• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Minyak Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Minyak Kelapa Sawit"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit diperoleh dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan cara mengekstraksi buah tersebut. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti (kernel) (Ketaren 2005). Perbedaan minyak sawit dengan minyak inti sawit adalah pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit yang berasal dari bagian mesokarpnya. Pada minyak inti sawit, karotenoid yang terdeteksi terdiri dari α-karoten, β-karoten, dan γ-karoten serta likopen dalam jumlah yang sedikit sekali. Perbedaan lainnya adalah dalam kandungan asam kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat dalam minyak sawit (Muchtadi, 1992).

Umumnya minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan adalah minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil), yang merupakan hasil ekstraksi dari bagian mesokarp buah sawit. Sedangkan minyak inti sawit diperoleh dengan cara mengekstrak inti kelapa sawit (palm kernel oil). Minyak sawit yang berasal dari minyak sawit kasar terdiri dari minyak, sedikit air, dan serat halus. Minyak tersebut belum digunakan langsung sebagai bahan pangan maupun non pangan karena perlu dilakukan proses pengolahan lanjutan (Ketaren 2005).

Minyak kelapa sawit terdiri dari fraksi padat dan cair. Fraksi padat disusun oleh asam-asam lemak jenuh sedangkan fraksi cair disusun oleh asam-asam lemak tidak jenuh. Fraksi cair mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi padat, karena pada fraksi cair terdapat asam-asam lemak esensial. Selain itu minyak sawit cair lebih mudah difraksinasi dan diubah menjadi produk pangan dan non pangan (Muchtadi, 1992).

Komponen utama minyak sawit adalah trigliserida (94%), selain itu juga mengandung asam-asam lemak (3-5%) dan komponen minor dalam jumlah sangat kecil (1%) (Wan 2000). Komponen terbesar merupakan trigliserida dan bagian terbesar material gliseridik ada di minyak sawit dengan sejumlah kecil monogliserida dan digliserida yang merupakan hasil proses ekstraksi. Komposisi trigliserida dapat dilihat pada Tabel 1. Rantai asam lemak dapat bervariasi jumlah

(2)

karbonnya, terlihat pada rantainya (panjang rantai) dan dalam struktur (ikatan ganda).

Tabel 1. Komposisi trigliserida dari minyak sawit

Jenuh 1 ikatan

ganda 2 ikatan ganda 3 ikatan ganda 4 ikatan ganda

[wt%] [wt%] [wt%] [wt%] [wt%]

MPP 0,29 MOP 0,83 MLP 0,26 MLO 0,14 PLL 1,08 PMP 0,22 MPO 0,15 MOO 0,43 PLO 6,59 OLO 1,71 PPP 6,91 POP 20,02 PLP 6,36 POL 3,39 OOL 1,76 PPS 1,21 POS 3,50 PLS 1,11 SLO 0,60 OLL 0,56 PSP 0,12 PMO 0,22 PPL 1,17 SOL 0,30 LOL 0,14

PPO 7,16 SPL 0,10 OSL 0,11

PSO 0,68 POO 20,54 OOO 5,38

SOS 0,15 SOO 1,81 OPL 0,61

SPO 0,63 SPO 1,86

OSO 0,18

Lainnya 0,16 0,34 0,19 0,15 0,22

Total 9,15 33,68 34,01 17,27 5,47

M: asam miristat; P: asam palmitat; S: asam stearat; O: asam oleat; L: asam linoleat

Sumber: Gee (2007)

Variasi struktur dan jumlah karbon dalam rantai asam lemak ini sangat menentukan sifat fisik dan kimiawi minyak sawit. Panjang rantai asam lemak berkisar antara 12 sampai 20 karbon (Tabel 2).

Tabel 2. Komposisi asam lemak dari minyak sawit, olein dan stearin sawit Asam Lemak Minyak sawit [wt%] Olein Sawit [wt%] Stearin Sawit [wt%] C12:0 laurat 0,10-0,40 (0,24) 0,20-0,40 (0,27) 0,10-0,30 (0,18) C14:0 miristat 1,00-1,40 (1,11) 0,90-1,20 (1,09) 1,10-1,70 (1,27) C16:0 palmitat 40,90-47,50 (44,14) 36,80-43,20 (40,93) 49,80-68,10 (56,79) C18:0 stearat 3,80-4,80 (4,44) 3,70-4,80 (4,18) 3,90-5,60 (4,93) C18:1 oleat 36,40-41,20 (39,04) 39,80-44,60 (41,51) 20,40-34,40 (29,00) C18:2 linoleat 9,20-11,60 (10,57) 10,40-12,90 (11,64) 5,00-8,90 (7,23) C18:3 linolenat 0,05-0,60 (0,37) 1,10-0,60 (0,40) 0,00-0,50 (0,09) C20:0 arakidat 0,20-0,70 (0,38) 0,30-0,50 (0,37) 0,00-0,50 (0,24) Nilai dalam tanda kurung adalah nilai tengah

Sumber: Gee (2007)

Sebanyak 50% asam lemak minyak sawit adalah asam lemak jenuh dan 50% lainnya adalah tidak jenuh. Keseimbangan antara jenuh dan tidak jenuh menentukan bilangan iodin minyak dan memberikan stabilitas terhadap oksidasi

(3)

minyak dibandingkan minyak nabati lainnya. Penempatan berbeda dari asam lemak dapat mengikat molekul gliserol yang mengakibatkan banyaknya trigliserida yang berbeda (Basiron 1996).

Komponen minor minyak sawit terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, fosfatida, sterol, triterpen, alkohol, fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon terpen, hidrokarbon alifatik, lilin dan impurities (Tabel 3). Walaupun jumlahnya kurang dari 1 persen, tetapi berperan penting dalam stabilitas dan kemurnian minyak, dan juga dapat meningkatkan nilai nutrisi minyak (Basiron 1996). Minyak sawit kasar (CPO) mengandung 500-700 ppm karoten. Saat ini karoten telah dibuat konsentrat dari minyak sawit, dimana konsentrat ini kaya pro-vitamin A yang selama ini rusak selama proses pengolahan.

Tabel 3. Komponen minor dalam CPO

Komponen Minor Total dalam CPO [mg/kg]

Karotenoid 500-700 Skualen 200-500 Hidrokarbon non-terpenoid 30-50 Α-tokoferol + tokotrienol 600-1000 Sterol 362-627 Alkohol triterpenik 40-80 Metilsterol 40-80 Dolikol + poliprenol 81 Ubikuinon 10-80 Fosfolipid 5-130 Glikolipid 1033-3780 Sumber: Gee (2007)

Kandungan utama dalam konsentrat karoten adalah α dan β-karoten. Kedua jenis karoten ini dapat dibuat ke dalam berbagai konsentrasi, mulai dari 1 sampai 30% untuk aplikasi komersial seperti produk pangan, pewarna pangan, nutrasetikal, farmasetikal, aplikasi nutrisional dan kesehatan. Kandungan vitamin E dalam minyak kelapa sawit adalah sekitar 600-1000 ppm. Sekitar 70% dalam bentuk tokotrienol dan 30% dalam bentuk tokoferol. Hal ini yang menyebabkan minyak kelapa sawit mempunyai kestabilan alami terhadap oksidasi dan umur simpan yang lebih panjang sama baiknya dengan kemampuannya mengurangi kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dan sifat anti-kanker. Minyak sawit juga mengandung 250-620 ppm sterol. Alfa sitosterol merupakan komponen terbesar yang mempunyai sifat hipokolesterolemik (Basiron dan Weng 2004).

(4)

Sifat fisik minyak sawit penting untuk ditentukan seperti densitas, panas spesifik, viskositas, melting point, dan solid fat content (SFC). Dua metode yang yang paling sering digunakan adalah slip melting point (SMP) dan Wiley melting point (WMP). Metode SMP telah diadopsi Malaysia sebagai metode yang paling disukai untuk minyak sawit dan minyak dari inti sawit. Nilai SMP minyak sawit meningkat setelah proses pemurnian dimana kisaran melting point RBD (Refined Bleached Deodorized) minyak sawit adalah 34-39 °C. Kisaran suhu melting point untuk olein sawit relatif sempit, sedangkan pada stearin kisarannya lebih luas (Ong et al. 1995). Karakteristik RBD (Refined Bleached Deodorized) minyak sawit yang diteliti oleh Gee (2007) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik RBD minyak sawit dan fraksi-fraksinya

Parameter Minyak Kelapa Sawit Olein Sawit Stearin Sawit Bilangan Iodin 50,09-54,91(52,07) 55,57-61,87(56,75)

27,84-45,13(37,74) Slip Melting Point [°C] 33,00-39,00 (36,72) 19,20-23,60(21,45)

46,60-53,80(51,44) Indeks Refraksi 1,45-1,45(1,45) 1,45-1,45(1,45) 1,44-1,45(1,44) Apparent Density

[g/mL]

0,88-0,89(0,88) 0,89-0,89(0,89) 0,88-0,88(0,88) Solid fat content [%]

pada 5 °C 46,1-60,8(53,7) 23,9-45,5(38,3) 49,5-84,1(76,0) 15 °C 33,4-50,8(39,1) 23,9-45,5(38,3) 37,2-79,0(68,9) 20 °C 21,6-31,3(26,1) 10,7-25,9(19,9) 25,2-71,2(60,2) 25 °C 12,1-20,7(16,3) 0,0-9,0(5,7) 15,8-63,5(50,6) 30 °C 6,1-14,3(10,5) 0,0-4,3(2,1) 11,2-55,0(40,4) 35 °C 3,5-11,7(7,9) 7,2-46,6(34,3) 40 °C 0,0-8,3(4,6) 6,1-38,0(28,1) 45 °C 1,0-32,2(22,4) 50 °C 0,0-21,3(12,5) 55 °C 0,0-9,1(0,6)

Nilai dalam tanda kurung adalah nilai tengah Sumber : Gee (2007)

Nilai SFC pada minyak merupakan nilai pengukuran (dalam persen) jumlah minyak padat yang terkandung dalam minyak pada suhu tertentu. Alat untuk mengukur nilai SFC adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Bentuk padat dalam minyak pada suhu tertentu adalah akibat proses kristalisasi yang terjadi pada minyak. Struktur molekul trigliserida yang berbeda dengan dengan sifat

(5)

kimiawi yang berbeda menjelaskan keadaaan fisik minyak pada suhu yang berbeda, memberikan sifat kristalisasi dan melting tertentu pada minyak (Basiron 1996). Profil SFC pada lemak menentukan aplikasinya pada akhir penggunaan (Ong et al. 1995). Tabel 5 menyajikan beberapa standar minyak sawit yang dikeluarkan oleh PORAM (Palm Oil Refiners Association of Malaysia).

Tabel 5. Spesifikasi standar PORAM untuk minyak kelapa sawit yang telah diproses

Produk Asam Lemak Bebas [%] Kelembaban dan Kotoran [%] Bilangan Iod [mg/g] Titik Leleh [°C] RBD Minyak

sawit 0,1 maks 0,1 maks 50-55 33-39

Olein sawit

kasar 5 maks 0,25 maks 56 min 24 maks

RBD Olein

sawit 0,1 maks 0,1 maks 56 min 24 maks Stearin sawit

kasar 5 maks 0,25 maks 48 maks 44 min

RBD Stearin

sawit 0,2 maks 0,15 maks 48 maks 44 min Sumber: Gee (2007)

Sekitar 80% minyak kelapa sawit digunakan untuk produk pangan dan 20% untuk produk non pangan (oleokimia). Menurut Basiron dan Weng (2004), produk tradisional untuk pangan adalah minyak goreng, shortening, margarin, vanaspati, produk bakery, konfeksioneri, reduced fat spreads, es krim, whip krim, mayones, salad dressings, formulasi bebas asam lemak trans, keju berbahan dasar sawit, bubuk santan, mikroenkapsulasi dan minyak sawit merah/olein. Olein sawit mempunyai beberapa manfaat antara lain, resisten terhadap kerusakan oksidatif, mempunyai vitamin E sebagai antioksidan alami, dan dapat dicampur minyak nabati lain agar sesuai di iklim yang lebih dingin. Sedangkan untuk aplikasi non-pangan walau hanya 20% tetapi mempunyai nilai tambah yang tinggi. Minyak kelapa sawit yang dapat digunakan langsung adalah sabun, poliol, poliuretan, pelapis poliakrilamid, tinta printer, termoplastik teknik, bahan bakar (pengganti diesel), pelumas bor (pengganti non-toksik untuk diesel), sedangkan sebagai oleokimia adalah asam lemak, ester lemak, alkohol lemak dan nitrogen lemak serta gliserol.

(6)

Sedangkan minyak sawit merah (red palm oil:RPO) yang tidak dihilangkan kandungan karotennya selama pengolahan dapat digunakan sebagai (1) pewarna alami, (2) pangan fungsional, minyak sawit merah berperan sebagai carrier pro-vitamin A dan pro-vitamin E untuk konsumen, (3) substrat untuk nutrasetikal, minyak sawit merah kaya komponen minor seperti karoten, tokoferol, tokotrienol, skualan, sterol dan koenzim Q10, (4) pengganti lemak hewani, lemak minyak sawit lebih sedikit membawa cemaran mikroba dan lebih aman untuk dikonsumsi, dan juga menurunkan kandungan kolesterol dari produk daging, (5) Produk kosmetik, campuran alami antioksidan dalam minyak sawit merah merupakan bahan ideal sebagai ingredient aktif dalam produk perawatan tubuh. Karoten dan vitamin E alami dalam minyak sawit merah merupakan antioksidan yang kuat. Tokotrienol mempunyai pengaruh yang bermanfaat dalam melindungi kulit dari sinar ultraviolet yang mengakibatkan kerusakan kulit dan penuaan dini. Kandungan ini juga berperan sebagai stabiliser yang baik dalam formulasi kosmetik yang meningkatkan umur simpan produk dengan mengurangi penggunaan pengawet buatan

Banyak juga aplikasi minyak kelapa sawit sebagai produk baru yang berbahan dasar oleokimia. Pada industri pangan digunakan monogliserida dalam emulsi produk pangan seperti margarin, spreads dan salad dressing, trigliserida berantai sedang dari palm kernel oil (PKO) untuk industri kosmetik, makanan kesehatan dan balita, pembungkus makanan, pelumas dan agrokimia. Kemudian surfaktan yang diturunkan dari oleokimia berbahan dasar minyak sawit yang dapat digunakan sebagai inert ingredient dalam formulasi pestisida, agen pendispersi, emulsifier, pelarut, carrier dan diluents (Basiron dan Weng 2004).

Pengolahan Minyak Sawit Merah

Untuk mendapatkan minyak atau lemak bermutu tinggi yang sesuai dengan kegunaannya, maka perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut atau pemurnian yang spesifik terhadap minyak kasar (crude oil) sesuai dengan sifat-sifat alami dari komponen-komponen dalam minyak atau lemak tersebut dan hasil akhir yang dikehendaki harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen (Allen 1997). Proses pemurnian minyak terdiri dari beberapa tahap yaitu pemisahan gum (degumming),

(7)

netralisasi (deasidifikasi), pemucatan (bleaching) dan deodorisasi. (Allen 1997). Istilah minyak RBD dimaksudkan untuk minyak yang telah dimurnikan dengan alkali (refining), dipucatkan (bleached), dan dideodorisasi (Johnson 2002). Hal ini dilakukan tergantung dari keadaan minyak kasar yang dihasilkan, konstituen yang tidak dikehendaki dalam minyak dan tujuan serta jenis minyak yang dikehendaki (Djatmiko dan Ketaren 1985).

Penelitian ini bertujuan menghasilkan minyak sawit merah dengan kandungan karotenoid yang tinggi. Oleh karena itu proses bleaching dan deodorisasi tidak dilakukan karena komponen minor seperti karotenoid akan terserap oleh bleaching earth (tanah pemucat) dan rusak oleh suhu tinggi (260-280 °C) dan tekanan vakum rendah pada proses deodorisasi (Ariana et al. 1996). Menurut Rossi et al. (2001) bleaching earth dapat menyerap sekitar 20-50% karotenoid dari degummed oil. Selanjutnya sifat CPO dan RBD sawit dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Sifat kelapa sawit mentah dan yang telah dimurnikan, dipucatkan dan dideodorisasi (RBD)

Sifat Mentah RBD Minyak Kelapa Sawit

Trigliserida (%) - >99

Fosfatida (%) 0.006-0.013 0.012

Bahan tidak tersabunkan (%) - -

Sterol nabati 0.036-0.062 0.011-0.016

Tokoferol 0.06-0.10 0.04-0.06

Hidrokarbon (skualan) 0.02-0.05 -

Asam lemak bebas (%) 2.0-5.0 <0.10

Metal

Besi (ppm) 5-10 0.12

Tembaga (ppm) 0.05 0.05

Sumber: Johnson (2002)

Kotoran atau bahan asing dalam minyak terdiri dari :

1) Komponen-komponen yang tidak larut dalam minyak atau lemak dan terdispersi dalam minyak. Kotoran ini terdiri dari jaringan-jaringan, serat, abu, mineral seperti Fe, Cu, dan Ca, getah, lendir dan air. Kotoran ini dapat dipisahkan dengan cara mekanis seperti penyaringan, pengendapan, dan pemusingan.

(8)

2) Komponen-komponen yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak atau lemak. Kotoran ini terdiri dari fosfatida, karbohidrat, senyawa yang mengandung nitrogen dan senyawa kompleks lainnya. Kotoran ini dapat dihilangkan dengan menggunakan uap panas, elektrolisis disusul dengan proses pengendapan, pemusingan, atau penyaringan dengan menggunakan adsorben.

3) Komponen-komponen yang dapat larut dalam minyak atau lemak. Kotoran ini terdiri dari asam lemak bebas, sterol, hidrokarbon, turunan dari mono- dan digliserida yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserida, zat warna yang terdiri dari karotenoid, klorofil, dan zat warna lainnya yang dihasilkan dari proses oksidasi dan dekomposisi minyak yang terdiri dari keton, aldehid, resin serta zat lainnya yang belum dapat diidentifikasi (Djatmiko dan Ketaren 1985).

Degumming

Pemisahan gum (degumming) merupakan suatu proses pemisahan getah atau lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Allen 1997). Degumming dilakukan untuk produk minyak makan. Tujuan perlakuan degumming pada minyak dan lemak adalah menghilangkan kotoran dan memperbaiki stabilitas minyak dengan mengurangi jumlah ion logam terutama Fe dan Cu dan untuk memudahkan proses pemurnian selanjutnya serta mengurangi minyak yang hilang selama proses pemurnian, terutama pada proses netralisasi dengan menggunakan kaustik soda (Djatmiko dan Ketaren 1985).

Proses degumming cukup penting karena sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda yang digunakan pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak, dan netralisasi minyak yang masih mengandung lendir akan mengurangi jumlah trigliserida yang dihasilkan karena terjadi penambahan partikel emulsi dalam minyak (Djatmiko dan Ketaren 1985). Proses degumming dilakukan pada suhu sekitar 80 °C selama 30 menit. Selama proses berlangsung dilakukan penambahan asam mineral pekat seperti H3PO4 atau

NaCl, kemudian didiamkan dan kotoran dipisahkan dengan menyaring minyak dengan pompa vakum (Mas’ud 2007).

(9)

Netralisasi

Netralisasi atau deasidifikasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan asam lemak bebas dalam minyak atau lemak dengan penambahan alkali atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Sabun yang terbentuk ini dapat juga menyerap kotoran-kotoran lain yang terdapat dalam minyak atau lemak, misalnya menyerap sedikit zat warna minyak, sehingga minyak yang dihasilkan lebih jernih dari ”crude oil’-nya (Djatmiko dan Ketaren 1985). Netralisasi merupakan proses paling penting dalam pemurnian minyak makan. Proses netralisasi yang tidak benar akan menimbulkan masalah pada tahap pemucatan dan deodorisasi, dan pada tahap hidrogenasi atau interesterifikasi (Johnson 2002).

Netralisasi dicapai dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan soda kaustik (NaOH) untuk membentuk sabun (soap stock). Saponifikasi merupakan reaksi antara gliserida asam lemak bebas dan NaOH juga untuk membentuk soap stock (Johnson 2002). Reaksinya sebagai berikut :

RCOOH + NaOH RCOONa + H2O Asam lemak alkali sabun air bebas

Netralisasi harus dilakukan dengan benar atau beberapa trigliserida akan tersaponifikasi sehingga akan meningkatkan refining loss. Minyak yang rendah bilangan asamnya disebut minyak netral. Menghilangkan soap stock juga harus dilakukan hati-hati untuk mencegah kehilangan yang tinggi dari minyak netral atau meningkatkan refining loss (Johnson 2002). Variabel-variabel yang menentukan penurunan kandungan asam lemak bebas dengan kehilangan yang dapat diterima dari minyak yang telah dinetralisasi (Allen 1997) adalah:

1. Tipe alkali yang digunakan seperti NaOH, Na2CO3, sodium silikat, dan

NH4OH.

2. Kekuatan larutan alkali

3. Kelebihan (excess) larutan alkali diatas kuantitas stoikiometri dibutuhkan untuk menetralisasi asam lemak bebas dan asam fosfat (dihitung dari persamaan kimia)

(10)

4. Suhu dimana reaksi berlangsung

5. Tipe dan derajat agitasi selama dan sesudah penambahan alkali 6. Waktu antara penambahan alkali dan pemisahan soapstock (sabun)

Soda kaustik (NaOH) merupakan alkali yang paling sering digunakan untuk netralisasi. Selain dapat membersihkan minyak NaOH juga dapat mempengaruhi sedikit dekolorisasi. Untuk mereduksi saponification losses, kadang Na2CO3

digunakan bersama NaOH. Sodium karbonat (Na2CO3) merupakan alkali yang

lebih ringan, menghasilkan sedikit saponifikasi yang tidak diinginkan tetapi juga lebih sedikit mengakibatkan dekolorisasi (Allen 1997).

Pemilihan jumlah dan kekuatan soda kaustik untuk netralisasi sangat penting karena akan menentukan dasar kandungan asam lemak bebas dalam minyak. Biasanya untuk mengukur kekuatan larutan soda kaustik untuk netralisasi berdasarkan berat spesifiknya yang disebut derajat Baumé yang berkisar dari 10 sampai 30 °Bé. Minyak yang berkualitas bagus biasanya dinetralisasi dengan kaustik 12, 14, atau 16 °Bé (Hodgson 1996). Proses netralisasi untuk minyak sawit merah terdiri dari pengadukan kontinyu degummed red palm oil (DRPO) dengan larutan (kaustik) NaOH yang konsentrasinya telah ditentukan, sampai terbentuk emulsi dengan koagulasi dari sabun pada suhu 60 °C dan dilakukan pemisahan fase air (soap stock) dan fase minyak (NPO) dengan sentrifugasi (Mas’ud 2007).

Fraksinasi

Setelah kedua proses di atas dilakukan, maka dilakukan fraksinasi. Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein) dari minyak. Fraksinasi adalah proses pemisahan berbagai trigliserida menjadi satu atau lebih fraksi dengan menggunakan perbedaan kelarutan trigliserida, yang tergantung pada berat molekul dan derajat ketidakjenuhan (Timms 1997).

Menurut Krishnamurthy dan Kellens (1996), secara umum terdapat empat cara proses fraksinasi minyak sawit yaitu:

1. Fraksinasi pelarut, kristalisasi dilakukan dalam larutan pelarut, untuk mengurangi viskositas. Pelarut yang sering digunakan adalah aseton atau

(11)

heksan. Proses ini dikarakterisasi dengan waktu kristalisasi yang singkat dan penyaringan yang mudah.

2. Fraksinasi deterjen, dikembangkan untuk memperbaiki pemisahan fase kristalisasi dari sisa cairan dengan menambahkan larutan deterjen pada minyak yang terkristalisasi.

3. Proses fraksinasi kering, teknik ini adalah teknik pemisahan paling mudah dan murah serta tidak memerlukan posttreatment pada produk akhir.

4. Winterisasi, proses ini mirip dengan proses fraksinasi kering dan digunakan untuk membuang sejumlah kecil padatan dari minyak yang secara normal menyebabkan cloudiness pada minyak bila disimpan pada suhu refrigerasi.

Prinsip dari proses fraksinasi ini adalah pendinginan secara bertahap. Fraksi stearin atau fraksi minyak jenuh yang mempunyai titik cair lebih tinggi akan membentuk kristal terlebih dahulu. Sedangkan fraksi olein atau fraksi minyak yang tidak jenuh dengan titik cair yang lebih rendah masih dalam bentuk cair (Timms 1997).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal dan pemisahan stearin dengan olein adalah suhu awal dari minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, kecepatan agitasi dan metode preparasi. Variabel ini mempengaruhi ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, kandungan lemak padat, titik leleh, profil asam lemak dari lelehan dan fraksi kristalin (Kellens dan Hendrix 2000).

Karotenoid

Karotenoid adalah suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik, alifatik-alisiklik, atau aromatik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonyugasi (Klaui dan Bauernfeind 1981). Sedangkan menurut Winarno (1997) dan Sylvester (2005), karotenoid merupakan pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak. Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0,5%) bersama-sama dengan klorofil (9,3%) terutama pada bagian permukaan atas daun,

(12)

dekat dengan dinding sel. Karotenoid tersebar luas dan secara alami terdapat dalam jumlah besar di alam, menyebabkan warna kuning dan merah selain pada tanaman juga pada ganggang, mikrorganisme dan hewan.

Struktur dasar karoten terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh terbentuk dari 40 atom C atau 8 unit isoprena dan memiliki 2 buah gugus cincin. Perbedaan struktur antara berbagai karoten terletak pada letak dan jumlah ikatan rangkap, serta jenis gugus pada cincin yang mempengaruhi aktivitas biologisnya sebagai provitamin A (Klaui dan Bauernfeind 1981). Struktur kimia beberapa karoten dapat dilihat pada Gambar 1.

α-karoten

β-karoten

γ-karoten

Gambar 1. Struktur kimia beberapa karotenoid (Klaui dan Bauernfeind 1981)

Menurut Winarno (1997), karoten merupakan campuran dari beberapa senyawa yaitu α, β, dan γ-karoten. Karoten merupakan molekul yang simetrik, artinya separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya.

(13)

Walaupun karoten adalah molekul yang simetrik, namun tidak semua karoten benar-benar simetrik, misalnya α dan γ-karoten mempunyai terminal yang tidak sama.

Berdasarkan fungsinya karotenoid dapat dibagi atas dua golongan yaitu yang bersifat nutrisi aktif seperti β-karoten dan non nutrisi aktif seperti fukosantin, neosantin dan violasantin. Berdasarkan unsur-unsur penyusunannya karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama yaitu 1) golongan karoten yang tersusun dari unsur-unsur atom C dan H, seperti α-karoten, β-karoten, dan γ-karoten, serta likopen, 2) golongan oksikaroten atau xantofil yang tersusun oleh unsur-unsur C, H, dan OH seperti lutein, violasantin, neosantin, zeasantin, kriptosantin, kapsantin, dan torulahordin (Klaui dan Bauernfeind 1981).

CPO merupakan sumber yang kaya dari karoten alami yaitu sekitar 500 sampai 700 ppm (Unnithan dan Foo 2001). Kadar karotenoid tersebut bervariasi menurut tingkat kematangan dan genotip dari buah. Secara umum minyak yang berasal dari buah sawit yang berwarna merah lebih banyak mengandung karotenoid daripada buah yang berwarna oranye (Winarno 1999). Komposisi karotenoid pada CPO dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi karotenoid pada CPO

Karoten Komposisi [%] Phytoene 1,27 Phytofluene 0,06 Cis-β-karoten 0,68 Β-karoten 56,02 Α-karoten 35,16 Cis-α-karoten 2,49 ζ-karoten 0,69 γ-karoten 0,33 δ-karoten 0,83 Neurosporene 0,29 Β-Zeakaroten 0,23 Likopen 1,30 Sumber : Gee (2007)

Karotenoid berkristalisasi dalam berbagai bentuk, warna kristal bervariasi dari merah sampai ungu hampir hitam. Ukuran kristal mempengaruhi warna dari karotenoid spesifik. Titik leleh hampir tinggi dan cenderung meningkat dengan

(14)

meningkatnya berat molekul dan gugus fungsional. Titik leleh β-apo-8’-karotenal, β-karoten, dan canthaxanthin adalah 136 °-140 °C, 176 °-182 °C dan 208 °-210 °C, berturut-turut (Klaui dan Bauernfeind 1981).

Struktur ikatan ganda terkonjugasi dalam molekul membuat material kristalin karotenoid menjadi sangat sensitif pada dekomposisi oksidatif jika terekspos udara. Kristal harus disimpan dalam kontainer dan di seal di dalam vakum atau gas inert pada suhu rendah. Jika termikronisasi dan terlarut dalam minyak nabati, stabilitasnya cukup memadai untuk penggunaan praktis dalam pewarna lemak berbasis pangan. Mengurangi derajat tidak jenuh minyak dengan hidrogenisasi meningkatkan keefektifan dalam stabilisasi karoten. Penggunaan antioksidan yang sudah food grade semakin memperbaiki stabilitas. Stabilitas karoten dapat ditingkatkan sampai 20 kali lipat jika ditambahkan antioksidan pada carrier minyak nabati (Klaui dan Bauernfeind 1981).

Karotenoid yang berbentuk cair lebih cepat mengalami kerusakan akibat penyinaran dibandingkan dengan berbentuk padat. Karotenoid yang mengalami perlakuan panas disertai kehadiran oksigen akan mempercepat jalannya reaksi oksidasi. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan McFeeters 1970).

Meyer (1982) telah menjelaskan bahwa karotenoid memiliki beberapa sifat fisika dan kimia yaitu:

1. Larut dalam minyak dan tidak larut dalam air

2. Larut dalam kloroform, benzen, karbon disulfida, dan petroleum eter 3. Tidak larut dalam etanol dan metanol dingin

4. Tahan terhadap panas apabila dalam keadaaan tanpa udara 5. Peka terhadap oksidasi, autooksidasi, dan cahaya

6. Mempunyai ciri khas absorpsi cahaya, ini tergantung pada pelarut yang digunakan.

Selama proses pengolahan pangan, bentuk trans karotenoid yang terdapat dalam bahan pangan dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karotenoid yang menyebabkan turunnya aktivitas provitamin A karena aktivitas prtovitamin A dari cis karotenoid lebih rendah dari bentuk trans karotenoid (de Ritter dan Purcell 1981). Manorama et al. (1999) telah melakukan penelitian terhadap

(15)

β-karoten yang dimurnikan, 10 miligram β-β-karoten dilarutkan dalam 7 ml kloroform grade HPLC. Sampel tersebut disimpan dalam berbagai kemasan, kondisi dan waktu yang berbeda. Persentase kehilangan β-karoten pada berbagai kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase kehilangan β-karoten di dalam kondisi tersimulasi

15 1 3 6 9

Hari Bulan Bulan Bulan Bulan

SUHU

Freezer 18,3 28,3 29,5 50 62,8

Refrigerator 25,9 38,9 55,7 64,8 66,9

Ambient 44,8 64,1 83,2 100 100

CAHAYA DAN SUHU

Botol Transparan

(refrigerator) 33,5 66 82,6 100 100

Botol transparan (ambient) 60,5 83,8 93,5 100 100 Botol gelap (refrigerator) 15,6 24,4 36,7 39,5 53,3 Botol gelap (ambient) 24,7 38,8 58,4 89,2 92,2

ANTIOKSIDAN [Refrigerator] Tokoferol 30,2 82 100 BHT 31,2 72,2 100 Asam Askorbat 20,3 55,6 100 [Ambient] Tokoferol 26,8 55 84,1 100 100 BHT 27,7 34,1 49,4 84,6 100 Asam Askorbat 9,4 38,9 73,8 100 100 INKUBATOR 48 72 216 430

Jam Jam Jam Jam

Inkubator (37 °C) 23,3 36,8 42,8 100

Sumber: Manorama et al. (1999)

Minyak sawit merah jika dijadikan minyak goreng, ternyata mengalami kerusakan yang lebih kecil pada parameter suhu yang sama dibanding minyak goreng sawit biasa karena adanya aktivitas antioksidan dari karotenoid. Kandungan karotenoid pada produk yang digoreng dengan minyak sawit merah nilainya berkisar antara 0,700-7,198 Retino Equivalent (RE) vitamin A, sangat kecil dibanding kebutuhan vitamin A per hari per orang yaitu sebesar 350-600 RE vitamin A. Produk yang digoreng dengan minyak sawit merah mempunyai umur simpan yang lebih lama oleh adanya karotenoid dalam minyak yang terserap ke dalam bahan makanan (Nurdini 1997).

(16)

Manfaat kesehatan dan nutrisi dari kandungan karoten dalam minyak sawit merah telah diteliti oleh banyak ahli. Salah satunya dapat menggulangi defisiensi vitamin A dan zat besi pada anak-anak (Lam et al. 2001; Manorama et al. 1996), pemberian suplementasi β-karoten dari minyak sawit merah pada ibu menyusui dapat memperbaiki status vitamin A pada bayi (Canfield et al. 1996), dapat meningkatkan pengaruh anti kanker dan tumor pada sel NK (natural killer) yang berkontribusi pada kekebalan tubuh melawan infeksi dan penyakit berbahaya pada tubuh manusia (Ashfaq et al. 2001), mempunyai potensi melawan kardiovaskular dan karsinogenesis kanker payudara (Arumughan et al. 1996), dan dapat mengurangi resiko artherosklerosis (Kritchevsky et al. 2001; Kooyenga et al. 1996).

Minyak Kelapa

Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri pangan seperti untuk produk permen, cookies, produk-produk roti, minyak goreng, campuran shortening, mentega, dan lain-lain. Kemudian untuk industri-industri non pangan seperti sabun, deterjen, minyak rambut, lipstik, produk-produk kosmetik lainnya, minyak pelumas, minyak gosok, dan lain-lain (Woodroof 1979).

Minyak kelapa merupakan senyawa organik yang merupakan campuran ester dari gliserol dan asam lemak yang disebut gliserida, serta larut dalam pelarut minyak atau lemak (Meyer 1982). Minyak kelapa mengandung 84% trigliserida yang ketiga asam lemaknya jenuh, 12% trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan 4% trigliserida yang mempunyai satu asam lemak jenuh. Trigliserida terdiri dari 96% asam lemak dan berdasarkan komposisi tersebut, maka sifat fisikokimia minyak dapat ditentukan dari sifat fisikokimia asam lemaknya. Asam lemak yang menyusun minyak kelapa terdiri dari 86% asam lemak jenuh dan 20% asam lemak tidak jenuh. Hal ini menyebabkan minyak kelapa lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif dibandingkan minyak lainnya oleh karena asam lemak jenuh yang terkandung di dalamnya lebih sedikit (Canapi et al. 1996).

(17)

Berdasarkan kandungan asam lemak, minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya paling besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya, yakni antara 45,4 sampai 46,4%, sehingga sifat fisik dan kimia minyak kelapa ditentukan oleh sifat fisik dan kimia dari asam laurat. Berdasarkan tingkat ketidakjenuhannya yang dinyatakan dengan bilangan Iod, maka minyak kelapa dapat dimasukkan ke dalam golongan non drying oil, karena bilangan iod minyak tersebut berkisar antara 7,5-10,5 (Ketaren 2005).

Sifat-sifat minyak, terutama titik lelehnya tergantung dari susunan asam lemaknya. Tidak seperti minyak lainnya, minyak kelapa mempunyai titik leleh yang tajam yaitu pada 24,4-25,5 °C, karena kandungan asam lemak berberat molekul rendah yang tinggi dibandingkan panjang rantainya (Lawson 1995). Semakin besar derajat ketidakjenuhan asam lemak, maka semakin rendah titik leleh minyak yang bersangkutan (Swern 1979). Karena titik lelehnya yang tajam, minyak kelapa digunakan dalam konfesioneri dan pengisi kue. Titik leleh yang tajam di bawah suhu tubuh, berkontribusi pada efek ”cooling” dalam mulut (Lawson 1995)

Minyak kelapa yang belum dimurnikan mengandung sejumlah kecil komponen bukan minyak, misalnya fosfatida, gum, sterol (0,06-0,08%), tokoferol (0,003%) dan asam lemak bebas (kurang dari 5%). Sterol yang terdapat dalam minyak nabati disebut fitosterol dan mempunyai dua isomer, yaitu α sitosterol (C29H50O) dan stigmasterol (C29H48O). Sterol tidak berwarna, tidak berbau, stabil

dan berfungsi sebagai stabilizer dalam minyak.

Tokoferol mempunyai dua isomer, yaitu α-tokoferol dan β-tokoferol. Sifat dari tokoferol antara lain tidak dapat disabunkan, dapat teroksidasi dan berfungsi sebagai antioksidan yang baik (Djatmiko et al. 1976). Menurut Eckey (1954), fungsi tokoferol sebagai antioksidan adalah dengan cara memperpanjang periode induksi atau periode jangka waktu mulai terjadinya proses oksidasi sampai timbul bau tengik. Beberapa sifat fisik dan kimia minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 9.

(18)

Tabel 9. Spesifikasi produk minyak kelapa (CNO)

Sifat fisikokimia CNO kasar CNO RBD Kelembaban dan kotoran (% maks) 1,0 0,03 Asam lemak bebas (sbg laurat) (% maks) 3,0 0,04

Warna (Lovibond R/Y) 12/75 1/10

Bilangan penyabunan - 250-264

Bahan tidak tersabunkan (% maks) 0,4 0,1

Bilangan Iod - 7-12

Bilangan peroksida, maks 2,0 0,5

Slip melting point ( °C) - 24-26

Indeks refraksi pada 40 °C - 1,448-1,450

Flavor/bau - Bersih/tidak berbau

Sumber: Canapi et al. (1996)

Zat warna (pigmen karotenoid) hampir tidak ada dalam minyak kelapa. Warna coklat pada minyak yang mengandung protein dan karbohidrat bukan disebabkan oleh zat warna, tetapi oleh reaksi browning. Warna ini merupakan hasil reaksi dari karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dengan asam amino dari protein dan suhu sangat berpengaruh pada reaksi tersebut (Djatmiko et al. 1976).

Interesterifikasi Enzimatik

Reaksi interesterifikasi adalah suatu cara untuk mengubah struktur dan komposisi minyak dan lemak melalui penukaran gugus radikal asil diantara trigliserida dan asam alkohol (alkoholisis), lemak (asidolisis), atau ester (transesterifikasi). Interesterifikasi tidak mempengaruhi derajat kejenuhan asam lemak atau menyebabkan terjadinya isomerisasi asam lemak yang memiliki ikatan ganda. Jadi dapat dikatakan bahwa reaksi interesterifikasi tidak akan mengubah sifat dan profil asam lemak yang ada, tetapi mengubah profil lemak dan minyak karena memiliki susunan trigliserida yang berbeda dari trigliserida awalnya (Tombs 1995).

Reaksi interesterifikasi melibatkan pergantian dan pendistribusian ulang gugus asil di dalam trigliserida. Proses pergantian asam lemak itu sendiri dapat melalui tiga tipe reaksi yaitu reaksi alkoholisis, asidolisis, dan transteresterifikasi.

Reaksi alkoholisis merupakan reaksi antara lemak dan alkohol untuk menghasilkan ester. Pada asidolisis, perpindahan gugus asil antara asam dan ester,

(19)

adalah cara efektif menggabungkan asam lemak bebas baru dalam trigliserida (Willis dan Marangoni 2002). Reaksi pertukaran ester (transesterifikasi) merupakan reaksi utama dalam penelitian ini. Transesterifikasi merupakan pertukaran gugus asil antara dua ester (Willis dan Marangoni 2002), dapat terjadi pada trigliserida yang berbeda atau diantara trigliserida itu sendiri. Pertukaran ester dapat meningkatkan sifat fisik lemak (misalnya titik leleh) karena terjadi perubahan susunan gugus asil pada trigliserida tersebut. Reaksi ini banyak digunakan untuk produk lemak seperti margarin, mentega dan shortening.

Interesterifikasi secara kimia memiliki kekurangan karena tidak memiliki selektivitas, atau dengan kata lain proses interesterifikasi dapat terjadi pada posisi mana saja dari kerangka trigliserida. Proses ini dapat mencegah atau mempersulit terbentuknya produk yang memiliki sifat fisikokimia yang diinginkan (Woolley dan Petersen 1994). Penggunaan enzim yang memiliki sifat spesifik seperti lipase sn-1,3 akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam memodifikasi lemak. Lipase sn- 1,3 memiliki banyak keuntungan teknologi antara lain (Graille, 1993): 1. Asam lemak pada posisi 2 tetap pada tempatnya, sehingga dapat diarahkan

pada produksi lemak yang memiliki nilai yang lebih tinggi jika asam lemak pada posisi 1 dan 3 diganti dengan asam lemak lainnya.

2. Pembentukan trigliserida yang memiliki titik leleh tinggi dapat dicegah atau dibatasi.

3. Reaksi enzimatik berlangsung dengan perlahan, sehingga lebih mudah mengendalikan reaksi.

4. Reaksi enzimatik lipase 1,3 berlangsung pada suhu yang relatif rendah antara 35-60 °C. Semakin tinggi suhu, kualitas reaksi akan semakin baik.

5. Menghemat energi, karena dalam kenyataannya bahan baku mentah dapat dijadikan sebagai substrat dalam reaksi esterifikasi.

Siew et al. (2007) mempelajari perubahan sifat fisik campuran stearin sawit dan minyak kanola (hPS/CO) yang diinteresterifikasi enzimatik dengan lipase terimobilisasi Thermomyces lanuginosa (Lipozyme TL IM). Hasilnya menunjukkan campuran setelah interesterifikasi enzimatik mempunyai SMP dan SFC lebih rendah daripada campuran hPS/CO sebelum reaksi. Hasil SMP campuran hPS/CO setelah interesterifikasi enzimatik dengan rasio 40:60, 50:50,

(20)

dan 60:40 dapat digunakan untuk aplikasi margarin batang (stick margarine) dan shortening. Dari analisis SFC, campuran hPS/CO terinteresterifikasi dengan rasio 40:60 mempunyai kurva SFC mirip dengan vanaspati sedangkan rasio 50:50 dan 60:40 mempunyai kurva SFC serupa dengan margarin, puff pastry margarine dan shortening.

Zhang et al. (2006) membandingkan stabilitas penyimpanan hardstock margarin dari campuran stearin sawit dan minyak kelapa (70:30) yang dibuat dengan tiga cara yaitu dengan cara blending secara fisik, diinteresterifikasi secara kimiawi dan diinteresterifikasi enzimatik dengan Lipozyme TL IM. Setelah disimpan pada suhu 25 °C selama 12 minggu , ternyata margarin dari lemak hasil interesterifikasi enzimatik mempunyai bilangan peroksida hampir sama dengan dicampur secara fisik, dan kedua perlakuan tersebut mempunyai bilangan peroksida lebih rendah daripada margarin dari lemak hasil interesterifikasi secara kimiawi.

Amri dan Xu (2005) mencampur stearin sawit, kernel sawit dan minyak ikan (POS/PKO/FO) dalam berbagai rasio komposisi dan diinteresterifikasi enzimatik dengan lipase Lipozyme TL IM (Thermomyces lanuginosa) menggunakan packed bed reactor. Walaupun interesterifikasi enzimatik meningkatkan SFC produk pada 5 sampai 35 °C, pada suhu 35 °C SFC produk lebih rendah daripada substrat. Ini adalah karakterisitik yang bagus karena dapat menurunkan SFC pada suhu tubuh. Campuran POS/PKO/FO (0,55/0,15/0,30, w/w/w%) diprediksikan mempunyai profil SFC mirip dengan margarin meja komersial.

Zainal dan Yusoff (1999) juga melakukan interesterifikasi enzimatik pada stearin sawit dan olein kernel sawit. Pada suhu 60 °C interesterifikasi dengan lipase dari Rhizomucor miehei dapat seelesai dalam 5 jam. Hasil menunjukkan bahwa interesterifikasi efektif dalam memproduksi lemak padat dengan kurang dari 0,5% kandungan trans dan SMP turun dari 40 °C sebelum interesterifikasi menjadi 29,9 °C setelah interesterifikasi.

Alpaslan dan Karaali (1997) melakukan reaksi interesterifikasi enzimatik dengan katalis enzim terimobilisasi Lypozym IM60 pada campuran minyak zaitun

(21)

dan minyak sawit dihidrogenasi sebagian. Hasilnya, produk dengan rasio 30:70 memiliki sifat sangat mirip dengan Turkish package margarine.

Enzim Lipase

Lipase didefinisikan sebagai gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3) karena mengakatalisis hidrolisis ikatan karboksil ester dalam asilgliserol. Tergantung derajat hidrolisis, asam lemak bebas, monoasilgliserol, diasilgliserol, dan gliserol diproduksi. Manfaat utama dari lipase dalam interesterifikasi enzimatik dibandingkan interesterifikasi kimia adalah kespesifikannya. Spesifisitas asam lemak dari lipase yang telah dieksploitasi untuk memproduksi lemak terstruktur untuk makanan kesehatan dan untuk memperkaya lemak dengan asam lemak tertentu untuk memperbaiki nilai nutrisi minyak dan lemak. Adapun tipe-tipe spesifisitas lipase adalah substrat, posisional, asam lemak, stereo/struktur dan kombinasinya (Rønne et al. 2005).

Menurut Macrae (1983), lipase akan mengkatalisis hidrolisis substrat yang terdapat dalam bentuk misel, agregat kecil atau partikel emulsi. Cara kerjanya berbeda-beda, tergantung dari jenis mikroorganisme dan sumber penghasilnya. Spesifisitas kerja lipase tergantung pada posisi atau lokasi ester, asam lemak dan asilgliserol parsial.

Enzim mempunyai beberapa kelemahan yaitu: ketidakstabilan enzim, tingginya biaya isolasi dan pemurnian serta mahalnya biaya penggunaan enzim karena enzim yang telah dipakai di dalam larutan tidak dapat atau sulit dipisahkan dan dipergunakan lagi sehingga dikembangkannya teknik imobilisasi enzim. Selama enzim belum mengalami kerusakan struktur, enzim masih dapat dipakai secara berulang-ulang (Suhartono 1989).

Oleh karena itu imobilisasi lipase menjadi sangat populer karena manfaatnya dibandingkan sistem enzim bebas adalah reusabilitas, penghentian yang cepat dari reaksi, biaya yang lebih rendah, pembentukan produk yang terkontrol, dan kemudahan enzim untuk dipisahkan dari reaktan dan produk. Sebagai tambahan, imobilisasi lipase yang berbeda dapat mempengaruhi selektivitasnya dan sifat fisikokimianya. Imobilisasi juga menyediakan kemungkinan mendapatkan lipase murni dari ekstrak yang kotor dan imobilisasi secara simultan, dengan inaktivasi

(22)

minimal dari lipase. Metode untuk imobilisasi untuk enzim termasuk bentuk kimiawi, seperti ikatan kovalen, dan bentuk fisik, seperti adsorpsi dan pemerangkapan dalam matriks gel atau mikrokapsul (Willis dan Marangoni 2002).

Lipozyme TL IM merupakan enzim komersial terimobilisasi yang berasal dari lipase mikrobial Thermomyces lanuginosa yang mempunyai kespesifitasan posisional molekul trigliserida yaitu pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3). Lipozyme TL IM ini terimobilisasi dalam bentuk metode penjebakan, yaitu enzim dijebak di dalam matriks silika gel atau di”bungkus” di dalam membran semipermeabel dengan erat sehingga enzim menjadi tidak bebas dan menjalankan fungsi katalitiknya di dalam kisi-kisi polimer tersebut. Disini enzim diperangkap secara fisik dan tidak diikat secara kimiawi, sehingga kemungkinan penurunan aktivitasnya pun lebih kecil dibandingkan dengan metode pengikatan kimiawi. Sarana penempatan enzim dapat berbentuk gel, suatu bentuk serabut kapiler atau suatu mikrokapsul (Suhartono 1989).

Aktivitas lipase dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, kadar air, suhu, komposisi substrat, konsentrasi produk, dan kandungan lipase. pH optimum untuk lipase biasanya di antara 7 dan 9. Suhu optimum untuk kebanyakan lipase imobil berkisar di antara 30-62 °C. Kadar air optimal untuk interesterifikasi oleh lipase berkisar di antara 0,04% sampai 11% (w/v), walaupun kebanyakan reaksi membutuhkan kadar air kurang dari 1% untuk interesterifikasi yang efektif (Willis dan Marangoni 2002).

Huei et al. (2003) membandingkan lima tipe lipase berbeda yaitu Amano FAP 15 (Amano Enzyme Inc.), Lipozyme TL IM (Novozymes A/S), PLC, PLG dan QLC (Meito Sangyo Co., LTD). Produk interesterifikasi enzimatik dianalisis profil trgliseridanya, dan dibandingkan keefektifan lipase dalam mereduksi kandungan PPP (palmitat-palmitat-palmitat). Di antara semua lipase, Amano FAP 15 memperlihatkan reaksi yang tidak signifikan terhadap reaktan. Keempat lipase dapat meningkatkan total PLO (palmitat-linoleat-oleat) dan POO (palmitat-oleat-oleat) dari kisaran rendah yaitu 1,58-2,81% sampai berkisar 8,85-39,57% dimana PPP menurun dari kisaran 27,05-40,82% sampai berkisar 4,41-40,69%. Proses seleksi mengindikasikan bahwa PLG dan TL IM lebih efektif daripada PLC dan

(23)

QLC. Konsentrasi enzim optimum untuk semua lipase adalah 10% dan suhu optimum untuk reaksi adalah 55 °C.

Zhang et al. (2001) mencoba menguji kestabilan enzim murah Lipozyme TL IM untuk produksi lemak margarin skala besar (300 kg) dalam sistem bebas pelarut. Mereka menemukan bahwa Lipozyme TL IM mempunyai aktivitas serupa dengan Lipozyme RM IM untuk interesterifikasi antara stearin sawit dan minyak kelapa. Lipozyme TL IM stabil dalam reaktor skala 300 kg paling sedikit pada sembilan batches.

Ming et al. (1998) mempelajari sifat beberapa enzim untuk memperbaiki sifat fisik atau karakter leleh dari hasil interesterifikasi enzimatik campuran stearin sawit-olein kernel sawit (40:60). Enzim yang digunakan adalah lipase spesifik sn-1,3 seperti Aspergillus niger, Alcaligenes sp. dan lipase non spesifik seperti Pseudomonas sp., dan Candida rugosa, serta lipase terimobilisasi komersial dari Rhizomucor miehei (Lipozyme IM60) juga digunakan . Hasil menunjukkan transesterifikasi mampu memproduksi campuran lemak dengan titik leleh lebih rendah dengan mengubah posisi asam lemak dalam trigliserida dengan kisaran titik leleh tinggi menjadi bentuk komponen bertitik leleh sedang atau rendah. Persentase asam lemak bebas paling tinggi dilepaskan oleh reaksi campuran yang dikatalisasi oleh lipase Pseudomonas (2,90%) dan R.miehei (2,54%). Penurunan SMP (12,0 °C) paling besar juga dimiliki campuran dikalatalisasi Pseudomonas, dan SFC meleleh sempurna pada suhu 35 °C.

Spreads

Spreads adalah produk berbentuk semi padat, plastis, mempunyai tekstur yang lembut dan viskositas yang cukup rendah sehingga dapat dengan mudah dioleskan ke suatu permukaan bahan makanan lain seperti roti dan mampu menyebar (spreadable) (Kristanti 1989). Untuk memperoleh sifat spreadable umumnya digunakan lemak nabati.

Spreads merupakan produk yang menyerupai margarin tetapi mengandung kurang dari 80% lemak (Chrysam 1996). Sedangkan produk olesan (spreads) rendah lemak bukan merupakan margarin tetapi dibuat dengan cara yang sama dengan margarin, mengandung lemak lebih rendah (sekitar 40%) dan

(24)

mengandung kadar air lebih tinggi (sekitar 60%), karena kurang mengandung lemak, nilai energinya sangat rendah (Gaman dan Sherington 1992).

Margarin dan table spreads adalah emulsi air dalam minyak. Fase mengandung air terdiri dari air, garam, dan pengawet. Table spreads adalah sistem koloidal multifase yang terdiri dari fase mengandung air terdispersi sebagai droplet (berukuran 1-20 μm) dalam fase minyak kontinyu dan jaringan kristal lemak (Rousseau et al. 2003). Sebagian besar spreads merupakan tipe lemak kontinyu dengan droplet fase mengandung air berukuran 2-4 μm (margarin) sampai 4-80 μm (untuk spreads rendah lemak) (Moran 1994). Kristal-kristal lemak membentuk jaringan tiga dimensi yang memberikan struktur semi padat pada produk dan menahan bagian cair lemak. Struktur yang terintegritas ini terbentuk terutama karena adanya ikatan kimia (ikatan primer) yang sangat kuat antara kristal-kristal lemak yang berdekatan dan ikatan sekunder Van der Waals yang lemah di antara kristal-kristal yang berkelompok. Ikatan primer bersifat irreversible, dimana ikatan tidak dapat dibangun kembali apabila ikatan ini putus akibat adanya kerja mekanik pada unit crystallizer, sedangkan ikatan sekunder bersifat reversible (deMan 1999).

Produk-produk olesan meja (table spreads) yang telah diperkenalkan di Amerika sejak 1950 adalah sebagai berikut: margarine stick spreadable (1952), whipped margarine (1957), margarin minyak jagung (asam lemak tidak jenuh tinggi) (1958), margarin lunak (1962), margarin cair (1963), margarine diet (40% lemak) (1964), produk olesan/spreads (60% lemak) (1975), whipped spreads (1978), butter blends (1981), improved 40% fat spreads (mengandung bahan pembuat gel) (1986), lower fat spreads (20% lemak)(1989), dan non-fat spread (1993) (Chrysam 1996).

Menurut Aini et al. (2001), margarin sendiri juga mempunyai banyak tipe, yang diformulasi untuk memenuhi keinginan konsumen. Tipe yang paling populer adalah margarin meja, bakery margarine, dan puff pastry margarine. Baru-baru ini dikembangkan margarin rendah kalori atau reduced fat spreads (RFS), yang mengandung kadar lemak lebih rendah daripada margarin. RFS mengandung 41 sampai 60% lemak dan digunakan untuk dioleskan pada roti. Minyak sawit dan minyak kernel sawit merupakan komponen yang sangat cocok untuk margarin

(25)

yang berbagai tipe di atas. Sedangkan menurut Bumbalough (1992), tipe-tipe margarin dan spreads yang diklasifikasikan berdasarkan bentuk fisiknya adalah produk padat, brick margarine, stick margarine, soft products, whipped product, dan liquid margarine.

Menurut Moran (1994), banyak tipe spreads yang sekarang tersedia secara komersial, yaitu mulai yang terdiri dari campuran lemak hewani dan lemak nabati, produk dengan kandungan lemak bervariasi lebih dari 80% sampai kurang dari 5%, spreads dari fase air kontinyu alami, hingga produk mengandung protein susu dan agen penstabil emulsi hidrokoloid dalam tingkat yang nyata. Kategori utama spreads dengan tipe-tipe ingredientnya dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Tipe-tipe komposisi spreads Tipe Spread Lemak

(%) Protein (%)

Ditambah emulsifier atau garam pengemulsi

Penstabil Pengawet Pewarna, flavour, vitamin Mentega >80 0,3 - - - + Margarin >80 0,2 + - - + Reduced fat 60-75 0,3 + - - + Rendah lemak 38-40 0,2-6,5 + = + + Sangat rendah lemak 20-25 0-8,3 + = + + Air kontinyu 5-12 12-20 + = = +

Keterangan : = merupakan pilihan

Fungsi lemak spreads adalah meningkatkan palatabilitas produk roti dan kue seperti meminyaki (lubrication) roti ketika dimakan, sebagai sumber energi, memberikan flavour pangan, mengandung vitamin, sumber asam lemak esensial, berkontribusi pada rasa atau coolness ketika dimakan, dan membentuk struktur produk (Moran 1994). Karakteristik produk spreads menurut Chrysam (1996) dilihat dari spreadibilitas, oiliness, dan sifat lelehnya :

1. Spreadibilitas adalah salah satu sifat paling penting pada spreads, mungkin kedua setelah flavor.

2. Pengeluaran minyak (oiliness) pada margarin terjadi jika matriks kristal lemak berubah ukuran atau karakter untuk memerangkap semua minyak cair. Ini

(26)

masalah yang serius untuk produk batangan, minyak dapat bocor keluar dari kemasan.

3. Margarin meja berkualitas tinggi meleleh dengan cepat dengan sensasi dingin pada langit-langit mulut. Komponen flavor dan garam pada fase mengandung air dengan cepat diterima oleh indra perasa, dan tidak meninggalkan rasa berminyak atau berlilin. Faktor yang mempengaruhi kualitas ini adalah sifat meleleh dari lemak, kekuatan emulsi, dan kondisi penyimpanan produk akhir. Agar margarin dapat meleleh dengan bersih tanpa terasa bergetah atau berlilin, harus dapat meleleh semuanya pada suhu tubuh dan mengandung kurang dari 3,5% lemak padat pada 33,3 °C (92 °F).

Stabilitas table spreads tergantung dari dua mekanisme, yaitu stabilisasi pengikatan dimana partikel koloidal diserap secara interfasial yang dapat menstabilkan droplet terdispersi, dan jaringan kristal lemak yang secara fisik “mengunci” droplet air tetap ditempatnya, sehingga mencegah droplet untuk berpindah, berflokulasi, coalescing, dan kadang-kadang berkrim (Rousseau et al. 2003).

Spreads harus bersifat plastis sehingga mempunyai kemampuan untuk dioles dan membentuk krim. Lemak bersifat plastis pada suhu tertentu, lunak dan dapat dioleskan. Plastisitas lemak disebabkan karena lemak merupakan campuran trigliserida yang masing-masing mempunyai titik leleh sendiri-sendiri, hal ini berarti pada suhu tertentu sebagian lemak akan mencair dan sebagian lagi dalam bentuk kristal padat (Gaman dan Sherrington 1992). Rasio antara fase dan karakter kristalin dari fase padat menentukan konsistensi dan kekuatan produk. Kandungan padat dan kristalinitas tergantung komposisi campuran lemak dan kondisi proses (Gunstone et al. 1994).

Slip Melting Point (SMP) dan Solid Fat Content (SFC)

Slip melting point (SMP) adalah temperatur pada saat lemak dalam pipa kapiler yang berada dalam air menjadi cukup leleh untuk naik dalam pipa kapiler. Titik cair lemak merupakan karakteristik nyata yang berkaitan dengan metode penentuan dari eksperimen, dan bukan merupakan karakteristik fisik dasar seperti oada senyawa murni (Timms 1994). Tiap asam lemak murni mempunyai titik

(27)

leleh spesifik. Minyak dan lemak merupakan campuran esensial dari berbagai asam lemak sebagai trigliserida (seperti stearat, oleat dan linolenat), sehingga tidak memiliki titik cair yang tajam (sharp)(Lawson 1995).

Menurut Lawson (1995), faktor-faktor yang penting dalam menentukan titik cair dan melting behaviour dari suatu produk antara lain adalah:

1. Rata-rata panjang rantai dari asam lemak. Semakin panjang rantai maka titik cairnya semakin tinggi.

2. Posisi asam lemak pada molekul gliserol juga mempengaruhi titik cair. 3. Proporsi relatif dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Semakin

tinggi proporsi asam lemak tidak jenuh, maka titik cairnya akan semakin rendah.

4. Teknik pengolahan, seperti derajat hidrogenasi dan winterisasi

Pada reduced fat spreads (RFS), minyak atau lemak sangat besar pengaruhnya walaupun jumlahnya sangat sedikit dalam emulsi. Hal ini dapat mempengaruhi sifat sensori dan penerimaan konsumen dengan menambah kelezatan, tekstur dan nilai nutrisi. Tekstur seperti konsistensi, plastisitas, dan struktur, merupakan karakteristik penting dari RFS dan ditentukan oleh sifat fisik minyak dan lemak yang digunakan. Pengukuran fisik yang digunakan yaitu kandungan lemak padat. Solid fat content (SFC) menggambarkan jumlah kristal lemak dalam campuran, berperan pada banyak karakteristik produk seperti penampilan umum, memudahkan kemasan, sifat organoleptik, memudahkan penyebaran (spreading), dan pengeluaran minyak. SFC antara 4 dan 10 °C menentukan kemudahan penyebaran pada produk pada suhu refrigerator. SFC tidak lebih dari 32% pada suhu 10 °C penting untuk spreadibilitas yang bagus pada suhu refrigerator. SFC pada suhu 20 dan 22 °C menentukan stabilitas produk dan tahan terhadap pengeluaran minyak pada suhu kamar. SFC antara 35 dan 37 °C menentukan kekentalan dan sifat pelepasan flavor RFS dalam mulut (Lida dan Ali 1998). SFC dari minyak sawit merupakan konstituen utama dalam margarin, shortening dan spreads, dimana stearin digunakan sebagai hardstock (Berger dan Idris 2005).

Pada industri komersial, parameter solid fat content untuk bahan baku minyak dan produk akhir margarin ditetapkan pada lima tingkat suhu, yaitu 20-40

(28)

°C dengan interval suhu 5°C. Parameter tersebut ditetapkan oleh bagian research and development perusahaan pusat untuk digunakan oleh perusahaan cabang di berbagai negara, sehingga beberapa parameter menjadi kurang siginifikan ditetapkan di Indonesia. Misalnya SFC pada suhu 20 dan 25 °C merupakan parameter yang ditetapkan untuk kestabilan produk selama distribusi di negara subtropis, sehingga nilainya akan menjadi kurang signifikan untuk diterapkan di Indonesia. Nilai SFC pada suhu 30 °C ditujukan untuk kestabilan produk selama transportas/distribusi di negara tropis dan berperan sebagai aplikasi bakery, sedangkan SFC pada suhu 35 °C ditujukan untuk penerimaan konsumen dari segi organoleptik (oral melting) atau palatability (Setiawan 2007).

Konsistensi dan stabilitas emulsi margarin dan table spreads lainnya tergantung pada kristalisasi. Patahan beku dari minyak margarin yang diamati melalui mikroskop elektron memperlihatkan kristalin alami dari droplet air sebagai fase kontinyu dari matriks lemak yang terlihat seperti jaringan struktur yang terkoneksi, terdiri dari kristal tunggal dan seperti lembaran agregat-agregat kristal. Dua faktor yang paling menentukan pengaruh minyak margarin pada sifat tekstur produk akhir adalah jumlah lemak padat dan kondisi dimana margarin diproduksi (Chrysam 1996). Penentuan jumlah padatan lemak merupakan salah satu prosedur analisis yang paling penting dalam industri minyak, lemak dan produk turunannya (Setiawan 2007).

Stabilitas struktur margarin dipengaruhi oleh sifat kisi-kisi kristal dan oleh jumlah lemak padat yang ada. Banyak senyawa organik atau campuran seperti lemak dapat memadat menjadi lebih dari satu pola kristalin (polimorfisme). Bentuk kristal primer dari trigliserida adalah α, β’ dan β, merupakan tiga macam pengaturan potongan dan silangan rantai asam lemak (Chrysam 1996). Bentuk α, β’ dan β merupakan hasil interaksi komponen asam lemak dari campuran trigliserida dan dari kecepatan perubahan fase dari bentuk cair ke padat. Bentuk α adalah yang paling kurang stabil dan titik leleh kristalnya paling rendah, terbentuk jika kondisi pendinginan yang cepat sewaktu proses pembuatan. Struktur β’ relatif lebih stabil, terdiri dari jaringan yang halus, karena karena luas permukaannya yang besar, maka mampu me-imobilisasi sejumlah besar minyak cair dan droplet fase mengandung air. Sedangkan bentuk β merupakan bentuk kristal yang paling

(29)

stabil dan titik leleh kristalnya paling tinggi, biasanya disertai dengan tesktur kasar dan berpasir terdiri dari banyak kristal (Bumbalough 2000).

Bentuk kristal β’ paling dikehendaki dalam pembuatan shortening, margarin maupun produk-produk bakery karena bentuk kristal yang tidak terlalu padat ini dapat membantu pemasukan gelembung-gelembung udara berukuran kecil sehingga menghasilkan produk-produk bersifat lebih plastis dan berkrim (creamy) (Orthoefer 1997). Ukuran kristal lemak biasanya 1-10 μm. Bentuk α merupakan transparan yang mudah pecah sekitar 5 μm. Bentuk β’ berupa jarum tipis kira-kira 1 μm panjangnya. Kristal β lebih besar, berukuran 25-50 μm. Bentuk peralihan dikatakan berukuran 3-5 μm (Lawson 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan bacaan dalam buku teks yang berjudul “English in Focus” untuk siswa kelas tujuh

Jika terjadi peningkatan kandungan air dalam tanah (seperti meresapnya air hujan, air sungai yang meluap, air sawah/kolam yang bocor), akan terjadi akumulasi

KANTOR SAR VII BANDA ACEH. Alamat :

Dapat diinterpretasikan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel tayangan fashion dari internet dengan hasil belajar desain busana karena r hitung

[r]

Untuk kajian QSAR dalam penelitian ini digunakan analisis regresi multilinear dengan data log (1/IC 50 ) sebagai variabel tidak bebas, sedangkan data muatan bersih atom pada

Pembuatan website yang berbasis multimedia ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu : Perancangan, Pembentukan Elemen, Pengujian dan Analisa. Website ini dibangun dengan

Pada penulisan ilmiah ini akan diterapkan sebuah sistem jaringan area lokal yang diatur oleh kebijakan yang dibuat yang disesuaikan dengan keperluan mengkondisikan lingkungan kerja