• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPROVING THE TEACHING & LEARNING OF MATHEMATICS THROUGH ACTIVE LEARNING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPROVING THE TEACHING & LEARNING OF MATHEMATICS THROUGH ACTIVE LEARNING"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

IMPROVING THE TEACHING & LEARNING OF MATHEMATICS

THROUGH ACTIVE LEARNING

Asep Sapa’at Educational Trainer Lembaga Pengembangan Insani

Dompet Dhuafa

Abstract

The quality of teaching has now became the public attention. There are many researches all scientific journal dealing with this matter. This paper is written to elaborate that active learning can improve student‟s involvement in learning mathematics in primary education.

Active learning as a learning strategy is one of the ways to make mathematics more relevant and interesting in order to improve student‟s motivation and achievement. This study discusses the correlation between student‟s motivation-achievement, opportunity to learn the concept, and active learning strategy.

Keywords: Active Learning, Opportunity to Learn, Learning Strategy

Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu yang lain, dan memajukan daya pikir manusia.

NCTM (2000) menyatakan, “Di dalam dunia yang terus berubah, mereka yang memahami dan dapat mengerjakan matematika akan memiliki kesempatan dan pilihan yang lebih banyak dalam menentukan masa depannya. Kemampuan dalam matematika akan membuka pintu untuk masa depan yang produktif. Lemah dalam matematika membiarkan pintu tersebut tertutup. Semua siswa harus memiliki kesempatan dan dukungan yang diperlukan untuk belajar matematika secara mendalam dan dengan pemahaman. Tidak ada pertentangan antara kesetaraan dan keunggulan.”

Konsekuensinya, matematika perlu diberikan kepada peserta didik untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (BSNP, 2006).

Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.

Mari kita tengok sejenak, mengenai pembelajaran matematika yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang guru dalam memberi materi pelajaran tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam pembelajaran dimulai, siswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi pembelajaran matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada

(2)

kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu „menyeramkan‟. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.

Padahal, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 19 menyatakan, “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.

Brown (1994) menyatakan pula, ”Students need to actively engage in acquiring knowledge and skills, and to develop mathematical thinking through the process of mathematical activities. Thus students will be able to use these knowledge and skills effectively in their daily life as well as in their future carriers”.

Berdasarkan uraian di atas, sangat menarik dan perlu dilakukan sebuah kajian mengenai efektivitas penggunaan strategi pembelajaran aktif (active learning) untuk menyiasati masalah motivasi dan prestasi belajar matematika siswa, sehingga diharapkan siswa dapat mengalami proses belajar matematika yang lebih bermakna, menyenangkan, sekaligus siswa mampu menguasai kompetensi matematik sebagai bekal menghadapi tantangan hidup di masa depan kelak.

Paradigma Pembelajaran Matematika Bermakna & Menyenangkan

Frederick K.S. Leung (2007), mengungkap rahasia penting kunci sukses pembelajaran matematika di Hongkong. “Faktor apa yang mungkin berdampak terhadap pencapaian prestasi belajar matematika siswa?” Pertanyaan mendasar inilah yang dijadikan pijakan analisis kajian terhadap data Trends in International Mathematics & Science Study (TIMSS) 1999, Video Study di 7 negara, meliputi Australia, Rep. Ceko, Hongkong, Jepang, Belanda, Swiss, & Amerika Serikat.

Dibandingkan dengan negara lain yang menjadi subjek kajian penelitian, Hongkong memiliki keunggulan tersendiri dalam mendesain kegiatan pembelajaran matematikanya di kelas. Kegiatan presentasi kelas, membangun konsep matematika melibatkan seluruh aktivitas siswa, merupakan ciri utama pembelajaran matematika sekolah di Hongkong. Desain pembelajaran ini sangat relevan dengan kerangka pemikiran “matematika sebagai komunikasi”.

Pada hakikatnya, belajar dan mengajar matematika membutuhkan berbagai aktivitas bahasa, seperti membaca, mendengar, menulis, merepresentasi, dan berdiskusi. Fungsi bahasa dalam konteks kelas matematika adalah bahwa bahasa telah terbukti sepanjang masa untuk mengembangkan gagasan-gagasan. Bahasa disajikan sebagai suatu makna representasi & makna komunikasi. Pendidik matematika menyebutnya “mathematics an exstension of language” (Weinzweig, 1982).

Jacobs (1982) menyatakan bahwa apabila pembelajaran matematika terfokus pada menghafalkan istilah-istilah daripada mengkomunikasikan ide-ide matematika, maka siswa banyak mengalami kesulitan sehingga perlu diperkenalkan lebih dini secara tepat. Karena bagi siswa, matematika pada dasarnya merupakan “bahasa asing”. Namun demikian, matematika dapat digunakan untuk berkomunikasi dimana saja kita berada, bahasa pengantar apa saja yang kita gunakan dalam pembelajaran, sehingga tepat kalau matematika disebut “the universal language” .

Siswa lebih suka membangun pengetahuan matematika melalui berbagai aktivitas, siswa mengalami dan memaknai sendiri apa yang terjadi dalam pembelajaran di kelas, itulah potret pembelajaran matematika di Hongkong.

(3)

Sisi lain yang cukup unik, siswa di Hongkong sangat menyukai aktivitas belajar secara berkelompok, guru menyajikan masalah matematika yang merangsang minat siswa untuk bertanya, kemudian siswa mendiskusikan solusinya.

Situasi pembelajaran ini sangat relevan dengan konsep belajar matematika sebagai aktivitas sosial. Schoenfeld (1992), menyatakan bahwa belajar matematika merupakan sifat suatu aktivitas sosial. Naasnya, pembelajaran konvensional yang bercirikan komunikasi satu arah, mengabaikan sifat sosial dari belajar matematika, juga mengganggu perkembangan matematika siswa. Rancanglah strategi pembelajaran secara berkelompok, sehingga siswa mampu berkomunikasi dengan sesama temannya untuk membangun pengetahuan dari aktivitas belajar berkelompok. Manfaat besar dari aktivitas belajar secara berkelompok akan membantu siswa mengembangkan pengetahuan matematika, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah & penalaran, meningkatkan kepercayaan diri siswa (Johnson & Johnson, 1989), serta memberdayakan keterampilan sosial & keterampilan komunikasi (Noddings, 1985).

Motivasi & Prestasi Matematika Siswa

Studi tentang sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran matematika biasanya berkaitan erat dengan prestasi siswa dalam matematika. Suydam & Weaver (1975) menyatakan, “Guru dan pendidik matematika lainnya, umumnya mempercayai bahwa siswa belajar lebih efektif manakala mereka tertarik dengan apa yang mereka pelajari dan mereka berprestasi baik kalau mereka menyukai matematika. Karenanya, perhatian yang terus menerus hendaknya diarahkan penciptaan, pengembangan, pemeliharaan, dan dorongan untuk bersikap positif terhadap matematika”.

Agar siswa bersikap positif terhadap matematika, maka perlu ada strategi pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk belajar, terlibat secara lebih aktif dalam pembelajaran, memberikan rasa nyaman dalam belajar, serta menyenangkan bagi mereka. DePorter dkk. (2000: 22) menyatakan, “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner: 1995, dalam DePorter, dkk., 2000: 23).

Salah satu faktor penting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan cara melibatkan mereka dalam situasi pembelajaran, seperti melakukan aktivitas matematika, berdiskusi, dan melakukan proses berpikir dalam mengembangkan pemahaman matematika. Henningsen & Stein (1997), Turn et.al. (1998) menjelaskan istilah berikut, “Involvement is focused concentration and care about things making sense, intrinsically motivated to persist, cognitively engaged and challenged”. Membangun motivasi intrinsik pada diri siswa untuk belajar matematika dan memberikan tantangan berpikir kepada siswa sesuai tahap perkembangan psikologisnya merupakan langkah tepat untuk menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna dan menyenangkan.

Active Learning, Alternatif Strategi Pembelajaran Matematika

Beberapa temuan penting mengenai pandangan baru terhadap pembelajaran matematika menuntut guru untuk dapat menggunakan berbagai strategi pembelajaran matematika secara efektif.

National Research Council (1989, dalam NCTM, 1991) mencatat hal penting berikut, “Guru yang efektif adalah guru yang dapat menstimulasi siswa belajar matematika. Penelitian pendidikan matematika menawarkan sejumlah bukti bahwa siswa akan belajar matematika secara

(4)

baik ketika mereka mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Untuk memahami apa yang mereka pelajari mereka harus bertindak dengan kata kerja mereka sendiri menembus kurikulum matematika: menguji, menyatakan, mentransformasi, menyelesaikan, menerapkan, membuktikan, dan mengkomunikasikan. Hal ini pada umumnya terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, terlibat dalam diskusi, membuat presentasi, dan bertanggung jawab dengan yang mereka pelajari sendiri”.

Dalam dokumen lainnya, NCTM (2000) merekomendasikan: “Guru menetapkan dan mengikuti lingkungan yang kondusif untuk belajar matematika melalui keputusan yang mereka buat. Percakapan yang mereka mainkan dan setting fisik yang mereka ciptakan. Aksi guru adalah apa yang mendorong siswa berpikir untuk bertanya, menyelesaikan masalah, dan mendiskusikan gagasan mereka, strategi, serta penyelesaiannya”. Dengan demikian, perlu dipikirkan upaya strategis yang relevan dengan pengembangan pembelajaran matematika yang dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas matematika, berdiskusi, melakukan presentasi, dan menyelesaikan berbagai permasalahan secara intensif di ruang kelas matematika.

Lammers & Murphy (2002) menyatakan, “Active learning techniques focus on the direct involvement of the student with the learning material and can include short writes, brainstorming, quick survey, think-pair-share, formative quizzes, role playing, cooperative learning, collaborative learning, and student presentations to name a few”.

Bonwell & Eison (1991) menjelaskan beberapa karakteristik dari active learning, yaitu: “Five characteristics for an active learning are: (1) students are involved in more than listening; (2) less emphasis is placed on transmitting information and more on developing students skills; (3) students are involved in higher-order thinking (analysis, synthesis, evaluation); (4) students are engaged in activities (e.g., reading, discussing, writing); (5) emphasis is placed on students’ exploration of their own attitudes and values”.

L. Dee Fink (1999) menyatakan bahwa dalam penerapan active learning, guru disarankan selalu dapat menghadirkan 2 aktivitas utama berupa dialog dan pengalaman belajar.

Dialog terbagi menjadi 2 bagian, dialog dengan diri sendiri dan dialog dengan orang lain. Sebagai seorang pembelajar yang berpikir reflektif, siswa harus dilatih untuk dapat menyatakan apa yang mereka pikirkan atau mereka rasakan tentang topik pelajaran yang sedang dipelajari. Seorang guru dapat menyiapkan buku harian atau jurnal pembelajaran bagi siswa, dimana siswa dapat mencurahkan semua gagasan dan perasaan mereka tentang topik pelajaran yang sedang mereka pelajari. Siswa diharapkan secara spesifik dapat mengutarakan apa yang sudah mereka pelajari, bagaimana cara mereka mempelajari topik pelajaran tersebut, dan menyampaikan perasaan apa yang mereka alami ketika mempelajari topik pelajaran tersebut. Kemudian, dialog dengan orang lain dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk. Dalam pengajaran konvensional, ketika siswa membaca buku atau mendengarkan penjelasan materi dari guru, pada hakikatnya mereka sedang berdialog dengan sumber belajar (buku dan penjelasan guru). Bentuk lain yang lebih dinamis dapat dikembangkan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil dan melakukan diskusi di antara sesama anggota kelompok.

Pengalaman belajar merupakan identitas kunci lainnya dari active learning. Pengalaman belajar terbagi menjadi 2 bagian utama, yaitu observasi (observing) dan melakukan sesuatu (doing something). Ketika siswa melihat dan mendengarkan sesuatu tentang topik pelajaran tertentu, sejatinya mereka sedang mengamati sesuatu dari apa yang dilihat dan apa yang mereka dengar. Aktivitas observasi sendiri dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Contoh, ketika siswa mempelajari topik kemiskinan, kemudian mereka pergi ke pemukiman kumuh dan menghabiskan waktu bersama mereka untuk mengobservasi kehidupan orang-orang di pemukiman kumuh, maka siswa sudah melakukan kegiatan observasi secara langsung. Bedanya dengan

(5)

observasi tidak langsung, siswa hanya menonton film atau membaca buku saja, misalnya, tentang fenomena kemiskinan di pemukiman kumuh.

Hal-hal penting apa saja yang harus guru perhatikan untuk dapat mengembangkan strategi pembelajaran aktif (active learning)? Pertama, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (student-centered learning). Kedua, pembelajaran menggunakan beragam metode dan media belajar. Ketiga, memberdayakan semua indera dan potensi peserta didik. Keempat, pembelajaran harus dikaitkan dengan lingkungan dan pengalaman yang terjadi di sekitar peserta didik (kontekstual).

Kesimpulan

“The extent of the students’ opportunity to learn mathematics content bears directly and decisively on student mathematics achievement” (Grouws & Cebulla, 2000). Pembelajaran matematika akan lebih bermakna bagi siswa ketika siswa ikut terlibat secara aktif dalam mengeksplorasi pengetahuan matematikanya. Nisbet (1985) menyatakan bahwa guru memiliki gaya dan strategi berbeda dan tak ada satu cara yang paling baik untuk mengajar. Active learning akan menjadi alternatif strategi pembelajaran matematika yang efektif jika guru mampu menggunakannya secara tepat guna, sehingga siswa dapat menikmati suasana pembelajaran yang inspiratif, bermakna, dan menyenangkan.

Daftar Pustaka

Brown, A. (1994). The Advance of Learning. Educational Researcher, 23(8), 4-12, National Council of Teachers of Mathematics, 2006. Curriculum Focal Points for Prekindergarten through Grade 8 Mathematics. A Quest for Coherence. National Council of Teachers of Mathematics. (1980). An Agenda for Action: Recommendations for School Mathematics of The 1980’s.

BSNP (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

C. C. Bonwell and J. A. Eison (1991). Active learning: Creating Excitement in the Classroom. The George Washington University, School of Education and Human Development, Washington, D.C.

Dee Fink, L. (1999). Active Learning. Oklahoma Instructional Development Program.

DePorter dkk. (2000). Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Henningsen & Stein (1997). Mathematical Tasks and Student Cognition. Journal for Research in Mathematics Education, 28(5), 524-549.

Jacobs, H. R. (1982). Mathematics: A Human Endeavor (2d Ed.). San Fransisco: W. H. Freeman. Johnson, D. W. , & Johnson, R. T. (1989). Cooperative Learning in Mathematics. In P. R. Trafton

& A. P. Schulte (Eds.), New Direction for Elementary School Mathematics: 1989 Yearbook (pp. 234 – 245). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. W. J. Lammers and J. J. Murphy (2002). Active Learning in Higher Education, 3, 54-67.

(6)

Leung, F.K.S. (2007). Reflecting on TIMSS Result: What Contribute to High Achievement? Makalah Disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika II. IndoMS, Asosiasi Guru Matematika Indonesia, dan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 25 – 27 Agustus 2007.

National Council of Teachers of Mathematics (1991). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author.

National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author.

Nodding, N. (1985). Small Groups As a Setting for Research on Mathematical Problem Solving. In E. A. Silver (Ed.), Teaching and Learning Mathematical Problem Solving: Multiple Research Perspectives (pp. 345 – 359). Hillsdale, NJ: Erlbaum Associates.

PP No. 19 Tahun 2005.

Diakses di http://wiki.paramadina.ac.id/images/f/f0/PP_19_Tahun_2005.pdf

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-Dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Schoenfeld, A. H. (1992). Learning1 to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense Making in Mathematics. In D. Grouws (Ed.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334 – 370). New York: Macmillan.

Turner et al. (1998). Creating Contexts for Involvement in Mathematics. Journal of Educational Psychology, 90(4), 730-745

Weinzweig, A.I. (1982). “Mathematics as a Extension of Language.” In Language and Language Acquisition, edited by Frances Lowenthal, Fernand J. Vandamme, and Jean Cordier. New York: Plenum Press.

Referensi

Dokumen terkait

PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN SINEKTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM MATERI AJAR IPS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

“ di negara-negara ini termasuk Indonesia dapat disaksikan adanya satu nasionalisme baru yang didasarkan pada tradisi-tradisi budaya bersama seperti bahasa tunggal

Dunia kerja pada masa mendatang akan menjaring secara selektif calon tenaga kerja yang benar-benar profesional pada bidangnya. Oleh karena itu salah satu tantangan

[r]

Dari hasil penelitia lanjut usia yang memiliki pasangan hidup mengalami sebagian besar tingkat kesepiannya adalah tingkat kesepian rendah 24 orang (60%) dan pada lanjut

yang dimiliki, masalah yang dihadapi oleh perempuan yang melakukan kegiatan ekonomi di saptosari Kabupaten Gunungkidul, dan melaksanakan kegiatan pelatihan, serta

Thus, it can be said that the assessment of transformational leadership by the employees of “ Mirota Kampus ” retail (supermarket) business in addition to having a strong impact

Untuk mengetahui apakah produk, pelayanan dan lokasi berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan nasabah di Bank Syariah Mandiri Purwokerto2. Untuk mengetahui