• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Vernakularisme Permukiman Kumuh di Tepi Sungai Musi

Adam Fitriawijaya

Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.

Abstrak

Permukiman kumuh merupakan lingkungan permukiman yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat miskin dengan kondisi rumah tinggal yang tidak layak huni, tingkat kepadatan tinggi, bangunan yang tidak beraturan, sampai dengan fasilitas pelayanan umum dan infrastruktur yang masih di bawah standar pelayanan minimal. Permukiman kumuh di Kota Palembang mencapai 59 kelurahan, sebagian besar berada pada tepi Sungai Musi. Hunian – hunian pada permukiman kumuh tersebut rata-rata dibangun oleh masyarakat atau pemiliknya sendiri, tanpa perencanaan dan secara spontan (non professional), dengan metode konstruksi secara tradisional dan swadaya masyarakat. Kondisi masyarakat miskin dalam membangun, memperbaiki dan mengembangkan huniannya tersebut memunculkan karakter tertentu , baik dalam bentuk pola permukiman maupun bentuk huniannya (bangunan tunggal), dimana karakter terebut memiliki nilai – nilai vernakularisme. Hal ini kemudian berkaitan dengan cara hidup mereka, cara membangun, konsep kawasan atau teritorial, hubungan antara hunian dan pola permukiman, sehingga menjadi tolak ukur dalam mengidentifikasi permukiman kumuh tersebut. Salah satu faktor yang terdapat vernakularisme adalah tradisi masyarakat bermukim dan nilai – nilai ke-lokal-an yang dapat dikaji pada hunian, seperti bentuk dan ruang, pemanfaatan material lokal, dan metode konstruksi bangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan wawancara, melakukan survey lokasi, mengidentifikasi beberapa contoh hunian kumuh dan menyusun studi perbandingan. Lalu hasil kajian tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam mengembangkan atau memperbaiki permukiman kumuh menjadi lebih manusiawi dan beridentitas.

Kata Kunci : vernakularisme, permukiman kumuh, hunian tepi sungai

Pengantar

Merujuk pada Pemerintah nasional, pengertian permukiman kumuh adalah kawasan peru-mahan dengan kualitas fisik kawasan dibawah standar, tempat tinggal yang tidak teratur, ilegal dan tidak memadai, dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi hidup yang tidak sehat, lokasi yang berbahaya, kemiskinan dan pengucilan sosial. Dan pada umumnya kawasan pemukiman berkepadatan tinggi merupakan embrio pemukiman kumuh. Kumuh bervariasi dari tempat ke tempat dan negara ke negara. UN-HABITAT, adalah lembaga yang bertang-gung jawab untuk memantau target kumuh penghuni, yang menunjuk pada dua jenis kumuh:

• Slums of Hope : "Maju" pemukiman baru, atau permukiman dalam proses pembangunan, per-baikan dan konsolidasi, yang biasanya dihuni oleh penduduk ilegal (misalnya, penghuni liar). • Slums of Despair : "Penurunan" lingkungan, di mana kondisi lingkungan dan jasa domestik mengalami proses degenerasi.(UN-HABITAT, (2003), p.9-p.11).

Beberapa indikator untuk menunjukkan atau menidentifikasi karakter dari permukiman ku-muh , yaitu : Tidak memadai akan kebutuhan air bersih dan saluran air kotor(drainase), rumah yang sesak dengan penghuni yang banyak (le-bih dari 2 penghuni dalam satu kamar) , kon-struksi yang tidak layak pada hunian, peng-gunaan material yang tidak permanen pada

(2)

hunian, kepemilikan rumah yang tidak aman( pada umumnya tanpa dokumen kepemilikan) . Dari beberapa definisi, permasalah utama dari permukiman kumuh adalah kemiskinan. Bagai-mana kemiskinan itu terjadi, tentunya banyak aspek yang mempengaruhinya. antara lain : as-pek ekonomi, sosial budaya, , hukum, arsitektur dan perencanaan tata kawasan. Terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan rumah tinggal yang layak, memaksa mereka (masyarakat mis-kin) untuk tinggal di daerah-daerah yang tidak memiliki akses kepemilikan, dan tanah-tanah ko-song yang cenderung ilegal , baik ruang publik maupun privat. Sehingga hunian-hunian ter-sebut cenderung ilegal. Dengan seiring ber-kem-bangnya kota, kepadatan penduduk me-ningkat, jumlah pemukim-pemukim liar juga bertambah pesat. Lalu, Apakah kemiskinan berpengaruh terhadap bangunan, dalam hal ini adalah fisik bangunan .

Pada Tahun 1981 Pemerintah Nasional melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan legalisasi asset tanah yang disebut Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) . Kegiatan ini pada prinsipnya adalah kegiatan pendaftaran tanah pertama kali, yang ditujukan kepada masyarakat ekonomi lemah . Hasil dari kegiatan tersebut, banyak pemukim-pemukim liar memiliki hak kepemilikan tanah hingga sekarang. Permu-kiman ilegal atau disebut Squatter Settlement sering diasumsikan sebagai arsitektur vernakular yang sebagian besar terkait dengan praktek-praktek tradisional dan bentuk dan ditemukan di daerah pedesaan dan pusat bersejarah. "Per-mukiman spontan lebih dekat dengan vernakular tradisional daripada jenis lain dari lingkungan dan terjauh dari lingkungan bergaya tinggi yang dirancang secara profesional ".(Rapopot, 1988). Arsitektur vernakular merupakan hasil dari pemikiran masyarakat lokal, dengan memper-timbangkan kondisi lingkungan yang mem-pengaruhinya, pemikiran-pemikiran tentang ling-kungan sosialnya, dengan kondisi yang tra-disional ."Bangunan vernakular tidak dibangun oleh arsitek tetapi oleh masyarakat, dengan hubungannya dengan lingkungan alam dalam

pikiran, dari generasi ke generasi." (Krisprantono 2003).

Dari pemahaman diatas, Arsitektur vernakular berwujud bangunan tanpa desain dengan proses konstruksi yang sederhana dan alami. Dan hal tersebut merupakan pengetahuan yang diwa-riskan turun temurun. Sehingga bangunan vernakular bersifat spontan dan anonim. Di dalam konteks arsitektur, peran dan fungsi arsitektur vernakular menjadi penting bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di Asia, karena Asia terdiri dari berbagai macam budaya dan adat yang berlainan di berbagai wilayah-nya, dimana setiap wilayah memiliki ciri arsi-tektur yang spesifik dan berasal dari tradisi. Antara tradisi dan arsitektur vernakular sangat erat hubungannya. (Wuisman, 2009)

Tradisi memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan tatanan sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk, dan konstruksi yang dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara perlahan melalui suatu kebiasaan. Misalnya bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap alam, yang memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi, misalnya iklim dengan cara membuat suatu tempat bernaung untuk meng-hadapi iklim dan menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar dan dengan memperhatikan potensi lokal seperti potensi udara, tanaman, material alam dan sebagainya, maka akan terciptalah suatu bangunan arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan inilah yang meru-pakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas dari arsitektur vernakular dan tradisional serta menunjukkan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil karya ‘rakyat’ ini merefleksikan akan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan norma-normanya dengan bijaksana. (Wuisman, 2009)

Kembali dalam permasalahan kemikinan sebagai bentuk kekumuhan, Bagaiamana pengaruh iden-titas, tradisi dan karakter yang terkandung dalam nilai-nilai vernakular tersebut, jika itu terekspresi dalam bangunan, dan hal ini apakah

(3)

sebuah keunggulan atau nilai – nilai yang harus dipertahankan ?

Metodologi

Metode yang digunakan adalah deskriptif dan eksploratif, dengan memusatkan pada kajian lingkungan permukiman kumuh tepi sungai , kajian arsitektural dan kajian tentang arsitektur vernakular . Studi kasus akan dibatasi pada dua kawasan di tepian Sungai Musi yang terletak di Kelurahan 32 Ilir, kecamatan Ilir Barat 2 dan Kelurahan 1 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu 1 Kota Palembang. Metode pengumpulan data yang digunakan, adalah survey lapangan, wa-wancara dengan narasumber di lokasi dan studi pustaka. Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data.

Pembahasan

Gambaran Umum Permukiman Kumuh di Kota Palembang

Kota Palembang, pada tahun 2002 memiliki 42 kawasan kumuh, dan pada tahun 2007 mening-kat menjadi 47 kawasan. Untuk konsentrasi Kawasan kumuh di Palembang tercatat ada 59 titik/zona yang berlokasi disejumlah kecamatan. Beberapa konsentrasi dengan kategori kumuh berat terdapat pada Kecamatan Seberang Ulu 1, Kertapati, Plaju, Gandus, Ilir Barat 2, dan Ilir Timur 2, dan umumnya berada di dekat bantaran kali atau sungai Musi. Menurut Sar-tono, 2009, “Tingkat kepadatan bangunan sangat bervariasi, di wilayah pinggiran kota ang-ka kepadatan bangunan sangat kecil berkisar 1-10 bangunan/ha. Ke arah Sungai Musi kepa-datan bangunan meningkat sampai >40 ba-ngunan/ha. Kawasan kumuh Kota Palembang dipengaruhi pula oleh letak kawasan yang ber-kembang di pinggiran sungai yang merupakan wilayah pasang surut. “

Gambar 1. tabel suhu kota palembang (climate-data-org, 2016

Iklim pada daerah tersebut , mengikuti iklim mikro Kota Palembang yang diklasifikasikan sebagai tropis. Palembang adalah kota dengan curah hujan yang signifikan. Bahkan di bulan terkering terdapat banyak hujan. Suhu rata-rata tahunan adalah 27.3 °C di Palembang. Curah hujan tahunan rata-rata adalah 2623 mm. Di antara bulan terkering dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah 262 mm. Sepanjang tahun, suhu bervariasi menurut 1.2 °C.

Studi Kasus Zona 1 : Kawasan Permukiman Kumuh di Kelurahan 1 Ulu, Seberang Ulu 1, Kota Palembang

Gambar 2. Data Permukiman Kumuh Kelurahan Seberang Ulu 1, Sumber RPPKP PU Kota Palembang , 2015

(4)

Kelurahan Ulu 1 Kecamatan Seberang Ulu 1 Kota Palembang, tergolong daerah dengan tingkat kekumuhan yang berat. Pola permu-kimannya padat. Berada pada tepi Sungai Ogan. Tata letak bangunan organik, mengikuti garis tepi sungai. Jarak Bangunan bervariasi, dan tidak beraturan, tetapi rata-rata jaraknya dempetan. Banyak area basah ditepi sungai ber-bentuk genangan dan kumuh

Gambar 3. pola massa bangunan, sumber : peta udara BAppeda 2015

Jaringan Infrastruktur Kota sudah menjangkau kawasan tersebut, seperti perkerasan jalan ling-kungan, penempatan jaringan air bersih dan listrik. Untuk Jarinagn pembuangan air kotor (drainage) , terbuka dan penuh dengan sampah.

Gambar 4. Kondisi saluran pembuangan air kotor (drainase), Sumber : Penulis 2016

Pada Kecamatan ini, dilakukan observasi pada 2 rumah. Yang sudah cukup lama berada pada kawasan tersebut.

Gambar5. Lokasi Rumah Pak Yahuza, sumber : foto udara bappeda kota Palembang, 2016

Rumah 1 :

Pemilik Bapak Yahuza

Usia 70 tahun

Pekerjaan Buruh bangunan (sudah Berhenti)

Penghuni Rumah Jumlah Penghuni 5 orang , terdiri dari : Pak Yahuza, Istri Pak Yahuza, Anak, Menantu dan Cucu .

Sejarah singkat Pembelian Tanah pada tahun 1974 dan dibangun tahun 1979. Mengikuti program Prona , pada tahun 1988

Status Tanah Hak Milik

Ukuran Rumah Luas Tanah 7,5 x 7,5 (56,25 m²) Luas Bangunan, (7,5x5) 2 lantai = 75 m²

Perbaikan Rumah Pernah dilakukan perbaikan pada tahun 2000, yaitu mengganti tiang kolom penyangga rumah yang sebelumnya kayu, menjadi beton. Sehingga Mengganti kolong (bagian bawah rumah panggung) menjadi ruangan.

Kondsi Fisik bangunan 50 & baik, kerusakan , pada dinding kayu dan lantai satu.

Gambar 1. Denah Rumah PAk Surnubi Lantai 1, Sumber : Penulis, 2016

(5)

Gambar 2. Denah Rumah Pak Yahuza, Lantai 2 , sumber : Penulis 2016.

Pada rumah Pak Yahuza, terbagi menjadi 2 zona . Untuk Lantai 1 ditempati Pak Yahuza dan Istrinya, dan untuk Lantai 2 ditempati Anak, menantu dan cucunya. Rasio ruang dan penghuni cukup ideal. Setiap individu memiliki ruangan sendiri. Untuk area service (Dapur dan Kamar Mandi) berada pada lantai 1, dan area service ini untuk bersama.

Pembagian zona ini menunjukkan pengelom-pokan keluarga sehingga dalam satu rumah memiliki 2 kepala keluarga. Hal yang masuk akal dan menjadi pertimbangan yang baik bagi keluarga tersebut, ketika sang anak sudah berkeluarga, mereka sudah memiliki zona kelu-arganya sendiri. Zona Lantai satu sebenarnya berupa kolong bangunan, dimana rumah ter-sebut adalah Rumah Panggung. Pemanfaatan kolong sebagai ruang yang me-miliki fungsi, adalah pertimbangan yang baik, namun disatu sisi, ada konsekuensi yang harus didapat. Posisi lantai 1 rumah berada 10 cm di-bawah Jalan lingkungan, dan bila musim peng-hujan (Juli – Desember) terjadi air pasang hingga 20 cm dari permukaan lantai. Bagi Mereka, menaikan lantai cukup mahal, karena seluruh bangunan harus terangkat. Sehingga ketika air pasang, mereka bertahan , dengan melakukan pembersihan lantai, meletakkan alat elektronik rumah tangga ke Lantai 2.

Gambar 3. Kondisi Lantai satu (kolong rumah) , sumber : penulis 2016

Kualitas ruang cukup baik, setiap ruang memiliki ventilasi udara dan penghawaan alami yang cukup. Namun untuk lantai satu, ketinggian dari lantai ke plafond mencapai 1,7 m , jarak yang cukup pendek. Beberapa ruang tidak memakai pintu ,kecuali kamar mandi dan pintu masuk rumah. Beberapa ruang memiliki 2 lebih dari 2 fungsi, contoh ruang tidur pak Yahuza menjadi satu dengan ruang keluarga. Ruang kamar mandi juga berfungsi sebagai ruang cuci.

Gambar 4. ventilasi pada kamar, dapur dan kamar mandi, sumber : Penulis, 2016

Rumah tersebut adalah tipe rumah panggung yang berdiri 2 meter diatas permukaan air. Kon-struksi bangunan awalnya adalah rumah kayu. Untuk tiang Rumah, merupakan kayu jenis Onglen, dan untuk dinding, atap, dan kusen menggunakan kayu meranti payau.

Gambar 5. Susunan papan kayu pada dinding dan kusen , sumber : penulis , 2016

(6)

GAMBAR 6. Tampak Bangunan Pak Yahuza. Sumber : Penulis 2016

Pembangunan rumah dilakukan oleh peng-huninya sendiri, dan kebetulan Pak Yahuza dan Anaknya adalah buruh bangunan. Kemam-puan dalam hal konstruksi bangunan, diwariskan dari ayah Pak Yahuza, yang dulunya adalah seorang veteran perang. Hasil konstruksinya relatif cukup baik. Penempatan kolom (tiang bangun-an) berjarak 2m antar kolom, mengikuti modul kayu yang berada di pasaran. Susunan kayu pada konstruksi dinding melintang(horisontal), pertimbangan tersebut berdasarkan contoh ru-mah rakit, dimana susunan kayu pada dinding bangunan secara horisontal, dan ini cukup masuk akal, susunan horisontal lebih kokoh pada kondisi rumah terapung.

Gambar 7. Model Rumah Pak Yahuza. sumber : Penulis 2016

Observasi selanjutnya pada rumah milik Bapak Surnubi, yang berlokasi 100 meter dari lokasi Rumah Bapak Yahuza .

Gambar 8. Lokasi Rumah Pak Surnubi, Sumber : Penulis 2016

Rumah 2 :

Pemilik Bapak Surnubi

Usia 46 tahun

Pekerjaan Tukang Becak, dan Buruh pengangkut bawang.

Penghuni Rumah Jumlah Penghuni 2 orang , terdiri dari : Pak Surnubi dan Anak (usia 20 thn)

Sejarah singkat Pembelian Tanah beserta bangunan pada tahun 1989 dan sebelumnya mengikuti program Prona , pada tahun 1988

Status Tanah Hak Milik

Ukuran Rumah Luas Tanah 15x10 (150 m²) Luas Bangunan, (10x7,5) 1 lantai = 75 m²

Perbaikan Rumah Belum pernah dilakukan perbaikan, kondisi rumah tergolong rusak berat hampi 980%

GAMBAR 9. Denah Rumah Pak Surnubi, Lantai 1, Sumber : Penulis

Rumah terbagi menjadi 2 bagian, salah satu bagian tidak bisa dihuni karena kondisi rusak.

(7)

Bagian yaang lain hanya memiliki 2 ruang, yaitu ruang tidur dan ruang kamar mandi. Ruang tidur juga berfungsi sebagai ruang nonton tv dan ruang tamu.

Gambar 10. Runag Tamu berfungsi sebagai ruang tidur, nonton tv, sumber : Penulis 2016

Gambar 11. Kamar Madi Yang Kotor Dan Saluran Pembuangan yang Tidak Baik, Sumber : Penulis 2016

Konstrusi rumah merupakan tipe rumah pang-gung. Terletak 2 m dari permukaan air dan berada di zona basah tepi Sungai Ogan. Kualitas material tidak terlalu baik. Menggunakan papan kayu meranti untuk tiang bangunan, dinding hingga atap.

Gambar 12. Model Rumah Pak Surnubi, Sumber : Penulis 2016

Kondisi Bapak Surnubi, cukup memprihatinkan, bekerja sebagai Tukang becak dengan pendapatan rata-rata 25 ribu per hari. Tidak memilik kemampuan dalam memperbaiki rumah. Pada saat wawancara, pemilik rumah menje-laskan tidak mampu juga dalam memperbaiki rumahnya sendiri. Harus membutuhkan tenaga masyarakat dalam konstruksi bangunan. Masyarakat disekitar bangunan cukup peduli, mereka membantu dalam membangun rumah

tersebut. Namun tidak seluruh bangunan dapat diperbaiiki, hanya sebagian , sebagai tempat yang hanya sekedar bisa dihuni.

Gambar 13. Kondisi bagian rumah yang sudah hancur, sumber : penulis 2016

Studi Kasus Zona 2 : Pola Permukiman Kumuh di Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat 2, Kota Palembang

Gambar 14. Lokasi Kelurahan 32 Ilir (penulis dan Google Map, 2016)

Gambar 15. Data Permukiman Kumuh di Kelurahan 32 Ilir, sumber : RPPKP PU Kota Palembang 2015

Studi kasus terletak di Kelurahan 32 Ilir, tepat di bantaran Sungai Musi. Dari data Bappeda Kota Palembang 2012, populasi di kelurahan tersebut memiliki tingkat kepadatan tinggi, yaitu 200jiwa/Ha (SNI 03-1733-2004) . Masyarakat yang bermukim rata-rata bermata pencaharian pedagang dan nelayan. Kondisi infrastruktur kawasan relatif baik. Hunian yang berada pada kawasan tersebut sebagian besar sudah

(8)

menempati lebih dari 30 tahun. Dan sejalan dengan program Prona dari BPN, tanah mereka tanah sudah bersertifikat hak milik. Namun demikian , lebih dari 80% hunian di kawasan tersebut tidak memiliki IMB. Karena hampir tidak ada aktifitas perbaikan rumah Hal ini terjadi karena, keterbatasan biaya bagi masyarakat miskin dalam perbaikan huniannya. Konsekuensinya, hunian mereka rusak/reyot, beberapa sudah lapuk dan hancur.

Gambar 16. Rumah panggung tepi sungai musi, kel. 32 Ilir (Tim Survey 32 Ilir , 2016)

Pola perletakan massa massa bangunan organic dan linear. Bertempat di sempadan sungai, yang notabene adalah daerah konservasi.

Gambar 17. pola permukiman di bantaran sungai, di kel. 32 Ilir, Palembang (Penulis dan Peta Udara Bappeda, 2016)

Dalam Tata Ruang permukimannya, pola massa yang ada di bantaran sungai tersesun secara linear organik. Dimana linear karena mengikuti garis tepi sungai , dan organik , yaitu mengikuti pola sirkulasi yang terbentuk secara spontan.

Gambar 18. Analisis tata Ruang Permukiman (Tim Survey, 32 Ilir, 2016)

Gambar 19. Ruang sirkulasi , aksesbilitas ke permukiman (Tim Survey 32 Ilir, 2016)

Pola sirkulasi terbentuk secara linear, seluruh jalur berpangkal pada jalan(daratan) dan berakhir di Tepi Sungai. Setiap ujung jalan yang berada pada tepi sungai, difingsikan sebagai dermaga kecil. Membentuk konektifitas trans-portasi darat dan air

Karakter hunian di tepi bantaran sungai musi secara fisik adalah rumah panggung (stilt house) . dengan kondisi yang memungkinkan bangunan untuk tidak terkena dampak pasang surut air sungai. Bentuk bangunan persegi dengan atap limasan dan pelana. Hunian-hunian tersebut berjajar di bantaran sungai secara organik dan liear mengikuti garis sungai, dengan kerapatan antar bangunan yang beragam. Karakter rumah panggung dengan kolong dibawah bangunan , yang ketinggiannya rata-rata diatas 2 m, menciptakan ruang tersendiri, dan kebanyakan dalam Kondisi yang kotor, penuh dengan sampah, baik sampah rumah tangga maupun

(9)

sampah yang terbawa oleh arus sungai. Secara umum orientasi bangunan , muka bangunan menghadap jalan atau daratan, dan bagian belakang bangunan menghadap sungai. Namun demikian, tidak semua bangunan di bantaran sungai, membelakangi sungai musi. Masih banyak bangunan – bangunan yang menjadikan Sungai Musi menjadi halaman muka bangunan, terutama untuk bangunan-bangunan lama nya.

Gambar 20. Kondisi 'kolong' rumah panggung yang berisi sampah (Tim Survey 32 Ilir, 2016)

Dari permukiman 32 ilir, Hunian yang terbentuk merupakan hasil pemikiran yang fungsional dan adaptable. Dengan berbagai alasan , Keinginan untuk terus berada pada bantaran sungai , dan membuat masyarakat terus mempertahankan keberadaan dalam skala rumah tinggal.

Gambar 21. Kondisi lingkungan dipermukiman 32 Ilir,

Palembang (Tim Survey 32 Ilir, 2016)

Gambar 22. Material bangunan (Tim Survey 32 Ilir, 2016)

Kesimpulan

Lingkungan tepi sungai dan basah membentuk karakter hunian dan pola permukiman . Tata massa bangunan yang terbentuk, berorientasi pada sungai, dimana awalnya wajah bangunan mengahadap kearah sungai. Dengan mening-katnya infrastruktur didaratan (salah satunya adalah akses jalan dan perkerasan) merang-sang perkembangan permukiman ke arah daratan, dimana orientasi bangunan menghadap pada jalur-jalur sirkulasi. Sehingga menyisakan sisa lahan mereka sebagai area belakang bangunan. Nilai vernakular yang muncul adalah permukiman dan bangunan di lahan basah , dan hal ini menjadi identitas daerah tersebut. Rumah Panggung, sebagai bentuk respon terhadap kondisi pasang surut air sungai. Namun terjadi pergeseran atau transformasi. Salah satu contoh , dengan bertambahnya kebutuhan yang beragam, kolong bawah bangunan digunakan sebagai ruang atau hunian. Hal ini tentu melawan kodrat alam. Sehingga menyebabkan Berkurangnyan efek-tifitas dalam merawat huniannya. Tetap ka-rakter dan tipe rumah panggung masih terlihat. Kemampuan masyarakat miskin pada kawasan kumuh tersebut, membentuk karakter dalam menentukan material pada hunian mereka. Kecenderungan mereka menggunakan material lokal atau menggunakan material yang murah dan mudah didapat. Dalam meng konstruksi rumahpun, mereka mempertimbangkan faktor iklim dan cuaca. Bentukan bangunan yang terjadi menunjukan usaha penghuninya untuk bertahan terhadap faktor eksternal terhadap huniannya.

Masyarakat yang berada pada permukiman kumuh tersebut awalnya adalah tergolong pe-mukim liar. Beragam alasan untuk mereka tetap bertahan di area tersebut. Pada hakekatnya mereka bertahan hidup, beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Berjuang mewujudkan tempat tinggalnya , dengan segala potensi dan kesempatan yang ada. Namun demikian karak-ter masyarakat dipermukiman kumuh tidak se-mua sama. Contoh diatas menunjukkan antara

(10)

Pak Surnubi dan Pak Yahuza. Mereka adalah tipe masyarakat yang berbeda latar belakang, status sosial dan kondisi ekonomi. Mereka sama-sama tinggal didaerah kumuh, tetapi dalam kemampuan menata, memperbaiki, dan me-ngembangkan huniannya tidak sama. Dan itu tercermin pada bangunannya. Tetapi tradisi masyarakat disekitar menjadi suatu kesamaan, dan hal tersebut tentunya terkandung dalam nilai-nilai vernakular terkait dengan tradisi ma-syarakat bermukim. Sifat gotong royong mem-bantu dalam mewujudkan hunian ketika salah satu warga dalam kondisi yang buruk. Mereka mampu dan saling berbagi pengetahuan satu sama lain

Kemisikinan sebagai bentuk keterbatasan dalam hal pengembangan, perbaikan hunian. Akhirnya kualitas hunian pun terkspresikan atas hal tersebut. Yang miskin rumahnya buruk, kumuh tidak layak huni. Namun disi lain ketika peng-huni memiliki kemampuan ‘self help housing’ , mereka bisa memperbaiiki huniannya sendiri. Tidak tergantung dengan orang lain. Meng-gunakan material-material yang lebih murah, atau material-material sisa pakai (re-use ma-terial), me manage kebersihan rumahnya, terutama pengaturan drainase dan sanitasi. Hal ini bisa terus dipertahankan dan diwariskan pada penerusnya. Sehingga tidak hanya ba-ngunan/hunian yang terus tetap berdiri, tetapi Identitas hunian dan Lingkungannya akan terus terjaga.

Sebagai penutup, pemerintah dalam penaganan permukiman kumuh, tidak selalu dengan memindahkan mereka (masyarakat kumuh) dari slum menuju ke bangunan-bangunan seperti rumah susun. Pemerintah bisa melakukan pendekatan yang mengarah kepada kemam-puan masyarakat untuk memperbaiiki rumahnya sendiri, dan juga meningkatkan potensi mate-rial-material lokal untuk kebutuhan rumah mu-rah bagi masyarakat miskin.

Daftar Pustaka

Kellet, P., & Napier, M. (1995). Squatter architecture? A critical examination of vernacular theory and spontaneous settlement with reference to south america and south africa. TDSR Vol VI no 11.

Krispantono. (2003). Introducing The Consciousness and senssibility of Vernacular discourse of Architectural Thinking in The Tropic. Jogjakarta: Soegijapranata Catholic University .

Menteri Pekerjaan Umum RI. (2008). Menuju pembangunan perkotaan bebas kumuh 2025. Makalah Seminar Hari Habitat Dunia. Bali: Kementerian Pekerjaan Umum RI.

Oliver, P. (1969). Introduction. Shelter and Society, 5-18.

Oliver, P. (1997). Introduction. Encyclopedia of Vernacular Architecture of The World vol . 1, 3-15. Rapoport, A. (1977). Slums. Human Aspects of Urban

Form, 96-101.

Rapoport, A. (1988). Spontaneous Settlements as Vernacular Design. Spontaneous Shelter : International Perspective and Prospects, 58-68. Sartono, & Hermana, J. (2009). STRATEGI

PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah , (p. 6).

Taher, M., & Ibrahim, A. (2014). Transformation of Slum and Squatter Settlements: A Way of

Sustainable Living in Context of 21 Cities. American Journal of Civil Engineering and Architecture, 2(2), 70-76.

Wuisman, J. J. (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini, Posisi dan Peran Tradisi tradisi Vernakular Indonesia dan Langgam Bangunan Masa Lalu dan Masa Kini . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Gambar  2.  Data  Permukiman  Kumuh  Kelurahan  Seberang Ulu 1, Sumber RPPKP PU Kota Palembang ,  2015
Gambar  4.  Kondisi  saluran  pembuangan  air  kotor  (drainase), Sumber : Penulis 2016
Gambar  5.  Susunan  papan  kayu  pada  dinding  dan  kusen , sumber : penulis , 2016
Gambar  8.  Lokasi  Rumah  Pak  Surnubi,  Sumber  :  Penulis 2016
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menemukan, perkembangan permukiman kumuh di Kota Semarang memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun atau terjadi deteriorisasi, secara

Menurut Ravianto (2009) mengemukakan bahwa perumahan kumuh atau permukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi

permukiman kumuh ini adalah konsep lingkungan bertempat tinggal yang mengusung keberlanjutan ekologi pada suatu wilayah, pengolahan waste atau keluaran dari

Ini dapat terjadi dengan terjadinya perubahan hukum, peraturan, kondisi lingkungan, teknologi atau material, pada rumah warga di permukiman ini yaitu dengan adanya

Untuk itu, dapat dikatakan bahwa kebertahanan masyarakat pada permukiman kumuh adalah kemampuan masyarakat untuk tetap tinggal/berada di lingkungan kumuh dengan memperhatikan

Faktor yang mempengaruhi persebaran kualitas permukiman kumuh dengan kelas kumuh berat adalah kesesuaian dengan tata ruang yang tidak sesuai, kondisi jalan dan lingkungan yang

Definisi Pemukiman Kumuh • Pemukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan

Pada kebanyakan pemukim dengan penghasilan rendah, memiliki rumah untuk tempat tinggal walaupun dengan kondisi seadanya, mampu menaikkan kepuasan hidup yang sangat berpengaruh pada