• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PUASA DALAM KITAB HIKMAH AL-TASYRI WA FALSAFATUHU KARYA SYEIKH ALI AHMAD AL-JURJAWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PUASA DALAM KITAB HIKMAH AL-TASYRI WA FALSAFATUHU KARYA SYEIKH ALI AHMAD AL-JURJAWI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

24

PUASA DALAM KITAB HIKMAH AL-TASYRI WA FALSAFATUHU KARYA SYEIKH ALI AHMAD AL-JURJAWI

A. Biografi dan karya pemikiran al-Jurjawi

Al-Jurjawi adalah seorang modernis dari Mesir (1905-1956). Dia dilahirkan dari keluarga yang sederhana, tetapi kedua orang tuanya sangat memperhatikan masalah pendidikan anaknya terutama masalah kaitanya pendidikan agama. Makanya al-Jurjawi sampai bisa membuat buku yang bagus. Hal itu memang tidak lepas dari perjuangan kedua orang tuanya untuk mendidik al-Jurjawi dari Sekolah Dasar hingga sampai pada perguruan tinggi di al-Azhar.1

Al-Jurjawi hidup pada zaman di mana pada saat itu terjadi kegoncangan khususnya di wilayah Mesir. Mesir pada saat itu sedang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Perancis yang selalu mengusik ketenangannya. Hal tersebut berpengaruh pada masalah keilmuan yang ditekuninya. Di mana pada tahun 1920-an ia mengalami banyak kesulitan dalam mencari buku yang ideal khususnya mengenai masalah hukum dan hikmah-hikmah atau rahasia-rahasia yang ada dalam ajaran Islam.2

Berawal dari situasi semacam itu al-Jurjawi bisa mendapat banyak ide dan bertekat bulat untuk membuat kitab yang membahas mengenai hikmah-hikmah ajaran Islam. Itu semua dilakukan demi mengembangkan keilmuan Islam yang pada kenyataanya masih banyak kesulitan.3

Sejak saat itu mulailah al-Jurjawi mengumpulkan suatu yang masih sulit dipahami disebabkan ada kesulitan untuk diutarakan, karena terjadi kekaburan pada makna yang disebabkan kekaburan simbol yang menunjuk kepadanya. Setelah adanya usaha dan upaya yang cukup lama, jadilah sebuah kitab yang diberi judul ”Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu” yang merupakan karya

1 Wiliam Montgomery Watt, Butir-Butir Hikmah Sejarah Islam, Srigunting, Jakarta 1999.,

hlm. 152

2 Ibid., hlm. 153

3 Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj Hadi Mulyo &

(2)

tunggal dari al-Jurjawi sebanyak dua jilid, yang ditulis pada tahun 1930-an. Isi dalamnya menerangkan hikmah-hikmah yang nyata tersebut sebagai tambahan atas pokok keutamaan.4

Isi pokok kitab tersebut adalah tentang penjabaran falsafah dan hikmah di setiap taklif yang dibebankan pada manusia. Apa yang ditulis oleh beliau bukanlah suatu ilmu yang final, disana masih banyak hal yang perlu dikembangkan. Namun yang terpenting bahwa salah satu seorang ulama besar al-Azhar ini telah mampu menyuguhkan kepada pembacanya betapa syari’at itu diturunkan dengan berbagai hikmah yang sangat besar.5

B. Puasa Menurut Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi

Puasa merupakan salah satu pengejawantahan diri menuju pemberdayaan hidup manusia yang beriman. Secara lughawi (bahasa) puasa adalah usaha menahan diri dari segala sesuatu secara mutlak dapat membatalkan puasa. Orang yang menahan diri dari berbicara, pada hakekatnya adalah berpuasa.6 Hal tersebut dapat ditelusuri sebuah ayat:

ِﻦَﻤْﺣﱠﺮ ﻠِﻟ ُتْرَﺬَﻧ ﻲﱢﻧِإ ﻲِﻟﻮُﻘَﻓ اًﺪَﺣَأ ِﺮَﺸَﺒْﻟا َﻦِﻣ ﱠﻦِﻳَﺮَﺗ ﺎﱠﻣِﺈَﻓ ﺎًﻨْﻴَﻋ يﱢﺮَﻗَو ﻲِﺑَﺮْﺷاَو ﻲِﻠُﻜَﻓ

ﺎﻴِﺴْﻧِإ َمْﻮَﻴْﻟا َﻢﱢﻠَآُأ ْﻦَﻠَﻓ ﺎًﻣْﻮَﺻ

)

26

(

Adapun pengertian puasa menurut syar’i (hukum) puasa adalah usaha menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh pada siang hari di sertai niat yang kuat.7 Al-Jurjawi menegaskan bahwa puasa adalah suatu yang paling agung di mata Allah, bukti yang paling nyata adalah pengaruh yang paling gemilang dan kehormatan yang paling tinggi di sisi Allah.8 Dari uraian al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, ia tidak menjelaskan panjang lebar terhadap hukum, syarat maupun rukun dalam berpuasa, karena pendekatan yang digunakan adalah kajian filosofis, sehingga tidak banyak ditemui pembahasan hukum berpuasa akan tetapi bagaimana sebenarnya hikmah yang dapat diambil dari ibadah puasa.

4 Ibid., hlm. 8 5 Ibid., hlm. 2 6 Ibid., hlm. 4 7 Ibid., hlm. 185 8 Ibid., hlm. 6

(3)

C. Hikmah Puasa Dalam Kitab Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu

Puasa merupakan salah satu ajaran pokok dalam agama Islam. Hikmah puasa, berupa kebesaran dan keutamaannya sama dengan hikmah disyariatkannya rukun-rukun Islam yang lain. Hikmah tersebut bisa menjadi kebaikan untuk dunia maupun akhirat, dan juga untuk kebaikan masyarakat dan negara sebagai bekal pahala di akhirat.9

Puasa yang dijalankan salah satunya bisa sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan hal itu merupakan salah satu dari bentuk hikmah puasa. Untuk lebih jelasnya mengenai hikmah puasa penulis akan memaparkan hikmah puasa menurut al-Jurjawi yang dikelompokkan ke dalam empat aspek antara lain:

1. Aspek Spiritual (Hubungan dengan Tuhan)

Aspek spiritual adalah nilai ketuhanan yang terkandung dalam ibadah yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya sebagaimana diutarakan al-Jurjawi, dalam kitabnya Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu menyatakan bahwa puasa adalah sebagai tanda rasa terima kasih pada Allah SWT atas segala nikmat yang telah banyak diberikan dan tidak terhitung jumlahnya.10 Sebagaimana firman Allah SWT:

ْنِإَو

ﺎَهﻮُﺼْﺤُﺗ َﻻ ِﻪﱠﻠﻟا َﺔَﻤْﻌِﻧ اوﱡﺪُﻌَﺗ

)

34

(

Artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmah Allah, tidaklah kamu mampu menghitungnya”.(Qs. Ibrahim/14: 34)11

Dengan puasa, Allah yang maha bijaksana mengajarkan bagaimana cara mengemban amanat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan, dengan jalan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan dan dalam pelaksanaan harus tidak melampoi batas sesuai dengan ketentuan. Yaitu

9 Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, op. cit., hlm. 385 10 Ibid., hlm. 185

11 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah

(4)

dengan cara menahan diri dari makan dan minum pada siang hari, kemudian di malampun orang harus dapat mengatur makannya supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, sebab kalau hal tersebut tidak indahkan akan menyebabkan berkurangnya hikmah puasa. Apabila manusia setelah melaksanakan puasa itu mendapat hikmah padahal hal itu bukan menjadi harapan yang utama, tetapi hal itu memang sepantasnya didapat, apalagi bila dibandingkan dengan keletihan dan kesukaran yang dialami jiwa dan raganya.12

Hal itu bisa diumpamakan, ketika manusia menyendiri di tempat yang terpencil sedang ia merasa lapar dan haus, maka dengan segala kemampuannya ia mencurahkan segala kekuatanya untuk melawan nafsu tersebut, sedang bila dipandang secara nafsu disaat itu mungkin baginya untuk makan dan minum tidak ada seorang yang mengawasi padahal Allah maha tahu. Kemudian bila orang itu menurutinya, sungguh orang tesebut telah mengkhianati amanatNya dan sebagai ganjaran yang langsung dari Allah. Manusia beriman tentunya telah mengetahui betapa beratnya hukuman bagi orang yang berkhianat baik di dunia maupun di akhirat.13

Dengan puasa juga dapat menepis sifat kebinatangan yang ada pada sebagian manusia yaitu hanya bergairah kepada makan dan minum serta semisalnya, yang pada dasarnya itu semua hanya untuk menuruti nafsunya saja sebagai ciri khas dari sifat binatang. Apabila manusia bisa menahan diri dari sifat kebinatangan untuk mendapat kelezatan seperti makan, minum, hubungan seks dan sebagainya, maka akan mengakibatkan manusia dapat terbebas dari sifat-sifat kebinatangan dan ia lebih dekat kepada sifat kemalaikatan. Hal itu akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang lain. Manusia dapat melaksanakan ibadah dengan diliputi kejiwaan yang ikhlas, bersih dari noda-noda keraguan dan kebingungan akibat dari pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan aturan Dari hal itu akan menjadikan orang yang taat dan malu kepada Allah

12 Al-Jurjawi, op. cit.,hlm. 186 13

(5)

SWT.14 Dengan demikian puasa ditinjau secara aspek spiritual merupakan jalan dari masing-masing manusia yang penuh dengan kepasrahan (berserah diri). Apa yang dilakukan tersebut semata-mata merupakan sebagai salah satu bentuk riil dari rasa ketaqwaan yang tinggi hanya kepada Allah SWT, meskipun banyak halangan yang harus dihadapi. Di mana kalau orang sudah bisa melakukan hal tersebut, maka orang tersebut akan mudah mendapatkan kebahagiaan baik dunia lebih-lebih di akhirat kelak.

2. Aspek Sosiologis (Hubungan antar manusia)

Salah satu jiwa keberagamaan yang telah lama dikembangkan umat Islam pada periode awal (Nabi dan Sahabatnya) adalah sikap keberagamaan yang intrinsik. Artinya aktualisasi ajaran agama tidak hanya bersifat formalitas belaka, tetapi juga mampu menyentuh substansi daripada suatu ibadah, misalnya kaitanya aspek sosiologis.15

Seperti yang diutarakan al-Jurjawi, bahwa puasa adalah cara mengingatkan orang kaya kepada penderitaan seperti yang dialami fakir miskin sehingga setelah melaksanakan puasa diharap orang kaya tersebut nantinya akan mampu mengasihi dan menyayangi, yakni dengan cara ditempatkan dalam kesempitan. Dengan tujuan orang terebut bisa sekaligus ikut merasakannya. Hal itu bisa menjadi pelajaran bagi orang kaya untuk lebih mengetahui perasaan orang lapar maka orang tersebut harus ikut berlapar-lapar.16

Kemudian apabila ada seorang kaya yang berkecukupan dalam hal harta benda, namun terlena dalam kekayaannya diharapkan bisa tergugah keinginannya untuk mau ikut merasakan dan sekaligus dapat menyadari betapa pahit getirnya rasa lapar dan dahaga seperti yang dialami fakir

14 Ibid., hlm. 186

15 Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, op. cit., hlm.191 16

(6)

miskin yang tidak mendapatkan bahan makanan padahal sekedar menyambung hidupnya.17

Maka puasa ditinjau dari aspek sosiologis adalah salah satu bentuk persamaan ibadah pada waktu tertentu, dan hal itu tidak memandang apakah yang melakukan itu orang kaya maupun orang miskin. Di mana justru yang terjadi bahwa pada bulan tersebut bisa menjadi ajang yang paling bagus bagi orang kaya yang mempunyai kesadaran yang tinggi untuk dapat berlatih berjiwa sosial dengan jalan lebih banyak beramal pada bulan tersebut dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Dengan memberi bentuan pada fakir miskin yang memang membutuhkkan uluran tangan (bantuan) dari orang yang bercukupan.

3. Aspek Kesehatan (fisik)

Hikmah puasa bagi kesehatan seperti yang utarakan al-Jurjawi, adalah untuk membersihkan perut dari kotoran karena perut adalah sumber dari segala penyakit, oleh karenanya pemeliharaan perut adalah awal dari segala pengobatan.18

Masing-masing anggota badan memang membutuhkan istirahat minimal dalam waktu beberapa saat. Begitu juga perut yang merupakan bagian dari tubuh maka perlu juga istirahat sebagaimana anggota-anggota tubuh yang lain. Seperti yang dikatakan kebanyakan ahli medis bahwa sesungguhnya puasa itu bisa menjadi pengaman yang paling baik dari berbagai macam penyakit kronis dan penyakit menular, misalnya adalah penyakit cacar dan syphilis.19

Puasa sebagai salah satu cara yang baik untuk mengatasi kedua penyakit secara tuntas, yaitu dengan cara pasien disuruh melakukan puasa selama tiga minggu dengan berpantang untuk jenis makanan tertentu, dalam rangka membersihkan tubuh dari kuman-kuman berbahaya yang telah menyebabkan penyakit dan sekaligus menumbuhkan kembali sel-sel

17 Ibid., hlm.188

18 Al-Jurjawi, op. cit., hlm. 192 19 Ibid., hlm.192

(7)

yang telah rusak akibat kena kuman tersebut, sehingga ketika tubuh pasien diberi obat akan lebih cepat sembuh, disebabkan tubuh sudah terbebas dari kuman yang berbahaya.20

Selanjutnya puasa juga bisa menjadi cara untuk dapat membersihkan tubuh dari segala hal yang menyebabkan penyakit dan sekaligus dapat menghilangkan hal-hal yang mungkin justru akan menambahnya racun berbahaya atau makanan berlebihan yang sebetulnya tubuh sudah tidak mampu untuk menampungnya dengan dasar pemahaman bahwa tubuh manusia itu bukan sekedar tempat menyimpan makanan, akan tetapi ia juga merupakan pusat keseimbangan, kesesuaian dalam hal mengolah bahan makanan dalam tubuh dengan proses kimia. Keseimbangan itu bisa saja rusak disebabkan kekurangan dan kelebihan bahan makanan dalam tubuh.21

Sehingga al-Jurjawi menegaskan bahwa diantara keistimewaan puasa adalah mengistirahatkan alat-alat pencernaan serta alat-alat pendistribusian makanan dari hasil pencernaan dengan jalan memberi kesempatan organ-organ yang lemah untuk pemulihan kembali setelah lama bekerja. Puasa merupakan faktor penyegaran kembali agar timbul kehidupan dan semangat yang baru pada sela-sela yang ada dalam perut, dalam rangka menjaga keseimbangan tubuh agar tetap sehat22

Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

َﻻ ُﻪﱠﻧِإ اﻮُﻓِﺮْﺴُﺗ َﻻَو اﻮُﺑَﺮْﺷاَو اﻮُﻠُآَو ٍﺪِﺠْﺴَﻣ ﱢﻞُآ َﺪْﻨِﻋ ْﻢُﻜَﺘَﻨﻳِز اوُﺬُﺧ َمَداَء ﻲِﻨَﺑﺎَﻳ

َﻦﻴِﻓِﺮْﺴُﻤْﻟا ﱡﺐِﺤُﻳ

)

31

(

Artinya: “Makanlah dan minumlah kamu, tetapi janganlah kamu berlebih-lebihan, karena Allah tiada menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS. Al’Araf/7: 31)23

20 Ibid., hlm.202

21 Ibid., hlm.201 22 Ibid., hlm. 201

(8)

Sehingga yang terjadi diantara manusia yang berlebih-lebihan dalam hal makan, yang menyebabkan makanan itu hanya bertumpuk dalam tubuhnya. Padahal dapat dibaratkan, bahwa namanya mesin (perut) itu pasti ada batas untuk menampung benda sekaligus memprosesnya. Hal itu kalau dilanggar akan berakibat fatal yaitu timbulnya berbagai kerusakan (penyakit) akibat kelebihan dari pemenuhan makan dan minuman dalam tubuh. Dengan jalan puasa orang dapat melepaskan dari sisa-sisa makanan yang menyakitkan itu, yang nantinya dapat membawa kesehatan bagi tubuhnya. Kemudian secara medis para dokter sendiri telah banyak menasehati kepada demi mendapatkan kesembuhan maksimal dalam mengobati penyakit yang diderita para pasien.24

Puasa adalah bukan suatu bentuk syarat keagamaan saja di mana kalau tidak dilakukan akan mendapat ganjaran (dosa). Namun lebih dari itu, puasa tenyata juga bisa bermanfaat bagi kesehatan, sebab puasa bisa menjadi alat yang ampuh dalam menyembuhkan berbagai penyakit biasa sampai penyakit kronis padahal secara medis penyakit itu sulit disembuhkan tetapi dengan jalan puasa ternyata penyakit tersebut bisa teratasi malah hasilnya menakjubkan, yaitu pasien tersebut bisa sembul total. Hal itu telah dibuktikan tidak cuma satu ahli medis tetapi juga dibuktikan oleh banyak ahli medis dari zaman dahulu sampai sekarang. Hal itu berarti bahwa puasa diperintahkan adalah untuk kebaikan manusia sendiri dan bukan untuk Allah SWT.

4. Aspek Psikologis

Peranan puasa dalam kaitanya dengan psikologis adalah sangat banyak sebab bila kita mau mengkaji dengan seksama maka inti dari ibadah puasa adalah pengendalian diri. Pengendalian diri adalah salah satu ciri utama bagi jiwa yang sehat, dan manakala pengendalian diri seseorang terganggu maka akan timbul berbagai reaksi kelainan baik dalam alam fikir, alam perasaan dan sekaligus perilaku yang bersangkutan. Reaksi

24

(9)

kelainan yang ditimbulkan tidak saja menimbulkan subyektif pada dirinya tetapi juga dapat mengganggu lingkungan serta orang lain.25

Maka dari itu Islam mensyariatkan puasa dengan maksud agar manusia dapat hidup yang lebih baik, khususnya demi menjaga psikologis manusia agar tidak mudah terganggu. Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba memaparkan pemikiran al-Jurjawi kaitanya hikmah puasa dari aspek psikologis.

Dikatakan oleh al-Jurjawi, cara menguatkan jiwa itu bukan dengan syahwatnya sebab jika jiwa itu menjadi kuat karena syahwatnya tentu akan melampui batas. Seperti dalam firman Allah:

ﻰَﻐْﻄَﻴَﻟ َنﺎَﺴْﻧ ِﻻا ﱠنِإ ََََﻼََآ

)

6

(

ﻰَﻨْﻐَﺘْﺳا ُﻩﺁَر ْنَأ

)

7

(

Artinya: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui batas karena dia melihat dirinya merasa cukup". (QS. al-Alaq/96: 6-7)26

Maka apabila syahwat mampu dicegah ia akan padam dan bilamana padam orang akan mudah untuk kembali kepada Allah Ta’ala dan sekaligus mampu merasakan keagunganNya atas berbagai nikmat yang telah diberikan kepada manusia dengan perasaan yang sebenar-benarnya.27

Puasa sebagai cara melemahkan nafsu syahwat bersetubuh yaitu syahwat yang sama-sama terdapat baik pada manusia maupun binatang. Berawal dari keinginan jiwa yang kuat dalam usaha menanggulangi keinginan syahwat yang sering membutakan hati dan fikiran manusia dengan cara merasakan kesukaran seperti dalam berpuasa dengan harapan dapat menanggulangi permasalahan tersebut. Sedang kalau memang ada manusia yang fakir (belum mampu menikah) karena faktor biaya sehingga untuk mengatasi kekhawatiran orang terjerumus ke jurang perzinaan, maka hendaklah ia mau berpuasa sehingga lemah syahwatnya dan bekal menikahpun bertambah.28

Sesuai dengan sabda Nabi Rasulullah SAW berbunyi:

25 Al-Jurjawi, op. cit., hlm.197

26 Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 1079 27 Al-Jurjawi, op. cit., hlm.192

28

(10)

ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ﱡﺾَﻏَأ ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ ْجﱠوَﺰَﺘَﻴْﻠَﻓ َةَءﺎَﺒْﻟا ُﻢُﻜْﻨِﻣ َعﺎَﻄَﺘْﺳا ِﻦَﻣ ِبﺎَﺒﱠﺸﻟا َﺮَﺸْﻌَﻣ ﺎَﻳ

ٌءﺎَﺟِو ُﻪَﻟ ُﻪﱠﻧِﺈَﻓ ِمْﻮﱠﺼﻟﺎِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻌَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣَو ِجْﺮَﻔْﻠِﻟ ُﻦَﺼْﺣَأَو

Artinya: "Wahai pemuda, siapa di antara kamu yang, mampu menikah maka menikahlah sebab sesungguhnya ia lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, namun barang siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa sebagai wija (perisai) baginya".29

Dengan melemahnya syahwat akan berpengaruh pada kemauan dan kejernihan berfikir dari pelakunya menjadi lebih kuat dari sebelumnya ia melakukan puasa. Itu berarti pelaku puasa telah mampu menguasai hawa nafsunya sendiri. Dengan kemauan yang kuat diharapkan seseorang bisa menjadi yang terbaik diantara manusia yang lain.30

Itulah rahasia yang dapat dicermati secara psikologis. Dari beberapa item yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa puasa pada hakikatnya merupakan pendidikan dan latihan kejiwaan agar manusia dapat mengendalikan dirinya dan mengarahkan segala kebutuhannya ke arah yang lebih baik.

Pengendalian ini sangat dibutuhkan oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok. Karena secara umum jiwa manusia itu mudah terpengaruh dari segala sesuatu apalagi khususnya apabila manusia tersebut tidak memiliki kesadaran untuk mengendalikannya serta tekad yang kuat untuk menghadapi bisikan negatif. Dengan demikian, puasa berarti mencegah diri dari sikap serba mementingkan kenikmatan semata-mata dan sekaligus mampu menggantinya dengan keridhaan Ilahi, sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan kehidupan.

Selanjutnya yang penting diketahui dalam hal puasa itu bahwa dalam hal berpuasa hendaklah pelaksanaannya berdasar pada petunjuk Islam, dan tidak boleh dirubah aturannya dan tidak berlebih-lebihan dari berbagai hal yang telah ditentukan. Sebab pelaksanaan puasa yang sesuai aturan akan

29 Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz VII, terj. Ahmad

Sunarto dkk, CV. Syifa, Semarang 1993., hlm. 6

(11)

mudah membawa manusia terutama dalam rangka mendapatkan hikmah puasa. Meskipun hal itu sebetulnya bukan menjadi tujuan yang utama dalam pelaksanaan puasa, tetapi hal itu hanya merupakan bentuk dalam memberikan gambaran bahwa manusia untuk lebih semangat dalam ibadah disebabkan bahwa segala sesuatu yang diperintahkan sebetulnya banyak mengandung hikmah baik di dunia maupun akhirat.

Referensi

Dokumen terkait

syeikh Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al Ahdal dalam kitab al Ahlak. az Zakiyyah fi Adabit Tholib

Maskawaih.” Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa landasan nilai - nilai pokok dalam agama islam untuk materi pendidikan anak antara lain :. akidah islamiah, nilai ibadah, dan

haruslah dibuktikan lewat amaliyah agar dapat membawa seorang tersebut kepada derajat Muttaqin (orang yang beriman). Kemuliaan seseorang disisi Allah SWT dapat kita

Tuturan Manat pada penggalan dialog di atas menunjukkan adanya pelanggaran terhadap maksim kuantitas dalam bentuk penambahan informasi lebih dari yang dibutuhkan