• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

15

II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

2.1 Belajar dan Pembelajaran

2.1.1 Pengertian Belajar

Belajar adalah key term,„istilah kunci‟ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar yang sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai displin ilmu yang berkaitan dengan upaya pendidikan. Menurut Slameto (2010: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Djamarah (2008: 13) menyatakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Perubahan yang didapatkan bukan perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan sebab masuknya kesan-kesan yang baru. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Anderson (2001: 35) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif menetap terjadi dalam tingkah laku potensial sebagai hasil dari pengalaman. Gagne dalam Sagala (2011: 17) belajar merupakan kegiatan yang kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas. Belajar merupakan seperangkat

(2)

16 proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi).

Gagne dalam Sagala (2011: 17) menyatakan bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena yang berlaku yaitu: (1) keterampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur dan latihan yang didapat individu, dan (2) belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien. Gagne berpendapat bahwa, belajar merupakan suatu proses yang bukan terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu. Kondisi ini menyangkut kondisi internal dan eksternal, kondisi internal berhubungan dengan kesiapan siswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya, sementara kondisi eksternal merupakan situasi belajar dan penyajian stimulus yang sengaja diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Belajar yang terbaik ialah dengan mengalami sendiri, dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca indera. Hal-hal yang pokok dalam “belajar” adalah bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial, bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru, bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).

Pengertian belajar yang merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (Sagala : 2011). Sedangkan Garret dalam Sagala (2011 : 13) menyatakan bahwa : ”Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang

(3)

17 tertentu lama melalui latihan pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang”.

Belajar merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Belajar adalah proses berpikir. yang menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui proses interaksi secara individu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated).

Purwanto (2004: 85) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) elemen penting yang mencirikan pengertian belajar yaitu :

1. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang;

2. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek kepribadian baik fisik maupun psikis seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berfikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan ataupun sikap.

(4)

18 Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar adalah seperangkat proses kognitif yang menghasilkan kapabilitas berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang diperoleh siswa melalui pengalaman dan proses latihan. Peristiwa belajar lebih difokuskan pada proses belajar dalam konteks formal yaitu proses belajar yang sengaja didesain atau diciptakan untuk membuat seseorang dapat mencapai kompetensi tertentu. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk mengadakan perubahan dalam dirinya secara keseluruhan baik berupa pengalaman, keterampilan, sikap dan tingkah laku sebagai akibat dari latihan serta interaksi dengan lingkungannya.

2.1.2 Pengertian Pembelajaran

Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ”pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dari pernyataan tersebut agar pembelajaran dikatakan berhasil, harus ada interaksi antara siswa sebagai peserta didik dengan guru sebagai pendidik maupun dengan sumber belajar.

Dimyati dalam Sagala (2011: 62) memberikan pengertian pembelajaran adalah ”kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Dari pengertian tersebut, agar pembelajaran sejarah berjalan dengan baik guru harus mempersiapkan bahan belajar sebelum proses pembelajaran dimulai.

(5)

19 Definisi pembelajaran disampaikan oleh Smith dan Ragan dalam Pribadi (2011: 6) yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah pengembangan dan penyampaian informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan yang spesifik. Miarso (2009: 144) memaknai istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pemelajar (learner centered) untuk menggantikan istilah “pengajaran” yang lebih bersifat sebagai aktivitas yang berpusat pada guru (teacher centered). Miarso (2009: 545) menjelaskan lebih rinci definisi pembelajaran sebagai berikut: “pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan.

Lebih lanjut Miarso (2009: 545) menyatakan bahwa istilah pembelajaran harus dibedakan dengan istilah pengajaran. Pengajaran merupakan istilah yang diartikan sebagai penyajian bahan ajar yang dilakukan oleh pengajar, sedangkan kegiatan pembelajaran tidak harus diberikan oleh pengajar karena kegiatan itu dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar, misalnya seorang teknolog pendidikan atau tim ahli. Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Proses belajar sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa belajar. Peristiwa belajar menurut Gagne seperti dikutip oleh Djamarah (2008: 78) disebut sembilan peristiwa pembelajaran (model nine instructional event Gagne), yaitu :

(6)

20 1) Menarik perhatian agar siap menerima pelajaran;

2) Memberitahukan tujuan pembelajaran agar anak didik tahu apa yang diharapkan dari belajar itu;

3) Merangsang timbulnya ingatan atas ajaran sebelumnya; 4) Presentasi bahan ajaran;

5) Memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar; 6) Membangkitkan timbulnya unjuk kerja (merespons); 7) Memberikan umpan balik atas unjuk kerja;

8) Menilai unjuk kerja;

9) Memperkuat retensi dan transfer pelajaran.

Pembelajaran merupakan proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya proses belajar dalam diri individu. Pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu. Dick and Carey (2005: 205) mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa jenis media.

Proses pembelajaran mempunyai tujuan yaitu agar siswa dapat mencapai kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro,

(7)

21 pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, guru memegang peran strategis dalam membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Sehingga peran guru sulit digantikan oleh yang lain.

2.2 Teori Belajar dan Pembelajaran

2.2.1 Teori Belajar

Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.

Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25) menyatakan untuk terjadinya belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan memori siswa sebagai hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen yang baru dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil belajar

(8)

22 (learning outcomes), Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25) menyatakan dalam lima kelompok, yaitu intelektual skill, cognitive strategy, verbal information, motor skill, dan attitude.

Gagne lebih lanjut menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian, sebaiknya memperhatikan atau menata pembelajaran yang memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru dapat dipahaminya. Kondisi eksternal bertujuan antara lain memberikan stimulasi berpikir siswa, penginformasian tujuan pembelajaran, membimbing belajar materi yang baru, memberikan kesempatan kepada siswa menghubungkannya dengan informasi baru guna memacu siswa agar dapat berpikir kritis.

Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide, mampu berpikir kritis. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya sedangkan Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan dan menetapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk

(9)

23 belajar Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, teori berpikir kritis, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nurhadi, 2009: 80).

Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nurhadi, 2009: 8).

Perkembangan kognitif sebagaian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interakasi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nurhadi, 2009).

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar terbagi empat periode yaitu: a) periode sensori motor ( 0 – 2 tahun); b) periode praoperasional (2-7 tahun); c) periode operasional konkrit (7-11 tahun); d) periode operasi formal (11-15) tahun.

(10)

24 Sedangkan konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget yaitu: skemata (dipandang sebagai sekumpulan konsep); asimilasi (peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang telah dimiliki seseorang; akomodasi (terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama); dan equilibrium (bila keseimbangan tercapai maka siswa mengenal informasi baru).

Menurut Piaget dalam Uno (2010: 3) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran seseorang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif seseorang dalam mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Sedangkan equilibrium adalah pengaturan diri seseorang agar terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Apabila keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi maka disebut dengan disequilibrium.

Tokoh teori belajar konstruktivisme sosial adalah Lev Vygotsky yang berpendapat bahwa belajar bagi peserta didik dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Lebih lanjut dikatakan bahwa, interaksi sosial memegang peranan terpenting dalam perkembangan kognitif peserta didik. Ada dua tahapan belajar, pertama peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang lain, baik keluarga, teman sebaya maupun gurunya, kemudian dilanjutkan secara individual

(11)

25 peserta didik mengintegrasikan apa yang ia pelajari dari orang lain kedalam struktur mentalnya (Herpratiwi, 2009: 80).

Teori belajar Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori yang menjadi dasar dalam cooperative learning. Ausubel seperti dikutip oleh Dahar (2008: 115) menyatakan bahwa bahan subjek yang dipelajari siswa haruslah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.

Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu harus sesuai dengan keterampilan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (Dahar, 2008: 116) adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu

(12)

26 informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar.

Menurut Ausubel (Dahar, 2008: 116), seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna., Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.

(13)

27 Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.

Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: advance organizer, progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation. Empat tipe belajar menurut Ausubel (Dahar, 2008: 117) yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

(14)

28 Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan oleh Ausubel adalah teori model mengajar Advance Organizer adalah salah satu model dalam rumpun pemprosesan informasi. David Ausubel dalam Joyce, (2009:208) mengemukakan teorinya menyangkut empat hal :

1. Bagaimana ilmu itu diorganisasikan artinya bagaimana seharusnya isi kurikulum itu di tata.

2. Bagaimana proses berpikir itu terjadi bila berhadapan dengan informasi baru. 3. Bagaimana guru seharusnya mengajarkan informasikan baru itu sesuai dengan

teori tentang isi kurikulum dan teori belajar. 4. Sintaks

Model pembelajaran Advance Organizer terdiri dari tiga tahap. Tabel 2.1: Sintaks Model Pembelajaran Advance Organizer

Tahap Tingkah Laku Guru Tahap-1

Penyajian Advance Organizer

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran 2. Menyajikan Advance Organizer

3. Menumbuhkan kesadaran pengetahuan dan pengalaman siswa yang relevan.

Tahap-2

Penyajian bahan pelajaran

1. Membuat organisasi secara tegas

2. Membuat urutan bahan pelajaran secara logis dan eksplisit

3. Memelihara suasana agar penuh perhatian 4. Menyajikan bahan

Tahap-3

Penguatan organisasi kognitif

1. Menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif 2. Meningkatkan kegiatan belajar (belajar menerima) 3. Melakukan pendekatan kritis guna memperjelas materi

pelajaran

4. Mengklarifikasikan (Aunurrahman: 2009: 57)

(15)

29 2.2.2 Teori Pembelajaran

Di dalam teknologi pendidikan dibedakan antara istilah pembelajaran (instructional) dan pengajaran (teaching). Menurut Miarso (2009: 545) pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik. Istilah mengajar (teaching) sebagai penyampai materi pelajaran kepada peserta didik, dianggap tidak sesuai lagi sehingga dalam literatur teknologi pendidikan hanya digunakan istilah pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses yang sistematis, dimana semua komponen antara lain guru, peserta didik (siswa), material dan lingkungan belajar merupakan komponen penting untuk keberhasilan belajar. Pembelajaran sebagai sebuah sistem menggunakan pendekatan sistem dalam desain pembelajaran. Sistem yang dimaksud adalah bahwa semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Reigeluth dan Merill dalam Miarso (2009: 529) pembelajaran sebaiknya didasarkan pada teori pembelajaran preskriptif, yaitu teori yang memberi resep untuk mengatasi masalah belajar. Teori pembelajaran preskeptif tersebut memperhatikan tiga variabel yaitu kondisi, metode dan hasil. Di dalam setiap metode pembelajaran harus mengandung rumusan pengorganisasian bahan pelajaran, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan dengan memperhatikan faktor tujuan belajar, hambatan belajar, karakteristik siswa agar dapat diperoleh efektivitas, efisiensi dan daya tarik pembelajaran.

(16)

30 Menurut Sanjaya (2005: 78) istilah pembelajaran dipengaruhi oleh perkembangan tekbologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar yang memegang peranan paling utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar peserta didik dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian kalau didalam istilah pengajaran (teaching) menempatkan guru sebagai pemeran utama dalam memberikan informasi kepada peserta didik, maka dalam istilah pembelajaran (instruction) guru lebih banyak sebagai fasilitator yang mengelola berbagai sumber belajar untuk dipelajari peserta didik.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pembelajaran.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu dengan semakin berkembangnya teknologi dalam pembelajaran, maka pola interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar mengalami perubahan dari pola pembalajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered) dimana peran guru sebagai fasilitator dan bahkan ada kecenderungan akan digantikan media.

(17)

31 2.3 Teori Desain Pembelajaran ASSURE

Teknologi pendidikan merupakan sebuah bidang yang fokus pada upaya-upaya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dalam diri individu. Hal ini sesuai dengan definisi teknologi pendidikan yang dikemukakan oleh AECT (Association of Educational Communication and Technology), yaitu sebuah studi dan praktik etis yang berupaya membantu memudahkan berlangsungnya proses belajar dan perbaikan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, pengelolaan, proses, teknologi dan sumber daya yang tepat. Seels dan Richey (dalam Pribadi 2011: 63) mengemukakan bahwa

teknologi pendidikan memiliki lima domain atau bidang garapan, yaitu: (1) desain, (2) pengembangan, (3) pemanfaatan, (4) pengelolaan, dan (5) evaluasi. Bidang garapan desain meliputi beberapa bidang kerja yaitu desain pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik siswa. Hal ini menunjukkan bahwa desain merupakan salah satu domain atau bidang garapan yang penting dalam teknologi pendidikan yang berperan sebagai salah satu sarana untuk memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dan memperbaiki kinerja.

Pribadi (2011: 54) mengemukakan bahwa upaya untuk mendesain proses pembelajaran agar menjadi sebuah kegiatan yang efektif, efisien, dan menarik disebut dengan istilah desain sistem pembelajaran atau instructional system design (ISD).

Smith dan Ragan (dalam Pribadi 2011: 55) mengemukakan bahwa desain sistem pembelajaran adalah proses sistematik yang dilakukan dengan menerjemahkan prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran menjadi rancangan yang dapat

(18)

32 diimplementasikan dalam bahan dan aktivitas pembelajaran. Desain sistem pembelajaran terus tumbuh sebagai suatu bidang yang dapat dimanfaatkan untuk merancang program pembelajaran dan pelatihan yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan dan pengetahuan sehingga mampu menunjukkan hasil belajar yang optimal.

Lebih lanjut Pribadi (2011: 56) menjelaskan bahwa pada umumnya desain sistem pembelajaran berisi lima langkah yang penting, yaitu (1) analisis lingkungan dan kebutuhan belajar siswa, (2) merancang spesifikasi proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan belajar siswa, (3) mengembangkan bahan-bahan untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran, (4) implementasi desain sistem pembelajaran, dan (5) implementasi evaluasi formatif dan sumatif terhadap program pembelajaran.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa desain sistem pembelajaran berisi langkah-langkah yang sistematis dan terarah untuk menciptakan proses belajar yang efektif, efisien, dan menarik. Secara umum, desain sistem pembelajaran dimulai dari kegiatan analisis yang digunakan untuk menggambarkan masalah pembelajaran yang akan dicari solusinya. Setelah mengetahui masalah pembelajaran maka langkah selanjutnya menentukan solusi untuk mengatasi tersebut. Hasil proses desain sistem pembelajaran berisi rancangan sistematik dan menyeluruh dari sebuah aktivitas atau proses pembelajaran yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah pembelajaran.

(19)

33 Model ASSURE adalah salah satu petunjuk dan perencanaan untuk membantu perancang desain pembelajaran dalam merencanakan, mengidentifikasi, menentukan tujuan, memilih metode dan bahan ajar serta evaluasi. Model desain ASSURE menjembatani antara peserta didik, materi dan semua bentuk media berbasis teknologi dan bukan teknologi. Model ASSURE ini merupakan rujukan bagi guru dalam membelajarkan siswa yang direncanakan dan disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan media sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik.

Model ASSURE menekankan pada pembelajaran dengan gaya belajar yang berbeda, siswa diwajibkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan tidak secara pasif menerima informasi. Model ASSURE lebih difokuskan pada perencanaan pembelajaran yang digunakan dalam situasi pembelajaran di dalam kelas secara aktual. Pengembangan desain pembelajaran ASSURE didasari pada pemikiran Gagne mengenai peristiwa pembelajaran. Menurut Gagne, desain pembelajaran yang efektif harus dimulai dari upaya yang dapat memicu atau memotivasi seseorang untuk belajar. Langkah yang harus diikuti secara kontinyu yaitu proses pembelajaran yang sistematik, penilaian hasil belajar dan pemberian umpan balik tentang pencapaian hasil belajar.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam model desain sistem pembelajaran ASSURE adalah : (1) Analyze learners yaitu melakukan analisis karakteristik siswa, (2)State objectives yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, (3) Select method, media and materials yaitu memilih media, metode dan bahan ajar, (4) Utilize materials yaitu memanfaatkan bahan ajar, (5) Require learners

(20)

34 participation, yaitu melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran, (6) Evaluate and revise yaitu mengevaluasi dan merevisi program pembelajaran.

2.3.1 Analisis Karakteristik Siswa (Analyze Learners)

Langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan model assure adalah melakukan analisis terhadap obyek yang akan melakukan proses belajar, dalam hal ini siswa. Karakteristik siswa meliputi tiga aspek, yaitu : (1) karakteristik umum, (2) kompetensi spesifik yang telah dimiliki sebelumnya, (3) gaya belajar siswa. Karakteristik umum merupakan gambaran dari kelas keseluruhan, seperti jumlah siswa, usia, tingkat pendidikan, faktor sosial ekonomi, budaya atau etnis, keanekaragaman, dan seterusnya. Dengan demikian karakteristik pembelajaran dapat memberi pengarahan dalam membantu memilih metode pembelajaran dan media. Kompetensi spesifik (specific kompetensi) merupakan gambaran dari jenis pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki peserta didik baik atau kurangnya ketrampilan yang dimiliki sebelum memenuhi syarat yang akan dicapai dalam ketrampilan dan tingkah laku. Gaya belajar (learning style) merupakan gambaran dari prefensi gaya belajar masing-masing peserta didik yang bersifat psikologis yaitu mempengaruhi bagaimana kita menanggapi rangsangan yang berbeda. Gaya belajar siswa meliputi gaya belajar auditorial, visual, dan kinestetik. Guru akan menentukan pengelolaan informasi dari kebiasaan siswa. Kategori ini berisi berbagai variabel yang terkait dengan bagaimana kecenderungan individu dalam pemrosesan informasi kognitif.

(21)

35 2.3.2 Menetapkan Tujuan Pembelajaran (State Objectives)

Langkah kedua dalam model pembelajaran ASSURE adalah menentukan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran digunakan untuk menyatakan gambaran apa yang harapkan siswa dari hasil pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus bersifat spesifik. Tujuan pembelajaran diperoleh dari penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Nasional Pendidikan. Tujuan pembelajaran dirumuskan oleh guru berdasarkan langkah pertama yaitu tujuan pembelajaran ditulis dengan menggunakan format ABCD, yaitu Audience, behavior, condition, dan degree.

(a) Audience : pembelajaran ini diberikan untuk siswa sebagai audience, bukan guru untuk lebih fokus pada apa yang dilakukan siswa bukan apa yang dilakukan guru.

(b) Behavior : tujuannya adalah menggambarkan kemampuan baru yang dimiliki siswa setelah mendapatkan pembelajaran. Jadi, perilaku atau kemampuan siswa yang dapat diukur dan dapat diamati perlu ditunjukan sebagai hasil pembelajaran.

(c) Condition : keadaan atau kondisi siswa. Tujuan pembelajaran menunjukan ketrampilan atau kemampuan yang diajarkan. Sebuah pernyataan tujuan harus mencakup kondisi dimana hasilnya dapat diamati. Jadi, harus menyertakan peralatan/alat bantu, atau referensi yang akan digunakan siswa.

(d) Degree : persyaratan terakhir bertujuan agar lebih baik dalam menunjukan hasil belajar yang dapat diterima dan akan dinilai. Jadi, sejauhmana ketrampilan yang dikuasai dan dapat diterima.

(22)

36 2.3.3 Memilih Metode, Media dan Bahan (Select Methods, Media, Materials)

Langkah ini menghubungkan antara siswa dan tujuan pembelajaran yang sistematis yaitu menggunakan media dan teknologi. Metode, media dan bahan ajar harus dipilih secara sistematis. Setelah mengetahui gaya belajar peserta didik dan memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang akan di sampaikan, maka harus dilakukan pemilihan:

a) Metode pembelajaran yang digunakan harus tepat dan lebih unggul dari yang lain dan memberikan semua kebutuhan siswa dalam belajar.

b) Media bisa berupa teks, gambar, video, audio, dan multimedia komputer. c) Bahan ajar yang disediakan untuk siswa harus sesuai dengan yang dibutuhkan

siswa dalam menguasai tujuan.

2.3.4 Memanfaatkan Bahan Ajar (Utilize Materials)

Langkah keempat dalam model pembelajaran ASSURE adalah memanfaatkan penggunaan ketiganya dalam pembelajaran. Guru menjelaskan penggunaan media yang dipilih kepada siswa, bagaimana pendidik akan menerapkan media dan memahami materi pembelajaran yang tercantum. Media dipilih, dimodifikasi dan didesain agar memenuhi kebutuhan siswa dan membantu siswa dalam pembelajaran. Dalam memanfaatkan bahan ajar ada beberapa langkah yang harus dilakukan guru, yaitu : a) Preview materi, melihat dulu materi sebelum menyampaikannya dalam kelas dan menentukan materi yang tepat untuk audiens dan memperhatikan tujuannya, b) Menyiapkan bahan, guru harus mengumpulkan semua materi dan media yang dibutuhkan siswa dan guru. Guru harus menentukan urutan materi dan penggunaan media. Guru harus menggunakan media terlebih

(23)

37 dahulu (check) untuk memastikan keadaan media, c) Menyiapkan lingkungan, guru harus mengatur fasilitas yang digunakan siswa dengan tepat dan sesuai antara bahan ajar dengan lingkungan sekitar, d) Siswa. Guru memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa dan menjelaskan cara memperoleh informasi dan evaluasi materi pelajaran.

2.3.5 Melibatkan Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran (Require Learners Participation)

Langkah kelima dalam model pembelajaran ASSURE adalah dengan mewajibkan partisipasi siswa. Pembelajaran terbaik jika siswa aktif dalam pembelajaran. Siswa yang pasif lebih banyak memiliki permasalahan dalam belajar, karena guru hanya mencoba untuk memberikan stimulus, tanpa mempedulikan respon dari siswa. Apapun strategi pembelajarannya guru harus dapat menggabungkan strategi satu dengan yang lain, diantaranya strategi tanya-jawab, diskusi, kerja kelompok, dan strategi lainnya agar peserta didik aktif dalam pembelajarannya.

2.3.6 Evaluasi dan Revisi Program Pembelajaran (Evaluate and Revise)

Langkah terakhir dalam model pembelajaran ASSURE adalah evaluasi dan revisi. Evaluasi dan revisi merupakan komponen penting untuk mengembangkan kualitas pembelajaran. Siapa saja dapat mengembangkan dan menyampaikan pelajaran, tetapi guru yang baik harus benar-benar dapat merefleksi pelajaran, mengetahui tujuan, menguasai strategi pembelajaran, menguasai materi pembelajaran, dan melakukan penilaian serta dapat menentukan apakah unsur-unsur dari pelajaran itu efektif. Jika guru menemukan beberapa hal yang terlihat tidak efektif maka mungkin strategi yang disampaikan belum tepat untuk tingkatan kelas itu.

(24)

38 Keefektifan dalam strategi pembelajaran juga bisa terjadi, misalnya peserta didik tidak termotivasi atau strategi itu sulit dilaksanakan pendidik. Oleh karena itu, evaluasi adalah langkah yang penting untuk menilai prestasi peserta didik dan menilai metode pembelajaran dan media yang digunakan. Revisi merupakan langkah terakhir dari siklus pembelajaran yang juga merupakan hal yang penting untuk melihat hasil evaluasi.

2.4 Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan tujuan utama dari pengkonsepan pembelajaran. Dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik pengkonsepan pembelajaran diharapkan mampu menciptakan hasil belajar yang baik bagi siswa. ”Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang” (Winkel, 2004: 226). Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Gunarso (2007: 77) mengemukakan bahwa, ”Prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar”. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004: 130) prestasi belajar merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) individu.

Prestasi belajar di bidang pendidikan merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Selanjutnya, menurut S. Nasution (2010: 17) prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa

(25)

39 dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.”

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.

Prestasi belajar merupakan wujud dari hasil pembelajaran yang secara maksimal yang diukur dengan tingkat ketuntasan belajar. Prestasi belajar diperoleh bila nilai melebihi standar kelulusan. Namun, bila nilai yang diperoleh siswa dibawah standar kelulusan maka siswa tersebut wajib mengikuti pembelajaran remedial untuk dapat mencapai tingkat ketuntasan.

Berdasarkan beberapa batasan diatas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai kecakapan nyata yang dapat diukur yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai interaksi aktif antara subyek belajar dengan obyek belajar selama berlangsungnya proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar

(26)

40 2.5 Model Pembelajaran Kontekstual

2.5.1 Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual

Johhson dalam Rusman (2012: 187) menyatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola yang mewujudkan makna. Pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata.

Inti dari pembelajaran kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya dapat dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga dapat disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya.

Nurhadi seperti dikutip Rusman (2012: 189) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong

(27)

41 siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

2.5.2 Prinsip Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model dalam implementasinya tentu saja memerlukan perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip pembelajaran kontekstual. Rusman (2012: 193-199) menyatakan bahwa ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :

2.5.2.1 Konstruktivisme (Contructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata.

Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Dalam pembelajaran kontekstual strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat siswa.

(28)

42 Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para siswa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu ia selalu dengan mudah memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar dan media pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya. Dengan cara itu, pengalaman belajar siswa akan memfasilitasi kemampuan siswa untuk melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda.

2.5.2.2 Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan ketrampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri.

Komalasari (2013: 12) mengemukakan bahwa di dalam inquiry, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus : 1) observasi (observation); 2) bertanya (questioning); 3) mengajukan dugaan (hipotesis); pengumpulan data (data gathering); dan 4) penyimpulan (conclussion).

(29)

43 Menurut Amri dan Ahmadi (2010: 29) tahapan atau siklus inquiry adalah: (1) proses perpindahan pengamatan menjadi pemahaman; (2) siswa belajar menggunakan ketrampilan berpikir kritis; (3) observasi; (4) mengajukan dugaan; (5) bertanya; (6) mengumpulkan data; dan (7) menyimpulkan.

Lebih lanjut Amri dan Ahmadi (2010: 29) menyatakan bahwa langkah-langkah kegiatan inquiry adalah: (1) merumuskan masalah; (2) mengamati atau melakukan observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien lainnya.

Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menemukan sendiri nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemberian. Hasil pembelajaran yang berasal dari kreativitas siswa sendiri, akan bersifat lebih tahan lama diingat oleh siswa jika dibandingkan dengan pemberian guru.

2.5.2.3 Bertanya (Questioning)

Unsur lain yang menjadi karakteristik utama pembelajaran kontekstual adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Penerapan unsur bertanya dalam pembelajaran kontekstual harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. Dalam implementasi pembelajaran kontekstual, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, tugas guru

(30)

44 adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menmukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata.

Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru maupun oleh siswa. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya, produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya

maka : 1) dapat menggali informasi baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek pemahaman siswa; 3) membangkitkan respons siswa; 4) mengetahui

sejauhmana keingintahuan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa; 6) memfokuskan perhatian siswa; 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan 8) menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.

2.5.2.4 Masyarakat Belajar (Learning Community)

Masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Penerapan learning comunity dalam pembelajaran di kelas akan banya bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dimana dituntut ketrampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak arah (interaksi) yaitu model komunikasi yang bukan hanya hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa lainnya.

(31)

45 Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam pembelajaran kontekstual sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat).

2.5.2.5 Pemodelan (Modelling)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cukup heterogen. Oleh karena iru, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa dapat memenuhi harapan siswa secara menyeluruh dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.

2.5.2.6 Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru

(32)

46 dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menaggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model pembelajaran kontekstual, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa dan disinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap kesempatan pembelajaran.

2.5.2.7 Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses hasil pembelajaran melalui penerapan pembelajaran kontekstual. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang dapat memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru

(33)

47 terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran dan kesulitan siswa dalam belajar dan guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar.

Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual harus mempertimbangkan beberapa karakteristik : 1) kerjasama; 2) saling menunjang;

3) menyenangkan dan tidak membosankan; 4) belajar dengan bergairah; 5) pembelajaran terintegrasi; 6) menggunakan berbagai sumber; 7) siswa aktif; 8) sharing dengan teman; 9) siswa kritis guru kreatif; 10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa; 11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain.

2.5.3 Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Di dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu program pembelajaran kontekstual hendaknya :

1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok dan indikator pencapaian hasil belajar

(34)

48 3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan

digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan

4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan proses pembelajarannya yang meliputi langkah-langkah : a. Merumuskan masalah

b. Mengamati atau melakukan observasi

c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya

d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien lainnya

5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan memfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar

(Rusman, 2012: 199).

Lebih lanjut Rusman (2012: 199-200) menyatakan bahwa pada intinya pengembangan setiap komponen pembelajaran kontekstual tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimilikinya.

2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.

(35)

49 3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan

pertanyaan-pertanyaan.

4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok diskusi, tanya jawab dan lain sebagainya.

5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Melakukan penilaian secara objektif yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

Program pembelajaran dalam pembelajaran kontekstual merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Di dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen pembelajaran kontekstual dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan pembelajaran di dalam kelas.

2.6 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

2.6.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

(36)

50 Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nurhadi (2009: 2) : “Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain project based teaching (pembelajaran proyek), experience based education (pendidikan berdasarkan pengalaman), authentic learning (pembelajaran autentik), dan anchored instruction (pembelajaran berakar pada kehidupan nyata)”.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran. Selama ini kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah kurang diperhatikan oleh setiap guru. Akibatnya, manakala siswa telah menghadapi masalah, walaupun masalah itu dianggap sepele, banyak siswa tersebut tidak dapat menyelesaikannya dengan baik dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis yang seharusnya dimiliki.oleh setiap siswa. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai : 1) ide atau inisiatif, ketelitian yang timbul pada diri seseorang secara disadari atau tidak disadari, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2) gagasan-gagasan yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai (Asrori, 2008: 183).

Pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat 3 (tiga) ciri ilmiah utama dari pembelajaran berbasis masalah. Pertama, merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya

(37)

51 dalam implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Kedua, siswa tidak hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghapal materi pelajaran, akan tetapi siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, serta akhirnya dengan menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan strategi ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahap-tahap tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

2.6.2 Ciri-Ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Ciri-ciri model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut : (1) Pengajuan pertanyaan atau masalah

Model pembelajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, tetapi mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial sangat penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.

(2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu

Meskipun model pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Sejarah, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahanya siswa meninjau masalah itu dari perspektif mata pelajaran lain.

(38)

52 (3) Penyelidikan autentik

Model pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang nyata.

(4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya

Model pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk itu dapat berupa transkip debat, laporan model fisik, video atau program komputer (Nurhadi, 2009: 5-7).

Model pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah dapat ditetapkan : a. Guru menginginkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi

pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh.

b. Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan ketrampilan berpikir rasional siswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgment secara objektif.

c. Manakala guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan intelektual siswa.

d. Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya.

(39)

53 e. Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan).

Model pembelajaran berbasis masalah dapat dilakukan guru agar dapat melihat kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah dan mengaitkannya dengan pelajaran yang diperoleh siswa.

2.6.3 Tujuan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Tujuan pembelajaran dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa yang dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajaran yang otonom dan mandiri.

Uraian terinci terhadap ketiga tujuan itu dijelaskan lebih jauh oleh Nurhadi (2009: 7-12) berikut ini : (a) ketrampilan berpikir dan ketrampilan pemecahan masalah; (b) berbagai macam ide telah digunakan untuk mengembangkan cara seseorang berpikir. Tetapi, apakah sebenarnya yang terlibat dalam proses berpikir, ketrampilan berpikir kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama.

(40)

54 2.6.4 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

John Dewey seperti dikutip oleh Nurhadi (2009: 13) menjelaskan 6 langkah pembelajaran berbasis masalah yang kemudian dia namakan pemecahan masalah (problem solving), yaitu : (1) merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan; (2) menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang; (3) merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai

kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya; (4) mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan

informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah; (5) pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dari rumusan kesimpulan; (6) merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil penggujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunianyata (real world) untuk memulai pembelajaran. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan pengembangan kurikulum dan model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis karena di sini guru hanya berperan sebagai penyaji dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual pada peserta didik. Prinsip utama pendekatan masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual pada peserta didik. Prinsip

(41)

55 utama pendekatan konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh siswa.

Pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari enam tahapan utama yang dimulai dengan guru mengenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari masalah kemasyarakatan.

Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Tahapan Tingkah Laku Siswa

1. Merumuskan masalah Siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan

2. Menganalisis masalah Siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.

3. Merumuskan hipotesis Siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya

4. Mengumpulkan data Siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah 5. Pengujian hipotesis Siswa mengambil atau merumuskan

kesimpulan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dari rumusan kesimpulan

6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah

Siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil penggujian hipotesis dan rumusan kesimpulan

(42)

56 2.6.5 Hakikat Masalah dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning)

Pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkanp untuk memecahakn masalah yang dihadapi. Tujuan yang ingin dicapai adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitik, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.

Kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu: (1) bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya; (2) bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (3) bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga terasa manfaatnya; (4) bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (5) bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.

2.6.6 Merencanakan Pelajaran Untuk Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri, (Serafino & Ciccelli dalam Eggen, 2012: 310). Pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga

(43)

57 karakteristik yaitu pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa dan guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Pelajaran berawal dari satu masalah dan memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran. Siswa memiliki tanggungjawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah yang biasanya dilakukan secara berkelompok yang semua siswanya terlibat dalam proses itu, sehingga membuat siswa bertanggungjawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah. Guru menuntun upaya siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha memecahkan masalah. Karakteristik ini penting dan menuntut ketrampilan serta pertimbangan yang profesional untuk memastikan kesuksesan pembelajaran berbasis masalah. Jika guru tidak cukup memberikan bimbingan siswa akan gagal, dan mungkin memiliki konsepsi keliru. Jika diberikan berlebihan siswa tidak akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah.

Merencanakan pembelajaran berbasis masalah diawali dengan mengidentifikasi topik, jika topik-topik tidak memiliki karakteristik spesifik maka perencanaan menjadi kurang konkrit sehingga perlu memahami ide-ide secara detail. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan, saat merencanakan pelajaran untuk pembelajaran berbasis masalah hendaknya kita memiliki dua jenis tujuan belajar, Tahap ketiga adalah mengidentifikasi masalah, siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis masalah memerlukan satu masalah untuk dipecahkan, masalah menjadi efektif jika jernih, konkrit, dan dekat dengan keseharian pribadi. Saat memilih masalah harus berusaha menentukan apakah siswa-siswinya memiliki cukup banyak pengetahuan awal untuk secara efektif merancang satu

Gambar

Tabel 2.1: Sintaks Model Pembelajaran Advance Organizer  Tahap                             Tingkah Laku Guru  Tahap-1
Tabel  2.2  Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tabel 2.3 Fase Pembelajaran Berbasis Masalah
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir KONDISI AWAL

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa poin pokok bahasan yang akan disajikan dalam mata kuliah ini, antara lain: dasar-dasar pengetahuan tentang data mining, teknik preprocessing data, konsep data

Pasal 36 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan mengenai wewenang

Pendidikan IPS selalu mendapat sorotan tajam sebagai kumpulan mata pelajaran yang sangat membebani siswa, khususnya mata pelajaran geografi, karena otak kiri siswa dituntut

Menurut Landa (2010) iklan merupakan komunikasi visual yang mengatasnamakan sebuah instansi atau pihak untuk menyampaikan suatu informasi yang spesifik yang ditujukan

Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tambak polikultur udang windu dan bandeng di Desa Simpang

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Interest in learning is very supportive and influencing the implementation process of teaching and learning in schools which ultimately lead to the achievement of

Aromaterapi mempunyai banyak manfaat salah satunya dapat menumbuhkan perasaan yang tenang pada jasmani, pikiran dan rohani (soothing the.. physical, mind and spiritual),