• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kutipan di atas merupakan adegan yang terjadi di kamar penginapan. Seorang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kutipan di atas merupakan adegan yang terjadi di kamar penginapan. Seorang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“….Sirtu nggregik supaya Ugra mbaleni nutugake tumindake nafsu birai …. Ngurus-ngurus ngono Sirtu uga karo nglendhetake awake marang wong lanang Ugra, nggregik supaya pakartine kuwi bisa mbalekake nafsune Ugra kang kabur bali njilma maneh .” Terjemahan: “Sirtu merajuk agar Ugra kembali melanjutkan nafsu birahi(nya)….sambil terus berusaha demikian, Sirtu juga menempelkan tubuhnya ke Ugra, berharap agar tindakannya bisa mengembalikan nasfu Ugra yang telah hilang”.

(Brata, 2010:112 dalam novel Nona Sekretaris)

Kutipan di atas merupakan adegan yang terjadi di kamar penginapan. Seorang perempuan bernama Sirtu berprofesi sebagai sekretaris di sebuah kantor. Ia adalah perempuan yang pintar, mandiri, dan mumpuni. Akan tetapi, kehebatannya dalam dunia publik berbanding terbalik dengan perilakunya menghadapi lawan jenis. Perempuan tersebut tampak lemah, tak berdaya, bahkan terkesan mengiba kepada laki-laki, yakni Ugra sang wakil direktur, untuk melanjutkan kontak fisik yang sempat terhenti.

Dari kutipan dan sedikit ilustrasi potongan adegan dalam novel berbahasa Jawa Nona Sekretaris karya Suparto Brata tersebut, pembaca dapat melihat bahwa Sirtu adalah perempuan yang sudah berhasil berada di ranah publik, namun justru kembali masuk ke ranah domestik. Ranah domestik bagi seorang perempuan Jawa tidak akan terlepas dari dapur, sumur, dan kasur. Dalam adegan tersebut, diceritakan

(2)

2 bahwa Sirtu dan Ugra bukanlah sepasang suami istri, namun Sirtu melakukan „penyerahan diri‟ secara total dalam aktifitas seksual layaknya pasangan suami istri yang secara tidak langsung membawa posisinya masuk dalam ranah domestik.

Perempuan untuk berada di ranah publik atau domestik merupakan sebuah pilihan. Akan tetapi, pada kenyataannya perempuan yang sudah menjadi subjek dan berada di ranah publik masih saja diperdebatkan. Perdebatan feminisme sesungguhnya telah beranjak ke persoalan ekspresi seksualitas dengan meninggalkan perdebatan publik-domestik, namun perbincangan tentang publik dan domestik tidak pernah usai karena terus menerus direproduksi oleh karya sastra.

Suparto Brata kerap memunculkan tokoh perempuan modern yang memiliki kecerdasan, pendidikan, dan pekerjaan mapan di ranah publik. Sekilas, Suparto Brata merupakan seorang penulis feminis karena karya-karyanya hampir selalu memiliki subjek utama perempuan yang mandiri. Suparto Brata menyatakan bahwa tidak terhitung jumlah peneliti yang berusaha melakukan pendekatan terhadap karya sastranya dengan menggunakan teori feminisme dan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang penulis feminis yang hebat. Akan tetapi, Suparto Brata menolak bila dikategorikan sebagai penulis feminis. Suparto Brata memang membuat sebagian besar tokohnya adalah perempuan yang memiliki ketegasan sifat dalam menghadapi kehidupan yang keras, namun ia hanya terinspirasi oleh kehidupan yang dijalani Ibunya, yakni Raden Ajeng Jembrawati. Hal ini diutarakan oleh Suparto Brata kepada Indra Harsaputra yang kemudian diterbitkan berupa artikel berjudul Suparto: Charting Surabaya History. Artikel tersebut dimuat di koran harian The Jakarta Post pada hari Senin tanggal 14 Februari 2005. Berikut kutipan dari artikel tersebut:

(3)

3 “Many people say I'm a feminist writer, but the fact is that I've mostly written about the firm attitude of women in facing a hard life," such tales were inspired by his mother, Raden Ajeng Jembrawati.

Terjemahan:

“Tak sedikit orang yang berpendapat bahwa saya adalah seorang penulis feminis, akan tetapi kenyataannya bahwa saya menulis tentang sikap tega perempuan saat menghadapi kehidupan yang keras,” kisah demikian terinspirasi oleh ibunya, Raden Ajeng Jembrawati.

Suparto Brata juga mengimbuhkan, dengan penyangkalannya sebagai penulis feminis yang termuat di Jakarta Post justru mengakibatkan semakin banyak jumlah peneliti yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang penulis feminis.

Suparto Brata lahir, tumbuh, dan menetap di pulau Jawa. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki batasan-batasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Perempuan Jawa tradisional diharapkan dapat menjadi pribadi yang patuh pada kekuasaan laki-laki. Kata „wanita‟ dalam bahasa Jawa merupakan akronim dari wani ditata (bersedia untuk ditata), yang secara tidak langsung mencirikan tuntutan pada perempuan Jawa untuk selalu bersikap pasif. Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang lembut, bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Perempuan Jawa juga dianjurkan untuk tidak tampil dan melebihi suami (Handayani, 2004:178-181).

Sastrawan kelahiran tahun 1932 ini menciptakan tokoh perempuan dengan sentuhan kemodernan yang kental. Perempuan pekerja keras di ranah publik menjadi plot utama karya-karyanya. Kisah-kisah perempuan Jawa modern diabadikan dengan apik dalam bentuk karya sastra oleh Suparto Brata. Ia menciptakan tokoh utama perempuan yang mandiri dan tangguh. Akan tetapi, Suparto Brata menyelipkan hal-hal yang membuat perempuan hebat tampak lemah dan tak berdaya. Suparto Brata

(4)

4 akan menghadirkan sosok lelaki dengan kesempurnaan fisik dan kemapanan finansial, sehingga membuat tokoh utama perempuan rela mempertaruhkan kesuksesan yang telah tercapai di ranah publik.

Jika dibaca sekilas, karya-karya Suparto Brata berisi poin-poin yang menunjukkan kekuatan perempuan dalam menjalani hidup, mandiri, dan bisa mencari materi layaknya laki-laki. Akan tetapi, proses jatuh cinta dan ketertarikan perempuan terhadap lawan jenis yang digambarkan Suparto Brata seolah melumpuhkan daya nalar perempuan. Suparto Brata secara tidak langsung ingin meng-iburumahtangga-kan dan mendomestikmeng-iburumahtangga-kan perempuan yang sudah mampu keluar ke ranah publik. Kontradiksi ranah publik dan ranah domestik dalam novel-novel Suparto Brata tarik menarik dan menimbulkan kondisi yang paradoks, karena seolah-olah Suparto Brata ingin membentuk citra perempuan modern yang ideal, namun bentukan budaya patriarki masih kental dalam diri Suparto Brata membuat perempuan modern tersebut kembali dalam citra perempuan konvensional yang harus berada dalam ranah domestik.

Hal ini mungkin saja terjadi karena kehidupan Suparto Brata melewati kehidupan pada 3 zaman yang berbeda, yakni zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, hingga zaman kemerdekaan. Ia juga pernah tinggal di perkampungan hingga wilayah dalam kraton Surakarta, sehingga konsep Suparto Brata tentang perempuan Jawa tidak akan melenceng jauh dari pengamatan di kehidupannya. Imajinasi perempuan sempurna Suparto Brata yang terwujud pada tokoh-tokoh di dalam karya-karya sastranya sedikit mengingatkan pembaca dengan perempuan super power ciptaan rejim Soeharto. Soeharto pada masa itu menggembor-gemborkan bahwa perempuan seharusnya berada di sektor domestik

(5)

5 (rumah tangga) dan di sektor publik (organisasi sosial seperti PKK dan Dharma Wanita, bukan berkarier layaknya laki-laki).

Menurut Sukanti Suryochondro (1995: 64) beberapa pihak melihat Dharma Wanita sebagai gejala kemunduran gerakan perempuan karena berkurangnya kemandirian perempuan dengan mendapat bimbingan dari atasan (yang umumnya pria), sehingga Dharma Wanita dianggap mencerminkan dominasi laki-laki. Kemunduran lain dalam Dharma Wanita yakni anggota pengurus harus sesuai jabatan suami.

Saparinah Sadli dan Soemarti Patmonodewo (1995: 72-73) melihat bahwa dalam lingkungan budaya Indonesia, khususnya bagi perempuan yang terlibat dalam PKK dan Dharma Wanita, diharapkan untuk mengembangkan perilaku yang sesuai dengan isi Panca Dharma Wanita1. Panca Dharma Wanita akan memberi dampak yang cukup jauh pada perkembangan karakteristik dan perilaku perempuan Indonesia dalam mengisi peran sosialnya sebagai istri, pendamping suami, pendidikan anak sektor domestik, ibu, dan ibu rumah tangga. Selain itu, Panca Dharma Wanita juga menggambarkan sosok ideal perempuan Indonesia.

Rejim Soeharto pada waktu itu juga memiliki program yang disebut Revolusi Hijau. Program ini lambat laun secara tidak langsung mematikan peran perempuan di sektor publik. Sebelumnya, perempuan berbagi tugas dengan laki-laki untuk mengolah lahan pertanian hingga proses penjualan hasil pertanian. Akan tetapi, Soeharto menilai bahwa hasil pertanian tidak mencukupi kebutuhan pangan seluruh

1

Pertama, wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua, wanita sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak. Keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Kelima, wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat.

(6)

6 Indonesia, sehingga harus mengimpor beras. Sebagai solusi untuk menghentikan impor beras, Soeharto kemudian membagikan benih-benih super kepada petani dan obat penyubur tanaman, sehingga menghasilkan panen yang melimpah dalam waktu yang cepat. Soeharto juga memberikan peralatan-peralatan modern sehingga tugas perempuan di sektor publik terhenti. Kesibukan di lahan pertanian sudah mampu diselesaikan oleh laki-laki dan mesin-mesin canggih. Yulfita Rahardjo (1995: 6) berpendapat dalam „Perbedaan antar Studi-Wanita dalam Pembangunan dan Studi Wanita‟ bahwa mekanisasi di bidang pertanian telah menghapuskan peran ekonomi perempuan yang secara tradisional menjadi bidangnya.

Ester Boserup (1970: 5) dalam studinya tentang Woman’s Role in Economic Development menyatakan prihatin tentang kemungkinan perempuan kehilangan fungsi-fungsi produksinya dalam proses peralihan yang disebabkan oleh modernisasi pertanian serta migrasi ke kota, dan karenanya seluruh proses pertumbuhan akan mengalami kemunduran. Sita van Bemmelen (1995: 190) berpendapat mengenai bagaimana perempuan kehilangan fungsi produksinya dan mengapa mereka tidak mampu meningkatkan produktivitasnya karena pekerjaan perempuan dalam subsisten dinilai rendah, atau malahan sama sekali diabaikan oleh pemerintah; perempuan secara sistematik tak diikutkan dalam latihan teknologi-teknologi baru; kesempatan kerja bagi perempuan menyempit melalui modernisasi pertanian; dan perempuan didiskriminasikan sebagai pekerja potensial dalam industri modern.

Selain itu, masa pemerintahan Soeharto telah melahirkan berbagai kebijakan dan aturan-aturan tersendiri terhadap perempuan, baik kebijakan tertinggi yang dituangkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) maupun kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam bentuk aturan-aturan tertentu. Kebijakan negara terhadap perempuan yang dituangkan dalam GBHN tersebut mendefinisikan

(7)

7 perempuan ke dalam lima bentuk partisipasi2. Sebagai penjabaran dari GBHN, Departemen Dalam Negeri telah merancang lima tugas utama perempuan3.

Dari kebijakan-kebijakan yang ada, baik yang dituangkan dalam GBHN maupun yang telah dirancang oleh Departemen Dalam Negeri, terlihat bahwa pendefinisian tentang perempuan dan tugas-tugasnya sangat subordinat dan marjinal. Pendefinisian perempuan seperti ini juga telah melahirkan konstruksi gender Orde Baru yang yang bermuara dari pendefinisian yang sempit tentang perempuan (Fatimah, 2007: 99-100).

Konstruksi perempuan secara sosial bersifat politis karena prosesnya melibatkan proses pertarungan pemaknaan dan secara simultan melibatkan proses inklusi dan eksklusi. Perempuan dalam Orde Baru diletakkan dalam posisi „ibu‟ dari sebuah „keluarga pembangunan‟. Konstruksi perempuan yang demikian tak dapat dihindarkan dari eksklusi sejumlah pemaknaan yang memposisikan perempuan dalam kedudukan yang berbeda. Proses melembagakan kontruksi tertentu tentang perempuan menjadi suatu normalitas pun juga terus menerus melibatkan proses inklusi dan eksklusi. Semakin banyak anggota masyarakat yang menjadi agensi dari struktur sosial yang bersangkutan dan menjadikannya norma serta aturan bagian praktek normal keseharian mereka, maka akan semakin sulit bagi yang tereklusi

2

Pertama, perempuan didefinisikan dalam bentuk kodrat yang berbeda dengan laki-laki.

Kedua, perempuan dapat memilih perannya dalam proses pembangunan tanpa harus

meninggalkan posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, perempuan dapat dilihat sebagai memegang peran penting dalam rumah tangga. Keempat, perempuan baik di kota maupun di desa harus terlibat dalam memecahkan masalah nasional. Kelima, kerja perempuan sangat berkaitan erat dengan pembangunan, terutama yang berkaitan dengan jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan keterampilan.

3

Pertama, perempuan didefinisikan sebagai pasangan yang tergantung kepada suami. Kedua, perempuan dilihat sebagai pembentuk bangsa. Ketiga, perempuan dilihat sebagai ibu dan pendidik anak. Keempat, perempuan dipersiapkan sebagai pengurus rumah tangga dan bekerja hanya untuk memperoleh nafkah tambahan. Kelima, perempuan dilihat sebagai bagian dari masyarakat.

(8)

8 menjadi bagian dari salah satu elemen, apalagi mengubah konstruksi sosial yang ada (Djoharwinarlien, 2012:6-7).

Dinamika dan keragaman ide tentang persamaan gender bagi perempuan selalu mewarnai sejarah bangsa. Diawali dengan kesadaran untuk membuka cakrawala perempuan melalui pendidikan, ide-ide emansipasi perempuan di Indonesia menjadi sebuah gerakan politik yang berkontribusi besar bagi perkembangan nasionalisme di Indonesia. Dalam periode berikutnya, marjinalisasi dan upaya membalik proses tersebut diartikulasikan secara berbeda, mulai dari emansipasi perempuan dalam konsepsi keluarga revolusioner jaman Demokrasi terpimpin sampai keluarga pembangunan jaman Orde Baru (Wieringa, 1999). Dalam periode reformasi yang masih berjalan hingga saat ini, perempuan mulai mendapatkan pengakuan akan kekhasannya sebagai sebuah entitas, terutama secara legal formal dengan dikeluarkannya aturan 30% kuota politisi perempuan, UU KDRT, dan pendirian Komisi Nasional Perempuan. Akan tetapi, di waktu yang bersamaan muncul gerakan yang melihat perempuan dengan posisi dan peran yang berbeda. Ditandai dengan lahirnya UU pornografi, perempuan dianggap dalam posisi subordinat atau sebagai objek. Dengan demikian, di satu sisi emansipasi dan peran perempuan di ranah publik diakui, namun secara bersamaan perempuan juga ditempatkan di posisi subordinat.

Krtisti Poerwandari dalam „Aspirasi Perempuan Bekerja dan Aktualisasinya‟ mengemukakan bahwa pengembangan diri yang optimal dari perempuan yang berjumlah lebih dari 50% penduduk kita akan membawa dampak positif bagi pengembangan umat manusia secara umum. Namun pada kenyataan, meskipun iklim yang berkembang telah mulai memberi peluang, banyak aspek yang berkaitan dengan faktor-faktor kultural dan sosial masih menghambat pengembangan mereka (Ihromi, 1995: xi-xii).

(9)

9 Mary Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Women (1792), John Stuart Mill dalam The Subjection of Women (1869) dan Betty Friedan dalam The Feminine Mistyque (1963) menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan karena kondisi alamiah yang dimilikinya kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan pria. Oleh karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Menurut Friedan, perempuan melalui usahanya yang keras akan mampu menyamai pria. Namun, perempuan tak perlu mengorbankan perkawinan dan peran mereka sebagai ibu hanya untuk karier. Betapapun tinggi karier yang dicapai oleh seorang perempuan, tidak berarti dia harus menolak mencintai dan dicintai oleh pria atau menolak mengasuh anaknya. Wanita yang normal, adalah perempuan yang bermoral, yang bisa mendahulukan perkawinannya dan perannya sebagai ibu diatas karier. Selain itu, Friedan juga mengajak perempuan (seperti halnya yang dilakukan Wollstonecraft dan Mill), untuk berperan dalam dunia publik tanpa mengajak pria ikut berperan dalam ranah domestik (Amal, 1995a: 86-88 dan Tong, 2010: 38-48).

Sejarah panjang perempuan Indonesia yang menjadi perdebatan menarik minat Suparto Brata untuk melakukan tarik-ulur antara ranah publik-domestik pada tokoh perempuan di karya sastranya. Hal ini memiliki kemiripan dengan kejadian di Amerika pada masa Perang Dunia II. Betty Friedan dalam The Feminine Mystique (1963) menceritakan bahwa majalah Amerika tahun 1930-an berisi tentang keyakinan diri dan kepahlawanan perempuan karir yang mandiri, akan tetapi pada akhir tahun 1940-an sampai awal tahun 1960-an perempuan digambarkan sebagai sosok yang berambisi pada perkawinan dan menjadi ibu rumah tangga. Friedan juga menceritakan

(10)

10 tentang krisis identitas yang dialami oleh perempuan Amerika pada saat itu. Perempuan Amerika tidak tahu peran apa yang harus mereka mainkan untuk menyesuaikan dengan harapan-harapan masyarakat, apakah harus berkarir membantu suami membayar sejumlah tagihan, atau secara total menjadi ibu rumah tangga. Perempuan Amerika pergi menuntut ilmu dengan tujuan mencari calon suami. Mereka akan berhenti sekolah setelah menikah. Perempuan Amerika pada saat itu takut membuat calon suaminya lama menunggu menyelesaikan pendidikannya.

Perempuan Amerika seolah menjadi objek atas kemauan diri sendiri, padahal Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949), yang juga sependapat pada Sartre, menyatakan bahwa dalam relasi manusia selalu terjadi konflik intersubjektifitas, dimana masing-masing selalu berusaha menjadikan manusia yang lain sebagai objek dan tidak ingin dirinya yang menjadi objek. Bagi Simone de Beauvoir penyebab mengapa kaum perempuan tertindas adalah dimana keberadaan kaum perempuan yang keadaannya kurang dihiraukan dan bukan subjek absolut seperti kaum pria. Sehingga memunculkan pandangan bahwa subjek absoulut adalah kaum pria, sedangkan kaum perempuan hanyalah objek lain (the other). Menurut Simone de Beauvoir proses tersebut berawal dari fakta biologis seperti peran reproduktif, ketidakseimbangan hormon, kelemahan organ tubuh perempuan, dan sebagainya yang digabungkan dengan sejarah patriarkat hingga akhirnya kaum perempuan disudutkan kepada peran reproduksi dan domestik dan tanpa disadari sebenarnya perempuan telah digiring kepada definisi makhluk yang tidak berkesadaran (être en soi). Hal inilah yang menjadikan dominasi terhadap kaum perempuan sepanjang sejarah.

Shulamith Firestone dalam The Dialectic of Sex (1970), mengatakan bahwa patriarki berakar pada perbedaan biologi laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelas sosial yang sesungguhnya adalah perbedaan fungsi biologis antara perempuan dan

(11)

11 laki-laki. Dalam masyarakat yang kapitalistik, jika perempuan lebih besar peranannya dalam proses reproduksi, maka akan lebih mudah bagi sistem ekonomi yang kapitalistik untuk mengurung perempuan dalam ranah domestik dan hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga saja. Sebaliknya, lebih mudah untuk menarik laki-laki terjun ke pasaran kerja sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga. Perbedaan atas peran reproduktif dan peran ekonomi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga biologis inilah yang menyebabkan perempuan berada pada posisi subordinat, karena perempuan tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat dalam kehidupan rumah tangga (Amal, 1995: 94-95).

Sependapat dengan Firestone, Amin Yitno dalam Gejala Matrifokalitas di Masyarakat Jawa mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dibedakan karena diantara keduanya telah dibedakan secara alamiah atau kodrat. Secara fisik jelas nampak bahwa wanita mempunyai penampilan bentuk, kwalitas, dan kemampuan yang berbeda dengan fisik laki-laki. Ki Hadjar Dewantara pun pernah berpendapat bahwa inilah keadaan yang nyata, yang khas dan … bahwa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan orang laki-laki, karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya akan menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak, dan lain-lain (Soedarsono, dkk., 1985: 3).

Sehubungan dengan kondisi badan perempuan, Engels (1880) memaparkan asal usul domestifikasi perempuan oleh laki-laki. Engels juga menganggap bahwa mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak merupakan hambatan perempuan untuk bergerak bebas. Kondisi inilah yang membuat para perempuan terpaksa harus memperhatikan sumber-sumber ekonomi produksi yang ada di sekitar mereka, yakni tanaman dan binatang ternak. Berawal dari titik inilah perempuan secara tidak sengaja menemukan tehnik bercocok tanam dan beternak, sehingga

(12)

12 memunculkan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk mengumpulkan dan memiliki harta kekayaan pribadi. Keadaan ini membuat kaum perempuan mempunyai hak untuk mengatur perkawinan yang harus dipatuhi oleh kaum laki-laki. Perempuan berhak menilai apakah harta calon besan cukup untuk menaikkan posisinya di dalam masyarakat agar lebih kuat.

Dikarenakan adanya perkawinan, maka kaum laki-laki mulai masuk di kehidupan perempuan. Laki-laki berkewajiban untuk bekerja untuk pihak perempuan. Pada saat-saat inilah muncul pembagian kerja berdasar jenis kelamin. Perempuan mengurus administrasi kekayaan dan keluarga di rumah, sementara laki-laki bertugas mengerjakan pekerjaan produksi di luar rumah.

Lambat laun, karena posisi laki-laki yang yang harus bekerja, maka laki-laki memiliki hak kepemilikan alat-alat produksi. Laki-laki dengan keuletannya dapat menyisihkan sebagian hasil produksinya untuk disimpan untuk menjadi harta milik pribadi. Secara perlahan harta pribadi laki-laki semakin besar, sehingga membuat posisi laki-laki secara ekonomi tidak lagi harus tunduk pada perempuan. Di dalam keluarga, peran laki-laki menjadi lebih penting dari pada perempuan. Keadaan ini mendorong kaum laki-laki untuk mempergunakan kekuasaannya yang semakin besar tersebut untuk mengambil alih, tidak hanya dalam hal produktivitas, namun juga hal penguasaan harta kekayaan, dan hak atas anak-anak mereka dari kekuasaan kaum perempuan. Muncullah kemudian di dalam masyarakat sistem hukum baru, yakni segala sesuatu diatur oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Kedudukan perempuan berubah dari bebas menjadi pengabdi kaum laki-laki. Inilah kekalahan terbesar perempuan dalam sejarah umat manusia (Budiman, 1982: 19-21).

(13)

13 Sejak saat itulah pandangan-pandangan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan menjadi semakin kuat, tajam, dan seolah-olah melembaga: laki-laki di ladang, perempuan di dapur; laki-laki memegang pedang, perempuan memegang jarum; laki-laki untuk berkuasa, perempuan untuk menurut. Segala yang menyimpang dari itu berarti kekacauan (Suryakusuma, 1981: 11). Pandangan dan anggapan demikian sangat merugikan dan menghambat gerak perempuan. Tekanan dan perampasan haknya oleh kaum laki-laki tidak menghentikan perempuan untuk berusaha merebut kembali, namun laki-laki bergerak lebih cepat, mendominasi, dan mengembalikan posisi perempuan di ranah domestik.

Akan tetapi, Nathalie Zemon Davis (1990) berpendapat bahwa tubuh manusia dilengkapi dengan suatu persediaan hormon serta program-programnya, garis lekuk dagingnya serta ukuran tulang yang berbeda, namun kebudayaanlah yang mengadakan penafsiran dan menetapkan peraturan. Temuan ilmu antropologi terbaru mengukuhkan pendapat Nathalie Zemon Davis. Temuan ini memberikan sumbangan besar bagi dunia gender karena dapat menarik kesimpulan bahwa bagian terbesar dari yang dianggap sebagai peran „alamiah‟ laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat, sama sekali tidak ditetapkan secara biologis. Kegiatan kaum laki-laki dan perempuan ataupun pembagian kerja antara mereka aneka ragamnya, terkecuali fungsi mereka yang berbeda dalam hal menjadi orang tua. Arti penting dari segala ini adalah bahwa misalnya pembenaran bagi pembagian kerja dewasa ini sebagai orde alamiah dapat dibantah dengan menyatakan bahwa ia merupakan kontruksi sosial atau buatan manusia, dan oleh karena buatan manusia, maka dapat diubah (van Bemmelen, 1995: 179-181).

Perbicangan peran gender dalam masyarakat apakah hal tersebut terjadi secara alamiah atau bentukan konstruksi sosial membuat Saparinah Sadli dan Soemantri

(14)

14 Patmonodewo (1995: 81-82) melakukan penelitian bahwa dalam setiap lingkungan budaya ada pembagian peran gender (gender specific roles) yang dapat diamati, ditiru, dan diperkenalkan secara khusus pada anak laki-laki dan perempuan. Sehingga dalam setiap budaya juga ada stereotipe tertentu tentang apa yang „pantas‟ bagi perempuan dan laki-laki. Isi stereotipe bisa berbeda antar budaya, antar kelas sosial ekonomi, dan antar usia. Isi stereotipe juga bisa bisa berubah dalam kurun waktu tertentu. Namun, dari segala perbedaan dan perubahan pasti akan ada stereotipe yang nyata dan selalu ada. Misalkan saja, di lingkungan budaya Indonesia masih ada kecenderungan kuat untuk menempatkan perempuan di sektor domestik dengan alternatif pilihan peran yang relatif terbatas. Seorang ibu ditampilkan sebagai orang yang „tidak bekerja‟ tetapi mengasuh dan melayani seluruh kebutuhan anggota keluarganya. Kalaupun ia aktif, ia aktif di PKK untuk belajar tentang bagaimana meningkatkan tugasnya dalam membina keluarga sejahtera. Sementara stereotip laki-laki adalah bekerja, berprestasi di luar rumah, memperkuat batasan tentang apa yang pantas, perlu atau tidak perlu dilakukan perempuan atau laki-laki.

Tidak terlepas dari perbicangan hangat mengenai posisi peran perempuan dalam masyarakat Indonesia, Suparto Brata menciptakan perempuan sesuai dengan keinginannya sehingga menghasilkan perpaduan yang unik. Perempuan yang telah berhasil di sektor publik justru ingin mendomestikkan dirinya sendiri ke dalam ranah domestik.

Melihat keunikan tokoh perempuan yang ada di dalam karya-karya sastra Suparto Brata, latar belakang kehidupan Suparto Brata, dan latar belakang sejarah perempuan Indonesia, peneliti ingin menggunakan karya-karya Suparto Brata yang diterbitkan (atau diterbitkan ulang) di atas tahun 2000 dan memiliki satu tema besar yang sama, yakni „perempuan modern berusaha mendomestikkan dirinya sendiri‟.

(15)

15 Peneliti tertarik dengan tema tersebut karena penggambaran sekuat dan semandiri apapun tokoh wanita tetap akan bertekuk lutut dengan tokoh pria sehingga posisi perempuan menjadi paradoks. Perempuan digambarkan tampak gusar jika tidak bisa menemukan pria yang akan menjadi pendampingnya. Hal ini menegaskan imajinasi Suparto Brata akan konsep perempuan sempurna, bahwa sesempurna apapun seorang perempuan pasti akan bertekuk lutut pada pria. Novel-novel tersebut yaitu Ser! Randha Cocak (2009) dan Nona Sekretaris (2010, namun ditulis pada tahun 1984).

Novel Ser! Randha Cocak berisi 3 cerita yakni Ser! Ser! Plong, Mbok Randha Saka Jogja, dan Cocak Nguntal Elo. Dalam Ser! Ser! Plong tokoh perempuan bernama Amrik memiliki aset berupa studio tari dan bakat berdansa yang tidak dapat melupakan kisah masa lalunya bersama teman kecil laki-laki. Amrik sejak awal jatuh hati dengan pria yang ia temui di pesawat. Ia tidak tahu bahwa laki-laki itulah teman masa kecilnya yang tidak pernah bisa ia lupakan

Mbok Randha Saka Jogja menceritakan tentang perempuan yang bekerja di sebuah kantor bernama Citraresmi. Statusnya dalam CV adalah lajang namun memiliki seorang anak yang menjadi tanggungannya. Kejujuran ini sangat dihargai oleh perusahaan. Perusahaan memberikan penghargaan kepada Citraresmi atas kemampuan dan kecerdasannya. Tamu-tamu dari berbagai negara bisa dihandel olehnya. Akan tetapi, sebagian besar rekan kerja mencibir status Citraresmi karena memiliki anak tanpa adanya suami sehingga membuat Citraresmi tidak nyaman dan seolah terburu-buru menanggapi perhatian dari lawan jenis.

Cerita terakhir dari novel Ser! Randha Cocak adalah Cocak Nguntal Elo yakni tentang perempuan bernama Wening yang memiliki siasat hebat dalam meringkus orang yang akan menghancurkan kantor yang telah ia pegang. Wening

(16)

16 selain memiliki kekuasaaan dan kecerdasan, ia juga memiliki kepribadian yang menarik dan fisik yang sempurna. Akan tetapi, di usianya yang tak lagi muda dan berstatus janda, hingga akhirnya ia jatuh hati pada rekan kerjanya.

Novel Nona Sekretaris menceritakan perempuan desa bernama Sirtu yang mengadu nasib di Jakarta dengan berbekal ijazah dan berbagai macam keterampilan. Berbekal kecantikan yang ia miliki, sempat terbuka peluang untuk menjadi artis, namun ia menolaknya. Singkat cerita, Sirtu menduduki posisi sebagai sekretaris yang mumpuni dalam segala bidang termasuk penguasaan bahasa asing dan kemampuan melobi. Kecantikan dan kepandaian Sirtu menarik perhatian laki-laki. Sirtu jatuh hati pada wakil direktur yang memiliki kesempurnaan fisik sehingga Sirtu merelakan diri untuk dapat memiliki sang wakil direktur.

Berdasar dari persamaan tema dan garis besar dari kedua novel yang berisi 4 cerita tersebut peneliti ingin mengidentifikasi domestifikasi perempuan yang terjadi di dalam novel-novel karya Suparto Brata, penyebab terjadinya domestifikasi perempuan, dan mengetahui jenis ruang domestik yang diinginkan oleh Suparto Brata untuk perempuan-perempuan modern.

1.2 Rumusan Masalah

Suparto Brata yang lahir pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia telah melihat bahwa posisi perempuan pada masa itu sungguh tidak menguntungkan. Perempuan Jawa tradisional pada masa itu harus bergantung pada laki-laki. Suparto Brata sebagai seorang laki-laki sudah semestinya memiliki imajinasi tentang perempuan yang sempurna di ranah publik namun tidak bisa lepas dari ranah domestik. Untuk itu ia menciptakan sosok perempuan dengan kecantikan dan karier yang sempurna di ranah publik, namun rela menukar posisinya untuk masuk ke ranah

(17)

17 domestik demi laki-laki yang tampan dan mapan. Berdasar novel-novel Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris, peneliti ingin mengetahui:

1.2.1 Mengapa perempuan yang sudah mampu mengokupasi ruang publik dikembalikan ke dalam ruang domestik oleh pengarang?

1.2.2 Ruang domestik seperti apa yang ingin dikemukakan oleh Suparto Brata? 1.2.3 Bagaimana bentuk-bentuk paradoksalitas pemosisian ruang publik dan ruang

domestik dalam novel-novel Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris karya Suparto Brata?

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan diketahui sebab-sebab pendomestikkan perempuan oleh pengarang, jenis ruang domestik yang diinginkan pengarang, dan paradoksalitas posisi publik-domestik diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang gambaran perempuan Jawa di mata laki-laki Jawa, keinginan laki-laki Jawa terhadap peran perempuan Jawa, dan cara menempatan perempuan Jawa dalam posisi yang stabil.

1.4 Landasan Teori

Pada tahun 1963 terbit The Feminine Mystique karya Betty Friedan. Konsep umum yang dipaparkan dalam buku ini merajut hal-hal yang berkenaan dengan kata hati (inner voice), kekosongan jiwa dan tujuan-tujuan hidup yang bermakna lebih luas. Buku ini merupakan gambaran ideal mengenai apa yang disebut feminin, yakni tentang harapan wanita pada saat itu untuk mengurus rumah tangga dan tidak ada hal lain lagi yang mampu menghambat peran feminin yang ideal. Hambatan peran feminin ideal yakni pendidikan dan karir profesional. Kedua hal tersebut dinilai tidak feminin. Selain itu, perempuan dianggap tidak memiliki potensi atau kompetensi

(18)

18 untuk mengerjakan pekerjaan di arena kemasyarakatan, agama, politik, ekonomi, seni dan bahkan struktur keilmuan yang selama ini selalu dipegang oleh laki-laki. Akan tetapi, apabila ada wanita yang mengejar kapabilitas seperti laki-laki maka akan dikatakan bahwa perempuan tersebut telah keluar dari feminine path, yang secara langsung merujuk bahwa perempuan tersebut tidak lagi feminin. Dampak buruk dari ketidakfeminin-an perempuan akan membuat perempuan dikucilkan dalam masyarakat dan bahkan dinyatakan gila.

The Feminine Mystique menandai dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua di Amerika dan tentu saja memiliki efek di seluruh dunia. The Feminine Mystique disambut luas dan mampu menyadarkan masyarakat Amerika akan adanya ketimpangan seksual. The Feminine Mystique ditulis pada sebuah era di mana wanita diharuskan untuk kembali ke kodrat mereka sebagai ibu rumah tangga tradisional setelah trauma Perang Dunia II dan selama suatu waktu di saat orang-orang harus hidup di bawah rasa takut akan bahaya bom atom dan Perang Dingin. Penulis merasa The Feminine Mystique merupakan pisau yang tepat untuk membedah masalah domestifikasi perempuan dalam novel-novel Suparto Brata. Berikut ini merupakan teori-teori yang muncul dalam The Feminine Mystique karya Betty Friedan:

1.4.1 Krisis Identitas pada Perempuan (The Crisis in Woman’s Identity)

Dalam bab ini Friedan menggambarkan adanya krisis identitas yang dialami oleh perempuan. Friedan dan perempuan muda seusianya berkeputusan untuk menyesuaikan dengan harapan-harapan masyarakat, yakni menghentikan karirnya yang menjanjian dengan kompensasi dapat mengasuh anak dengan lebih baik. Perempuan-perempuan muda memutuskan berhenti menuntut ilmu untuk menikah. Mereka cemas dan takut jika laki-laki dibiarkan terlalu lama untuk menunggu

(19)

19 perempuan menjadi pintar dan terdidik mereka akan gagal menjadi perempuan seutuhnya, yakni perempuan yang feminin. Kecemasan ini melekat di diri para perempuan jika membuat laki-laki tidak lagi terkesan kepadanya. Akan tetapi, ketika mereka telah mendapatkan suami dan menjadi ibu rumah tangga, perempuan merasakan kekosongan karena segala aktifitas yang mereka lakukan untuk kebahagiaan anak dan suaminya, sementara kebahagiaan dirinya bergantung pada kebahagiaan anak dan suaminya.

Teori-teori yang ada mencoba memecahkan masalah krisis identitas pada perempuan tetapi tidak menemukan hasil karena citra lama perempuan (New Woman) dan citra baru perempuan (ibu rumah tangga yang bahagia) tidak menghendaki titik temu. Sudah ditetapkan bahwa anatomi adalah takdir perempuan dan dan identitas perempuan merupakan gambaran dari bentuk biologis mereka.

But why have theorists not recognized this same identity crisis in women? In terms of the old conventions and the new feminine mystique women are not expected to grow up to find out who they are, to choose their human identity. Anatomy is woman's destiny, say the theorists of femininity; the identity of women is determined by her biology (Friedan, 1963:72).

Terjemahan:

Mengapa teori tersebut tidak bisa mengenali krisis identitas yang terjadi pada perempuan? Hal itu dikarenakan bahwa citra lama dan citra baru perempuan tidak menghendaki titik temu. Anatomi adalah takdir perempuan, dan identitas perempuan merupakan gambaran dari bentuk biologis mereka (Friedan, 1963:72).

Friedan berpendapat bahwa posisi peran perempuan yang terjadi di masa itu dikarenakan bahwa budaya tidak mengizinkan perempuan untuk menerima dan memuaskan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan memenuhi potensi mereka sebagai manusia, yakni kebutuhan yang tidak semata-mata ditentukan oleh peran seksual mereka. Oleh karena itu, perempuan sangat menginginkan citra baru yang dapat membantu mereka untuk menemukan identitasnya yang berbeda dengan citra ibu

(20)

20 mereka. Perempuan muda takut tumbuh seperti ibu mereka dan mengakibatkan mereka takut tumbuh menjadi dewasa. Rasa takut untuk tumbuh yang mendera perempuan adalah bentukan dari mistik feminin. Mistik feminin membentuk perempuan agar pertumbuhannya berhenti pada saat ia melahirkan bayi. Dua metode yang digunakan mistik feminin untuk menghambat pertumbuhan perempuan adalah menjalani hidup dengan melepaskan segala komitmen dan hidup yang diwakilkan melalui suami dan anak-anaknya yang dikatakan sebagai solusi percobaan untuk mengatasi konflik antara dorongan untuk tumbuh dan ketakutan menghadapi situasi baru.

"Noncommitment" and "vicarious living," can be understood as attempted solutions of the conflict between the impulse to grow and the fear of facing new situations __ but, though they may temporarily lessen he pressure, they do not actually resolve the problem; "their result, even if not their intent, is always an evasion of personal growth". Noncommitment and vicarious living are, however, at the very heart of our conventional definition of femininity. This is the way the feminine mystique teaches girls to seek "fulfillment as women"; this is the way most American women live today (Friedan, 1963:280). Terjemahan:

Hidup tanpa komitmen dan hidup melalui identitas orang lain, dapat dipahami sebagai solusi untuk konflik yang terjadi antara dorongan untuk tumbuh dan ketakutan dalam menghadapi situasi baru_tetapi, walaupun hal itu mengurangi tekanan tetap tidak menyelesaikan masalah. Hasil yang muncul adalah perempuan justru menghindari berusaha pertumbuhan mereka. Hidup tanpa komitmen dan hidup melalui identitas orang lain adalah cara mistik feminin untuk membuat seorang anak perempuan mencari pemenuhannya sebagai perempuan; inilah cara hidup perempuan Amerika saat ini (Friedan, 1963:280).

Mistik feminin mulai masuk ke Amerika setelah PD II. Pada saat itu perempuan bangga dengan perannya sebagai ibu rumah tangga. Setelah tahun 1949, definisi perempuan Amerika adalah sebagai ibu rumah tangga dan ibu. Perempuan pada masa itu tidak memiliki masa depan kecuali bayi karena mistik feminin mengatakan bahwa tidak ada cara lain bagi perempuan untuk menjadi seseorang layaknya pahlawan yang bahagia. Penyebaran mistik feminin inilah yang menyangkal

(21)

21 karir perempuan dan komitmen apapun di luar rumah serta membuat perempuan takut untuk tumbuh. Mistik feminin mendorong perempuan untuk memiliki pandangan bahwa lebih mudah membangun kebutuhan cinta dan seks untuk menjadi akhir tujuan hidup dengan menghindari komitmen pribadi dalam komitmen mengenai rumah dan keluarga.

Then, it was easier to build the need for love and sex into the end-all purpose of life, avoiding personal commitment to truth in a catch-all commitment to "home" and "family" (Friedan, 1963:179).

Terjemahan:

Lebih mudah untuk membangun kebutuhan akan cinta dan seks menjadi semua tujuan hidup dengan menghindari komitmen pribadi dan mengambil semua komitmen yang berkaitan dengan „rumah‟ dan „keluarga‟ (Friedan, 1963:179).

Pola kehidupan perempuan untuk hidup tanpa komitmen pada waktu itu terbawa hingga ke urusan politik. Perempuan dilarang untuk memiliki komitmen pada pemerintah dalam bentuk apapun, termasuk dalam proses pemilihan. Perempuan tidak memiliki suara untuk memilih karena mistik feminin membuat banyak orang beranggapan bahwa tanggung jawab perempuan adalah memegang keutuhan sebuah keluarga. Jika perempuan ditambah tanggung jawabnya untuk memikirkan masalah politik dan pemerintahan, hal itu dinilai memberatkan perempuan karena memang sudah kodratnya perempuan memiliki fisik yang lemah dan membutuhkan banyak perlindungan dan kenyamanan dari laki-laki.

Pada waktu itu, perempuan yang memiliki keinginan untuk memiliki sebuah profesi di luar profesinya sebagai seorang ibu rumah tangga dianggap anomali oleh masyarakat, karena perempuan tersebut dipandang tidak bisa menerima kodratnya dan mengalami kegilaan karena ingin menyamakan posisinya dengan laki-laki. Mistik

(22)

22 feminin yang terjadi di Amerika membuat perempuan tidak dapat melihat masa depannya sebagai perempuan.

Mistik feminin juga mendorong perempuan untuk mengabaikan pertanyaan tentang identitas mereka, karena mereka biasanya akan menjawabnya dengan „istri dari….‟ atau „ibu dari…‟. Perempuan pada masa itu hidup melalui suami dan anaknya. Pada fase ini, status identitas istri bergantung dengan pekerjaan suami. Tinggi rendahnya status seorang perempuan pada masa mistik feminin merebak berbanding lurus dengan tinggi rendahnya status pekerjaan suaminya.

The feminine mystique permits, even encourages, women to ignore the question of their identity. The mystique says they can answer the question "Who am I?" by saying "Tom's wife ... Mary's mother" (Friedan, 1963:64). Terjemahan:

Mistik feminin mengijinkan, bahkan mendorong perempuan, agar perempuan mengabaikan pertanyaan tentang identitas mereka. Mistik feminin mengatakan, bahwa mereka dapat menjawab pertanyaan „Siapa aku?‟ dengan jawaban “Aku adalah istri dari Tom…Ibunya Mary” (Friedan, 1963:64).

Perempuan USA pada saat itu lebih memilih cinta daripada karir untuk tujuan hidupnya karena lebih mudah bagi perempuan untuk mencintai dan dicintai sehingga tidak memiliki alasan untuk bersaing dengan laki-laki. Perempuan pada dasarnya hidup untuk anak-anaknya dan suaminya serta tidak memiliki ketertarikan dengan dunia luar. Kenyataan ini sangat pas dengan bentukan mistik feminin. Selain itu, perempuan tidak pernah menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh karena emosi perempuan pada dasarnya hanya bersumber pada cara perempuan melayani suami dan anak-anaknya. Perempuan disalahkan jika mereka kehilangan sifat feminin mereka. Oleh karena itu, mereka diperintahkan untuk kembali ke rumah dan menjaga kefemininan mereka.

(23)

23 Setelah mistik feminin membuat perempuan untuk hidup tanpa memiliki komitmen apapun selain rumah tangga, perempuan pada waktu itu hanya bisa menjalani pernikahan tanpa memikirkan karir sambari berharap ia beruntung dalam pernikahannya. Perempuan sudah tidak mau lagi memikirkan dan membayangkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi, salah satunya adalah karir. Mereka sadar bahwa mereka yang memiliki pendidikan tinggi tidak akan pernah menggunakan ijazah mereka, karena mereka akan menjadi seorang istri dan ibu. Posisi menjadi ibu rumah tangga tidak akan dapat berjalan dengan baik jika seorang perempuan masih berambisi untuk berkarir. Mistik feminin membuat kata „perempuan karir‟ menjadi kata yang haram diucapkan karena dapat menciptakan ketidakfemininan seorang perempuan. Rasa ketidakfemininan yang ada pada perempuan dinilai dapat menghancurkan rumah tangga dan kebahagiaan keluarga.

1.4.2 Konstruksi Citra Perempuan Ideal

Pada tahun 1950-an perempuan Amerika bergerak mundur ke rumah dan lebih menginginkan bayi dari pada karir. Semua buku dan artikel yang ditulis oleh para ahli tentang perempuan menekankan bahwa peran perempuan adalah mencari pemenuhannya sebagai istri dan ibu. Perempuan diajari untuk mengkasihani perempuan lain yang tidak feminin dan perempuan yang tidak bahagia karena memiliki ambisi untuk menjadi seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan pendapat pada masa itu bahwa perempuan yang benar-benar feminin adalah perempuan yang tidak membicarakan karir, pendidikan, dan hak politik. Menurut banyak media, yang harus dilakukan perempuan dalam kehidupan adalah mempersembahkan hidup mereka untuk menemukan suami dan melahirkan anak. Para penulis artikel untuk majalah dan koran menyebut citra perempuan yang seperti itulah sebagai citra perempuan ideal.

(24)

24 Sebelum citra perempuan ideal merebak, citra perempuan digambarkan dengan semangat New Woman yakni perempuan yang hidup dengan ambisi untuk berkarir. Di tahun 1939, tokoh-tokoh cerita yang terdapat di media massa digambarkan dengan dengan sosok perempuan karir yang gembira, bangga dengan kehidupannya, senang bertualang, menarik, dan memiliki kehidupan percintaan dengan laki-laki.

Citra New Woman dibentuk dan ditulis oleh penulis perempuan dan ditujukan untuk perempuan yang menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga pada masa itu sangat memimpikan kehidupan perempuan karir yang hidup mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi bahwa lebih dari 21 juta perempuan Amerika yang masih lajang atau janda tidak akan berhenti mencari laki-laki. Seorang perempuan yang berkarir akan terus berpindah tempat bekerja dengan tujuan mencari suami dan perempuan-perempuan karir yang lain mengambil kursus malam, mengikuti klub olahraga, atau pergi ke bar dengan tujuan yang sama, yakni mencari suami.

Setelah mendapatkan suami, perempuan berpendidikan tinggi dan memiliki karir yang cemerlang mengubah haluan hidup mereka untuk menjadi ibu rumah tangga karena itu adalah posisi yang paling menguntungkan dan memuaskan. Seolah menyetujui pergerakan perempuan yang kembali ke ranah domestik, media mengatakan bahwa banyak perempuan berbakat yang ingin memperlihatkan kehebatannya di depan masyarakat, namun dari banyaknya perempuan berbakat hanya sedikit yang sukses.

Citra atau gambaran perempuan ideal sama halnya dengan citra New Woman yang juga diciptakan oleh media cetak dan media massa. Akan tetapi, bila citra New

(25)

25 Woman ditulis oleh penulis perempuan, maka citra perempuan ideal ditulis oleh laki-laki. Penulis laki-laki tersebut merasa bahwa citra perempuan masa kini adalah cerminan dari impian perempuan yang sesungguhnya. Kehidupan perempuan karir yang didambakan oleh ibu rumah tangga tidak seindah dalam cerita yang termuat di media. Perempuan karir tetap berusaha mencari laki-laki yang ideal untuk dijadikan suami. Untuk itu, citra New Woman digantikan oleh citra perempuan ideal karena merupakan mimpi perempuan karir untuk menjadi ibu rumah tangga bahagia dan agar ibu rumah tangga berbangga hati dengan status dan posisinya.

Media terus-menerus menyoroti masalah citra perempuan dan hampir semua media menggambarkan citra perempuan ideal sebagai ibu rumah tangga yang bahagia untuk menggantikan citra perempuan New Woman, yakni perempuan yang tidak pernah menjadi ibu rumah tangga.

This is the real mystery: why did so many American women, with the ability and education to discover and create, go back home again, to look for "something more" in housework and rearing children? For, paradoxically, in the same fifteen years in which the spirited New Woman was replaced by the Happy Housewife, the boundaries of the human world have widened, the pace of world change has quickened, and the very nature of human reality has become increasingly free from biological and material necessity (Friedan, 1963:60).

Terjemahan:

Ini adalah misteri yang sesungguhnya, mengapa begitu banyak perempuan Amerika yang memiliki pendidikan dan kemampuan berkarir kembali ke ranah domestik untuk mencari „sesuatu yang lebih‟ dalam hal mengurus rumah tangga membesarkan anak? Sebab secara paradoks, dalam 15 tahun yang sama, semangat citra New Woman digantikan oleh citra ibu rumah tangga yang bahagia, batas-batas dunia melebar, dunia berubah dengan cepat, dan manusia semakin terbebas dari kebutuhan biologis serta materi (Friedan, 1963:60).

Beberapa media cetak bahkan dengan terang-terangan memberi peringatan bahwa karir dan pendidikan akan mengarahkan perempuan ke maskulinisasi dengan konsekuensi yang berbahaya bagi rumah tangga mereka. Media juga menerbitkan

(26)

26 artikel untuk perempuan karir dan menyebut mereka sebagai penderita syaraf. Sejak itu, definisi perempuan Amerika adalah ibu rumah tangga dan ibu yang tidak memiliki masa depan kecuali menantikan kehadiran bayi. Citra perempuan seperti ini adalah bentukan dari mistik feminin yang berkembang di Amerika sehingga menyeret kembali perempuan karir untuk menjadi ibu rumah tangga penuh karena secara paradoks semangat New Woman digantikan oleh citra ibu rumah tangga yang bahagia karena mistik feminin mengatakan bahwa nilai tertinggi dan satu-satunya komitmen perempuan adalah dengan melakukan pemenuhan feminitas mereka sendiri.

Media membentuk citra perempuan ideal sebagai perempuan yang tidak melakukan pekerjaan kecuali pekerjaan rumah tangga dan bekerja untuk menjaga tubuh mereka yang indah dengan tujuan mendapatkan dan mempertahankan laki-laki. Media juga mengatakan bahwa jenis kelamin adalah satu-satunya gairah dan alasan bagi perempuan untuk mengejar laki-laki. Selain itu, perempuan dibatasi untuk berada dalam lingkaran „satu gairah, satu peran, dan satu pekerjaan‟ yakni menjadi ibu dan ibu rumah tangga.

1.4.3 Keaktifan Perempuan dalam Hubungan Seks (The Sex Seekers)

Beberapa dokter mengatakan masalah seksual terjadi antara para suami dan istri karena para istri merasakan kelaparan seks (sex hunger) yang begitu besar karena suami mereka tidak bisa memuaskannya. Seorang psikiater di klinik konseling pernikahan mengatakan bahwa ibu rumah tangga tidak memiliki rutinitas lain selain menjadi ibu dan istri. Setelah istri membersihkan rumah dan mengasuh anak, istri akan menunggu kepulangan suami sepanjang hari dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang membuatnya „merasa hidup‟ di waktu malam. Akan tetapi, yang terjadi

(27)

27 adalah suami kelelahan karena aktifitasnya di luar rumah dan tidak tertarik dengan istrinya. Hal ini menjadi bagian yang mengerikan dari hidup perempuan karena merasa tidak diinginkan laki-laki.

Whether or not this fictional picture of the over-lusting female means that American women have become avid sex-seekers in real life….(Friedan, 1963:253).

Terjemahan:

Apakah benar atau tidak, bahwa gambaran fiksi dalam media mengenai perempuan tampak bernafsu yang berarti bahwa perempuan Amerika telah keranjingan seks sehingga berusaha mencari seks dalam kehidupan nyata…. ….(Friedan, 1963:253).

Gambaran tentang keagresifan perempuan sebagai pemburu seks tercermin dalam novel yang memang bertujuan untuk melayani perempuan yang lapar pada khayalan tentang seks. Khayalan bahwa perempuan lebih bernafsu berarti bahwa perempuan USA pada waktu itu sangat menginginkan pencarian seks dalam kehidupan nyata. Jadi, dari usia remaja sampai pertengahan, perempuan USA ditakdirkan untuk menghabiskan lebih banyak waktu mereka dalam fantasi seks. Bahkan, seorang perempuan yang merasa tidak beruntung dalam pernikahannya (suami tidak mampu memuaskan hasrat seksnya) sangat mudah jatuh cinta dan berhubungan seks dengan laki-laki yang baru dikenalnya. Tindakan seks cenderung menjadi bersifat seperti mesin dan mengurangi fungsi sesungguhnya. Seks menjadi tempat untuk memperebutkan kekuasaan atau hanya sebagai kegiatan yang menjemukan dan sekedar memenuhi jadwal. Perempuan yang tidak menemukan kepuasan dalam seks akan melakukan pencarian tanpa ujung. Hal ini dikarenakan, perempuan yang hidup dan menganut paham mistik feminin memandang tidak ada jalan lain untuk sebuah prestasi, status, atau identitas kecuali seks.

Even though they find no satisfaction in sex, these women continue their endless search. For the woman who lives according to the feminine mystique,

(28)

28 there is no road to achievement, or status, or identity, except the sexual one: the achievement of sexual conquest, identity as a sexually successful wife and mother (Friedan, 1963:253).

Terjemahan:

Meskipun perempuan tidak menemukan kepuasan dalam hubungan seks, perempuan melanjutkan pencarian mereka tanpa akhir. Bagi perempuan yang hidup sesuai dengan pola mistik feminin, tidak ada jalan lain menuju prestasi, status, atau identitas. Perempuan hanya memiliki jalan untuk urusan seksual yakni dengan pencapaian kepuasan seks, identitas sebagai istri dan ibu yang sukses secara seksual (Friedan, 1963:253).

Perempuan menjadi sosok yang kelaparan akan seks karena kehidupan tanpa identitas yang mengharuskan untuk hidup tanpa komitmen dan hidup melalui suami dan anak-anaknya membuat perempuan merasakan kekosongan dan secara otomatis terisi dengan fantasi seks. Berbeda dengan laki-laki yang dalam aktifitasnya berada di luar rumah dan bertemu dengan banyak orang sehingga kesibukan tidak memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk merasakan kekosongan. Mistik feminin membuat seks dan pernikahan dini sebagai jalan keluar yang paling mudah dan merupakan hiburan ketika menghadapi sulitnya kehidupan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Kehidupan Suparto Brata dan karya-karyanya banyak menarik minat sastrawan, mahasiswa, maupun pengamat sastra untuk meneliti dan menganalisis menggunakan teori-teori yang beragam. Teori feminisme adalah teori yang cukup sering digunakan untuk membedah karya sastra Suparto Brata. Dalam kurun waktu 2010-2014 tercatat 9 penelitian yang menggunakan karya Suparto Brata, dan 4 dari 9 penelitian menggunakan teori feminisme.

Di tahun 2010, Mahfiroh menulis skripsi berjudul Peranan dan Posisi Perempuan di Masyarakat dalam Novel Kerajaan Raminem Karya Suparto Brata:

(29)

29 Kajian Feminis. Mahfiroh merupakan mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendeskripsikan peranan dan posisi tokoh perempuan dalam bidang sosial, peranan dan posisi tokoh perempuan dalam bidang ekonomi dan kedudukan tokoh di masyarakat dengan menggunakan kajian feminis liberal. Kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut mengetahui peranan dan posisi tokoh perempuan dalam bidang sosial, mengetahui peranan dan posisi tokoh perempuan dalam bidang ekonomi, dan mengetahui kedudukan tokoh di masyarakat.

Tahun 2011 Metti Dwi Nurlita menulis skripsi berjudul Citra Perempuan dalam Novel Cintrong Paju-Pat Karya Suparto Brata. Metti merupakan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah citra perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat, dan pandangan feminisme pengarang tentang perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui citra tokoh perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat karya Suparto Brata dan mengetahui pandangan feminisme pengarang tentang perempuan dalam novel Cintrong Paju-pat karya Suparto Brata. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tokoh dan penokohan, teori citra perempuan dan teori feminisme. Penelitian ini mengacu pada teori feminisme dari Tong dan menggunakan pendekatan feminis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis struktural.

Tahun 2012 terdapat tiga penelitian yang menggunakan objek material novel karya Suparto Brata. Penelitian pertama berupa skripsi, yang dilakukan oleh Hani Mustifiani di Universitas Muhammadiyah Purworejo. Skripsi tersebut berjudul Analisis Feminisme dan Nilai Pendidikan dalam Novel Nona Sekretaris Karya Suparto Brata. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur novel Nona

(30)

30 Sekretaris karya Suparto Brata, yang meliputi tokoh, tema, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang; aspek feminisme yang dikaji melalui tokoh dalam novel Nona Sekretaris karya Suparto Brata; nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Objek kajian adalah struktur, feminisme dan nilai pendidikan pada tokoh yang terdapat dalam novel Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Hasil analisis dalam penelitian struktur meliputi tokoh dan penokohan meliputi tokoh utama yaitu Sirtu, tokoh tambahannya yaitu Juleha, Normasari, Burhanudin Jarum, Ugrasamsi, Bathara Nainggolan, Paradha Nainggolan, Danang, Drs. Pambudi.

Selain Hani, Catur Handayani, mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah Purworejo juga menulis skripsi berjudul Pencitraan Tokoh Wanita dalam Novel Cintrong Paju Pat Karya Suparto Brata. Kemudian, pada November 2012 Catur Handayani bersama Aris Aryanto menulis artikel yang diterbitkan dalam jurnal pendidikan bahasa, sastra, dan budaya Jawa Universitas Muhammadiyah Purworejo volume 1, nomor 1, November 2012 dengan judul yang sama dengan skripsi Catur Handayani. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini mengenai struktur pembangun novel, citra tokoh utama wanita, dan perjuangan tokoh utama dalam novel tersebut dengan menggunakan teori struktural, teori feminisme, dan teori gender.

Penelitian ketiga di tahun 2012 yang menggunakan objek material novel karya Suparto Brata dilakukan bersama-sama oleh mahasiswi dan dosen Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Negeri Yogyakarta yakni, Kristina Febriyanti, Sri Harti Widyastuti, dan Afendy Widayat. Penelitian tersebut berjudul Aspek Perwatakan Tokoh Sirtu Mekarndalu dalam Novel Nona Sekretaris Karya Suparto Brata: Suatu Tinjauan Psikologi Sastra dan diterbitkan dalam jurnal Pendidikan Bahasa Daerah Vol. I, No. 1 (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perwatakan

(31)

31 tokoh Sirtu Mekarndalu, wujud konflik psikis yang dialami tokoh Sirtu Mekarndalu, dan perkembangan kepribadian yang dialami tokoh Sirtu Mekarndalu ditinjau dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Hasil dari penelitian ini bahwa perwatakan tokoh Sirtu Mekarndalu meliputi berprasangka buruk, suka pamer, pemarah, berpendirian teguh, tidak sabar, suka bekerja keras, cakap, perhatian, suka bercanda, keras kepala, percaya diri, tegas, cerdik, rendah hati, sopan santun, dan bijaksana. Konflik psikis yang dialami tokoh Sirtu meliputi kebingungan, merasa iba, ketakutan, kemarahan, empati, kecemasan, kekecewaan, penyesalan, nekat, dan kepuasan batin. Perkembangan kepribadian tokoh Sirtu Mekarndalu dimulai pada tahap anal, tahap falik, tahap laten, dan tahap genital.

Tahun 2013 novel Nona Sekretaris karya Suparto Brata digunakan sebagai objek material dalam penelitian skripsi oleh Padhang Pranoto, mahasiswa prodi Sastra Jawa, jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang dengan judul skripsi Posisi Tawar Perempuan Terhadap Laki-laki dalam Roman Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Penelitian ini mengetengahkan topik posisi perempuan dalam masyarakat sebagai the second sex setelah laki-laki karena kentalnya hegemoni patriarki. Skripsi ini menjabarkan bentuk hubungan relasi perempuan dan laki-laki dalam novel tersebut, pandangan perempuan melihat posisinya terhadap laki-laki, mengukur seberapa jauh hegemoni patriarki mempengaruhi relasi perempuan dan laki-laki, serta upaya perempuan untuk meningkatkan posisi tawarnya terhadap laki-laki dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan dialektika teks yang menggunakan oposisi biner sebagai teknik analisis data.

Pada tahun yang sama, Bhramono Adhi Cahyo Wibowo melakukan penelitian menggunakan salah satu cerita dalam novel Ser! Randha Cocak yang berjudul Cocak

(32)

32 Nguntal Elo. Penelitian tersebut berjudul Analisis Struktural Objektif Novel Cocak Nguntal Elo Karya Suparto Brata dan Kemungkinan Pembelajarannya di SMA. Karya Bhramono dipublikasikan dalam Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah Purworejo Vol. 02/ No. 02/ Mei 2013. Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktural obejektif sastra, nilai moralitas tokoh sastra dan kemugkinan pembelajaran novel Cocak Nguntal Elo di SMA. Teknik analisis data menggunakan metode konten analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran novel Cocak Nguntal Elo sesuai dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang terdiri dari tujuan, bahan, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator, metode, strategi, sumber belajar, waktu, dan evaluasi.

Tahun 2014 terdapat dua penelitian yang menggunakan objek material karya Suparto Brata. Nur Siti Handayani, mahasiswi Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, melakukan penelitian untuk mendapatkan gelar sarjana Strata Satu menggunakan salah satu cerita dalam novel Ser! Randha Cocak karya Suparto Brata, yakni Ser! Ser! Plong!. Skripsi Nur Siti Handayani berjudul Tokoh dan Gaya Hidup Novel Ser! Ser! Plong! Karya Suparto Brata: Analisis Struktur Naratif. Penelitian ini difokuskan pada tokoh dan gaya hidup yang terdapat dalam roman tersebut dan dianalisis menggunakan kajian struktur naratif Seymour Chatman. Struktur naratif digunakan untuk menganalisis mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam cerita seperti tokoh dan penokohan, alur, setting, runtutan peristiwa, hubungan antar tokoh dan perubahan gaya hidup pada tokoh yang terdapat di dalamnya.

Penelitian lain di tahun 2014 dilakukan oleh Dias Septi Hastani dengan judul Analisis Moralitas Tokoh Roman Ser! Ser! Plong! Karya Suparto Brata. Penelitian

(33)

33 tersebut termuat dalam Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah Purworejo pada bulan Agustus tahun 2014 volume 5 nomor 5. Penelitian ini mendeskripsikan unsur-unsur instrinsik dan moralitas baik dan buruk yang terdapat dalam roman Ser! Ser! Plong!. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Unsur-unsur instrinsik berupa tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Moralitas baik meliputi setia, berhati-hati dalam bertindak, suka bercanda, waspada, tanggung jawab dengan tugas, berani mengakui pasangan di depan umum, dan suka menolong. Sedangkan moralitas buruk meliputi mudah jatuh cinta dengan lelaki yang mapan, cengeng, iri, suka mengejek, profokator, tidak sabar, dan melupakan orang tua kandung.

Berdasar dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian yang sudah ada dan belum pernah ada yang mengkaji mengenai pendomestifikasian perempuan dalam novel- novel Suparto Brata yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris menggunakan teori Betty Friedan.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian terbagi menjadi tiga, yakni pengumpulan dan seleksi data, klasifikasi data, dan analisis data. Sebelum melakukan tahapan-tahapan tersebut, penulis akan menentukan objek material sebagai bahan penelitian, yakni novel- novel yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Peneliti melakukan pembacaan secara keseluruhan pada kedua novel tersebut, sehingga peneliti menemukan hal-hal yang dapat dijadikan objek penelitian. Setelah objek-objek penelitian terpetakan dengan jelas, peneliti menentukan objek-objek penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menentukan objek formal untuk menganalisis objek

(34)

34 penelitian dengan teknik kajian pustaka. Proses yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini dijabarkan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

1.6.1 Pengumpulan dan Seleksi Data

Pada tahap pengumpulan data, peneliti akan mengumpulkan data yang berhubungan dengan paradoksalitas posisi perempuan antara ranah publik dan domestik yang muncul dari tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam novel-novel yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Korpus data berupa kata, kalimat, paragraf dan struktur cerita yang menunjukkan adanya paradoksalitas pemosisian perempuan, alasan-alasan pengembalian perempuan yang telah berada di ranah publik untuk berada di ranah domestik, dan jenis ruang domestik yang ingin ditunjukkan oleh pengarang melalui tokoh-tokoh dalam novel.

Data yang telah dikumpulkan, akan diseleksi dalam tahap ini untuk menentukan data yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Penyeleksian data pada tahapan ini bertujuan untuk memfokuskan penelitian. Berdasar dari 2 novel karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris secara keseluruhan terdapat 4 cerita dengan 4 tokoh perempuan yang berbeda. Peneliti akan menggunakan keempat cerita tersebut, yang secara keseluruhan berisi tentang paradoksalitas pemosisian perempuan antara ranah publik dan domestik.

1.6.2 Klasifikasi Data

Pada tahapan ini, setelah data terkumpul, maka tahapan selanjutnya adalah mengklasifikasikan data-data tersebut yang mencakup bentuk-bentuk paradoksalitas posisi perempuan untuk berada di ranah publik, domestik, atau keduanya. Proses pengklasifikasian berdasar dari kalimat, paragraph, dan gabungan paragraf yang

(35)

35 membentuk struktur cerita yang sesuai dengan gambaran kondisi perempuan yang harus menentukan posisinya.

1.6.3 Analisis Data

Pada tahapan analisis data, peneliti akan menganalisis data, salah satunya struktur cerita novel-novel Suparto Brata yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris dengan konsep publik-domestik dengan landasan teori dan analisis kajian pustaka dalam teori Feminine Mystique milik Betty Friedan. Analisis kajian pustaka adalah teknik kajian yang terdiri dari beberapa tahapan yakni membaca dan mempelajari novel-novel Suparto Brata yang berjudul Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris, buku-buku acuan, artikel, dan tulisan yang berhubungan atau menunjang penelitian. Hasil yang diperoleh dari tahapan menganalisis data berupa hasil analisis dan akan disajikan dalam bentuk deskriptif.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini akan dimulai dengan bab I yang akan memaparkan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II hingga bab IV akan menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dari data primer. Bab II akan menjawab permasalahan-permasalahan pertama mengenai sebab-sebab pendomestifikasian perempuan oleh pengarang, bab III akan menjawab permasalahan kedua mengenai ruang domestik yang diinginkan pengarang pada perempuan, dan bab IV akan menjawab mengenai bentuk-bentuk ruang domestik yang terdapat dalam data primer, yakni novel Ser! Randha Cocak dan Nona Sekretaris karya Suparto Brata. Bab terakhir atau bab V berisi kesimpulan dari hasil uji data dengan penerapan teori.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pemaknaan gaya komunikasi Bupati Subang Hj. Imas Aryumningsih dalam menjalankan kepemimpinannya adalah seorang yang memiliki kepribadian suple, ramah, humble dan juga

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa dinamika penyesuaian diri sebagai pergerakan yang ditimbulkan dari dorongan semangat individu untuk

Dari permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pendidikan kesehatan manajemen demam terhadap pengetahuan dan

Variabel terdiri atas perlakuan A berupa jenis vaksin, yaitu A1 = Vaksin polivalen, A2 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium potassium sulfat, A3 =

HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PANITIA PELAKSANA PERINGATAN SUMDAWAN TAHUN 2016 Sekretariat: Kampus FHIS Undiksha Jalan Udayana No.11 Singaraja-Bali

Dilihat dari kerangka konsep bahwa pengetahuan ibu sangat penting untuk mengambil sikap dan perilaku Ibu dalam pengolahan bahan makanan dan bagaimana cara memberikan

Secara teknis, pengunaan faktor produksi benih, pupuk kandang, pupuk NPK dan tenaga kerja sudah efisien, sedangkan penggunaan faktor produksi lahan belum efisien

Terdapat tiga desa yang tergabung dalam kawasam ini adalah Desa Purwoasri, Desa Klampok, dan Desa Lalang, ketiga Desa ini merupakan tempat Kawasan Ekonomi Khusus yang di