• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYU HIJAU: STATUS DAN KONSERVASINYA GREEN TURTLE AND THEIR CONSERVATION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYU HIJAU: STATUS DAN KONSERVASINYA GREEN TURTLE AND THEIR CONSERVATION"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENYU HIJAU: STATUS DAN KONSERVASINYA

Karnan

Program Studi Pendidikan Biologi, PMIPA FKIP Universitas Mataram Email: [email protected]; [email protected]

Abstrak: Perairan laut Indonesia menjadi habitat 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu yang ada di dunia, salah satunya adalah penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu hijau memiliki siklus hidup yang unik termasuk melakukan migrasi. Semua jenis penyu yang ada di dunia saat ini berada dalam kondisi yang terancam oleh berbagai hal, di antaranya kehilangan dan kerusakan habitat, penangkapan langsung (direct take), penangkapan tidak langsung (indirect take), penyakit. Saat ini hampir semua negara dan lembaga­lembaga resmi dunia secara tegas melarang eksploitasi penyu secara liar. Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) telah memasukkan penyu hijau dalam Appendix I – yang merupakan daftar hewan dan tumbuhan yang berstatus paling terancam. Oleh karena itu, konservasi terhadap penyu merupakan suatu tindakan yang sangat mendesak untuk dilakukan.

Kata kunci: penyu hijau, Chelonia mydas, konservasi

GREEN TURTLE AND THEIR CONSERVATION

Abstract: Indonesian water is occupied by 6 of 7 species of turtle living in the world, one of them is the green turtle (Chelonia mydas). Green turtle has a unique lifecycle including migration. All turtle species in the world are endangered status caused by many factors such as habitat loss, direct take, indirect take, and diseases. Nowadays, almost all state and the world legal institutions are strictly prohibit illegally exploitations on green turtle. Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) put on this species in Appendix I – that contain the most endangered animals and plants. Because of this, conservation on this species is urgently required.

Key words: green turtle, Chelonia mydas, conservation

I. PENDAHULUAN

Sejak zaman dahulu penyu telah menjadi makanan kebanggaan bagi manusia. Baik daging maupun telurnya yang memiliki rasa enak dan karenanya telah menjadi komoditas yang diekspor dalam bentuk beku atau yang sudah dikalengkan sebagai bahan untuk pembuatan sop penyu, “calipees”, dan lain­lainnya. Penggunaan yang lain meliputi ekstraksi minyak dari lemak penyu dan pengolahan cangkang, bulu, dan makanan. Banyak penyu ditangkap secara langsung di pantai dengan cara membalikkan tubuhnya (betina), di laut mereka tertangkap dengan jaring insang, pukat, dan tombak.

Penyu laut dijumpai di semua laut tropis dan daerah sedang. Mayoritas penyu laut bertempat tinggal di perairan yang dangkal sepanjang pantai dan sekitar pulau, tetapi beberapa diantaranya melakukan migrasi ke tempat yang jauh dan sering dijumpai di laut terbuka. Setelah musim bertelur, beberapa spesies membenamkan dirinya dalam dasar perairan berlumpur di perairan pantai yang dangkal atau melakukan migrasi ke wilayah yang lebih hangat untuk menghindari musim dingin [5].

Penyu diketahui sangat rawan terhadap pemangsaan. Telur umumnya dimakan oleh sebangsa musang, anjing, babi, monyet, kadal “varaqnid”, kepiting hantu (ghost

crabs), semut, dan juga serangan jamur dan bakteri. Ketika

sampai di air, pemangsaan umumya dilakukan oleh burung (dibagian permukaan) dan oleh ikan, seperti hiu dan ikan­ ikan predator lainnya, di kolom air. Musuh penyu dewasa yang utama adalah hiu.

Ada tujuh spesies penyu laut di dunia, tersebar di daerah tropis dan subtropis. Sebagian besar dapat hidup hampir 100 tahun dan dalam siklus hidupnya memerlukan berbagai tipe habitat, termasuk pantai berpasir, padang lamun, hamparan alga, dan laut terbuka. Karena daerah penyebarannya yang sangat luas dan memiliki berbagai bentuk habitat, maka penyu laut dapat berinteraksi dengan aktivitas manusia dalam setiap tingkatan hidupnya [4].

Perairan laut Indonesia menjadi habitat 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Enam jenis penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (green turtle,

Chelonia mydas), penyu lengkang (olive ridley, Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (loggerhead, Caretta caretta), penyu sisik (hawksbill, Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (leatherback, Dermochelys coriacea) dan penyu pipih (flatback, Natator depressus).

Semua jenis penyu yang ada di dunia saat ini berada dalam kondisi yang terancam oleh berbagai hal, terutama

(2)

penangkapan oleh manusia. Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan salah satu di antara jenis penyu yang jumlahnya paling banyak ditemukan. Data tangkapan penyu dari

Western Central Pacific pada tahun 1995 telah dilaporkan

dalam buku tahunan Statistik Perikanan FAO yaitu 540 ton utamanya dari Indonesia; data terpisah dilaporkan bahwa penyu hijau (Chelonia mydas) dari Fiji (6 ton pada tahun 1995). Tidak diketahui dengan jelas jumlah penyu yang ditangkap dengan pukat, drift net, dan alat lainnya yang sering menyebabkan kematian pada penyu.

Walaupun sudah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, banyak di antara kita tidak mengerti mengenai status sumberdaya ini di alam. Tulisan ini akan menguraikan tinjauan beberapa aspek biologi, terutama siklus hidup, status dan tingkah laku penyu hijau yang erat kaitannya dengan pengelolaannya.

II. PEMBAHASAN 2.1. Deskripsi

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan penyu laut berukuran pertengahan sampai besar. Penyu hijau betina yang siap bertelur (nesting female) memiliki ukuran karapas (carapace) 3 kaki dengan bobot lebih dari 400 pon. Tukiknya berukuran kecil, dengan ukuran panjang karapas 2 inch dan bobot kurang dari 1 ons. Karapas penyu dewasa licin sepanjang marjin (edges) lateral dan posterior dengan sisik yang tidak tidak bersusun (non-overlapping scales). Tukiknya memiliki karapas yang bundar. Warna penyu hijau bervariasi dari hijau ke abu­abu ke coklat, dan karapas seringkali ditandai dengan titik­titik yang lebih gelap atau loreng­loreng. Nama penyu hijau diambil dari warna jaringan lemaknya yang hijau, bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas (plastron) biasanya berwarna putih atau kuning [2].

2.2. Penyebaran

Penyu hijau tersebar luas di perairan tropis dan sub­ tropis. Beberapa wilayah yang dikenal karena penyu laut yang melimpah adalah Teluk Thailand, Malaysia (Sarawak, Sabah), Filipina, Indonesia (Sumatra, Kepulauan Riau, Ka­limantan, Sulawesi, Jawa, Madura, Sum­bawa, Flores, Irian Jaya, Kepulauan Obi, Ambon, Banda, Maluku), Papua Nugini, Australia (Northern Territory, Queensland), Wake Island, Guam, Northern Mariana Islands, Palau, Micronesia, Mar­shall Islands, Line Islands (Jarvis), Kiribati,Tuvalu, Samoa, Cook Islands, Solomon Is­lands, Vanuatu, New Caledonia, Fiji, Tonga, French Polynesia (Society Islands, Tuamotu Archipelago, and Marquesas) [5].

Di Indonesia, salah satu lokasi penting yang menjadi tempat persarangan penyu hijau adalah pantai yang ada di Pulau Jawa. Di beberapa tempat di pesisir selatan Pulau Jawa dikenal sebagai habitat penyu untuk bertelur, tetapi disisi lain tempat tersebut juga dikenal sebagai pusat perdagangan penyu dan bagian­bagiannya.

2.3. Reproduksi

Perilaku penyu ketika bertelur hampir sama. Penyu hijau betina meninggalkan laut untuk bertelur di daratan. Di Virgin

Islands, penyu hijau terlihat melakukan persarangan setiap saat sepanjang tahun, akan tetapi puncaknya terjadi bulan Agustus sampai Oktober. Persarangan (nesting) hampir selalu berlangsung pada malam hari. Penyu betina menggali sarangnya di pantai, biasanya dekat tumbuhan yang ada di wilayah tersebut [2].

Penyu menyiapkan sarangnya dengan menggali pasir dan membuatnya dalam bentuk lubang. Telur­telurnya ditempatkan dalam lubang yang disiapkan sebelumnya. Setiap ekor betina dapat menghasilkan 110 butir telur, tergantung ukuran tubuhnya. Induk yang berukuran besar dapat menghasilkan 200 butir telur dalam satu lubang. Setelah diletakkan, lubang ditutup dengan pasir yang ada di sekitarnya. Penyu hijau betina akan melepas antara 1 sampai 7 “clutch” telur setahun. Aktivitas bertelur ini berulang hampir setiap 14 hari.

Masa inkubasi penyu disebutkan bermacam­macam oleh para peneliti. Cole dan Toller menyebutkan inkubasi berlangsung selama 55­60 hari. Sementara [6] menyebutkan masa inkubasi berlangsung antara 50­70 hari, terantung suhu. Setelah itu, anak­anak penyu yang menetas (umumnya pada malam hari) akan berhamburan keluar sarang dan masuk ke dalam laut. Mereka bergerak dengan cara yang unik ketika baru pertama kali memasuki laut. Anak­ anak penyu (tukik) yang baru menetas mencari daerah dengan arah horizontal yang berwarna lebih terang. Vegetasi yang ada memiliki bayangan gelap di daratan dan kombinasi antara sinar bintang dan pantulan sinar bintang dari air laut membuatnya lebih terang, sehingga tukik menuju arah ini, dan akhirnya sampai ke laut. Akan tetapi, akhir­akhir ini orang banyak menyalakan lampu di sekitar tempat persarangan penyu. Kondisi ini menyebabkan anakan penyu bergerak dengan arah yang salah, sehingga mereka banyak yang ditabrak oleh kendaraan, dimakan anjing, kucing, dan organisma lainnya.

Penyu­penyu yang berhasil hidup (survivors) masuk ke perairan laut dan hidup sebagai pelagis. Beberapa spesies penyu umumnya tidak kembali ke perairan pantai sampai benar­benar matang secara seksual. Kelulusan hidup (survival) umumnya sangat rendah. Dari 1.000 sampai 10.000 ekor anak penyu yang menetas, biasanya hanya satu ekor saja yang mampu tumbuh menjadi penyu dewasa dalam kurun waktu 12­50 tahun [2]. Sementara [6] menyebutkan kematangan seksual penyu dicapai dalam waktu yang lama, yaitu rata­rata 20­30 tahun.

2.4. Migrasi

Pada beberapa populasi, migrasi yang dilakukannya dapat mencapai jarak yang luar biasa [7]. Penyu hijau (C.

mydas) dan penyu tempayan (Caretta caretta) sepanjang

hidupnya dapat menempuh lebih dari 10.000 kilometer. Sebagai contoh, penyu hijau yang besarang di Kepulauan Ascension di Atlantik Selatan secara teratur bermigrasi antara pantai tempat bersarang dan tempat makannya di Brazil. Bahkan yang lebih hebat lagi, penyu tempayan yang menempatkan telurnya di pantai Jepang tampak melintasi Samudera Pasifik ke Baja Calofornia sebelum kembali lagi ke Jepang untuk bersarang [7].

(3)

2.5. Status Populasi Penyu

Penyu memiliki kemampuan menghasilkan telur dalam jumlah yang besar. Meskipun demikian, populasi penyu di dunia saat ini berada dalam kondisi kritis dan terancam. Beberapa jenis penyu laut populasinya menurun tajam. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa jumlah penyu belimbing di Lautan Pasifik telah mengalami penurunan lebih dari 95% selama 20 tahun terakhir, dan jumlah penyu tempayan yang melakukan persarangan juga menurun sekitar 80% selama periode yang sama [4].

Diperkirakan ada 100.000 penyu hijau terbunuh di sekitar kepulauan Indo­Australia setiap tahun. Penurunan produksi telur di Sarawak menurun dari 2.200.000 butir telur pada tahun 1930 menjadi 175.000 butir dalam tahun 1995. Di Indonesia, penurunan terjadi sepuluh kali lipat sejak tahun 1940an, dan lebih dari setengahnya di French­Polynesia. The SSC Marine Turtle Specialist Group telah menilai spesies ini sebagai “Endangered”. Pemulihan dapat terjadi jika konservasi dilaksanakan dengan pengelolaan yang ketat [6].

Saat ini penyu di seluruh dunia berada dalam ancaman yang serius. Enam dari tujuh spesies penyu yang diketahui berada dalam kondisi terancam bahkan hampir punah sebagaimana yang dinyatakan oleh IUCN­World Conservation Union Red List. Ketujuh spesies penyu yang ada dimasukkan dalam Appendix I Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang berarti bahwa perdagangan

terhadap spesies tersebut baik berupa bagian­bagian tubuhnya maupun produknya dilarang. Penyu laut di alam saat ini benar­benar berada dalam kondisi yang sangat membahayakan [12].

Penurunan populasi disebabkan oleh sejumlah faktor, baik oleh faktor alami maupun faktor manusia., baik di darat maupun di lingkuangan laut, di antaranya kehilangan habitat tempat bertelur dan berkembang oleh badai, gelombang laut, perusakan sarang oleh predator dan pemburu gelap (poachers), pengambilan telur, penangkapan penyu untuk diambil daging, bulu, dan cangkangnya, terbunuh secara tidak sengaja ketika penangkapan ikan berlangsung sebagai tangkapan yang tidak diinginkan (bycatch). Di lingkungan laut, bahaya dapat berupa polusi (penyu laut memakan berbagai macam sampah laut seperti kantong plastik, plastik, “tar balls”, balon), getaran dan gesekan perahu khususnya di perairan pantai.

The World Conservation Union (IUCN) memberikan tiga

spesies penyu laut dalam kondisi kritis, “critically endangered”, yaitu penyu belimbing, Kemp’s redlly dan penyu sisik. Tiga spesies lainnya yaitu penyu hijau, penyu tempayan dan penyu lengkang berada dalam kondisi” endangered” [4].

Hasil studi yang dilakukan oleh Mortimer selama tiga tahun (1981­1984) mengindikasikan bahwa populasi penyu hijau di “Granitic Islands” dan the “Amirates group” mengalami penurunan seiring dengan dimanfaatkannya pulau tersebut sebagai tempat tinggal penduduk. Eksploitasi yang terorganisir terhadap sumberdaya ini telah membuat penurunan populasi yang drastis di Seychelles [8].

2.6. Ancaman terhadap populasi penyu hijau

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan salah satu jenis penyu yang paling melimpah dan juga merupakan spesies yang paling sering dijumpai di Indonesia. Akan tetapi, spesies ini merupakan spesies target utama untuk diburu dagingnya dan populasinya turun dengan sangat cepat. Di laut, penyu hijau menghadapi ancaman dari jeratan jaring nelayan dan sampah. Di daratan, telur penyu diambil untuk diperdagangkan dan juga dimakan oleh predator.

Beberapa faktor yang dikategorikan sebagai ancaman utama terhadap kelangsungan hidup penyu hijau, bahkan jenis­jenis yang lain, yang dinyatakan dalam berbagai sumber [3] Eckert et. al,1999,. [11] U.S. Fish and Wildlife Service, 2007,. [9] Murugan, 2007) dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kehilangan dan kerusakan habitat

Kehilangan atau kerusakan habitat dapat terjadi karena faktor alam maupun faktor manusia. Faktor yang datang dari alam yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia seperti badai dan tsunami merupakan faktor yang dapat mempengaruhi struktur pantai sehingga tidak sesuai lagi sebagai tempat untuk bersarangnya penyu.

Gempa bumi yang menghancurkan pantai barat Sumatera dan akibat tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah meninggalkan dampak terhadap Pulau Andaman dan Nicobar, dan juga sepanjang pantai India, khususnya sepanjang propinsi Tamil Nadu. Akan tetapi, persarangan penyu dilaporkan terjadi lagi di pantai ini setelah peristiwa tsunami tersebut. Kepulauan Andaman dan Nicobar merupakan daerah terparah di India. Perubahan garis pantai terjadi di kedua Kepulauan ini. Di Kepulauan Nicobar, daerah persarangan penyu disapu bersih. Pantai­pantai ini dilaporkan dipenuhi oleh sampah yang dapat berpengaruh terhadap populasi penyu yang bersarang.

Pembangunan konstruksi di pantai seperti pembangunan jalan raya dan jalan tol, infrastruktur untuk umum, hotel, condominium, kompleks perumahan, bangunan pelindung pantai, semuanya dapat merubah habitat persarangan yang menyebabkan tempat ini tidak sesuai lagi sebagai tempat bersarangnya penyu.

Pembangunan yang tidak terkontrol, seperti yang disebutkan diatas, telah menyebabkan kerusakan terhadap kawasan pantai yang biasanya dijadikan kawasan untuk bertelurnya penyu. Adanya sinar lampu jalan dan bangunan merupakan sesuatu yang menarik bagi tukik. Adanya sinar lampu dari sumber ini menyebabkan tukik tidak dapat mencapai laut. Kelompok tukik biasanya kehilangan arah, sehingga dimangsa oleh predator atau bahkan mati karena faktor lain, misalnya terkena sengatan matahari. Kerusakan padang lamun di Indonesia sebagai akibat sedimentasi, pengayaan nutrien, pengembangan wisata yang intensif dan penangkapan ikan yang destruktif juga sangat mengancam kelangsungan hidup penyu hijau.

2. Penangkapan langsung

Sebagaidampak dari penangkapan penyu dewasa dan pengambilan terlurnya, populasi penyu hijau di Indonesia

(4)

mengalami penurunan sangat tajam dalam beberapa dekade terakhir. Bali merupakan pasar terbesar Asia untuk penyu hijau. Perdagangan penyuhijau di Bali mencapai puncaknya pada tahun 1970an ketika lebih dari 300.000 individu didaratkan di Bali. Laporan lain menyebutkan bahwa di Bali, diperkirakan 20.000 ekor penyu ditangkap selama kurun waktu 1969­1994 untuk dikonsumsi.

Produk­produk dari penyu laut (misalnya daging, jaringan adipose, organ­organ, darah, telur) merupakan bahan makanan yang umum bagi banyak komunitas di dunia. Akan tetapi ada beberapa bahaya yang dapat timbul karena mengkonsumsi bahan makanan dari penyu tersebut. Bahaya yang dapat timbul adalah yang berkenaan dengan kehadiran bakteri, parasit, biotoksin, dan kontaminan lingkungan. Dampak terhadap kesehatan setelah mengkonsumsi bahan makanan dari penyu yang sudah terinfeksi zoonotic pathogen meliputi diare, vomiting, dan dehidrasi yang luar biasa, yang kadang­kadang memerlukan perawatan rumah sakit dan bahkan dapat menimbulkan kematian. [1].

Kandungan logam berat dan senyawa organoklorin yang diukur dalam jaringan penyu laut yang dimakan melebihi nilai ambang batas yang aman berdasarkan standar internasional untuk keamanan pangan yang dapat menimbulkan dampak racun termasuk ganguan saraf, penyakit ginjal, kanker hati, dan berdampak terhadap perkembangan janin dan anak­anak. Penyebarluasan informasi ini sangat baik bagi kesehatan serta dapat menunjang program konservasi penyu yang kondisinya terancam punah [1].

3. Penangkapan tidak langsung

Penyu laut merupakan spesies yang tersebar hampir di seluruh bagian dunia. Penyu menempati daerah perairan lepas pantai dan pantai sesuai dengan tingkatan dalam siklus hidupnya. Oleh karena itu, interaksinya dengan kegiatan perikanan dapat terjadi baik di tengah lautan maupun di perairan pantai [4].

Setiap tahun, ribuan penyu hijau tertangkap oleh jaring trawl (trawl nets) yang dipergunakan dalam penangkapan udang. Juga, penyu hijau terjerat oleh jaring insang pada daerah penangkapan ikan di pantai yang secara intensif mempergunakan alat tangkap ini. Mereka umumnya ditangkap ketika berusaha untuk mencapai pantai.

Kegiatan perikanan di daerah pantai dapat mempengaruhi migrasi penyu betina yang akan bertelur di pantai, juvenil, penyu dara, dan perkawinan penyu. Beberapa jenis alat tangkap yang potensial dapat menyebabkan penyu tertangkap di pantai adalah pukat (trawl), jaring insang, pancing ulur (pelagic longline), dan set net.

Akhir­akhir ini perhatian banyak dicurahkan terhadap dampak perikanan di tengah lautan terhadap penyu, terutama penggunaan pancing ulur (pelagic long line). Beberapa terget utma bagi perikanan di tengah lautan ini adalah ikan todak (swordfish, Xiphias gladius) dan beberapa spesies tuna (genus Thunus). Ikan­ikan ini memiliki daerah penyebaran sangat luas, dari daerah sedang sampai tropis, dan penyebaran mereka ini tumpang tindih dengan rute migrasi dan daerah tempat mencari makan beberapa penyu laut.

Hasil tangkapan penyu sebagai tangkapan yang tidak diinginkan (bycatch) dengan pancing ulur dapat terjadi karena penyu menelan umpan atau terjerat oleh alat tangkap. Longlilne di pasang pada kedalaman yang berbeda sesuai dengan spesies ikan yang menjadi terget saat itu. Tuna yang berukuran besar biasanya berada pada perairan yang lebih dalam (300­400 meter) atau berhubungan dengan massa air yang lebih dingin. Ikan todak dan penyu yang berukuran lebih kecil biasanya dijumpai pada kedalaman yang kurang dari 100 meter. Ada bukti bagi penyu laut bahwa, ketika dalam fase pelagis, ditemukan dalam jumlah besar pada kedalaman di atas 100 meter. Pengetahuan tentang perilaku penyu terutama keberadaan mereka yang berkaitan dengan musim, daerah, dan kedalaman merupakan informasi yang sangat diperlukan sebelum pengoperasian alat dilakukan.

Di beberapa negara, telah diterapkan penggunaan alat pelolos penyu (turtle excluder devices, TEDs) untuk menekan tangkapan yang tidak sengaja terhadap penyu ketika melakukann penangkapan ikan. Alat ini dipasang pada pada ujung (cod end) akhir jaring pukat.

4. Penyakit

Di beberapa wilayah, penyu hijau menderita karena lemah dan tumor ganas yang mematikan. Penyebab tumor tidak diketahui, namun diduga karena peningkatan polusi oleh zat kimia yang menurunkan sisetm kekebalan, yang menyebabkan mereka menjadi lebih rentan terhadap infeksi yang ditimbulkan oleh herpes – seperti virus.

2.7. Konservasi

Secara sederhana, konservasi diartikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan agar memperoleh manfaatn secara terus menerus dari yang dikelola tersebut (penyu). Mengingat kondisi populasinya yang makin mengkhawatirkan, hampir semua negara dan lembaga­ lembaga resmi dunia secara tegas melarang eksploitasi penyu secara liar. Penyu hijau telah didaftarkan oleh the U.S. Fish and Wildlife Service sebagai spesies yang terancam di seluruh kawasan Karbia. CITES (Convention

on International Trade of Endangered Species) telah

memasukkan penyu hijau dalam Appendix I – yang merupakan daftar hewan dan tumbuhan yang berstatus paling terancam. Semua penyu laut dilindungi secara hukum, yang melarang penangkapan terhadap hewannya sendiri maupun telurnya. Akan tetapi, aturan yang ada sekarang tidak dapat mencegah penangkapan liar yang dilakukan terhadap sumberdaya ini. Bahkan di Virgin Islands, penyu hijau merupakan penyu laut yang paling banyak ditangkap secara liar.

Di Amerika Serikat, semua penyu laut dilindungi oleh “the Endangered Species Act”. Untuk menghentikan penurunan populasi penyu pada masa yang akan datang, sejumlah upaya dilakukan untuk memproteksi dan mempelajari hewan ini [10]. Di Indonesia Semua jenis penyu yang ada telah dilindungi undang­undang, yang artinya tidak boleh ditangkap untuk diperdagangkan.

Bali merupakan tempat yang paling banyak mengkonsumsi penyu sejak 1970an. Pemanfaatan penyu di Bali terkait dengan upacara keagamaan dan adat. Akan tetapi,

(5)

dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami penurunan dan perubahan. Konservasi penyu di Bali dilakukan dengan dua cara. Prioritas pertama adalah mencatat jumlah penyu termasuk jenis dan ukurannya yang masuk ke Bali melalui beberapa pelabuhan seperti Tanjung Benoa dan Padang Bai. Prioritas kedua adalah mengembangkan dan mengimplementasikan pendidikan berorientasi Bali (Bali oriented education) dan program peningkatan kesadaran yang dirancang bagi pemakan daging penyu, pedagang penyu dari luar Bali, dan wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Semua ini bertujuan untuk mengurangi jumlah konsumsi daging penyu di Bali dengan sistem quota. Di Bali, quota yang ditetapkan oleh Gubernur adalah 5.000 ekor penyu setahun.

Konservasi terhadap penyu dimaksudkan untuk melindungi (protect), mengawetkan (conserve), dan mengelola (managed) penyu dan habitatnya. Secara teknis tentang hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mengurangi kematian penyu akibat penangkapan langsung dan tidak langsung.

2. Melindungi, mengawetkan, dan merehabilitasi habitat penyu, kawasan peteluran penyu, kawasan tempat mencari makan (foraging), habitat peristirahatan (resting habitat).

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan, terutama tentang hal­hal yang mengancam kelangsungan hidup penyu, hubungan antara pariwisata, kegiatan perikanan (penangkapan ikan) dan penyu.

4. Mengurangi dan mencegah pembuangan sampah ke laut, terutama di sekitar daerah peteluran penyu.

5.Menambah kerjasama nasional, regional, dan internasional.

6. Melakukan pemantauan dan penelitian.

Beberapa pemantauan yang dianggap penting berkaitan dengan pengelolaan penyu adalah :

1. Lokasi persarangan (peteluran) penyu 2. Lokasi perkawinan (breeding), 3. Populalsi dan penyebaran penyu.

4. Kejadian dan dampak dari virus Fibropapilloma (FP) 5. Kerjasama untuk memantau faktor­faktor yang dapat

mematikan penyu, seperti sampah.

6. Jumlah penyu yang tertangkap sebagai tangkapan yang tidak diinginkan (bycatch), sekaligus untuk memantau keberhasilan dari pendidikan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan kegiatan perikanan.

Sementara itu, beberapa topik penelitian yang merupakan prioritas untuk dilakukan adalah :

1. Pathology dan epdemiology Fibropapilloma dan parasit lain yang berbahaya.

2. Upaya­upaya mengurangi tangkapan penyu sebagai hasil tangkapan yang tidak diinginkan (bycatch). 3. Dampak pariwisata terhadap penyu.

4. Mendeterminasi penyebaran, kemelimpahan, dan status penyu setelah menetas (post­hatchling), juvenil, dan dewasa dalam lingkungan laut.

Upaya konservasi terhadap penyu akan berhasil jika didukung oleh semua pihak, di antaranya pemburu (penangkap) penyu, masyarakat lokal di sekitar kawasan

perteluran penyu, pemimpin agama dan masyarakat, dan pemerintah.

III. KESIMPULAN

1. Indonesia merupakan daerah penyebaran penyu yang penting di dunia dimana enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia dapat ditemukan, dan Indonesia juga merupakan salah satu tempat dimana eksploitasi terhadap penyu terbesar di dunia, terutama penyu hijau (Chelonia mydas)

2. Status penyu hijau di seluruh dunia berada dalam kondisi terancam oleh berbagai hal, antara lain kehilangan habitat (habitat loss), penangkapan langsung (direct take), penangkapan tidak langsung (indirect take), dan penyakit (diseases).

3. Untuk menyelamatkan penyu hijau dari kepunahan, maka tindakan konservasi terhadap spesies ini merupakan tindakan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Konservasi terhadap penyu dimaksudkan untuk melindungi (protect), mengawetkan (conserve), dan mengelola (managed) penyu dan habitatnya

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aguirre, A. A, S. C. Gardner, J. C. Marsh, S G. Delgado, C J. Limpus, and W. J. Nichols, 2006, Hazards Associated with the Consumption of Sea Turtle Meatand Eggs: A Review for Health Care Workers and the General Public, EcoHealth. DOI: 10.1007/ s10393­006­0032­x. pp : 1­13.

[2] Coles, W dan W. Toller, 2002, Green Sea Turtle (Chelonia mydas), Department of Planning and Natural Resources Division of Fish and Wildlife, U.S.V.I. (www.vifishandwildlife.com).

[3] Eckert, K. L., K.A. Bjorndal, F. A. Abreu­Grobois, dan M. Donnely (Editors). 1999, Research and Management Techniques for Conservation of Sea Turtles. IUCN/SSC marine Turtle Specialist Group Publication No 4.

[4] FAO, 2004, Sea Turtle Conservation Concerns and Fisheries Management Challenges And Options. Technical Consultation On Sea Turtles Conservation And Fisheries. Bangkok, Thailand, 29 November­2 December 2004.

[5] Gomez, E. dan E.F.B. Miclat, 1990, Sea Turtles in René Márquez M. (1990), “FAO species catalogue. Vol. 11. Sea turtles of the world. An annotated and illustrated catalogue of sea turtle species known to date. Pp. 3974­3986.

[6] Kemf, K, B. Groombridge, A. Abreu, dan A. Wilson, 2000, Marine Turtles in the Wild, WWF – World Wide Fund For Nature (formerly World Wildlife Fund), Gland, Switzerland.

[7] Lohmann K.J., J.T. Hester, dan C.M.F. Lohmann, 1999, Long­Distance Navigation In Sea Turtles, Ethology Ecology & Evolution 11: 1­23.

[8] Mortimer J.A., Collie J ., and Mbindo C. 1996, The status of sea turtle conservation in the Republic of

(6)

Seychelles, pp. 103­115. In: IUCN/UNEP. Humphrey S .L. and Salm R.V. (eds .) : Status of sea turtle

conservation in Western Indian Ocean Regional Seas

Reports and Studie No 165. UNEP, 1996.

[9] Murugan, A. 2007, The Effect of Tsunami on Sea Turtle Nesting Beaches Along The Coast of India. Suganthi Devadason Marine Research Institute 44­Beach Road, Tuticorin­628 001, Tamil Nadu, India. (E­mail: [email protected]).

[10] Stegemann and Breisch, 2006 at http://www. dec.state.ny.us

[11] U.S. Fish and Wildlife Service, 2007, Sea Turtle Conservation Strategy in Walton County, Florida [12] Yeager, B. B, 2004, Saving the Ancient Mariners: The

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Umaroh ada beberapa kelebihan dari jejaring Edmodo, yaitu: a) Membuat pelajaran tidak tergantung pada waktu dan tempat. b) Meringankan tugas guru untuk memberikan

Berdasarkan hasil analisis trend yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa art therapy dapat menurunkan gejala depresi pada emerging adult dengan ketidakpuasan

Didalam inisiatif untuk melakukan tuntutan praperadilan diatur pada Pasal 79 dan 80 yang berbunyi yaitu pada Pasal 79 menyatakan bahwa permintaan pemeriksaan

Sebagai contoh adanya penerapan kurikulum K13 dari kurikulum KTSP, ulangan berbasis paper berubah menjadi CBT. Dari contoh tersebut kepala sekolah tidak secara

Pelaksanaan pemasangan batu bata ini membutuhkan bahan batu bata yang cukup banyak pada lapangan apalagi bangunan gedung ini terdiri dari lima (5) lantai,

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan oleh 2 user pada semua pengujian, maka didapatkan nilai akurasi paling tinggi, pada jarak 1.5 meter dengan nilai persentase yaitu

Bila default kolom yang tersedia dalam TDBGrid1 yang akan kita referensikan pada tabel database DataBarang hanya ada 2 kolom sementara field yang akan kita referensikan adalah

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini, yang berjudul “Tinjauan