan dengan kalimat „semua hal pada dirinya sendiri adalah kontradiktif.“46 Dan kontradiksi inilah motor dialektika. Tentu konsep merah di sini bisa diganti dengan konsep apa saja. Logika kontradiksi di sini sama dengan logika mengenai status kenyataan empiris di atas, yakni bahwa alam semesta ini adalah Roh tapi sekaligus bukan-Roh.

45 Bila kita mendeterminasi sesuatu, maka sekaligus kita telah menegasi semua yang lain di luar sesuatu yang dinegasi itu. Bila seorang gadis mendeterminasi (memilih) seorang pemuda menjadi suaminya, maka sekaligus dengan itu ia telah menegasi semua pemuda lainnya (untuk menjadi suaminya). Selama si gadis belum melakukan determinasi, maka dia tidak menegasi siapapun, karena itu, setiap determinasi adalah negasi.

(13)

13

Mari kita lihat lebih lanjut apa yang terkandung dalam konsep merah. Merah itu, sebagai sesuatu (artinya: sebagai sebuah kategori warna), positif. Ia ada. Namun, karena kemerahannya sebagai merah terdefinisikan melalui negasi yang dilakukannya pada semua yang bukan-merah, maka ini membuktikan bahwa pada merah itu juga sekaligus terdapat yang negatif. Yang negatif itu tidak lain dari ketiadaan atau ketidakhadiran semua yang bukan-merah itu pada merah. Dan justru ketiadaan (semua yang bukan-merah) inilah maka merah mungkin sebagai merah. Kalau yang bukan-merah hadir pada merah, maka merah berhenti sebagai merah. Jadi, dalam yang merah, secara konseptual, terdapat semua yang bukan-merah. Karena itu, di dalam yang positif (dalam hal ini: merah) ada juga sekaligus yang negatif. Dan justru yang negatif itulah yang memungkinkan positif itu menjadi positif. Yang negatif, dengan demikian, terdapat pada yang positif. Dengan kata lain, dalam konsep mengenai yang positif terdapat yang negatif; yang negatif termasuk ke dalam „isi“ dari yang positif, dan sebaliknya. Karena itu “yang positif dan negatif adalah sama.”47 Kembali di sini kita menemukan prinsip kontradiksi yang merupakan roh dialektika. 48

Dengan logika yang sama, kita juga dapat mengatakan bahwa karena semua yang bukan-merah turut menentukan kebukan-merahan dari bukan-merah (itu berarti: semua yang bukan-bukan-merah hadir pada merah), tapi dengan cara tidak hadir pada merah (sebab kalau mereka hadir maka merah berhenti menjadi merah), maka kehadiran dan ketidakhadiran adalah sama.

III.b. Relasi negatif

Sebagaimana telah dicontohkan di atas, maka kontradiksi memperlihatkan bahwa segala sesuatu adalah kesatuan dialektis antara hal-hal yang beroposisi: antara positivitas dan negativitas, imanensi dan transendensi, kehadiran dan ketidakhadiran, keterbatasan dan ketidakterbatasan, kebebasan dan ketidakbebasan, dan seterusnya. Positivitas adalah keberadaan sesuatu itu pada dirinya sendiri, sementara negativitas adalah negasi yang dilakukan sesuatu itu atas segala sesuatu yang lain, dan dengan demikian sesuatu itu dapat mendeterminasi dirinya sebagai sesuatu. Kedua prinsip ini saling mengandaikan. Relasi

47 “Das Positive und Negative ist dasselbe,” dalam WL II, hal. 55.

48 Hegel mengawali Ilmu Logika-nya dengan pemaparan dialektis mengenai konsep Ada (Sein) dan Ketiadaan (Nichts). Ilmu pengetahuan atau akal sehat kita tentu melihat kedua konsep ini berbeda. Namun Hegel berargumentasi bahwa Ada hanya bermakna dalam relasinya dengan Ketiadaan, dan sebaliknya. Itu berarti Ketiadaan turut mendeterminasi Ada sehingga Ada itu mungkin sebagai Ada. Ketiadaan dengan demikian juga terdapat pada Ada. Ketiadaan termasuk dalam konsep Ada, dan sebaliknya. Karena itu, „Ada dan Ketiadaan itu adalah sama,“ WL I, hal. 72.

(14)

14

negativitas adalah relasi sesuatu dengan semua yang lain. Dan positivitas hanya mungkin melalui relasi tersebut; merah hanya mungkin sebagai merah karena relasinya dengan semua yang bukan-merah.

Ini memperlihatkan bahwa menurut metode dialektika (sebagaimana pada contoh merah di atas) segala sesuatu berelasi dengan semua yang lain secara esensial (Wesenbeziehung); keberadaan sesuatu itu justru mungkin melalui relasinya dengan semua yang lain itu. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun yang terisolasi pada dirinya sendiri. Segala sesuatu telah selalu dalam relasi tidak-terhingga dengan segala sesuatu lain yang merupakan negasinya. Segala sesuatu memperoleh identitasnya berdasarkan rangkaian relasi negatif tak terhingga dengan segala sesuatu yang lain.49 Diungkapkan dalam kategori negatif – positif: yang positif bukanlah sebuah identitas yang tertutup pada dirinya sendiri, melainkan, identitas itu terbangun dalam oposisinya dengan yang negatif, vice versa. Dan yang positif mempunyai makna sebagai yang positif hanya dalam hubungannya dengan yang negatif. Karena itu, yang positif adalah yang tidak-negatif, artinya, yang negatif secara esensial turut menentukan yang positif. Dengan kata lain, yang negatif terdapat di dalam yang positif. Kesimpulannya: yang positif dan negatif adalah sama/identik.

Diterapkan pada konsepsi dialektis mengenai Roh, maka segala sesuatu dalam alam semesta ini berelasi secara esensial dengan Allah justru karena segala sesuatu adalah hasil determinasi diri dari Allah. Relasi esensial di sini bukan relasi eksternal, melainkan relasi internal. Artinya, adalah bahwa sesuatu itu ada, sesuatu itu dapat hadir secara positif, justru karena relasinya dengan semua yang lain; relasi negatifnya dengan semua yang lain itulah yang memungkinkan keberadaan dari sesuatu tersebut. Itu yang dimaksud dengan relasi internal.

III.c. Identitas dalam perbedaan

Hingga di sini kita sudah berbicara mengenai identitas dari dua hal yang berbeda. Yang negatif dan yang positif itu sama. Ada dan ketiadaan itu sama. Kehadiran dan ketidak-hadiran

49 Bila logika ini diteruskan maka kita akan tiba pada diktum terkenal Hegel yakni bahwa „yang benar adalah yang keseluruhan“, das Ganze ist das Wahre. Artinya, pandangan yang benar atas sesuatu adalah dengan memahaminya dalam sebuah totalitas. Dan totalitas yang paling sempurna tidak lain dari Allah sendiri.

(15)

15

sama. Merah dan semua yang bukan-merah sama. Pernyataan-pernyataan kontradiktif seperti ini merupakan syarat-syarat operasionalisasi metode dialektika.

Kita bertanya lagi: apa artinya kalau dikatakan bahwa yang negatif dan yang positif itu sama, atau kalau dikatakan bahwa ada dan ketiadaan itu sama? Menurut metode dialektika, pernyataan itu berarti bahwa yang negatif dan yang positif itu berbeda. Memang, dengan akal sehat atau menurut penalaran ilmu pengetahuan, ada dan ketiadaan itu jelas berbeda, atau negatif dan positif itu berbeda. Itu sudah jelas dengan sendirinya. Tapi metode dialektika mengajukan argumentasi lain di sini. Kalau dikatakan bahwa yang negatif dan positif adalah sama/identik, maka menurut metode dialektika, itu sudah sekaligus membuktikan bahwa yang negatif dan positif itu berbeda. Mengapa? Karena konsep identitas itu sudah selalu mengandaikan perbedaan. Dalam konsep identitas sudah terkandung dua hal yang berbeda. Sebab hanya terhadap dua hal yang berbedalah konsep identitas/identik/kesamaan bisa diterapkan. Kalau yang ada hanya satu hal, satu konsep misalnya, maka tidak mungkin kita mengatributkan status identik terhadap konsep tersebut. Identik dengan apa? Atau identik terhadap apa? Jadi, kalau dikatakan bahwa yang negatif dan yang positif itu identik, itu sekaligus telah memperlihatkan bahwa yang negatif dan yang positif itu berbeda.

Itu berarti, identitas mengandaikan perbedaan, vice versa: perbedaan mengandaikan identitas. Menurut metode dialektika, tidak ada sesuatu apapun yang berbeda secara total/absolut dari yang lain. Mengapa demikian? Kalau dikatakan dua hal itu berbeda, maka mesti ada sesuatu yang berfungsi sebagai dasar di atas mana perbedaan itu ditegaskan.50 Kita mengatakan pulpen dan kuda itu berbeda. Itu jelas. Tapi bisa juga dikatakan bahwa pulpen dan kuda itu sama, yakni sama-sama sesuatu, atau sama-sama bersifat indrawi. Tapi kalau kita mengatakan bahwa pulpen dan kuda itu berbeda, bukankah secara logis mesti ada dasar atau identitas (antara pulpen dan kuda) yang menjadi basis bagi perbedaan itu? Dasar atau identitas itulah yang memungkinkan kita menyatakan perbedaan antara pulpen dan kuda. Jadi identitas mengandaikan perbedaan (karena terhadap dua hal yang berbedalah kita bisa menerapkan konsep identitas), sementara perbedaan mengandaikan identitas (karena perbedaan hanya bisa diterapkan kepada dua hal yang memiliki identitas sebagai dasar di atas mana perbedaan itu dinyatakan).

(16)

16

Dengan ini kita tiba kembali kepada salah satu prinsip penting dialektika, yakni „identitas dalam perbedaan“ (identity in difference). Dalam bahasa Hegel: identitas antara identitas dan non-identitas (Identität der Identität und Nicht-identität).51 Ini juga merupakan salah satu definisi dari yang Absolut atau Allah. „Yang Absolut itu sendiri adalah identitas antara identitas dan non-identitas. Oposisi dan kesatuan sekaligus terdapat padanya,“ demikian Hegel. Maksudnya, kalau konsep Allah mau dipahami secara dialektis, maka Ia harus dipahami sebagai kesatuan dialektis antara Ia sendiri (Allah) dan hasil determinasi dirinya, yakni keseluruhan kenyataan ini yang tidak lain dari oposisinya. Keselurunan kenyataan yang merupakan hasil determinasi diri Allah itu tentu tidak identik/berbeda dari Allah, tapi karena kenyataan itu adalah hasil determinasi dirinya (= ciptaan-Nya) maka sekalipun Allah berbeda dari hasil determinasi dirinya itu, Ia juga identik dengannya karena Ia ada/hadir dalam ciptaan-Nya. Karena itu Allah adalah Allah plus hasil determinasi diri/oposisinya atau dalam formulasi dialektika Hegel: Allah adalah Identitas antara Identitas dengan Non-Identitas (kenyataan), atau identitas antara identitas dan perbedaan atau identity in difference.

IV. Allah dan Trinitas

Pada bagian kedua, kita telah melihat garis besar sistem filsafat Hegel. Filsuf ini memahami bahwa keseluruhan kenyataan ini adalah hasil manifestasi diri Roh Absolut. Sebagai hasil manifestasi, maka Allah identik sekaligus berbeda dari kenyataan ini. Ia identik dengan kenyataan ini karena kenyataan ini adalah diri Allah dalam bentuk yang lain, yakni dalam bentuk yang material dan terbatas. Artinya, hakikat kenyataan ini sesungguhnya adalah Allah, karena kenyataan ini ada sebagai hasil determinasi dirinya. Kalau kita bertanya, ada apa di balik kenyataan ini, atau apa yang menyatakan diri di balik atau melalui kenyataan ini, maka jawabannya, menurut Hegel, adalah Allah sendiri. Tanpa adanya Allah maka kenyataan ini tidak ada. Kenyataan ini tidak lain dari Allah sendiri, tapi Allah dalam bantuk yang lain. Karena itu, Hegel menulis „Mengetahui dunia tidak lain dari mengetahui kebenaran dunia, dan kebenaran ini adalah Tuhan.“52 Tapi Allah juga berbeda dari kenyataan ini justru karena kenyataan ini adalah hasil determinasi dirinya; kenyataan ini adalah diri Allah dalam bentuk yang lain, atau dalam bentuk yang bukan-Allah. Fakta bahwa Allah dan kenyataan ini

51 TW 5, WL I, hal. 74. 52 TW 11, hal. 383.

(17)

17

beroposisi sudah memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah dan kenyataan ini berbeda. Allah itu non-material, ia juga tidak terbatas, sementara kenyataan ini material dan terbatas. Karena itu Allah dan kenyataan ini jelas berbeda.

Apa yang diungkapkan Hegel melalui sistem filsafat yang berpusat pada Allah di atas tidak lain dari narasi Penciptaan (Creation) sebagaimana terdapat dalam Kitab Kejadian. Determinasi diri itu adalah kreasi dunia dan segala isinya oleh Allah. Dan karena sifatnya determinasi-diri, maka Allah tidak membutuhkan bahan atau material lain. Allah mendeterminasi dirinya, maka jadilah dunia. Penciptaan itu berlangsung dari dirinya sendiri, tanpa bahan baku, dan oleh karena itu, dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Dalam bahasa filsafat, determinasi-diri itu juga bisa dikatakan sebagai diferensiasi-diri, atau multiplikasi-diri. Allah membuat dirinya menjadi yang lain, membedakan dirinya dari dirinya (self-differentiation).

IV.a. Beberapa atribut Allah

Konseptualisasi yang diuraikan di atas membawa kita kepada konsep-konsep penting yang merupakan atribut Allah. Di sini saya hanya akan menjelaskan beberapa: yakni kebebasan (Freedom), kasih (Liebe), kemahakuasaan atau kemahabesaran, bahwa Allah adalah subjek atau pribadi yang hidup. Bagaimana Hegel menjelaskan atribut-atribut ini secara konseptual dialektis?

Sering dikatakan bahwa Allah itu bebas dan maha besar. Bebas artinya otonom, mengatur dirinya sendiri, tidak diatur atau ditentukan atau dideterminasi oleh yang lain. Orang yang bebas adalah orang yang dapat mendeterminasi dirinya sendiri. Orang yang tidak bebas adalah orang yang dideterminasi oleh yang lain. Nah, sebagaimana telah kita lihat, keseluruhan kenyataan ini adalah hasil determinasi-diri Allah. Itu berarti bahwa keseluruhan kenyataan ini adalah buah atau hasil kebebasan Allah. Jadi, sekalipun alam semesta ini material dan terbatas, sementara Allah itu non-material dan tidak terbatas, tidak bisa dikatakan bahwa alam semesta ini membatasi Allah, sebab (sebagaimana telah dijelaskan di atas), alam semesta ini adalah hasil determinasi-diri (kebebasan) Allah; alam semesta ini adalah Allah dalam bentuk yang lain. Dengan demikian, determinasi-diri di sini berarti: Allah yang tidak-terbatas membuat atau mendeterminasi dirinya menjadi yang-terbatas; ia

(18)

18

membatasi-dirinya, dan itulah alam semesta. Jadi, sekalipun alam semesta yang material dan terbatas ini beroposisi terhadap Allah yang non-material dan tidak-terbatas, keduanya juga berada dalam sebuah relasi identitas, karena dalam alam semesta ada Allah, dalam Allah ada alam semesta (identity in difference).

Jadi, ketidakterbatasan (Allah) di sini bukan berarti bahwa Allah itu sesuatu yang sama sekali bebas tanpa batas (limitless), melainkan identitas atau kesatuan dari ketidakterbatasan (Allah) dan keterbatasan (alam semesta). Artinya, Allah sebagai ketidakterbatasan atau kebebasan tidak melihat alam semesta ini sebagai pembatas bagi kebebasan atau ketidakterbatasannya, melainkan melihatnya sebagai hasil kebebasaannya dalam arti determinasi-dirinya. Jadi, segala yang kita temui dalam alam semesta ini, semua yang terbatas, itu semua bukanlah menjadi pembatas bagi kebebasan atau kemahakuasaan Allah, melainkan sebagai hasil pembatasan atau determinasi-diri Allah. Allah yang tidak terbatas membuat/mendeterminasi dirinya menjadi yang terbatas, dan itu berarti, semua yang terbatas itu termasuk ke dalam Allah.53 Bila semua yang terbatas dalam alam semesta ini tidak termasuk ke dalam Allah, itu berarti semua yang terbatas itu membatasi Allah, dan kalau demikian, maka Allah tidak lagi bebas dan tidak lagi maha besar. Kesimpulan: Allah harus dipahami sebagai kesatuan antara ketidakterbatasan (Allah) dan keterbatasan (alam semesta).

Dengan demikian, hubungan antara yang-terbatas (alam sesmesta) dengan yang tidak-terbatas (Allah) bukanlah saling mengeksklusi atau beroposisi — sebagaimana menurut akal sehat — melainkan saling-mencakup (Ineinandergreifen). Keduanya identik sekaligus berbeda. Allah itu terbatas sekaligus tidak terbatas. Semua yang terbatas adalah dirinya, hasil pembatasan dirinya, dan karena itu, semua yang terbatas termasuk ke dalam diri Allah. “Dalam mengatakan apa itu yang tidak-terbatas, yakni sebagai negasi dari yang terbatas, maka yang terbatas itu telah sekaligus tercakup dalam apa yang dikatakan.”54 Kalau mau dirumuskan dalam sebuah definisi maka menjadi demikian: ketidakterbatasan bukanlah sesuatu yang sangat, sangat, sangat besar dan tanpa limit, melainkan kesatuan dialektis dari keterbatasan dan ketidakterbatasan. Tuhan sebagai ketidakterbatasan juga harus dipahami demikian. Ia

53 Filsafat Ketuhanan Hegel dengan demikian bukanlah panteisme (segala-galanya adalah Allah), melainkan Panentheisme (segala-dalanya termasuk ke dalam Allah). Panentheisme adalah istilah yang dibentuk oleh filsuf Jerman, K.F.C. Krause (1781-1832) untuk menggambarkan sistem filsafatnya, sekalipun memang gagasan serupa telah terdapat dalam kitab-kitab kuno seperti Veda.

(19)

19

membuat dirinya menjadi terbatas, dan dengan demikian, keterbatasan itu terkandung padanya. Kalau kita memahami Tuhan sebagai ketidakterbatasan maka secara logis yang terbatas harus termasuk secara konseptual pada dirinya, sebab bila dalam dirinya tidak terkandung yang terbatas, maka Tuhan dibatasi oleh benda-benda terbatas yang secara faktual ada di dunia ini, dan itu menyebabkan Tuhan tidak lagi tidak-terbatas.

Dengan demikian, yang terbatas harus dilihat sebagai realisasi atau hasil determinasi dari yang terbatas. Yang tidak-terbatas itu ada/hadir/eksis sebagai yang terbatas. Dalam bahasa Hegel: “yang tidak-terbatas yang dibatasi” (Ein verendlichtes Undendliches) atau “yang-terbatas yang menjadi tidak-“yang-terbatas” (Das verunendlichte Endliche).55 Yang terbatas (alam semesta) adalah realitas atau determinasi diri dari yang terbatas, sedangkan yang tidak-terbatas adalah idealitas dari yang tidak-terbatas. Dalam kuliah-kuliahnya mengenai Bukti-Bukti Tentang Eksistensi Tuhan, Hegel menyatakan: “Adanya yang terbatas bukan hanya Ada-nya sendiri, melainkan Adanya yang lain daripadanya, yakni Adanya yang tidak-terbatas.”56 Dengan metode dialektika kita dapat melihat yang tidak terbatas dalam yang terbatas.

Relasi tersebut mengimplikasikan bahwa yang terbatas (alam semesta) bukanlah “ada yang sesungguhnya” (das wahre Sein, the true being).57 Yang terbatas adalah realitas dari yang tidak-terbatas, sementara yang tidak terbatas adalah idealitas dari yang terbatas. Yang terbatas itu, justru karena terbatas, maka ia fana, berubah-ubah dan negatif; terbatas berarti dibatasi (dalam bahasa Hegel: dinegasi) oleh yang lain. Sebagaimana diuraikan di atas, yang terbatas itu adalah manifestasi dari yang tidak terbatas. Dengan demikian, esensi dari hal-hal yang terbatas adalah yang terbatas. Keberadaan yang terbatas ditopang oleh yang tidak-terbatas yang berada di “baliknya”. Yang tidak-terbatas itu tidak berdiri sendiri, ia disebabkan oleh yang lain, atau dalam bahasa metafisika, ia kontingen. Tapi yang tidak-terbatas itu tidak terlihat; ia justru memperlihatkan diri melalui dan dalam yang-terbatas (alam semesta). Allah menyatakan diri melalui alam semesta yang terbatas.

55 TW 5, hal. 159. Keseluruhan problematika ini dipaparkan Hegel dalam kategori Saling Determinasi antara yang Terbatas dan Tidak Terbatas (Wechselbestimmung des Endlichen und Unendlichen) dalam TW 5, hal. 151.

56 “Das Sein des Endlichen ist nicht sein eigenes Sein, sondern vielmehr das Sein seines Anderen, des Undendlichen,” TW 17, hal. 443.

(20)

20

Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa penciptaan dunia termasuk ke dalam hakikat Allah. Sesuai dengan hakikatnya yang bebas, Allah memang harus menciptakan dunia. Kalau ditanya, mengapa Allah menciptakan dunia, maka jawabannya, dalam perspektif Hegel, karena penciptaan dunia itu sesuai dengan hakikatnya. Kalau dunia tidak termasuk ke dalam hakikat Allah, maka secara logis, penciptaan dunia dan segala isinya menambahkan sesuatu pengada (beings) lain di luar Allah, dan kalau demikian, maka Allah tidak sempurna, sebab masih ada realitas lain yang bukan merupakan bagian dari dirinya.58

Dalam pandangan agama Kristen, demikian Hegel, Allah itu bukanlah Allah yang abstrak, melainkan Allah yang konkret, hidup dan merupakan Pribadi atau Subjek. Allah itu hidup dan konkret karena ia membedakan dirinya dari dirinya, membuat dirinya menjadi terbatas tapi sekaligus dengan itu Ia tetap mempertahankan dirinya sebagi Allah. Allah di sini bukan lagi universalitas abstrak yang serba mencakup, sebagaimana Allah dalam pandangan agama-agama alam yang panteis. Hanya sebagai Roh-lah yang Absolut itu dapat dipahami sebagai individualitas konkret. Ia konkret karena ia telah mencakup perbedaan, distingsi dan diferensiasi dalam dirinya. Ia tidak semata-mata universalitas yang tanpa perbedaan. Di sini Allah tidak hanya transenden, tapi sekaligus imanen di dunia.

Allah adalah juga subjek karena ia secara aktif merealisasikan dirinya, mencipta, menghasilkan yang lain dari dirinya. Ia bukan sesuatu yang pasif. Ia adalah Roh yang kreatif. Allah juga sebuah Pribadi karena berhadapan dengan semua yang lain itu, ia tetap mempertahankan dirinya sebagai Allah, keallahan-Nya tidak berkurang sekalipun ada yang lain dari diri-Nya, karena yang lain itu juga tercakup dalam diri-Nya. Dalam rumusan dialektis Hegel, maka Allah sebagai subjek, tetap “berada pada diri-sendiri-dalam-berada-pada-yang-lain” (Bei-sich-selbst-sein im Anderssein). Artinya, sekalipun ada yang lain daripada dirinya (Allah), ia melihat yang lain itu sebagai dirinya dalam bentuk yang lain, dan oleh karena itu, ia berada pada dirinya sendiri dalam menyadari adanya yang lain daripada dirinya.

58 Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa relasi antara Allah dan ciptaan-Nya, termasuk Allah Putra, itu adalah relasi antara Potensitalitas dan Aktualitas. Semua yang kemudian berasal dari Allah, atau semua ciptaan, telah terdapat dalam Allah secara potensial atau sebagai potensialitas, dan apa yang potensial itu kemudian menjadi aktual (artinya: menjadi konkret dan objektif) ketika mereka eksis dalam kenyataan ini. Di sini Allah itu ibarat bibit tanaman yang secara potensial telah mengandung keseluruhan unsur pembentuk pohon (batang, dahan, ranting dan daun) dalam dirinya. Semua potensi itu kemudian menjadi aktual bersamaan dengan tumbuhnya pohon.

(21)

21

Di sini Hegel mengkritik Spinoza yang memahami yang Absolut hanya sebagai substansi yang menyebabkan dirinya sendiri (causa sui). Menurut Hegel, yang Absolut tidak cukup hanya dilihat sebagai substansi, melainkan juga sebagai subjek yang hidup (das lebendiges Subjekt). Artinya, subjek yang aktif dan kreatif merealisasikan diri. Hegel menulis: “Tuhan itu mencipta … Tuhan bukan lagi esensi gelap yang tumpul pada dirinya. Ia memanifestastikan diri-Nya, Ia menyingkapkan diri-Nya, Ia memposisikan sebuah perbedaan dan menjadi yang Lain. Dalam ungkapan yang paling tinggi, perbedaan ini adalah Putra, Putra itu ada atau dimediasi melalui Bapak, dan sebaliknya: dalam Putra itu yang tersingkapkan hanyalah Bapak. Tapi dalam yang Lain ini, Tuhan berada pada dirinya sendiri, ia tidak keluar dari dirinya sendiri; ia hanya menghubungkan dirinya kepada dirinya sendiri; dan karena ini bukanlah relasi kepada yang lain dari dirinya, maka mediasi itu ditransformasi (aufgehoben).”59 Dalam skema Trinitas, mediasi yang ditransformasi itu adalah Roh Kudus, sebagai bentuk sintetis dari proses dialektis kerohanian Allah.

Keseluruhan relasi dialektis ini dapat diillustrasikan dengan keberadaan seorang ibu. Seorang ibu, pada dirinya sendiri, sebelum ia melahirkan anak, masih termasuk abstrak. Ia hanya, katakanlah, merasa sebagai seorang ibu. Ia juga mungkin memiliki status seorang ibu. Namun, setelah ia melahirkan anak, kesadaran akan statusnya sebagai ibu itu berubah. Sang ibu melihat bahwa anak yang dilahirkannya itu adalah dirinya dalam bentuk yang lain. Sang ibu tidak melihat sang anak sebagai orang yang sama sekali berbeda darinya; anak itu adalah anaknya. Esensi anak itu, sebagai anak, adalah sang ibu yang melahirkannya. Tentu saja, sekalipun ada identitas antara sang ibu dan sang anak, ada juga perbedaan di antara mereka, karena bagaimanapun, ibu adalah ibu dan anak adalah anak; keduanya jelas berbeda. Dengan demikian, antara anak dan ibu terdapat hubungan identity in difference. Melalui kehadiran anak, keibuan sang ibu menjadi konkret dan aktual, tidak lagi semata-mata abstrak. Tercapainya kesadaran yang konkret sebagai ibu adalah hasil dari sebuah proses dialektika. Pertama adalah sang ibu sebagai tesis, kedua adalah anak sebagai antitesis, dan ketiga adalah kesadaran keibuan yang menjadi konkret dan aktual sebagai sintesa. Kesadaran ini tentu saja tidak menghapuskan keberadaan anak. Anak tetap anak, yang berbeda dari ibu, namun ibu mencapai kesadaran yang konkret dan aktual sebagai ibu hanya berkat anak yang dalam

(22)

22

proses ini berfungsi sebagai mediator atau antitesis. Nanti kita akan melihat bahwa struktur konseptual Trinitas juga demikian.

Pengalaman dialektis „berada-pada-diri-sendiri-dalam-berada-pada-yang-lain“ – sang ibu di atas juga mengalami pengalaman demikian -- itu tidak lain dari struktur konseptual dari cinta kasih. Dalam konsepsi Keristenan, Allah adalah Kasih, dan Kasih itu juga dialektis. Dalam tulisan-tulisannya, Hegel juga mendefinisikan yang Absolut atau Allah itu sebagai Kasih. Menurutnya, „untuk konsep mengenai Allah, cinta kasih adalah sebuah ungkapan yang lebih tepat dan lebih dapat dipahami.“60 Dalam struktur cinta kasih mesti ada dua yang berbeda tetapi keduanya identik satu sama lain. Dalam Kasih, dua yang berbeda itu menjadi satu: mereka dua tapi satu, mereka satu tapi dua. Kasih itu mengikat, membuat yang dua atau yang berbeda menjadi satu. „Dalam cinta kasih, mesti ada dua yang berbeda, namun bukan sebagai yang berbeda, melainkan sebagai yang disatukan,“ tulisnya.61 Struktur ini misalnya terdapat dalam relasi kasih antara suami istri. Yang satu merasa tidak lengkap tanpa yang lain. Yang satu menemukan dirinya, merasa mantap pada dirinya, hanya kalau yang lain ada. Itu berarti, yang satu menemukan dirinya justru bukan pada dirinya, melainkan pada yang lain (pada sang suami atau sang istri). Kesadaran atau perasaan mengenai identitas dari keduanya -- adanya yang lain terdapat pada saya, vice versa – inilah cinta kasih. Saya memperoleh kesadaran diri saya bukan pada diri saya sendiri, melainkan pada yang lain. Saya memperoleh kepuasan dan kedamaian dengan diri saya (artinya: saya-berada-pada-diri-sendiri) hanya dalam dan melalui yang lain („dalam-berada-pada-yang-lain“). … Yang lain itu juga, karena dia juga (sebagaimana saya) eksis di luar dirinya, yakni dalam diriku, memiliki kesadaran dirinya hanya pada aku, dan keduanya (saya dan yang lain) itu adalah kesadaran bahwa kami berada di luar kami sendiri… Inilah yang disebut “pada-diri-sendiri-dalam berada-pada-yang-lain”. Inilah cinta, yang terdiri dari perbedaan dan sekaligus transendensi perbedaan itu menjadi kesatuan. Cinta dengan demikian adalah juga identitas dalam perbedaan (identity in difference).

Karakter Allah sebagai Kasih itu mencapai puncaknya pada inkarnasinya dalam diri Yesus Kristus. Secara konseptual, struktur Kasih sama dengan struktur Trinitas. Ilustrasi tentang

60 TW 2, Jenaer kristische Schriften, hal. 536. 61 TW 1, Jugendschriften, hal. 246.

(23)

23

sang ibu di atas bisa dibayangkan sebagai contoh di sini. Hegel mengatakan bahwa tindakan Allah Bapa untuk berinkarnasi menjadi Yesus Kristus dan kemudian menegasi kembali hasil negasi dirinya itu dalam diri Roh Kudus adalah konsepsi dialektis mengenai Allah Trinitarian. Dan konsepsi ini sesuai dengan konsep Allah sebagai Kasih, sebagai subjek, dan sebagai Pribadi yang hidup, dalam arti sebagaimana telah dijelaskan di atas. Allah sebagaimana dikenal dalam kekristenan itu adalah Allah yang dialektis dan harus dipahami demikian.62

V. Trinitas Ontologis dan Trinitas Ekonomis

Dalam konsepsi Kekristenan, Allah yang adalah Kasih hadir ke dunia dengan cara mendeterminasi dirinya dalam bentuk manusia, dalam diri Yesus Kristus. Itu berarti, Yesus Kristus adalah Allah dalam bentuk yang lain. Allah dan Yesus Kristus identik sekaligus berbeda. Yesus Kristus, sebagai Allah Putra, juga pada dirinya sendiri dialektis. Ia adalah manusia tapi juga Allah. Yesus adalah manusia karena ia adalah hasil determinasi diri Allah dalam bentuk manusia. Yesus juga tunduk pada kebutuhan-kebutuhan manusiawi. Sebagai Allah dalam bentuk yang lain, status keilahian terdapat sepenuhnya dalam diri Allah Putra. Relasi dialektis Allah Bapa dengan Allah Putra tidaklah secara eksternal, melainkan secara internal. Identitas Allah Bapa bukanlah semata-mata identitas sebuah substansi yang hanya identik dengan dirinya sendiri, melainkan identitas yang dimediasi oleh yang lain, yakni Allah Putra. Allah Putra juga demikian: identitasnya juga terbentuk secara internal melalui relasi dialektisnya dengan Allah Bapa. Dalam dan melalui Allah Putra, Allah Bapa kembali kepada dirinya sendiri sebagai identitas yang konkret dan dinamis, yang adalah Roh Kudus.

62 Ini salah satu, dalam pandangan Hegel, „kelebihan“ konsepsi Allah dalam agama Kristen dibandingkan misalnya dengan konsepsi Allah dalam agama Yahudi atau Islam. Dalam kedua agama tersebut, konsep Allah belum konkret, masih bersifat terbatas, dan berdiri beroposisi dengan dunia. Allah dalam kedua agama itu belum mendiferensiasi dirinya dalam bentuk Kasih karena Allah belum/tidak hadir ke dalam dunia ini. Dalam kedua agama tersebut, Allah baru mendeterminasi dirinya menjadi yang lain (alam semesta) dan belum mentransformasi dirinya yang lain ini. Diungkapkan dalam struktur dialektika, Allah dalam kedua agama tersebut baru dalam batas tesis dan antitesis, dan belum tiba pada sintesis. Hanya Allah dalam konsepsi Kristen Protestanlah yang telah mencapai sintesis, dan itu tercapai dalam konsepsi Trinitas. Dalam Kuliah-Kuliahnya mengenai Filsafat Agama, Hegel menulis mengenai relasi konseptual antara Allah, cinta kasih dan Trinitas, demikian: „Allah itu adalah kasih, yakni pembedaan dan penyangkalan pembedaan tersebut, semacam permainan atas pembedaan, yang tidak terpaku pada pembedaan itu, karena pembedaan itu dtetapkan sebagai yang ditransformasi. Dengan demikian, Allah adalah Ide yang kekal dan tunggal. Ide yang kekal ini diungkapkan dalam agama Kristen dan dinamai sebagai Trinitas yang suci; itulah Allah sendiri, ketiga-satuan yang kekal (das ist Gott selbst, der ewig

(24)

24

Jadi, Allah Bapa tidak hanya mendeterminasi-dirinya dalam diri sang Putra, namun Ia juga memiliki kuasa untuk mentransformasi (Jerman: aufgehoben) diri-Nya dalam bentuk yang-lain ini (Putra), yakni membiarkan sekaligus mentransformasi yang yang-lain sebagai yang yang-lain (Allah Putra) dan melalui proses tersebut Allah Bapa memediasi dirinya sendiri kepada dirinya sendiri (self-mediation).63 Tentu saja ini adalah sebuah proses kekal dalam Keilahian dan totalitas keseluruhan proses inilah yang mengkonstitusikan kerohanian Allah. Untuk membantu memperjelas proses dialektis yang terjadi di sini, kita bisa membayangkan transformasi kesadaran keibuan yang dialami oleh ibu dalam contoh di atas melalui sang anak yang dilahirkannya.

Sesuai dengan prinsip dialektika, yakni identitas dalam perbedaan, maka ketiga Pribadi (Allah Bapa, Allah Putra dan Roh Kudus) di atas juga harus dipahami bahwa mereka identik sekaligus berbeda satu sama lain. Identitas mereka menjadi dasar bagi apa yang sering disebut dengan trinitas ontologis dalam teologi. Sekalipun mereka tiga Pribadi yang berbeda, mereka tetap satu dalam hakikat Keilahian. Secara ontologis, dari segi struktur terdasarnya, mereka sama, yakni sama-sama memiliki satu hakikat: Allah, dengan aribut yang juga sama: maha tahu, maha hadir, kudus, dan lain-lain. Tiga Pribadi yang berbeda itu bukan berarti tiga Allah; hanya ada satu Allah yang memanifestasikan diri dalam tiga Pribadi. Perbedaan ketiga Pribadi itu kemudian menjadi dasar bagi apa yang sering disebut dengan trinitas ekonomis dalam teologi. Ketiga Pribadi tersebut memang berbeda, tapi bukan secara ontologis, melainkan secara ekonomis. Trinitas ekonomis mengacu kepada perbedaan ketiga Pribadi tersebut, baik dalam relasi sesama mereka, peran mereka masing-masing maupun dalam hubungan mereka dengan dunia ini.64

63 Keseluruhan proses dialektis ini dirangkum dalam istilah terkenal bahasa Jerman yang hampir tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain: Aufheben. Dalam proses tersebut terdapat tiga proses sekaligus: memelihara (kebenaran-kebenaran), membatalkan (kekurangan-kekurangan) dan mentransformasi (kebenaran ke tingkat yang lebih tinggi), lihat Wissenschaft der Logik I, hal. 38-39. Definisi yang ketat atas dialektika sebagai Aufheben terangkum dalam kata berikut, yang mesti dibaca dan dipahami dalam satu kata: aufheben-aufbewahren, aufheben-abschaffen, aufheben-auf eine höhere Stufe

heben – mengangkat-memelihara, mengangkat membatalkan, mengangkat – ke sebuah level yang lebih

tinggi,“ dalam Eduardo Huber, Um Eine „Dialektische Logik“. Diskussionen in der neueren sowjetphilosophie, München und Salzburg: Pontificia Universitas Gregoriana, 1966, hal. 123.

64 Alkitab dengan jelas mencatat perbedaan ketiga Pribadi tersebut dalam hal keselamatan umat manusia. Keselamatan umat manusia didasarkan atas kuasa dan kasih Allah (Joh 3:16, 10:29, atas dasar kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus (I Joh. 2:2; Ef 2:6), dan atas dasar pembaharuan dan meterai Roh Kudus (Ef. 4:30; Ti 3:5). Terdapat juga hubungan yang bersifat subordinatif di antara ketiga Pribadi tersebut, karena Allah Bapa “mengutus” Anak (Joh. 6: 57), Allah Bapa dan Allah Anak „mengutus“ Roh Kudus (Joh. 15:26), dan Roh Kudus hanya akan „mengatakan apa yang didengarnya“ (Joh 16:13).

(25)

25

Kesempurnaan konsepsi Tuhan dalam agama Kristen ini diungkapkan Hegel demikian: “Agama Kristen adalah agama yang sempurna, agama yang merepresentasikan Ada untuk dirinya sendiri, agama yang menjadi objektif kepada dirinya sendiri, agama Kristiani. Dalam Kekristenan, Roh universal dan roh partikular, Roh yang tidak-terbatas dan roh yang terbatas, tidak terpisahkan satu sama lain; agama ini adalah identitas absolut dari roh-roh tersebut dan sekaligus merupakan isinya.“65

VI. Catatan Kritis

Tentu kita harus kritis membaca Hegel. Tidak semua yang dikatakan Hegel harus diterima, tapi juga tidak semua harus ditolak. Bagaimanapun, sebagaimana dikatakan Herman Bavinck dalam bukunya yang telah dikutip di atas, apa yang dilakukan Hegel melalui filsafatnya adalah refleksi rasional dari seorang yang percaya (believing subject), yang kebetulan seorang filsuf, mengenai imannya. Kita dapat mengatakan bahwa teologi Hegel, sebagaimana diuraikan secara sederhana dalam tulisan ini, adalah sebuah usaha untuk mempertanggung-jawabkan iman kepercayaan kepada Tuhan secara rasional, sebab sesuai dengan metode berteologi yang dikatakan oleh Agustinus (354-430) dan Anselmus (1033-1109) iman itu mencari pengertian; kita perlu memahami iman kita secara rasional (fides quaerens intellectum).

Sebagai kritik, saya sendiri melihat bahwa ada beberapa hal penting dalam kekristenan yang tidak atau kurang mendapat tempat dalam teologi Hegel, yakni tema mengenai anugerah atau kasih karunia Allah kepada umat manusia. Saya juga setuju terhadap kritik Bavinck bahwa Hegel terlalu menonjolkan pemahaman rasional atas Tuhan dan agama, menjadikan Tuhan semata-mata objek pengetahuan rasional, padahal tujuan agama sendiri adalah untuk „kebahagiaan, kedamaian dan keselamatan.“66 Mungkin di sinilah batas refleksi filosofis seorang filsuf mengenai fenomena agama dan iman kepercayaan kepada Tuhan.

65 TW 17, hal. 189.

(26)

26 BIBLIOGRAFI

Seluruh tulisan Hegel yang digunakan dalam tulisan ini dikutip dari G.W.F. Hegel. Werke in zwanzig Bänden, Theorie Werkausgabe, yang diedit oleh Eva Moldenhauer dan Karl Markus Michel, Suhrkamp Verlag, Frankfurt am Main, 1969 – 1970. Selanjutnya disingkat TW, yang kemudian diikuti dengan nomor jilid, judul karya, dan nomor halaman.

TW 1 Jugendschriften

TW 2 Jenaer kritische Schriften TW 3 Phänomenologie des Geistes TW 4 Philosophische Propädeutik TW 5 Wissenschaft der Logik I TW 6 Wissenschaft der Logik II

TW 7 Grundlinien der Philosophie des Rechts

TW 8 Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften I TW 9 Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften II TW 10 Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften III TW 11 Berliner Schriften

TW 12 Vorlesungen über die Philosophie der Geschichte TW 13 Vorlesungen über die Ästhetik I

TW 14 Vorlesungen über die Ästhetik II TW 15 Vorlesungen über die Ästhetik III

TW 16 Vorlesungen über die Philosophie der Religion I TW 17 Vorlesungen über die Philosophie der Religion II TW 18 Vorlesungen über die Geschichte der Philosophie I TW 19 Vorlesungen über die Geschichte der Philosophie II TW 20 Vorlesungen über die Geschichte der Philosophie III

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Perilaku penghindaran pajak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan

Kondisi Penerimaan Pajak Hiburan di kota Bandung setiap tahun mengalami peningkatan dan mencapai target yang sudah ditentukan hanya saja pada tahun 2014 dan 2015 mengalami

[r]

The viable tourism potencies are ancestral buildings, traditional villages, traditional art performances, tribal rituals and ceremonies, such as funeral ceremony

Amelioration using 2.5 t/ha manure, liming with dolomite equivalent to 20% of Al saturation, and NPK fertilizer at dose of 45 kg N - 72 kg K 2 O – 60 kg P 2 O 5 /ha improved

Dari harga nilai parameter-parameter kerusakan formasi yang didapat dari data analisa pressure build up dan dari grafik horner plot maka formasi Sumur X dapat dianalisis yang

Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata yang diperoleh siswa pada prasiklus adalah 45 dengan persentase ketuntasan sebesar 30%, sedangkan dengan penggunaan

Nilai kekuatan kompresi gipsum untuk pembuatan model kerja harus tinggi, maka pada tahap ketiga proses daur ulang, yaitu pencampuran yang bertujuan untuk mendapatkan bahan yang