• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas manusia berkaitan dengan banyak faktor, salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas manusia berkaitan dengan banyak faktor, salah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan kualitas manusia berkaitan dengan banyak faktor, salah satunya adalah permasalahan sosial yang selalu dibicarakan adalah fenomena anak jalanan, perilaku berisiko anak jalanan dan perilaku seks bebas di kalangan remaja pengamen jalanan. Fenomena masalah anak jalanan merupakan isu global yang telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Jumlah anak jalan bertambah setiap hari di seluruh dunia bahkan di Indonesia, di kota besar maupun di kota-kota kecil.

UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) Lebih dari satu dekade yang lalu, memperkirakan bahwa sekitar 100 juta anak dan remaja tumbuh dewasa di jalan-jalan kota besar (UNICEF, 1989). Dapat meningkatkan kemiskinan, perang, kelaparan dan penyakit terjadi secara tunggal atau dalam kombinasi telah secara substansial meningkatkan jumlah ini. Anak jalanan ini banyak terdapat di Kenya, dan seluruh Afrika (Ayuku

Berdasarkan data dari Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan pada tahun 2009 sebanyak 3.724 orang, tahun 2010 meningkat menjadi 5.650 orang, dan pada tahun 2011 ini juga meningkat menjadi 7.315 orang (Kompas, 2011). Data dari Yayasan Cinta Anak Bangsa juga menunjukkan bahwa jumlah anak

(2)

terlantar di Indonesia ada sekitar 3,3 juta anak dan 160.000 diantaranya adalah anak jalanan (kppri, 2010).

Perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perlu mendapat perhatian serius mengingat sebagian atau seluruh waktu anak jalanan dihabiskan di jalan, mereka kurang peduli terhadap pentingnya kesehatan reproduksi mereka sendiri. Akses layanan kesehatan yang baik bagi anak jalanan lebih sedikit dibandingkan masyarakat normal, hal tersebut mempengaruhi gaya perilaku kesehatan mereka.

Program kesehatan reproduksi remaja mulai menjadi perhatian pada beberapa tahun terakhir ini karena beberapa alasan: ancaman HIV/AIDS menyebabkan perilaku seksual dan kesehatan reproduksi remaja muncul ke permukaan. Diperkirakan 20-25% dari semua infeksi HIV di dunia terjadi pada remaja. Kelompok populasi remaja sangat besar, saat ini lebih dari separuh populasi dunia berusia di bawah 25 tahun dan 29% berusia antara 10-25 tahun (Adjie, 2010).

Menurut Sarwono (2003), Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

Perilaku berisiko seksual pengamen jalanan rentan terhadap resiko kesehatan reproduksi dan seksual termasuk pelecehan seksual, kekerasan seksual dan penyimpangan seksual yang dapat mengakibatkan HIV/AIDS dan PMS

(3)

(Penyakit Menular Seksual) lainnya, penggunaan narkotika atau zat adiktif (Napza) serta kriminal atau kejahatan (Hidayat, 2011).

Di Amerika Serikat, infeksi menular seksual pada remaja usia 15–17 tahun dan dewasa muda 18–24 tahun merupakan kelompok usia penderita IMS yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok usia lain. Dari berbagai publikasi oleh Chacko, dkk. 2004, mengemukakan bahwa prevalensi klamidia pada wanita usia 15-24 tahun di klinik keluarga berencana (KB) adalah: 3,0 - 14,2% dan gonore 0,1% - 2,8%. Di Thailand, pada 1999 Paz-Bailey, dkk. melakukan penelitian di tiga sekolah kejuruan di Propinsi Chiang Rai. Mereka melaporkan bahwa dari 359 remaja wanita usia 15–21 tahun yang telah melakukan hubungan seksual, dengan pemeriksaan laboratorium polymerase chain reaction

Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak jalanan sepanjang 2008 meningkat 30% menjadi 1.555 kasus atau 4,2 kasus per hari dari 1.194 kasus pada 2007. Menurut catatan Dinas Sosial DKI Jakarta sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang tersebar di 52 wilayah di Jakarta (kppri, 2010).

(PCR), 22 orang (6,1%) positif terinfeksi klamidia dan 3 orang (0,3%) terinfeksi gonore.

Kasus demi kasus kejahatan seksual tehadap anak jalanan mulai muncul ke permukaan, yang dapat mengakibatkan korban luka dan trauma kejiwaan terus memanjang. Pertengahan tahun 2002, Kepolisian Resort Kota Besar Semarang berhasil mengungkap perilaku cabul terhadap anak jalanan yang dilakukan oleh Agus Heri Purnomo alias Heri Kawat (23 tahun). Lebih mengerikan, pelaku

(4)

mengenalkan korban pada dunia narkotik dan obat-obat berbahaya kepada para korbannya. Seluruh korban yang berprofesi sebagai pengamen disodomi di berbagai lokasi. Heri mengaku pernah disodomi lelaki dewasa ketika masih berusia 15 tahun. Pengalaman pahit itulah yang membuatnya berbuat sama pada anak-anak kecil.

Pada kasus di Pekanbaru Riau pada 2003-2006, yaitu pencabulan oleh Peter W Smith, seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Korbannya lebih dari 50 anak jalanan. Kejahatan seksual terhadap anak juga dilakukan oleh APS alias Abang Kacamata, 24 tahun, di Jakarta Utara, lelaki 24 tahun itu telah melakukan sodomi sebanyak 22 kali terhadap 15 anak jalanan di wilayah Jakarta Utara. Kasus sodomi dilakukan oleh Babe alias Baekuni, 49 tahun. Selain melakukan sodomi, Babe juga terbukti memutilasi anak-anak jalanan yang menolak disodomi. Seperti pelaku sodomi lain, kebiasaan Babe untuk menyodomi bocah ini berpangkal dari trauma masa lalu. Saat merantau ke Jakarta, Babe yang juga menjadi anak jalanan pada 1970-an pernah menjadi korban sodomi. Rasa trauma itu membekas. Tapi setelah dia menjadi korban, dia malah mencari korban anak-anak jalanan yang lain. Melakukan praktek seks menyimpang dengan anak kecil pun menjadi kebiasaannya (Utami, 2011).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja adalah karena membantu pekerjaan orangtua (71%), dipaksa membantu orangtua (6%), menambah biaya sekolah (15%), dan

(5)

karena ingin hidup bebas, untuk uang jajan, mendapatkan teman, dan lainnya (33%) (Pardede, 2008).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disahkan melalui Peraturan Presiden No. 7/2005, maka program KRR merupakan salah satu program prioritas dalam pembangunan nasional. Tujuan dari program kesehatan reproduksi remaja secara eksplisit dinyatakan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi remaja, guna meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga dan mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang (Wilopo, 2006).

Hasil dari penelitian Hidayat (2010) di kota Semarang adalah anak jalanan memiliki sikap, perilaku dan pengetahuan yang rendah tentang kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan kontak sosial anak jalanan cenderung terbatas pada lingkungan jalanan dan memiliki sedikit sekali waktu untuk kontak dengan lingkungan keluarga dan sekolah, pengetahuan anak jalanan bersumber dari informasi yang diperoleh di jalanan. Kehidupan tersebut menyebabkan anak jalanan membentuk pengetahuan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka rasakan di jalanan. Layanan sosial kesehatan yang bisa diakses sangat sedikit sehingga semakin menjadi kendala masuknya informasi kepada anak jalanan (Hidayat, 2011)

Menurut artikel yang ditulis oleh Ajik Suharti dan Sarwanto penelitian di Semarang menemukan lebih dari 50 % anak jalanan (n = 37) pernah melakukan

(6)

hubungan seksual pra nikah. Anak perempuan mempunyai persentase yang lebih tinggi dari pada anak laki-laki. Bahkan ada yang menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK) dengan imbalan uang dan non uang (diajak jalan-jalan, makan di restoran, ke diskotik). Sebagian besar melakukannya secara heteroseksual. Cara melakukan hubungan seksual bervariasi, yaitu secara oral seks, vaginal seks (paling banyak) dan anal seks (sodomi). Frekuensi hubungan seksual 3-4 kali per bulan bahkan ada yang 7-8 kali per bulan. Pasangan hubungan seksual adalah pacar, teman, WTS jalanan. Di antara mereka ada yang terkena PMS dan tidak berobat karena biaya berobat mahal (Wahyu Nurhajadmo, 1999). Suatu studi dari 50 anak jalanan usia 12-21 tahun, sebanyak 25% anak jalanan yang berpasangan melakukan hubungan seksual. Sebanyak 4% responden menderita PMS (Salim, 2000) Sebanyak 31% anak jalanan laki-laki dan 36,5% anak jalanan perempuan pernah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 7,8% anak jalanan dijadikan PSK (Yayasan Duta Awam, 1997). Studi lain menunjukkan sebanyak 28% anak jalanan dijadikan PSK (Pusat Studi Wanita UNDIP, 1998). Yayasan Amelia yang menangani pendidikan anak jalanan di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara menerangkan bahwa dari 100 anak jalanan yang dilayani hampir semua pernah mengalami kasus sodomi. Sodomi ini dilakukan dengan sesama anak jalanan atau orang lain yang lebih tua (Republika, 2 April 1996). Hasil penelitian sebuah LSM di Medan terhadap 40 anak jalanan melaporkan hal serupa. Anak jalanan tersebut banyak mengalami perlakuan seksual yang semena-mena seperti sodomi, oral seks, dan perkosaan (Sumardi, 1996).

(7)

Salah satu faktor yang menyebabkan remaja turun ke jalan menjadi pengamen jalanan adalah kemiskinan atau faktor ekonomi. Pada bulan September tahun 2011 jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara yaitu 1421,4 jiwa dengan persentase sebesar 10,83%. (BPS Provinsi Sumut Tahun 2011). Adapun jumlah penduduk miskin di kota Medan pada tahun 2008 adalah 217,30 jiwa atau 10,43%, tahun 2009 adalah 200,40 jiwa atau 9,58%, tahun 2010 adalah 212,30 jiwa atau 10,05% (BPS Provinsi Sumut Tahun 2011).

Berdasarkan Data Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara bahwa jumlah anak jalanan di Sumut tahun 2008 berjumlah 2267 jiwa, tahun 2009 berjumlah 2.099 jiwa dan tahun 2010 berjumlah 2948 jiwa sedangkan di Kota Medan tahun 2008 berjumlah 63 jiwa, tahun 2009 berjumlah 75 jiwa dan tahun 2010 berjumlah 663 jiwa. Jumlah remaja pada tahun 2009 (usia 15-19) tahun berjumlah 214496 atau 10.11 % dari keseluruhan jumlah total penduduk kota Medan yaitu 2121053 jiwa (BPS Propvinsi Sumut tahun 2009, 2010 dan 2011).

Merebaknya anak jalananan telah menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalan. Anak jalanan yang selalu merusak keindahan kota Medan, anak jalanan yang mengganggu ketertiban lalu lintas ataupun anak jalanan biang keonaran. Keberadaan anak jalanan merupakan bentuk dari ketidakberhasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan mereka dan kegagalan Negara dalam menjamin terlaksananya Konvensi Hak Anak (Handayani, 2009).

(8)

Komitmen dan perhatian Pemerintah Kota (Pemko) Medan terkait anak jalanan masih sangat minim. Karena itu Pemko didesak menjalankan suatu kebijakan konkrit mengurangi persoalan yang dialami anak jalanan. Masalah ini adalah ekses dari sebuah manajemen pembangunan yang tidak benar, ada beberapa indikator yang menunjukkan tidak ada kejelasan penanganan anak jalanan di kota Medan. Pertama, tidak ada regulasi konkrit yang berpihak. Terbukti, rata-rata peraturan daerah (perda) atau keputusan yang dibuat isinya tidak memberi ruang bagi kebutuhan anak jalanan. "Mal dan plaza dibangun sesuka hati. Tapi tidak ada hutan kota, taman, dan media untuk menggali potensi kreativitas anak jalanan. Kedua, ada stigma yang terus dibangun bahwa anak jalanan itu sampah. Kotoran yang harus dibuang. "Cara mengatasi anak jalanan adalah dengan kekerasan atau represif melalui razia atau sweeping yang dilakukan Satpol PP, ditangkap, digiring, dan dibawa ke dinas sosial, lalu dibebaskan kembali tanpa adanya pembinaan yang jelas, tidak memiliki perencanaan strategis menangani anak jalanan ini. Pemko Medan tidak memiliki data pasti berapa jumlah anak jalanan di kota Medan”. Tidak ada upaya melakukan inventarisasi. Angka-angka ini suatu saat bisa bergerak naik. Sebab, anak-anak jalanan yang beranjak dewasa akan diganti dengan yang

Untuk meminimalisir persoalan baru.

anak jalanan yang harus dilakukan : Pertama adalah jangan memakai cara kekerasan. Anak jalanan adalah kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus, rentan terhadap intimidasi, tidak mempunyai akses dan power, sehingga harus ada proteksi terhadap mereka.

(9)

Kedua, Pemko Medan harus memberikan ruang sosial agar mereka bisa berinteraksi, mempunyai pendamping, dan jika ada masalah ada yang mendengarkan, seperti konsep rumah singgah yang dapat untuk menuangkan kreatifitas. Kalau mempunyai talenta bermain musik, melukis, dan menari, maka disediakan tempatny (Rizky, 2010).

Dengan melihat fenomena-fenomena tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian secara kualitatif tentang bagaimana perilaku berisiko seksual remaja pengamen jalanan di kota Medan, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam mencari pemecahan masalah remaja yang bekerja sebagai pengamen di Indonesia pada umumnya, dan di kota medan pada khususnya.

1.2. Permasalahan

Kasus demi kasus kejahatan seksual tehadap anak jalanan semakin meningkat dan mulai muncul ke permukaan, yang dapat mengakibatkan korban luka dan trauma kejiwaan terus memanjang, para pelaku pernah mengalami pelecehan seksual, kekerasan seksual dan penyimpangan seksual ketika masih anak-anak atau remaja. Pengalaman pahit yang dialaminya membuatnya berbuat sama pada anak jalanan. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian: “Perilaku berisiko seksual remaja pengamen jalanan di kota Medan tahun 2012”.

(10)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis secara kualitatif perilaku berisiko seksual remaja pengamen jalanan di kota Medan tahun 2012.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan informasi tentang gambaran perilaku berisiko seksual remaja pengamen jalanan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan.

2. Bagi remaja pengamen jalanan khususnya dan masyarakat pada umumnya, sebagai bahan masukan agar mencari pekerjaan yang lebih layak atau menggali potensi kreativitas yang ada pada diri anak jalanan tersebut serta tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merusak moral generasi muda di masa yang akan datang.

3. Bagi ilmu pengetahuan dalam penelitian ini adalah sebagai bahan studi kepustakaan dan memperkaya penelitian ilmiah di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan informasi bagi pihak yang berkepentingan untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut masalah yang sama dimasa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa Koefisien sebesar 2,840 memiliki arti bahwa setiap kenaikan variabel independen kualitas layanan, kualitas produk, suasana toko

Starting from the left, we have a Consumer bundle (represented using a component icon); it is utilizing Blueprint Container to import services from OSGi Service Registry

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka fokus penelitian ini adalah pada komponen outer front door mobil Esemka Rajawali 2 untuk

Karena proses pendaftaran sinaptika kemarin itu, setelah melakukan pendaftaran dan konfirmasi pembayaran tidak ada notifikasi diwebsite untuk memastikan dia sudah bayar

Karya Kita Bandung, diperoleh informasi bahwa motivasi kerja karyawan pada saat ini cenderung menurun hal ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan diri dan pengakuan akan

Debt to Equity Ratio (DER) secara parsial tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap Return on Equity pada perusahaan Sektor Consumer good industry. yang

Adapun hal yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri dalam putusan cerai talak terhadap wanita karier dikarenakan seorang istri

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... Penelitian ini berusaha mengungkap konflik yang terjadi