Reviewer:
Dr. Eng. Islamy Rusyida.,MT
Dr. Ibrahim Ali, M.Sc
Editor:
Ima Rahmawati Sushanti, ST.,M.MT
Fariz Primadi Hirsan, ST.,MT
Baiq Harly Widayanti, ST.,MM
Febrita Susanti, ST.,M.Eng
Sri Apriani Puji Lestari, ST.,MT
Yusril Ihza Mahendra, ST.,MT
Desain Sampul:
Ardi Yuniarman ST.,M.Sc
Agus Kurniawan, S.Ip.,M.Eng
Rasyid Ridha ST.,M.Si
Nahrul Hayat Imansyah, ST.,M.Si
Diterbitkan Oleh:
Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Mataram
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Prosiding Seminar Nasional Planoearth#1 2017
Program Studi Teknik Perencanan Wilayah dan Kota
Universitas Muhammadiyah Mataram-NTB
Alamat: Jl. KH. Ahmad Dahlan No 1 Pagesangan
– Kota Mataram – 83127
Telp/Fax : (0370) 631904
Online:
http://planoearth.ummat.ac.id
Tema: Implementasi New Urban Agenda Melalui Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis
Budaya Lokal dan Pemberdayaan Komunitas
Isi: 1. Pembicara Utama / Keynote Speaker
2. Studi Pariwisata Perkotaan
3. Pengembangan Infrastruktur dan Sistem Informasi Terhadap Kepariwisataan
4. Pemberdayaan Komunitas Terhadap Kepariwisataan
5. Pengelolaan Lingkungan Terhadap Kepariwisataan
ISBN: 978-602-50730-0-7
DAFTAR ISI
Laporan Ketua Panitia Seminar Nasional Planoearth 1 ... i
Sambutan Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram ... iv
Sambutan Gubernur Nusa Tenggara Barat ... vii
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xi
PEMBICARA UTAMA / KEYNOTE SPEAKER Implementasi Agenda Baru Perkotaan Melalui Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Lokal & Pemberdayaan Komunitas (Ir.Agusta Ersada Sinulingga.,MT/ Kementerian PUPR) ... 1
Peran Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dalam Mendukung Implementasi New Urban Agenda (Ir.Wisnubroto Sarosa, CES,M.Dev.Plg/Kementerian ATR/ BPN) ... 7
Peluang dan Tantangan Dalam Pengembangan Pariwisata Halal (Halal Tourism) Provinsi Nusa Tenggara Barat 2017/ 2018 (H.Lalu Moh. Faozal, S.Sos.,M.Si) ... 15
New Urban Agenda: Peran dan Implikasi pada Pendidikan Perencanaan Wilayah dan Kota (Ir.Tubagus Furqon Shofani.,MA,Ph.D) ... 17
Peran Budaya dan Komunitas Lokal dalam Pengembangan Pariwisata di NTB (Lalu Agus Faturrahman) ... 18
STUDI PARIWISATA PERKOTAAN Prospek Pembangunan Rusunawa Dalam Mendukung Kota Berkelanjutan Di Indonesia : Studi Persepsi Penghuni (Adi Nugroho) ... 28
Strategi Pengembangan Industri Kerajinan Mutiara Sebagai Daya Tarik Wisata Belanja Di Kota Mataram (Dita pebrianti dan Luthfi Muta‟ali) ... 37
Pentingnya Proses Formulasi Peraturan Zonasi Dalam Manajemen Perkotaan (Hettik, R. Widodo D. Pramono dan Widyasari H. N.) ... 48 Strategi Permukiman Kembali Warga Di Lokasi Squatter Dalam Rangka
Model Sinergis Pengembangan Kawasan Perdesaan Agrowisata
Berkelanjutan Di Kecamatan Likupang Selatan Kabupaten Minahasa Utara
(Rieneke L.E Sela, Linda Tondobala, Raymond Tarore) ... 66 Penataan Prasarana Dan Sarana Kawasan Tradisional Etnis Mamasa
Sebagai Destinasi Pariwisata Nasional Provinsi Sulawesi Barat
(Mimi Arifin, Jayanti Mandasari, a. Teddy M) ... 72 Pengembangan Hunian Pendukung Potensi Wisata Kawasan Pesisir
Di Tanjung Bayang Kota Makassar (Yuniza Pridanti, Shirly Wunas dan
Mimi Arifin, Fathien Azmy) ... 79
Pariwisata Kawasan Kars Yang Lestari di Pawonsari (Soedwiwahjono) ... 88 Potensi Pariwisata Budaya Berbasis Rumah Tinggal Di Kota Palembang
(Tetty Harahap) ... 98
Pertimbangan Dalam Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Mandeh
Sumatera Barat (Hamdi Nur dan Ahyuni) ... 106 Taman Kota Ramah Lansia Untuk Mendukung Daya Tarik Pariwisata
Kota Bogor (Studi Kasus : Taman Heulang)
(Indarti Komala Dewi dan Eneng Dayu Saidah) ... 113 Alih Fungsi Tata Permukiman Dan Tata Sosial Masyarakat Sekitar Kampus II
Universitas Ahmad Dahlan (Studi Kasus Kampung Sidikan, Umbulharjo
Kota Yogyakarta) (Jubbai Marasabessy) ... 122 Pemilihan Lokasi Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Cagar Budaya
dan Pariwisata (Maskur) ... 132 Strategi Retrofitting Pada Kawasan Pinggir Kota Yogyakarta Berdasarkan
Konsep Kota Kompak Studi Kasus Condong Catur, Sleman, Yogyakarta
(Wahyu Ardhiningtika, M. Sani Roychansyah dan Dwita Hadi Rahmi) ... 142 Kajian Bangunan Bersejarah Mesjid Al-Mashun Kota Medan Dinilai
Dari Historis dan Estetika (Wahyu Hidayat dan Tunggul H. Ganie) ... 153 Analisis Komoditas Perikanan Unggulan Sebagai Pendukung Halal Tourism
di Kabupaten Lombok Utara (Yunita Ratih W, dkk) ... 162 Penataan Permukiman Suku Bajo Di Pulau Bungin (Verry Lahamendu) ... 171 „Good Food Revolution‟ Peningkatan Potensi „Home Industry‟ Sebagai
Aset Pengembangan Kawasan Wisata Gastronomi Studi Kasus: Kawasan Sentra Industri Keripik Tempe Sanan, Kec Blimbing, Kota Malang
Adat Istiadat Tunggu Tubang Sebagai Strategi dalam Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Semende Darat Laut, Kecamatan Semende Darat Tengah dan Kecamatan Semende Darat Ulu Kabupaten
Muara Enim (Andryan Wikrawawrdana) ... 193 Preferensi Dan Motivasi Perjalanan Wisatawan Mancanegara
Di Kota Makassar(Asni Amaliah Nuchri,Bakti Setiawan,
dan Ardhya Nareswari) ... 204
Pengembangan Daya Saing Destinasi Wisata Kota Batu Berdasarkan
Pendekatan Model Dwyer (Myrna Sukmaratri) ... 222 Pengembangan Perumahan Masyarakat Pulau Kecil Sebagai Penunjang
Wisata Kota (Shirly Wunas, dkk) ... 233 Evaluasi Kualitas Visual Koridor Jalur Wisata Kota Batu
(Sitti Wardiningsih,dkk) ... 243 Tingkat Kesiapan Kampung Duren Sebagai Salah Satu Destinasi Wisata Baru
Di Kota Malang (Dian Indah Shofarini ) ... 254 Potensi Pengelolaan Kawasan Panatapan Danau Toba Oleh
Pemerintah Nagori Di Simalungun Dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
(M. Ade Kurnia Harahap, dkk) ... 264 Revitalisasi Permukiman Kumuh Berbasis Wisata Pada Bantaran Sungai
Tallo Kecamatan Tallo Kota Makassar
(Mimi Arifin, Shirly Wunas dan Pratiwi Mushar) ... 275 Pengembangan Potensi Wisata Pendidikan Di Kampung Duren Mandiri
Rw 04 Kelurahan Bakalan Krajan Kota Malang (Septiana Hariyani) ... 284 Pengembangan Penataan Ruang Kolaboratif Di Kawasan Wisata Puncak,
Bogor
(Andrea Emma Pravitasaria,B dkk) ... 294 Tekanan terhadap ruang peruntukan penunjang pariwisata
Pada koridor kota malang-kota batu (Arief Setijawan dan Surjono) ... 306 Minapolitan Hallal Tourism Kabupaten Lombok Tengah
(Ike Karwinto P) ... 314 Pengembangan Wisata Susur Pantai Berbasis Multi-Criteria Decision
Analysis (MCDA) (S. Trisutomo, Mukti Ali, Sri Aliah Ekawati) ... 327
Kebutuhan Penanganan Pencegahan Permukiman Kumuh Perkotaan
Analisis Pengaruh Peluang Usaha dan Peningkatan Pendapatan
Terhadap Pengembangan Daerah Tujuan Wisata Di Kabupaten Simalungun
(DR. Sarintan Efratani Damanik) ... 345 Pengembangan Wilayah Kabupaten Bantaeng Melalui Sektor Industri Pariwisata (Ihsan dkk) ... 350 Model Neighborhood Pada Ruang Publik Perkotaan Ditinjau Dari
Perilaku Dan Aktivitas Di Melting Pot Kota Jember
(Dewi Junita Koesoemawati dan Hari Yuswadi) ... 363 Strategi Prioritas Pengembangan Ekowisata Taman Nasional
Baluran Jawa Timur (Luh Putu Suciati dan Anggriawan Dwi Cahya Putra) ... 370 Keterkaitan Pariwisata Terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Di Kota Mataram (Baiq Siti Noer Azima dan Ima Rahmawati Sushanti) ... 380 Strategi Pengembangan Ekowisata Di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat (Umar Mansyur dan Intim Vinda Gesvita) ... 387
PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR DAN SISTEM INFORMASI TERHADAP KEPARIWISATAAN
Pemanfaatan Sistem Informasi Dalam Pengelolaan Pemasaran
Kawasan Wisata Sanur Bali (Ni Wayan Rena Mariani) ... 402
Transformasi Spasial Kota Lasem : 1925 – 2015
(Nilta Rahmah, Agam Marsoyo dan Budi Kamulyan) ... 413 Pengembangan Transit Oriented Development Berbasis Sistem Transportasi
Berkelanjutan Penunjang Pariwisata
(Ananto Yudono, Arifuddin Akil dan Ade Mulawarman) ... 422
Tingkat Pelayanan Perahu Ketek Sebagai Angkutan Wisata Di Sungai Musi Kota Palembang
(Anta Sastika, Aleksander Purba dan Citra Persada) ... 432
Aplikasi Smart Province “Jogja Istimewa” Dalam Mendukung Kegiatan Pariwisata (Rini Rachmawati, Elvandio Ramadhan dan
Amandita „Ainur Rohmah) ... 443
Analisis Persepsi Dan Preferensi Wisatawan Dalam Upaya Penataan Fasilitas Wisata Air Panas Wai Platin (Anak Agung Sagung Alit -
Widyastuty dan Samuel Gabrie) ... 453
Penentuan Rute Potensial Sarana Angkutan Umum Massal
Berbasis Analisis Sistem Informasi Geografis di Kawasan Perkotaan Mamminasata (Ahmad Aulia Bahrun Amieq, Ananto Yudono,
Identifikasi Pengaruh Infrastruktur Transportasi Terhadap Gejala Peri
Urbanisasi Studi Kasus Pulau Jawa (Hadiyan Wijaya, Delik Hudalah) ... 469 Pengembangan Jalur Wisata Kabupaten Bantaeng (Ihsan, dkk) ... 476 Kebutuhan Pengembangan Fasilitas dan Infrastruktur Pariwisata
Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman
(Muhammad Baiquni, dkk) ... 488
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TERHADAP KEPARIWISATAAN
Quality of Life (QOL) Masyarakat Lokal pada Destinasi Wisata
Desa Gili Indah (Dian dinanti, Hadi Abdurrahman dan Nindya Sari) ... 502 Kewirausahaan Sosial Dalam Pengembangan Pariwisata
(Kasus Studi Kampung Di Kota Semarang)
( Holi Bina Wijaya, Muhammad Indra Hadi Wijayadan Putri Prasetyan) ... 515
Faktor Pengaruh Keberlanjutan Pariwisata Budaya Pada Kampung Lawas Maspati, Surabaya
(Ni Ketut Ratih Larasati dan Dian Rahmawati) ... 526
Ketangguhan Komunitas dalam Mendukung Pariwisata Berkelanjutan: Pelajaran dari Peristiwa Bom Bali
(Wayan Nanda Khrisna Pratama dan Putu Gde Ariastita) ... 533
Kajian Komponen Konsep Community Based Tourism
(Nindya Sari, Dzacki Rendy S dan Kartika Eka Sari)... 541
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Okura, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru
(Apriyan Dinat dan Asy-Syaukani) ... 550
Revitalisasi Desa Tua Sillanan-Tana Toraja Menjadi Kawasan Wisata Berkelanjutan Berbasis Budaya Lokal
(Arifuddin Akil dan Ananto Yudono) ... 559
Penyusunan Rencana Penataan Obyek Wisata Berbasis Masyarakat di Nglinggo, Kabupaten Kulonprogo
(Dyah Widiyastuti,T. Yoyok Wahyu Subroto, dan Henry Brahmantya) ... 572
Implementasi Desa Adat dan Peran Komunitas Masyarat Dalam Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata
di Nusa Penida dan Sekitarnya (Indrayani) ... 577 Pendekatan Kebijakan Fiskal dalam Konteks Pengembangan
Dampak Pariwisata Terhadap Penghidupan Berkelanjutan Masyarakat Pulau Gili Labak, Kabupaten Sumenep
(Heru Purboyo HP. dan Khairatul Ummah) ... 597
Karakter Tata Kehidupan Masyarakat Desa Ketep
Sebagai Desa Wisata Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang
(Eppy Yuliani, Al Aswad dan Metafia Ardiyani)... 610
Peran Program Desa Produktif Nasional Dalam Peningkatan Industri Rumah Tangga di Desa Tutul, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember
(Ratih Novi Listyawati) ... 618
Pengembangan Agroekowisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Di Nagari Koto Malintang Kabupaten Agam
(Harne Julianti Tou , Melinda Noer dan Helmi Sari Lenggogeni) ... 628
Pengukuran Kampung Seni Nitiprayan Yogyakarta Sebagai Art Based Creative District (ABCD)
(Ratri Winahyu, M. Sani Roychansyah dan Dyah Titisari Widyastuti) ... 635
Pengembangan Desa Wisata Karangtengah Berbasis Kearifan Lokal
(Dwinda Tanaya Cipta, Ratna Eka Suminar) ... 656
Pemanfaatan Daya Tarik Pusaka Budaya Sebagai Potensi Pariwisata Pusaka Desa Belandingan
(Ni G.A.Diah Ambarwati Kardinal, I Gusti Putu Anindya Putra,
I Nyoman Harry Juliarthana) ... 667 “Dieng Culture Festival” Memperkuat Brand Image Destinasi
Lewat Ajang Festival,
(Destha Titi Raharjana, dkk) ... 681
Reformulasi Konsep Ekoturisme Berbasis Partisipasi Masyarakat
(Wara Indira Rukmi) ... 692
Hambatan Struktural Pengembangan Sumber Daya Manusia Tenaga Pendidik Smk Pariwisata Di Pulau Lombok
(Janianton Damanik,dkk) ... 703
Pengembangan Pariwisata Aik Nyet Berbasis Masyarakat Sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Buwun Sejati
(Sri Apriani Puji Lestari dan Agus Kurniawan) ... 716 Peran Kelompok Masyarakat Sembalun Community Development Centre
Dalam Mengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Gunung Rinjani (Maria Christina Endarwati dan Royal Sembahulun,) ... 724 Kajian Ruang Hidup Berdasarkan Home-Range
Masyarakat Pesisir Desa Medana Kecamatan Tanjung
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata, Desa sukarara, kec. Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah,
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sri Rahmi Yunianti dan Laylan Jauhari) ... 751
PENGELOLAAN LINGKUNGAN TERHADAP KEPARIWISATAAN
Konfigurasi Kota Yang Efektif Untuk Memitigasi Urban Heat Island (UHI) Melalui Koridor Ventilasi Di Kota Bandung, Indonesia
(Eliana, dan Teti Armiati Argo) ... 762
Pengembangan Ekowisata Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung
Kawasan Pantai (Studi Kasus Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat)
(Henderina Lelloltery, dkk) ... 773
Evaluasi Jasa Lingkungan Kawasan Wisata Konservasi
Dengan Pendekatan Travel Cost Method (Kartika Eka Sari dan Nindya Sari) ... 785 Analisis Daya Dukung Lingkungan Pengembangan Pariwisata Kawasan
Hutan Lindung Sekaroh Kabupaten Lombok Timur (Lalu Razieb Ariaharf) ... 794 Strategi Pengembangan Kawasan Agrowisata Kabupaten Lombok Utara
(M. Rosulinanda,dkk) ... 803
Pengelolaan Sampah Organik “Eco Garbage Enzyme“ Sebagai Pestisida Ramah Lingkungan Pada Tanaman Hidroponik Sayuran Hijau
(Ni Wayan Yuliandewi) ... 815
Pariwisata dan Perubahan Iklim di Indonesia: Persepsi Wisatawan
di Kawasan Kuta, Bali (Nurrohman Wijaya, dkk) ... 821 Daya Dukung Lingkungan Wisata Subak Jatiluwuh Kabupaten Tabanan
Provinsi Bali (Rendiana Satya Pangestika dan Nadhia MaharanySiara) ... 829 Strategi Pengembangan Ecotourism Lereng Merapi Berbasis Konsolidasi
Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Sutaryono dan Aristiono Nugroho) ... 841 Identifikasi Bentuk/ Morfologi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota sebagai
Fungsi Ekologis Penyerap Air Hujan di Kelurahan Kalirungkut, Surabaya
(Tisa Angelia) ... 847
Analisis Karakteristik Dinamika Tanah Berdasarkan Data Mikrotremor di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
(Uzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro) ... 859
Pengaruh Karakteristik Wisatawan Terhadap Penilaian Kualitas Restoratif Kawasan Wisata Sanur, Bali (Wulan Dwi Purnamasari, I Gde Bintang Sena
Faktor Pemilihan Lokasi Bermukim Pada Kawasan Rawan Bencana Longsor Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat
(Baiq Harly Widayanti, Ardi Yuniarman dan Febrita Susanti) ... 875
Strategi Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Di Pesisir Kabupaten Tuban Dalam Mewujudkan Permukiman Yang Berkelanjutan
(Dr. Ir. Eko Budi Santoso,dkk) ... 891 Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Wisata Gunung Salak Endah (GSE)
Kabupaten Bogor (Janthy Trilusianthy Hidayat dan,Anton Apriansah) ... 906 Perencanaan Lanskap Vulkanik yang Berkelanjutan dalam Mendukung
Pariwisata Lokal. Studi Kasus: Kec. Lembang, Kabupaten Bandung Barat
(Nur Hepsanti Hasanah) ... 914
Desa Wisata Tangguh Bencana Studi Kasus : Desa Kebonagung, Bantul,
D.I. Yogyakarta (Ratna Eka Suminar dan Nadiya Pranindita) ... 921 Penentuan Prioritas Pengembangan Pariwisata Berbasis Daya Dukung
di Kawasan Puncak; Studi Kasus Lokasi Pariwisata di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
(Setyardi Pratika Mulya, Ernan Rustiadi dan Andrea Emma Pravitasari)... 933 Konservasi Lingkungan Hidup dan Ekowisata : Tantangan Status Cagar Alam
Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang dan Pembangunan Daerah
di Kabupaten Malang (Teti A Argo dan Muhajah Babny) ... 943 Inovasi Pengembangan Pariwisata Kabupaten Lombok Barat Berbasis Ekowisata
(Wisnu Sasongko, dkk) ... 952
Pendekatan Kolaboratif Dalam Pengelolaan Kebun Raya Untuk Pembangunan Wilayah Yang Berkelanjutan
(Anita Delina, Bakti Setiawan dan Deva Fosterharoldas Swasto) ... 964
Penentu Tingkat Keberhasilan Implementasi Pembangunan Taman Kota Dalam Upaya Mewujudkan Kota Berkelanjutan
(Meta Andan Sari, Retno Widodo dan Dwi Pramono) ... 972
Kinerja Pengembangan Obyek Wisata Desa Budaya Pampang Berdasarkan Persepsi Pengunjung (Ardiyanto Maksimilianus Gai,
Potensi Pengelolaan Kawasan Panatapan Danau Toba Oleh
Pemerintah Nagori Di Simalungun Dalam Kerangka Pembangunan
Berkelanjutan:
Studi Kasus Di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon
M. Ade Kurnia Harahap1 Sirojuzilam2 R.Hamdani Harahap2
Beni O.Y Marpaung2
1
Pengajar Pada Fakultas Teknik Universitas Simalungun dan Mahasiswa Program Doktor Pengembangan Wilayah USU
2
Pengajar Pada Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Keberadaan Panatapan yang ada saat ini di Kabupaten Simalungun terutama di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon tidak dikelola dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelenjutan. Indikator hal ini dapat dilihat dari kondisi bangunan di Panatapan yang tidak didukung oleh uji keamanan bangunan secara keteknikan, polemik status lahan yang merupakan lahan miring konservasi yang juga merupakan sempadan jalan serta sistem pengelolaan sampah yang tidak terpola. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dirasa perlu dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana potensi keberadaan pemerintahan Nagori sebagai sistem pemerintahan tradisional di Simalungun untuk bisa dilibatkan dalam pengelolaan kawasan Panatapan dalam mendukung pembangunan kawasan Danau Toba yang berkelanjutan.
Metode penelitian yang mendasari tulisan ini adalah studi kasusProses pengumpulan data penelitian ini mengandalkan observasi dan wawancara mendalam dengan didukung studi literatur untuk melihat regulasi kewenangan Nagori. Teknik analisas data dilakukan secara kualitatif dengan mengadopsi teknik etnografi.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama ini, pemerintahan Nagori tidak telah terlibat dalam perkembangan kawasan Panatapan namun oknum Pangulu dan atau aparaturnya secara beribadi ikut mendorong munculya aktivitas okupasi lahan di kawasan Panatapan. Potensi penggusuran usaha masyarakat di kawasan Panatapan sangat terbuka lebar karena status lahan yang diokupasi adalah lahan miring yang secara regulasi tidak boleh dikelola ditambah lagi lahan tersebut adalah bagian dari sepandan jalan. Pola bangunan di kawasan Panatapan yang saat ini terjadi secara artistik juga telah membatasi wisatawan untuk menikmati panorama pemandangan dengan lebih leluasa. Secara umum penelitian ini juga melihat bahwa peluang pemerintahan Nagori untuk terlibat dalam mengelola kawasan Panatapan secara lestari amat sangat besar namun dukungan regulasi untuk itu menjadi sangat penting.
Kata Kunci: Danau Toba, Panatapan, Pengelolaan Kawasan, Nagori
A. Pendahuluan
Sampai saat ini, keberadaan Danau Toba masih menjadi salah satu objek wisata unggulan di Sumatera Utara. Namun demikian, tingkat kunjungan wisatawan lokal maupun manca negara dari waktu ke waktu relatif menurun. Banyak sudah upaya dilakukan oleh semua pihak untuk mengembalikan pamor Danau Toba. Upaya mutakhir adalah dengan menetapkan kawasan Danau Toba sebagai kawasan strategi nasional. Namun demikian, bagian terberat dalam upaya pengembangan kawasan ini adalah mesinergikan setiap upaya dengan peningkatan kesejateraan penduduk di sekitarnya.
Salah satu bagian dari kawasan Danau Toba yang secara langsung berkaitan dengan
kesejahteraan penduduk adalah kawasan “Panatapan”1.
Secara geografi, beberapa nagori2 yang masuk dalam beberapa kecamatan di
Kabupaten Simalungun memiliki hubungan langsung dengan kawasan Danau Toba. Pada masing-masing nagori yang tinggal masyarakat yang memiliki karakter yang beragam. Untuk bisa mengembangkan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata terutama terkait dengan pengeloalan ruang terbuka publik, dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Pariwisata Berbasis Komunitas (PBK) yang diajukan oleh Damanik (2013). Pengelolaan pariwisata model ini tentunya tetap harus memperhatikan kondisi sumberdaya alam, lingkungan dan manusia yang ada di dalamnya. Mengingat pengelolaan kawasan Danau Toba di Kabupaten Simalungun akan bersentuhan dengan kelompok masyarakat yang memiliki karakter yang beragam, maka diperlukan sebuah model pengembangan kawasan pariwisata yang memang harus bersifat lokalistik namun harus sesuai dengan prinsip pembangunan kawasan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan pemerintah.
Semangat melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan ruang terbuka publik dalam mendorong tumbuhnya daya saing pariwisata tentu sebuah hal yang baik. Kondisi ini semakin terlihat penting saat otonomi daerah di tingkat desa telah lahir melalui pengundangan Undang-undang Nomor 6 tentang Desa pada tahun 2014. Kehadiran undang-undang ini secara langsung jelas memberikan ruang yang lebih luas bagi desa sebagai basis daerah otonom. Untuk kasus di Simalungun, salah satu tema manarik terutama di Nagori yang terletak di peninggiran Danau Toba adalah menyangkut keterlibatan pemerintah Nagori dalam kewenangan pengaturan ruang terbuka publik yang bila dispesifikkan merujuk pada kawasan “Panatapan”. Kahadiran kawasan ini jelas memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi pemanfaatan kawasan penatapan oleh masyarakat sebagai lokasi berdagang adalah baik, namun pola pengusahaannya yang membatasi akses pengunjung dalam hal ini wisatawan untuk menikmati ruang publik ikut menurunkan kualitas estetika dan kepuasan pengunjung. Berdasarakan kondisi demikian, maka diperlukan sebuah penelitian yang lebih khusus untuk membahas tentang bagaimana posisi pemerintahan nagori dalam pengelolaan kawasan ruang terbuka publik dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Urgensi pengadopsian prinsip pembangunan berkelanjutan adalah untuk menjamin
bahwa pola pengelolaan kawasan Panatapan tersebut harusnya mampu
mempertahakan daya dukung lingkungan atas kehidupan manusia tidak hanya saat ini namun juga di masa yang akan datang.
Sesuai dengan gambaran fenomena yang disampaikan sebelumnya, maka lingkup masalah ini tentu dibasatai oleh satuan wilayah yang menjadi perhatian yaitu kawasan Danau Toba yang masuk dalam wilayah Kabupaten Simalungun. Sementara itu, berkesesuaian dengan gambaran latar belakang yang telah disampaikan, maka masalah penelitian yang potensial untuk dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana pola penataan dan pengelolaan ruang terbuka publik berupa kawasan
Panatapan di sekitar Danau Toba yang selama ini berlangsung di Kabupaten
Simalungun serta bagaimana keterlibatan pemirintahan Nagori guna mendorong
1Panatapan adalah konsep lokal yang secara umum digunakan untuk menyebut spot pemandangan atau lokasi yang digunakan sebagai tempat untuk menimati pemandangan suatu kawasan wisata dengan sudut padang yang relatie luas dan biasanya berada di ketinggian dan kawasaan terebut juga dapat dikategorikan sebagai ruang terbuka umum/ ruang publik
2 Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun Nomor 13 TAHUN 2006 disebutkan bahwa Nagori adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat setempat,berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
peningkatan daya saing pariwisata guna menjamin kesejahteraan penduduk dengan mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan?
B. Tujuan dan Mafaat Penelitian
Merujuk pada rumusan yang hendak dibahas melalui penelitian ini, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola pengelolaan kawasan ruang terbuka publik di sekitar Danau Toba serta bagaimana posisi pemerintah Nagori dalam pengelolaannya guna mendorong peningkatan daya saing pariwisata guna menjamin
kesejahteraan penduduk dengan mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Sementara itu, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah akan ditemukannya sebuah pola pengelolaan atas ruang publik di sekitar kawasan Danau Toba yang berlangsung selama in dna strategi pelibatan pemerintahan Nofor dala i. Tidak hanya itu, hasil penelitian ini kemudian dengan bantuan pemikiran teoritis dapat dipergunakan sebagai pisau analisis untuk melahirkan sebuah model pengembangan kawasan wisata yang berdaya saing dan bersinergi dengan peningkatan kesejahteraan penduduk melalui pembangunan berkelanjutan berbasis komunitas.
C. Kerangka Pikir
Secara garis besar ada banyak penelitian tentang pengelolaan ruang publik yang secara langsung terkiat dengan aspek ekonomi penduuduk. Namun demikian, penelusuran publikasi ilmiah tentang pengelolaan kawasan Panatapan dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing pariwisata serta kesejahteraan penduduk masih sangat terbatas terutama kajian yang menggunakan perspektif pembangunan berkelanjutan. Sekalipun demikian, dalam rangka mendukung studi ini, terdapat beberapa penelitian tentang tema terkait yang layak dirujuk dalam membantu pembentukan kerangka pikir dalam penelitian ini. Beberapa diantaranya adalah tulisan Aristian (2011) yang membahas tentang permasalah pengelolaan ruang terbuka publik yang lebih difokuskn pada pengelolaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Beberapa tulisan lainnya yang membahas tentang pengelolaan ruang terbuka publik adalah Zuhaidha, dkk (2011) yang membahas tentang pengelolaan ruang terbuka hijau di Kota Semarang dikaitkan dengan pengembangan kawasan wisata.
Menyimak bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan adalah kacamata yang digunakan dalam membahas pengembangan pengelolaan kawasan panatap sekaitar Danau Toba di Simalungun, maka memahami prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi penting. Pada beberapa literatur disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang.
Pembangunan berkelanjutan sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para ahli. Namun istilah keberlajutan (sustainability) sendiri baru muncul beberapa decade yang lalu, walaupun perhatian terhadap keberlanjutan sudah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersedian lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian, perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to Growth (Meadowet at al.,1972) dalam kesimpulannya, bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlajutan pun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal, (dalam Fauzi, 2004), konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi; (1) dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, (2) dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan.
Pezzey (1992) melihat aspek keberlajutan dari sisi yang berbeda. Dia melihat bahwa keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah. Karena adanya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi
Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu, Hall (1998) menyatakan bahwa asumsi keberlajutan paling tidak terletak pada tiga aksioma dasar;
(1) Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif dalam jangka panjang.
(2) Menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic wellbeing.
(3) Mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan. Konsep ini dirasakan masih sangat normatif sehingga aspek operasional dari konsep keberlanjutan ini pun banyak mengalami kendala.
Dalam tulisannya lain, Perman et al., (1999) mencoba mengelaborasikan lebih lanjut konsep keberlanjutan ini dengan mengajukan 5 lima alternatif pengertian.
(1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption),
(2) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang,
(3) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (nondeclining),
(4) Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan keberlanjutan adalah adanya kondisi keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.
Sedangkan pandangan Haris (dalam Fauzi, 2004) melihat bahwa konsep keberlajutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu;
Keberlajutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang
mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlajutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.
Keberlajutan lingkungan: Sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.
Keberlajutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Merujuk pada penjelasan tentang konsep pembangunan berkelanjutan berikut ciri-cirinya diatas, maka dapatlah dipahami bahwa upaya mengembangkan kawasan
Panatapan yang bersiergis dengan peningkatan kesejhateraan juga harus mengitrodusir nilai keberlangsungannya di masa yang akan datang. Untuk itu, pelibatan masyarakat lokal dalam perancangan pembangunan yang berkelanjutan menjadi penting. Pada kasus Panatapan di kawasan Simalungun, arti penting pelibatan masyarakat dalam rencana pengembangan kawasan Danau Toba juga harus memperhatikan keberadaan pranata sosial yang sudah ada.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kabupaten Simalungun lebih tepatnya lagi di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon. Lokasi ini dipilih karena kawasan Panatapan di kecamatan ini telah lama diokupasi masyarakat sebgai tempat berusaha. Tidak hanya itu, kawasan panatan di kecamatan ini telah berkembang baik secara kualitas bangunan tempat usaha maupun jumlah pengunjungnya.
Merujuk pada masalah serta disiplin ilmu yang mendasarinya, maka penelitian menggunakan metode atau pendekatan yang dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya dinamakan studi kasus. Studi kasus merupakan pendekatan yang berusaha mempertahankan keutuhan (wholeness) sesuatu objek. Atas dasar itu, maka data yang diperlukan akan digali dari seluruh aspek yang berkaitan dengan objek yang dikaji yang kemudian akan diupayakan untuk bisa menggambarkan objek secara luas dan mendetail melalui berbagai sumber data yang relevan. Dilihat dari sifat penelitian yang digunakan, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data utama yang dicari dalam penelitian model deskriptif kualitatif ini adalah informasi tentang kata-kata dan tindakan (Moloeng, 1991) dari pihak-pihak yang terlibat baik masayarakat dan perencana pembangunan dalam kaitannya dengan upaya menarasikan pola pengelolaan kawasan wisata yang berlangsung saat ini dan pengembangannya ke depan.
Seluruh data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan studi pustaka. Observasi dilakukan di lokasi dengan mengamati seluruh kondisi, kegiatan, aktivitas dan hal-hal faktual yang ditemukan pada objek studi yaitu kawasan panatan. Teknik ini menggunakan alat bantu berupa kamera saku. Sedangkan wawancara dilakukan kepada para pelaku usaha atau mereka yang melakukan okupasi lahan di kawasan Panatapan. Tidak hanya itu, wawancara juga dilakukan kepada para aparatur pemerintahan nagori. Data dalam penelitian ini juga diperoleh melalui studi dokumen utamanya terkait dengan regulasi kewenangan pemerntahan Nogari dalam mengelola aset.
Setelah data terkumpul, maka selanjutnya data dianalisis secara deskritif kualitatif dengan mempertimbangkan sumber dan temanya. Secara garis besar, proses analisis data berjalan sebari proses pengumpulan dilakuka. Teknik ini lebih dikenal dengan teknik on going analysis.
E. Hasil dan Pembahasan
e.1. Kondisi Umum dan Pola Pengelolaan Panatapan di Girsang Sipangan Bolon
Perlu dipahami bahwa kawasan ruang terbuka publik berupa area panatapan yang ada di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon mayoritas berada dalam wilayah Nagori Sibanganding. Kondisi umum kawasan ini hanya berupa jejalan kedai yang memanjang mengikuti ruas jalan utama Pematang Sinatar- Parapat. Dari hasil wawancra diketahui bahwalokasi Panatapan ini mulai diokupasi oleh penduduka sekitar 25 tahun yang lalu.
dan kedai kopi/ rumah makan, itupun jumlahnya tidak lebih dari 4 unit. Seiring dengan perkembangan, maka lambat laun okupasi lahan miring yang juga berstatus ruang terbuka pulik ini mulai bertambah. Pada awalnya mereka yang mengokupasi lahan di
Panatapan ini hanyala penduduk sekitar Nagori Sibaganding semata, namun
belakangn penduduk luar juga sudah mulai ikut mengusahainya dengan status sewa pada mereka yang membuka lahan.
Jika kita menuju Kota Parapat dari arah Kota Pematang Siantar, maka sejak sekitar 6 km sebelum memasuki Parapat dahulunya kita akan disuguhi pemandangan yang dengan bebas bisa kita lihat. Di sebelah kanan kita kan disuguhi Panorama Danau Toba dengan perpaduan warna hijau dan biru dengan jurang terjal tepat disisi kanan jalan. Sementara itu, di sebelah kiri kita akan disuguhui penampakan punggung gunung atau bukit dengan dominasi warna hijau pohon dan ilalang pada beberapa bagian dan warna hitam bebatuan pada bagian kecil lainnya.
Semenjak kawasan lahan miring di Nagori Sibanganding mulai ramai diokupasi sejak 25 tahun lalu, maka suasana itu tidak lagi dengan mudah kita nikmati. Bangunan kedai yang berjajar seakan menjadi pembatas bagi siapapun untuk menikmati panorama keindahan Danau Toba dengan bebas. Pemandangan indah Danau Toba tetap dengan bisa diakses namun kita harus singgah pada bangunan kedai-kedai yang ada tersebut. Pad ahari-hari biasa, tidak banyak aktifitas yang bisa kita lihat saat pertama kita memasuki daerah Panatapan di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon ini. Hal yang paling umum terkihat hanyalan kendaraan yang lalu lalang dengan volume yang tidak begitu besar dihari biasa di menjelang akhir minggu jumlahnya akan bertambah. Kalau pagi hari menyusurii kawasan ini, kita biasanya hanya melihat beberapa warga yang membersihkan pekarangan kedai mereka dan bebukitan di seberang jalan. Belkangan ini kita juga akan melihat aktifitas masyarakat yang sedang melakukan proses pembangunan kedai di sekitar Panatapan. Pada beberapa kedai lainnya kita akan menjumpai aktifitas pedagang yang melayani para pengunjung yang datang.
Jika liiburan menjelang, kondisi sedikit berubah. Di musim liburan daerah
Panatapan ini akan sangat ramai di singgahi oleh para pengunjung. Semua kedai relatif
akan buka dan kita kan melihat jajaran mobil dan atau kendaraan yang di Parkir pada halaman kedai yang di sebagian lokasi kondisi hampir tidak berjarak dengan badan jalan. Penelusuran pada aparatur pemerintahan Nagori Sibaganding tidak diperoleh jumlah pasti berapa jumlah pasti bangunan kedai atau tempat usaha di kawasan
Panatapan yang ada di wilayah mereka. Pengamatan sambil lalu memperkirakan
jumlah bangunan kedai mencapai puluhan mendekatu ratusan. Kondisi bangunan kedai di kawasan ini juga beragam namun didominasi oleh bangunan semi permanen dan permanen. Saat ini, di beberapa kedai pengelola telah membangun tajuk atau tera di bagian yang menghadan danau toba dengan struktur beton sehingga proses menikmati pemandangan bisa dengan leluasa tapi tetap harus masuk terlbih dahulu ke kedai mereka.
Hasil wawancara dan observasi memperlihatkan bahwa jam operasional setiap usaha adalah tergantung pemilik kedai. Beberapa pemilik kedai yang buka hanya saat musim liburan saja jadi kalau tidak musim liburan kedai mereka akan dibiarkan begitu saja. Untuk sebagian lagi ada juga yang buka jika ada anggota keluarga mereka yang sempat dan mau menjaga kedai. Namun demikian dapat dipastikan jika rata-ratai pemilik kedai di kawasan Panatapan ini membuka kedai mereka selama 24 jam.
Mengenai pengelolahan sampah, masyarakat sekitar Panatapan lebih memilih untuk turun langsung membersihkan sampah-sampah di pekarangan mereka. Aktifitas membersihkan sampah biasanya dilakukan di pagi dan sore hari dengan cara membakar sampah-sampah pada tempat tertentu atau tanah yang digali. Pemerintah kabupaten sendiri tetap menyediakan truk pengangkat sampah untuk mengangkut sampah-sampah yang tertumpuk di sekitaran pemilik kedai. Namun demikian, pada
halaman kedai yang tidak berpenghuni akan didapati sampah-sampah yang dibiarkan berserakan.
Fasilitas yang tersedia di kawasan tersebut adalah seperti kamar mandi umum, dan ruang sholat untuk yang sebagian kondisinya masih terjaga. Selian fasilitas itu, di beberapa kedai telah tersedia fasilitas khusus untuk spot foto. Air bersih di kawasan ini didapat langsung dari sumber mata air pegunungan yang di tampung di dalam tank besar. Karenanya untuk pengadaan air bersih, sejauh ini para pengelola usaha di panatan tidka merasa kesulitan.
Penelusuran atas proses memulia usaha di kawasan ini memperlihatkan kenyataan bahwa pembangunan bangunan kedai di kawasan ini sebagian tidak berlangsung secara bertahap, bahkan ada yang memiliki waktu sela pembangunan
mencapai 5 tahun. Hal ini seprti disampaikan oleh salah satu informan, Opung
Kesdam Boru Sinaga yang berusia 65 tahun. Dalam peneuturannya ia menceritakan bahwa ia melanjutkan kembali pembangunan kedai milik orang tuanya yang setelah 5 tahun terhenti. Data yang diperoleh dilapangan juga memperlihatkan bahwa kebanyakan masyarakat sekitar penatapan merupakan penduduk asli yang bersuku Batak Toba dan sebagian kecial berasala dri suku Simalung. Sejauh ini tidak ada strategi khusus yang mereka lakukan dalam upaya membangun kedai mereka bahkan untuk mempertahankan kedai mereka. Hal ini dikarenakan status lahan yang dimiliki adalah milik pribadi dan merupakan kepunyaan masyarakat sekitar. Dengan demikian masyarakat masih bisa membangun kedai mereka sendiri tentunya dengan modal sendiri. Walaupun demikian, pemeirntah melalui pihak kecamatan juga sudah menggagasbeberapa ketentuan dalam mebangun bangunan di kawasan Panatapan diantaranya adalah himbauan kepada masyarakat agar tidak membangun kedai
karena ini daerah larang kelola yang mana kemiringan tanahnya lebih dari 600 dan hal
ini dapat membahayakan mereka. Hal unik lainnya adalah walaupuan lahan dikawasna ini milih diyakini milik leluahur, namun ijin kepemilikan tidak bisa dikeluarkan karena statusnya yang memang merupakan lakan konservasi serta ruang tebruka publik berupa sempadna jalan. Sekalipun demikian hal unik yang ditemukan di lapangan adalah adanya beberapa kedai yang mempunyai izin dari kecamatan berupa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sekalipuan demikian, pada beberapa kasus terungkap bahwa bagi para calon pemilik usaha yang ingin mendirikan bangunan ini, biasanya akan di seleksi lokasinya oleh pihak Kecamatan.
Sejuah ini data yang diperoleh memperlihatkan bahwa tidak ada tarif khusus yang
harus di bayarkan oleh pengelola kedai kepada pemerintah daerah baik pihak
kecamatan atau aparatur nagori kecuali retribusi parkir yang dibayarkan kepada Dinas Perhubungan dan tarif tersebut adalah sebesar Rp. 15.000 / hari. Selian itu para pengelola juga dikenati retribusi sampah yang mana petugasnya dari pihak kecamatan sendiri dengan tarif yang dikenakan Rp. 5.000 / minggu. Selai itu masyarakat pemilik usaha hanya perlu membayar pajak wajib yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada negara setiap tahunnya. Untuk hal ini ada sedikit yang unik sebab dari beberap informan yang diwawnacarai tidak satupun yang memiliki sertifikat hak milik namun sebagian mengaku memang mambayar pajak bumi dan bangunan. Pendalaman akan hal ini dirasa perlu namun pada studi ini belum berhasil diperoleh.
e.2. Peran Eksisting Aparatur Nagori Sibaganding dalam Pengelolaan Panatapan
Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya bahwa statuas kepemilikan tanah di
Panatapan tersebut merupakan kepemilikan leluhur. Dalam proses okupasi lahan
terebut, urusan izin membangun usaha tidaklah dipersulit oleh pihak aparatur kecamatan maupun nagorinya. Hanya saja yang menjadi penghambat saat ini adalah pengesahan kepemilikan tanah yang belum di beri sertifikat kepemilikan. Sejauh ini peranan aparatur nagori disini hanya mengawasi dan mengontrol serta mempermudah
menghimbau warga agar tetap menjalakan usaha dengan sambil menjaga ekosistem yang ada demi keselamatan bersama.
Secara regulasi, lahan di kawasan Panatapan merupakan lahan yang dilarang
untuk dikelola hanya karena struktur dari kemiringan tanahnya yang lebih dari 600.
Kemiringan seperti itu akan sangat berisiko jika dikelola. Resiko terbesar adalah bencana seperti longsor dan lainnya yang dapat membahayakan warga sekitar. Pihak nagori sendiri sudah sering mensosialisasikan masalah ini, namun karena alasan masyarakat yang mengggantungkan kehidupan pada usaha mereka, maka pihak aparatur nagori tidak bisa berbuat apa. Karena seluruh kawasan di parapat ini merupakan ekowisata yang tetap harus dijaga kelestariannya sangat penting bagi seluruh masyarakat untuk saling menjaga kelestarian alam, oleh karenanya pemerintah setempat tetap memberikan izin usaha kepada masyarakat dengan syarat tetap menjaga ekosistem yang ada. Selama menjalankan usaha di Panatapan ini para pelaku usaha mempunyai hubungan yang penting dengan aparatur nagori karena dari sini para aparatur saling bekerja sama dengan masyarakat dalam urusan menyampaikan keluhan dan perizinan mereka kepada kecamatan, selain itu adanya gotong royong yang terus menerus mereka lakukan di sekitaran Panatapan.
e.3. Analisis Potensi Nagori dalam Penataan Ruang Publik di Kawasan Danau Toba: Kasus Pengembangan Panatapan di Nagori Sibaganding
Secara eksplisit kewenangan nagori dalam penataan kawasan nagori tertuang pada pasal 150 Peraturan Daerah Simalungun No. 13 tahun 2006 tentang Pemerintahan Nagori. Pada pasal 150 Bab VIII, Penataan Kawasan Nagori dijelaskan bahwa Penetapan kawasan Nagori bertujuan untuk menata ruang suatu Nagori guna tercapainya keseimbangan dan keharmonisan atara fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman,pelayanan jasa public dan social,serta fungsi kawasan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pasar. Dengan aturan ini maka secara jelas keberadaan beberapa ruang publik menajdi kewenangan nagori untuk mengatur pengelolaannya termasukla areal “Panatapan”. Sejalan dengan itu, salah satu kewenangan nagori yang semakin menguat seiring dengan diundangkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa adalah menyangkut kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu bagian dari komponen sumberdaya alam dan lingkungan adalah Panatapan sebagai ruang publik. Pada konteks di beberapa nagori yang terletak di sepanjang pesisir Danau Toba, keberadaan Panatapan ini memiliki arti penting baik secara ekologis dan ekonomis. Atas dasar kondisi tersebut, maka penataan tata kelola Panatapan memiliki urgensi tersendiri bago nagori-nagori tersebut dalam rangka pengembangan kesejahteraan masyarakat.
Nilai ekologis Panatapan dapat dilihat dari fakta bahwa mayoritas Panatapan berada di tepi jalan dengan kondisi lahan yang cukup terjal dan kemiringan lahannya di atas 45%. Dengan tingkat kemiringan lebih dari 45 % maka dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut adalah lahan konservasi yang tidak boleh dikelola. Sementara itu dari sudut ekonomis, kehadiran Panatapan tersebut merupakan sarana pendukung wisata yang sayangnya dalam kajian estetika lingkungan wisata malah mengancam perkembangan pariwisata. Pola penataan kawasan Panatapan sebagai ruang publik telah dikavling menjadi kawasan privat oleh pengelola kedai sehingga upaya menikmati pemandangan dan panaroma kawasan Danau Toba oleh pengunjung menjadi terganggu. Secara umum pola penataan kawasan Panatapan yang kerap dijumpai di sepanjang Nagori Sibaganding yang berada di pinggiran Danau Toba dapat dilihat pada model berikut ini:
Gambar 1. Sket Pengelolaan umum Kawasan Panatapan Saat ini
Memperhatikan aspek ekologis dan ekonomi kawasan Panatapan tersebut, maka menjadi relevan memperbincangkan potensi keterlibatan pemerintahan nagori dalam mengelolanya sebagai sumber pendapatan nagori. Hal ini paling tidak tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 16 tahun 2000 tentang Sumber Pendapatan Nagori di Kabupaten Simalungun. Pada pasal 2 poin 1 peraturan daerah terbeut disebutkan bahwa sumber pendapatan nagori terdiri atas: (a) pendapatan asli nagori yang meliputi; (1) hasil usaha nagori, (2) Hasil Kekayaan Nagori, (3) Hasil Swadaya dan Partisipasi, (4) Hasil Gotong Royong dan (5) lain-lain pendapatan asli Nagori yang sah. Sedangkan pada pasal 3 disebutkan bahwa kekayaan Nagori terdiri atas:
a. Tanah Kas Nagori b. Pasar Nagori c. Bangunan Nagori
d. Objek rekreasi yang diurus oleh Nagori e. Pemandian umum yang diurus oleh Nagori
f. Hutan Nagori
g. Perairan/ pantai dalam batas tertentu yang diurus oleh Nagori h. Tempat-tempat pemandian sungai
i. Pelelangan ikan yang dikelola oleh nagori
j. Jalan nagori; dan
k. Lain-lain kekayaan milik nagori
Merujuk pada isi peraturan daerah terebut, maka keberadaan Panatapan pada beberapa Nagori di sepanjang garis pantai Danau Toba adalah potensial dikembangkan menjadi sumber pendapatan nagori. Peluang itu menjai semakin etrbuta seiring dengan diundangkannya undang-undang no. 6 tahun 2014 tentang desa.
Berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa pola pengelolaan kawasan Panatapan yang berlaku saat ini memiliki banyak keterbatasan untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan. Pola bangunan yang didirikan oleh masyarakat di kawasan Panatapan jelas memberikan keterbatasan bagi pengunjung di Danau Toba. Tidak hanya itu, estetika bangunan secara arsitektur juga jelas mengurangi dimensi keindahan kawasan di ruang publik. Akiibatnya orang menjadi sangat tidak terdorong untuk menikmati keindahan kawasan Danau Toba dalam waktu yang lama. Keasrian kawasan yang tidak terjaga juga dipastikan akan bisa mempengaruhi kepuasan pengunjung. Dalam upaya mengatasi keterbatasan itu, melalui undang-undnag desa yang baru, epmerintahan Nagori semakin diberi ruang untuk terlibat. Pelibatan itu tentunya memiliki dimensi tujuan yang beragam. Namun demikian, usaha panjang
Public Space
Danau Toba
Bangunan Menghalangi pandangan pengunjung
Panatapan juga masih memiliki keterbatasn terutama pada kesiapan apatarur
pemerintahan nagori untuk melahirkan regulasi pengelolaan kawasan Panatapan. Beberapa keterbatasan lainnya, adalah sejauh ini identifikasi atas spot atau lokasi potensial sebagai kawasan belum terlaksana dengan baik di masing-masing nagori. Tidak hanya itu sinergitas pengelolaan kawasan Panatapan ini dengan aturan pengeloalan kawasn kopnservasi juga menjadi hal yang ahrus dilakukan. Semua itu akhirnya berpulang pada kesiapan aparatur pemerintahan nagori termasuk, Pangulu, Tungkat Nagori, Maujana dan lainnya untuk memanfaatkan peluang keweangan yang diamanatkan oleh Undang-undang no. 6 tahun 2004 tentang desa. Bila hal ini bisa didorong, maka upaya peningkatakan kesejahteraan masyarakat melalaui pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan Nagori akan bisa terwujud.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa kesimpulan yang bisa diajukan dalam kaitannya untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Beberapa kseimpulan itu diantaranya adaah:
1. Polemik pengelolaan kawasan Panatapan di Nagori Sibaganding sejuah ini memang masih belum menjadi persoalan sekalipun secara formal ada banyak aturan dan atau regulasi yang dilanggar. Pengelolaan Panatapan selama ini secara faktual memberi akses terbatas pada pengunjung Danau Toba untuk menikmati dan hal ini berpotensi untuk menurunkan minat kunjungan orang. Di satu sisi pengeloaan selama ini secara ekonomi memang ikut meningkatkan pendapatan penduduk, secara sosial belum memunculkan konflik, namun secara ekologis masih perlu penyesuaian terutama berhubungan dengan aspek kelestaraian dan keamananan bangunan dari susaut keteknikan.
2. Peran aparatur nagori sejauh ini hanya sebatas perpanjangan tangan dari pemerintah kecamatan dan kabupaten tanpa dibarengi dengan kewenangan untuk menerima manfaat secara ekonomi pada pendapatan asli nagori. Sementara itu secara hukum, pelibatan pemerintahan Nagori pada pengelolaan kawasan ruang terbuka publik berupa Panatapan di nagori Sibaganding sangat terbuka lebar untuk mendorong peningkatan pendapatan nagori yang pada gilirannya akan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sekalipun demikian, kemampuan aparatur pemerintahan nagori secara operasional dalam mengelola kekayaan nagori sebagai sumber pendapatan masih sangat diperlukan. Proses peningkatakan kemampuan itu sendiri harus dilihat dalam kerangka persiapan implementasi undang-undang no. 6 tahun 2004 tentang desa
Sementara itu, hal umum yang bisa disarankan dari studi ini adalah perlunya dilakukan segera sebuah upaya pengkajian yang lebih mendalam tentang penyesuaian substansi isi Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 13 tahun 2006 tentang Pemerintahan Nagori dengan kandungan yang ada pada undang-undang No. 6 Tahun 2004 tentang desa. Penyesuaian ini menjadi penting sebab beberapa aturan operasional tentang otonomi daerah terutama di kawasan Simalungun ini lebih dahulu ditetapkan dari pada pengundangan Undang-undang desa. Sebut saja, peraturan tentang sumber pendapatan Nagori sudah ditetapkan melalui peraturan daerah No. 16 tahun 2000. adapun aturan tentang pemerintahan nagori baru ditetapan oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah No. 13 tahun 2006. Sedangkan payung hukum tentang otonomi desa baru diundangkan melalui undang-undang No. 6 tahun 2014. Ini artinya ada aturan yang lebih opersioanl lebih dahulu keluar dibandingkan dengan payung hukum induknya.
Daftar Pustaka
Aristian, Febry. (2011) Ruang Terbuka Hijau Dalam Perencanaan Kota, makalah dimuat pada http://febryaristian.blogspot.co.id
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hall, G. (1998) Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability.Columbia University Press. New York
Damanik, Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Meadowet et.al.(1972) The Limits to Growth. Universe Books. New York
Moleong, Lexy J. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya Pezzey, John. (1992)"Sustainabilty: An Interdisciplinary Guide." Environmental Values
1, no. 4 . Page 321-362 juga dimuat pada
http://www.environmentandsociety.org/node/5473
Perman, at. al. (1999)natural Resoaurce and Environmental Economics. 2nd Edition.
Longman; London
Zuhaidha, Sylvia Ayu., dkk (2011) Perencanaan Strategi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang (Studi Kasus : Hutan Wisata Tinjomoyo). Makalah dimuat pada http:// portalgaruda.org