• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN HAK INTERPELASI DPRA TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH ACEH DI ERA PANDEMI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN HAK INTERPELASI DPRA TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH ACEH DI ERA PANDEMI SKRIPSI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN HAK INTERPELASI DPRA TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH ACEH DI ERA PANDEMI

SKRIPSI

Diajukan Oleh DIA ULHAQ NIM. 160801004

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Pemerintahan Prodi Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH TAHUN 2020/2021

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Dalam sidang paripurna yang diagendakan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 10 september 2020, telah memutuskan menyetujui penggunaan hak interpelasi terhadap Pemerintah (Plt Gubernur Aceh). Adapun komposisi fraksi yang meneyujui ada 6 fraksi yaitu Fraksi Partai Aceh, Fraksi Partai Nanggroe Aceh, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sosial , Fraksi Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Golongan Karya. Dari jumlah 6 fraksi partai diatas ada 59 orang anggota DPRA yang telah menyetujui dan sisa 22 orang anggota yang tidak menyetujui, dan jumlah total semua anggota DPRA yaitu 81 anggota. Sementara tujuan penelitian yang digunakan adalah Untuk mengetahui mengapa DPRA menggunakan hak ninterpelasi terhadap kebijakan Pemerintah Aceh serta Mengapa DPRA tidak melanjutkan hak interpelasi terhadap kebijakan pemerintah Aceh. Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan jenis penelitian deskriftif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, selain itu peneliti juga melakukan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Proses pengajuan Hak interpelasi terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh, 15 anggota DPRA yang menjadi inisiator telah menyerahkan namanya kepada pimpinan DPR Aceh. Pada rapat sidang paripurna pertama Hak Interpelasi, 56 anggota DPR Aceh menyetujui untuk menggunakan Hak Interpelasi terhadap Plt Gubernur. Dalam proses berjalannya Hak interpelasi ata yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai alasan, misalkan yang setuju mereka mengatakan sudah saatnya DPR Aceh menggunakan Hak Interpelasi terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat dan berdampak luas. Ada sebagian dari anggota DPR aceh yang tidak setuju mengatakan kami mendukung terhadap kebijakan Pemerintah Aceh yang pro rakyat, Tujuan dari DPR aceh menggunakan Hak Interpelasinya terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh ialah hendak mengetahui implementasi kebijakan yang berdampak tidak baik untuk masyarakat luas.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini setelah melalui perjuangan panjang, guna memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Selanjutnya shalawat beriring salam penulis panjatkan kehadiran Nabi Besar Muhammad saw, yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Masthur Yahya, SH., M.Hum selaku pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih turut pula penulis ucapkan kepada Bapak Ramzi Murzikin, MA selaku pembimbing II yang telah menyumbangkan pikiran serta saran-saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Selanjutnya pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Warul Walidin, AK.,MA selaku Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

2. IbuDr. Ernita Dewi, S. Ag. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

(7)

3. Teristimewa sekali penulis persembahkan skripsi ini kepada ayahanda tercinta Abdullah dan Ibunda tercinta Dahniar yang selalu memberikan dukungan, dorongan, serta doa siang-malam, sehingga saya mampu menjadi pribadi seperti saat ini.. Terimakasih banyak juga kepada keluarga-keluarga saya lainnya yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan.

4. Bapak Dr. Abdullah Sani, Lc., M.A, selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Politik dan selaku penasehat akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PemerintahanUniversitas Islam Negeri Ar-Raniry.

5. Ibu Rizkika Lhena Darwin, MA. Selaku Dosen Penguji I sekaligus sekretaris Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Bapak Danil Akbar Taqwadin, B. IAM, M.Sc selaku dosen penguji II yang telah mencurahkan pemikiran, waktu dan tenaganya untuk selesainya skripsi ini.

6. Seluruh dosen-dosen di FISIP terutama prodi Ilmu Politik yang selama perkuliahan telah tulus dan ikhlas mendidik serta mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

7. Seluruh Bapak/Ibu Staf Tata Usaha, Akademik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan.

8. Kepada informan yang telah banyak membantu penulis untuk mendapatkan informasi yang penulis butuhkan.

9. Kepada teman-teman Ilmu Politik Imran, M.Ikbal, S.IP, Ikhsan, Siti Ana, S.IP, Taufik, Teguh Ranggayoni, S.IP dan seluruh angkatan 2016 terimaksih

(8)

telah membuat perkuliahan terasa dengan canda tawa dan semangat kalian, semoga kita sukses disetiap jalan yang kita tempuh.

10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyempurnaan skripsi ini.

Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai dengan baik. Peneliti berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah swt selalu melindungi mereka serta membalas kebaikan mereka. Namun demikian, peneliti bertanggung jawab penuh atas segala kekurangan dalam penulisan ini, kritik yang membangun sangat peneliti harapkan.

Banda Aceh, 12 Januari 2021 Penulis,

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Instrumen Penelitian

Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 3 : Surat Balasan Izin Penelitian Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian

(10)

DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL

PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN SIDANG ... ii

PERNYATAAN KARYA ILMIAH... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LAMPIRAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Fungsi Pengawasan Legislatif ... 9

2.2 Implementasi Hak Interpelasi dan Hak Angket DPRA ... 12

2.3 Lobby/Negosiasi Politik... 17

2.4 Literatur Review ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian ... 26

3.2 Fokus Penelitian ... 26

3.3 Lokasi Penelitian ... 27

3.4 Jenis dan Sumber Data ... 27

3.5 Informan Penelitian... 27

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.7 Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah DPR Aceh ... 31

4.1.2 Visi Misi DPR Aceh ... 35

4.2 Sejarah Hak Interpelasi di Aceh... 37

4.3 Kewenangan dan Penggunaan hak Interpelasi terhadap kebijakan pemerintah Aceh ... 43 4.4 Pemetaan Partai Pendukung Hak Interpelasi ... 52

4.5 Relasi antara DPRA dan Pemerintah Aceh setelah penggunaan hak Interpelasi ... 53

4.5.1 Hak Interpelasi tidak dilanjutkan ke hak angket ... 55

(11)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 59 5.2 Saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Lembaga legislatif merupakan suatu lembaga yang tidak kalah pentingnya dalam Negara demokrasi atau lazim dikenal sebagai lembaga pembuat undang- undang.1 Di Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi (legislatif), fungsi pengawasan (control) dan fungsi anggaran (budget).2 Legislatif di Aceh memiliki penyebutan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia yaitu DPRD, akan tetapi di Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakya Aceh (DPRA) untuk tingkat provinsi. Dan kalau untuk tingkat kabupaten disebut Dewan Perwailan Rakyat Kabupaten (DPRK). Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.

Pengertian legislatif daerah sendiri telah mengalami pergeseran mendasar sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 karena Undang undang sebelumnya dianggap memiliki kelemahan. Pemerintahan daerah adalah bagian dari struktur pemerintahan Indonesia atau disebut juga subsistem dari sistem pemerintahan negara Indonesia untuk menjelaskan saling keterkaitan pemerintahan daerah

1 Rahimullah, Hukum Tata Negara (Hubungan Antar Lembaga Negara) Versi

Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 2007, hlm. 17.

2 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu

(13)

dengan pemerintah negara Indonesia.3

Dalam menjalankan fungsinya sebagai legislative , DPRD/DPRA juga memiliki hak yang telah diatur dalam Pasal 106 dan Pasal 159 UU No 23 Tahun 2014 yaitu, hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. “Hak interpelasi” adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. “Hak angket” adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan “hak menyatakan pendapat” adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.4

Fungsi DPRA di dalam sebuah pengawasan haruslah dilaksanakan dengan baik, sehingga dapat mejadi rujukan bagi lembaga lain dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Hak yang dimiliki DPRA tersebut merupakan hak yang sangat penting untuk mengetahui kinerja dari pemerintah, dan pemerintah menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat.“Pengawasan merupakan bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya fungsi kontrol, kekuasaan dalam sebuah negara akan berjalan sesuai kehendak dan interpretasi pemegang kekuasaan (power maker), dalam kondisi

3 B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah (setelah Amandemen UUD 1945 & UU

Otonomi Daerah 2004), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal.1.

(14)

demikian aspirasi masyarakat terabaikan.

Setelah dikeluarkannya pelaksanaan otonomi daerah UU No. 23 Tahun 2014 seharusnya dapat meningkatkan dan menguatkan peran dan fungsi DPRD. Baik itu fungsi legislasi, fungsi pengawasan ataupun fungsi anggarannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Fungsi kontrol DPRD lebih ditekankan kepada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.5

Di Provinsi Aceh sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menyetujui untuk menggunakan hak interpelasinya terhadap beberapa kebijakan pemerintah Aceh yang dinilai tidak sesuai prosedur yang berlaku. Pertama, terkait dana refocusing APBA 2020 sebesar Rp 1,7 triliun sampai Rp 2,3 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19, dan ini tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR Aceh. Kedua, kebijakan Pemerintah Aceh (Plt Gubernur) tentang pemasangan stiker konsumsi pemakaian premium dan solar bersubsidi pada mobil sesuai Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 504/9186 tahun 2020 tentang Stiker BBM bersubsidi telah membebani dan meresahkan masyarakat. Dan kemudian yang ketiga, Kebijakan gebrak masker dilaksanakan juga tanpa sepengetahuan DPR Aceh. Dan keempat juga terkait proyek multiyears yang di anggarkan 2,7 triliun yang tidak berdasarkan persetujuan atau rekomendasi Komisi

5 Rozali Abdullah, pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai suatu

(15)

IV, bahkan telah dibatalkan melalui rapat paripurna DPRA.6 Dewan menilai pembatalan proyek tersebut dikarenakan ada temuan soal penganggaran yang tidak sesuai prosedur yang berlaku.

Dari uraian beberapa sumber di atas DPRA menduga Pemerintah Aceh (Plt Gubernur) telah melanggar UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, yaitu di pasal 46 huruf g tak menjalankan amanah. Disini DPRA mempermasalahkan Plt. Gubernur Aceh tidak melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan Aceh secara transparan, terlebih mengenai dana refocussing APBA untuk penanganan Covid dari 1,7 Triliun menjadi 2,5 Triliun. Pemerintah Aceh diduga juga telah melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014, di pasal 65 ayat 1 Plt Gubuernur tidak melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan ketentuan perundang undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRA. Pemerintah Aceh juga telah melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf c, ini menyangkut dengan kebijakan Plt Gubernur soal pemasangan stiker BBM bersubsidi yang telah meresahkan masyarakat. Dan yang terakhir pemerintah juga telah melanggar Pasal 92 ayat 2 dan 3 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang penglolaan keuangan daerah, disini ada kaitannya dengan Pemerintan Aceh yang tetap menjalankan proyek tahun jamak meski MoU telah dibatalkan DPRA melalui sidang paripurna.

Kalau dirujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 114 ayat (1) menyebut. Hak interpelasi diusulkan

6 https://www.ajnn.net/news/alasan-dpra-gunakan-hak-interpelasi-terhadap-plt-gubernur-

(16)

paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.7 Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 107 Ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 1 Tahun 2019, tentang Tata Tertib DPR Aceh. Isinya, usulan hak interpelasi yang disampaikan dalam rapat paripurna DPRA menjadi hak interpelasi DPRA apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Anggota DPRA, dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPRA yang hadir.

Dalam sidang paripurna yang diagendakan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 10 september 2020, telah memutuskan menyetujui penggunaan hak interpelasi terhadap Pemerintah (Plt Gubernur Aceh). Adapun komposisi fraksi yang meneyujui ada 6 fraksi yaitu Fraksi Partai Aceh, Fraksi Partai Nanggroe Aceh, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sosial , Fraksi Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Golongan Karya. Dari jumlah 6 fraksi partai di atas ada 59 orang anggota DPRA yang telah menyetujui dan sisa 22 orang anggota yang tidak menyetujui, dan jumlah total semua anggota DPRA yaitu 81 anggota. Artinya ini sudah memenuhi syarat sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Ini merupakan kali kedua DPRA menggunakan hak interpelasi di periode kepemimpinan Irwandi Yusuf- Nova Iriansyah tahun 2017-2023. Sebelumnya pada tahun 2018 DPRA juga pernah mengajukan hak interpelasi terhadap Pergub nomor 5 tahun 2018 tentang hukum acara jinayat. Yang intinya didalam Pergub tersebut

(17)

mengatur hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup (rutan/lapas), hal ini bertentangan dengan penjelasan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dimana hukuman cambuk dilakukan ditempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir ditempat tersebut. 8

Berdasarkan dari penjelasan di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Penggunaan Hak Interpelasi DPRA Terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh di Era Pandemi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat mengindentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Hak Interpelasi terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh ?

2. Bagaimana relasi antara DPRA dan pemerintah Aceh setelah penggunaan Hak Interpelasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Hak Interpelasi terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh.

2. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara DPRA dan pemerintah Aceh setelah penggunaan Hak Interpelasi.

8 M. Faza Adhyaksa, Mirja Fauzul Hamdi, implementasi hak interpelasidewan perwakilan

rakyat aceh terhadap peraturan gubernur nomor 5 tahun 2018 tentang pelaksanaanhukumacarajinayah, Syiah Kuala Law Journal : Vol.4(2) Agustus 2020

(18)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan baik, baik itu secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran yang lebih luas terhadap bidang ilmu politik, khususnya perkembangan perkembangan kondisi politik Aceh saat ini.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan menjadi informasi yang berguna dalam memahami dan menjelaskan suatu permasalahan lain yang terkait dengan topik penelitian.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana kondisi politik maupun pemerintahan diera Pandemi.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan untuk DPRA dan Pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan yang baik dan sesuai regulasi yang berlaku.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan kertas karya ini, penulis membagi pokok pembahasan dalam 5 (lima) BAB, dan pembahasan dibagi ke dalam beberapa sub bab.

(19)

Sistematika pembahasan tersebut adalah sebagai berikut : BAB SATU : Pendahuluan

Menguraikan alasan pemilihan judul, 1. Latar belakang masalah, 2. Rumusan masalah 3. Tujuan penelitian 4. Manfaat penelitian, 6. Sistematika pembahasan. BAB DUA : Landasan Teori

Menguraikan tentang: 1.Fungsi Pengawasan Legislatif, 2. Kebijakan Pemerintah. BAB TIGA : Metode Penelitian

Menguraikan tentang: 1. Jenis penelitian 2. Lokasi penelitian 3. Informasi penelitian, 4. Teknik pengumpulan data terbagi wawancara mendalam, dokumentasi, 5. Teknik pengolahan dan analisis data.

BAB EMPAT : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

1. Sejarah DPRA 2. Kewenangan hak interpelasi DPR Aceh, 3. Penggunaan hak interpelasi terhadap kebijakan pemerintah Aceh, 4. Relasi DPRA dan pemerintah Aceh setelah penggunaan hak interpelasi.

BAB LIMA : Penutup

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungsi Pengawasan Legislatif

Menurut Monstequieu kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan membuat Undang Undang, kemerdekaan hanya dijamin jika ada pemisahan fungsi pemerintah tidak dipegang oleh per orang atau badan, tetapi lebih dari satu orang atau badan terpisah. Monstequieu juga menjelaskan kalau kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tidak akan ada kemerdekaan.9

Definisi pengawasan menurut Mc. Farland sebagaimana yang dikutip oleh Handayaningrat (1990, h.143) dalam bukunnya Adi Suryanto berjudul “Manajemen Pemerintahaan Daerah (LAN)” sebagai berikut: Control is the process by which an executive gets the performance of his subordinates to correspond as closely as possible to chosen plans, oders, objectives, or politicies. Pengawasan yang dimaksudkan disini sebagai suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah di tentukan.

Dalam penjelasan terminologi, pengawasan berarti mengontrol proses, cara, perbuatan mengontrol. Dalam bahasa Inggris berasal dari kata control yang berarti pengawasan. Mengenai pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam ilmu manajemen, pengawasan merupakan salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.

9 Rusmayadi, pengawasan pemerintahan oleh dewan perwakilan rakyat daerah tidak

bertentangan dengan kedudukan hukum kepala daerah sebagai anggota partai politik, Halu Oleo Legal rsearch, hlm.36-37

(21)

Di dalam hukum administrasi, pengawasan diartikan sebagai kegiatan mengawasi dalam arti melihat sesuatu dengan seksama, sehingga tidak ada kegiatan lain diluar itu. Pengawasan berbagai aktivitas yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan maka dapat dilaksanakan secara baik dalam arti sesuai dengan apa yang dimaksud.10

Legislatif yang merupakan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mempunyai kedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki fungsi pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah, peraturan Kepala Daerah, APBA, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah, tugas itu secara normatif sebagai cerminan kehidupan demokrasi dalam pemerintah daerah, yang harapannya adalah sebagai pelaksanaan check and balance lembaga diluar kekuasaan pemerintah daerah agar terdapat keseimbangan, kemudian Kepala Daerah tidak semaunya sendiri dalam menjalankan tugasnya, maka keberadaan DPRA sangat diperlukan dalam pembangunan daerah, namun di satu sisi DPRA juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pemerintah daerah, dan akan menimbulkan kesulitan dalam menjalankan tugas pengawasan tersebut, sehingga belum bisa dijalankan secara efektif.11

Fungsi pengawasan yang dimiliki oleh anggota DPRA adalah fungsi secara Lembaga bukan secara pribadi, artinya bahwa DPRA dalam melakukan

10 Suriansyah Murhani, Aspek-Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, Laksbang,

Yogyakarta, 2008, hlm. 2

11 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

(22)

pengawasan harus dilakukan melalui kelengkapan DPRA . Oleh sebab itu, hal yang paling mendasar untuk menguatkan fungsi pengawasan adalah: Pertama Merumuskan tentang ruang lingkup batasan Kerja dan prioritas Pengawasan. Kedua, merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasnnya, karena dengan memiliki dan memahami standar akuntabilitas yang baku, DPRA dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Ketiga, rumusan standar atau ukuran yang jelas untuk menentukan sebuah kebijakan publik dikatakan berhasil, gagal atau menyimpang dari RKPD yang telah ditetapkan. Keempat, Merumuskan rekomendasi serta tindak lanjut dari hasil pengawasan, baik itu pada tingkat kebijakan, proyek atau kasus-kasus tertentu. Semua itu harus dirumuskan dalam tata tertib DPRA, sehngga alat kelengkapan DPRA dalam melakukan pengawasan memiliki pemahaman meskipun berasal dari fraksi yang berbeda-beda.12

Berdasarkan definisi diatas, hak interpelasi yang digunakan DPRA terhadap kebijakan Pemerintah Aceh tahun 2020 dinilai cacat hukum alias tidak sesuai prosedur yang berlaku. DPRA yang memiliki fungsi pengawasan sudah menjalankanya sesuai amanat konstitusi negara yaitu UUD 1945, karenanya DPR telah menggunakan salah satu haknya yaitu hak interpelasi terhadap beberapa kebijakan pemerintah Aceh, pertama, Pertama, terkait dana refocusing APBA 2020 sebesar Rp 1,7 triliun sampai Rp 2,3 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19, dan ini tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR

12 Juharni, Model pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah dikabupaten sinjai, hal

(23)

Aceh. Kedua, kebijakan Pemerintah Aceh (Plt Gubernur) tentang pemasangan stiker konsumsi pemakaian premium dan solar bersubsidi pada mobil sesuai Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 504/9186 tahun 2020 tentang Stiker BBM bersubsidi telah membebani dan meresahkan masyarakat. Dan kemudian yang ketiga, Kebijakan gebrak masker dilaksanakan juga tanpa sepengetahuan DPR Aceh. Dan keempat juga terkait Proyek multiyears yang di anggarkan 2,7 triliun yang tidak berdasarkan persetujuan atau rekomendasi Komisi IV, bahkan telah dibatalkan melalui rapat paripurna DPRA.

2.2 Implementasi Hak Interpelasi Dan Hak Angket DPRA

Hak Interpelasi DPRA Berdasarkan Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah “Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRA kabupaten / kota untuk meminta keterangan kepada bupati / walikota mengenai kebijakan pemerintah daerah kabupaten / kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, daerah dan negara.

Hak dan kewajiban DPRD menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 298 sampai dengan Pasal 300 menyangkut DPRD provinsi dan Pasal 349 sampai dengan Pasal 351 untuk DPRD kabupaten / kota. Hak dan kewajiban DPRD, hak provinsi maupun kabupaten / kota mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hak interpelasi adalah hak DPRA untuk meminta keterangan kepada Bupati mengenai kebijakan pemerintah

(24)

kabupaten / kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Interpelasi diusulkan paling sedikit oleh 7 (tujuh) orang Anggota DPRA dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Usul meminta keterangan oleh pimpinan DPRA disampaikan pada rapat paripurna DPRA, dan rapat paripurna, para pengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasanlisan atas usul permintaan keterangan tersebut.Pembicaraan mengenai sesuatu usul meminta keterangan dilakukan dengan memberikesempatan kepada:

1. Anggota DPRA lainnya untuk memberikan pandangan melalui Fraksi 2. Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para anggota

DPRA.

Keputusan persetujuan atau penolakan terhadap usul permintaan keterangan kepada kepala daerah ditetapkan dalam rapat paripurna. Usul permintaan keterangan DPRA sebelum memperoleh keputusan, para pengusul berhak mengajukan perubahan atau menarik kembali usulannya.Rapat paripurna DPRA dianggap sah apabila dihadiri lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah Anggota DPRA. Keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah Anggota DPRA yang hadir.Apabila rapat paripurna menyetujui terhadap usul permintaan keterangan, pimpinan DPRA mengajukan permintaan keterangan kepada kepala daerah.Kepala daerah wajib memberikan keterangan lisan maupun tertulis terhadap permintaan keterangan anggota DPRA dalam rapat paripurna.

Setiap anggota DPRA dapat mengajukan pertanyaan atas keterangan kepala daerah.Pengawasan yang DPRA laksanakan terhadap bupati dan / wakil

(25)

bupati terkait adanya dugaan tindak pidana, pada saat bupati dan / wakil bupati memberikan jawaban atau keterangan kepada DPRA, DPRA dapat menyatakan pendapatnya secara resmi kepada bupati dan / wakil bupati. Pernyataan pendapat tersebut atas keterangan bupati dan / wakil bupati, dijadikan sebagai bahan untuk pelaksanaan fungsi pengawasan dan untuk bupati dan / wakil bupati yang dijadikan bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan yang akan dilaksanakan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pada fungsi yang dimiliki oleh DPRA merupakan fungsi wajib yanh harus dilaksanakan kerena merupakan tugas yang sudah ditetapkan dalam undangundang, demi mencapai pemerintahan yang baik dan demokratis. Pengawasa terhadap kinerja pemerintah, dalam hal ini bupati dan / wakil bupati, dilakukan oleh DPRA untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab bupati dan / wakil bupati. .

Praktik fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRA terhadap pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, dan birokrasi pemerintahan yang cepat, melalui mekanisme checks and balancesatau sistem pengawasan dan keseimbanganyang efektif, sehingga optimalisasi pengawasan dapat tercapai. DPRA sebagai wakil rakyat yang menyampaikan keluhan masyarakat kepada pemerintah. Jadi perhatian DPRA dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya terhadap lembaga saja namun fungsinya sebagai DPRA untuk memdengarkan apa yang menjadi keinginan masyarakat dan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, guna mencapai pemerintahan yang baik, efektif dan efisien. Penerapan hak yang dimiliki DPRA harus sesuai dengan

(26)

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai norma yang berlaku.13 Menurut Jimly Asshidiqie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum wakil rakyat atau DPRA yaitu:10 Wakil rakyat itu adalah juru bicara rakyat, untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan dan pendapat rakyat. Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat, sebagai wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi materi kebijakan dan agar kebijkan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya diwakili.

Pada penggunaan hak angket, DPRA membentuk panitia khusus untuk melakukan penyelidikan, dengan mencari bukti-bukti dan keterangan terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh bupati dan / wakil bupati, apabila buktibukti dapat ditemukan, DPRA menyerahkan bukti tersebut kepada aparat penegak hukum, maka proses selanjutnya ditangani oleh aparat penegak hukum. Tindak lanjut terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan bupati dan / wakil bupati, sudah ditangani oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk mencari bukti yang lebih lengkap dan akurat.

Berdasarkan Pasal 159 ayat (3) Undang-Undang Nomot 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak DPRD kabupaten / kota DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan pemerintah daerah kabupaten / kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Pengawasan

13 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo

(27)

DPRA terhadap pemerintah merupakan suatu bentuk penertiban demi terealisasi ketentuan perundang-undangan, sehingga hasil pengawasan tersebut dapat dijadikan bahan informasi atau umpan balik penyempurnaan dari program mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengawasan merupakan unsur penting untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Fungsi pengawasan bertujuan untuk menciptakan pemerintah yang bertanggung jawab dan berusaha menghindari konflik-konflik dalam pelakasanaan program pemerintahan, hal ini berarti bupati dan / wakil bupati mampu menjadi pelayan masyarakat, dapat mengendalikan setiap program yang dijalankannya, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama, dapat tercapai dengan baik. Adanya pengawasan dari DPRA terhadap pemerintah, dalam hal ini bupatidan / wakil bupati, maka kinerja pemerintah menjadi lebih efektif, sehingga apabila terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh bupati dan / wakil bupati dapat lebih mudah diketahui. Apabila pengawasan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik oleh DPRA, akan berdampak buruk bagi kinerja pemerintah, yang memungkinkan bupati dan / wakil bupati tidak melaksanakan fungsi jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan DPRA merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan berbagai indikator atau standar, pengawasan tersebut terkait kepatuhan bupati dan / wakil bupati terhadap peraturan perundang-undangan. Kebijakan serta dampak yang

(28)

ditimbulkan berpengaruh pada perkembangan dan peningkatan mutu daerah, untuk itu perlu ditegaskan bagi DPRD untuk mengawasi bupati dan / wakil bupati harus dijalankan dengan maksimal.

2.3 Lobby/Negosiasi Politik

Negosiasi berasal dari kata to negotiate, to be negotiating dalam bahasa inggris yang berarti "merundingkan, membicarakan kemungkinan tentang suatu kondisi, dan atau menawar". Sedangkan kata-kata turunanya antara lain"negotiation" yang berarti "menunjukkan suatu proses atau aktivitas untuk merundingkan, membicarakan sesuatu hal untuk disepakati dengan orang lain", dan "negotiable" yang berarti "dapat dirundingkan, dapat dibicarakan, dapat ditawar".14

Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu negosiasi juga merupakan kesepakatan dari sebuah proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama.15

Negosiasi menurut beberapa ahli:

1. Jaqueline M. Nolan-Haley:“Negosiasi dapat diartikan sebagai proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu

14 Sujana, Asep ST, 2004. Retail Negotiator Guidance. Jakarta : PT. SUN Printing. Hal 36 15 Sujana, Asep ST, 2004. Retail Negotiator Guidance. Jakarta : PT. SUN Printing. Hal 37

(29)

kesepakatan tetang suatu sengketa atau sesuatu hal yang berpotensi menjadi sengketa.”

2. Gary Godpaster: “Negosiasi adalah proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, mengandung seni dan penuh rahasia, untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap menguntungkan para pihak”.

3. Fisher dan Urg: “Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang berbeda“.

4. FriedrichNaumannStiftung: “Negosiasi Suatu proses dimana sedikitnya dua orang (atau lebih) berusaha mencapai sesuatu. Agar hal itu tercapai, kedua pihak harus menyepakati suatu cara pemecahan. Namun, itu baru permulaan. Kedua pihak harus tetap bekerjasama dalam pelaksanaan dari “kontrak” yang telah disepakati”.16

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa negoisasi adalah satu cara antara dua orang atau lebih yang berbedakepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud atau tujuan dalammencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan darimasing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahamankepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud atau tujuan (mencapai kesepakatan bersama).17

16Putu Suardiana Utama. 4 Juli 2014. Negosiasi. Tersedia di : http://putusuardiana.blog

spot.com/2014/07/negosiasi.html. Diakses pada 2 januari 2021 , pukul 13.00 wib

(30)

Kesepakatan tercapai ketika posisi negosiator berkumpul dan mereka mencapai berbagai penyelesaian yang dapat diterima, seperti rasa adil dan puas tidak ada yang dirugikan. Ada banyak cara yang berbeda untuk negosiasi segmen untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar dari bagian penting. Negosiasi melibatkan tiga elemen dasar: proses, perilaku dan substansi. Proses ini mengacu pada bagaimana para pihak berunding: konteks negosiasi, pihak dalam negosiasi, taktik yang digunakan oleh para pihak, dan urutan dan tahapan di mana semua ini bermain keluar.

Selain untuk memperoleh kesepakatan kedua belah pihak, menurut Thong, alasan bernegosiasi adalah untuk mendapatkan sebuah keuntungan atau menghindarkan kerugian atau memecahkan problem yang lain. Untuk mendapatkan suatu kesepakatan kedua belah pihak, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Persiapan yang cermat.

2. Persentasi dan evaluasi yang jelas mengenai posisi kedua belah pihak.

3. Keterampilan, pengalaman, motivasi, pikiran yang terbuka.

4. Pendekatan yang logis untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang baik dan saling menguntungkan dan saling menghormati.

5. Kemauan untuk membuat konsensi untuk mencapai kesepakatan melalui kompromi bila terjadi kemacetan.

(31)

Secara umum negosiasi mempunyai tujuan, yaitu:

1. Tujuan agresif - berusaha memperoleh keuntungan dari kerugian (damage) pihak lawan.

2. Tujuan kompetitif - berusaha memperoleh sesuatu yang lebih (getting more) dari pihak lawan.

3. Tujuan kooperatif - berusaha memperoleh kesepakatan yang saling menguntungkan (mutual gain).

4. Tujuan pemusatan diri - berusaha memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan penerimaan pihak lain.

5. Tujuan defensif - berusaha memperoleh hasil dengan menghindari yang negatif.

2.3.2 Tujuan Kombinasi

Dalam bisnis negosiasi mempunyai tujuan, antara lain :

1. Untuk mendapatkan atau mencapai kata sepakat yang mengandung kesamaan persepsi, saling pengertian dan persetujuan.

2. Untuk mendapatkan atau mencapai kondisi penyelesaian atau jalan keluar dari masalah yang dihadapi bersama.

3. Untuk mendapatkan atau mencapai kondisi saling menguntungkan dimana masing-masing pihak merasa menang (win-win solution). 2.3.3 Manfaat Negosiasi

Manfaat yang diperoleh dari sebuah proses negosiasi di dalam pengertian bisnis resmi antara lain adalah :

(32)

1. Untuk mendapatkan atau menciptakan jalinan kerja sama antar badan usaha atau institusi ataupun perorangan untuk melakukan suatu kegiatan atau usaha bersama atas dasar saling pengertian. suatu proses negosiasi bisnis merupakan bagian dari suatu proses interaksi guna menghidupkan perekonomian dalam skala yang lebih luas.

2. Menjalin hubungan bisnis yang lebih luas dan juga untuk mengembangkan pasar, yang diharapkan memberikan peningkatan penjualan. Proses negosiasi bisnis juga akan menghasilkan harga yang lebih baik dan efisiens, yang memberikan keuntungan yang lebih besar.

2.3.4 Karakteristik Negoisasi

1. Senantiasa melibatkan orang baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok,

2. Menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter),

3. Hampir selalu berbentuk tatap-muka yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi,

4. Negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi.18

2.4 Literatur Review

Dalam penelitian ini ada kutipan referensi terdahulu yang akan menjadi

(33)

bahan pertimbangan untuk penelitian, penelitian tentang ini sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh:

Vynta, Nurul Atika dengan judul “penggunaan hak interpelasi oleh dprd kota padang sebagai fungsi pengawasan terhadap kebijakan walikota padang tahun 2010”. Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan hak interpelasi oleh DPRDKota Padang terhadap kebijakan Pemerintah Kota Padang dalam pemberian izin usaha bagi AW Cafe? 2. Apa akibat hukum dari pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPRD Kota Padang terhadap kebijakan Pemerintah Kota Padang melalui Hak Interpelasi?. Kesimpulan dari penelitiannya adalah: Pertama, DPRD Kota Padang telah melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak interpelasi dengan baik. Hal ini terlihat dari pernyataan pendapat DPRD yang menolak jawaban Walikota Padang. Pengaturan tentang Hak Interpelasi dalam berbagai ketentuan peraturan perundang- undangan tidak mengatur dan menyatakan secara eksplisit dan tegas bahwa hasil pendapat menolak DPRD pada pelaksanaan hak interpelasi bisa dijadikan dasar pengajuan hak angket. Kedua, Pelaksanaan hak interpelasi DPRD Kota Padang memiliki akibat hukum timbulnya ketidakpastian hukum terhadap fungsi pengawasan DPRD sebagai lembaga legislatif. Hal ini disebabkan oleh lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak interpelasi.19

Tomson Klinten, dengan judul “Implementasi Hak Interpelasi dan Hak Angket DPRD Serta Akibat Ketidaksinkronan Keputusan Pemberhentian Bupati dan/Wakil Bupati dengan Putusan Pengadilan Berdasarkan

19 Vynta, Nurul Atika dengan judul 2017, penggunaan hak interpelasi oleh dprd kota padang

(34)

UndangNomor 23 Tahun Tentang Pemerintahan Daerah”. Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa implementasi dari hak interpelasi dan hak angket DPRD terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh bupati dan / wakil bupati? 2. Apa akibat hukum dari ketidaksinkronan antara putusan pengadilan dengan keputusan gubernur terkait pemberhentian bupati dan / wakil bupati?. Kesimpulan dari penelitiannya adalah: Pertama, Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh bupati dan / wakil bupati merupakan salah satu permasalahan hukum yang belum dapat dikatakan bahwa itu benar adanya, karena masih dugaan, sehingga DPRD dapat melaksanakan haknya dengan baik ketika bupati dan / wakil bupati mengalami krisis kepercayaan publik. Kedua, gubernur sebagai kepala daerah tingkat provinsi tidak dapat memberhentikan kepala daerah (bupati dan wakil/bupati), sebelum adanya proses pengadilan yang tetap dan mengikat (inkracht).Masalah hukum mengenai dugaan pelanggaran bupati dan/wakil bupati yang belum ada putusan pengadilan tersebut, dengan pemberhentian dari gubernur tidak dapat berlaku efektif karena tujuan hukumya tidak tercapai. suatu dugaan pelanggaran secara hukum bupati dan/wakil bupati tidak dapat dianggap bersalah melakukan tindak pidana, karena secara hukum harus dibuktikan terlebih dahulu dan diputus oleh pengadilan secara tetap dan mengikat maka dari itu sangat penting Peran DPRD dalam melaksanakan hak interpelasi dan hak angket secara jujur sesuai deng an ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.20

Nurush Shobahah, dengan judul: “penggunaan hak interpelasi dewan

(35)

perwakilan rakyat terhadap kebijakan pemerintah”. Yang menjadi rumusan masalah: 1. Bagaimana mekanisme penggunaan hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan Pemerintah? 2. Bagaimana konsekuensi yuridis penggunaan hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan Pemerintah?. Kesimpulan dari penelitiannya dalah: Pertama, Hak interpelasi berasal dari hak anggota yaitu dari hak menyampaikan usul dan pendapat. Usul tersebut menjadi hak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga jika disetujui dalam Rapat Paripurna menjadi hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif wajib menghadiri undangan rapat interpelasi bersama para menteri terkait sebagai bentuk penerapan prinsip checks and balances. Kedua, Dewan Perwailan Rakyat harus menggunakan hak interpelasi sesuai fungsi pengawasan terhadap Presiden dan dilanjutkan menggunakan hak lainnya agar fungsi tersebut efektif. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket jika tidak puas dengan keterangan pemerintah untuk menyelidiki Pemerintah apakah terjadi kesalahan atau pelanggaran undang- undang dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakannya sehingga kebijakan yang diambilnya berdampak negatif terhadap masyarakat.21

M. Faza Adhyaksa, Mirja Fauzul Hamdi, dengan judul penelitian: “implementasi hak interpelasi dewan perwakilan rakyat aceh terhadap peraturan gubernur nomor 5 tahun 2018 tentang pelaksanaan hukum acara jinayah”. Kesimpulan dari penelitiannya adalah: Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menggunakan Hak Interpelasi terhadap Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018

21 Nurul Shobahah, 2015, dengan judul: “penggunaan hak interpelasi dewan perwakilan rakyat

(36)

tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayah. Urgenitasnya adalah didalam Pergub tersebut mengatur hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup (rutan/lapas), hal ini bertentangan dengan penjelasan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dimana hukuman cambuk dilakukan ditempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir. Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh meminta penjelasan lebih lanjut terkait dengan penerbitan Pergub.Menurut pemerintah Pergub ini menjelaskan secara teknis dan terperinci atas Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Hak interpelasi tidak diperlukan apabila Pergub bermasalah, karena secara hierarki kedudukan Perda Provinsi (Qanun) lebih tinggi dari Pergub, jadi apabila Pergub bertentangan dengan Qanun maka Pergub tersebut batal demi hukum.DPRA juga mengajukan permohonan pengujian peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang mengenai eksekusi cambuk didalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas) kepada Mahkamah Agung.Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan gugatan dengan mengeluarkan Putusan MA Nomor 39 P/HUM/2018. Alasannya karena DPRA bisa mengajukan Hak Interpelasi.22

22 M. Faza Adhyaksa, Mirja Fauzul Hamdi, implementasi hak interpelasi DPRA terhadap

peraturan guburnur nomor 5 tahun 2018 tentang pelaksanaan hukum acara jinayah, Syiah Kuala Law Journal

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri dianggap sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif sendiri merupakan pendekatan yang dipergunakan untuk menggambarkan rutinitas, ritme dan momen tertentu, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau sekelompok individu. Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode alami.23

3.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian adalah pedoman untuk melaksanakan kegiatan penelitian. terdapat dua maksud tertentu yang ingin dicapai peneliti dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus, yaitu24:

a. Penetapan fokus dapat membatasi studi, sehingga dapat bermanfaat bagi jalannya penelitian. Penetapan fokus dapat berfungsi memenuhi

23 Lexy Moleong.2006. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda

Karya, Hlm. 4.

24 Burhan Bungin,2011. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University

(38)

kriteria masuk keluar (inclusion-exclusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh dilapangan, sehingga dapat memudahkan dalam pengambilan data serta pengolahan data hingga menjadi kesimpulan. b. Penelitian ini yang berjudul Penggunaan Hak Interpelasi DPRA

Terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh Di Era Pandemi ini berfokus untuk melihat Mengapa DPRA menggunakan Hak Interpelasi terhadap Kebijakan Pemerintah Aceh serta Bagaimanakah relasi antara DPRA dan pemerintah Aceh setelah penggunaan Hak Interpelasi.

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di Banda Aceh, pemilihan lokasi penelitian ini tidak terlepas didasari karena lokasi lembaga DPRA dan gedung utama pemerintah Aceh terletak di Banda Aceh.

3.4 Jenis dan Sumber data

Data yang akan diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan cara meneliti langsung ke lapangan atau hasil wawancara langsung dengan pihak yang terlibat dalam pelaksanaan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang bersumber dari buku-buku, jurnal, skripsi, perundang-undangan, surat kabar dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian peneliti.

3.5 Informan Penelitian

(39)

tentang situasi serta latar belakang dari pembahasan yang ingin diteliti.25 Informan biasanya adalah orang yang memang sudah tau detail permasalahannya yang penulis ingin teliti. Adapun yang menjadi informan dalam penelitiaan ini adalah :

No Responden Jumlah 1 Pemerintah Aceh 1 2 Inisiator Interpelasi 1 3 Anggota DPRA 2 4 Pengamat politik 1 5 Akademisi 1

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa metode pengumpulan data, antara lain:

3.6.1 Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan informasi dan petunjuk tertentu dalam rangka memperoleh hasil penelitian yang relevan dengan tema penelitian. Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara ini adalah wawancara tak terstruktur atau sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif dan wawancara terbuka (openeded interview).26

25 Albi Anggito, 2018, Metodologi penelitian kualitatif. Jawa Barat : CV Jejak, hal 8 26 Deddy Muliyana, 2004, metodologo penelitian kualitatif, Bandung: remaja rosdakarya.

(40)

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang di wawancarai, dimana pewawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.

Pengertian lain dari metode wawancara adalah metode yang mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang untuk tujuan tugas tertetu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Wawancara juga didefinisikan sebagai suatu pertemuan antara periset dan responden, dimana jawaban responden akan menjadi data mentah.27

3.6.2 Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dalam bentuk dokumen yang relavan dengan tema penelitian. Misalnya dengan melakukan penelusuran dan penelaahan bahanbahan pustaka berupa buku-buku, kebudayaan, laporan, notulen rapat, media sosial, surat kabar online dan dokumen lainnya yang relavan dengan tema penelititan.28

Dokumentasi di gunakan untuk melihat atau menganalisi dokumen-dokumen yang di buat oleh subjek sendiri atau orang lain serta salah satu

27 Lisa Horizon.2007, Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. hlm. 150-151

28 Irawan Soehartono, 2004, metode penelitian sosial suatu teknik penelitian bidang

(41)

cara untuk mendapatkan ambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang di tulis atau di buat langsung oleh subjek yang bersangkutan.

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah model purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang berdasarkan tujuan atau pertimbangan yang tepat untuk di jadikan responden dan informan dalam penelitian ini.29

3.6 Teknik Analisi Data

Terdapat beberapa teknik dalam analisis data, salah satunya adalah model alir (flow model). Model alir ini terbagi menjadi tiga tahapan analisis data yaitu tahap reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.30

Pertama, reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi. Kedua, penyajian data (data display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Selama penelitian masih berlangsung, setiap kesimpulan yang ditetapkan akan terus-menerus diverifikasi hingga benar-benar diperoleh konklusi yang valid dan kokoh.31

29 Ahmadi, Cholid Narbuko Dan Abu. 2010 Metodologi Penelitian. Jakarta :PT. Bumi

Aksara

30 Agus Salim.2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku. Yogyakarta: Tiara

Wacana. hlm. 21.

(42)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1 Sejarah DPR Aceh

DPRA berdiri sejak Tahun 1945, saat itu bernama Komite Nasional Daerah KND). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Peralihan dari UUD 1945 dan disusul Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945. KND yang diketuai pertama kali oleh Tuanku Mahmud, dilanjutkan oleh Mr. S. M. Amin kemudian berubah nama menjadi DPR pada tahun 1947.32

Keresidenan Aceh dijadikan Provinsi oleh Wakil Perdana Menteri sesuai PP No. 8 tahun 1948 pada tanggal 17 Desember 1948 dan DPRD Aceh berdiri sesuai dengan PP No. 22 Tahun 1948 dari tahun 1949-1950 dengan Ketua Tgk. Abdul Wahab. Namun leburnya Provinsi Aceh pada tahun 1950 menyebabkan DPRD dibubarkan.

Kemudian Provinsi Aceh lahir kembali sesuai dengan UU No. 24 tahun 1956. Maka dibentuklah DPRD Peralihan pada 1957 dengan ketua pertama Tgk. M. Abdul Syam yang memimpin hingga 1959. Pada dan tahun 1959-1961 diketuai Tgk. M. Ali Balwy. Selanjutnya sesuai dengan Perpres No. 5 Tahun 1960 dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRDGR) tahun 1961-1964 diketuai Gubernur Aceh A. Hasjmy.

Sesuai dengan UU No. 181 Tahun 1965 DPRDGR Tahun 1965-1966 diketuai oleh Gubernur Nyak Adam Kamil, PD. Ketua DPRD periode 1966-1968 Drs. Marzuki Nyak Man. Ketua DPRD Periode 1968-1971 H. M. Yasin.

Wacana. hlm. 22-23.

(43)

Dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/MISSI/1959 (Missi Hardi), maka sejak tanggal 26 Mei 1959, Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sejak saat itu Aceh memiliki hak otonomi yang luas dalam bidang Agama, Adat dan Pendidikan. Selanjutnya DPRD di Aceh, ditetapkan sesuai hasil Pemilu.

Fungsi DPRA (Pasal 22 UU No. 11/2006).33 1. Fungsi Legislasi

2. Fungsi Anggaran 3. Fungsi Pengawasan

Tugas dan Wewenang (Pasal 23 UU No. 11/2006) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut34:

1. Membentuk Qanun Aceh.

2. Melaksanakan pengawasan terhadap Pelaksanaan Qanun Aceh. 3. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh. 4. Melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan sesuai dengan Pasal 23 UU No. 11/2006). Hak, Kewajiban dan Kode Etik (Pasal 25 - 27 UU No. 11/2006) DPRA mempunyai hak sebagai berikut:

1. Interpelasi; 2. Angket;

3. Mengajukan pernyataan pendapat; 4. Mengajukan rancangan qanun;

33 UU No. 11/2006 Pasal 22 tentang fungsi DPRA, di akses pada Tangal 12 Januari 2020. 34 UU No. 11/2006 Pasal 23 tentang Tugas dan Wewenang DPRA, di akses pada Tanggal

(44)

5. Mengadakan perubahan atas rancangan qanun;

6. Membahas dan menyetujui rancangan qanun tentang anggaran pendapatan dan belanja aceh dan kabupaten/kota dengan gubernur dan/atau bupati/walikota;

7. Menyusun rencana anggaran belanja sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang dpra/dprk sebagai bagian dari anggaran pendapatan dan belanja aceh dan anggaran pendapatan dan belanja kabupaten/kota dengan menggunakan standar harga yang disepakati gubernur dengan dpra dan bupati/walikota dengan dprk, yang ditetapkan dengan peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota;

8. Menggunakan anggaran sebagaimana telah ditetapkan dalam apba/apbk dan diadministrasikan oleh sekretaris dewan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

9. Menyusun dan menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik anggota dpra/dprk.

Anggota DPRA/DPRK mempunyai hak: 1. Mengajukan usul rancangan qanun; 2. Mengajukan pertanyaan;

3. Menyampaikan usul dan pendapat; 4. Protokoler;

5. Keuangan dan administratif; 6. Memilih dan dipilih;

(45)

8. Imunitas.

Anggota DPRA/DPRK mempunyai kewajiban:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

2. Membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota;

3. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;

4. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

5. Menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpah/janji anggota DPRA/DPRK;

6. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRA/DPRK sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah pemilihannya; dan

8. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

DPRA wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan, dimana kode etik tersebut berisikan :

(46)

1. Pengertian kode etik; 2. Tujuan kode etik;

3. Pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antarpenyelenggara pemerintahan

4. Daerah dan antaranggota serta antara anggota dpra/dprk serta pihak lain;

5. Hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota dpra/dprk; 6. Etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan

sanggahan; dan

7. Sanksi dan rehabilitasi.

Alat Kelengkapan DPRA (Pasal 57 Peraturan Tata Tertib DPRA) Alat Kelengkapan DPRA terdiri dari :

1. Pimpinan; 2. Komisi; 3. Badan Musyawarah; 4. Badan Legislasi; 5. Badan Anggaran; 6. Badan Kehormatan;

7. Alat kelengkapan lain yang diperlukan. 4.1.2 Visi Misi DPR Aceh

Visi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh adalah: tercapainya citra Lembaga yang Transparan, Akuntabilitas dan partisipatif dalam rangka pelaksanaan secara optimal Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

(47)

(UUPA) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan misinya adalah:

1. Meningkatkan kualitas fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan sesuai mekanisme yang ada;

2. Mensinergikan pemahaman dari alat-alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

3. Meningkatkan keterbukaan/transparansi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

4. Meningkatkan keikutsertaan semua komponen masyarakat dalam pengambilan keputusan dengan cara menyerap dan menyalurkan berbagai aspirasi yang berkembang sebagai bahan masukan.

5. Meningkatkan komunikasi dengan semua komponen masyarakat. Pimpinan DPRA Per Periode

1. Periode 1949-1950 diketuai oleh Tgk. Abdul Wahab 2. Periode 1957-1959 diketuai oleh Tgk. M. Abduh Syam 3. Periode 1959-1961 diketuai oleh H. Ali Balwi

4. Periode 1961-1964 diketuai oleh H. Ali Hasyimy

5. Periode 1966-1968 diketuai oleh Drs. Marzuki Nyakman 6. Periode 1968-1971 diketuai oleh H. M. Yasin

7. Periode 1971-1977 diketuai oleh A. Mahdani. 8. Periode 1977-1992 diketuai oleh Ahmad Amin. 9. Periode 1992-1997 diketuai oleh Abdullah Muda. 10. Periode 1997-1999 diketuai oleh T. Djohan.

(48)

11. Periode 1999-2004 diketuai oleh Muhammad Yus. 12. Periode 2004-2009 diketuai oleh Sayed Fuad Zakaria.

13. Periode 2009-2014 diketuai oleh Drs. H. Hasbi Abdullah, MS. 14. Periode 2014-2018 diketuai oleh Tgk. H. Muharuddin, S.Sos.I. 15. Periode 2018-2019 diketuai oleh Sulaiman, SE, MSM

16. Periode 2019-2024 diketuai oleh Dahlan Jamaluddin, S.IP 4.2 Sejarah Interpelasi di Aceh

Pada tahun 2018 DPRA juga pernah mengajukan hak interpelasi terhadap Pergub nomor 5 tahun 2018 tentang hukum acara jinayat. Yang intinya didalam Pergub tersebut mengatur hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup (rutan/lapas), hal ini bertentangan dengan penjelasan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dimana hukuman cambuk dilakukan ditempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir ditempat tersebut.

Dalam penjelasan tertulis Gubernur Aceh yang dibacakan Wagub menyebutkan, pada prinsipnya Gubernur sangat menghargai hak yang digunakan oleh beberapa anggota dewan untuk meminta keterangan atau disebut juga Hak Interpelasi guna melaksanakan fungsi pengawasan DPRA dan menjadi bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan Gubernur.35

Berikut ini adalah penjelasan Wagub yang dibacakan di hadapan para anggota dewan serta kepala SKPA. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Aceh. Berkenaan dengan penetapan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Anggaran

(49)

Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2018 (Pergub APBA 2018) yang telah melalui proses penuh dinamika dan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan serta disambut dengan penuh kebahagian oleh sebagian besar rakyat Aceh, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

Penetapan Peraturan Gubernur tersebut tetap berlandaskan pada Peraturan Perundang-Undangan yang berkenaan, yaitu:

1. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

2. Pasal 197 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

3. Pasal 310 sampai dengan Pasal 313 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Pasal 32 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

5. Pasal 36 ayat (2) huruf o Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintahan Daerah.

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

(50)

21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 2017.

Dalam Lampiran IV angka 1, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2017, disebutkan tahapan penyusunan APBD, terdiri atas: Pertama, Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) [akhir Mei]; Kedua, Penyusunan dan kesepakatan KUA dan PPAS [akhir Juli]; Ketiga, Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD/SKPA) [minggu ke-1 Agustus]; Keempat, Penyampaian dan Penyusunan Ranperda/Raqan APBD [Oktober-November]; Kelima, Persetujuan bersama DPRD dan Gubernur (paling lambat Desember); dan, Keenam, Menyampaikan Ranperda/Raqan APBD/APBA dan Ranpergub Penjabaran APBD, kepada Mendagri [Desember]; serta, penetapan Ranperda/raqan APBD dan Ranpergub Penjabaran APBD (paling lambat 31 Desember);

Rapat Paripurna DPR Aceh Dalam Rangka Penyampaian Dan Persetujuan Penggunaan Hak Interpelasi Anggota Dpr Aceh. Hadir dari Pemerintah Aceh, Sekda Aceh Taqwallah, dan rapat dipimpin Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin bersama Wakil Ketua Safaruddin serta anggota DPRA. Sedangkan Wakil Ketua DPRA dari Demokrat Dalimi tidak tampak hadir dalam paripurna tersebut. Dalam

(51)

paripurna tersebut tim inisiator penggunaan hak interpelasi membacakan isi laporan interpelasi, diantaranya, alasan DPRA menggunakan hak interpelasi.

Alasan Interpelasi yang mendasari DPR Aceh menggunakan Hak Interpelasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Plt. Gubernur Aceh yang bernilai penting dan strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, antara lain :

a. Dana Refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,7 Triliun s.d 2,3 Triliun terkait penanganan pandemi Covid-19 tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR Aceh. Disamping itu pergeseran anggaran yang begitu besar tersebut tidak diikuti dengan Qanun Aceh Tentang Perubahan APBA Tahun Anggaran 2020 sebagaimana diamanatkan Pasal 316 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Laporan Interpelasi 3 tentang Pemerintahan Daerah, Jo Pasal 161 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Jo Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menkeu Nomor 119/2813/SJ dan 117/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 Dalam Rangka Penanganan Covid-19 serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional;

b. Kebijakan Pemerintah Aceh (Plt Gubernur Aceh) tentang pemasangan stiker konsumsi pemakaian premium dan solar bersubsidi pada mobil sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 504/9186 Tahun

(52)

2020 tentang Stiker BBM bersubsidi telah membebani dan meresahkan masyarakat sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dan kebijakan gebrak masker tidak sepengetahuan DPR Aceh;

c. Plt. Gubernur Aceh tidak menghadiri Sidang Paripurna DPR Aceh untuk Penyampaian Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2019, sebagaimana diamanahkan pada Pasal 46 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Jo Pasal 65 Ayat (1), Pasal 320 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; d. Proyek multi years tidak berdasarkan Persetujuan/Rekomendasi

Komisi IV dan tanpa Paripurna DPRA dan bahkan telah dibatalkan melalui Rapat Paripurna DPRA, sebagaimana amanat Pasal 92 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Meskipun telah dibatalkan melalui Surat Keputusan DPRA Nomor 12/DPRA/2020 tanggal 22 Juli 2020 tentang Pembatalan Pembangunan dan Pengawasan Beberapa Proyek Melalui Penganggaran Tahun Jamak (Multi Years) Tahun Anggaran 2020-2022, namun Pemerintah Aceh tetap menjalankan proses pelelangan proyek tersebut;

(53)

Azhary oleh Plt. Gubernur Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebagimana Surat Edaran Kepala BKN Nomor 2/SE/VII/2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas Dalam Aspek Kepegawaian. Bahwa Pegawai Negeri Sipil yang ditunjuk sebagai Laporan Interpelasi 4 Pelaksana Tugas, melaksanakan tugasnya untuk paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan). Pengangkatan Plt di Pemerintah Aceh mengabaikan durasi waktu melaksanakan tugas dan perpanjangan tersebut;

f. Pengangkatan Saidan Nafi sebagai Plt. Ketua MAA oleh Plt. Gubernur Aceh melanggar Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang Majelis Adat Aceh sebagaimana Putusan PTUN Nomor 16/G/2019/PTUN tanggal 24 Agustus 2019, Jo Putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht);

g. Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur Aceh) tidak mengajukan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Perubahan (APBA-P) Tahun Anggaran 2020, padahal semua prosedur dan persyaratan sudah terpenuhi sesuai dengan Pasal 316 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan Pasal 161 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

h. Plt Gubernur Aceh tidak patuh dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menghambat proses pembahasan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Tahun Anggaran 2021 yang seharusnya

Gambar

Gambar 1.1 Wawancara Dengan Bapak Bardan Sahidi (Anggota DPRA)
Gambar 1.3 Wawancara Dengan Bapak Iqbal Ahmady (Pengamat Politik)
Gambar 1.6 Wawancara Dengan Bapak Tantawi (Anggota DPRA)

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan dimana nucleus pulposus keluar menonjol untuk kemudian menekan kearah kanalis spinalis melalui annulus fibrosus yang robek. Dasar terjadinya

Faktor-faktor yang dihipotesiskan sebagai penyebab Xanthidae sehingga memiliki sifat beracun adalah kontaminasi dan akumulasi senyawa beracun via diet biota beracun, asosiasi

Two tier test memiliki dua keuntungan, pertama two tier test dapat menurunkan kesalahan pengukuran pemahaman siswa karena pada one tier dengan empat atau lima

Terdapat 4 jenis bakteri endofit pada tanaman padi ( Oryza sativa L.) varietas situbagendit yaitu isolat EPS1 adalah genus Pseudomonas , isolat EPS2 adalah genus

Tiga negara pantai, seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki perspektif yang berbeda atas manajemen Selat untuk mengatasi problem tersebut, meskipun mereka

Saya menjamin jawaban yang diberikan dan penelitian tidak merugikan saudara, apabila saudara bersedia mengisi angket, saya mohon untuk menandatangani lembar

setelah ktta ltlrat kedudukkerr sina dalem undsn6* utidrurg fsfapn EaUe penul|a akns 5sp6!1h ptrla rnenrbirr- cangkarar3ie dlart r-trdut u$dosrg-undan€ J onoyah di

Gencarnya promosi seni rupa modern oleh perupa pada masa ini tidak.. terlepas dari semangat untuk memerdekakan diri claii cengkeraman