• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN KEDELAI TERHADAP ALUMINIUM MELALUI KULTUR IN VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN KEDELAI TERHADAP ALUMINIUM MELALUI KULTUR IN VITRO"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

K

ebutuhan kedelai nasional hingga

kini belum dapat dipenuhi dari

produksi dalam negeri, sehingga impor

kedelai tidak bisa terelakkan. Untuk

produksi kedelai, terutama dengan

memanfaatkan lahan masam yang luasnya

mencapai 101.519 juta hektar di seluruh

Indonesia (Notohadiprawiro 1983).

masaman tanah rendah, keracunan Al,

kekahatan hara seperti N, P, K, Ca, Mg,

dan Mo, serta kekurangaktifan mikroba

tanah. Keracunan Al ditandai dengan

PENINGKATAN KETAHANAN TANAMAN

KEDELAI TERHADAP ALUMINIUM

MELALUI KULTUR IN VITRO

Ika Mariska

1

, E. Sjamsudin

2

, D. Sopandie

2

, S. Hutami

1

, A. Husni

1

, M. Kosmiatin

1

, dan A. Vivi N

1

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,

Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111

2Jurusan Budi Daya Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional adalah dengan melakukan ekstensifikasi penanaman ke lahan marginal, antara lain lahan masam yang tersedia cukup luas di Indonesia. Namun, pertanaman kedelai di lahan masam umumnya menghadapi masalah keracunan Al dan pH rendah, sehingga untuk mengatasinya diperlukan kultivar yang toleran. Sampai saat ini, sumber ketahanan terhadap Al pada kedelai masih terbatas. Metode seleksi

in vitro merupakan suatu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kultivar kedelai yang toleran terhadap Al

dan pH rendah. Sebelum dilakukan seleksi in vitro, metode regenerasi kedelai perlu dikuasai terlebih dahulu. Penelitian pada 10 varietas kedelai menunjukkan adanya perbedaan kemampuan beregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik pada varietas tersebut. Lima varietas memperlihatkan sifat lebih embriogenik dibanding yang lain, yaitu Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, dan Argomulyo. Seleksi in vitro dilakukan pada embriozigotik muda dari tiga varietas, yaitu Wilis, Sindoro, dan Slamet yang telah diradiasi untuk meningkatkan keragaman. Seleksi dilakukan pada taraf Al 0, 100, 200, 300, 400, dan 500 ppm dengan pH media 4. Dari hasil seleksi ini diperoleh 12 tanaman yang diduga toleran. Setelah dilakukan pengujian di kamar kaca, diperoleh dua genotipe yang potensial. Karena keterbatasan dana dan lahan, hanya satu genotipe yang diuji lebih lanjut, yaitu Sindoro Radiasi Al-100. Pengujian di empat lokasi pada empat generasi menunjukkan adanya potensi yang besar untuk mendapatkan galur-galur harapan kedelai yang toleran terhadap Al dan pH rendah.

Kata kunci: Kedelai, keracunan aluminium, pH tanah, kultur in vitro, embriogenesis somatik

ABSTRACT

Increasing aluminum tolerance of soybean plant through in vitro culture

One effort to increase soybean productivity is by using marginal land for soybean plantation. The marginal land that can be used is acid soil, but the problems are Al toxicity and low pH. To cope with these problems, cultivars having tolerance to Al toxicity and low pH are needed. To create this cultivar, a breeder needs a wide range of variance. Because the variance for this character is limited, in vitro selection was used. Before the selection, the regeneration method must be held. The research using 10 soybean cultivars showed that there were different abilities of regeneration through somatic embryogenesis in each cultivar. Five cultivars (Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu, and Argomulyo) were more embryogenic than others. In vitro selection was conducted using young embryozygotic of Wilis, Slamet, and Sindoro that have already been radiated to increase variance. Selection was conducted using Al dosage 0, 100, 200, 300, 400, and 500 ppm and pH 4. From this selection, 12 plants were obtained. After greenhouse testing, two genotypes were considered as potential ones, but because of the limited fund and land only one genotype that was further tested in the field, which was Sindoro radiated Al-100. The result of field testing in four locations and four generations showed that there is a hope to obtain potential lines that can be released as cultivar tolerant to Al and low pH.

(2)

Varietas kedelai yang digunakan petani

umumnya hanya sesuai pada pH tanah

yang cukup tinggi (± 6) dan peka terhadap

kandungan Al yang tinggi. Oleh karena

itu, untuk mengembangkan tanaman

kedelai di lahan masam diperlukan

varietas yang toleran terhadap pH rendah

dan Al tinggi.

Sumber ketahanan terhadap Al pada

kedelai sampai saat ini sangat terbatas,

sehingga perbaikan untuk karakter

tersebut dilakukan melalui metode seleksi

in vitro. Metode ini telah digunakan

untuk meningkatkan sifat resistensi

pada beberapa jenis tanaman, baik

ter-hadap cekaman biotik maupun abiotik

(Stavarek dan Rains 1984; Ahloowalia

1986). Seleksi in vitro untuk meningkatkan

ketahanan sel terhadap Al telah

di-lakukan pada tomat dan kentang (Stavarek

dan Rains 1984) serta sorgum (Smith et

al. 1983). Dalam melakukan seleksi in

vitro diperlukan metode regenerasi

dengan tingkat keberhasilan yang cukup

tinggi.

Tanaman hasil regenerasi, setelah

diseleksi secara in vitro, selanjutnya diuji

di lapangan untuk melihat penampilan

tanaman pada kondisi nyata di lapangan.

Dari beberapa metode penapisan pada

alfalfa, Dali’ Agnol et al. (1996)

menyimpulkan bahwa pengujian di lahan

masam dengan kandungan Al tinggi

merupakan metode yang paling efektif

untuk mendapatkan kultivar toleran. Oleh

karena itu, keturunan dari

tanaman-tanaman hasil seleksi in vitro perlu diuji

di lahan masam pada beberapa generasi

untuk mengetahui ketahanannya di

lapang dan juga segregasinya.

EMBRIOGENESIS SOMATIK

PADA BEBERAPA VARIETAS

KEDELAI

Metode embriogenesis somatik pada

kedelai telah dihasilkan oleh Mariska et

al. (2001a). Dari 10 varietas yang diteliti,

lima varietas (Bromo, Wilis, Tambora, Black

Manchu, dan Argomulyo) menunjukkan

sifat lebih embriogenik dibanding yang

lain. Formulasi media yang efektif dalam

menginduksi regenerasi melalui jalur

embriogenesis somatik juga telah

di-peroleh, yaitu MS + 2,4-D 40 mg/l +

beberapa asam amino.

Jumlah rata-rata embrio somatik

yang terbentuk berkisar antara 0

5,40

(Tabel 1). Jumlah embrio bipolar terbanyak

dihasilkan oleh varietas Wilis yang

dikulturkan pada media MS + 2,4-D 40

mg/l + 3 asam amino, diikuti oleh varietas

Bromo pada perlakuan media MS + 2,4-D

40 mg/l + sukrosa 6% (4,50). Sepuluh

minggu setelah dikulturkan pada media

yang sama, embrio somatik berproliferasi

dengan cepat.

SELEKSI MASSA SEL

EMBRIOGENIK PADA

KONDISI Al BERBEDA

DAN pH RENDAH

Masalah yang sering dihadapi dalam

seleksi in vitro adalah sulit

beregene-rasinya massa sel toleran Al dan pH

rendah. Penelitian regenerasi massa sel

embriogenik setelah diseleksi pada

kondisi Al berbeda dan pH rendah telah

dilakukan di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan

Sumber-daya Genetik Pertanian, Bogor, dengan

menggunakan embriozigotik muda dari

varietas yang dapat beregenerasi melalui

jalur embriogenesis somatik, yaitu Wilis.

Dua varietas yang toleran terhadap

kemasaman tanah, yaitu Sindoro dan

Slamet, digunakan sebagai pembanding

(Sopandie et al. 1996; Jusuf et al. 1999;

Mariska et al. 1999; Mariska et al. 2001b).

Embriozigotik muda diisolasi dari polong

muda 12–20 hari setelah penyerbukan.

Sebelum ditanam, embriozigotik diradiasi

dengan sinar gamma dosis 0 dan 400 rad

untuk meningkatkan keragaman.

Setelah diradiasi, embriozigotik

muda dikulturkan pada media semisolid

MS dengan vitamin B5, dan diperkaya

dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D

konsentrasi tinggi serta dikombinasi

dengan beberapa asam amino, sukrosa,

dan gel rite sebagai pemadat. Metode

yang digunakan untuk induksi kalus

embriogenik mengacu pada hasil

pe-nelitian Mariska et al. (1999).

Seleksi massa sel embriogenik

dilakukan dengan mengkulturkan massa

sel pada media seleksi dengan tahapan

yang berbeda. Seleksi dilakukan pada

media yang sama dengan media induksi

kalus dengan penambahan AlCl

3

.6H

2

O (0,

100, 300, 400, dan 500 ppm) pada pH 4.

Untuk memunculkan sifat toksisitas Al

dan mutan-mutan baru, media MS

dimodifikasi dengan menggunakan

NH

4

NO

3

2.400 mg/l, CaCl

2

.2H

2

O 15 mg/l,

KH

2

PO

4

13 mg/l, dan FeSO

4

.7H

2

O 28 mg/l

yang tidak dikelat oleh EDTA.

Tabel 1. Jumlah rata-rata struktur embrio somatik (globular, torpedo) pada lima varietas kedelai 10 hari setelah

dikulturkan.

Perlakuan

Varietas

Rata-rata Wilis Tambora Bromo Black Argomulyo

Manchu

MS + 2,4-D 40 mg/l + sukrosa 6% 2,40 3 4,50 2,29 1,43 1,19 MS + NAA 10 mg/l + casein hydolisate 2,50 1,50 1,42 1,50 1,25 1,63 1 g/l + asam amino

MS + 2,4-D 40 mg/l + 2 asam amino 3 4 1,25 1,20 2,75 2,44 MS + 2,4-D 40 mg/l + 3 asam amino 5,40 4,33 2 1,75 2,33 3,16 MS + 2,4-D 40 mg/l + sukrosa 6% 1,25 2,50 2,20 0 0 2,72 Rata-rata 2,90 3,07 2,27 1,35 1,55 2,23 Sumber: Mariska et al. (2001a).

(3)

Benih somatik yang berhasil

di-regenerasikan dari sel yang toleran Al dan

pH rendah kemudian diaklimatisasi atau

diperbanyak secara in vitro untuk

kegiatan selanjutnya. Tahapan seleksi

sampai pengujian benih somatik yang

berasal dari seleksi in vitro dapat dilihat

pada Gambar 1.

Jumlah benih somatik pada media

perkecambahan setelah diseleksi dengan

Al dan pH rendah berbeda untuk setiap

varietas, karena tidak semua struktur

torpedo dapat berkembang membentuk

benih somatik (Tabel 2). Meningkatnya

konsentrasi Al akan menurunkan jumlah

benih somatik. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian seleksi in vitro pada padi (Van

Sin Jan et al. 1997) yang menunjukkan

penurunan kemampuan beregenerasi

melalui jalur embriogenesis somatik

sejalan dengan meningkatnya konsentrasi

Al. Varietas Wilis yang diradiasi tetap

dapat menghasilkan benih somatik paling

banyak (72) dibanding varietas lainnya.

Pada varietas Sindoro dan Slamet, jumlah

embrio somatik cenderung menurun

setelah diradiasi, sedangkan pada Wilis

embrio somatik terbentuk lebih banyak

setelah diradiasi daripada kontrol.

Penampilan embrio somatik dewasa dari

ketiga varietas tersebut dapat dilihat pada

Gambar 2.

Dari hasil seleksi in vitro diperoleh

39 benih somatik yang telah diaklimatisasi

(Tabel 3). Dari penampakan visual biakan

terlihat bahwa benih somatik Slamet tidak

tumbuh secara normal, sehingga untuk

varietas Slamet belum ada benih somatik

yang dapat diaklimatisasi. Dari 39 benih

somatik tersebut, hanya 12 yang dapat

tumbuh sampai berproduksi, sedangkan

sisanya mati sebelum berbunga.

Berdasarkan hasil penelitian, masalah

yang ditemukan dalam regenerasi melalui

jalur embriogenesis somatik pada

tanam-an kedelai adalah pembentuktanam-an benih

somatik yang tidak normal dan

ke-berhasilan yang rendah dalam tahap

aklimatisasi. Semua tanaman yang tumbuh

di rumah kaca menunjukkan keragaman

yang tinggi baik pada fase vegetatif

maupun generatif. Biji yang dihasilkan

dari 12 tanaman tersebut perlu diuji kembali

pada lahan masam. Penampilan tanaman

hasil aklimatisasi dapat dilihat pada

Gambar 3.

PENGUJIAN DI LAHAN

MASAM

Biji kedelai yang dihasilkan oleh tanaman

hasil seleksi in vitro kemudian ditanam di

kamar kaca dengan menggunakan tanah

masam yang diambil dari Gajrug, Banten

Tabel 2. Jumlah benih somatik kedelai pada media perkecambahan setelah

diseleksi dengan Al dan pH rendah.

Varietas/radiasi Jumlah benih somatik pada media seleksi Al (ppm) Jumlah 0 100 200 300 400 500 Wilis 0 rad 3 3 4 3 1 2 1 6 400 rad 2 3 1 2 1 4 4 8 1 1 7 2 Sindoro 0 rad 4 7 9 2 0 2 2 4 400 rad 6 1 0 0 0 2 0 1 8 Slamet 0 rad 1 0 9 3 3 2 4 3 1 400 rad 1 0 1 0 1 2 0 0 2 3 Sumber: Mariska et al. (2002).

Regenerasi Eksplan

Kalus

embriogenik Kalus embriosomatikhasil seleksi

Produksi kalus

Seleksi

tahap I Pendewasaan Perkecambahan Aklimatisasi tahap ISeleksi Produksibiji Tanaman

hasil seleksi Biji Benih

somatik

1 bulan

pada

media induksi kalus = MI

1,50 bulan pada media seleksi MI + A1 1 bulan pada media MI 1,50 bulan pada

media regenerasi MII 1,50 bulan

pada media seleksi 1 bulan pada media cair 2 − 3 bulan pada media tanah

(4)

Gambar 2.

Embriosomatik dewasa kedelai pada media perkecambahan setelah

diseleksi dengan Al-100 ppm (Sindoro dan Slamet) serta Al-500 ppm

(Wilis).

Gambar 3.

Penampilan tanaman kedelai hasil aklimatisasi, (A) Wilis radiasi

Al-500 dan (B) Sindoro radiasi Al-100.

(Mariska 2002a). Pengujian dibagi menjadi

dua seri karena keterbatasan biaya dan

tenaga. Pada seri pertama diuji tiga

genotipe, yaitu Wilis radiasi Al-300 (A),

Sindoro radiasi Al-100 (H), dan Sindoro

radiasi pH 4 (I). Ketiga genotipe ini dipilih

karena ketiganya memiliki jumlah polong

yang cukup banyak (< 30 buah) dan hanya

sedikit menghasilkan polong berbiji satu.

Pada percobaan seri pertama digunakan

tanah yang memiliki pH 4,80, Aldd 11,57

me, dan kejenuhan Al 57%. Pada seri kedua

ditanam sembilan genotipe yang tersisa.

Tanah yang digunakan pada seri kedua

memiliki pH 4,32, Aldd 13,32 me, dan

kejenuhan Al 81% (Mariska 2002b).

Dari hasil pengujian di rumah kaca

terpilih genotipe Sindoro radiasi Al-100 (H)

pada pengujian seri pertama dan Wilis

radiasi Al-500 (E) pada pengujian seri

kedua. Pemilihan kedua genotipe tersebut

didasarkan pada penampilan visual dan

potensi hasil yang lebih baik dibanding

varietas asalnya, yaitu Sindoro dan Wilis.

Karena keterbatasan dana dan lahan,

hanya genotipe Sindoro radiasi Al-100 (H)

Tabel 3. Aklimatisasi benih somatik kedelai dan produksi polong dari nomor-nomor baru hasil seleksi in vitro.

Varietas Perlakuan1 Jumlah benih

Jumlah benih

Jumlah polong

Visual tanaman somatik yang somatik yang (berbiji 3, 2, 1, 0)

diaklimatisasi berproduksihidup dan

Wilis Kontrol 1 0 0 Mati sebelum berbunga Al-100 ppm 1 0 0 Mati sebelum berbunga Al-200 ppm 3 0 0 Mati sebelum berbunga

Al-300 ppm 1 1 2(-,1,1,-) Pendek (< 30 cm), polong kurang sekali Al-400 ppm 1 0 0 Mati sebelum berbunga

Al-500 ppm 1 0 0 Mati sebelum berbunga Rad pH 4 3 0 0 Mati sebelum berbunga Rad Al-100 3 0 0 Mati sebelum berbunga

Rad Al-200 3 1 24(-,18,1,5) Pendek (< 30 cm), polong kurang lebat Rad Al-300 2 2 72(22,45,5,0)

30(7,18,4,1) Tinggi (< 50 cm), polong lebat Rad Al-400 4 1 43(8,24,10,1) Pendek (< 30 cm), polong agak lebat Rad Al-500 2 2 20(3,9,6,2)

3(-,3,-,0) Pendek (< 30 cm), polong kurang lebat Sindoro Kontrol 2 0 0 Mati sebelum berbunga

Al-100 ppm 1 0 0 Mati sebelum berbunga

Rad pH 4 5 1 86(16,55,8,7) Sedang (31−50 cm), polong lebat Rad Al-100 1 1 65(9,38,16,2) Pendek (< 30 cm), polong lebat Rad Al-300 2 2 82(2,12,64,4) Sangat pendek (< 15 cm), polong sangat

31(3,19,5,4) lebat

Rad Al-400 3 1 35(2,11,16,6) Sedang (31−50 cm), polong kurang lebat Jumlah 3 9 1 2 493 (72,253,136,32)

1Al = diseleksi dengan AlCl

3.6H2O; Rad pH 4 = radiasi 400 rad dengan media seleksi pH 4; Rad = radiasi sinar gamma 400 rad; Rad Al = radiasi 400 rad dengan media seleksi pH 4 dan AlCl3.6H2O.

(5)

yang diuji kembali di lapang. Genotipe

ini lebih berpotensi dibanding Wilis

radiasi Al-500 (E) karena jumlah

polong-nya relatif bapolong-nyak sejak generasi pertama.

Pengujian dilakukan di Gajrug, Banten

pada tanah dengan pH 4,60, Aldd 12,60

me, dan kejenuhan Al 45,90%. Dari

pertanaman ini terdapat lima nomor yang

tidak ditanam kembali karena jumlah

polongnya jauh di bawah Sindoro sebagai

pembanding.

Kondisi pertanaman di lahan masam

ini sangat beragam karena kondisi tanah

yang tidak homogen. Pada tanah yang

berwarna hitam, kondisi tanaman relatif

baik karena pH tanah lebih tinggi (4,93)

dan kejenuhan Al rendah (16,19).

Keragaman pertanaman di Gajrug terlihat

dari nilai ragam Sindoro yang cukup besar

(1,70 ± 1,20). Mengingat keragaman yang

besar di lahan masam Gajrug, penanaman

generasi keempat dilakukan di dua lokasi,

yaitu di Gajrug dan di Bogor. Lahan di

Bogor memiliki pH 4,78, Aldd 1,49 me, dan

kejenuhan Al 7,69%.

Penampilan tanaman di Bogor

ter-lihat lebih baik dibandingkan di Gajrug

(Gambar 4). Dari hasil pengujian di empat

lokasi pada tiga generasi terlihat ada

beberapa nomor yang memiliki

ketahan-an dketahan-an daya hasil yketahan-ang lebih tinggi

dibanding Sindoro sebagai kontrol

(Tabel 4). Hal ini berarti terdapat potensi

yang cukup besar untuk mendapatkan

galur-galur harapan kedelai yang toleran

terhadap Al dan pH rendah.

Pada pertanaman generasi keempat

di Gajrug diperoleh tiga tanaman yang

lebih tinggi dibanding Sindoro (Tabel

5). Ketiga tanaman ini berasal dari satu

nomor dan diduga merupakan hasil

Gambar 4. Penampilan tanaman kedelai toleran Al di dua lokasi, (A) Gajrug

generasi ke-3; (B) Gajrug generasi ke-4; dan (C) Bogor generasi ke-4.

Tabel 4. Pengurutan jumlah polong kedelai di tiga lokasi penanaman pada tiga generasi.

Genotipe G2 Genotipe G3 Genotipe G4 Genotipe G4 H2-11N 112 H2-10 19,50 H2-13 55,50 H2-22 9,20 H2-34N 111 H3-7 19,20 H2-21 46,60 H2-5 8,40 H2-6N 106 H1-1 18,50 H2-13 4 6 H2-11N 7,90 H2-22N 9 8 H2-8N 1 7 H2-18 44,70 H1-13 7,60 H2-29N 9 5 H1-5 1 6 H2-23 44,10 H1-5 7,40 H2-12N 9 3 H1-15 15,50 H2-9 43,40 H2-3 6,70 Sindoro N 87,40 H1-3 14,90 H2-35 4 2 H2-25 6,60 H2-25N 8 1 H2-3 12,30 H2-5 41,90 H1-1 6,30 H2-10N 7 8 H2-7 11,60 H2-14N 41,90 H2-1 5,80 H2-9N 7 5 H2-17 11,30 H2-22 41,40 H2-26N 5,80 H3-9 6 5 H2-29N 1 1 H2-37 4 1 H2-10 5,70 H2-14N 5 9 H2-18 10,60 H2-5 40,80 H2-36 5,50 H2-21 5 7 H2-38N 10,40 H2-34N 40,50 H2-23N 5,40 H2-8N 5 7 H2-11 9,90 H2-12N 39,30 H2-9N 5,30 H2-15N 5 1 H2-23N 9,60 H3-6 39,10 H2-29N 5,30 H2-20 5 0 H2-26 9,50 H1-13 39,10 H2-22N 5 H2-23N 5 0 H2-26N 9,50 H2-4 38,50 H2-3 4,90 H3-9 5 0 H2-12 9,40 H2-1 38,50 H2-18 4,80 H2-35 4 9 H2-3 8,50 H2-36 38,20 H2-8N 4,60 H2-13N 4 9 H2-28 8,30 H2-8 3 8 Sindoro 4,60 H2-38N 4 8 H2-38N 8,30 H3-9 37,30 H1-3 4,20 H3-6 4 8 H2-15 8,20 H2-26 36,50 H2-14 3,80 H2-17 4 6 H3-2 8,20 H2-12 36,30 H3-7 3,80 H2-10N 4 5 H2-14 8,10 H2-28 3 6 H2-28 3,70 H2-31 4 5 H2-36 8 H2-17 35,20 H2-27N 3,60 H2-18 4 4 H2-21 7,90 H2-6N 35,10 H2-38N 2,40 H2-1 4 3 H2-22N 7,80 H2-23N 34,90 H2-15 2,30 H2-14 4 3 H2-27 7,70 H3-2 34,90 H2-12 2,20 H2-5 4 3 H1-4 7,60 H2-32 34,70 H2-7 2,10 H2-13 4 3 H2-13 7,60 H2-15N 34,60 H2-26N 2 H2-30 4 2 H3-9 7,60 H1-4 34,50 H2-38 1,60 H2-37 4 2 H3-9 7,60 H2-34 34,10 H2-6N 1,40

(6)

segregasi. Oleh karena itu, ketiga tanaman

tersebut digalurkan dan dijadikan nomor

tersendiri. Penampilan polong tanaman

terpilih dibandingkan dengan Sindoro

dapat dilihat pada Gambar 5.

KESIMPULAN

Metode regenerasi beberapa varietas

kedelai telah dapat dikuasai. Terdapat

perbedaan kemampuan beregenerasi

melalui jalur embriogenesis somatik pada

Tabel 4. lanjutan

Genotipe G2 Genotipe G3 Genotipe G4 Genotipe G4 H1-16 4 1 H1-11 7,20 H2-3 33,60 H2-20N 0,70 H2-3 4 1 H2-15N 7,20 H1-16 33,40 H2-7 4 1 H2-16 7,20 H2-27 33,30 H2-22 4 0 H2-25 7,10 H3-8 3 3 H2-5 4 0 H2-5 6,50 H2-14 3 3 H2-3 3 9 H2-5 6,30 H2-13N 32,90 H2-35 3 9 H2-9 6,30 H2-3 32,90 H3-3 3 9 H2-6N 6 H2-29N 32,90 H1-13 3 8 H1-13 5,80 H2-24 32,80 H2-32 3 8 H2-11N 5,70 H2-11N 32,70 H1-11 3 7 H2-23N 5,70 H2-20 32,70 H2-16 3 7 H2-4 5,60 H2-22N 32,30 H2-18 3 7 H2-9N 5,60 Sindoro 31,90 H2-9N 3 7 H1-16 5,20 H1-15 31,70 H3-4 3 7 H2-34N 5,20 H2-18 31,60 H1-4 3 6 H2-21 5,10 H2-31 31,50 H2-26N 3 6 H2-35 5,10 H2-10N 31,40 H2-27 3 6 H2-6N 5,10 H2-25N 30,90 Sindoro 35,70 H3-6 5,10 H2-10 30,80 H1-3 3 5 H2-37 5 H3-9 30,80 H1-5 3 5 H2-34 4,90 H1-5 30,30 H2-34 3 5 H2-24 4,60 H2-21 29,20 H2-26N 3 4 H3-8 4,50 H2-6 2 9 H2-23 3 3 H2-25N 4,40 H3-4 28,90 H2-28 3 3 H3-9 4,30 H2-16 28,80 H2-11 3 2 H2-13 4,10 H1-3 28,70 H2-13 3 2 H2-12N 4 H3-3 28,70 H1-1 3 1 H2-32 4 H2-7 27,70 H2-12 3 1 H2-8 3,90 H2-15 27,60 H2-21 3 1 H2-35 3,80 H2-25 27,40 H2-25 3 1 H3-4 3,70 H3-9 26,90 H2-15 3 0 H2-10N 3,50 H1-11 26,60 H2-36 3 0 H2-14N 3,50 H2-38N 26,20 H2-6 3 0 H2-18 3,50 H2-26N 26,10 H3-8 2 9 H2-30 3,50 H2-38 25,10 H2-24 2 8 H2-30 3,10 H3-7 24,20 H1-15 2 7 H2-1 3 H2-8N 24,10 H3-7 2 7 H2-31 3 H2-11 21,60 H2-4 2 5 H2-13N 3 H2-35 19,70 H2-8 2 3 Sindoro 1,70 H2-30 17,80 H2-38 1 1

G2 = kamar kaca (pH 4,80; Aldd 11,57 me; kejenuhan Al 57%); G3 = Gajrug 1 (pH 4,67; Aldd 16,02 me; kejenuhan Al 45,98%); G4 = Bogor (pH 4,78; Aldd 1,49 me; kejenuhan Al 7,69%); G4 = Gajrug 2 (pH 4,67; Aldd 16,02 me; kejenuhan Al 45,98%).

Untuk G2, kode N menunjukkan bahwa nomor tersebut ditanam di tanah normal (Aldd = 0).

Data G2 merupakan data jumlah polong individu, sedangkan data G3 dan G4 merupakan data jumlah polong rata-rata. Sumber: Mariska (2002c).

Tabel 5. Parameter pertumbuhan tanaman kedelai pilihan generasi keempat

di Gajrug (Aldd 16,02 me, kejenuhan Al 45,98%, pH 4,67), Banten.

Tanaman pilihan Parameter I II III Sindoro 1 Tinggi tanaman (cm) 1 8 1 6 2 2 23/15,60 Polong total 3 7 2 8 5 4 30/6,60 Polong isi 3 5 2 2 5 4 19/4,60 Polong hampa 2 4 0 30/2,70 Keempat tanaman ini berasal dari H2-18.

1Data Sindoro merupakan nilai maksimum/nilai rata-rata dari 190 tanaman contoh. Sumber: Mariska (2002c).

(7)

10 varietas yang diuji. Dari 10 varietas

tersebut, lima varietas bersifat lebih

embriogenik dibanding yang lain, yaitu

Bromo, Wilis, Tambora, Black Manchu,

dan Argomulyo.

Seleksi in vitro dapat digunakan

untuk meningkatkan ketahanan tanaman

kedelai terhadap cekaman Al dan pH

rendah. Pengujian di lapang

menghasil-kan beberapa nomor yang memiliki

ketahanan yang lebih baik terhadap Al

dan pH rendah dibandingkan varietas

yang toleran. Diharapkan nomor-nomor

harapan baru kedelai toleran Al dapat

diperoleh sehingga dapat meningkatkan

produksi kedelai nasional.

Gambar 5.

Polong tanaman kedelai toleran Al generasi keempat (A dan B)

dibandingkan dengan Sindoro sebagai kontrol (C).

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia, B.S. 1986. Limitation to the use of somaclonal variation in crop improvement. p. 15−27. In J. Semal (Ed.). Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publ., Dordrecht.

Dali’Agnol, M., J.H. Bouston, and W.A. Parrot. 1996. Screening methods develop alfalfa germplasm tolerant of acid, aluminium toxic soils. Crop Sci. 44(4): 64−70.

Jusuf, M., D. Sopandie, and Suharsono. 1999. Molecular biology of soybean tolerance to aluminium stress. Graduate Team Research, URGE. DHGE.

Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, dan Y. Supriyati. 1999. Regenerasi dan seleksi in vitro untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap aluminium pada ta-naman kedelai. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2000. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni,

W.H. Adil, and Y. Supriati. 2001a. Somatic embryogenesis in different soybean varie-ties. In N. Sunarlim, M. Machmud, W.H. Adil, F. Salim, and I.A. Orbani (Eds.). Proceedings of Workshop on Soybean Biotechnology for Aluminum Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Central Research Institute for Food Crops, Bogor.

Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan W.H. Adil. 2001b. Regenerasi massa sel embrio-genik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 20: 1−3.

Mariska, I., S. Hutami, dan M. Kosmiatin. 2002. Peningkatan toleransi terhadap aluminium dan pH rendah pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Dalam N. Hilmy, M. Ismachin, F. Suhadi, E.L. Pattiradjawane, S. Sutrisno, M. Utama, Wandowo, M. Sumatra, Mugiono, E. Suwadji, S. Yatim, Ishak, N.D. Leswara, dan K. Idris (Ed.) Risalah Per-temuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. BATAN, Jakarta.

Mariska, I. 2002a. Peningkatan ketahanan terhadap aluminium pada pertanaman kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Kemajuan RUT VIII.1. Tahap I. Kementeri-an Riset dKementeri-an Teknologi dKementeri-an LIPI, Jakarta. Mariska, I. 2002b. Peningkatan ketahanan

terhadap aluminium pada pertanaman kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Kemajuan RUT VIII.1. Tahap II. Ke-menterian Riset dan Teknologi dan LIPI, Jakarta.

Mariska, I. 2002c. Peningkatan ketahanan terhadap aluminium pada pertanaman

kedelai melalui kultur in vitro. Laporan Riset Unggulan Terpadu RUT VIII.1. Kementerian Riset dan Teknologi dan LIPI, Jakarta. Notohadiprawiro, T. 1983. Persoalan tanah

masam dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Buletin Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada 18: 44−47. Smith, R.H., S. Bhaskaran, and K. Scherz. 1983.

Sorghum plant regeneration from aluminum selection media. Plant Cell Rep. 2: 129−

132.

Sopandie, D., M. Jusuf, Supriyatno, dan Hanum. 1996. Fisiologi dan genetik daya adaptasi kedelai terhadap cekaman kekeringan, pH rendah dan aluminium tinggi. Laporan Akhir RUT. Dewan Riset Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.

Stavarek, S.J. and D.W. Rains. 1984. The development of tolerance cells to mineral stress. Hort. Sci. 19: 377−382.

Van Sin Jan, V., C.C. de Macedo, J.M. Kinet, and J. Bouharmont. 1997. Selection of Al-resistant plants from a sensitive rice cultivar, using somaclonal variation, in vitro and hydroponic culture. Euphytica 97: 303−

Gambar

Tabel 1. Jumlah rata-rata struktur embrio somatik (globular, torpedo) pada lima varietas kedelai 10 hari setelah dikulturkan.
Tabel 2. Jumlah benih somatik kedelai pada media perkecambahan setelah diseleksi  dengan Al dan pH rendah.
Tabel 3.   Aklimatisasi benih somatik kedelai dan produksi polong dari nomor-nomor baru hasil seleksi in vitro.
Tabel 4. Pengurutan jumlah polong kedelai di tiga lokasi penanaman pada tiga generasi.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Karya Tulis Ilmiah ini dengan

• Penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai dari APBD... Peraturan Bupati Kebumen Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Kewenangan Desa Berdasarkan Hak

 Saling tukar informasi tentang : proses perubahan social {Disorganisasi (Disintegrasi) dan Reorganisasi (Reintegrasi serta Arah Perubahan (Directing of Change)} dengan

You can easily change the formatting of selected text in On the Insert tab, the galleries include items that are designed to coordinate with the overall look of your document.. You

Fenomena yang ditemukan dari hasil wawancara oleh salah satu remaja panti berinisial M yang tinggal di yayasan ini mengaku bahwa sebenarnya ia tidak ingin tinggal di panti asuhan

Apabila mengetahui dan mengakui bahawa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah s.w.t maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi

Main Kitchen yaitu 1) senantiasa dalam keadaan bersih, 2) mempunyai cukup persedian air bersih untuk mencuci bahan makanan dan memasak, 3) memiliki tempat sampah

Penulis menyadari bahwa Puji syukur alhamdulilah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan