1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rongga mulut dilapisi oleh membran mukosa yang tersusun atas dua lapisan yakni epitelium dan jaringan ikat (lamina propia) di bawahnya. Secara histologis mukosa mulut termasuk dalam stratified squamous epithelium (Chiergo, 2014). Mukosa mulut berfungsi sebagai pelapis dan pelindung dari penetrasi mikroorganisme patogen, namun secara spesifik dapat diklasifikasikan lagi sebagai berikut, pertama masticatory mucosa yang melekat pada tulang dan tidak meregang seperti mukosa gingiva dan palatum durum; kedua, specialized mucosa yang mengandung kuncup pengecap seperti dorsum lingua; dan terakhir, lining mucosa yang melapisi otot sehingga dapat ikut berkontraksi dan relaksasi seperti pada bukal, bibir, vestibulum, dasar lidah, dasar mulut, dan palatum molle (Chatterjee, 2006; Nanci, 2013).
Salah satu bagian dari mukosa mulut adalah mukosa bukal, yang berdasarkan fungsinya termasuk dalam lining mucosa. Mukosa bukal memiliki epitel yang tidak terkeratinisasi dan tersusun atas 3 lapisan, yakni stratum basale berbentuk kuboid, kemudian stratum intermedium atau spinosum berbentuk oval, dan terluar adalah stratum superficiale berbentuk datar dengan nukleus berbentuk oval dan kecil (Chatterjee, 2006; Chiergo, 2014). Mukosa bukal juga memiliki fungsi utama yakni pelapis dan pelindung, sehingga dapat berperan sebagai pertahanan utama terhadap penetrasi mikroorganisme patogen yang mampu
menghasilkan racun dan menyebabkan infeksi (Squier dan Brodgen, 2010; Nanci, 2013). Sel epitel mulut juga dapat mensekresikan faktor antimikroba yang berperan terhadap respon imun bawaan, seperti defensin dan cathelicidine (Squier dan Brodgen, 2010). Meskipun mukosa berfungsi sebagai pelindung dari penetrasi mikroorganisme patogen, mikroorganisme patogen ternyata mampu bertahan dari respon imun tersebut dan bergabung dengan sel epitel sehingga dapat tetap bereplikasi membentuk biofilm dan menyebabkan infeksi akut dan kronis (Limsuwan dkk., 2014; Takamatsu dkk., 2005 sit Nobbs dkk., 2015).
Salah satu mikroorganisme penyebab infeksi adalah Streptococcus mutans. Streptococcus mutans sebenarnya merupakan flora normal yang dijumpai di dalam mulut, tetapi juga termasuk bakteri komensal mulut. Sebagai flora normal, S. mutans dapat bertahan hidup secara harmonis dengan jaringan inangnya. Streptococcus mutans bersifat komensal sehingga mampu berubah dari kondisi non-patogenik menjadi patogenik dan menyebabkan beberapa penyakit infeksi jika pertumbuhannya tidak terkontrol (Tao dkk., 2011; Masburn-Warren dkk., 2010 sit Nobbs dkk., 2015).
Kemampuan streptococcus menginfeksi diawali dengan terbentuknya interaksi antara sel bakteri dan jaringan inang melalui reaksi adhesin dan reseptor. (Takamatsu dkk., 2005 sit Nobbs dkk., 2015). Adhesin kemudian akan mengarahkan bakteri ke area awal kolonisasi seperti permukaan gigi, mukosa bukal, lingual, tonsila, dll. Apabila kondisi lingkungan menguntungkan, mikroorganisme tersebut akan membentuk biofilm dan menyebabkan infeksi akut serta kronis (Limsuwan dkk., 2014; Nobbs dkk., 2009 sit Nobbs dkk., 2015).
Beberapa macam gangguan pada rongga mulut yang berhubungan dengan infeksi streptococcus diantaranya Candida-assosiated denture stomatitis yang juga melibatkan S.amutans, Angular cheilitis, dan Mucosal nodule atau Bohn’s
nodule (Webb dkk., 1998, Shear, 1992 sit. Wan dkk., 2001; Wan dkk., 2001). Pada pasien kemoterapi juga sering dijumpai ulserasi pada mukosa mulut, yang menjadi pintu masuk bagi bakteri ini, sehingga menyebabkan mukositis dan bakteremia streptococcus (Ruescher, dkk., 1998). Oleh karena banyaknya penyakit infeksi yang disebabkan oleh perlekatan S.amutans ke jaringan inang,
maka diperlukan adanya agen antibakteri yang efektif dalam mengurangi terbentuknya perlekatan tersebut.
Kitin merupakan polimer alami yang banyak dijumpai sebagai penyusun alga, dinding sel jamur, dan eksoskleteon antropoda (crustacea dan insekta) (Raafat dan Sahl, 2009). Cangkang kepala udang mengandung 15-20% atau 20-30% kitin, 21% atau 25-40% protein, dan 40-50% mineral atau 45-50% kalsium karbonat. Akan tetapi pembuatan chitosan lebih sering dibandingkan dengan kitin, sebab kitin lebih bersifat tidak mudah larut maka perlu dibuat senyawa turunannya yang memiliki tingkat kelarutan lebih tinggi yakni chitosan (Hargono dkk., 2008).
Di Indonesia, pemanfaatan kulit udang sebagai chitosan masih cukup rendah jika dibandingkan dengan besarnya hasil laut di Indonesia dan harga chitosan yang setara dengan US $23/ 50 g. (Kusumawati, 2009). Kurang lebih 34% produk devisa sektor perikanan berasal dari ekspor udang, yakni sebesar 125,596 ton pada tahun 2007 (Swastawati dkk., 2008), namun proses pengolahannya masih belum
optimal. Secara umum udang diolah menjadi kerupuk, terasi, atau makanan ternak (Kusumawati, 2009), dan 30-70% berat udang atau 35-50% dari berat awal udang tersebut akan berakhir menjadi limbah berupa kepala, kulit, ekor, dan kaki (Swastawati dkk., 2008). Limbah kulit udang tersebut akhirnya menyebabkan pencemaran lingkungan seperti bau tak sedap, pencemaran air, dan estetika yang buruk yang sampai saat ini belum ada solusinya (Swastawati dkk., 2008; Hargono dkk., 2008).
Chitosan ternyata memiliki banyak keuntungan yakni bersifat biokompatibel dan non-toksik pada manusia. Karakteristik chitosan sebagai polimer alami ternyata mampu terbiodegradasi dengan baik dan dapat mengabsorbsi senyawa lain (Kittur dkk., 2003; Kim dan Rajapakse, 2005; Kusumawati, 2009; Kurita, 1998 sit. Costa dkk., 2014). Dalam bidang kesehatan, chitosan sudah banyak digunakan sebagai agen bakteriostatik, immunologi, anti-tumor, cicatrizant, homeostatis, antikoagulan, obat salep untuk luka, pengobatan mata, ortopedi, penyembuhan jahitan pasca bedah (Kusumawati, 2009).
Chitosan juga dapat berperan sebagai antimikroba (Kim dan Rajapakse, 2005 sit. Costa dkk., 2014). Chitosan yang berasal dari cangkang kepiting dan jamur ternyata dapat dimanfaatkan sebagai agen antimikroba (Kusumawati, 2009). Penelitian terbaru menunjukkan setelah dilakukan evaluasi terhadap perlekatan chitosan cangkang kepiting pada gigi dan permukaan bakteri
S.amutans, S. sanguis, S. mitis, dan S. oralis, terbukti mampu menghambat
pembetukan koloni bakteri tersebut dan mampu menurunkan adsorbsi S.amutans
(Stamford dkk., 2013). Chitosan mampu menurunkan aksi pembentukan plak dan periodontitis oleh Aggregatibacter actinomyetemcommitans, S.amutans, dan
Porphyromonas gingivalis (Raafat dan Sahi, 2009). Hasil in vivo dan in vitro membuktikan bahwa, chitosan sintetis mampu mengurangi pembentukan plak dalam waktu 24 jam (p<0,001) dan 96 jam (p<0,001) pasca aplikasi chitosan dibandingkan dengan aplikasi chlorhexidine (Bae dkk., 2006; Hayashi dkk, 2007). Selain itu, penggunaan chlorhexidine memiliki dampak negatif sebagai antimikroba dalam obat kumur, yakni penurunan persepsi rasa dan munculnya pigmentasi pada jaringan mulut, sehingga perlu dibatasi pemakaiannya (Bae dkk., 2006).
Aktivitas antimikroba chitosan sebagian besar melalui interaksi antara polikation chitosan dengan permukaan bermuatan negatif bakteri. Interaksi tersebut menyebabkan hilangnya permeabilitas bakteri, dan akhirnya menyebabkan kebocoran intrasel dan kematian sel (Sarhan dan Azzazy, 2015). Chitosan kemudian akan berinteraksi dengan intraseluler bakteri dan bereaksi dengan DNA sel jamur atau bakteri, sehingga menghambat transkripsi DNA, RNA, dan sintesis protein. Mekanisme antibakteri chitosan lainnya didasarkan atas perannya sebagai chelating agent, yakni chitosan akan mengikat logam esensial secara selektif sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan terbentuknya racun. Chitosan juga mampu menghalangi aliran nutrisi ke bakteri (Raafat dan Sahi, 2009).
Sebagai agen antimikroba, chitosan memiliki sifat toksisitas rendah dan tidak menyebabkan resistensi bakteri (Kong dkk., 2010). Kemampuan antibakteri pada chitosan bergantung pada beberapa faktor yakni:
a. Faktor mikroba (spesies dan usia pertumbuhan sel mikroba) (Kong dkk., 2010). Aktivitas antimikroba chitosan lebih aktif pada bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (Raafat dan Sahi, 2009). Usia sel pada fase pertumbuhan eksponensial adalah yang paling rentan mengalami kematian sel apabila terpapar chitosan.
b. Faktor intrinsik chitosan (densitas muatan positif, berat molekul, karakteristik hidrofobik dan hidrofilik, kapasitas chelating) (Kong dkk., 2010). Aktivitas antibakteri chitosan pada Staphylococcus aureus dapat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi chitosan dalam HP-chitosan nanofiber (Sarhan dan Azzazy, 2015).
c. Faktor fisik chitosan (status kelarutan dan kepadatan) dan lingkungan (pH, gaya ionik, suhu, dan waktu) (Kong dkk., 2010). Aktivitas antibakteri chitosan dalam HP-chitosan nanofiber dapat meningkat dengan peningkatan waktu inkubasi terutama pada konsentrasi chitosan 3,5% dan 5,5% (Sarhan dan Azzazy, 2015).
Tingginya manfaat chitosan di bidang kedokteran gigi dan banyaknya penyakit infeksi yang timbul akibat perlekatan bakteri pada mukosa khususnya mukosa bukal, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut pemanfaatan chitosan khususnya dari ekstrak kulit udang, dalam mencegah terjadinya perlekatan
chlorhexidine yang bersifat alami, sehingga mengurangi adanya efek sekunder dan dapat digunakan untuk pemakaian jangka panjang. Pemanfaatan limbah kulit udang di Indonesia dapat lebih maksimal, sehingga dapat meningkatkan mata pencaharian masyarakat di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Apakah chitosan dari ekstrak kulit udang dapat berpengaruh terhadap perlekatan S.amutans ATCC 25175 pada sel epitel bukal?
C. Keaslian Penelitian
Kemampuan antibakteri chitosan sintesis terhadap S.amutans telah teruji
efektif mengurangi terbentuknya plak (Bae dkk., 2006; Hayashi dkk, 2007). Hasil in vivo dan in vitro membuktikan chitosan sintetis mampu mengurangi pembentukan plak di gigi pada 24 jam dan 96 jam pasca aplikasi chitosan dibandingkan dengan aplikasi chlorhexidine. Streptococcusamutans yang masih
vital pasca perlakuan, menunjukan jumlah yang lebih sedikit pada kelompok chitosan dibandingkan chlorhexidine pada 24 jam dan 96 jam (Bae dkk., 2006). Kemampuan chitosan yang berasal dari cangkang kepiting dan jamur dapat menghambat kolonisasi S.amutans di gigi, setelah dilakukan evaluasi terhadap
perlekatan chitosan pada gigi dan permukaan bakteri. Pada uji tersebut menunjukkan terjadi penurunan adsorbsi S.amutans pada email gigi, penurunan
hidrofobisitas dinding bakteri, dan penurunan produksi glukan oleh bakteri (Stamford dkk., 2013). Sejauh penulis ketahui, penelitian mengenai pengaruh
chitosan dari ekstrak kulit udang galah terhadap perlekatan S.amutans ATCC
25175 pada epitel bukal manusia belum pernah dilakukan.
D. Tujuan Penelitian
Mengetahui efek chitosan dari ekstrak kulit udang terhadap perlekatan
S.amutans ATCC 25175 pada sel epitel bukal?
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan sumber informasi lebih lanjut untuk riset terkait chitosan ekstrak kulit udang terhadap perlekatan S.amutans ATCC 25175 pada sel epitel bukal in vitro, dan