• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Media Sosial atas Hijabista: Pembentukan Citra Perempuan Muslim dari Perspektif Konsumsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Representasi Media Sosial atas Hijabista: Pembentukan Citra Perempuan Muslim dari Perspektif Konsumsi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

64 |

J u r n a l H a w a

Representasi Media Sosial atas Hijabista: Pembentukan Citra Perempuan

Muslim dari Perspektif Konsumsi

Franceline Anggia Irwan Abdullah anggia20@gmail.com irwanabdullah6@gmail.com

Universitas Gadjah Mada

Info Artikel

Abstract

Diterima: Maret 2020 Disetujui: April 2020 Dipublikasikan: Juni 2020

Social Media Representation of the Hijabista: Formation of the Image of Muslim Women from a Perspective of Consumption. The presence of hijabista (hijab-fashionista) which works on Instagram social

media is undeniably filled many devices. The hijabista are mostly young women (near or around 30 years old) who either do hijab business or are influential figures in the world of beauty or in the world of Muslim clothing fashion on Instagram social media. These women, with their social and economic capital, seem to retain religious values in terms of how to dress for Muslim women in addition to the modification of the hijab style they wear and display in their visual collections of instagram profiles. This paper is compiled based on a literature study that related to the mediation of women, especially in the hijab consumption space. Marriage between religion and capitalism causes the boundaries between the two to become increasingly blurred. Things that smell of religion, whether it is in the form of religious teachings contained in certain sacred verses to halal certification, are often used as a marketing approach to attract consumers as much as possible. By involving the lure of religion in marketing strategies, the practice of capitalism and the products it produces can easily be accepted by the market. However, if we compare the values of Islamic religion with the values of capitalism firmly, in plain sight both of them seem very contradictory. With the rise of the presence of Muslim fashion businesses, Islamic religious values and the values inherent in the body of capitalism seem to influence and relate to one another. Thus, what happens is called the commodification of religious symbols.

Keyword

Social Media, Veill, Citra Wanita, and consumption

perspective

Kata Kunci

Abstrak

Media Sosial, Hijabista,Citra Perempuan, dan Persepeltif konsumsi

Representasi Media Sosial atas Hijabista: Pembentukan Citra Perempuan Muslim dari Perspektif Konsumsi. Kehadiran hijabista (hijab-fashionista) yang berkancah di media sosial instagram tidak dipungkiri lagi telah banyak mengisi layar gawai. Para hijabista ini kebanyakan merupakan perempuan-perempuan muda (menjelang atau sekitar berusia 30 tahun) yang entah itu memang berbisnis jilbab atau merupakan sosok berpengaruh (influencer) dalam dunia kecantikan atau dalam dunia mode pakaian Muslim di media sosial instagram. Para perempuan ini, dengan modal sosial dan ekonomi yang dimiliki, nampak tetap mempertahankan nilai-nilai agama dalam hal cara berpakaian bagi perempuan Muslim di samping modifikasi gaya jilbab yang mereka kenakan dan tampilkan dalam koleksi visual profil instagram mereka.Tulisan ini disusun berdasarkan studi pustaka yang terkait dengan mediatisasi perempuan khususnya dalam ruang konsumsi jilbab.. Kawin-mawin antara agama dengan kapitalisme menyebabkan batas antarkeduanya menjadi semakin kabur. Hal-hal yang berbau agama, entah itu berupa ajaran agama yang tertera dalam ayat-ayat suci tertentu sampai pada sertifikasi halal, acapkali dijadikan pendekatan pemasaran untuk menarik hati konsumen sebanyak-banyaknya. Dengan melibatkan iming-iming agama dalam strategi pemasaran, praktik kapitalisme serta produk yang dihasilkannya dapat dengan mudah dapat diterima oleh pasar. Namun, apabila kita bandingkan nilai agama Islam dengan nilai-nilai kapitalisme dengan tegas, secara kasat mata antarkeduanya nampak sangat bertolak belakang. Dengan maraknya kehadiran bisnis-bisnis busana Muslim, nilai-nilai agama Islam serta nilai-nilai yang melekat dalam tubuh kapitalisme nampak saling memengaruhi dan berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, terjadi apa yang disebut sebagai komodifikasi simbol keagamaan.

Alamat Korespodensi: Jalan Raden Fatah, Pagar Dewa,

(2)

65 | J u r n a l H a w a Pendahuluan

Kehadiran hijabista

(hijab-fashionista) yang marak di media sosial

instagram tidak dipungkiri telah membentuk wacana dan praktik konsumsi di kalangan perempuan muslim. Para hijabista ini kebanyakan merupakan perempuan-perempuan muda (menjelang atau sekitar berusia 30 tahun) yang entah itu memang berbisnis jilbab atau merupakan sosok berpengaruh (influencer) dalam dunia kecantikan atau dalam dunia mode pakaian Muslim di media sosial instagram. Para perempuan ini, dengan modal sosial dan ekonomi yang dimiliki, nampak tetap mempertahankan nilai-nilai agama dalam hal cara berpakaian bagi perempuan Muslim di samping modifikasi gaya jilbab yang mereka kenakan dan tampilkan dalam koleksi visual profil instagram mereka. Kemajuan dalam dunia konsumsi dan keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas tidak berarti mereka boleh meninggalkan nilai-nilai yang telah digariskan (Muzani, 2014).

Kehadiran para hijabista merepresentasikan citra perempuan Muslim yang mulai telah bergeser. Pergeseran/perbedaan citra ditunjukkan oleh pendapat Banu Gokarisel & Ellen McLarney dalam The Islamic Culture Industry (2014) yang berbunyi, “There is a seeming tension between professed Islamic virtues and the logic of consumer capitalism. While the former is often defined as modesty, thrift, other-worldly devotion, spiritualism, and communitarianism, the later is perceived to cultivate self-indulgence, conspicuous

consumption, this-worldly orientation,

materialism, and individualism” (Gokarisel

& McLarney, 2014: 4). Melalui hadirnya

para hijabista sebagai sosok berpengaruh dalam dunia mode hijab, representasi nilai-nilai Islami yang melekat dalam hal cara berpakaian serta jilbab sebagai simbol keagamaan saling berbaur dan bernegosiasi merepresentasikan perempuan Muslim yang modern, kelas menengah, atau bisa dikatakan bahkan, konsumtif. Pada akhirnya, jilbab yang ditampilkan melalui media sosial oleh para hijabista tidak semata-mata berhenti sebagai simbol keagamaan saja melainkan juga sebagai ‘instrumen’ negosiasi perempuan di ranah publik atau bisa dikatakan sebagai bagian dari proses pencarian identitas bagi para perempuan muda hijabista di Instagram (Kavakci & Kraeplin, 2017).

Sejauh ini studi yang ada membicarakan persoalan hijab, sebagai bagian dari cara hidup (way of life) berlandaskan nilai-nilai Islami yang salah satunya dapat diekspresikan melalui cara berpakaian yang menutup aurat tubuh bagi perempuan Muslim. Berkembangya dunia mode hijab yang diwakili oleh kehadiran para hijabista (hijab fashionista) di media sosial instagram menjadi fenomena yang secara kasat mata nampak kontradiktif. Pemakaian jilbab sebagai upaya mewujudkan esensi hijab sebelumnya diasosiasikan dengan tradisionalitas, komunalitas, serta diasosiasikan dengan perempuan yang cenderung family oriented. Kehadiran

hijabista yang memodifikasi jilbabnya

(dalam konteks cara berpakaian yang menutup aurat tubuh), hingga terlihat tampil modis selain dijalankan atas dasar ajaran agama Islam juga tampak menjadi

(3)

66 | J u r n a l H a w a

merepresentasikan diri sebagai kaum kelas menengah modern.

Pemakaian jilbab, memang tidak lagi hadir semata-mata sebagai simbol identitas agama tapi juga menjadi simbol yang mencirikan kelas dan modernitas (Beta, 2014). Tulisan ini pada akhirnya ingin memaparkan bagaimana mode hijab yang dikonsumsi para perempuan Muslim selain sebagai simbol kelas dan modernitas yang diekspresikan melalui proses konsumsi. Namun juga sebagai instrumen negosiasi perempuan akan identitasnya. Selain itu, perlu diingat bahwa persoalan identitas adalah persoalan yang fleksibel, cair, dan dinamis. Identitas tidak bersifat kaku dan pasif. Identitas dapat dinegosiasikan dan bahkan bersifat selektif. Sifat identitas yang dinamis dan fleksibel ini pada akhirnya termanifestasikan melalui proses konsumsi.

Tujuan tulisan ini menganalisis peran media sosial di dalam merepresentasikan identitas (virtual) perempuan muslim melalui proses konsumsi jilbab. Selain menganalisis hubungan tran hijabista dengan kesalehan kaum perempuan, tulisan ini juga menguji bagaimana modifikasi dan komodifikasi jilbab terjadi atas kecenderungan reorientasi perempuan dalam ruang publik. Agama dalam konteks paper ini menjadi aspek yang sangat penting dan menonjol untuk dibahas seiring proses penelitian studi literatur dilakukan. Aspek agama-secara khusus Islam-yang bersinggungan dengan aspek ekonomi (capitalism, neoliberal consumer culture) menjadi dua hal yang telah berjalan beriringan. Ragam produk, pelayanan, gaya hidup, yang bersinggungan dengan simbol-simbol dan nilai-nilai Islam perlu

dilihat sebagai bentuk ekspresi dan negosiasi identitas sebagai seorang Muslim yang ditunjukkan kepada publik (Ahmet, 2013). Hal ini menunjukkan bagaimana sekat agama menjadi cair; nilai-nilai agama mengalami proses negosiasi dan rekonstruksi, terutama melalui praktik konsumsi (Frissen et al., 2017).

Metode Penelitian

Penelitian ini secara khusus bersandar pada analisis media sosial, khususnya melihat bagaimana instagram mengkonstruksikan perempuan melalui penampilan jilbab. Media sosial sudah bukan menjadi bagian yang terpisah dari gaya hidup yang membangun identitas sebagai seorang Muslim. Kaum kelas menengah Muslim terutama, yang memiliki akses leluasa untuk melanggengkan proses pembangunan, negosiasi, serta pencarian referensi dan preferensi identitas melalui media sosial (Slama, 2017). Selain observasi di media sosial terhadap sosok-sosok hijabista yang berkancah di media sosial instagram guna memperoleh data yang empiris, penulis juga melakukan serangkaian kajian pustaka untuk mendapatkan gambaran penggunaan jilbab dan identitas perempuan.

Tulisan ini disusun berdasarkan studi pustaka yang terkait dengan mediatisasi perempuan khususnya dalam ruang konsumsi jilbab. Studi pustaka ini dilakukan dengan mengeksplorasi artikel-artikel ilmiah, artikel-artikel populer, termasuk juga buku-buku yang pernah mengkaji atau membahas topik terkait jilbab, kebudayaan populer, media, termasuk tentang bagaimana jilbab yang pada hakikatnya merupakan simbol keagamaan

(4)

67 | J u r n a l H a w a

Islam telah “dikemas” sedemikian rupa menjadi objek yang tidak semata-mata berhenti sebagai simbol keagamaan melainkan sebagai instrumen negosiasi perempuan di panggung publik, khususnya melalui media sosial seperti instagram.

Hasil/Temuan

Jilbab dalam Media Sosial Instagram

Instagram merupakan layanan jejaring sosial yang diluncurkan pada Oktober 2010. Layanan jejaring sosial ini memberikan ruang bagi para penggunanya untuk dapat membagikan foto atau video, dengan atau tanpa caption, atau keterangan pelengkap foto atau video, yang akan atau tidak akan direspons oleh followers atau pengikut mereka di instagram (Russman dan Svensson, 2016). Dalam konteks instagram, foto atau gambar tidak sekadar “produk” tetapi telah menjadi fasilitas yang menghubungkan seseorang dengan pengikutnya.

Perlu digarisbawahi, media sosial merupakan media yang pada dasarnya ditujukan untuk bersosialisasi. Mengutip pendapat Ralph Schroeder (2018), media sosial dapat dikatakan telah didesign agar seseorang seolah dapat terus memonitor apa yang dilakukan oleh orang lain. Media sosial tak dipungkiri, instagram layaknya panggung untuk tampil. Si performer akan merepresentasikan dirinya di panggung media sosial (atau panggung

publik) dan audiens akan

menginterpretasikan, menilai, meresponsnya. Menurut Schroeder, komunikasi lintas arah melalui media sosial ini berhasil membangun keterikatan (kalau bukan ketergantungan) antar

penilaian sesama pengguna media sosial itu sendiri.

Dalam konteks hijabista yang tampil di panggung instagram, sangat menarik untuk melihat konteks perkembangan zaman yang berubah dengan situasi ekonomi dan konteks sosial-budaya yang juga berbeda, nilai-nilai agama pun turut memperbaharui diri maupun diperbaharui sesuai dengan konteks ekonomi, sosial, politik, serta budaya pada masanya. Nilai-nilai agama pun turut diinterpretasikan dan dimaknai secara berbeda sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu secara amat implisit demi tercapainya kepentingan-kepentingan itu, termasuk dalam ranah perekonomian yang berorientasi laba. Kemunculan banyaknya bisnis busana Muslim di media sosial Instagram yang banyak menyasar perempuan Muslim melahirkan pula banyaknya sosok-sosok perempuan

Muslim yang dengan berani

mengekspresikan identitas dirinya melalui cara mereka berbusana di media sosial Instagram (figur ini disebut sebagai hijabista; hijab fashionista).

Mereka berekspresi melalui modifikasi busana mereka dengan tetap menutup aurat sesuai ajaran agama Islam, namun tetap tampil menyisakan kesan modern dan modis. Bahkan, tidak jarang dari mereka menjadi figur berpengaruh dalam dunia mode busana Muslim. Perempuan-perempuan Muslim ini hadir dan berpentas di panggung publik. Mereka nampak sangat ekspresif dan berani, tanpa menanggalkan tata cara berbusana sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama Islam. Jika ditelisik lebih dalam lagi, barangkali fenomena ini sangat mungkin muncul ke permukaan

(5)

68 | J u r n a l H a w a

sebagai bentuk negosiasi terhadap representasi perempuan Muslim yang sebelumnya diidentikan dengan tradisionalitas, komunal, serta family-oriented menjadi representasi perempuan-perempuan yang berorientasi karir dan independendengan orientasi hidup materialistis yang melekat di era modern ini (Pasha-Zaidi, 2010). Dengan demikian, kehadiran figur-figur hijabista tersebut layaknya seperti mendobrak representasi perempuan Muslim yang lama.

Kawin-mawin antara agama dengan kapitalisme menyebabkan batas antarkeduanya menjadi semakin kabur. Hal-hal yang berbau agama, entah itu berupa ajaran agama yang tertera dalam ayat-ayat suci tertentu sampai pada sertifikasi halal, acapkali dijadikan pendekatan pemasaran untuk menarik hati konsumen sebanyak-banyaknya. Dengan melibatkan iming-iming agama dalam strategi pemasaran, praktik kapitalisme serta produk yang dihasilkannya dapat dengan mudah dapat diterima oleh pasar. Namun, apabila kita bandingkan nilai-nilai agama Islam dengan nilai-nilai kapitalisme dengan tegas, secara kasat mata antarkeduanya nampak sangat bertolak belakang. Dengan maraknya kehadiran bisnis-bisnis busana Muslim, nilai-nilai agama Islam serta nilai-nilai yang melekat dalam tubuh kapitalisme nampak saling memengaruhi dan berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, terjadi apa yang disebut sebagai komodifikasi simbol keagamaan. Identitas sebagai seorang Muslim seolah “dikompetisikan” di lahan perekonomian yang berorientasi laba. Termasuk, menjadi Muslim sangat ditentukan oleh proses konsumsi komoditas yang berlangsung dalam media digital (Campbell, 2012).

Jilbab sebagai Instrumen Pembentukan Identitas

Kehadiran figur-figur perempuan Muslim yang berkreasi dengan busananya (hijabista) serta praktik konsumsi yang dilanggengkan oleh bisnis-bisnis hijab di media sosial menunjukkan pada kita bagaimana media sosial telah menjadi bagian integral dalam kehidupan beragama sehari-hari. Selain menunjukkan identitas agama, media sosial instagram telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam rangka mengekspresikan identitas sosial seseorang (sense of belonging) sampai pada identitas ekonomi seseorang dalam ranah digital. Pernyataan Martin Salma dalam artikelnya berjudul “Social Media and Islamic Practice : Indonesian Way of Being

Digitally Pious” (2017) semakin

menegaskan fenomena ini. Ia menyatakan, “…social media have become entangled in Islamic lifestyles and in the field of Islam in Indonesia more generally…it was Indonesia’s expanding Muslim middle class that explored and sustained these novel ways of organizing Islam, and introduced Islam into

various spheres of consumption” (2017:148).

Nyatanya, figur hijabista yang berkancah di media sosial instagram menjadi representasi aspirasi kalangan kelas menengah yang berupaya menunjukkan dan memberi legitimasi terhadap identitas mereka melalui konsumsi komoditas.

Pertanyaannya, mengapa kelas menengah menjadi kaum yang memiliki peran penting dalam fenomena ini? Sepenggal kutipan Noorhadi Hasan dalam artikelnya berjudul “Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia : Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi” (2016) menjadi sangat relevan ;

(6)

69 | J u r n a l H a w a

“Munculnya ‘Islam publik’ di dunia Muslim telah bertepatan dengan munculnya kelas menengah baru. Tuntutan mereka yang meningkat untuk gaya hidup yang lebih bernuansa mendorong mereka untuk mengadopsi simbol Islam sebagai modus ekspresi budaya modern di ruang publik. Simbol-simbol Islam memberi legitimasi dan nilai moral bagi anggota kelas menengah baru dan menjadi sarana yang mendukung pembentukan identitas sosial mereka sebagai anggota kelas menengah.” (2016: 216).

Pengungkapan identitas dengan lebih “mencolok” menjadi bagian yang esensial dalam rangka mengungkapkan status baru yang disandang seseorang atau dalam fenomena ini, status baru yang disandang oleh kelompok masyarakat sebagai kelompok masyarakat kelas menengah. Identitas ini diekspresikan dengan pemakaian atau pengkonsumsian simbol-simbol tertentu bahkan melalui

gaya hidup tertentu yang

merepresentasikan kelompok kelas menengah. Salah satu cara menunjukkan identitas baru ini tentu saja dengan aktivitas konsumsi, termasuk konsumsi komoditas tertentu. Tujuan konsumsi pun menjadi berubah juga, bukan berdasarkan kebutuhan melainkan berdasarkan hasrat yang dapat memenuhi kesesuaian status yang disandang (Cremlin & Robert, 2015). Kelas menengah tak semata-mata dilihat dari seberapa besar pendapatan yang mereka peroleh tiap bulan atau seberapa banyak aset yang dimiliki, melainkan direpresentasikan pula oleh gaya hidupnya. Dan pemakaian hijab saat ini

pun telah menjadi bagian dari gaya hidup juga.

Dalam konteks hijab itu sendiri, sebagai salah satu simbol agama Islam, tak lagi bersifat eksklusif. Simbol-simbol keagamaan serta hal-hal yang berbau agama tidak lagi diidentikkan dengan kelompok-kelompok yang religius entah itu tokoh agama atau pemuka-pemuka agama. Melainkan simbol keagamaan turut menjadi simbol yang terbuka dan dapat diekspresikan oleh siapa saja, terlepas dari kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya. Pasar memainkan peran yang sangat penting dalam membuka akses yang selebar-lebarnya terhadap konsumsi simbol keagamaan itu, termasuk jilbab. Pasar memainkan peran yang amat penting dalam mereproduksi makna terhadap pemakaian hijab itu sendiri. Tak semata-mata sebagai dorongan memenuhi kewajiban agama tapi juga sebagai ekspresi identitas yang lain. Baik itu identitas sosial maupun identitas ekonomi seseorang.

Instagram dan Hijabista : Arena

Negosiasi dan Pembangunan Identitas Virtual

Media sosial, termasuk media sosial instagram menjadi salah satu media yang berperan penting dalam menyebarkan “ideologi-ideologi” pasar. Misalnya, dengan mengkonstruksikan model dan merk jilbab apa yang dapat meningkatkan prestise seseorang. Bahkan, strategi halal dan tidak halal menjadi bagian dari strategi pemasaran antarbisnis jilbab sendiri yang nyatanya amat menunjukkan bahwa bisnis-bisnis jilbab itu memang saling berkompetisi demi menarik perhatian konsumen

(7)

sebanyak-70 | J u r n a l H a w a

banyaknya. Selain itu, media sosial instagram pun menjadi layaknya komunitas masyarakat yang masing-masing anggotanya saling bergantung satu sama lain, membangun solidaritas organik. Ketergantungan ini menyebabkan kecenderungan bagi individu pengguna media sosial, terkhusus pula instagram, selalu berusaha untuk menampilkan sisi terbaik diri sebab penilaian orang lain terhadap diri sendiri menjadi amat penting dan memiliki pengaruh yang amat signifikan.

Menurut Ralph Schroeder dalam artikelnya berjudul “The Internet in Everyday Life I : Sociability” (2016), para pengguna media sosial, tak dapat dipungkiri juga media sosial instagram, layaknya berperan sebagai apa yang disebut Schroeder yaitu, performer. Performer sangat memerhatikan respons dari para audience, yakni para pengguna media sosial yang lain. Audiens dan performer saling bergantung satu sama lain. Performer terus memproduksi representasi diri terbaik dalam rangka mendapat respons yang baik pula dari audiens yang melihatnya. Sebab, audiens memiliki peran yaitu, memberi tafsir terhadap representasi diri sang performer. Dengan demikian, media sosial, sebagai media seseorang mengekspresikan identitas dirinya layaknya sebuah panggung di mana orang-orang dapat berperan sesuai dengan peran yang dipilihnya sendiri setelah mencari berbagai macam referensi identitas melalui instagram itu sendiri pula. Trentmann dalam jurnal berjudul “The Internet in Everyday Life I : Sociability” menyatakan, bahwa ungkapan ekspresi seseorang di media sosial merupakan bagian dari proses pencarian, yakni

“status seeking, rather than being a sign of selfish materialism, can be seen as a sign of belonging” (2016:399).

Dari pemaparan konteks hijab serta kehadiran perempuan-perempuan hijabista di media sosial instagram tampak bahwa pada akhirnya media memiliki peran sentral dalam memengaruhi bagaimana identitas seseorang ditampilkan, termasuk bagaimana identitas keagamaan diekspresikan melalui media sosial. Bagaimana identitas keagamaan itu diekspresikan tentu saja tidak lepas dari pengaruh dunia kapitalis yang saat ini telah merekonstruksi nilai-nilai agama yang telah ada. Baik itu nilai-nilai tentang kecantikan, kesederhanaan, serta kesalehan itu sendiri. Nilai-nilai tentang kecantikan, kesederhanaan, maupun kesalehan yang sebelumnya ditanamkan oleh agama terhadap perempuan mengalami pemaknaan ulang seiring proses negosiasi agama dengan pasar. Instagram juga menjadi ruang bagi para hijabista untuk mencari “referensi” statusnya sendiri.

Ekspresi identitas yang diungkapkan perempuan-perempuan Muslim kelas menengah melalui media sosial instagram saat ini menunjukkan representaasi perempuan yang terkesan modern, independen, dan mengikuti arus zaman (Beta, 2014). Tak jarang dari hijabista yang bermunculan di media sosial instagram mendapatkan penghasilan jutaan dalam sehari melalui perannya sebagai ikon mode brand jilbab tertentu atau karena peran hijabista itu mempromosikan brand jilbab tertentu melalui media sosial. Perempuan-perempuan itu nampak bekerja secara mandiri dan berdaya secara ekonomi.

(8)

71 | J u r n a l H a w a

Mereka nampak tidak bekerja dengan tunduk terhadap struktur tertentu. Berbeda dengan perempuan-perempuan yang bekerja secara formal di kantor-kantor yang merepresentasikan cara kerja yang tunduk, patuh, dan dependen. Para hijabista, yang memodifikasi dengan kreatif busananya lalu mengunggah fotonya di instagram, mereka yang membuat video fashion tutorial, mempromosikan brand jilbab, dan aktivitas hijabista lainnya di era media sosial yang kian berperan dominan ini merepresentasikan wujud independensi, bukan dependensi.

Pembahasan

Dalam konteks perbincangan tentang hijabista, gender merupakan aspek yang sangat menonjol dibahas oleh para peneliti-peneliti. Hijabista (hijab fashionista) adalah istilah yang disematkan kepada para perempuan yang menjadi sosok berpengaruh dalam dunia mode pakaian Muslim. Menurut para peneliti yang sudah lebih dulu melakukan penelitian terkait, perempuan Muslim menempati posisi penting tidak hanya sebagai konsumen/pembeli produk melainkan berperan pula sebagai “media” negosiasi antara agama (yang diwakili oleh nilai-nilai Islam) dengan nilai-nilai di balik kapitalisme serta gaya hidup yang konsumtif (Pasha-Zaidi, 2015). Perempuan, sebagai hijabista, yang menegosiasikan nilai-nilai “tradisional” terkait gender juga tampil sebagai sosok yang menegosiasikan peran privat dan publik yang sebelumnya nampak tegas dikonstruksikan secara sosial kepada perempuan (Beta, 2014). Menjadi sosok berpengaruh dalam dunia mode pakaian Muslim menjadi ruang bagi perempuan

untuk mencari referensi dan preferensi identitasnya ke muka publik sebagai satu kesatuan identitas kolektif (Williams& Kamaluddeen, 2017).

Kehadiran figur-figur perempuan di media sosial instagram yang nampak berdaya ini seolah mendobrak konstruksi lama bahwa dunia ekonomi serta aktivitas berwirausaha hanya identik dengan maskulinitas. Kehadiran figur-figur perempuan tersebut nampak mendobrak pula konstruksi terhadap perempuan yang hanya ada di ranah domestik, bukan ada pada ranah publik dan semata-mata berperan sebagai konsumen yang bergantung pada produsen. Jika kita ingin secara kritis mengkaji fenomena ini, sebenarnya perempuan-perempuan tersebut merupakan target dari industri digital, oleh dunia kapital yang telah merasuk melalui media digital, sampai memengaruhi aspek emosional dan psikis para perempuan hijabista. Mereka berlomba-lomba menunjukkan sisi terbaik mereka dengan mengutamakan apa yang disebut sebagai “self-branding” yang sebenarnya sarat dengan konstruksi yang dibentuk oleh keinginan kapitalisme itu sendiri (Duffy dan Hund, 2015).

Kekuatan kapitalisme yang telah merambah ranah agama, termasuk Islam, pun mampu menciptakan kesenjangan di antara mereka yang berhijab dengan yang tidak berhijab. Kapitalisme mampu menciptakan bingkai baru, membentuk selera dan persepsi publik tentang cara berhijab yang baik dan bagaimana hijab itu dimaknai serta diekspresikan. Fenomena ini pun pada akhirnya memicu kita untuk dapat bersikap kritis dalam rangka memberikan interpretasi terhadap kehadiran hijabista yang marak hadir di media sosial instagram. Pada akhirnya,

(9)

72 | J u r n a l H a w a

para hijabista, yang mengkreasikan, menjual, serta memodifikasi cara berbusana Muslim itu tak semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan ekspresi keagamaan mereka saja. Melainkan, cara mereka berbusana dengan mengenakan jilbab merupakan bagian dari instrumen negosiasi untuk dapat menjadi “agen” baru di muka publik yang didorong oleh kekuatan kapitalisme yang halus. Pendapat Sandikci & Jafari barangkali semakin menegaskan persoalan ini ; “Those fashion hijabista do not merely urge Muslim women to cover their bodies instead they are actually

submissive to capitalism’s will” (Sandikci

&Jafari, 2013:416). Para hijabista nyatanya tak semata-mata dijadikan target konsumen melainkan turut “disamarkan” sebagai figur produsen yang berdaya dan independen.

Hijabista, sebagai sosok perempuan Muslim yang berpengaruh dalam dunia mode busana Muslim terlebih yang tampil di panggung media sosial, merupakan salah satu “produk kultural” dalam dunia digital hari ini(Duffy & Hund, 2015; Williams and Kamaludeen, 2017). Tidak jarang dari mereka yang menjadi sosok berpengaruh

itu (influencer) turut menjadikan

kesempatan ini sebagai relung-relung bisnis yang berpotensi menghasilkan penghasilan dengan menjadi influencer di media sosial instagram. Upaya ini memang diartikulasikan melalui proses pembentukan self-branding: menaikkan

status, mencari perhatian

pengikut/khalayak di media sosial instagram. Dunia digital saat ini memang hadir membawa ragam perubahan baru termasuk kultur bekerja seiring memasuki apa yang disebut sebagai “the

new-economy”: industri budaya, industri

kreatif.

Dalam konteks ini, individu digiring untuk tidak lagi bersandar pada ketergantungan terhadap suatu organisasi, korporasi tertentu dengan waktu kerja dan tempat kerja yang rigid melainkan lebih bersandar pada kerja lepas berbasis projek tertentu. Hal ini menjadi sebuah aspirasi baru untuk dapat tetap nampak menyeimbangkan diri antara pekerjaan (yang menghasilkan uang) dengan kegiatan-kegiatan lain di luar pekerjaan seperti- dalam konteks hijabista yaitu, traveling, menghabiskan waktu bersama keluarga, berbelanja, dan taat kepada norma-norma agama, khususnya (Williams and Kamaludeen, 2017). Aspirasi ini berdasarkan pengamatan tidak dapat disepelekan. Hal ini merepresentasikan kemandirian serta keseimbangan dalam menjalani hidup sehari-hari sebagai seorang perempuan: di satu sisi tetap bekerja sebagai figur publik dalam dunia mode dan di sisi lain tetap menjalankan peran-peran domestiknya, khususnya sebagai perempuan Muslim yang tetap taat menjalani ajaran agama mereka.

Penetrasi kapitalisme global serta perubahan “infrastruktur” media yang menyokong ekspresi identitas seseorang yang bersinggungan dengan aspek agama ternyata tidak berarti nilai-nilai agama, khususnya dalam konteks ini nilai-nilai yang ditawarkan oleh agama Islam justru kian kabur dan absen dari penetrasi kapitalisme maupun perkembangan media sosial yang kian masif saat ini. Malahan, agama, sebagai sebuah institusi sosial meleburkan dirinya serta menegosiasikan ekspresi-ekspresi simbolik untuk dikemas dan

(10)

73 | J u r n a l H a w a

direpresentasikan melalui media. Ekspresi simbolik agama seperti jilbab yang dihadirkan oleh hijabista memang tetap menjadi simbol yang menandakan kesalehan juga ketaatan sebagai seorang perempuan Muslim, tetapi simbol kesalehan yang dipertahankan itu bertujuan untuk semakin memberi legitimasi moral bagi partisipasi perempuan di muka publik: sebagai seorang perempuan yang bekerja, berkarir, berbisnis, atau singkatnya, perempuan yang tidak semata-mata berkiprah hanya dalam ranah domestik sebagai ranah inheren yang dikonstruksikan secara sosial bagi perempuan.

Daftar Pustaka

Ahmet, Suerdem. (2013). Yes my name is Ahmet, but please don’t target me. Islamic

marketing: Marketing

Islam?,Marketing Theory 13(4) 485-495 DOI:

10.1177/1470593113499701

Beta, Annisa R. (2014). Hijabers : How

Young Urban Muslim Women

Redefine Themselves in

Indonesia. DOI:

10.1177/1748048514524103

Campbell. Heidi A (ed). Digital Religion: Understanding Religious Practice in

New Media

Worlds. New York: Routledge Cremlin, Colin, and Roberts, M. John.

(2017). “Prosumer Culture and the Question of

Fetishism”. DOI :

10.1177/1469540517717773

Duffy & Hund. (2015). Having it All on Social Media : Entrepreneurial Femininity and

Self-Branding Among Fashion

Bloggers, Social Media + Society, July-December

2015: 1-11 DOI:

10.1177/205630511504337

Frissen, T., Ichau, E., Boghe, K., & d’Haenens, L. (2017) #Muslims? Instagram, Visual

Culture and the Mediatization of Muslim religiosity. Explorative analysis of

visual and semantic content on Instagram. In: Kayıkcı, M. & d’Haenens, L.

(Eds.), European Muslims and New Media. Leuven: Leuven University Press.

Gokariksel & McLarney. (2010). Muslim Women, Consumer Capitalism, and the Islamic Culture Industry, Journal of Middle East Women’s Studies, Vol. 6, No.3, Special Issue : Marketing Muslim Women, pp.1-18.

Hasan, Noorhaidi. (2016). Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia : Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi,dalam In Search of

Middle Indonesia : Middle Class

in Provincial Towns. Leiden : Brill. Kavakci & Kraeplin. (2017). Religious

Beings in Fashionable Bodies : The

Online Identity Construction of

Hijabi Social Media

Personalities,Media, Culture &

Society, Vol. 39(6) 850-868

DOI:10.1177/0163443716679031 Muzani, S. (2014) ‘Gender Dalam

Perspektif Syariah Islamiyah’,

Jurnal SAWWA. doi:

10.32678/alqalam.v18i90-91.1466. Pasha-Zaidi. (2015). The Hijab Effect : An

exploratory study of the influence of hijab and religiosity on

(11)

74 | J u r n a l H a w a

perceived attractiveness of Muslim women in the United States and the United Arab Emirates, Ethnicities, 15 (5) 742-758. DOI: 10.1177/1468796814546914.

Russman & Svensson. (2016). Studying Organizations on Instagram, diakses dari

https://creativecommons.org/lice nses/by/4.0 pada 15/05/2019 21:30

Sandikci & Jafari. (2013). Islamic Encounters in Consumption and Marketing, Marketing

Theory DOI:

10.1177/1470593113502881

Scroeder, Ralph. (2018). The Internet in Everyday Life I : Sociability, diakses dari

https://www.jstor.org/stable/j.ctt 20krxdr.7 pada 15/05/2019 20:30 Slama, Martin. (2017). Social Media and

Islamic Practice : Indonesian Ways of Being Digitally Pious dalam “Digital Indonesia”. Singapore : ISEAS.

Weintraub, N. Andrew (ed). (2011). Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia. New York : Routledge. Williams, J. P. and Kamaludeen, M. N.

(2017) ‘Muslim girl culture and social control in Southeast Asia: Exploring the hijabista and hijabster phenomena’, Crime, Media, Culture. doi:

Referensi

Dokumen terkait

Secara teknis model pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi pelaku perjalanan (orang ataupun barang) yang akan menggunakan setiap moda transportasi yang ada di

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan tingkat keberhasilan rukyat di Pantai Tanjung Kodok Lamongan dan Bukit Condrodipo Gresik tahun 2008-2011 adalah

Ta zgradba se lahko nastavi za H.323 Multipoint Control Unit Boštjan Lipnik : Učenje uporabnikov programskega paketa Podjetnik s pomočjo neposredne komunikacije preko

Tidak ada ide-ide (pertanyaan atau pernyataan) atau rincian detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sama dengan yang diberikan guru atau buku. Tidak ada

Kestabilan tegangan merupakan kemampuan dari sistem tenaga mempertahankan tegangan untuk tetap stabil pada semua bus setelah terjadi gangguan. Hal ini tergantung dari

Bagian Akuntansi dan Pelaporan merupakan organisasi sektor publik yang berada di dalam lingkup Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mengelola keuangan

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian kuantitatif Elina,dkk 2016 tentang Analisis Fundamental Terhadap Harga Saham Sub Sektor Perbankan menggunakan variabel ROA, ROE, DER, EPS,

Surabaya sebagai ibukota di Jawa Timur dan juga sebagai kota terbesar kedua di Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk dibangun Pusat Pelatihan Batik.. Diharapkan