• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA PENGUKURAN KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING: STUDI KASUS PUSDIKLAT XYZ KARYA AKHIR WAHYU SULISTIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA PENGUKURAN KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING: STUDI KASUS PUSDIKLAT XYZ KARYA AKHIR WAHYU SULISTIO"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING:

STUDI KASUS PUSDIKLAT XYZ

KARYA AKHIR

WAHYU SULISTIO

1006833445

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INFORMASI

JAKARTA

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGUKURAN KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING:

STUDI KASUS PUSDIKLAT XYZ

KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknologi Informasi

WAHYU SULISTIO

1006833445

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INFORMASI

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Akhir ini. Penulisan karya akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Teknologi Informasi pada Program Studi Magister Teknologi Informasi, Fakultas Ilmu Komputer - Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam rangka penyelesaian karya akhir ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Indra Budi selaku pembimbing karya akhir penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan, arahan, nasihat, ilmu, dukungan, dan waktu yang bemanfaat bagi penulis.

2. Bapak Dana Indra dan Bapak Rizal Fathoni selaku penguji karya akhir yang telah memberikan masukan untuk perbaikan karya akhir ini.

3. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk bisa segera menyelesaikan karya akhir ini.

4. Istri dan anak penulis yang senantiasa menjadi tenaga penyemangat bagi penulis.

5. Bapak Cris Kuntadi selaku Kepala Pusdiklat XYZ.

6. Bapak Dwi Setiawan Susanto selaku Kepala Bagian Evaluasi Pusdiklat XYZ. 7. Bapak Gatot Tri Susanto selaku Kasubbag Fasilitas Pembelajaran Pusdiklat

XYZ.

8. Bapak Zulwarak selaku Kasubbag Umum Pusdiklat XYZ.

9. Ibu Munawara selaku Kasubbag Program dan Kerjasama Pusdiklat XYZ. 10. Ibu Esther Indriaty selaku Kasubbag Modul Pusdiklat XYZ.

11. Bapak Yudho Giri Sucahyo selaku pembimbing akademis.

12. Bapak Zainal A. Hasibuan dan Bapak Riri Satria selaku dosen pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian yang telah memberikan wawasan dalam menulis karya akhir yang benar sesuai kaidah-kaidah ilmiah.

(6)

13. Rekan-rekan di Universitas XYZ yang juga turut serta ikut membantu dalam usaha penyusunan dan penyelesaian karya akhir ini, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

14. Bobby, Marcel, dan Yoga yang banyak memberikan masukan untuk penulisan karya akhir ini.

15. Teman-teman MTI UI 2010F yang telah berjuang bersama selama ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung. Penulis juga menyadari bahwa karya akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan segala bentuk masukan, kritik dan saran yang membangun. Semoga karya akhir ini mampu memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 21 Januari 2013

(7)
(8)

ABSTRAK

Nama : Wahyu Sulistio

Program Studi : Magister Teknologi Informasi

Judul : Pengukuran Kesiapan Implementasi E-Learning: Studi Kasus Pusdiklat XYZ

Dengan semakin besar dan berkembangnya organisasi, maka semakin dibutuhkan pegawai-pegawai yang handal dan kompeten. Untuk itu maka unsur pengembangan sumber daya manusia melalui kediklatan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi.

Dalam upaya untuk melaksanakan diklat bagi seluruh pegawai, Pusdiklat XYZ mengalami kendala-kendala seperti keterbatasan kapasitas sarana prasarana yang dimiliki. Hal ini mendorong organisasi berinisiatif menerapkan e-learning dalam pelaksanaan diklat. Namun demikian belum pernah dilakukan analisa mengenai kesiapan organisasi untuk mengimplementasikan e-learning tersebut.

Untuk mengukur kesiapan tersebut dilakukan survei terhadap keseluruhan organisasi dengan menggunakan model kesiapan yang telah ada. Model tersebut dipilih dari sejumlah model yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para ahli dengan mempertimbangkan aspek kelengkapan dan kekinian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan Pusdiklat XYZ untuk mengimplementasikan e-learning berada pada nilai 2.76 yang berarti masuk dalam kategori kurang siap. Rekomendasi yang diberikan mencakup aspek kesiapan konten, infrastruktur teknologi, dan berbagai faktor lainnya yang dinilai masih berada pada kondisi kurang siap.

(9)

ABSTRACT

Name : Wahyu Sulistio

Study Program : Magister Teknologi Informasi

Title : E-Learning Readiness Measurement: Case Study Training Center XYZ

The large and growing organization needs reliable and competent employees. For that purpose, the elements of human resource development become a thing that should be noted by the organization.

In an effort to implement training for all employees, Training Center XYZ has some obstacles, such as limited infrastructure capacity owned. This encourages organizations to implement e-learning initiative in the implementation of education and training. However, the analysis has not been done on the readiness of the organization to implement the e-learning.

To measure the readiness, the survey will be conducted using the organization's overall readiness of existing models. The model was selected from a number of earlier models have been developed by experts taking into account the completeness and contemporary aspects.

The results showed that the readiness of Training Center XYZ to implement e-learning is the mean value of 2.76 in the category of poorly prepared. Recommendations are given in the aspects of content, technology infrastructure, and other factors which still arrives at the not well-prepared.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

DAFTAR ISI ... ...ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 2

1.2.2 Rumusan Masalah/Research Question ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Karya Akhir ... 7

1.5 Batasan Masalah dan Asumsi... 7

1.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 9

2.1 Definisi E-learning ... 9

2.2 Komponen E-learning ... 10

2.3 Jenis E-learning ... 14

2.4 Model Pembelajaran Online... 16

2.5 Kelebihan dan Kekurangan E-learning ... 16

2.6 E-learning Readiness ... 22

2.7 Teknik Sampling ... 23

2.8 Uji Validitas ... 23

2.9 Uji Reliabilitas... 24

2.10 Data Pengukuran ... 25

2.11 Pengolahan Skala Likert... ... 26

2.12 Penelitian Sebelumnya... 28

2.12.1 Model ELR Rosenberg ... 28

2.12.2 Model ELR Chapnick ... 29

2.12.3 Model ELR Aydin dan Tasci ... 31

2.12.4 Model ELR Darab dan Montazer ... 33

2.12.5 Pengukuran ELR di Politeknik Manufaktur Astra ... 34

2.12.6 Pengukuran ELR di Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi ... 34

2.12.7 Perbandingan Model ... 35

BAB 3METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1 Metode Penelitian ... 39

(11)

3.2.1 Studi Literatur ... 40

3.2.2 Membuat Desain Survei ... 40

3.2.3 Pengembangan Instrumen Survei ... 40

3.2.4 Pengujian Instrumen Survei ... 41

3.2.5 Perbaikan Instrumen Survei ... 41

3.2.6 Pemilihan Sampel ... 42

3.2.7 Pengumpulan Data ... 42

3.2.8 Pengolahan dan Analisa Data ... 43

3.2.9 Pengambilan Kesimpulan dan Rekomendasi ... 43

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.4 Metode Pengolahan Data ... 44

3.5 Metode Analisis dan Penarikan Kesimpulan ... 45

BAB 4PROFIL ORGANISASI ... 45

4.1 Sekilas Tentang Organisasi ... 45

4.2 Tugas Pokok dan Fungsi ... 48

4.3 Visi, Misi, dan Sasaran Strategis ... 49

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

5.1 Hasil uji coba instrumen penelitian ... 50

5.1.1 Instrumen Communication Network ... 51

5.1.2 Instrumen Equipment ... 52

5.1.3 Instrumen Security ... 53

5.1.4 Instrumen Content... 53

5.1.5 Instrumrn Laws and Regulations ... 53

5.1.6 Instrumen Educational Policy ... 54

5.1.7 Instrumen Assessment ... 55

5.1.8 Instrumen Cultural ... 55

5.1.9 Instrumen Standards ... 57

5.1.10 Instrumen Financial ... 57

5.1.11 Instrumen Human Resources ... 58

5.1.12 Instrumen Management ... 59

5.1.13 Instrumen Supervision ... 60

5.1.14 Instrumen Support ... 61

5.2 Standar nilai dan responden dalam penelitian ... 62

5.3 Penerapan Instrumen Uji Kesiapan E-Learning ... 64

5.3.1 Kesiapan communication network ... 65

5.3.2 Kesiapan equipment ... 66

5.3.3 Kesiapan Security ... 67

5.3.4 Kesiapan Content ... 67

5.3.5 Kesiapan Laws and Regulations ... 68

5.3.6 Kesiapan educational policy ... 69

5.3.7 Kesiapan assessment ... 70

5.3.8 Kesiapan cultural ... 71

5.3.9 Kesiapan standards ... 72

5.3.10 Kesiapan financial ... 73

5.3.11 Kesiapan Human Resources ... 73

5.3.12 Kesiapan management ... 75

5.3.13 Kesiapan Supervision ... 76

(12)

5.3.15 Kesiapan e-learning secara keseluruhan ... 77

5.4 Rekomendasi Atas Permasalahan Yang Ada ... 80

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran... 94

DAFTAR REFERENSI ... 95 LAMPIRAN . ...L-1 A. Kuesioner Survei... L-1 B. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... L-5 C. Bobot Faktor ELR Model Darab dan Montazer ... L-8 D. Transkrip Wawancara dengan Kabag Evaluasi ...L-14 E. Transkrip Wawancara dengan Kasubbag Umum ...L-19 F. Transkrip Wawancara dengan Kasubbag Fasilitas Pembelajaran ...L-22 G. Transkrip Wawancara dengan Kasubbag Program dan Kerjasama ...L-30 H. Transkrip Wawancara dengan Kasubbag Modul ...L-33 I. Hasil Kunjungan ke Malaysia (EPSA) ...L-36 J. Faktor Kesiapan E-Learning Darab & Montazer ...L-39 K Konversi Hasil Survei ...L-42 L Responden Pegawai ...L-62

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Faktor Penyebab Kebutuhan Diklat Tidak Terpenuhi ... 3

Gambar 2.1 Kelompok E-Learning menurut Som Naidu ... 15

Gambar 2.2 Skala Penilaian ELR Chapnick ... 22

Gambar 2.3 Skala Penilaian ELR Aydin & Tascii ... 23

Gambar 2.4 Kerangka Teori ... 38

Gambar 3.1 Metodologi Penelitian ... 38

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelompok E-learning menurut Romiszowski... 14

Tabel 2.2 Faktor Kesiapan E-Learning Aydin & Tascii ... 32

Tabel 2.3 Perbandingan Model ELR ... 36

Tabel 5.1 Uji validitas instrumen communication network ... 52

Tabel 5.2 Uji validitas instrumen equipment ... 52

Tabel 5.3 Uji validitas instrumen laws and regulations ... 54

Tabel 5.4 Uji validitas instrumen educational policy ... 54

Tabel 5.5 Uji validitas instrumen assessment ... 55

Tabel 5.6 Uji validitas instrumen cultural manajemen... 56

Tabel 5.7 Uji validitas instrumen cultural pegawai ... 56

Tabel 5.8 Uji validitas instrumen financial ... 57

Tabel 5.9 Uji validitas instrumen human resources pegawai ... 58

Tabel 5.10 Uji validitas instrumen human resources manajemen ... 59

Tabel 5.11 Uji validitas instrumen management ... 59

Tabel 5.12 Uji validitas instrumen supervision ... 60

Tabel 5.13 Uji validitas instrumen support ... 61

Tabel 5.14 Standar nilai kuesioner ... 62

Tabel 5.15 Proporsi Responden Kuesioner ... 63

Tabel 5.16 Nilai kesiapan communication network... 65

Tabel 5.17 Nilai kesiapan equipment ... 66

Tabel 5.18 Nilai kesiapan security ... 67

Tabel 5.19 Nilai kesiapan content ... 68

Tabel 5.20 Nilai kesiapan laws and regulations ... 69

Tabel 5.21 Nilai kesiapan educational policy ... 70

Tabel 5.22 Nilai kesiapan assessment... 70

Tabel 5.23 Nilai kesiapan cultural ... 71

Tabel 5.24 Nilai kesiapan standards ... 72

Tabel 5.25 Nilai kesiapan financial ... 73

Tabel 5.26 Nilai kesiapan human resources ... 74

Tabel 5.27 Nilai kesiapan management ... 75

Tabel 5.28 Nilai kesiapan supervision ... 76

Tabel 5.29 Nilai kesiapan support ... 77

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan hal-hal yang menjadi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah dan asumsi, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang demikian pesat saat ini memberikan berbagai manfaat kepada manusia. Diantara manfaat yang bisa dirasakan adalah bahwa dengan teknologi tersebut maka seakan tidak ada lagi kendala jarak dan waktu yang dirasakan. Dengan teknologi tersebut maka manusia dimanapun dan kapan pun dapat terhubung dan berkomunikasi dengan mudah.

Manfaat teknologi tersebut telah mendorong berbagai sektor industri memanfaatkannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses yang dilakukan di dalam industri tersebut. Industri pendidikan juga menjadi salah satu industri yang berusaha memaksimalkan pemanfaatan teknologi tersebut. Maka saat ini banyak ditemukan berbagai institusi pendidikan dan lembaga pelatihan yang menerapkan model pendidikan dan pelatihan dengan memanfaatkan e-learning.

Salah satu institusi yang berusaha memanfaatkan keunggulan teknologi tersebut adalah organisasi XYZ. Dalam rangka mewujudkan Organisasi XYZ sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen dan profesional dibutuhkan sumber daya yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan. Tantangan yang dihadapi Organisasi XYZ selain jumlah SDM yang masih terbatas, yang tidak kalah penting adalah kualitas SDM-nya. Kinerja organisasi tidak akan dapat dicapai secara optimal jika tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memadai, mau bekerja keras, memiliki integritas serta berkomitmen atas pelaksanaan tugasnya.

Pusdiklat XYZ sebagai unit kerja dari Organisasi XYZ yang melakukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka membentuk kompetensi pegawai, mulai

(16)

berusaha memanfaatkan kelebihan teknologi tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tuntutan organisasi sebagai lembaga negara yang independen dan profesional, sehingga membutuhkan sumber daya yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan, mendorong Pusdiklat untuk dapat merancang pelaksanaan diklat yang dapat mengakomodir kebutuhan kompetensi seluruh pegawai organisasi. Disisi lain, berbagai keterbatasan yang ada, seperti daya tampung kelas misalnya, menyebabkan sulitnya pemenuhan jam pelatihan seluruh pegawai jika hanya dilakukan melalui metode kelas yang konvensional. Maka Pusdiklat XYZ pun berinisiatif untuk mulai menerapkan e-learning dalam proses kediklatan organisasi.

1.2 Perumusan Masalah

Berikut dijelaskan masalah yang terdapat pada Pusdiklat XYZ yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini. Pembahasan masalah tersebut mencakup identifikasi masalah dan research question yang akan dijawab melalui penelitian ini.

1.2.1 Identifikasi Masalah

Untuk mengidentifikasi permasalahan yang dialami oleh organisasi maka dilakukan wawancara dengan salah seorang manajemen organisasi, dhi. Kabag Evaluasi (Lampiran D). Berdasarkan hasil wawancara dengan beliau, salah satu permasalahan yang menjadi bagian tanggung jawab Pusdiklat XYZ adalah pemenuhan jumlah jam diklat bagi seluruh pegawai organisasi XYZ. Untuk menyajikan data diklat pegawai organisasi secara keseluruhan beliau mengalami kendala karena pendataan diklat yang belum memadai di Pusdiklat XYZ. Namun bila melihat pada contoh kasus di internal Pusdiklat XYZ sendiri dimana sebagian besar diklat diselenggarakan, ternyata masih banyak pegawai yang tidak mencapai target 40 jam pelajaran selama satu tahun.

Dari 134 pegawai Pusdiklat XYZ, dengan dikurangi pegawai yang baru masuk pada tahun 2011 sebanyak 13 orang, maka seharusnya sebanyak 121 pegawai dapat melaksanakan diklat minimal 40 jam pelajaran selama satu tahun. Dengan mengambil contoh kasus tahun 2011, ternyata terdapat 59 orang yang

(17)

tidak memenuhi jumlah jam pelajaran tersebut. Dengan demikian pada tahun 2011 terdapat 48,8% pegawai yang tidak memenuhi target jumlah jam pelajaran selama satu tahun. Dengan melihat contoh kasus ini, Kabag Evaluasi meyakini bahwa terdapat permasalahan yang sama untuk seluruh wilayah kerja organisasi XYZ.

Terkait kendala dalam pemenuhan kebutuhan diklat untuk seluruh organisasi XYZ sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beliau menjelaskan sejumlah kendala yang dapat digambarkan dalam diagram tulang ikan berikut :

Gambar 1.1 Faktor Penyebab Kebutuhan Diklat Tidak Terpenuhi

Berdasarkan diagram pada Gambar 1.1, faktor-faktor penyebab kebutuhan diklat tidak terpenuhi, dalam artian tidak semua pegawai dapat memenuhi target pemenuhan jam pelajaran mereka dalam waktu satu tahun, adalah :

a. Sarana Prasarana

Faktor pertama yang menyebabkan permasalahan ini adalah ketidakseimbangan antara sarana prasarana yang ada dengan jumlah pegawai keseluruhan. Di satu sisi jumlah pegawai organisasi yang terus bertambah, sementara kapasitas dari sarana prasarana yang ada tidak ditingkatkan. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pergiliran jadwal pelaksanaan diklat bagi seluruh pegawai. Masalah lain terkait penjadwalan ini adalah fleksibilitas dari

(18)

para pegawai untuk mengikuti diklat sebagaimana dibahas pada faktor keluangan waktu.

b. Biaya Pelaksanaan Diklat

Faktor berikutnya yang menyebabkan permasalahan ini adalah biaya pelaksanaan diklat. Dengan memperhatikan besarnya biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan diklat, seperti biaya instruktur, konsumsi, akomodasi, dan transportasi, sementara anggaran diklat yang ada terbatas, menyebabkan jumlah diklat yang dapat dilaksanakan dalam waktu satu tahun juga harus dibatasi. Terlebih lagi dengan kondisi pegawai yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, maka biaya perjalanan dinas untuk pegawai yang berada di luar daerah juga menjadi faktor utama besarnya biaya pelaksanaan diklat.

c. Availability (keluangan waktu)

Sebagian besar pegawai organisasi memiliki fungsi sebagai auditor (pemeriksa). Peran tersebut mengharuskan mereka melakukan pemeriksaan paling tidak setahun dua kali yaitu untuk fase interim dan final laporan keuangan entitas pemeriksaan. Umumnya para pegawai yang berfungsi sebagai auditor memiliki waktu luang pada bulan Januari hingga Februari, serta Mei hingga Juli. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki waktu luang yang terlalu fleksibel untuk melaksanakan diklat. Disisi lain pegawai yang berfungsi sebagai penunjang pendukung, juga sering kali terkendala untuk melaksanakan diklat dikarenakan mereka tidak bisa seratus persen meninggalkan tugas hariannya. Hal ini disebabkan tidak adanya tenaga pengganti pada peran yang dia emban ataupun memang ada penugasan lainnya yang harus dilaksanakan. Hal ini menyebabkan penjadwalan diklat untuk seluruh pegawai menjadi sangat tidak fleksibel.

d. Motivasi Peserta

Faktor lainnya yang menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan diklat adalah motivasi dari para peserta sendiri yang kurang sehingga mereka enggan untuk mengikuti diklat. Keengganan ini disebabkan karena faktor metode diklat yang selama ini dilakukan secara konvensional menimbulkan kejenuhan pada peserta. Faktor lainnya adalah jarak yang cukup jauh dari

(19)

kantor tempat bekerja dengan tempat dilaksanakannya diklat. Untuk peserta yang berasal dari daerah maka jarak yang cukup jauh untuk datang ke Pusdiklat terkadang juga menjadi kendala yang mengurangi motivasi mereka.

Bila dilihat pada faktor-faktor yang menjadi penyebab sulitnya memenuhi target jam pelajaran, terdapat kesamaan kondisi dimana masing-masing faktor tadi menyebabkan peserta harus berkumpul pada satu tempat sehingga tidak sepadan dengan kapasitas yang ada ataupun mereka harus pergi meninggalkan tugas di tempat kerja asalnya. Hal ini mendorong munculnya inisiatif penerapan e-learning di Pusdiklat sebagai pelaksana utama diklat organisasi. Hadirnya e-learning diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut, sekaligus memberikan nilai tambah dari proses kediklatan yang dilaksanakan. Dengan e-learning, maka peserta diklat dan instruktur dapat berinteraksi dan berkolaborasi secara efektif dan efisien tanpa memerlukan kehadiran fisik di tempat yang sama. Selain itu e-learning juga mendorong terjadinya aktifitas pembelajaran secara independen tidak terikat pada waktu yang sama.

Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, Pusdiklat XYZ juga sempat melakukan studi banding ke EPSA Malaysia yang telah mengimplementasikan e-learning (Lampiran I). Tujuan dari studi banding ini adalah untuk melihat apa saja yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan e-learning. Dari hasil studi banding tersebut, tim yang melakukan kunjungan menyimpulkan bahwa secara infrastruktur Pusdiklat XYZ memiliki potensi untuk mengimplementasikan e-learning. Sementara itu dari pihak EPSA Malaysia ketika ditanyakan mengenai efektifitas penggunaan e-learning ini sendiri menyatakan bahwa mereka belum melakukan pengukuran efektifitas penggunaan e-learning dibanding metode pembelajaran konvensional. Namun demikian mereka dapat merasakan manfaat dari penerapan e-learning tersebut khususnya dari segi fleksibilitas waktu dan tempat. Hal ini sangat terlihat pada pemanfaatan e-learning pada diklat yang melibatkan para pejabat dimana mereka memiliki waktu yang terbatas untuk meninggalkan tempat kerjanya. Pihak EPSA juga menambahkan bahwa keberhasilan implementasi e-learning tidak hanya ditentukan oleh faktor

(20)

teknologi semata, namun berbagai faktor lainnya juga diperlukan khususnya dukungan manajemen puncak.

Sejalan dengan inisiatif penerapan e-learning, Kepala Subbagian Umum yang membawahi IT di Pusdiklat, menyatakan dukungannya untuk mengimplementasikan e-learning di Pusdiklat (Lampiran E). Bahkan pihak IT Pusdiklat dan bagian fasilitas pembelajaran telah membuat portal e-learning sederhana yang dapat diakses dari seluruh perwakilan XYZ di seluruh Indonesia. Namun demikian beliau menekankan faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan untuk suksesnya implementasi e-learning tersebut, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Pihak EPSA Malaysia. Beliau juga menegaskan bahwa faktor pengguna dan manajemen umumnya lebih berpengaruh dalam suksesnya implementasi sebuah sistem baru. Hal ini terlihat dari sejumlah sistem yang telah dikembangkan di Pusdiklat namun akhirnya tidak terlalu dioptimalkan karena pengguna yang kurang memiliki kepedulian.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah manajemen , kabag evaluasi dan kasubbag fasilitas pembalajaran yang ditunjuk sebagai PIC implementasi e-learning merasa perlu dilakukan analisa kesiapan Pusdiklat XYZ untuk mengimplementasikan e-learning (Lampiran D dan F). Menurut keterangan mereka, belum pernah dilakukan studi sebelumnya di Pusdiklat untuk memperoleh gambaran mengenai kesiapan organisasi untuk mengimplementasikan e-learning tersebut. Sementara faktor-faktor apa saja yang perlu disiapkan oleh organisasi yang akan mengimplementasikan e-learning, Pusdiklat juga belum pernah melakukan studi terkait hal tersebut. Sehingga sejauh ini persiapan yang dilakukan hanya membuat prototipe sederhana, mengunggah sejumlah materi, dan membuat sejumlah soal latihan secara online.

Penelitian ini mengambil topik e-learning readiness untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang perlu disiapkan oleh organisasi. Studi ini perlu dilakukan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada pada organisasi yang mungkin dapat menghambat kesuksesan implementasi e-learning itu sendiri. Dengan diketahuinya kekurangan-kekurangan tersebut maka dapat dirumuskan rekomendasi perbaikan untuk mengoptimalkan implementasi nantinya.

(21)

1.2.2 Rumusan Masalah/Research Question

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan/ pertanyaan dalam penelitian ini (research question) sebagai berikut :

a. Bagaimana model penilaian kesiapan implementasi e-learning yang dapat digunakan di Pusdiklat XYZ?

b. Berapa tingkat kesiapan implementasi e-learning pada Pusdiklat XYZ? c. Apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesiapan implementasi

e-learning?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang diteliti yaitu :

a. Memilih model yang dapat digunakan untuk mengukur kesiapan organisasi untuk mengimplementasikan e-learning.

b. Mengetahui posisi kesiapan organisasi saat ini untuk mengimplementasikan e-learning.

c. Merumuskan rekomendasi perbaikan berdasarkan item kesiapan yang memiliki nilai kurang baik.

1.4 Manfaat Karya Akhir

Manfaat yang diperoleh dari karya akhir ini adalah:

1. Dapat memberikan gambaran kepada Pusdiklat XYZ mengenai kondisi organisasi XYZ saat ini dan kesiapannya dalam mengimplementasikan e-learning.

2. Dapat memberikan masukan perbaikan yang dapat dilakukan Pusdiklat XYZ guna mendukung kesuksesan implementasi e-learning.

1.5 Batasan Masalah dan Asumsi

(22)

a. Penelitian dilakukan pada Pusdiklat XYZ dengan lingkup objek penelitian adalah seluruh pegawai organisasi XYZ. Oleh karena itu, penilaian kesiapan dan rekomendasi yang diberikan, hanya berlaku pada organisasi tersebut atau organisasi yang memiliki kesamaan karakteristik.

b. Diasumsikan bahwa inisiatif e-learning sudah sesuai dengan strategi organisasi sehingga tidak perlu dilakukan kajian untuk mengukur kesesuaian inisiatif tersebut untuk memutuskan apakah inisiatif akan dijalankan atau tidak.

1.6 Sistematika Penulisan

Laporan ini terdiri atas 6 bab, yaitu pendahuluan, landasan teori, metodologi penelitian, profil organisasi, analisis dan pembahasan hasil, serta penutup.

Bab 1 Pendahuluan, berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, batasan masalah dan asumsi, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Landasan Teori, berisi penjelasan mengenai berbagai literatur yang

digunakan dalam melakukan penelitian ini.

Bab 3 Metodologi Penelitian, berisi penjelasan mengenai metodologi yang

digunakan dalam melakukan penelitian ini.

Bab 4 Profil Organisasi, berisi penjelasan mengenai gambaran singkat organisasi

yang menjadi objek studi kasus.

Bab 5 Analisis Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi penjelasan mengenai

analisis atas hasil yang diperoleh dari penelitian dan perumusan rekomendasi.

Bab 6 Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian

(23)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Landasan teori ini bertujuan untuk merumuskan jawaban atas permasalahan yang telah ditetapkan pada bab sebelumnya. Dalam landasan teori ini dibahas mengenai teori/konsep yang relevan, penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian, serta model yang digunakan dalam penelitian ini.

Teori/konsep yang relevan pada bab ini membahas mengenai definisi e-learning, komponen-komponen yang ada dalam e-e-learning, jenis-jenis e-e-learning, kelebihan dan kekurangan e-learning, model analisis e-learning readiness, teknik sampling, uji validitas, dan uji reliabilitas. Penelitian sebelumnya mengacu pada penelitian-penelitian mengenai pengukuran e-learning readiness. Sedangkan model yang akan digunakan dipilih berdasarkan hasil studi atas penelitian-penelitian sebelumnya.

2.1 Definisi E-learning

Sejumlah pakar menguraikan definisi terkait istilah e-learning dari berbagai sudut pandang. Beberapa definisi mengenai e-learning adalah sebagai berikut :

1. Darin E. Hartley mendefinisikan e-learning sebagai suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet, atau media jaringan komputer lain [1]. 2. LearnFrame.com mendefinisikan e-learning sebagai sistem pendidikan yang

menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone [2].

3. Martin Jenkins mendefinisikan e-learning sebagai proses belajar yang didukung dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi [3]. 4. Derek Stockley mendefinisikan e-learning sebagai pemberian pembelajaran,

pelatihan, maupun pendidikan menggunakan sarana elektronik untuk menyediakan materi pelatihan, edukasional, maupun pembelajaran [4].

(24)

5. Josh Bersin mendefinisikan e-learning sebagai segala bentuk pelatihan yang menggunakan teknologi berbasis internet dalam penyampaian, manajemen, dan pengukuran [5].

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, terdapat perbedaan definisi pada media yang digunakan. Darin E. Hartley dan beberapa pakar lainnya mendefinisikan e-learning adalah dengan menggunakan media jaringan. Sementara LearnFrame.com dan beberapa pakar lainnya tidak menjadikan jaringan sebagai syarat mutlak. Namun secara umum, dari definisi-definisi tersebut terdapat kesamaan berupa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu dalam penelitian ini, kami mendefinisikan e-learning sebagai proses pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam memediasi proses belajar mengajar didalamnya.

2.2 Komponen E-learning

Berdasarkan definisi-definisi yang telah diungkapkan sebelumnya, dan juga sebagaimana yang diungkapkan oleh Romi Satria Wahono, komponen-komponen umum yang ada pada penerapan e-learning [6] yaitu :

1. Infrastruktur e-learning, yaitu media yang digunakan dalam menyampaikan konten e-learning. Dapat berupa jaringan internet, perlengkapan multimedia, dan komputer itu sendiri.

2. Sistem dan aplikasi e-learning, yaitu perangkat lunak yang melakukan virtualisasi pembelajaran secara konvensional. Perangkat lunak ini menjadi interface penyampaian konten e-learning, manajemen kelas, sistem evaluasi dan sebagainya.

3. Konten e-learning, yaitu materi bahan ajar yang akan disampaikan kepada para peserta pembelajaran. Konten ini sendiri dapat dikemas dalam bentuk multimedia maupun text-based.

4. Actor, yaitu pihak-pihak yang menjalankan e-learning itu sendiri yang terdiri dari pengajar, pembelajar, dan administrator.

Sasikumar melihat aspek pembentuk e-learning berdasarkan aspek-aspek pembelajaran pada umumnya. Beliau juga membandingkan antara model

(25)

pembelajaran tradisional dengan e-learning. Aspek-aspek e-learning menurut Sasikumar adalah [7] :

1. Instruktur dan peserta pembelajaran

Pada metode pembelajaran tradisional, instruktur menjadi faktor kunci dalam pembelajaran dan memegang kendali penuh dalam proses pembelajaran. Peserta pembelajaran selalu menjadikan instruktur sebagai rujukan dalam berbagai permasalahan pembelajaran. Dengan e-learning, maka peserta pembelajaran memiliki rujukan yang begitu banyak selain dari instruktur. Instruktur tidak lagi menjadi faktor yang dominan bahkan tidak jarang instruktur mengambil pelajaran dari peserta pembelajaran. Dengan peran seperti itu, maka tanggung jawab untuk menyampaikan materi yang semula hanya dari instruktur dapat dikurangi. Selain itu, instruktur juga bisa berfokus kepada peserta-peserta yang memiliki hambatan untuk mengakses e-learning. 2. Konten

Faktor utama yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah konten. Baik pembelajaran secara online maupun tradisional sangat bergantung pada konten materi yang disajikan. Terlebih pada pembelajaran online, konten materi menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran karena faktor instruktur tidak lagi dominan. Penyajian konten yang menarik, interaktif, dan sesuai dengan tujuan pembelajaran akan dapat membantu peserta pembelajaran lebih bersemangat dan memahami pelajaran lebih baik dari pada pembelajaran tradisional. Namun sebaliknya, penyajian konten materi yang monoton, tidak interaktif, dan tidak mengarahkan peserta pada tujuan pembelajaran akan membuat peserta merasa enggan mengakses e-learning tersebut dan tidak memberi manfaat yang berarti.

3. Mekanisme evaluasi

Proses evaluasi pada metode pembelajaran tradisional sangat terbatas pada alat yang digunakan dan hasil akhir dari evaluasi yang dilakukan. Misalnya pada proses evaluasi yang menggunakan lembar jawaban komputer, maka akan sangat tergantung pada kemampuan perangkat tersebut membaca hasil evaluasi, dan tidak jarang banyak peserta yang mengalami kendala dengan masalah tersebut.

(26)

Di sisi lain, evaluasi secara tradisional hanya dapat melihat kondisi pada saat evaluasi tersebut dikumpulkan. Hal ini berbeda dengan metode evaluasi secara online dimana kita juga bisa memantau proses pelaksanaan evaluasi tersebut dari awal hingga akhir. Sebagai contoh, dengan evaluasi secara e-learning maka kita juga bisa memantau urutan peserta menjawab soal, apakah berurutan dari nomor awal hingga akhir, berapa kali peserta tersebut kembali ke soal yang sama, berapa kali peserta tersebut mengganti jawaban, waktu yang diperlukan pada sebuah pertanyaan, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut bisa jadi memberi masukan yang bermanfaat untuk mengevaluasi pemahaman peserta saat ini.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan evaluasi secara online antara lain tipe evaluasi dan keamanan. Untuk tipe evaluasi perlu diperhatikan bahwa tidak semua evaluasi dapat dilakukan secara online. Evaluasi yang bersifat praktikal tidak tepat apabila dilakukan secara online karena banyak melibatkan aspek fisik. Sementara untuk aspek keamanan, evaluasi secara online memiliki lebih banyak celah untuk melakukan kecurangan. Mencontoh jawaban peserta lain, memanfaatkan orang lain untuk mengerjakan soal evaluasi, dan sebagainya, menjadi hal-hal yang perlu diperhatikan ketika memutuskan menyelenggarakan evaluasi secara online. 4. Mekanisme komunikasi dan kolaborasi

Dari aspek komunikasi, pembelajaran secara tradisional mungkin menyediakan ruang untuk berekspresi yang lebih baik. Setiap orang bisa berinteraksi langsung, dan tidak hanya memperoleh informasi dari segi suara tapi juga bahkan ekspresi si pembicara. Komunikasi secara online memiliki beberapa keterbatasan untuk melakukan hal tersebut, walaupun dengan teknologi video conference maka hal yang sama seperti halnya tatap muka di kelas dapat dilakukan, namun faktor jaringan menjadi hal yang sangat menentukan disana. Namun demikian, disamping keterbatasan yang ada, komunikasi secara online juga menawarkan kelebihan untuk bisa merekam dan berbagi komunikasi yang terjadi.

(27)

5. Aspek administrasi

Aspek terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran adalah administrasi. Dalam proses pembelajaran maka diperlukan proses pengadministrasian yang baik, mulai dari pendataan peserta pembelajaran, absensi, hingga evaluasi. Dalam pembelajaran secara tradisional, maka masing-masing fungsi tersebut harus dikelola oleh pihak tertentu dan tidak jarang memiliki kendala dalam pengadministrasian data-data tersebut. Di sisi lain, pembelajaran secara e-learning memberikan kemudahan dalam mengelola administrasi tersebut dengan adanya Learning Management System (LMS). Hampir semua LMS saat ini sudah menyediakan fasilitas untuk melakukan semua fungsi tersebut sehingga hanya perlu dilakukan konfigurasi di awal dan semua akan berjalan secara sistematis.

Menurut Som Naidu, terdapat dua aspek yang dinilai kritikal dan unik dalam penerapan e-learning [8] yaitu :

1. Fleksibilitas

Som Naidu, menjelaskan bahwa salah satu komponen kunci dalam e-learning yang membedakannya dengan pembelajaran tradisional adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan akses dan pemanfaatan informasi secara fleksibel. Fleksibel dalam artian setiap orang dapat mengakses dari mana saja dan kapan saja yang dia merasa tepat dan nyaman saat itu. Tanpa adanya komponen ini, maka proses pembelajaran yang dilakukan tidak akan jauh berbeda dari pembelajaran secara tradisional. 2. Akses secara elektronik ke multimedia

Komponen kunci yang berikutnya adalah kemampuan akses secara elektronik ke berbagai materi multimedia. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, maka e-learning memungkinkan penyajian materi dalam berbagai bentuk multimedia yang menarik dan dapat disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, baik tertulis, animasi, audio, video, hingga simulasi. Disisi lain, teknologi jaringan juga memungkinkan setiap peserta untuk mengakses materi multimedia tersebut. Walaupun kemampuan adopsi teknologi, khususnya jaringan tidak sama untuk semua wilayah, namun

(28)

paling tidak untuk kemampuan akses minimal seperti materi text-based menjadi hal yang perlu dimiliki dalam pembelajaran e-learning.

2.3 Jenis E-learning

Dalam membuat perencanaan implementasi e-learning, organisasi harus dapat menggambarkan e-learning seperti apa yang akan diimplementasikan nantinya. Adapun jenis-jenis e-learning berdasarkan karakteristiknya dikelompokkan oleh Romiszowski sebagai berikut [9] :

Tabel 2.1 Kelompok E-learning menurut Romiszowski Individual Self Study

Computer-Based Instruction/ Learning/ Training (CBI/L/T) Group Collaborative Computer-Mediated Communication (CMC) Online Study Synchronous Communication (Real-Time)

Surfing the internet, accessing websites to obtain information or to learn

Chat rooms with(out) video audio/video conferencing Offline Study Asynchronous Communication (Flexy-Time) Using standalone courseware/ downloading materials from the internet for later local study Asynchronous communication by e-mail, discussion lists or a learning management system (LMS)

Berdasarkan Tabel 2.1, Romiszowski mengelompokkan e-learning ke dalam empat kategori yaitu individual dan online, individual dan offline, group dan online, serta group dan offline. Pengelompokkan ini dapat diringkas sebagaimana yang disimpulkan oleh Som Naidu sebagai berikut :

(29)

Gambar 2.1 Kelompok E-learning menurut Som Naidu

Penjelasan untuk masing-masing kelompok pada Gambar 2.1 adalah sebagai berikut [8] :

a. Individualized self-paced e-learning online, yaitu situasi dimana seorang individu mengakses sumber pelajaran, seperti database atau daftar mata kuliah secara online melalui internet atau intranet.

b. Individualized self-paced e-learning offline, yaitu situasi dimana seorang individu menggunakan sumberdaya seperti database atau paket-paket pembelajaran komputer secara offline. Contohnya adalah seorang yang pelajar yang belajar secara mandiri dengan mengakses harddisk, CD, atau DVD.

c. Group-based e-learning synchronously, yaitu situasi dimana sekelompok orang belajar bersama secara realtime melalui internet atau intranet. Proses ini mungkin juga menggunakan media diskusi secara text-based maupun dengan audio video.

d. Group-based e-learning asynchronously, yaitu situasi dimana sekelompok orang belajar bersama melalui internet atau intranet namun tidak secara realtime (tidak pada waktu yang bersamaan). Contoh dari kelompok ini adalah diskusi yang terjadi pada mailing list atau pun learning management system.

Penggunaan salah satu kelompok dalam mengimplementasikan e-learning pada sebuah organisasi dapat disesuaikan dengan kondisi organisasi tersebut. Sebagai contoh apabila organisasi yang akan menerapkan e-learning belum memiliki jaringan intranet atau internet yang memadai yang dapat menghubungkan seluruh organisasi, maka jenis e-learning yang berupa

Individualized self-paced e-learning online Individualized self-paced e-learning offline Group-based e-learning synchronously Group-based e-learning asynchronously

(30)

individualized self-paced e-learning offline bisa menjadi alternatif implementasi saat ini.

2.4 Model Pembelajaran Online

Som Naidu mengutip pernyataan dari Robin Mason menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan model dalam mengimplementasikan pembelajaran secara online yaitu [8] :

a. Partially online

Model ini biasa juga dikenal dengan istilah “blended learning” atau “wrap around courses”. Model ini menggabungkan antara sumber-sumber materi yang ada saat ini dimana dilakukan secara offline dengan komponen-komponen pembelajaran online. Model ini bisa menggunakan LMS atau mailing list sederhana untuk melakukan diskusi secara asynchronous. Model ini tidak menghilangkan metode pembelajaran secara konvensional namun berfungsi sebagai pelengkap.

b. Fully online-learning course

Model ini juga dikenal sebagai “integrated courses”. Model ini berupaya mengimplementasikan hampir semua aktivitas pembelajaran secara online. Istilah hampir semua digunakan disini karena disadari bahwa tidak semua aktifitas dapat dilakukan secara online atau tidak disarankan karena lebih baik dilakukan secara konvensional. Sebagai contoh, peserta pembelajaran mungkin mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda termasuk lebih menyukai belajara dari textbook di perpustakaan dari pada secara online. Model ini hampir dapat dipastikan menggunakan LMS, dimana materi-materi yang digunakan tersaji secara elektronik dan diskusi-diskusi yang dilakukan juga dilakukan secara online baik secara synchronous maupun asynchronous.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan E-learning

Beberapa kelebihan yang ditawarkan dengan pengimplementasian e-learning, sebagaimana yang dijelaskan oleh Effendi dan Hartono Zhuang antara lain [10]:

(31)

a. Mengurangi biaya pelatihan.

Diantara manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan e-learning adalah mampu mengurangi biaya pelatihan. Dengan adanya e-learning maka tidak perlu biaya untuk transportasi pegawai dari tempat kerjanya ke tempat dilangsungkannya diklat, khususnya untuk pegawai yang berada pada wilayah yang berbeda. Dengan adanya e-learning tidak perlu melakukan penggandaan materi ajar untuk masing-masing peserta karena semua materi dapat diperoleh dari e-learning tersebut. Dengan adanya e-learning maka tidak perlu adanya konsumsi yang disediakan untuk seluruh peserta dan instruktur. Dengan demikian maka e-learning dapat memberikan manfaat yang nyata dalam penghematan biaya pelaksanaan diklat jika dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

b. Fleksibilitas waktu dan tempat

Dengan metode diklat yang konvensional, maka seluruh peserta dan instruktur harus hadir pada waktu tertentu di tempat pelaksanaan diklat. Hal ini berarti tidak adanya fleksibilitas waktu untuk memilih kapan waktu yang akan digunakan untuk melakukan proses pembelajaran. Dengan e-learning maka hal tersebut dapat dihindari. Dengan e-learning maka peserta pembelajaran dapat mengakses pelajaran kapan saja dan dari mana saja, kecuali untuk metode conference yang tentunya membutuhkan sinkronisasi waktu.

c. Fleksibilitas kecepatan pembelajaran

Dalam metode pembelajaran konvensional, setiap peserta pembelajaran akan menjalani proses pembelajaran yang sama dengan materi yang sama. Hal ini akan menyebabkan peserta pembelajaran yang dapat menyerap pelajaran lebih cepat harus menunggu temannya yang lain yang lebih lambat, atau sebaliknya. Dengan e-learning maka keharusan kesamaan kecepatan pembelajaran tersebut bukanlah menjadi keharusan, karena setiap peserta dapat menentukan sendiri kapan dia ingin mempelajari sebuah materi, bahkan jika ingin melanjutkan ke level selanjutnya sekalipun tanpa harus menunggu peserta lainnya.

(32)

d. Standarisasi pengajaran

Dalam proses pembelajaran konvensional, proses pengajaran akan sangat tergantung pada kondisi instruktur yang memberikan pengajaran. Apabila instruktur yang memberikan materi sedang dalam kondisi yang baik, maka proses pengajaran yang dilakukan akan baik pula, dan begitu pula sebaliknya. Dengan e-learning maka proses pembelajaran akan terstandarisasi dimana proses yang dijalani oleh tiap peserta akan sama. Hal ini disebabkan proses pembelajaran dalam e-learning tidak terpengaruh oleh kondisi instruktur melainkan ditentukan oleh peserta pembelajaran itu sendiri.

e. Efektivitas pengajaran

Dengan e-learning maka proses belajara mengajar dapat didesain lebih interaktif dan aplikatif. Keterbatasan pada dunia nyata dapat diatasi dengan adanya simulasi secara virtual. Instruktur yang membosankan dapat diatasi dengan interaksi yang lebih menarik pada sistem e-learning tersebut. Selain itu, dengan e-learning peserta pembelajaran dapat menentukan sendiri mata pelajaran yang sesuai dengan dirinya sehingga efektifitas pembelajaran akan lebih mudah tercapai.

f. Kecepatan distribusi

Dalam pembelajaran konvensional, akan diperlukan waktu baik untuk perjalanan peserta pembelajaran ke tempat dilangsungkannya pembelajaran maupun dikirimkannya media pembelajaran ke tempat tersebut. Dengan adanya e-learning maka waktu untuk pendistribusian tersebut bisa dihemat. Selama komputer atau perangkat yang digunakan untuk mengakses e-learning terhubung dalam jaringan yang sama maka akan dapat membuka materi-materi yang terdapat dalam e-learning.

g. Ketersediaan on-Demand

Dalam pembelajaran konvensional tidak berlaku prinsip kelas ada saat dibutuhkan, melainkan peserta harus siap saat kelas ada. Dari sini terlihat bahwa ketersediaan kelas tidak bisa fleksibel karena memerlukan penyiapan ruangan dan sarana prasarana lainnya. Dengan adanya e-learning, selama kelas virtual telah disiapkan dengan segala perangkatnya (materi dan

(33)

kelengkapan lainnya), maka kelas tersebut dapat diakses kapan saja dan dari mana saja saat dibutuhkan.

h. Otomatisasi proses administrasi

Keuntungan terakhir yang dapat diperoleh dari e-learning adalah bahwa proses administrasi dapat diotomasi. Proses administrasi yang meliputi data peserta pembelajaran, materi pelajaran, tanggal akses, dan sebagainya dapat difasilitasi oleh learning management system yang berfungsi sebagai platform dari e-learning itu sendiri.

Sedangkan untuk keterbatasannya, Effendi dan Hartono Zhuang menjelaskan sebagai berikut:

a. Budaya self learning

Penerapan e-learning menuntut adanya budaya self learning, dimana seseorang memiliki kesadaran dan memotivasi dirinya sendiri untuk belajar. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang sebagian besar masih sangat tergantung pada instruktur untuk keberhasilannya, maka dalam e-learning keberhasilan pembelajaran sepenuhnya ditentukan oleh peserta pembelajaran. Oleh karena itu, budaya self learning yang belum terbentuk akan bisa menjadi faktor penghambat implementasi e-learning tersebut. b. Investasi

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa e-learning dapat mengurangi biaya pelaksanaan diklat. Namun demikian pada tahap awal dimana infrastruktur belum tersedia maka akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk menyediakannya. Selain itu pembuatan konten materi yang interaktif tentunya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu perencanaan implementasi e-learning yang baik sangat diperlukan disini sehingga organisasi bisa membandingkan antara biaya dan manfaat yang bisa didapat. c. Teknologi

Beragamnya solusi teknologi e-learning yang ada saat ini, maka bisa jadi terdapat ketidakcocokan (incompatibility) dengan teknologi yang digunakan organisasi saat ini. Hal ini khususnya apabila organisasi memutuskan untuk

(34)

membeli paket e-learning yang sudah ada di pasaran. Untuk itu kompatibilitas teknologi perlu menjadi perhatian disini.

d. Infrastruktur

Salah satu komponen utama dalam e-learning adalah infrastruktur. Tanpa adanya infrastruktur tersebut, seperti akses jaringan misalnya, akan menjadi faktor utama terhambatnya akses seseorang terhadap e-learning tersebut. e. Materi

Walaupun e-learning memiliki kemampuan untuk menyajikan materi secara lebih menarik dan interaktif, namun tidak semua pelajaran dapat disajikan dalam bentuk e-learning. Pelajaran yang membutuhkan banyak aktivitas fisik akan lebih terasa manfaatnya apabila dipraktikkan langsung dibandingkan hanya melihat atau melakukan simulasi secara virtual.

Senada dengan kelebihan yang diungkapkan oleh Effendi, Sasikumar juga menyebutkan sejumlah kelebihan dari e-learning sebagai berikut [7]:

a. Kekurangan tenaga pengajar

Kekurangan tenaga pengajar yang handal telah banyak dialami berbagai institusi pendidikan sekarang ini. Aspek finansial dan lingkungan kerja yang kurang menarik membuat pekerjaan ini tidak menjadi prioritas seseorang ketika mencari pekerjaan. Dengan kondisi tersebut, maka e-learning bisa menjadi salah satu solusi dimana tenaga pengajar dapat difungsikan lebih dari sebelumnya. Misalnya, dengan menggunakan e-learning maka tenaga pengajar dari berbagai daerah dapat berkontribusi tanpa harus terkendala jarak dan waktu. Dengan demikian maka kendala tenaga pengajar disuatu daerah bisa teratasi.

b. Pembelajaran dimana saja dan kapan saja

Keterbatasan utama dalam pembelajaran secara tradisional adalah bahwa setiap orang baik pelajar maupun pengajar, peserta pembelajaran maupun instruktur harus berada pada tempat yang sama pada waktu yang bersamaan. Keterbatasan ini dapat diselesaikan dengan penerapan e-learning yang memungkinkan instruktur melakukan turorial dari mana saja, kapan saja, dan begitu juga peserta dapat mengakses dari mana saja [11]. Dengan e-learning maka setiap orang memiliki keleluasaan untuk belajar dari mana saja, kapan

(35)

saja, dan memilih pelajaran yang disukai untuk diambil pada waktu yang tepat baginya.

c. Meningkatkan pengalaman pembelajaran

Pada metode pembelajaran tradisional, maka setiap peserta pembelajaran akan mendapatkan pengalaman belajar yang sama. Hal ini disebabkan mereka berada pada situasi yang sama, tempat yang sama, dan waktu yang sama. E-learning menawarkan kemampuan untuk melakukan personalisasi bagi setiap peserta didik sehingga dapat meningkatkan pengalaman pembelajaran mereka. Dengan kemampuan multimedia yang memadai, simulasi yang baik yang dapat menggambarkan kondisi real, dan penyesuaian materi yang disampaikan dengan progress pembelajaran peserta didik, menjadi salah satu kunci pembelajaran menjadi lebih efektif.

d. Kreasi konten

Penerapan budaya online, termasuk pula dalam proses belajar mengajar, memungkinkan setiap orang membagi pengetahuan yang dimiliki dengan orang lain di seluruh dunia. Dengan demikian akan mendorong tumbuhnya kreatifitas dalam pembuatan konten dengan banyaknya masukan dari berbagai sumber yang bisa diakses secara online.

e. Meningkatkan mutu pengajaran

Dengan dimudahkannya komunikasi secara online, termasuk juga antar para instruktur, maka peningkatan mutu pembelajaran akan semakin baik. Materi-materi yang dapat diakses secara online memungkinkan banyaknya masukan-masukan dari berbagai pihak yang akhirnya mendorong kualitas materi tersebut semakin baik.

f. Evaluasi yang sistematis

Dengan menerapkan e-learning, maka assessment dan proses evaluasi dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Proses assessment dan evaluasi tidak lagi terkendala permasalahan terkait kertas dan sebagainya. Proses rekapitulasi dan penarikan kesimpulan pun menjadi lebih cepat dan efisien.

(36)

2.6 E-learning Readiness

Readiness yang berarti kesiapan, didefinisikan sebagai “siap secara mental atau fisik untuk suatu pengalaman atau aksi” (Webster’s Dictionary). Sejalan dengan definisi tersebut, Borotis dan Poulymenakou mendefinisikan e-learning readiness sebagai kesiapan mental atau fisik suatu organisasi untuk suatu pengalaman pembelajaran [12].

Berdasarkan definisi tersebut, maka e-learning readiness didefinisikan sebagai kesiapan sebuah organisasi, baik secara mental maupun fisik, untuk mengimplementasikan e-learning. Adapun untuk mengukur kesiapan mental dan fisik tersebut, maka perlu dilihat kondisi organisasi saat ini dibandingkan dengan faktor-faktor dasar yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan e-learning secara baik. Model e-learning readiness dirancang untuk menyederhanakan proses perolehan informasi tersebut dengan menghasilkan suatu nilai kesiapan e-learning.

Nilai kesiapan e-learning merupakan sebuah skala yang dikembangkan untuk menilai kesiapan organisasi dalam mengimplementasikan e-learning. Tidak ada rumusan baku dalam membuat skala tersebut. Berbagai ahli berusaha mengembangkan skala tersebut dengan instrumen pengukuran masing-masing. Sebagai contoh, pada Gambar 2.2 ditunjukkan skala pengukuran e-learning readiness yang dikembangkan oleh Chapnick yang terdiri dari delapan faktor, dan pada Gambar 2.3 ditunjukkan skala pengukuran e-learning readiness yang dikembangkan oleh Aydin dan Tasci yang terdiri dari 4 faktor.

(37)

Gambar 2.3 Skala Penilaian ELR Aydin & Tasci

Berdasarkan Gambar 2.2. dan Gambar 2.3 terlihat bahwa kedua penelitian yang dilakukan dengan menggunakan instrumen masing-masing, merumuskan skala dan cara penilaian yang berbeda pula.

2.7 Teknik Sampling

Teknik sampling secara umum terbagi dua yaitu teknik random sampling dan teknik non random sampling [13]. Teknik random sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Sedangkan teknik non random sampling adalah cara pengambilan sampel dimana tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Teknik random sampling terdiri dari simple random sampling, proportionate stratified sampling, disproportionate stratified sampling, dan cluster sampling. Sedangkan teknik non random sampling terdiri dari sistematic sampling, quota sampling, purposive sampling, snowball sampling, dan accidental sampling.

2.8 Uji Validitas

Validitas menunjukkan ukuran yang benar-benar mengukur apa yang akan diukur [13]. Dengan demikian, instrumen penelitian dikatakan valid apabila instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Banyak metode yang dapat digunakan untuk menguji validitas instrumen. Salah satu metode yang sering digunakan untuk menilai validitas dari instrumen

(38)

penelitian berupa kuesioner adalah korelasi Pearson. Dalam metode ini, maka butir pertanyaan akan berperan sebagai variabel bebas, sedangkan skor total pertanyaan berperan sebagai variabel tidak bebas. Selanjutnya skor setiap butir pertanyaan dikorelasikan dengan skor total (intern item-total correlation). Adapun formula yang digunakan dalam metode ini adalah [13] :



    2 2 2 2 y y n x x n y x xy n r

r = korelasi antar butir pertanyaan dengan total skor x = variabel bebas

y = variabel terikat

n = jumlah penilaian yang diperoleh

Selanjutnya untuk memutuskan apakah sebuah butir pertanyaan valid atau tidak, maka dilakukan uji t yang membandingkan antara nilai thitung dengan ttabel.

Untuk menghitung thitung dapat digunakan rumus dari Husein Umar [14] sebagai

berikut: ) 1 ( ) 2 ( 2 r n r t   

Dimana r adalah koefisien korelasi Pearson.

Selanjutnya ttabel dihitung dengan menggunakan nilai signifikansi yang

diinginkan dan derajat kebebasan n-2. Adapun keputusan validitas dari sebuah item instrumen berdasakan hasil thitung dan ttabel adalah sebagai berikut :

a. Item instrumen dikatakan valid jika thitung lebih besar atau sama dengan ttabel,

dan item tersebut dapat digunakan.

b. Item instrumen dikatakan tidak valid jika thitung lebih kecil dari ttabel, dan item

tersebut tidak digunakan dalam penelitian.

2.9 Uji Reliabilitas

Reliabilitas (keterandalan) berarti mengukur sesuatu secara konsisten, apapun yang diukur dan jika pengukuran dilakukan dalam kondisi apapun akan memberikan hasil yang sama [13]. Dengan demikian, instrumen penelitian

(39)

dikatakan reliabel apabila instrumen tersebut digunakan beberapa kali untuk melakukan pengukuran yang sama maka hasil yang didapatkan adalah sama.

Sebagaimana pengujian validitas, dalam menguji reliabilitas sebuah instrumen penelitian juga terdapat banyak metode yang bisa digunakan. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah metode koefisien Cronbach’s Alpha. Tidak seperti metode belah dua, metode ini tidak membagi butir pertanyaan menjadi dua melainkan mengkorelasikan semua butir secara langsung.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien Cronbach’s Alpha adalah [13] :                2 2 1 1 t b k k CA

CA = Koefisien Cronbach’s Alpha k = banyaknya pertanyaan dalam butir Sigma b kuadrat = varians butir Sigma t kuadrat = varians total

Selanjutnya untuk memutuskan apakah instrumen yang digunakan reliabel atau tidak adalah dengan membandingkan antara koefisien Cronbach’s Alpha yang diperoleh dengan r tabel. Apabila koefisien alpha lebih besar maka instrumen penelitian tersebut valid. Atau pendapat lain menyatakan apabila nilai koefisien alpha > 0.6 maka instrumen penelitian tersebut reliabel [15].

2.10 Data Pengukuran

Di dalam statistik dikenal empat macam data pengukuran [14] yaitu : a. Data nominal

Merupakan data hasil pengukuran atau pengamatan yang mengelompokkan suatu objek ke dalam satu kategori dan hanya berarti sebagai label saja. Misal data jenis kelamin, suku, ras, agama, dan sebagainya. Skala ini tidak memungkinkan sebuah objek masuk dalam lebih dari satu kategori.

Data dalam skala ini termasuk data kualitatif. Karena sifat datanya yang mempunyai nilai sederajat, maka untuk melakukan analisa atas data yang diperoleh umumnya dilakukan konversi menjadi angka. Namun demikian

(40)

angka yang diberikan hanya bersifat kategorisasi dan tidak menunjukkan bahwa suatu kategori lebih tinggi dari yang lainnya.

b. Data ordinal

Dalam skala ordinal ini dikenal tingkatan nilai data, yang berarti data yang satu bisa lebih tinggi atau lebih rendah daripada data yang lainnya. Namun demikian tidak diketahui jarak antar tingkatan nilai tersebut apakah sama atau tidak. Misal data tingkat pendidikan, pendapat seseorang atas suatu kondisi, dan sebagainya.

Seperti halnya skala nominal, data dalam skala ini juga bersifat kualitatif. Oleh karena itu dalam pengolahan data hasil pengukuran tidak dapat dilakukan operasi matematis secara langsung. Untuk dapat mengolah data dalam skala ordinal ini perlu dilakukan konversi terlebih dahulu atas data ordinal tersebut menjadi data interval.

c. Data interval

Dalam skala interval, data yang dihasilkan juga memiliki tingkatan nilai. Selain itu data dalam skala ini juga memiliki jarak/interval tertentu yang bersifat tetap. Namun demikian data dalam skala ini tidak memiliki nilai nol mutlak yang berarti tidak memiliki nilai. Misal data kategori temperatur zat cair, dimana suhu 100 – 86 dikategorikan panas, 85 – 71 dikategorikan sedang, dan seterusnya.

Data dalam skala interval merupakan data kuantitatif. Dalam pengolahannya, data dalam skala interval ini dapat langsung dilakukan perhitungan secara matematis tanpa perlu dilakukan konversi.

d. Data rasio

Dalam skala rasio, data yang dihasilkan sudah berupa angka dalam arti yang sebenarnya. Data dalam skala ini bersifat kuantitatif, dapat langsung dioperasikan secara matematis, dan juga memiliki arti 0 yang sebenarnya.

2.11 Pengolahan Skala Likert

Skala likert adalah skala yang mengukur sikap dengan menyatakan setuju atau ketidaksetujuan terhadap suatu subjek, objek, atau kondisi tertentu. Skala ini umumnya menggunakan lima angka penilaian 1, 2, 3, 4, dan 5. Namun demikian urutan tersebut bisa dengan urutan yang sebaliknya.

(41)

Data hasil skala likert ini merupakan data ordinal yang bersifat kualitatif. Walaupun sudah disimbolkan dengan angka, namun pengolahannya tidak bisa secara langsung dilakukan operasi matematis. Untuk dapat mengolah data ordinal tersebut dengan operasi matematis maka data tersebut perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi data interval.

Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengkonversi data ordinal menjadi interval adalah metode suksesif interval (Method of Successive Interval /MSI). Langkah-langkah dalam melakukan konversi data ordinal dengan menggunakan metode ini adalah [16] :

1. Pilih pernyataan yang akan dikonversi pilihan jawaban di dalamnya. 2. Hitung frekuensi jawaban atas masing-masing kategori.

3. Hitung proporsi masing-masing kategori dengan membandingkan antara frekuensi kategori tersebut dengan total frekuensi.

4. Hitung proporsi kumulatif untuk masing-masing kategori dengan menjumlahkan proporsi kategori tersebut dengan proporsi kategori sebelumnya.

5. Hitung nilai z dari proporsi kumulatif kategori yang bersangkutan dengan menggunakan tabel distribusi normal baku.

6. Hitung nilai densitas dari nilai z kategori yang bersangkutan dengan menggunakan rumus :         2 2 1 2 1 ) (z Exp Z F

7. Hitung scale value untuk kategori yang bersangkutan dengan rumus : Sv = Density at lower limit – Density at upper limit

Area under upper limit – Area under lower limit 8. Hitung nilai hasil penskalaan dengan rumus :

Nilai hasil penskalaan = Sv + |Sv minimum| + 1

9. Konversi nilai tiap kategori yang dipilih responden dengan nilai hasil penskalaan tersebut.

10. Hasil konversi tersebut sudah menjadi data interval yang siap diolah secara matematis.

(42)

2.12 Penelitian Sebelumnya

Model e-learning readiness telah banyak dikembangkan oleh sejumlah pakar seperti Chapnick (2000), Rosenberg (2000), Worknowledge (2004), Borotis dan Poulymenakou (2004), Psycharis(2005), Aydin dan Tasci(2005), dan sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis membandingkan model yang dikembangkan oleh Chapnick, Rosenberg, Aydin dan Tasci, serta Darab dan Montazer. Berikut akan dijelaskan empat buah model analisis kesiapan implementasi e-learning yang dikembangkan oleh para peneliti tersebut.

2.12.1 Model ELR Rosenberg

Marc Rosenberg membuat sebuah survei mengenai kesiapan suatu organisasi untuk menerapkan e-learning. Dalam survei tersebut, Rosenberg menyusun 20 pertanyaan sebagai kunci strategi terkait kemampuan organisasi mempertahankan upaya penerapan e-learning [17].

Dalam survei tersebut, pertanyaan-pertanyaan dibagi menjadi tujuh area sebagai berikut :

1. Kesiapan bisnis organisasi

2. Perubahan kebiasaan dari pembelajaran konvensional menjadi e-learning 3. Nilai dari instruksi dan informasi

4. Manajemen Perubahan 5. Dukungan internal organisasi 6. Industri e-learning

7. Komitmen personal

Masing-masing area disertai dengan pertanyaan serta tiga kelompok jawaban. Masing-masing kelompok jawaban diberi dua alternatif jawaban. Sehingga dengan demikian masing-masing pertanyaan dilengkapi dengan enam pilihan jawaban dengan skala 0-5. Adapun keenam skala penilaian tersebut merepresentasikan kondisi sebagai berikut :

0 = tidak ada bukti adanya inisiatif atau hasil pada area ini 1 = terdapat sedikit bukti, tapi masih potensial untuk ditingkatkan

(43)

2 = inisiatif sedang berjalan, namun progress tidak berkelanjutan 3 = inisiatif sedang berjalan, dengan kemungkinan berhasil 4 = kesuksesan berhasil diraih, tinggal mempertahankannya 5 = mulai stabil, dan mungkin menjadi best practice

Rosenberg selanjutnya memberikan penjelasan mengenai makna setiap nilai yang diperoleh dari tiap item pertanyaan yang dinilai sebagai berikut :  Nilai 0-1 menunjukkan adanya resistensi untuk melakukan perubahan,

dan/atau adanya ketidaksiapan baik dari segi personal, infrastruktur, atau organisasi secara keseluruhan. Kondisi dimana nilai yang diperoleh berada dalam kriteria ini memerlukan perhatian yang besar untuk segera diselesaikan karena akan sangat berpengaruh pada keberhasilan penerapan e-learning.  Nilai 2-3 menunjukkan bahwa progress perubahan sedang berlangsung,

namun upaya yang lebih masih diperlukan untuk menghindari adanya segala macam gangguan sehingga proses yang berjalan tetap berada pada jalan yang benar.

 Nilai 4-5 menunjukkan progress yang signifikan. Keberhasilan pada area yang memiliki nilai seperti ini dapat digunakan untuk mendorong area lain yang masih belum memiliki progres yang baik.

Model pengukuran e-learning readiness yang dikembangkan Rosenberg memberikan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi e-learning. Namun dalam model ini tidak dijelaskan batasan nilai kesiapan yang menunjukkan bahwa organisasi tersebut telah siap atau belum untuk mulai mengimplementasikan. Namun demikian model ini dapat menunjukkan pada area mana organisasi masih memiliki kekurangan yang perlu ditingkatkan.

2.12.2 Model ELR Chapnick

Samantha Chapnick membuat model penilaian kesiapan e-learning dengan melakukan needs assessment. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam assessment tersebut bertujuan untuk menjawab hal-hal sebagai berikut : apakah kita bisa melakukan ini? Jika bisa, bagaimana kita akan melakukannya? Apa outcome yang akan didapat dan bagaimana mengukurnya? [18].

Gambar

Gambar 1.1 Faktor Penyebab Kebutuhan Diklat Tidak Terpenuhi
Tabel 2.1 Kelompok E-learning menurut Romiszowski   Individual Self Study
Gambar 2.3 Skala Penilaian ELR Aydin & Tasci
Tabel 2.3 Perbandingan Model ELR
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informasi akuntansi diferensial, umumnya manajemen menghadapi empat macam pengambilan keputusan dalam jangka pendek (Bastian dan Nurlela, 2014), yaitu : yang

yang sebagian besar mendiami pulau tersebut dan rata-rata memeluk agama Islam ini memiliki banyak kerajinan tangan yaitu salah satunya kain tenun atau songket

Perancangan sistem yang di lakukan adalah pengenalan surat tanda nomor kendaraan berbasis near field communication (NFC), proses pengenalan data berbasis android

• 2.134 Requiring law enforcement agencies to analyze the data collected and report the data to their respective governing bodies (The Commissioners Court).. Racial breakdown of

telah melakukan test program Tugas Akhir Mahasiswa tersebut di atas pada tanggal …..../06/2014. Dengan hasil : SUKSES

Secara khusus, Peraturan Daerah Tentang RTRW Kota Depok 2012-2032, tidak mengatur penataan ruang yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

Dari kegiatan kerja praktik pada PT. Program kerja praktik ini adalah suatu program yang memberikan pandangan kepada mahasiswa mengenai dunia kerja yang akan dihadapi