• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community Adaptation to Disaster Lava Flood Case Study: Kemiren, Srumbung, Magelang, Central Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Community Adaptation to Disaster Lava Flood Case Study: Kemiren, Srumbung, Magelang, Central Java"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS : KEMIREN, SRUMBUNG, MAGELANG, JAwA TENGAH

Community Adaptation to Disaster Lava Flood

Case Study: Kemiren, Srumbung, Magelang, Central Java

Jati Iswardoyo Balai Sabo

Pusat Litbang Sumber Daya Air, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sopalan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta

Email : masdjaty@yahoo.co.id

Tanggal diterima: 3 Mei 2013 , Tanggal disetujui: 26 Juni 2013

ABSTRACT

Merapi Volcanic eruptions produce a material that is potentially causing harm due to dangerous lava flood. However, on the other side, Mount Merapi is also areas that support continuity of livelihood systems for local communities in the slopes of Mount Merapi. The government has implemented sabo technology in the Village of Kemiren, Srumbung District, Magelang regency, Jawa Tengah. This study examines and analyzes the adaptation strategies, specifically adopted lava floods. Adaptation of community-based lava flood involving all available resources phenomenon, such as natural, human and institutional. The study used a qualitative approach through Focus Group Discussion and Depth Interview. Using secondary data and primary data, the scope of the study covers the mining, agricultural and environmental sectors. The results showed a positive role in Kemiren communities in lava floods adaptation, by involving all the potential resources. Kemiren community has a good understanding of the hazards risk. The application of Sabo technology can be done synergistically with Kemiren village community life.

Keywords: disaster adaptation , lava flood, application of technology, community, mount merapi ABSTRAK

Erupsi Gunung Merapi menghasilkan material yang sangat berpotensi menimbulkan bahaya akibat banjir lahar yang membahayakan. Namun, disisi lain Gunung Merapi juga merupakan kawasan penopang kelangsungan sistem penghidupan (livelihood system) masyarakat lokal di wilayah lereng Gunung Merapi. Pemerintah telah menerapkan teknologi sabo di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Penelitian ini mengkaji dan menganalisa strategi adaptasi bencana banjir lahar yang diterapkan. Adaptasi bencana banjir lahar berbasis masyarakat melibatkan segala fenomena sumberdaya yang ada, yaitu alam, manusia dan institusi. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui Focus Group Discussion dan Depth Interview. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer dengan lingkup penelitian meliputi sektor pertambangan, sektor pertanian dan sektor lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan peran positif masyarakat Kemiren dalam adaptasi bencana banjir lahar, dengan melibatkan semua potensi sumber daya yang ada. Masyarakat Kemiren telah memahami dengan baik resiko ancaman bencana. Penerapan teknologi sabo yang diterapkan dapat berjalan sinergis dengan kehidupan masyarakat Desa Kemiren.

(2)

PENDAHULUAN

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari upaya responsif menjadi mengutama-kan upaya preventif. Untuk itu guna mendukung implementasi dari amanat undang-undang tersebut maka perlu pemahaman yang komprehensif tentang hakikat dan pengetahuan penanggulangan bencana oleh semua jajaran pengambil keputusan termasuk di dalamnya adalah masyarakat.

Upaya pengurangan resiko bencana menyatakan pentingnya memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat masyarakat untuk mengurangi resiko bencana pada tingkat lokal. Hal tersebut didasarkan pada ukuran pengurangan resiko bencana yang tepat, dimana pada tingkat ini memungkinkan komunitas dan individual secara signifikan dapat mengurangi kerentanan terhadap bahaya.

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang sangat aktif di Indonesia, terletak di perbatasan Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dan dikelilingi oleh pemukiman yang padat penduduk. Erupsi gunung api selalu menghasilkan deposisi material vulkanik berupa abu dan debris gunungapi yang menimbun di lereng badan gunung sehingga Gunung Merapi sangat berpotensi menimbulkan bahaya akibat lava ataupun banjir lahar yang membahayakan penduduk yang tinggal di sekelilingnya.

Namun disisi lain Gunung Merapi juga merupakan kawasan penopang kelangsungan sistem penghidupan (livelihood system) masyarakat lokal di wilayah lereng Gunung Merapi, seperti halnya masyarakat di Desa Kemiren Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan usaha penambangannya. Dalam mengatasi bencana banjir

lahar yang mungkin muncul, penerapan teknologi telah dilakukan sebagai bagian adaptasi masyarakat setempat.

Penelitian tentang adaptasi masyarakat sudah pernah dilakukan. Kusumartono (2012) melakukan penelitian tentang adaptasi masyarakat menghadapi krisi air di Pulau Palue. Penelitian menunjukkan bahwa faktor struktural dan kultural mempengaruhi strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam mengantisipasi adanya perubahan iklim. Sedangkan keberterimaan masyarakat terhadap penerapan sebuah teknologi juga pernah dilakukan oleh Putri (2012). Adaptasi positif masyarakat terhadap penerapan kebijakan pembangunan juga diungkapkan dalam Lumongga (2012). Strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana Banjir pasang air laut di kota Pekalongan oleh Rito (2011) juga menjelaskan bahwa adaptasi masyarakat terhadap bencana menjadikan masyarakat dapat menyusun strateginya sendiri dalam menghadapi bencana.

Penelitian tentang keberadaan komunitas masyarakat di area Gunung Merapi dengan mengambil tiga desa, yaitu Desa Kemiren, Desa Kepuharjo dan Desa Sindumartani telah diteliti oleh Kamulyan (2010).

Berangkat dari permasalahan ini, penelitian ini mencoba mengkaji dan merumuskan bentuk adaptasi masyarakat terhadap banjir lahar. Sementara penerapan teknologi sabo telah dilakukan di Desa Kemiren yang terletak di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 1. Dengan harapan agar dapat bermanfaat menjadi bahan acuan bagi masyarakat yang mengalami permasalahan serupa.

KAJIAN PUSTAKA

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Anonim 2007).

Salah satu bencana adalah banjir lahar atau sering disebut dengan aliran debris. Dalam Legono (2011) dikatakan bahwa aliran lahar atau sering juga disebut aliran debris merupakan aliran campuran massa air dan sedimen yang tercampur menjadi satu yang membentuk sifat fluida tertentu. Tergantung dari intensitas atau kadar pencampurannya, aliran

Gambar 1. Peta Lokasi

Sumber:http://www.tourism-mpu.com/data/map_centraljava.jpg, diunduh pada tanggal 8 November 2012

(3)

lahar juga sering disebut aliran dengan kosentrasi tinggi atau flow with hyper concentrated sediment.

Salah satu upaya pengelolaan bencana banjir lahar yang dilakukan di Merapi adalah penerapan teknologi sabo. Kata sabo berasal dari bahasa Jepang, sa berarti pasir (sand), bo berarti pengendalian (prevention). Sangat disayangkan, sampai saat ini pemahaman teknosabo di kalangan masyarakat luas sangat minim, sehingga muncul kelompok ahli mengatakan bahwa teknosabo adalah infastruktur yang tidak berwawasan lingkungan (Soewarno 2012).

Penerapan teknologi sabo antara lain adalah pembuatan dam sabo. Dam sabo adalah salah satu bangunan yang paling dominan dalam penanggulangan fisik aliran sedimen yang bekerja dalam suatu sistem sabo works. Sasaran dari kegiatan sabo tersebut adalah untuk melindungi manusia dan kekayaannya terhadap bahaya aliran sedimen untuk melindungi infrastruktur dan fasilitas irigasi serta untuk melestarikan lingkungan (Rahmat 2007).

Dengan adanya bencana yang memberikan dampak yang luar biasa ini, perlu adanya kapasitas adaptif masyarakat. Menurut O’Brein dalam Kusumartono (2012) kapasitas adaptif adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim yang sedang atau diprediksi terjadi atau untuk menanggung beban konsekuensi dari perubahan iklim. Variabel dari kapasitas adaptif adalah kesejahteraan, teknologi, pendidikan, informasi, keahlian, infrastruktur, akses terhadap sumberdaya alam, stabilitas, dan manajemen kemampuan (Kusumartono 2012).

Lebih lanjut adaptasi yang dilakukan, tidak boleh terlepas dari tujuan pembangunan daerah, yang didalamnya adalah keterlibatan masyarakat. Suparna (2009) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, dilaksanakan berbagai program yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yakni :

1) Pengembangan ekonomi daerah 2) Percepatan pengembangan wilayah 3) Peningkatan pemberdayaan masyarakat 4) Percepatan penangan daerah khusus.

Kirmanto (2011) menegaskan dalam rangka upaya mitigasi bencana yang terkait dengan pengembangan institusi masyarakat dapat dilakukan dengan pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat, pembuatan, dan penempatan tanda-tanda peringatan bahaya serta Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang kebencanaan.

Sistem integrasi pengurangan resiko bencana dalam perencanaan dan kebijakan serta penguatan institusi termasuk mekanisme dan kapasitas di tataran masyarakat lokal perlu untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Watanabe (2011) sistem pencegahan bencana sedimen harus menggunakan filosofi dasar yaitu kembali ke kepentingan rakyat dan otonomi daerah dengan berpedoman pada (1) Teknologi; (2) Kerjasama Penduduk; dan Pihak Administratif dan (3) Kerjasama Pemerintah Pusat dan Daerah. METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan mendalam terkait aspek sosial, terutama adaptasi masyarakat. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder melalui studi literatur dan pencarian di internet.

Pengumpulan data primer, dilakukan dengan observasi lapangan, diskusi kelompok secara terarah (focus group discussion-FGD), dan wawancara mendalam (depth interview). FGD dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif dengan cara berdiskusi dengan mengarahkan pada fokus permasalahan yag didiskusikan dengan arahan moderator. Peserta diskusi adalah mahasiswa S2 Magister Pengelolaan Bencana angkatan X, Universitas Gadjah Mada (UGM) sejumlah 20 orang dari berbagai instansi. Fasilitator sekaligus observer, yaitu dosen UGM. Narasumber diskusi diambil dari praktisi rekayasa sabo, agar diskusi masih terkait dengan topik pembahasan. Diskusi dibiarkan berkembang dengan arahan fasilitator. Diskusi dibuat seperti dialog, santai, dan dibiarkan bebas berpendapat namun tetap terarah. Diskusi dilakukan pada saat sebelum dan sesudah melakukan observasi lapangan. Rumusan dilakukan oleh moderator dan selanjutnya hasilnya di-review oleh fasilitator beserta nara sumber. Materi yang didiskusikan menyangkut adaptasi masyarakat Desa Kemiren yang selama ini terjadi.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap sumber informasi kunci, yaitu aparat desa, akademisi, praktisi, dan warga sekitar yang berprofesi sebagai petani/peladang baik pemilik lahan maupun buruh penggarap. Wawancara juga dilakukan kepada Prof.Ir. Djoko Legono, Dip.HE, staf pengajar UGM yang membidangi dan membina Lembaga Swadaya “Bumi Lestari”.

Sedangkan analisis data dilakukan melalui proses identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan (Lumongga 2012).

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis

Desa Kemiren dapat dijangkau dari Magelang melalui jalur angkutan umum Magelang – Muntilan – Bulu, dari Yogyakarta melalui jalur Yogya – Tempel – Bulu. Desa Kemiren terdiri dari tiga dusun, yaitu Dusun Kamongan Cilik, Dusun Kemiren, dan Dusun Jamburejo. Desa Kemiren terbagi dalam tiga Dukuh, empat RW dan meliputi enam RT. Desa Kemiren memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara: kawasan lingkar Gunung Merapi b. Sebelah Selatan : Desa Kamongan

c. Sebelah Barat : Desa Ngablak d. Sebelah Timur : Desa Kaliurang

Desa Kemiren ini berbatasan langsung dengan kawasan lingkar Gunung Merapi. Kehidupan masyarakatnya banyak bergantung pada kelestarian lingkungan alam kawasan Lingkar Merapi ini. Baik untuk ketersediaan air, lahan pertanian maupun untuk kebutuhan peternakan serta sebagai daerah bangunan penahan lahar (Sabo Dam) maupun banjir yang berasal dari Gunung Merapi.

Luas Desa Kemiren ini adalah 616,840 ha. Dimana 439,741 ha (71,28%) merupakan area sawah dan ladang, 47,868 ha (7,76%) adalah pemukiman atau area perumahan, 0,029 ha (4,76%) adalah perkantoran pemerintah, dan 129,202 ha (20,54%) adalah tanah lain-lain.

Kondisi Struktur Sosial

Penduduk Desa Kemiren sebanyak 1.103 jiwa dengan komposisi penduduk berjenis kelamin laki-laki sebesar 553 (50,13%) sedangkan penduduk berjenis kelamin perempuan sebesar 550 (49,86%) dan kesemuanya WNI. Jumlah penduduk yang berstatus kepala keluarga 296 KK. Dengan demikian rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4 orang. Ilustrasi demografi penduduk ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3 (Data Monografi Desa Kemiren bulan Juli tahun 2007). Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa penduduk Desa Kemiren didominasi oleh penduduk muda yang disebut pemuda yang juga merupakan penduduk usia produktif, yaitu usia antara 15-40 tahun sebesar 465 jiwa dengan presentase sebesar 42,15 %. Sedangkan penduduk Desa Kemiren yang berusia antara 40-60 tahun ke atas hanya sebesar 297 jiwa dengan presentase sebesar 26,92 %. Penduduk yang berusia antara 0-14 tahun sejumlah 334 jiwa dengan presentase sebesar 30,28 %.

Kondisi Perekonomian

Desa Kemiren merupakan salah satu desa yang terletak tepat di kaki Gunung Merapi dan merupakan

kawasan yang terletak di kawasan Lingkar Merapi. Penduduk yang terdapat di Desa Kemiren ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan komoditas utama pertanian di desa ini adalah pertanian salak pondoh. Salak pondoh menjadi komoditas utama pertanian di desa ini sejak tahun 1990-an. Oleh karena itu, faktor lingkungan alam seperti ketersediaan air untuk pengairan sawah dan kebun menjadi sangat penting selain untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain bertani penduduk juga banyak yang memelihara ternak sapi, kambing maupun kerbau, dan ternak unggas lainnya sehingga kebutuhan rumput untuk pakan ternak menjadi tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya kelestarian lingkungan alam kawasan hutan lingkar Merapi yang mengalami kerusakan pasca aktivitas penambangan pasir di luar badan sungai.

Adaptasi Masyarakat

Sistem Mitigasi Resiko Bencana

Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar telah membuka mata kita bersama bahwa pengelolaan/manajemen bencana sangat

Prosentase (%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-39 40-49 50-59 60 ≤ …

Gambar 2. Prosentase Usia Produktif (diolah)

Sumber :Anonim, 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-39 40-49 50-59 60 ≤ … Laki-laki Perempuan

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Penduduk (diolah)

(5)

diperlukan untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan, kerugian, dan timbulnya korban jiwa melalui kegiatan mitigasi. Secara umum kegiatan mitigasi bencana dapat dibagi dalam tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan, dan peringatan dini;

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan

search and rescue (SAR), bantuan darurat, dan

pengungsian;

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pengelolaan/manajemen bencana dalam hal ini adalah kegiatan mitigasi bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana yang dilakukan sebelum, saat terjadi, dan setelah terjadinya bencana alam yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana. Tujuannya untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat, dan pihak berwenang mengenai resiko serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama yang berakibat ada hilangnya nilai ekonomis infrastuktur tersebut. Dengan adanya mitigasi maka resiko yang mungkin muncul akan dapat diperkirakan. Penerapan teknologi sabo merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana yang mungkin terjadi, yaitu bencana banjir lahar. Teknologi sabo yang telah diterapkan di Desa Kemiren adalah pembuatan dam sabo yang mengapit Desa Kemiren, yaitu BE-RD3 dan BA-D1. Dam sabo berfungsi melindungi manusia dan kekayaannya terhadap bahaya aliran sedimen untuk

melindungi infrastruktur dan fasilitas irigasi serta untuk melestarikan lingkungan.

Pengembangan Institusi Masyarakat

Dengan banyaknya penduduk yang berusia muda, maka ketika terjadi permasalahan dengan lingkungan alam yang terjadi di desa ini para pemuda kemudian tergerak untuk membentuk organisasi swadaya yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan alam di daerahnya dan meningkatkan nilai ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah melalui Lembaga Pengelola Sumberdaya dan Potensi Desa (LPSPD) Bumi Lestari. Struktur Organisasi LPSPD Bumi Lestari digambarkan dalam Gambar 4. Organisasi ini merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang dibentuk tanggal 17 Mei 2008. Tujuan organisasi adalah mengelola sumberdaya dan potensi Desa Kemiren secara adil dan bijaksana serta berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (dalam rangka partisipasi publik dalam pembangunan daerah).

Gambar 4. Struktur Organisasi LPSPD Bumi Lestari

Sumber :Hasil Observasi

Pelaku Adaptasi Perilaku Adaptasi Analisa

Pemerintah (BBWS Serayu OPAK-Kementerian Pekerjaan Umum)

Penerapan Teknologi Sabo

Pembuatan Dam Sabo yang mengapit desa Kemiren yaitu BE-RD3 dan BA-D1

Masyarakat (LPPD Bumi Lestari)

Pengelolaan dalam Sektor Petambangan

Mengorganisasi penambangan sedimen dengan menerapkan retribusi. Mengolah blantak (material sisa penambangan) dengan stone crusher Pengelolaan dalam

Sektor Pertanian

Memanfaatkan lahan erupsi dengan menanam tanaman jangka pendek (padi, lombok dan cabe)

Pengelolaan dalam Sektor Lingkungan

Membuat hutan pariwisata Membuat Kolam Ikan Membuat Rekreasi alam

Pembuatan Gardu Pandang Bencana

(6)

Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar

Analisis perilaku adaptasi masyarakat Kemiren berdasarkan pelaku adaptasi, yaitu pemerintah dan masyarakat Kemiren yang diwakili oleh LPPD Bumi Lestari, seperti yang di tampilkan dalam Tabel 1. Kemudian akan dijabarkan dalam paragraf berikutnya. Adapun adaptasi masyarakat yang telah dilakukan oleh penduduk Desa Kemiren pada beberapa sektor, antara lain sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor lingkungan.

• Sektor Pertambangan

Usaha penambangan pasir merupakan salah satu usaha yang mampu menyedot lapangan kerja namun usaha ini juga rawan terhadap pengerusakan lingkungan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan, pengrusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung/tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Penambangan material dilakukan di Dam RD3, yaitu salah satu dam di Kali Bebeng. Dam BE-RD3 merupakan dam tipe tertutup. Ditunjukkan dalam Gambar 5 dan Gambar 6. Kali Bebeng merupakan perbatasan antara Desa Kemiren dan Desa Kaliurang. Kegiatan penambangan, seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dilakukan oleh masyarakat Kemiren dan masyarakat Kaliurang. Berdasarkan kesepakatan dari kedua desa tersebut pembagian lokasi penambangan di sungai tersebut dibagi 2 dengan batasnya merupakan garis tengah

dari sungai tersebut. dikenakan retribusi yang akan dikutip di portal Setiap truk yang akan melakukan muatan akan desa oleh petugas yang ada (gambar 7). Besarnya retribusi yang dikutip adalah Rp. 10.000,-/rit. Setiap truk akan diberi 3 karcis yang di dalamnya tertera harga pasir dan batu. Petugas memberikan tiga lembar karcis yang terdiri dari 1 lembar untuk supir truk, 1 lembar untuk material, dan 1 lembar untuk penambang. Sebagai contoh di dalam karcis tertulis harga pasir Rp. 120.000,-/rit pasir dengan rincian Rp. 100.000,- untuk penambang pasir, Rp. 10.000,- untuk pemilik lahan, dan Rp. 10.000,- untuk desa. Dalam 1 hari jumlah truk yang mengangkut material adalah 50 truk dan jumlah penambang +100 orang. Di Magelang hanya baru Bumi Lestari yang menerapkan sistem retribusi ini dari 54 pemegang SPM (Surat Pengambilan Material).

Menyadari dampak negatif dari adanya kegiatan penambangan pasir, diantaranya adalah (1) sarana jalan desa yang rusak, (2) pencemaran lingkungan berupa debu, kebisingan, dan kepadatan lalu lintas

Sumber :Hasil Observasi

Gambar 5. Material yang tertampung di Sabo Dam

Sumber :Hasil Observasi

Gambar 6. Kondisi Kali Bebeng di hilir Sabo Dam

Sumber :Hasil Observasi

(7)

desa, (3) bahaya kerusakan infrastruktur pengendali banjir lahar, (4) penurunan elevasi muka air tanah, dan (5) penurunan kesuburan tanah, maka LSM Bumi Lestari mencoba untuk mengendalikan kegiatan penambangan pasir secara optimal. Dapat dilakukan dengan cara penerapan teknologi pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir di wilayah Desa Kemiren.

Pengolahan penambangan material golongan C termasuk wilayah kerja bidang pertambangan Mereka mengolah sendiri sisa hasil tambang pasir salah satunya adalah bantak. Bantak biasanya dipisahkan secara manual oleh penambang pasir sewaktu menambang pasir. Bantak biasanya berdiameter antara 10 - 15 cm, karena penambang biasanya mengambil pasir atau batu yang lebih besar dari bantak, sehingga bantak tidak digunakan lagi. Oleh penduduk, bantak dimanfaatkan dengan diolah kembali menjadi split berukuran 1- 4 cm. Pengolahan bantak menggunakan alat pemecah batu (stone crusher), seperti ditunjukkan dalam Gambar 8. Penduduk membeli sendiri stone crusher bekas dari Mojokerto seharga 140 juta. Selanjutnya mesin stone crusher yang ditunjukkan pada Gambar 8 dimodifikasi diganti dengan mesin truk bekas.

Dalam proses penggilingan batu biasanya dibutuhkan 15 – 20 orang dengan kapasitas produksi ± 70 m3 split dan atau pasir. Mereka memproduksi berdasarkan pesanan dengan pendapatan 90 rb/ m3 dan pasir 65 rb/m3. Selanjutnya pasir yang dihasilkan dari proses penggilingan ini dimanfaatkan penduduk dengan cara diolah menjadi batako dan paving block. Dalam proses pembuatan batako ini biasanya dibutuhkan 5 orang pekerja.

• Sektor Pertanian

Pada bidang pertanian, masyarakat sekitar yang dibantu oleh LSM Bumi Lestari memanfaatkan

Gambar 8. Kepala Desa Kemiren menjelaskan prinsip

kerja Stone Crusher

Sumber :Hasil Observasi

kembali lahan bekas erupsi tahun 1961 untuk dipergunakan kembali sebagai lahan budidaya pertanian dengan menggunakan alat berat berupa

backhoe.

Pembagian lahan didasarkan pada kepemilikan hak atas tanah (letter C) yang dimiliki secara turun temurun. Biaya yang dikeluarkan untuk menata lahan agar bisa dipergunakan sebagai lahan pertanian, seperti sewa dan operasional alat berat ditanggung oleh pemilik lahan.

Sampai saat ini sudah hampir 23 ha lahan bekas penambangan sudah mulai dibuka kembali dalam waktu kurang lebih 3 bulan untuk selanjutnya tinggal pengukuran lahan garapan bagi penduduk Kemiren yang akan memanfaatkannya. Pada saat penelitian lapangan dilakukan tanaman pertanian yang dibudidayakan selain padi adalah tanaman tomat dan cabe. Lahan pertanian ini memang dikhususkan untuk tanaman jangka pendek.

Lokasi pertanian warga ini dilakukan di sekitar sabo dam BA-D1 Kali Batang yang terletak di Dusun Ngablak, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung,

Sumber :Hasil Observasi

Gambar 9. Peta Lokasi pertanian

Sumber :Hasil Observasi

Gambar 10. Jalan akses menuju lokasi Sabo Dam BA-

(8)

Sumber :Hasil Observasi

Kabupaten Magelang, seperti diperlihatkan pada Gambar 9. Dari Gambar 10 terlihat bahwa perkerasan jalan terbuat dari batu yang tersusun rapi. Dari Gambar 11 menunjukkan bahwa lahan bekas penambangan yang ada diolah oleh masyarakat menjadi lahan pertanian sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan dukungan masyarakat dalam menjaga infrastruktur.

• Sektor Lingkungan

Akibat penambangan pasir dan batu dalam jumlah besar di wilayah Desa Kemiren pada tahun-tahun sebelumnya, kawasan hutan Kaliandra yang berfungsi sebagai daerah resapan air tanah dan benteng penghambat ancaman bencana alam dari Gunung Merapi ini mulai dirambah untuk berbagai kepentingan pertanian. Penebangan pohon dan perambahan hutan ini menyebabkan hilangnya vegetasi penutup lahan yang selama ini berfungsi sebagai area resapan air tanah bagi kebutuhan hidup masyarakat Desa Kemiren. Pengelolaan tanah dan cara bertani yang kurang tepat pasca pembukaan hutan juga telah banyak menghilangkan kesuburan tanah di kawasan ini. Untuk itu, pada saat ini Desa Kemiren bekerjasama dengan Bumi Lestari mulai mengembangkan hutan pariwisata yang berfungsi sebagai areal resapan air serta menata areal rekreasi alam outbond dan sarana flying fox.

Masyarakat Kemiren juga membuat Gardu Pandang sebagai upaya adaptasi dalam bentuk mitigasi bencana. Gardu Pandang, seperti terlihat pada Gambar 12, direncanakan akan dilaksanakan pada awal 2009 tapi baru terlaksana pasca erupsi merapi, di awal 2011. Dana pembangunan gardu pandang bersumber dari bantuan Red Cross

Denmark sebesar Rp. 177.000.000,- dalam bentuk

material dan 40 % dari swadaya masyarakat serta desain teknis gardu pandang tersebut merupakan

hasil kerjasama dengan UGM.

Dalam penyusunan proposal kegiatan

keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyampaian aspirasi pada perencanaan gardu pandang. Sedangkan untuk desain dan gambar konstruksi diserahkan kepada Dinas PU Magelang sebagai kontribusi dari Pemda Magelang. Tapi pada pelaksanaan di lapangan gambar desain mengalami revisi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Sejak erupsi merapi ekonomi masyarakat menurun sehingga pembangunan gardu pandang diambil alih oleh Bumi Lestari. Pembangunan gardu pandang untuk sementara berhenti karena terkendala dana. Sementara masyarakat juga mulai mengembangkan hasil wisata lain yaitu wisata kolam pemancingan ikan di dekat Gardu Pandang.

Rumusan Adaptasi Masyarakat

Bencana alam adalah fenomena alam yang apabila dicermati kemunculannya memiliki pola keteraturan, periode ulang tertentu, lokasi yang terdampak dapat diprediksi, bahkan besarnya pun dapat dicatat dengan baik. Kejadian bencana banjir lahar juga merupakan kejadian yang dapat diprediksi. Banjir lahar dipengaruhi kemiringan lereng sungai, material yang tersedia, dan air hujan sebagai pengangkutnya. Curah hujan dapat diprediksi dengan metode statistik, walaupun masih tetap mengandung kesalahan.

Penerapan teknologi sabo oleh pemerintah pusat dimana dilaksanakan oleh BBWS Serayu Opak, berupa pembuatan dam BE-RD3 dan BA-D1, telah dilakukan dengan tujuan untuk mengendalikan bencana banjir lahar. Pemahaman masyarakat tentang potensi bencana, fenomena dan mekanisme kejadian banjir lahar, menjadi landasan adaptasi yang dilakukan. Masyarakat Kemiren menjadi lebih siap dan waspada dengan adanya bencana

Gambar 11. Lahan bekas penambangan yang

dijadikan lahan pertanian

Sumber :Hasil Observasi

(9)

banjir lahar walaupun mereka tinggal didaerah rawan bencana. Setelah terjadi letusan Merapi, sebagai bencana primer, bencana sekunder yang mungkin muncul adalah banjir lahar dingin. Dengan penerapan teknologi sabo maka hal ini telah dapat teratasi. Masyarakat Kemiren mampu hidup berdampingan dengan bencana banjir lahar, dengan cara beradaptasi dengan adanya penerapan teknologi sabo.

Masyarakat Desa Kemiren telah mengambil langkah-langkah adaptasi yang mengacu pada tujuan pembagunan. Adaptasi dalam rangka pengembangan perekonomian didukung dengan berkembangnya aktifitas penambangan. Masyarakat melakukan penarikan retribusi dengan tujuan untuk kemakmuran desa. Masyarakat Kemiren melakukan pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir. Masyarakat memahami jumlah, jarak, dan jangka waktu penambangan. Penambangan pasir dan pengambilan batu yang menyisakan material berupa Bantak oleh masyarakat Kemiren selanjutnya dijadikan split dengan menggunakan alat stone crusher. Hal ini sangat bermanfaat, selain menambah penghasilan masyarakat setempat, juga mengurangi potensi bencana banjir lahar, dikarenakan material banjir yang berkurang.

Kekawatiran penduduk akan bahaya letusan dan banjir lahar, akan berdampak negatif bagi potensi pariwisata daerah. Oleh karena itu, masyarakat Kemiren melalui LPPD Bumi Lestari melakukan adaptasi dalam rangka Pengembangan Wilayah. Pengembangan wilayah dilakukan dengan program

pariwisata seperti flying fox dan gardu pandang. Selain itu masyarakat Kemiren memanfaatkan kembali lahan yang pernah terkena erupsi menjadi lahan pertanian jangka pendek dan juga hutan pariwisata. Diharapkan dengan adanya kegiatan pariwisata ini akan menambah pendapatan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah menyerap lapangan kerja, terutama usia produktif.

Adaptasi masyarakat juga dilakukan dengan menjaga infrastruktur yang ada, termasuk menjaga dam sabo. Hal ini karena masyarakat menyadari adanya bencana banjir lahar yang dimungkinkan melanda daerah mereka. Partisipasi masyarakat dalam menjaga infrastruktur diwujudkan dalam

pengawasan penambangan. Penambangan

senantiasa dijaga supaya tidak merusak dam yang sudah ada serta tetap terjaganya imbangan sedimen antara hulu dan hilir.

Pengelolaan bencana tentunya membutuhkan peran dari banyak pihak. Masyarakat Kemiren beradaptasi dengan membentuk kelompok masyarakat yang bernama LPPD Bumi Lestari. Peran Lembaga Bumi Lestari dalam memberdayakan masyarakat sangat signifikan. LPPD Bumi Lestari menjadi menjadi lembaga sentral dan representatif masyarakat Kemiren dalam pola kerjasama dengan pihak luar, yaitu akademisi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain, dan swasta (pihak penambang). Adapun skema peran LPPD Bumi Lestari disimpulkan dalam Gambar 13.

Gambar 13. Skema kerjasama masyarakat Kemiren dengan pihak luar

(10)

Pada prinsipnya adaptasi masyarakat dilakukan secara multi sektoral, yaitu pertambangan, pertanian, dan lingkungan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, terbukti berhasil. Kekhawatiran bahwa akan terjadi penolakan penduduk setempat ataupun ahli terhadap teknologi sabo yang berdampak buruk pada lingkungan tidak terbukti. Masyarakat desa Kemiren mampu menunjukkan adaptasi positif terhadap penerapan teknologi sabo.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Adapasi bencana banjir lahar berbasis masyarakat melibatkan segala fenomena sumberdaya yang ada, yaitu alam, manusia, dan institusi. Masyarakat Desa Kemiren Kabupaten Magelang melalui lembaga swadaya “Bumi Lestari” telah menunjukkan praktek langkah positif dalam mengelola potensi di daerahnya yaitu dengan meningkatkan nilai manfaat dari deposit material pasir dan batuan vulkanik serta pemanfaatan lahan dengan sistem agro-ekosistemnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

2. Dari hasil pengamatan dan interaksi di lapangan, masyarakat Desa Kemiren sudah cukup memahami ancaman dan resiko bencana yang mungkin dapat terjadi dan menimpa geografis wilayah desa serta masyarakatnya, baik itu resiko ancaman langsung dari erupsi Gunung Merapi maupun pasca erupsi berupa banjir lahar. Sehingga hal ini memotivasi masyarakat setem-pat untuk terus meningkatkan kapasitasnya dalam kesiapsiagaan dan pengelolaan lingkungannya sebagai upaya mitigasi bencana. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Data Monografi, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Kamulyan, B. Dkk,. 2010. Institution Establishment

and Its Role in Sustainable Environmental Management at Mt. Merapi Area. Proceeding

International Workshop on Multimodal Sediment Disasters Triggered by Heavy Rainfall and Earthquake and the Countermeasures. Yogyakarta, Indonesia, March 8-9, 2010. Kirmanto, Djoko. 2011. Keynote Speech, dalam

Seminar Nasional Penanganan Aliran Sedimen,

UGM, Yogyakarta.

Kusumartono, Hermawan, FX. 2012. Adaptasi Masyarakat Menghadapi Krisis Air Studi Kasus Masyarakat Pulau Palue. Jurnal Sosial

Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4 : 79-91.

Legono, D., dkk. 2011. Dampak Aliran Lahar

Terhadap Fenomena Gerusan di Sekitar Bangunan Sungai di Wilayah G.Merapi,

Prosiding Simposium Gunung Merapi, UGM, Yogyakarta.

Lumongga, RI, dkk. 2012. Dampak kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan

Umum Vol.4. p.45-53.

Putri, Ratih R. 2012. Keberteriamaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi,

Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4. p.45-53.

Rahmat, Ali. 2007. Pengelolaan Sedimen Kali Gendol Pasca Erupsi Juni 2006, Tesis. Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA) UGM, Yogyakarta.

Rito, Su, dkk. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut Di Kota Pekalongan didownload dari http:// mppdas.geo.ugm.ac.id/wp-content/uploads/ strategi.pdf

Soewarno, dkk, Perspektif Pengembangan Teknosabo dalam Kegiatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Jurnal Sabo, Vol.2 No 1.

2012. Hal 37-48.

Suparna,L.B. 2009. Diktat kuliah Pemberdayaan Masyarakat, Magister Pengelolaan Bencana Alam, UGM.

Watanabe, Fumito. 2011. Integrated Sediment

Related Disaster Management. UGM,

Yogyakarta

http://www.tourism-mpu.com/data/map_ centraljava.jpg diakses pada 8 November 2012.

Gambar

Gambar 2. Prosentase Usia Produktif (diolah)
Tabel 1. Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar
Gambar 5. Material yang tertampung di Sabo Dam
Gambar 10. Jalan akses menuju lokasi Sabo Dam BA-        D1 Kali Batang
+3

Referensi

Dokumen terkait

RENCANA KELANJUTAN RISET: Bekerja sama lagi dengan UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial (UPT BPPB) LIPI, Cibinong, untuk material alam selain bambu dan terus

Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang praktek hutang piutang pupuk di lingkungan petani tebu di Desa Boto Kecamatan Jaken Kabupaten

A Community Base Approach To Flood Hazard And Vulnerability Asessment In Flood Prone Areas : Case Study In Kelurahan Sewu Surakarta. Joint Program

Mungin (dalam Ambarita, 2006) menyatakan guru profesional memiliki ciri- ciri kepribadian matang, memiliki keterampilanb membangkitkan minat peserta didik, penguasaan

Dalam tahap ini dapat diketahui apakah seorang anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang diduga sebagai ayah biologisnya atau tidak. Hasil pemeriksaan dapat

Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi : jumlah daun, pan- jang daun, lebar daun, tebal daun, bentuk daun, warna daun muda dan daun tua, bentuk permukaan

Untuk mendapatkan bahan penelitian, maka penelitian ini akan dilakukan dengan studi pustaka yang mengkaji bahan hukum. Bahan hukum sebagai bahan penelitian berupa

Bagian ini akan menjelaskan pembacaan kisah penciptaan di Kejadian 1:1-2:4a dari perspektif Yin-Yang untuk kemudian merefleksikannya ke dalam permasalahan yang