• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Agama dalam Konstelasi Global pada Daerah Terpencil di Jawa Tengah (Studi Menakar Pendidikan Agama di Daerah Terpencil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendidikan Agama dalam Konstelasi Global pada Daerah Terpencil di Jawa Tengah (Studi Menakar Pendidikan Agama di Daerah Terpencil"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

NEGARA MELAYANI AGAMA DAN KEPERCAYAAN

(Konstruksi “Agama” dan Pelayanan Negara Terhadap Umat Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang All RIghts Reserved

Penulis: Mulyani Mudis Taruna

Editor: Mustofa Asrori Desain Cover & Layout:

Sugeng

Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS

Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688

Fax: 021-3920688

Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan: Pertama, November 2018 ISBN : 978-979-797-379-7

(3)

Kata Pengantar

Buku tentang Pendidikan Agama dalam Konstelasi Global pada Daerah Terpencil di Jawa Tengah merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Pendidikan Balai Litbang Agama Semarang. Buku ini pada awalnya akan mengkaji secara lebih mendetail terkait dengan bagaimana model pelaksanaan pendidikan Agama Islam pada madrasah/sekolah pada tingkat wajar 9 tahun di daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh Roda 4 maupun roda 2. Bahkan untuk menjangkau daerah tersebut dilakukan dengan jalan kaki. Dalam perspektif kondisi sekarang yang sudah berada di era global nampaknya hal itu tidak terjadi, apalagi untuk dunia pendidikan formal yang secara anggaran Pemerintah mengalami kenaikan yang signifikan.

Realitas ! itulah faktanya di Jawa Tengah masih terdapat

beberapa madrasah/sekolah yang berada dalam kondisi geografis yang sulit terjangkau, bahkan tidak sedikit peserta didik harus menyeberang sungai dan jalan kaki untuk memperoleh pendidikan yang layak. Binatang babi hutan di MI Hidayatul Mubtadiin Kec. Tonjong Brebes sering “menghadang” guru maupun peserta didik yang harus melewatinya.

Fakta ! itulah yang perlu terus dikaji agar anak bangsa yang

berada di wilayah yang kurang menguntungkan secara georgrafis juga kurang menguntungkan dari aspek pembelajaran, baik tenaga pendidikan dan kependidikan yang kompeten maupun sarana dan prasarana yang minim. Mereka semua anak bangsa yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak di era global.

(4)

Hasil Penelitian yang telah menjadi buku ini secara substansial adalah untuk menakar seberapa profesional pelaksanaan Pendidikan Agama yang terjadi pada lembaga pendidikan formal yang berada di daerah terpencil. Ukuran kualitatif yang menjadi dasar dalam kajian ini diharapkan dapat menggambarkan secara komprehensif sehingga dapat dijadikan bahan untuk merumuskan sebuah kebijakan.

Apabila melihat hasil kajian nampak bahwa

1. masih terdapat satuan pendidikan yang menerapkan kurikulum dan pembelajaran melebihi dari yang ditetapkan Pemerintah seperti menambah materi/bahan ajar hafalan Asmaul Husna, Surat Yasin, hafalan surat pendek, hafal juz 30 setelah lulus, dan mampu membaca tafsir atau kitab kuning.

2. Masih terdapat satuan Pendidikan yang menerapkan kurikulum 2013 akan tetapi dalam penilaian masih menggunakan model kurikulum 2006.

3. Masih terdapat peran masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan Agama (PA) pada madrasah/sekolah dengan berbagai variasi, seperti pemberian fasilitas cuma-cuma, meminjamkan ruang di rumah pribadi untuk PBM PA. 4. Masih terdapat peran Pemerintah dalam penyelenggaraan

PA seperti memberikan pendampingan imlementasi PAI K-13 dan mengkontrol penyelenggaraan PA dari penyusun silabus.

5. Masih terdapat faktor penghambat dalam penyelenggaraan PA terutama pada sarana dan prasarana pem belajaran dan pendampingan kurikulum K-13.

(5)

Hasil Penelitian yang telah menjadi buku ini secara substansial adalah untuk menakar seberapa profesional pelaksanaan Pendidikan Agama yang terjadi pada lembaga pendidikan formal yang berada di daerah terpencil. Ukuran kualitatif yang menjadi dasar dalam kajian ini diharapkan dapat menggambarkan secara komprehensif sehingga dapat dijadikan bahan untuk merumuskan sebuah kebijakan.

Apabila melihat hasil kajian nampak bahwa

1. masih terdapat satuan pendidikan yang menerapkan kurikulum dan pembelajaran melebihi dari yang ditetapkan Pemerintah seperti menambah materi/bahan ajar hafalan Asmaul Husna, Surat Yasin, hafalan surat pendek, hafal juz 30 setelah lulus, dan mampu membaca tafsir atau kitab kuning.

2. Masih terdapat satuan Pendidikan yang menerapkan kurikulum 2013 akan tetapi dalam penilaian masih menggunakan model kurikulum 2006.

3. Masih terdapat peran masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan Agama (PA) pada madrasah/sekolah dengan berbagai variasi, seperti pemberian fasilitas cuma-cuma, meminjamkan ruang di rumah pribadi untuk PBM PA. 4. Masih terdapat peran Pemerintah dalam penyelenggaraan

PA seperti memberikan pendampingan imlementasi PAI K-13 dan mengkontrol penyelenggaraan PA dari penyusun silabus.

5. Masih terdapat faktor penghambat dalam penyelenggaraan PA terutama pada sarana dan prasarana pem belajaran dan pendampingan kurikulum K-13.

Semarang, 12 April 2018

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi... v

Bab 1 Mencari Format Pendidikan Agama ... 1

Bab 2 Pendidikan Agama dalam Kajian Teoritis ... 9

Mengapa Kurikulum Perlu Standar Nasional ... 14

Guru; Riwayatmu di Daerah Terpencil ... 17

Bahan ajar; Bagian dari mata pelajaran ... 19

Sarana dan prasarana pembelajaran ... 20

Bab 3 Kajian Praktis Pendidikan Agama pada Lembaga Pendidikan ... 25

Kajian Praktis Pendidikan Agama;Sebuah Teknik Analisis Data ... 29

Kajian Praktis Pendidikan Agama dalam Kajian Pustaka ... 31

Bab 4 Pendidikan Agama Antara Idealita Dan Realita Pada Daerah Terpencil ... 33

Madrasah Ibtidaiyah Annajmiyah Kec. Bojong Kab. Tegal . 34 Madrasah Hidayatul Mubtadiin Kec. Tonjong Kab. Brebes 50 Madrasah Al Hidayah Ngaren, Kec. Juwangi, Kab. Boyolali ... 57

Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Kec. Juwiring Kab. Klaten .... 64

(6)

Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif NU 1 Cilangkap

Kec. Gumelar Kab. Banyumas ... 71

Sekolah Dasar Negeri 1 Cilangkap Kec. Gumelar Kab. Banyumas ... 72

Madrasah Ibtidaiyah Al Anwar 01 desa Tempur Kec. Keling Kab. Jepara ... 74

Madrasah Ibtidaiyah Al Anwar 02 Duplak Kec. Keling Kab. Jepara ... 75

Madrasah Tsanawiyah An Nawawi 04 Donorejo Kec. Kaligesing Kab. Puworejo ... 76

Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Wonolelo Kec. Sawangan Kab. Magelang ... 80

Bab 5 Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Daerah Terpencil ... 83

Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 104

Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 107

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 110

Bab 6 Model Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Daerah Terpencil ... 119

Standar Kompetensi Lulusan ... 119

Standar Isi/Kurikulum Pendidikan Agama Islam ... 120

Standar Proses dan Standar Penilaian ... 121

(7)

Standar Sarana dan Prasarana ... 123

Standar Pengelolaan ... 124

Standar Pembiayaan Pendidikan ... 124

Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 126

Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 127

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 128

Bab 7 Simpulan ... 133

Model Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Daerah Terpencil ... 133

Model Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 134

Model Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 134

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 134

Saran ... 135

Daftar Pustaka ... 137

Lampiran Hasil Desiminasi ... 141

INDEKS ... 151

Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif NU 1 Cilangkap Kec. Gumelar Kab. Banyumas ... 71

Sekolah Dasar Negeri 1 Cilangkap Kec. Gumelar Kab. Banyumas ... 72

Madrasah Ibtidaiyah Al Anwar 01 desa Tempur Kec. Keling Kab. Jepara ... 74

Madrasah Ibtidaiyah Al Anwar 02 Duplak Kec. Keling Kab. Jepara ... 75

Madrasah Tsanawiyah An Nawawi 04 Donorejo Kec. Kaligesing Kab. Puworejo ... 76

Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Wonolelo Kec. Sawangan Kab. Magelang ... 80

Bab 5 Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Daerah Terpencil ... 83

Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 104

Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 107

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Agama ... 110

Bab 6 Model Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Daerah Terpencil ... 119

Standar Kompetensi Lulusan ... 119

Standar Isi/Kurikulum Pendidikan Agama Islam ... 120

Standar Proses dan Standar Penilaian ... 121

(8)
(9)

Bab 1

Mencari Format Pendidikan Agama

Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk cukup besar dan terbagi dalam beberapa segmentasi, baik ekonomi, pendidikan maupun kondisi geografis dan demografis. Dari aspek ekonomi, kondisi masyarakat didaerah kota, desa dan pinggiran atau terpencil akan berbeda dalam tingkat pendapatan dan pengeluaran. Dari aspek pendidikan, kepedulian masyarakat terhadap pendidikan cukup beragam, yaitu terdapat masyarakat yang peduli dengan pendidikan dan terdapat masyarakat yang kurang peduli terhadap pendidikan, meskipun kesadaran pentingnya pendidikan sudah mulai ada perkembangan yang baik. Begitu juga dari aspek kewilayahan, bahwa antara yang berada di daerah perkotaan, pedesaan, pinggiran dan terpencil atau terisolasi memiliki perbedaan paradigma dalam mensikapi dunia ekonomi dan dunia pendidikan.

Secara umum segmentasi diatas (ekonomi, pendidikan, dan kondisi geografis dan demografis) memiliki pengaruh terhadap pola pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sebagai salah satu contoh, bahwa pada masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah memiliki kecenderungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan efek kausalitasnya adalah SDM dengan kapasitas dan kapabilitas untuk pengembangan pendidikan juga sedikit. Hal ini diperparah oleh kondisi kewilayahan yang berada di daerah terpencil dari Kabupaten maupun kota Kecamatan bahkan jauh dari keramaian desa.

BAB

I

MENCARI FORMAT

PENDIDIKAN AGAMA

(10)

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan merebaknya teknologi informasi serta terjadinya interaksi masyarakat desa dan kota memunculkan kesadaran masyarakat untuk membangun peradaban baru melalui lembaga pendidikan. Hal ini berlaku pada masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah serta pada masyarakat yang berada di wilayah pedesaan atau masyarakat yang berada di daerah terpencil.

Kesadaran masyarakat untuk menyelenggarakan lembaga pendidikan formal menunjukan adanya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lembaga pendidikan formal untuk meningkatkan sumber daya manusia. Dan kesadaran ini muncul biasanya setelah terdapat tokoh masyarakat (tokoh agama) yang kembali ke dusunnya setelah menimba ilmu di luar desa. Di berbagai daerah terpencil di Jawa Tengah, pendirian lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) diawali oleh ide dari anggota masyarakat yang kembali setelah menimba ilmu di pondok pesantren maupun di Perguruan Tinggi Islam di berbagai daerah.

Perkembangan lembaga pendidikan formal (MI) pada awalnya berjalan apa adanya, namun demikian dengan berjalannya waktu mulai tumbuh dengan melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran. Begitu juga tenaga pendidik dan kependidikan mulai diperhatikan, yaitu dengan menempatkan sesuai dengan kompetensinya. Bagi tenaga pendidik yang belum memiliki legalitas ijazah setingkat Sarjana S.1 diusahakan untuk melanjutkan pendidikan S.1. dan bagi yang sudah memiliki gelar sarjana diupayakan untuk mengikuti pendidikan profesi sebagai guru.

Usaha manajemen MI untuk meningkatkan kualitas pendidikan di MI dari berbagai kompetensi tenaga pendidik,

(11)

fasilitas pembelajaran selalu ada peningkatan. Namun demikian, perhatian Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas masih perlu terus di dorong agar lembaga pendidikan formal di daerah terpencil memiliki semangat untuk mengembangkannya agar lebih berkualitas. Lembaga pendidikan formal di daerah terpencil sering merasa iri dengan lembaga pendidikan formal di daerah perkotaan. Mereka berjalan apa adanya dengan fasilitas dan guru yang serba terbatas, sementara itu, di MI di daerah perkotaan dengan akses ke Kementerian Agama lebih mudah untuk memperoleh pembinaan dan pembenahan fasilitas pembelajaran.

Lembaga pendidikan formal di daerah terpencil adalah aset bangsa yang membutuhkan banyak perhatian terutama dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang sedang berjalan.

Hal ini diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunya "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan" dan pasal 3 berbunyi "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang". Salah satu lembaga pendidikan formal yang masih memerlukan perhatian Pemerintah adalah Madrasah/sekolah yang masih berada dalam tingkat Wajardikdas 9 tahun, baik MI/SD maupun MTs/SMP. Madrasah/Sekolah tersebut berada di daerah terpencil yang letaknya jauh dari ibukota Kabupaten, sulit dari jangkauan kendaraan, terisolir, tidak ada angkutan umum, dan belum teraliri listrik dari PLN.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan merebaknya teknologi informasi serta terjadinya interaksi masyarakat desa dan kota memunculkan kesadaran masyarakat untuk membangun peradaban baru melalui lembaga pendidikan. Hal ini berlaku pada masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah serta pada masyarakat yang berada di wilayah pedesaan atau masyarakat yang berada di daerah terpencil.

Kesadaran masyarakat untuk menyelenggarakan lembaga pendidikan formal menunjukan adanya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lembaga pendidikan formal untuk meningkatkan sumber daya manusia. Dan kesadaran ini muncul biasanya setelah terdapat tokoh masyarakat (tokoh agama) yang kembali ke dusunnya setelah menimba ilmu di luar desa. Di berbagai daerah terpencil di Jawa Tengah, pendirian lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) diawali oleh ide dari anggota masyarakat yang kembali setelah menimba ilmu di pondok pesantren maupun di Perguruan Tinggi Islam di berbagai daerah.

Perkembangan lembaga pendidikan formal (MI) pada awalnya berjalan apa adanya, namun demikian dengan berjalannya waktu mulai tumbuh dengan melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran. Begitu juga tenaga pendidik dan kependidikan mulai diperhatikan, yaitu dengan menempatkan sesuai dengan kompetensinya. Bagi tenaga pendidik yang belum memiliki legalitas ijazah setingkat Sarjana S.1 diusahakan untuk melanjutkan pendidikan S.1. dan bagi yang sudah memiliki gelar sarjana diupayakan untuk mengikuti pendidikan profesi sebagai guru.

Usaha manajemen MI untuk meningkatkan kualitas pendidikan di MI dari berbagai kompetensi tenaga pendidik,

(12)

Penyelenggaraan Madrasah/sekolah di daerah terpencil terutama dalam aspek penyelenggaraan pendidikan agama merupakan bentuk kepedulian masyarakat terpencil dalam membangun masyarakat terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan SDM ini tidak hanya pada aspek pengetahuan umum saja melainkan juga pengembangan dalam aspek pengetahuan agama. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 15 bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.

Madrasah/sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan agama merupakan lembaga pendidikan formal yang ditegaskan dalam Pasal 17 ayat 2 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yaitu bahwa Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar dan madrasah atau bentuk lain yang sederajat. Adapun kesamaan hak untuk memperoleh pendidikan agama yang berkualitas pada tingkat dasar merupakan kebutuhan bagi peserta didik meskipun berada di daerah terpencil atau di daerah pedesaan. Penjelasan tuntutan kesamaan pendidikan yang berkualitas ini telah dituangkan dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pada bab IV pasal 5 ayat (1) bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Amanat undang-undang ini dipertegas lagi pada ayat (3) bahwa warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Adanya tuntutan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 di atas menunjukan bahwa kedudukan peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama pada tingkat dasar di daerah

(13)

terpencil perlu medapat perhatian yang lebih serius. Hal ini dikarenakan mereka memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai warga negara Indonesia dalam memperoleh pendidikan terutama dalam pemerolehan pendidikan agama dan keagamaan. Padahal, apabila dilihat dari realitas yang ada bahwa secara umum lembaga pendidikan terutama tingkat dasar di daerah terpencil kurang mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah.

Dalam aspek pendidikan agama, terdapat beberapa aspek yang menjadi persoalan dalam pelaksanaan dan penanaman pendidikan agama. Menurut Khusnuddin, bahwa diantara persoalan tersebut adalah;

1. Budaya guru yang menyajikan pembelajaran secara tradisional menitikberatkan kepada aspek kognitif dengan mengabaikan aspek afektif dan pembentukan sikap

2. Perhatian dan kepedulian terhadap upaya peningkatan mutu berkaitan dengan upaya perubahan kurikulum kurang

3. Kemampuan guru untuk menghubungkan relevansi mata pelajaran pendidikan agama Islam dengan kehidupan nyata sehari-hari perlu terus dibangun

4. Ketersediaan tenaga pendidikan yang memiliki kualifikasi yang memadai dalam memberikan layanan pembelajaran 5. Penyediaan lahan dan prasarana yang layak untuk

penyelenggaraan pendidikan agama

6. Pembinaan dari instansi induk kurang memadai1.

1 Makalah “Menggagas Peningkatan Mutu Pendidikan Agama pada

daerah Terpencil” disampaikan oleh Khusnuddin (Pengawas Pendidikan Agama Kabupaten Brebes) dalam Focus Group Discussion (FGD) di MI Hidayatul Mubtadiin tanggal 14 Juni 2017

Penyelenggaraan Madrasah/sekolah di daerah terpencil terutama dalam aspek penyelenggaraan pendidikan agama merupakan bentuk kepedulian masyarakat terpencil dalam membangun masyarakat terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan SDM ini tidak hanya pada aspek pengetahuan umum saja melainkan juga pengembangan dalam aspek pengetahuan agama. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 15 bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.

Madrasah/sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan agama merupakan lembaga pendidikan formal yang ditegaskan dalam Pasal 17 ayat 2 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yaitu bahwa Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar dan madrasah atau bentuk lain yang sederajat. Adapun kesamaan hak untuk memperoleh pendidikan agama yang berkualitas pada tingkat dasar merupakan kebutuhan bagi peserta didik meskipun berada di daerah terpencil atau di daerah pedesaan. Penjelasan tuntutan kesamaan pendidikan yang berkualitas ini telah dituangkan dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pada bab IV pasal 5 ayat (1) bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Amanat undang-undang ini dipertegas lagi pada ayat (3) bahwa warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Adanya tuntutan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 di atas menunjukan bahwa kedudukan peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama pada tingkat dasar di daerah

(14)

Berbagai format pendidikan agama telah dirumuskan, baik melalui regulasi yang telah disusun oleh Pemerintah maupun model yang dibangun oleh madrasah pada tingkat satuan pendidikan. Namun demikian, kebutuhan untuk memperoleh format yang baku dan jelas sehingga dapat mencakup keseluruhan model pendidikan yang berkembang secara nasional perlu terus diadakan kajian-kajian yang mendalam. Buku ini merupakan hasil kajian mendalam melalui penelitian, sehingga realitas yang terjadi di lembaga pendidikan formal terutama madrasah di daerah terpencil menjadi sebuah gambaran nyata tentang format pendidikan agama yang sebenarnya. Fokus terpenting dari buku ini adalah 1) Model Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Lembaga Pendidikan Formal pada Daerah Terpencil, 2) Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan pendidikan Agama pada Daerah Terpencil, 3) Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama di daerah terpencil, dan 4) Faktor pendukung dan penghambat dalam Penyelenggaraan pendidikan Agama pada Daerah Terpencil.

Goal oriented dari buku yang disusun berdasarkan hasil penelitian ini adalah memberikan gambara betapa format pendidikan agama pada madrasah maupun sekolah tingkat dasar di daerah terpencil secara teknis maupun non teknis masih memerlukan perhatian. Di samping itu, dari buku ini dapat memberikan gambaran secara real tentang model penyelenggaraan pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal pada daerah terpencil, peran masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal pada daerah terpencil, peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal di daerah terpencil, dan dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan

(15)

pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal di daerah terpencil. Dengan demikian, bagi para pembaca dapat turut serta berkontribusi terhadap lembaga pendidikan formal tingkat dasar ini terutama dalam penyusunan format pendidikan agama yang dikembangkan.

Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan terutama untuk menyusun sebuah kebijakan oleh Pemerintah terutama Kementerian Agama RI, masyarakat pecinta pendidikan, dan berbagai elemen organisasi yang memiliki kepedulian terhadap peningkatan kualitas pendidikan agama di sekolah tingkat dasar. Hal ini sangat diperlukan, agar lembaga pendidikan di daerah terpencilpun dapat menikmati gegap gempitanya perkembangan lembaga pendidikan dan mampu bersaing di era global.

Berbagai format pendidikan agama telah dirumuskan, baik melalui regulasi yang telah disusun oleh Pemerintah maupun model yang dibangun oleh madrasah pada tingkat satuan pendidikan. Namun demikian, kebutuhan untuk memperoleh format yang baku dan jelas sehingga dapat mencakup keseluruhan model pendidikan yang berkembang secara nasional perlu terus diadakan kajian-kajian yang mendalam. Buku ini merupakan hasil kajian mendalam melalui penelitian, sehingga realitas yang terjadi di lembaga pendidikan formal terutama madrasah di daerah terpencil menjadi sebuah gambaran nyata tentang format pendidikan agama yang sebenarnya. Fokus terpenting dari buku ini adalah 1) Model Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Lembaga Pendidikan Formal pada Daerah Terpencil, 2) Peran Masyarakat terhadap Penyelenggaraan pendidikan Agama pada Daerah Terpencil, 3) Peran Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Agama di daerah terpencil, dan 4) Faktor pendukung dan penghambat dalam Penyelenggaraan pendidikan Agama pada Daerah Terpencil.

Goal oriented dari buku yang disusun berdasarkan hasil penelitian ini adalah memberikan gambara betapa format pendidikan agama pada madrasah maupun sekolah tingkat dasar di daerah terpencil secara teknis maupun non teknis masih memerlukan perhatian. Di samping itu, dari buku ini dapat memberikan gambaran secara real tentang model penyelenggaraan pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal pada daerah terpencil, peran masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal pada daerah terpencil, peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal di daerah terpencil, dan dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan

(16)
(17)

Bab 2

Pendidikan Agama dalam Kajian Teoritis

Daerah terpencil secara umum merupakan daerah yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten dengan kondisi wilayah sulit dijangkau dengan alat transportasi umum, kondisi jalan tidak beraspal, listrik belum teraliri, dan berbagai kriteria yang menunjukan keterbelakangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 Pasal 6 ayat (3) tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019 disebutkan bahwa Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

PP Nomor 78 tersebut merupakan peraturan dalam skala nasional dan secara faktual, kondisi wilayah yang memiliki masyarakat kurang berkembang pada setiap daerah Kabupaten tidak bisa dihindari keberadaannya. Wilayah yang kurang berkembang di daerah Kabupaten terdapat di wilayah perbatasan antar Kabupaten yang sulit dijangkau dengan kendaraan roda 4 maupun dengan roda 2. Bahkan terdapat wilayah dusun yang keberadaannya jauh dari keramaian desa maupun kecamatan. Istilah yang biasanya dipakai untuk masyarakat seperti ini adalah masyarakat dusun terpencil. Disamping itu, dari aspek ekonomi dan pendidikan pada mayarakat tertinggal atau terpencil masih cukup sederhana, apa adanya, dan rata-rata masyarakat tidak berpendidikan formal.

BAB

II

PENDIDIKAN AGAMA

(18)

Masyarakat yang berada di dusun tertinggal atau terpencil secara umum memiliki kriteria tertentu. Kriteria yang menjadi pokok dilihat dari aspek ekonomi masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.Dengan kriteria tersebut, bahwa paling tidak di Indonesia masih terdapat 122 daerah yang termasuk dalam kategori untuk tahun 2015 – 2019 (setkab.go.id/122 daerah ini ditetapkan pemerintah sebagai daerah-tertinggal 2015. didownload tanggal 13 April 2017).

Dari data di atas merupakan data yang menyebar di seluruh wilayah di Indonesia, baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Adapun kriteria wilayah yang dijadikan dasar secara makro pada tingkat yang lebih luas, yaitu Kabupaten ataupun Kecamatan. Kriteria ini juga akan lebih terlihat pada tingkat desa atau dusun, hal ini dikarenakan pada daerah yang memiliki wilayah luas, maka semakin ke desa dan dusun sebagai daerah terpencil akan mengalami kondisi yang lebih memperihatinkan, yaitu tingkat ekonomi rendah, SDM rendah, sarana dan prasarana umum sangat minimalis, dan aksesibilitas menuju wilayah tersebut sulit untuk dijangkau.

Dalam perkembangan dewasa ini, daerah terpencil khususnya di Jawa Tengah mengalami penyusutan, baik dari segi jumlah maupun dari kriteria. Sebagai salah satu contoh, bahwa dalam aspek aksesibilitas, beberapa desa maupun dusun sudah bisa dijangkau meskipun dengan menggunakan roda dua, aliran listrik sudah bisa dinikmati meskipun dengan tenaga surya, pendidikan formal sudah diselenggarakan sehingga dapat dijadikan dasar pengembangan SDM, dan modal kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi manusia sudah mulai tinggi.

(19)

Adaptasi masyarakat daerah terpencil untuk memperoleh kehidupan yang layak terus menggeliat. Bahkan usaha untuk mengikuti dinamika perkembangan lembaga pendidikan formal sudah mengikuti perkembangan secara nasional. Contoh dari dinamika pengembangan tersebut adalah penerapan kurikulum secara nasional, yaitu kurikulum 2013 (Kurtilas) berusaha untuk dilaksanakan meskipun secara tertatih tatih, baik dari aspek tenaga pendidik dan kependidikan maupun dari bahan ajar yang diperoleh dan sarana dan prasarana. Keterbatasan ini nampaknya disikapi dengan antusiaisme masyarakat daerah terpencil untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mampu beradaptasi secara nasional di era global sekarang ini.

Adanya perubahan paradigma masyarakat daerah terpencil terhadap pendidikan bergerak melalui proses yang berkesinambungan, yaitu adanya usaha dari Pemerintah dan usaha dari anggota masyarakat yang terdidik secara terus menerus. Perubahan tersebut juga akan selalu terjadi seiring dengan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan serta tingkat modernitas yang berkembang. Dengan demikian, dalam konteks dunia pendidikan perubahan tersebut merupakan keniscayaan dan dilakukan secara terencana dan sistematis serta tidak asal-asalan. Bahkan juga dilakukan langkah evaluatif selalu dilakukan. Menurut Winardi (2008;3) perubahan yang tidak direncanakan terjadi secara spontan atau secara acak maka perubahan tersebut dapat bersifat merusak. Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah reaksi langsung terhadap persepsi seseorang tentang adanya suatu celah kinerja (a performance gap) antara keadaan yang diiginkan dan keadaan nyata.

Masyarakat yang berada di dusun tertinggal atau terpencil secara umum memiliki kriteria tertentu. Kriteria yang menjadi pokok dilihat dari aspek ekonomi masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.Dengan kriteria tersebut, bahwa paling tidak di Indonesia masih terdapat 122 daerah yang termasuk dalam kategori untuk tahun 2015 – 2019 (setkab.go.id/122 daerah ini ditetapkan pemerintah sebagai daerah-tertinggal 2015. didownload tanggal 13 April 2017).

Dari data di atas merupakan data yang menyebar di seluruh wilayah di Indonesia, baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Adapun kriteria wilayah yang dijadikan dasar secara makro pada tingkat yang lebih luas, yaitu Kabupaten ataupun Kecamatan. Kriteria ini juga akan lebih terlihat pada tingkat desa atau dusun, hal ini dikarenakan pada daerah yang memiliki wilayah luas, maka semakin ke desa dan dusun sebagai daerah terpencil akan mengalami kondisi yang lebih memperihatinkan, yaitu tingkat ekonomi rendah, SDM rendah, sarana dan prasarana umum sangat minimalis, dan aksesibilitas menuju wilayah tersebut sulit untuk dijangkau.

Dalam perkembangan dewasa ini, daerah terpencil khususnya di Jawa Tengah mengalami penyusutan, baik dari segi jumlah maupun dari kriteria. Sebagai salah satu contoh, bahwa dalam aspek aksesibilitas, beberapa desa maupun dusun sudah bisa dijangkau meskipun dengan menggunakan roda dua, aliran listrik sudah bisa dinikmati meskipun dengan tenaga surya, pendidikan formal sudah diselenggarakan sehingga dapat dijadikan dasar pengembangan SDM, dan modal kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi manusia sudah mulai tinggi.

(20)

Dunia pendidikan formal di daerah terpencil juga dituntut untuk mengalami perubahan sesuai dengan peraturan yang terjadi dalam skup nasional. Tuntutan perubahan tersebut tidak lepas dari adanya penetapan 8 standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan melalui PP No. 19 tahun 2005 pada Bab 1 Pasal 1 ayat 1, yaitu Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal ini juga ditetapkan adanya Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan

Selain standar nasional pendidikan di atas yang harus dicapai oleh lembaga pendidikan formal berlaku bagi madrasah dan sekolah, juga terdapat faktor yang mengharuskan adanya perubahan, yaitu diberlakukannya kurikulum secara nasional, adanya persyaratan menjadi tenaga pendidik atau guru yang profesional dan kompeten, dan berbagai persoalan pendidikan yang harus diikuti oleh lembaga pendidikan formal. Kurikulum baru yang ditetapkan dengan istilah kurikulum 2013 (Kurtilas) harus dilaksanakan oleh madrasah/sekolah meskipun dilakukan secara bertahap sambil menyelesaikan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Sementara itu, guru sebagai tenaga pendidik paling tidak harus memiliki kualifikasi pendidikan Sarjana S.1 dan harus mengikuti pendidikan dan latihan (Diklat) Kurtilas. Ketentuan kualifikasi guru ini tidak lepas dari profesionalitas dan kompetensi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurut Danim (2002;90) guru mempunyai

(21)

peranan penting dan merupakan kunci pokok bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Guru harus siap melaksanakan pembelajaran di sekolah (madrasah) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Prinsip penyelenggaraan pendidikan pada madrasah/sekolah adalah untuk mengembangkan anak-anak sebagai calon peserta didik memiliki kecerdasan dalam ilmu pengetahuan. Begitu juga dalam penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam yang diberikan di madrasah/sekolah merupakan pembelajaran praktis yang tidak hanya mengedepankan kemampuan verbal melainkan juga membentuk sikap atau perilaku yang baik. Menurut Mulyasa (2011;7), bahwa peran sekolah (madrasah) dan guru yang pokok adalah menyediakan dan memberikan fasilitas untuk memudahkan dan melancarkan cara belajar siswa. Dan peran pendidikan agama Islam menurut Fazlur Rahman yang dikutip oleh Sutrisno adalah proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) yang integrative yang padanya terkumpul sifat-sifat seperti kritis, kreatif, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya (Lestari, 2010;33-34)

Ada beberapa faktor yang menjadi pendukung madrasah/sekolah mampu memberikan fasilitas pembelajaran yang diharapkan, yaitu kurikulum yang dijadikan rujukan, ketersediaan guru, bahan ajar dalam setiap mata pelajaran, dan daya dukung Sarana dan prasarana pembelajaran. Apabila keempat faktor tersebut tersedia dengan baik dan dapat dipahami secara komprehensif, maka penyelenggaraan pendidikan agama secara praktis dapat berjalan sesuai dengan program madrasah/sekolah.

Dunia pendidikan formal di daerah terpencil juga dituntut untuk mengalami perubahan sesuai dengan peraturan yang terjadi dalam skup nasional. Tuntutan perubahan tersebut tidak lepas dari adanya penetapan 8 standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan melalui PP No. 19 tahun 2005 pada Bab 1 Pasal 1 ayat 1, yaitu Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pasal ini juga ditetapkan adanya Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan

Selain standar nasional pendidikan di atas yang harus dicapai oleh lembaga pendidikan formal berlaku bagi madrasah dan sekolah, juga terdapat faktor yang mengharuskan adanya perubahan, yaitu diberlakukannya kurikulum secara nasional, adanya persyaratan menjadi tenaga pendidik atau guru yang profesional dan kompeten, dan berbagai persoalan pendidikan yang harus diikuti oleh lembaga pendidikan formal. Kurikulum baru yang ditetapkan dengan istilah kurikulum 2013 (Kurtilas) harus dilaksanakan oleh madrasah/sekolah meskipun dilakukan secara bertahap sambil menyelesaikan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Sementara itu, guru sebagai tenaga pendidik paling tidak harus memiliki kualifikasi pendidikan Sarjana S.1 dan harus mengikuti pendidikan dan latihan (Diklat) Kurtilas. Ketentuan kualifikasi guru ini tidak lepas dari profesionalitas dan kompetensi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurut Danim (2002;90) guru mempunyai

(22)

Mengapa Kurikulum Perlu Standar Nasional

Kurikulum di Indonesia selalu mengalami perubahan yang berlaku tanpa mengenal kondisi wilayah, sehingga pada daerah terpencilpun harus mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Nasution (2008;3) bahwa perubahan zaman menuntut kurikulum baru dan juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri. Pengertian kurikulum seperti ini berlaku bagi seluruh lembaga pendidikan formal di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Padahal menurut Ahmad Tafsir (1994;53), bahwa kurikulum bukanlah sekedar rencana pembelajaran yang tersusun dalam sejumlah mata pelajaran, melainkan kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di madrasah dan kurikulum ini akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Menurut Khaerudin (2007:25), kurikulum dapat berubah atau mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kurikulum akan mempengaruhi terhadap dinamika lembaga pendidikan formal secara terus menerus seiring juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut A. Ferry T. Indratno yang disitir oleh Moh. Yamin (2009;15) bahwa kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi pengetahuan antargenerasi dalam masyarakat. Dalam melakukan proses akumulasi pengetahuan ini diperlukan prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum.

Menurut Basri (2013;138), prinsip-prinsip kurikulum antara lain;

(23)

1. Senantiasa bertautan dengan nilai pendidikan yang dianut, misalnya berkaitan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan ajaran agama

2. Bersifat holistik, integral, dan universal, artinya memiliki kesatupaduan dengan berbagai tujuan yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, dan ideologi negara.

3. Equilibrium atau keseimbangan, artinya kurikulum mengarahkan pendidikan siswa ke arah pendidikan jasmaniah dan rohaniah, dunia dan ukhrowi, serta material dan spiritual.

4. Markatable yaitu kurikulum mudah dan laku di pasaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

5. Pengembangan bakat dan minat yang sepadan dengan kebutuhan siswa

6. Mudah diterapkan dalam kehidupan

Dalam skala nasional, kurikulum disusun untuk semua lembaga pendidikan formal dan memiliki aturan yang sama terhadap semua lembaga pendidikan formal. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Yulaelawati (2007;33) bahwa kurikulum sebagai reproduksi kebudayaan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional di mana pemerintah menuntut pendidik untuk membangun generasi yang mempunyai peradaban dan martabat yang tinggi, bertahan, berdaya saing, serta mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Kurikulum yang disusun secara nasional tidak membedakan aspek kewilayahan, yaitu diterapkan pada semua wilayah, baik perkotaan, pedesaan maupun pada

Mengapa Kurikulum Perlu Standar Nasional

Kurikulum di Indonesia selalu mengalami perubahan yang berlaku tanpa mengenal kondisi wilayah, sehingga pada daerah terpencilpun harus mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Nasution (2008;3) bahwa perubahan zaman menuntut kurikulum baru dan juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri. Pengertian kurikulum seperti ini berlaku bagi seluruh lembaga pendidikan formal di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Padahal menurut Ahmad Tafsir (1994;53), bahwa kurikulum bukanlah sekedar rencana pembelajaran yang tersusun dalam sejumlah mata pelajaran, melainkan kurikulum adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pembelajaran di madrasah dan kurikulum ini akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Menurut Khaerudin (2007:25), kurikulum dapat berubah atau mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kurikulum akan mempengaruhi terhadap dinamika lembaga pendidikan formal secara terus menerus seiring juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut A. Ferry T. Indratno yang disitir oleh Moh. Yamin (2009;15) bahwa kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi pengetahuan antargenerasi dalam masyarakat. Dalam melakukan proses akumulasi pengetahuan ini diperlukan prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum.

Menurut Basri (2013;138), prinsip-prinsip kurikulum antara lain;

(24)

daerah terpencil. Persoalannya adalah mungkinkah perubahan kurikulum yang terjadi selalu mengikat lembaga pendidikan formal di seluruh pelosok tanah air seketika? Persoalan inilah yang kemudian menjadikan kurikulum 2013 diberlakukan secara bertahap. Hal ini dikarenakan ada berbagai aspek yang harus terpenuhi untuk melaksanakan sebuah kurikulum baru. Paling tidak menurut Ahmad Aprillah (pimpinan umum LPM Pena FKIP Unram), bahwa setidaknya ada tiga komponen penting yang ada dalam kurikulum yaitu komponen tujuan pendidikan, komponen proses, dan komponen evaluasi, sehingga Kurikulum boleh berganti-ganti namun tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum tidak boleh melenceng dari apa yang diamanatkan pancasila dan UUD 1945 (www.academia.edu

tanggal 16 juni 2014).

Pada daerah terpencil, ketiga komponen diatas (tujuan, proses, dan evaluasi) dapat dilaksanakan, hanya saja pada komponen proses pembelajaran masih banyak hal yang masih perlu didorong. Apalagi dalam K-13 standar proses yang menjadi acuan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 65 Th. 2013, yaitu Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Dorongan terhadap pelaksanaan pendidikan di daerah terpencil menjadi sangat penting karena secara kewilayahan, teknologi informasi, maupun perangkat pembelajaran masih sangat terbatas. Bahkan dari aspek kurikulum sering

(25)

mengalami hambatan atau ketertinggalan informasi. Meskipun demikian, Pemerintah pusat atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional tetap memberlakukan kurikulum dengan standar nasional dan tidak berusaha untuk menyusun kurikulum yang khusus untuk daerah terpencil. Begitu juga kurikulum Pendidikan agama Islam, Kementerian Agama sudah memberlakukan Kurtilas tanpa terkecuali di lembaga pendidikan formal di daerah terpencil.

Secara umum, kurikulum pendidikan agama Islam di madrasah/sekolah telah menerapkan Kurtilas dan Pendidikan agama Islam sebagai sumber dalam pembelajaran praktis di madrasah/sekolah untuk daerah terpencil mulai ada perbaikan. Hanya saja, pada sisi sisi tertentu masih terdapat berbagai kekurangan. Kekurangan tersebut terutama buku sebagai sumber bahan ajar yang berbasis BSE sulit untuk diakses, tenaga pendidik yang menyampaikan bahan ajar belum mengikuti diklat Kurtilas, dan manajemen pengelolaan madrasah/sekolah terkesan apa adanya, serta fasilitas pembelajaran yang dibutuhkan sesuai dengan capaian kurikulum dan tujuan pendidikan nasional kurang terlenuhi.

Guru; Riwayatmu di Daerah Terpencil

Lembaga pendidikan formal di daerah terpencil mungkin tidak sempat berfikir untuk meningkatkan kualitas dengan tenaga pendidik yang handal, profesional dan kompeten. Secara subtansif, tenaga pendidik yang dibutuhkan yaitu sebagai pemberi materi pelajaran dan juga sebagai pendorong, pembimbing, dan pemberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan secara umum dapat terpenuhi, akan tetapi kualifikasi yang menjadi kriteria minimal yang daerah terpencil. Persoalannya adalah mungkinkah

perubahan kurikulum yang terjadi selalu mengikat lembaga pendidikan formal di seluruh pelosok tanah air seketika? Persoalan inilah yang kemudian menjadikan kurikulum 2013 diberlakukan secara bertahap. Hal ini dikarenakan ada berbagai aspek yang harus terpenuhi untuk melaksanakan sebuah kurikulum baru. Paling tidak menurut Ahmad Aprillah (pimpinan umum LPM Pena FKIP Unram), bahwa setidaknya ada tiga komponen penting yang ada dalam kurikulum yaitu komponen tujuan pendidikan, komponen proses, dan komponen evaluasi, sehingga Kurikulum boleh berganti-ganti namun tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum tidak boleh melenceng dari apa yang diamanatkan pancasila dan UUD 1945 (www.academia.edu

tanggal 16 juni 2014).

Pada daerah terpencil, ketiga komponen diatas (tujuan, proses, dan evaluasi) dapat dilaksanakan, hanya saja pada komponen proses pembelajaran masih banyak hal yang masih perlu didorong. Apalagi dalam K-13 standar proses yang menjadi acuan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 65 Th. 2013, yaitu Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Dorongan terhadap pelaksanaan pendidikan di daerah terpencil menjadi sangat penting karena secara kewilayahan, teknologi informasi, maupun perangkat pembelajaran masih sangat terbatas. Bahkan dari aspek kurikulum sering

(26)

harus dimiliki, seperti daya dukung kemampuan verbal (keimanan, pancasilais, dan normal secara kejiwaan) dan menguasai materi bahan ajar sesuai dengan bidang studi atau mata pelajaran masih sangat kurang.

Secara teoritis tenaga pendidik harus memiliki kompetensi personal (pribadi), profesional, dan kompetensi sosial kemasyarakatan.Kompetensi personal merupakan kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agama, kemampuan menghormati dan menghargai antarumat beragama, kemampuan berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, mengembangkan sifat terpuji, dan bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik (sanjaya,2010;277-278).

Sementara itu, kompetensi profesional yang berkaitan langsung dengan peserta didik dalam PBM juga menjadi sangat penting dimiliki. Menurut Sanjaya (2010;278), bahwa kompetensi profesional dalam dunia pengajaran adalah kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Contoh dari kompetensi ini adalah kemampuan menguasai landasan kependidikan, pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, menguasai materi pelajaran, kemampuan melaksanakan evaluasi pembelajaran, dan kemampuan menyusun program pembelajaran.

Kemampuan lain yang cukup penting adalah kemampuan sosial. Kemampuan ini pada daerah terpencil tidak diragukan lagi. Asumsinya adalah kemauan untuk mengajar di daerah terpencil merupakan nilai tersendiri secara sosial kemasyarakatan. Kemauan tenaga pendidik mengajar merupakan kepedulian untuk mencerdaskan masyarakat

(27)

terutama generasi bangsa. Kompetensi sosial ini berhubungan dengan kemampuan tenaga pendidik sebagai anggota masyarakat sekaligus makhluk sosial.

Harapan untuk memperoleh tenaga pendidik yang handal, profesional, dan kompeten bagi daerah terpencil masih berupa harapan panjang, hal ini dikarenakan untuk menyiapkan ketersediaan tenaga pendidik sesuai dengan kelas yang dimiliki di beberapa wilayah terpencil juga masih kekurangan. Pada beberapa daerah terpencil sering diinformasikan adanya kekurangan tenaga pendidik, sehingga tenaga pendidik atau guru diserahkan kepada siapa saja anggota masyarakat yang memiliki kesempatan mengajar dan memiliki sedikit bekal untuk mengajar meskipun tidak memiliki kompetensi sesuai dengan penguasaan mata pelajaran. Padahal dalam konteks kekinian, seseorang untuk menjadi guru lebih baik untuk dilakukan uji kompetensi.

Menurut Mulyasa (2011;188), bahwa pentingnya uji kompetensi guru adalah sebagai alat untuk mengembangkan standar kemampuan profesional guru, sebagai alat seleksi guru, untuk mengelompokan guru, sebagai bahan acuan dalam pengembangan kurikulum, sebagai alat pembinaan guru, dan mendorong kegiatan hasil belajar. Melalui uji kompetensi guru ini adalah untuk meningkatkan kualitas guru itu sendiri.

Bahan ajar; Bagian dari mata pelajaran

Bahan ajar untuk lembaga pendidikan formal sekarang ini sebenarnya mudah diperoleh, yaitu berupa buku paket mata pelajaran. Buku paket ini dapat berupa hard copy maupun soft copy. Pada wilayah yang telah memiliki akses harus dimiliki, seperti daya dukung kemampuan verbal

(keimanan, pancasilais, dan normal secara kejiwaan) dan menguasai materi bahan ajar sesuai dengan bidang studi atau mata pelajaran masih sangat kurang.

Secara teoritis tenaga pendidik harus memiliki kompetensi personal (pribadi), profesional, dan kompetensi sosial kemasyarakatan.Kompetensi personal merupakan kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agama, kemampuan menghormati dan menghargai antarumat beragama, kemampuan berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, mengembangkan sifat terpuji, dan bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik (sanjaya,2010;277-278).

Sementara itu, kompetensi profesional yang berkaitan langsung dengan peserta didik dalam PBM juga menjadi sangat penting dimiliki. Menurut Sanjaya (2010;278), bahwa kompetensi profesional dalam dunia pengajaran adalah kompetensi yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Contoh dari kompetensi ini adalah kemampuan menguasai landasan kependidikan, pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, menguasai materi pelajaran, kemampuan melaksanakan evaluasi pembelajaran, dan kemampuan menyusun program pembelajaran.

Kemampuan lain yang cukup penting adalah kemampuan sosial. Kemampuan ini pada daerah terpencil tidak diragukan lagi. Asumsinya adalah kemauan untuk mengajar di daerah terpencil merupakan nilai tersendiri secara sosial kemasyarakatan. Kemauan tenaga pendidik mengajar merupakan kepedulian untuk mencerdaskan masyarakat

(28)

internet, buku paket sudah dapat di download atau dapat diperoleh melalui toko buku. Hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal di daerah terpencil hanya mengandalkan buku paket kiriman dari Pemerintah.

Pada sekolah tingkat dasar yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau SD (Sekolah Dasar) dan MTs atau SMP, bahan ajar yang diberikan dapat didownload melalui file Buku Sekolah Elektronik (BSE). Diantara mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Bagi MI dan MTs, mata pelajaran yang diberikan bertambah dengan mata Pelajaran Agama Islam (PAI), yaitu Al Qur’an/Hadits, Aqidah/Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab. Bahan ajar khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam telah dtetapkan dengan menggunakan kurikulum 2013 (Kurtilas). Adapun untuk memperoleh buku-buku PAI tersebut dapat dilakukan dengan mendownload melalui jaringan internet.

Kemudahan untuk memiliki bahan ajar sebenarnya telah diusahakan oleh pihak pemerintah, hanya saja keterbatasan wilayah terutama di daerah terpencil mengalami kesulitan memperoleh bahan ajar sesuai dengan kurikulum yang sedang diberlakukan. Bahkan buku paket pendidikan agama Islam yang telah diterima oleh madrasah/sekolah dari aspek jumlah, sering tidak sesuai antara jumlah buku yang dibutuhkan dengan jumlah peserta didik.

Sarana dan prasarana pembelajaran

Secara kelembagaan, Lembaga pendidikan formal baik dalam sekolah maupun madrasah dan dalam berbagai

(29)

tingkatan harus memiliki daya dukung yang kuat untuk menunjang kelancaran proses pembelajaran. Daya dukung tersebut berupa sarana dan prasarana maupun dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun dalam kontrol. Bahkan dalam hidden curricullum juga terdapat hal yang substansial diperlukan. Dengan mengadopsi pendapat Galtthorn yang dikutip oleh Moh. Yamin (2010;28) bahwa ada tiga penting yang menjadi bagian integral dari hidden curricullum, yaitu

a. Organisasi

Dalam organisasi ini penugasan pendidik dan pengelompokan peserta didik untuk proses pembelajaran. Hal penting yang menjadi perhatian adalah team teaching, promosi (kenaikan kelas), pengelompokan peserta didik berdasarkan kemampuan, dan fokus kurikulum. team teaching bertujuan memberikan pelayanan terbaik sehingga tenaga pendidik mengajar benar-benar sesuai dengan disiplin masing-masing.

Promosi (kenaikan kelas) berkenaan dengan pencapaian individu peserta didik atau disebut dengan prestasi akademik dan sikap peserta didik. Pengelompokan peserta didik berdasarkan pada kemampuan akademik dan kemampuan-kemampuan lainnya, dan fokus kurikulum diperlukan untuk mempermudah proses belajar mengajar dalam kelas.

b. Sistem Sosial

Sistem sosial adalah suasana sekolah yang dideskripsikan dari pola-pola hubungan semua komponen, baik hubungan antar tenaga pendidik dan tenaga administrasi, keterlibatan kepala sekolah dalam pembelajaran, keterlibatan tenaga kependidikan dalam proses pengambilan internet, buku paket sudah dapat di download atau dapat

diperoleh melalui toko buku. Hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan formal di daerah terpencil hanya mengandalkan buku paket kiriman dari Pemerintah.

Pada sekolah tingkat dasar yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau SD (Sekolah Dasar) dan MTs atau SMP, bahan ajar yang diberikan dapat didownload melalui file Buku Sekolah Elektronik (BSE). Diantara mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Bagi MI dan MTs, mata pelajaran yang diberikan bertambah dengan mata Pelajaran Agama Islam (PAI), yaitu Al Qur’an/Hadits, Aqidah/Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab. Bahan ajar khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam telah dtetapkan dengan menggunakan kurikulum 2013 (Kurtilas). Adapun untuk memperoleh buku-buku PAI tersebut dapat dilakukan dengan mendownload melalui jaringan internet.

Kemudahan untuk memiliki bahan ajar sebenarnya telah diusahakan oleh pihak pemerintah, hanya saja keterbatasan wilayah terutama di daerah terpencil mengalami kesulitan memperoleh bahan ajar sesuai dengan kurikulum yang sedang diberlakukan. Bahkan buku paket pendidikan agama Islam yang telah diterima oleh madrasah/sekolah dari aspek jumlah, sering tidak sesuai antara jumlah buku yang dibutuhkan dengan jumlah peserta didik.

Sarana dan prasarana pembelajaran

Secara kelembagaan, Lembaga pendidikan formal baik dalam sekolah maupun madrasah dan dalam berbagai

(30)

keputusan, hubungan baik antarsesama tenaga pendidik, hubungan tenaga pendidik dengan peserta didik, serta hubungan kelompok-kelompok lain yang juga mendukung dinamika pendidikan dalam sekolah.

c. Budaya

Budaya ini berhubungan dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan struktur kognitif. Bagian dari isi kurikulum ini adalah;

1. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami semua unsur sebagai hasil kesepakatan antara pengelola administrasi dan guru

2. Pengelola administrasi mempunyai harapan tinggi pada guru dan begitu pula dengan tenaga administrasi

3. Pengelola administrasi dan guru mempunyai harapan baik pada peserta didik yang diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik

4. Pemberian hadiah pada mereka yang mencapai prestasi terbaik dan pemberian hadiah serta hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada peserta didik.

Pada madrasah sebagai lembaga pendidikan formal paling tidak memiliki komitmen terhadap kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dan memiliki hidden curricullum yang dapat diadaptasikan dalam proses dinamika lembaga. Organisasi, sistem sosial maupun budaya yang dibangun diharapkan mampu membawa madrasah pada persaingan global dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, madrasah memiliki nilai kompetitif terhadap lembaga pendidikan formal setingkat dan mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintah. Disinilah madrasah baru akan dapat

(31)

diperhitungkan setelah kualitas yang diharapkan dapat terwujud. Madrasah bukan lagi menjadi lembaga pendidikan formal nomor dua setelah lembaga pendidikan formal umum. Lebih jauh, Manakar Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang setara dengan sekolah umum akan memiliki nilai strategis dalam skup lembaga pendidikan nasional.

keputusan, hubungan baik antarsesama tenaga pendidik, hubungan tenaga pendidik dengan peserta didik, serta hubungan kelompok-kelompok lain yang juga mendukung dinamika pendidikan dalam sekolah.

c. Budaya

Budaya ini berhubungan dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan struktur kognitif. Bagian dari isi kurikulum ini adalah;

1. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami semua unsur sebagai hasil kesepakatan antara pengelola administrasi dan guru

2. Pengelola administrasi mempunyai harapan tinggi pada guru dan begitu pula dengan tenaga administrasi

3. Pengelola administrasi dan guru mempunyai harapan baik pada peserta didik yang diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik

4. Pemberian hadiah pada mereka yang mencapai prestasi terbaik dan pemberian hadiah serta hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada peserta didik.

Pada madrasah sebagai lembaga pendidikan formal paling tidak memiliki komitmen terhadap kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dan memiliki hidden curricullum yang dapat diadaptasikan dalam proses dinamika lembaga. Organisasi, sistem sosial maupun budaya yang dibangun diharapkan mampu membawa madrasah pada persaingan global dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, madrasah memiliki nilai kompetitif terhadap lembaga pendidikan formal setingkat dan mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintah. Disinilah madrasah baru akan dapat

(32)
(33)

Bab 3

Kajian Praktis Pendidikan Agama pada Lembaga Pendidikan

Buku ini merupakan hasil kajian penelitian yang dilakukan di madrasah/sekolah wajar dikdas 9 tahun. Kajian penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan oleh madrasah/sekolah yang berada di daerah terpencil atau daerah yang sulit memperoleh jangkauan transportasi. Hal yang menarik dari kajian ini adalah lokasi wilayah kajian yang berada di daerah terpencil yang berada di 8 wilayah Kabupaten Provinsi Jawa Tengah. Mengapa ini menjadi sangat penting adalah adanya informasi awal baik dari Kementerian Agama Kabupaten maupun dari para tokoh masyarakat. Informasi awal tersebut antara lain;

1. Madrasah/sekolah tingkat wajardikdas 9 tahun berada di daerah terpencil jauh dari ibukota Kabupaten atau berada di daerah yang terisolir

2. Madrasah/sekolah berada di wilayah yang sulit dijangkau, baik menggunakan kendaraan roda 4 maupun roda dua. 3. Tidak ada alat transportasi umum yang bisa menjangkau

madrasah/sekolah di daerah terpencil terutama untuk sarana transportasi peserta didik.

4. Penyelenggaraan lembaga pendidikan formal MI/SD maupun MTs/SMP di daerah terpencil secara umum berjalan apa adanya atau dalam keterbatasan, baik dari aspek tenaga pendidik, fasilitas pembelajaran, maupun dari aspek pendukung pembelajaran lainnya,

BAB

III

KAJIAN PRAKTIS PENDIDIKAN

(34)

5. Pelaksanaan pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal MI/SD maupun MTs/SMP di daerah terpencil tidak atau kurang memperhatikan kompetensi guru maupun materi pelajaran, dan

6. Kementerian Agama yang merupakan instansi induk bagi pembinaan Madrasah maupun guru agama di SD maupun SMP sering dinilai kurang aktif untuk mengadakan pembinaan terhadap keberadaan madrasah maupun guru agama.

7. Pengawas sebagai “tangan panjang” Kementerian Agama sebenarnya telah melakukan tugas kepengawasan cukup maksimal, akan tetapi kendala waktu dan lokasi menjadi kurang efektif untuk melakukan tugas kepengawasan secara rutin.

Melalui informasi awal ini dilakukan pemetaan dengan berbagai pertimbangan diatas dan diputuskan untuk menetapkan madrasah/sekolah menjadi inti kajian. Ke 8 madrasah/sekolah tersebut adalah MI Hidayatul Mubtadiin Kabupaten Brebes, MI Annajmiyah, Kabupaten Tegal, MI Al Hidayah Kabupaten Boyolali, MI Ma’arif dan MI Senet Kabupaten Klaten, MI Ma’arif NU 1 dan SD N 1 Kabupaten Banyumas, MI Al Anwar 01 dan 02 Kabupaten Jepara, MTs An Nawawi 04 Kabupaten Purworejo, dan MI Ma’arif Kabupaten Magelang.

Untuk memperoleh kajian yang lebih mendalam, maka kajian ini juga mendesain rentang waktu yang digunakan untuk menyusun Desain Operasional (DO), pembahasan DO, studi kelayakan, penyelerasan DO dengan hasil studi kelayakan, pengumpulan data, penyusunan draft hasil penelitian, pembahasan draft hasil penelitian, dan desiminasi

(35)

hasil penelitian. Alur proses kegiatan penelitian tersebut dianggap selesai setelah penyusunan buku sebagai wujud dari karya ilmiah yang telah dipertanggungjawabkan.

Dalam kajian penelitian ini memfokuskan pada Pendidikan Agama Islam (PAI) secara praktis. Oleh karena itu, data penelitian lebih pada data yang bersifat kualitatif yang terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terkait langsung dengan substansi penelitian, yaitu model penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah, peran masyarakat dalam penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah, peran Pemerintah dalam penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah, dan faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah. Adapun data sekunder merupakan data pendukung terselenggaranya penyelenggaraan PAI di madrasah/ sekolah. Mengingat data penelitian berupa data kualitatif, maka wujud data berupa informasi lisan, tulis, aktivitas, dan kebendaan.

Sumber data penelitian diperoleh dari informan, arsip/dokumen, dan kenyataan yang berproses. Informan yang menjadi sumber data adalah Kasi Penma Kementerian Agama Kabupaten, Kepala Madrasah/sekolah, Pengawas PAI, Tenaga pendidik dan kependidikan di madrasah/sekolah, tokoh masyarakat. Arsip dan dokumen sebagai data pendukung berupa silabus, RPP, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan fokus penelitian, Kenyataan yang berproses merupakan data yang sedang dalam proses kegiatan, seperti pembelajaran PAI di kelas dengan melihat kesesuaian RPP dengan praktek pembelajaran PAI, interaksi keberagamaan dan keberagaman diantara peserta didik dan diantara tenaga pendidik dan kependidikan serta diantara seluruh warga sekolah dengan masyarakat. 5. Pelaksanaan pendidikan agama pada lembaga pendidikan

formal MI/SD maupun MTs/SMP di daerah terpencil tidak atau kurang memperhatikan kompetensi guru maupun materi pelajaran, dan

6. Kementerian Agama yang merupakan instansi induk bagi pembinaan Madrasah maupun guru agama di SD maupun SMP sering dinilai kurang aktif untuk mengadakan pembinaan terhadap keberadaan madrasah maupun guru agama.

7. Pengawas sebagai “tangan panjang” Kementerian Agama sebenarnya telah melakukan tugas kepengawasan cukup maksimal, akan tetapi kendala waktu dan lokasi menjadi kurang efektif untuk melakukan tugas kepengawasan secara rutin.

Melalui informasi awal ini dilakukan pemetaan dengan berbagai pertimbangan diatas dan diputuskan untuk menetapkan madrasah/sekolah menjadi inti kajian. Ke 8 madrasah/sekolah tersebut adalah MI Hidayatul Mubtadiin Kabupaten Brebes, MI Annajmiyah, Kabupaten Tegal, MI Al Hidayah Kabupaten Boyolali, MI Ma’arif dan MI Senet Kabupaten Klaten, MI Ma’arif NU 1 dan SD N 1 Kabupaten Banyumas, MI Al Anwar 01 dan 02 Kabupaten Jepara, MTs An Nawawi 04 Kabupaten Purworejo, dan MI Ma’arif Kabupaten Magelang.

Untuk memperoleh kajian yang lebih mendalam, maka kajian ini juga mendesain rentang waktu yang digunakan untuk menyusun Desain Operasional (DO), pembahasan DO, studi kelayakan, penyelerasan DO dengan hasil studi kelayakan, pengumpulan data, penyusunan draft hasil penelitian, pembahasan draft hasil penelitian, dan desiminasi

(36)

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui wawancara, pengamatan, studi dokumen, dan triangulasi data. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dan akurat terkait dengan penyelenggaraan PAI. Wawancara ini dilakukan dengan Kepala madrasah/sekolah, guru, peserta didik, pengawas, pejabat Kemenag Kabupaten, Yayasan, dan tokoh masyarakat.

Pengamatan dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih akurat tentang model penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas, teknik atau metode yang dikembangkan dalam PBM pendidikan agama Islam, kinerja manajemen madrasah, dan kondisi fasilitas madrasah/ sekolah. Wawancara dilakukan secara bebas tidak terikat dengan mengedepankan pada kontens atau substansi penelitian, meskipun demikian telah disiapkan instrumen yang bersifat terbuka sehingga memungkinkan untuk memperoleh data yang lebih luas dan mendalam, yakni data berkaitan dengan penerapan 8 standar nasional pendidikan, peran masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam, dan faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan pendidikan agma Islam.

Studi dokumen dilakukan untuk memperoleh data terutama berkaitan dengan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam dalam bentuk dokumen-dokumen. Adapun data yang bersifat dokumentasi adalah silabus pembelajaran PAI, RPP yang disusun guru berkaitan dengan mata pelajaran PAI, hasil evaluasi pembelajaran, dokumen-dokumen lain yang

(37)

berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan PAI. Studi dokumen ini menjadi sangat penting terkait dengan data-data yang selama proses berjalannya lembaga pendidikan formal dalam kurun waktu tertentu. Adapun triangulasi data adalah untuk menguatkan data-data hasil wawancara, pengamatan, dan studi dokumen, sehingga kesahihan data dapat dipertanggungjawabkan dan sifat data menjadi lebih akurat

Kajian Praktis Pendidikan Agama; Sebuah Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan pengamatan, wawancara, studi dokumen, dan dilengkapi dengan triangulasi data. Analisis data yang digunakan menggunakan analisis yang dikembangkan oleh Miles dan Hubberman. Dalam analisis ini terdiri dari tiga hal yang utama. Yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data. Dalam analisis interaktif ini, peneliti harus bergerak diantara empat sumbu, yaitu proses pengumpulan data, penyajian data, reduksi data, dan kesimpulan atau verifikasi. Alur analisis dapat dilihat pada diagram yang didesain oleh Miles dan Huberman (Idrus;2009;147-148). Diagram alur tersebut adalah sebagai berikut.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui wawancara, pengamatan, studi dokumen, dan triangulasi data. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dan akurat terkait dengan penyelenggaraan PAI. Wawancara ini dilakukan dengan Kepala madrasah/sekolah, guru, peserta didik, pengawas, pejabat Kemenag Kabupaten, Yayasan, dan tokoh masyarakat.

Pengamatan dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih akurat tentang model penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas, teknik atau metode yang dikembangkan dalam PBM pendidikan agama Islam, kinerja manajemen madrasah, dan kondisi fasilitas madrasah/ sekolah. Wawancara dilakukan secara bebas tidak terikat dengan mengedepankan pada kontens atau substansi penelitian, meskipun demikian telah disiapkan instrumen yang bersifat terbuka sehingga memungkinkan untuk memperoleh data yang lebih luas dan mendalam, yakni data berkaitan dengan penerapan 8 standar nasional pendidikan, peran masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam, dan faktor pendukung dan penghambat dalam penyelenggaraan pendidikan agma Islam.

Studi dokumen dilakukan untuk memperoleh data terutama berkaitan dengan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam dalam bentuk dokumen-dokumen. Adapun data yang bersifat dokumentasi adalah silabus pembelajaran PAI, RPP yang disusun guru berkaitan dengan mata pelajaran PAI, hasil evaluasi pembelajaran, dokumen-dokumen lain yang

(38)

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan melibatkan aktor/informan, aktivitas pembelajaran dan aktivitas yang mendukung penyelenggaraan PAI. Informan yang dijadikan sumber informasi antara lain Kasi Penma Kemenag sebagai informan awal dan dilanjutkan dengan Kepala madrasah/sekolah, guru, tokoh masyarakat, pengawas. Aktivitas yang diselenggarakan dalam proses belajar mengajar PAI juga dijadikan fokus dalam penelitian ini. Reduksi data dilakukan untuk memilah-milah data dan penyederhanaan data sesuai dengan fokus penelitian, yaitu penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah dengan berbagai aspek yang memiliki kontribusi.

Langkah selanjutnya yang dijadikan analisis interaktif ini adalah penyajian data (display data), yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Idrus;2009;151). Dalam penelitian ini, display data yang disajikan adalah terkait dengan penyelenggaraan PAI di

Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi

(39)

madrasah/sekolah dari latar belakang berdirinya madrasah/ sekolah, visi dan misi, kurikulum yang dilaksanakan, sampai pada lulusan. Penarikan kesimpulan sebagai tahap akhir dari penelitian ini disinkronkan dengan rumusan penelitian dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan di awal penyusunan desain penelitian.

Kajian Praktis Pendidikan Agama dalam Kajian Pustaka

Penelitian tentang madrasah/sekolah telah dilakukan di berbagai daerah. Namun demikian, untuk mengukur tingkat kualitas pendidikan agama dan keagamaan yang dilaksanakan di daerah terpencil masih memerlukan kajian yang lebih mendalam, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Di antara hasil penelitian maupun kajian yang pernah dilakukan antara lain sebagai berikut.

a. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang pada tahun 2014. Fokus penelitian yang dilakukan adalah manajemen Madrasah Ibtidaiyah. Hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah terbitnya buku yang berjudul “Tiga Pilar Manajemen Menuju Madrasah Ideal”. Dalam Prolognya, Wahab menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas Madrasah Ibtidaiyah, yaitu dilihat dari aspek kepemimpinan kepala MI, kurikulum dan proses pembelajaran, dan kemitraan madrasah dengan masyarakat.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Penda Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI pada tahun 2010. Penelitian ini fokus pada manajemen madrasah dalam rangka peningkatan mutu. Hasil dari Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan

melibatkan aktor/informan, aktivitas pembelajaran dan aktivitas yang mendukung penyelenggaraan PAI. Informan yang dijadikan sumber informasi antara lain Kasi Penma Kemenag sebagai informan awal dan dilanjutkan dengan Kepala madrasah/sekolah, guru, tokoh masyarakat, pengawas. Aktivitas yang diselenggarakan dalam proses belajar mengajar PAI juga dijadikan fokus dalam penelitian ini. Reduksi data dilakukan untuk memilah-milah data dan penyederhanaan data sesuai dengan fokus penelitian, yaitu penyelenggaraan PAI di madrasah/sekolah dengan berbagai aspek yang memiliki kontribusi.

Langkah selanjutnya yang dijadikan analisis interaktif ini adalah penyajian data (display data), yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Idrus;2009;151). Dalam penelitian ini, display data yang disajikan adalah terkait dengan penyelenggaraan PAI di

Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi

Gambar

Foto diambil tanggal 8/6/2017

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian yang menemukan adanya hubungan perencanaan rantai pasokan berpengaruh terhadap kinerja operasional menunjukan bahwa perusahaan yang telah

Apabila ada sanggahan mengenai proses pelelangan ini, maka dapat disampaikan sanggahan secara tertulis kepada :Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan

[r]

Nilai rata-rata yang diperoleh siswa setelah dilakukan tes pemahaman untuk mengukur pemahaman siswa setelah menggunakan LAS matematika yang berorientasi pada

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa perilaku dispersi COD pada larutan limbah yang mengalir sepanjang saluran air adalah semakin besar

Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Bareng Kabupaten Jombang, Jawa Timur bisa disimpulkan bahwa sebagian besar penderita Diabetes Melitus tipe 2 yang

Kegunaan ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan yang baik pada sekolah tempat penelitian dalam rangka perbaikan proses pembelajaran dengan cara