• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN. Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan metode dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN. Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan metode dari"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Hermeunitika Sebagai Metode Intepretasi

Pada bagian ini akan membahas beberapa hal penting untuk sebuah penelitian Hermeunitika. Dalam sub bab ini peneliti akan memaparkan metode dari Hermeunitika Hans Georg Gadamer, paparan metode ini ditujukan peneliti untuk memperlihatkan bahwa penelitian intepretif bukanlah penelitian yang mencari kebenaran makna sesuai dengan apa yang disukai oleh peneliti (dengan kata lain penelitian yang sewenang-wenang dan serampangan). Penelitian Hermeneutika memiliki syarat metodologis yang harus dilalui, tetapi tentu saja bukan bermaksud untuk menjadikan ini sebagai prosedur baku sepertihalnya Positivisme, sehingga apa yang akan dipaparkan oleh peneliti disini merupakan sebagai abstraksi metodis saja, peneliti berusaha untuk tidak melakukan pengingkaran pada tataran ontologis maupun epistemologisnya. Abstraksi metode itu sendiri selalu tergantung dengan pada teks maupun sistem teks konkret yang diteliti.

III.2. Kerja Tafsir Hermeneutika III.2.1. Historikalitas Teks

Pendekatan historikalitas teks adalah penjelajahan historis atas teks (objek tafsir), dengan memahami konteks historis kemunculan teks, proses pemaknaan terhadap teks tersebut menjadi mungkin. Historikalitas teks disini berbeda artinya

(2)

dengan pencarian sejarah konvensional yang melacak asal-usul dari teks. Historikalitas teks adalah mencari makna dari teks melalui fakta historis yang menyelimuti teks tersebut, termasuk fakta yang dirujuk sebagai justifikasi teks, fakta yang direspon atau ditentang oleh teks, maupun fakta yang di ”diamkan” atau di”absen” oleh teks. Sehingga historikalitas teks adalah dinamisasi sejarah untuk memaknai teks secara ojektif.

Hermeneutika menyediakan tiga pernyataan untuk mendukung kebutuhan investigasi historikalitas teks. Pertama, konteks historis apa yang melatarbelakangi kemunculan teks tersebut? Kedua, bagaimana konteks historis dari teks mampu mempengaruhi teks? ”merupakan tugas hermeunitika filosofis untuk membuktikan momen historis dalam memaknai dunia dan menentukan produktivitas hermeneutikanya”35. Teknik mengajukan pertanyaan dari hermeneutika berbeda dengan paradigma positivis. Meskipun positivis dan hermeneutika sama-sama ingin menjawab pertanyaan why, akan tetapi keduanya menempuh jalan pembuktian kebenaran yang berbeda. Untuk menjelaskan why, positivis berupaya mengidentifikasi sejumlah sebab (causes) perilaku, sedangkan kalangan hermeneutik berupaya menggali alasan (reason) tindakan.36

      

35 Lihat ulasan Hans Georg Gadammer dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer,

Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Penerbit Fajar Pustaka, Yogyakarta. 2005. Hlm,159

36 Mudjia Rahardjo, Bahasa Dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik Abdurrahman Wahid Dalam

(3)

Sorang penafsir bagi Gadamer haruslah berangkat dari pemahaman tertentu atas situasi hermenutik, apa yang disebut oleh Gadamer dengan istilah

pre-understanding atau “pra-pemahaman” terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman

(pra-anggapan) yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika kita membaca teks.37 Meskipun pra-anggapan pada teks menempati posisi yang penting dalam proses penafsiran, pijakan akhir hermeunitika atas objek tetap kembali pada kebenaran sejarah yang mempengaruhi kebenaran teks tersebut. Penyaringan pra-anggapan penafsir dilakukan melalui analisa data yang menghubungkan antara teks dan sejarah munculnya teks. Hasil analisa tersebut, oleh Gadamer disebut

“prasangka legitimate”. Kedua hal tersebut memungkinkan untuk menghadirkan

makna obyektif di dalam memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam teks tersebut. Oleh karena itu, penafsir melakukan intepretasi terhadap makna teks, terlebih dahulu penafsir membekali dirinya dengan pra-anggapan agar tidak terjebak dalam situasi yang “keliru”. Seperti yang dikatakan oleh Gadamer; “bagaimanapun juga, interpretator dapat memainkan prasangka- prasangkannya sendiri dalam usahanya untuk menilai klaim- klaim teks akan kebenaran, sehingga mulai menggantikan titik pijak awalnya yang terisolir dan perhatiannya atas individualitas pengarang”38. Berikut bagan yang dapat menjelaskan uraian tersebut:

      

37

 Hans-Georg Gadamer, Truth and Methode ( Kebenaran dan Metode) Penerjemah, Ahmad Sahidah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010. cet.II, hlm. 410 

(4)

Bagan III.1: Proses Hermeneutika Historikalitas39

Bagan diatas menjelaskan proses hermeunitika historikalitas Gadamer yang dapat disimpulkan bahwa terdapat enam elemen vital dalam hermeunitika historis diantaranya sebagai berikut: Interpretator adalah subjek hermeunitika, teks Interpretatif adalah objek hermeunitika, historis teks adalah pendekatan metodelogis hermeunitika, prasangka Interpretator adalah asumsi bebas interpretator atas teks, analisa data adalah proses reduksi antara teks dan historis teks, prasangka legitimate adalah prasangka yang sudah dibuktikan oleh pembenaran historis atas teks.40

Hubungan antar elemen di atas bagai hubungan biologis anatomi tubuh, bagian – bagian sistem saling membutuhkan. Misalnya, kembali mengutip Gadamer

      

39

  Salahudin, Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans Georg Gadamer: Dialogis Historikalitas Dalam Memahami Teks. Artikel tidak dipublikasikan, Universitas Muhammadiyah Malang, 2011. Hlm.16 40  Ibid, hlm. 17  Interpretator  Historis Teks   Teks  Interpretatif  Analisis  Herme neutika Prasangka  Interpretato Hasil  Hermeneutik atas  Teks/ Prasangka  Legitimate

(5)

“hermeunitika tanpa penjelasan historis tidak akan menemukan hasil objektivitas ilmiah”. Dan “hermeunitika akan mengalami kematian teks tanpa ada prasangka interpretator dalam mengembangkan cakrawala hermeunitika”. Begitulah kerja elemen hermeunitika historikalitas Gadamer.41

III.2.2. Pra-anggapan Historikalitas

Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi pemikiran. Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karean itu sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasangka hanyalah proses bukan akhir. Gadamer menjelaskan dalam bukunya secara gamblang tentang ini, sebagaimana diungkapnnya: “dalam proses pemahaman prapemahaman selalu memainkan peran; prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, dimana

      

41

(6)

seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudis [Vorurteile;

perkiraan awal] yang terbentuk di dalam tradisi tersebut“.42

Meskipun demikian, prapemahaman, menurut Gadamer, harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini sudah barang tentu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.43

III.2.3. Hermeunitika Sebagai Proses Dialogis Dialektis

Memahami teks adalah proses dialogis antara interpertator dengan teks. Interpretator melakukan komunikasi intensif terhadap teks sebagai objek interpretatif. Interpretator menyampaikan pertanyaan- pertanyaan penting terhadap objek. Pertanyaan- pertanyaan itu menurut Gadamer harus mampu mengeksplorasikan hakikat yang ada dibalik teks. Inilah tugas utama interpretator dalam hermeunitika teks.

Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks adalah memahami

      

42

 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutik dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta, Pesantren Nawasea Press, 2009. Hlm. 46 

43

(7)

pertanyaan. Pada waktu yang sama, sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya.44

Proses tanya jawab yang demikian memungkinkan terjadinya keterbukaan antara interpretator dengan objek interpretatif. Pertanyaan yang disampaikan oleh interpretator menjadi hal penting bagi teks untuk mengeluarkan jawaban atas teks yang dituangkan. Hanya saja yang perlu diingat, jawaban teks adalah jawaban merupakan hasil kerja interpreator melalui proses seperti yang dijelaskan pada pembahasan historiskalitas hermeunetika di atas. Pada proses yang sama, teks tidak hanya menyiapkan jawaban atas pertanyaan interpretator namun juga menyampaikan pertanyaan kepada interpretator. Pertanyaan teks dijawab dengan penelusuran historis atas munculnya teks tersebut.

Dapat disimpulkan, hubungan interaksi antara interpretator dan objek interpretatif (teks) adalah hubungan dinamis dan dialektis. Dalam hermeunitika, teks bukan lagi benda mati seperti yang kita pahami, tapi jauh dari itu, ia menyampaikan argumen- argumen ilmiah (ilmiah perspektif teks) untuk dipertahankan dan dipertanggung jawabkan terhadap interpreator atau pembaca. Interpretator tentu memiliki peran yang sama, yaitu mempertanyakan kebenaran teks dengan berbagai proposisi yang komprehensif, yaitu proposisi historis, makna teks, prasangka legitimate, dan beberapa proposisi lain yang dianggap dapat membongkar makna dibalik teks. Singkatnya hubungan tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.

      

(8)

Bagan II.2: Hubungan Dialogis Dialektis Hermeunitika

Bagi Gadamer penafsiran teks melalui pendekatan metode akan menjerumuskan pada hubungan yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta menciptakan kebekuan berfikir dan terisolir.

III.2.4. Hermeneutika dan Linguistikalitas

Menurut Gadamer kunci hermeneutika adalah bahasa. Interpretasi dan dialogis adalah dua proses yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seperti yang kita pahami pada umumnya, bahasa adalah alat komunikasi manusia untuk melakukan kontak sosial dengan yang lainya. Sulit dibayangkan hidup manusia sebagai mahluk sosial tanpa bahasa. Tanpa bahasa dunia manusia akan mati, dan mungkin bukan hanya manusia tapi mahluk lainya juga. Bagi Gadamer, wajib hukumnya hermeunitika memposisikan bahasa sebagai alat utama dalam menemukan kebenaran objektif. Agus Darmaji (1999), dalam penelitiannya tentang pergeseran hermeneutik ontologis melalui bahasa dalam pemikiran Hans Georg Gadamer, menguraikan.

Teks

Penafsir

Dialogis

Dialektis

(9)

”…hermeneutika ke wilayah linguistik, lebih dari sekedar pemahaman historis secara filosofis. Argumennya, bahwa esensi (being) itu bereksistensi melalui bahasa dan karenanya ia bisa dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutika untuk memahami tradisi melalui bahasa lebih dari sebuah metode. Pemahaman bukanlah produk metode; metode tidaklah merupakan wahana yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Dengan demikian, bahasa mempunyai posisi sentral sebagai media yang menghubungkan cakrawala masa kini dengan cakrawala historis45

Pertanyaanya, dimanakah hubungan bahasa, dialogis, interpretasi, dan dialektika dalam hermeunitika. Mencermati penjelasan yang diuraikan sebelumnya hubungan ketiga elemen tersebut adalah hubungan simbiosis mutualisme, yaitu hubungan yang saling mempengaruhi dan mengisi dalam penjelasan hermeunitika. Tujuan akhir dari tiga elemen tersebut adalah mengarahkan teks “mati” menjadi teks “hidup”, yaitu teks komunikatif. Teks komunikatif adalah tujuan utama hermeunitika dalam mencari kebenaran objektif. Ingat, dalam hermeunitika kebenaran objektif yang dimaksudkan bukan kebenaran absolut aksiomatik tapi kebenaran yang memberikan ruang bagi siapapun untuk mengkoreksi, mengkritisi, meneliti, dan mendebatkannya.

Kembali pada pembahasan bahasa. Bahasa menjadi media untuk menjembatani interpretator dan teks dalam menemukan “kebenaran objektif”. Menurut Gadamer, dalam menemukan kebenaran itu perlu dikedepankan percakapan sejati.

      

45 Dikutip dari karya ilmiah yang tidak diterbitkan, oleh Agus Darmaji yang berjudul Pergeseran

Hermeneutika Ontologis melalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer, Thesis, Universitas Indonesia, 1999.

(10)

“Percakapan sejati ditandai dengan adanya keterbukaan dan kejujuran untuk menerima perspektif atau sudut pandang masing- masing orang yang berperan dalam proses pemahaman dan dalam menyelami aspek lawan bicaranya (teks).Usaha mencapai pemahaman juga mengandaikan masing- masing orang yang terlibat dalam percakapan bersedia untuk kepenuhan makna apa yang tampak asing atau bahkan berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Jika keduanya mengalami hal yang sama, saat masing- masing bertahan dengan argumentasinya seraya mempertimbangkan argumentasi-argumentasi sebaliknya, akhirnya dimungkinkan sampai pada bahasa dan pernyataan yang disetujui bersama. Dengan kata lain, terbukalah kemungkinan terjadinya peleburan cakrawala yang berlangsung dalam bahasa46

Dengan cara membahasakan teks segala persoalan kontradiktif ideologis, primodialisme, fasisme, dan berbagai ideologi dunia lainnya dapat berjalan dengan penuh kedamaian (kesadaran kolektif dalam istilah Josef Bleicher), karena disana ada ruang dialogis dialektis, yakni ruang pencari penjelasan dalam menemukan titik temu, dan jika tidak menemukan titik temu akan terus diusahakan dengan cara rational

debate47.

Gadamer ingin mengajarkan bagaimana manusia sebagai individu maupun kolektif dapat membahasakan teks yang dianuti kepada pihak lain dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan kejujuran, bukan prinsip egosentris dan primodialisme. Gadamer yakin sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat multikultural tidak akan menemukan kedamaian tanpa adanya ruang percakapan dialogis dialektis.

      

46 ibid

47 Pemahaman peneliti atas rational debate didasarkan pada pemaparan Josef Bleicher ”Semua

pemahaman linguistik dan linguistikalitas pemahaman merupakan kesadaran kolektif, persetujuan yang muncul dari sebuah dialog, seperti dalam interpretasi sebuah teks, yakni pokok persoalanya, mengambil tempat dengan media bahasa” (Josef Bleicher (2007,170).

(11)

III.3. Pendekatan

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai pendekatan hermeneutika radikal. Disebut sebagai hermeneutika radikal karena dalam tradisi kerja pengetahuan seperti ini, peneliti dituntut untuk mampu menghadirkan pemahaman serta tafsir baru yang tidak berkutat pada perdebatan yang tertuang pada teks yang diteliti seperti halnya peneliti dalam tradisi semantic, maupun linguistik, melainkan penafsir juga harus mampu secara kritis menginterogasi statement-statemen yang ditulis oleh pengarang. Serta melakukan kerja-kerja dialektis dengan menghadirkan fakta-fakta historis yang mampu “menantang” statemen yang dikemukakan oleh pengarang.

Sejalan dengan Gadamer, peneliti menganggap hermeneutika bukanlah upaya untuk membuat prosedur yang baku, melainkan memberikan jalan kepada pemahaman terhadap suatu teks adalah tujuan utamanya. Jadi ketika metode interpretasi ini diterapkan ke dalam analisis karya politik, maka tujuan utamanya adalah memberikan jembatan, atau menjadi hermes, bagi pemahaman arti dari sebuah karya politik, baik makna tersirat maupun makna tersurat. ”is not to develop a

procedure of understanding but to clarify the the conditions in which understanding can take place”.48

      

48 Derek Gregory, Ideology, Science and Human Geography. London: Hutchison & Co. Ltd. 1979.

(12)

Singkatnya, dalam hermeneutika tidak hanya disibukan menyibak misteri makna dari teks, melainkan hermeneutika radikal berupaya untuk meyingkap makna yang coba untuk diburamkan bahkan di-absen-kan oleh teks itu sendiri.

III. 4. Teknik Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dipilih peneliti untuk dipakai mendapatkan data. Dengan studi kepustakaan peneliti mendapatkan manifestasi kedaulatan individu yang tersemat dalam teori kontrak sosial dari pemikiran politik John Locke. Jalan ini peneliti tempuh guna untuk mencoba konsisten dengan apa yang disyaratkan oleh Dilthey pada penelitian hermeneutika, yakni; jika ingin memahami bagian harus memiliki pengetahuan tentang keseluruhan. Strategi peneliti untuk melakukan klasifikasi data ditempuh dengan membaca karya monumental Locke dalam bidang politik yakni The Second Treatise of Government. Akan tetapi peneliti tidak melakukan intepretasi kata per kata dalam buku tersebut, melainkan peneliti melakukan klasifikasi dan kategorisasi sesuai dengan gagasan (tema) yang peneliti tentukan sesuai dengan intepretasi peneliti dan landasan historis dan politis dari gagasan (tema) tesebut.

Studi kepustakaan juga peneliti pergunakan untuk mengumpulkan studi-studi lain yang sedikit banyak membahas tema yang sama sebagai bahan perbandingan, baik untuk penegasan maupun untuk contrasting statement yang dimunculkan oleh Locke.

(13)

III.5. Taktik Analisis

Bahan-bahan yang sudah terkumpul melalui teknik studi pustaka, kemudian diklasifikasi oleh peneliti menjadi dua kategori; sumber primer dan sumber sekunder. Dalam penelitian ini yang dikategorikan sebagai sumber primer adalah The Second

Treatise Of Government dari John Locke. Selanjutnya yang menjadi sumber sekunder

adalah berbagai studi yang membahas tema yang sama. Selain itu untuk kebutuhan intepretasi data, peneliti juga membutuhkan data-data historis Eropa pada masa teori kontrak sosial itu lahir. Maka peneliti juga akan menghadirkan teks-teks historis yang berkaitan dengan kontekstualisasi teori kontrak sosial.

Data yang didapat dari sumber primer untuk kemudian dilakukan pengkajian historikalitas terhadap data tersebut. Metode pengkajian historis kritis ini dilakukan peneliti agar peneliti tidak terjebak dengan penjelasan sejarah yang deskriptif dan kronologis yang sebenarnya ditolak oleh paradigma hermeneutika. Pengkajian historis kritis juga ditujukan untuk melakukan dialektika atas teks, sehingga fungsi data sejarah yang minor digunakan untuk menantang penjelasan konvensional atas sejarah maupun klaim-klaim kebenaran sejarah dalam teks kontrak sosial. Singkatnya peneliti akan mencoba untuk membandingkan dan menganalisis secara kritis teks primer dari John Locke tersebut dan mengidentifikasi perkembangannya dalam konteks historisnya. Untuk melakukan pemaknaan atas data yang berhasil peneliti kumpulkan, peneliti akan melakukan tahapan intepretasi hermeneutika seperti yang sudah peneliti paparkan di sub-bab sebelumnya.

(14)

III.6. Sistematika Penulisan

Tulisan ini secara keseluruhan terdiri dari Enam bab yang dirangkai secara berurutan mulai dari bab pendahuluan sampai bab penutup. Tiap-tiap bab diulas sesuai dengan temanya masing-masing.

Bab pertama berisi tentang latar belakang permasalahan, Fokus penelitian,

tujuan penelitian, Dalam bab ini, peneliti berusaha mengemukakan pokok permasalahan yang harus dijawab, dan mengemukakan maksud dari tulisan ini.

Bab kedua merupakan elaborasi kerangka teoritik, dalam bab 2 peneliti berupaya untuk membangun sebuah diskusi teoritis seputar prospek aplikasi pendekatan hermeneutika dalam ilmu politik maupun dimensi politis dari kerja tafsir hermenutika, selain itu dalam bab 2 peneliti juga berupaya untuk memberikan landasan teoritis atas analisa yang peneliti lakukan di bab analisis.

Bab ketiga memaparkan metodologi yang peneliti gunakan dalam penelitian thesis ini. Supaya pokok permasalahan ini bisa ditemukan jawabannya dan tujuan penelitian ini bisa tercapai maka peneliti menggunakan metode dan sistimatika penelitian tertentu.

Bab keempat menguraikan riwayat singkat kehidupan John Locke,

karya-karyanya, dan latar belakang lahirnya teori kedaulatan versi Locke. Dengan memiliki pengetahuan tentang riwayat hidup dan karya John Locke serta latar belakang lahirnya teori keadaulatannya, peneliti bisa mempunyai gambaran arah pemikirannya.

(15)

Bab kelima berisi tentang pemaparan teks treatise of government yang sudah peneliti klasifikasi berdasarkan gagasan-gagasan dasar teori kedaulatan Locke dan pelbagai elemennya untuk bisa memahami konsep atau prinsip-prinsip kedaulatan Locke. Kemudian, peneliti akan menginterpretasikan teks tersebut serta menghadirkan sketsa kritik terhadap teori kedaulatan individu Locke. Lebih lanjut dalam Bab lima memberikan gambaran problematika kedaulatan individu berserta konsekuensi sosialnya yang telah ada semenjak kelahirannya pada era pencerahan Eropa.

Bab keenam berisi kesimpulan serta pemaparan jawaban dari rumusan masalah penelitian. Terakhir sebagai penutup bab enam adalah saran untuk memberikan gambaran maupun ancangan penelitian berikutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi timbangan analitik, autoclave, breaker glass, pH meter, bunsen burner, alat-alat gelas dengan berbagai ukuran (pipet

Dalam hal putusnya perkawinan atas perceraian, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk memutuskan hubungan perkawinan tersebut,

Kebutuhan air selalu meningkat sesuai dengan pertambahan penduduk, mengakibatkan terjadinya penyedotan air tanah termasuk sumur bor secara besar-besaran yang

II terima kasih atas waktu, bimbingan dan nasihat yang telah diberikan, serta segala kebaikan dan ketulusan yang telah Ibu dan Bapak berikan kepada penulis.

6 Dian Pramadona, “Pengaruh Capital Adequacy Rasio (CAR), Pendapatan Pembiayaan Mudharabah dan Pendapatan Pembiayaan Murabahah Terhadap Return On Asset (ROA) Pada Bank

Berdasarkan hasil jawaban asisten mata kuliah praktikum, pada kategorikan bermasalah di dapatkan perilaku yang dapat merugikan organisasi seperti kurangnya perilaku

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan survei dengan bentuk menyebarkan kuesioner dan melakukan wawancara kepada pelanggan terkait kepuasan dan perasaan yang dirasakan atas

a) Peran Kepemimpinan pegawai departemen fasilitas umum dan penataan lingkungan PERUM PERURI berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari hasil setiap