• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. Perubahan dan Penyebaran Kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII. Perubahan dan Penyebaran Kebudayaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB VII. Perubahan dan Penyebaran Kebudayaan

 Pokok Bahasan

Seluruh konsep yang diperlukan apabila ingin menganalisis proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangan penelitian ilmu antropologi dan sosiologi disebut dinamika sosial (social dynamics). Di antara konsep-konsep yang terpenting ada mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation). Ada juga proses perkembangan kebudayaan umat manusia pada umumnya dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana, hingga bentuk-bentuk yang makin lama makin kompleks, yaitu evolusi kebudayaan (cultural evolution). Kemudian ada proses penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi, yaitu proses difusi (diffusion). Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat, yaitu proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada proses pembaruan atau inovasi (innovation), yang berkaitan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention). Semua konsep mengenai dinamika masyarakat dan kebudayaan tersebut akan dibicarakan satu demi satu secara lebih mendalam di bawah ini.

a. Proses Belajar Kebudayaan Sendiri 1. Proses Internalisasi

Konsep internalisasi secara sepintas lalu telah disinggung dalam bab 5 berhubungan dengan Kerangka Teori Tindakan Talcott Parsons, dan juga tercantum dalam Bagan 13 yang mengilustrasikan kerangka itu. Proses internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, napsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.

Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, napsu, dan emosi dalam kepribadian individunya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran alam dan

(2)

2 lingkungan sosial maupun budayanya. Perasaan pertama yang diaktifkan dalam kepribadian seorang bayi saat dilahirkan adalah perasaan puas dan tidak puas.

Lingkungan yang berbeda dengan kandungan ibu memberi pengalaman tidak puas yang pertama kepada si individu baru itu. Baru setelah ia dibungkus selimut dan diberi kesempatan untuk menyusu, maka rasa tidak puas itu hilang. Kemudian setiap kali ia terkena pengaruh-pengaruh lingkungan yang menyebabkan rasa tidak puas tadi ia akan menangis, tetapi setiap kali diberi selimut dan susu (yang mendatangkan rasa puas tadi) ia merasa nyaman. Secara sadar si bayi telah belajar untuk tidak hanya mengalami, tetapi juga mengetahui cara mendatangkan rasa puas, yaitu dengan menangis.

Tiap hari dalam hidupnya berlalu, bertambahlah pengalamannya mengenai bermacam-macam perasaan baru, dan belajarlah ia merasakan kegembiraan, kebahagiaan, simpati, cinta, benci, keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu dan sebagainya. Selain perasaan-perasaan tersebut, juga berbagai macam hasrat, seperti hasrat untuk mempertahankan hidup, bergaul, meniru, tahu, berbakti, keindahan, dipelajarinya melalui proses internalisasi menjadi bagian kepribadian individu.

2. Proses Sosialisasi

Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.

Kita dapat mengerti cara menyelami dan mencoba mencapai pengertian tentang suatu kebudayaan dengan belajar dari jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami oleh sebagian individu dalam kebudayaan bersangkutan. Itulah sebabnya proses sosialisasi merupakan suatu proses yang sudah sejak lama mendapat perhatian besar dari banyak ahli antropologi sosial.

(3)

3 Sebagai ilustrasi dari suatu proses sosialisasi, berikut ini sebuah contoh dari pengalaman-pengalaman seorang bayi Indonesia dalam suatu keluarga golongan pegawai tinggi di kota. Dari permulaan hidupnya si bayi sudah harus menghadapi beberapa individu dalam lingkungan masyarakat yang kecil, ialah ibunya, seorang bidan atau juru rawat yang membantu ibunya semenjak ia lahir hingga ia berumur kira-kira seminggu, ibu dari ibunya dan dari ayahnya. Dalam kontak dengan keempat orang tadi ia mengalami tingkah laku mereka yang berdasarkan perhatian dan cinta. Kemudian ia juga belajar kebiasaannya yang pertama, ialah makan dan tidur pada saat-saat yang tetap. Tidak lama kemudian ia mendapat perhatian dari kakak-kakaknya yang biasanya berjumlah banyak, dan dari beberapa saudara tua lain yang menumpang pada orang tuanya, dan seringkali juga seorang wanita pembantu rumah tangga yang mempunyai tugas khusus untuk memeliharanya.

Dalam golongan-golongan lain, masyarakat Indonesia atau banyak masyarakat lain, tokoh wanita seperti yang tersebut terakhir, biasanya tidak ada. Selama tumbuhnya pada tahun-tahun, kedua, dan ketiga dari hidupnya, dengan susah payah dan disertai banyak konflik, seorang anak harus menyesuaikan segala keinginan dirinya sendiri dengan tokoh-tokoh tadi. Hubungannya dengan lingkungan sosialnya menjadi lebih intensif bila ia mengembangkan bahasanya sehingga ia dapat menguraikan isi hatinya dengan lebih jelas dan dapat lebih mudah menerima maksud dan pendirian individu-individu lain. Selama masa kanak-kanak tersebut ia juga berkenalan dengan tokoh-tokoh lain, yakni para paman dan bibinya, para tetangga serta kenalan-kenalan ayah-ibunya, dan karena rumah di Indonesia sering kali mempunyai halaman luas, maka dengan bermain-main bersama anak tetangganya di halaman ia mengalami suatu proses sosialisasi yang luas.

Dalam hal itu misalnya seorang anak belajar mengenai arti dari umur dalam berbagai macam peranan sosial. Kakak-kakak dan teman-temannya yang lebih tua sering kali dimenangkan atau mempunyai berbagai hak yang lebih banyak; sering kali juga ia dipaksa mengikuti kemauan individu-individu lain sekitarnya yang lebih tua, dengan berbagai macam ancaman. Suatu bentuk ancaman yang khas agar anak-anak menurut, caranya menakut-nakuti dengan makhluk-makhluk yang mengerikan, seperti momok, hantu, dan sebagainya. Cara memaksa supaya seorang anak menurut seperti itu tidak

(4)

4 terdapat misalnya dalam masyarakat di Amerika, di mana paksaan terhadap anak-anak dilakukan dengan cara-cara lain.

Proses sosialisasi dalam golongan-golongan sosial yang lain (dalam lingkungan sosial dari berbagai suku bangsa di Indonesia atau dalam lingkungan sosial bangsa-bangsa lain di dunia) dapat menunjukkan proses sosialisasi yang sangat berbeda. Misalnya, bayi yang diasuh dalam keluarga kaum buruh dalam kota-kota industri besar di Amerika Serikat akan menghadapi individu-individu yang lain daripada bayi dalam contoh di atas tadi. Tokoh ayah dalam keluarga kaum buruh di Amerika misalnya tidak begitu penting dalam proses sosialisasi pertama dari bayi, karena ayah sudah berangkat ke pabrik pagi-pagi sebelum si bayi bangun, sedangkan siang hari ia tidak pulang untuk makan, dan baru kembali pada malam hari saat bayi sudah akan tidur. Hanya pada hari Sabtu dan Minggu bayi mengalami pengaruh kehadiran ayahnya.

Contoh lain dari suatu proses sosialisasi yang dialami oleh bayi yang diasuh dalam keluarga-keluarga dari berbagai suku bangsa di Irian Jaya. Di sana bayi pada usia yang sangat muda sering kali sudah akan berhadapan dengan berbagai wanita lain selain ibunya. Hal itu terjadi setelah ibu yang melahirkan bayi tersebut telah merasa kuat untuk bekerja kembali ke kebun ubi. Setiap hari ibu membawa bayinya untuk bekerja. Bayinya diikat di atas punggungnya, dan selama waktu istirahat bayi itu selalu dikerumuni dan banyak mendapat perhatian dari para wanita lain di kebun.

Demikianlah para individu dalam masyarakat yang berbeda akan mengalami proses sosialisasi yang berbeda pula karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Kalau sekarang keadaan kita balik; dengan mengikuti secara teliti proses sosialisasi yang lazim dialami oleh para individu dalam suatu masyarakat, mungkin kita menemukan salah satu metode lagi yang akan memberikan kepada kita suatu pengertian yang luas tentang gejala dan masalah yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.

3. Proses Enkulturasi

Istilah yang sesuai untuk kata “enkulturasi” adalah “pembudayaan” (dalam bahasa Inggris digunakan istilah institutionalization). Proses enkulturasi adalah proses seorang

(5)

5 individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudian dari teman-temannya bermain. Seringkali ia belajar dengan meniru berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya “dibudidayakan”. Kadang-kadang berbagai norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian. Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam lingkungan pergaulannya pada saat-saat yang berbeda-beda, menyinggung atau membicarakan norma tadi. Sudah tentu ada norma yang diajarkan kepadanya dengan sengaja tidak hanya dalam lingkungan keluarga dan di luar keluarga, tetapi juga secara formal di sekolah. Di samping aturan-aturan masyarakat dan negara yang diajarkan di sekolah melalui berbagai mata pelajaran seperti tata negara, ilmu kewarganegaraan dan sebagainya, juga aturan sopan santun bergaul dan lain-lainnya dapat diajarkan secara formal.

Sebagai contoh dapat disebut misalnya cara seorang Indonesia mempelajari aturan adat Indonesia yang menganjurkan agar orang Indonesia yang habis bepergian ke suatu tempat yang jauh, memberi “oleh-oleh” kepada kerabatnya yang dekat dan kepada para tetangganya yang tinggal di sekitar rumah. Rasa aman karena ia mempunyai banyak hubungan baik dengan orang-orang sekitarnya di masa susah sehingga perlu untuk membalas jasanya, dan nilai gotong royong yang merupakan motivasi dari tindakan membagi-bagi “oleh-oleh” tadi, telah sejak lama, ketika ia masih kecil, diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dalam proses sosialisasinya itu ia telah belajar cara-cara bergaul dengan tiap individu dalam lingkungan kaum kerabat dan tetangga dekatnya tadi, dan ia telah mengembangkan pola-pola tindakan yang berbeda dalam hal menghadapi mereka itu masing-masing. Norma sopan-santun memberi “oleh-oleh” tadi dibudayakan olehnya berdasarkan ajaran mengenai sopan santun pergaulan langsung dari orang tuanya. Walaupun ia telah yakin sepenuhnya bahwa adat itu adalah benar dan

(6)

6 bermanfaat, namun ada satu dua di antara mereka yang tidak dibelikan oleh-oleh karena hubungan pergaulannya dengan orang-orang tersebut bukan berwujud pola-pola tindakan serba ramah, melainkan canggung dan kaku.

Sudah tentu dalam suatu masyarakat ada pula individu yang mengalami berbagai hambatan dalam proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasinya, yang menyebabkan bahwa hasilnya kurang baik. Individu itu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sosial sekitarnya, menjadi kaku dalam pergaulannya, dan condong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan-aturan masyarakatnya. Hidupnya penuh peristiwa konflik dengan orang lain. Individu-individu serupa itu disebut deviants.

Sebelumnya para ahli antropologi kurang memperhatikan faktor deviants ini dalam masyarakat dan kebudayaan yang menjadi objek penelitian mereka. Mereka hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat umum saja yakni yang lazim dilakukan oleh sebagian besar dari manusia dalam kebudayaan itu; penyimpangan dari yang tidak menurut adat yang lazim, diabaikan saja. Sekarang, banyak ahli antropologi telah mengerti bahwa penyimpangan dari adat yang lazim merupakan suatu faktor penting karena merupakan sumber dari berbagai kejadian masyarakat dan kebudayaan positif mauoun negatif. Kejadian masyarakat yang positif adalah perubahan kebudayaan (culture change) yang menjelma ke dalam perubahan dan pembaruan dalam adat-istiadat yang kuno. Kejadian masyarakat yang negatif misalnya berbagai ketegangan masyarakat yang menjelma menjadi permusuhan antara golongan, adanya banyak penyakit jiwa, banyaknya peristiwa bunuh diri, kerusakan masyarakat yang menjelma menjadi kejahatan, demoralisasi dan sebagainya.

b. Proses Evolusi Sosial

1. Proses Microscopic dan Macroscopic dalam Evolusi Sosial

Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisis oleh seorang peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga dipandang seolah-olah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tampak besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial-budaya yang dianalisis secara detail

(7)

7 akan membuka mata peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi “proses-proses berulang” (recurrent processes). Proses-proses evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi, “proses-proses menentukan arah” (directional processes).

2. Proses-proses Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya

Perhatian terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial-budaya, belum lama mendapat perhatian dari ilmu antropologi. Perhatian itu sebenarnya timbul bersama dengan perhatian ilmu antropologi terhadap faktor individu dalam masyarakat, yaitu sejak masa sekitar 1920. Sebelum tahun 1920, sebagian besar dari para sarjanaantropologi hanya memperhatikan adat-istiadat yang lazim berlaku dalam suatu masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Sikap, perasaan, dan tingkah laku khusus para individu dalam masyarakat tadi yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat yang lazim, diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian layak.

Dengan demikian, kalau seorang ahli antropologi misalnya harus menulis tentang adat-istiadat perkawinan orang Bali, ia hanya akan mengumpulkan keterangan tentang hal yang lazim dilakukan dalam perkawinan-perkawinan orang Bali itu. Upacara, aktivitas, dan tindakan yang menyimpang dari adat Bali pada umumnya terjadi karena berbagai situasi atau keadaan khusus, biasanya diabaikan atau kurang diperhatikan. Tindakan individu warga masyarakat yang menyimpang dari adat-istiadat umum seperti terurai sebelumnya, pada suatu ketika dapat banyak terjadi dan dapat sering berulang (recurrent) dalam kehidupan sehari-hari di setiap masyarakat di seluruh dunia. Memang, sikap individu yang hidup dalam banyak masyarakat terutama adalah memgingat keperluan diri-sendiri; dengan demikian ia sedapat mungkin akan mencoba menghindari adat atau aturan bila tidak cocok dengan keperluan pribadinya. Ini terpaksa kita akui dan dapat dilihat disekitar kita sendiri atau dalam kehidupan masyarakat kita sendiri. Di seluruh dunia tidak ada suatu masyarakat yang semua warganya seratus persen taat kepada adat untuk selamanya. Kita mengerti bahwa justru keadaan-keadaan

(8)

8 yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya, karena penyimpangan demikian merupakan pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan masyarakat pada umumnya.

Sudah tentu masyarakat pada umumnya tidak membiarkan saja penyimpangan-penyimpangan dari para warganya itu, dan itulah sebabnya dalam tiap masyarakat ada alat-alat pengendalian masyarakat yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah ketegangan antara keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam setiap masyarakat, dan walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat yang tenang untuk suatu jangka waktu tertentu, tetapi pada suatu saat, tentu, ada juga berbagai individu yang membangkang, dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan menjadi recurrent lagi. Akhirnya, kalau penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi demikian recurrent sehingga masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya lagi, maka masyarakat terpaksa memberi konsekuensinya, dan adat serta aturan diubah sesuai dengan desakan keperluan-keperluan baru dari individu-individu dalam masyarakat.

Contoh: Adat Minangkabau mewajibkan seorang pria harus mewariskan harta miliknya kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuannya. Ada seorang A yang berpengaruh yang mengabaikan adat ini, dan mewariskan harta miliknya kepada anaknya sendiri. Tentu para kemenakan tidak puas, dan akan mengadukan soal itu kepada kepala adat. Mengingat pengaruh besar dari A itu, kepala adat yang berlaku sebagai hakim akan membuat suatu keputusan hukum adat yang membenarkan perbuatan A. Para kemenakan tetap tidak puas, tetapi tentu tidak berani membantah karena takut akan pengaruh A yang besar. Sungguhpun mereka taat kepada keputusan hakim adat, tetapi keputusan itu akan dirasakan sebagai keputusan yang tidak adil. Peristiwa serupa dapat berulang lagi, dan tiap kali ada pengaduan, kepala adat akan memberi keputusannya menurut kebijaksanaannya, dengan mengingat situasi-situasi yang khusus dan keputusan-keputusan yang lalu. Pada suatu ketika banyak peristiwa seperti itu akan diputuskan, misalnya: seorang harus membagi miliknya; milik pusaka dan harta yang dikembangkan dengan bantuan kaum kerabatnya harus diwariskan kepada para kemenakan, sedang harta yang didapat dengan usaha sendiri harus

(9)

9 diwariskan kepada anaknya sendiri. Kalau keputusan hukum adat terakhir ini dianggap sebagai keputusan yang memuaskan dan tidak menimbulkan ketegangan lagi, maka keputusan itu akan menjadi suatu adat yang baru untuk masa selanjutnya, sampai pada suatu saat di hari kemudian terjadi penyimpangan baru, ketegangan baru, dan keputusan baru, yang akan melahirkan adat baru pula.

Perubahan-perubahan kecil serupa itu hanya dapat dilihat dengan peninjauan secara detail menggunakan “alat mikroskop” oleh para peneliti masyarakat, tidak akan tampak kepada orang lain yang hanya meninjau masyarakat dari luar, dari jauh, atau yang memang membutakan diri untuk penyimpangan-penyimpangan yang kecil itu. Walaupun demikian, dalam jangka waktu yang panjang, berpuluh-puluh perubahan kecil dalam adat istiadat suatu masyarakat akan mulai tampak pula dari luar sebagai suatu perubahan yang besar.

Faktor ketegangan antara adat-istiadat dari suatu masyarakat dengan keperluan para individu di dalamnya itu menyebabkan perlu adanya dua konsep yang harus dibedakan dengan tajam oleh para peneliti masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi. Konsep antara dua wujud dari tiap kebudayaan, yaitu: (i) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari konsep norma-norma, pandangan-pandangan dan sebagainya, yang abstrak (yaitu sistem budaya) dan (ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret di mana individu saling berinteraksi (yaitu sistem sosial). Kedua sistem tersebut sering ada dalam keadaan konflik satu dengan lain, dan suatu pengertian mengenai konflik antara kedua sistem yang ada dalam tiap masyarakat itu menjadi pangkal untuk mencapai pengertian mengenai dinamika masyarakat masyarakat pada umumnya.

3. Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan

Kalau evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah-olah dari suatu jarak yang jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa ribu tahun), maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.

(10)

10 Perubahan-perubahan besar ini dalam abad ke-19 yang lalu telah menjadi perhatian utama para sarjana ilmu antropologi budaya dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi perhatian khusus dari suatu subilmu dalam antropologi, yaitu ilmu prehistori. Ilmu ini mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka waktu yang panjang dan juga oleh para sarjana ilmu sejarah yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah perkembangan seluruh umat manusia dan harus juga bekerja dengan jangka waktu yang panjang. Para sarjana ilmu sejarah seperti ini misalnya E. Spengler, A.J. Toynbee, G. Childe dan lain-lain.

c. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam mengenai sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin dikarenakan adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak tidak lagi memuaskan. Mungkin saja perubahan terjadi karena ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti faktor yang lama itu. Mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar. Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.

1. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk

Pertambahan penduduk yang sangat cepat di Pulau Jawa menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga kemasyarakatannya. Misal, orang lantas mengenal hak milih individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan selanjutnya, yang sebelumnya tidak dikenal. Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya, dalam bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah

(11)

11 berlangsung beratus-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar dengan bertambah banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencaharian utamanya berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lainnya.

2. Penemuan-penemuan Baru

Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi atau innovation. Proses tersebut meliuti suatu penemuan abru, jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar ke lain-lain bagian masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery dan invention. Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.

Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru itu. Sering kali proses dari discovery dampai ke invention membutuhkan suatu rangkaian pencipta-pencipta. Penemuan mobil, misalnya, dimulai dari usaha seorang Austria, yaitu S. Marcus (1875) yang membuat motor gas yang pertama. Sebetulnya sistem motor gas tersebut juga merupakan suatu hasil dari rangkaian ide yang telah dikembangkan sebelum Marcus. Sungguhpun demikian, Marcuslah yang telah membulatkan penemuan tersebut, dan yang untuk pertama kali menghubungkan motor gas dengan sebuah kereta sehingga dapat berjalan tanpa ditarik seekor kuda. Itulah saatnya mobil menjadi suatu discovery. Apabila ditelaah lebih lanjut perihal penemuan-penemuan baru, terlihat ada beberapa faktor pendorong yang dipunyai masyarakat. Bagi individu pendorong tersebut adalah antara lain:

a. Kesadaran individu-individu akan kekurangan dalam kebudayaannya; b. Kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan;

(12)

12 Di dalam setiap masyarakat tentu ada individu yang sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan masyarakatnya. Di antara orang-orang tersebut banyak yang menerima kekurangan-kekurangan tersebut sebagai sesuatu hal yang harus diterima saja. Orang lain mungkin tidak puas dengan keadaan, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Mereka inilah yang kemudian menjadi pencipta-pencipta baru tersebut.

Keinginan akan kualitas juag merupakan pendorong bagi terciptanya penemuan-penemuan baru. Keinginan untuk mempertinggi kualitas suatu karya merupakan pendorong untuk meneliti kemungkinan-kemungkian ciptaan baru. Sering kali bagi mereka yang telah menemukan hal-hal yang baru diberikan hadiah atau tanda jasa atas jerih payahnya. Ini juga merupakan pendorong bagi mereka untuk lebih bergiat lagi. Perlu diketahui bahwa penemuan abru dalam kebudayaan rohaniah dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan. Khusus penemuan-penemuan baru dalam kebudayaan jasmaniah atau kebendaan menunjukkan adanya berbagai macam pengaruh pada masyarakat.

Disamping penemuan-penemuan baru di bidang unsur-unsur kebudayaan jasmaniah, terdapat pula penemuan-penemuan baru di bidang unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya ideologi baru, aliran-aliran kepercayaan yang baru, sistem hukum yang baru dan seterusnya. Penemuan-penemuan baru yang oleh Ogburn dan Nimkoff dinamakan social intervention adalah penciptaan pengelompokan individu-individu yang baru, atau penciptaan adat istiadat baru, maupun suatu perilaku sosial yang baru. Akan tetapi, yang terpenting adalah akibatnya terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan akibat lanjutnya pada bidang-bidang kehidupan lain. Misalnya, dengan dikenalnya nasionalisme di Indonesia pada awal abad ke-20 melalui mereka yang pernah mengalami pendidikan Barat, timbullah gerakan-gerakan yang menginginkan kemerdekaan politik yang kemudian menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang baru dikenal, yaitu partai politik.

(13)

13 d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jalannya Proses Perubahan

1. Faktor-faktor yang Mendorong Jalannya Proses Perubahan

Di dalam masyarakat di mana terjadi suatu proses perubahan, terdapat faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Kontak dengan kebudayaan lain

Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Denga proses tersebut, manusia mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia. Ada dua tipe difusi, yaitu pertamadifusi intramasyarakat (intrasociety diffusion), dan kedua difusi antarmasyarakat (inter-society diffusion). Difusi intra masyarakat terpengaruh oleh beberapa faktor, misalnya:

1) Suatu pengakuan unsur yang baru tersebut mempunyai kegunaan;

2) Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang memengaruhi diterimanya atau tidak diterimanya unsur-unsur yang baru;

3) Unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur lama, kemungkinan besar tidak akan diterima;

4) Kedudukan dan peranan sosial dari individu yang menemukan sesuatu yang baru tadi akan memengaruhi apakah hasil penemuannya itu dengan mudah diterima atau tidak;

5) Pemerintah dapat membatasi proses difusi tersebut.

Difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor pula, yaitu antara lain: 1) Adanya kontak antara masyarakat-masyarakat tersebut;

2) Kemampuan untuk mendemonstrasikan kemanfaatan penemuan baru tersebut; 3) Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut;

4) Ada-tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyaingi unsur-unsur penemuan baru tersebut;

(14)

14 5) Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan abru di dunia ini;

6) Paksaan dapat juga dipergunakan untuk menerima suatu penemuan baru. Pertemuan antara individu dari satu masyarakat dengan individu dari masyrakat lainnya juga memungkinkan terjadinya difusi. Misalnya hubungan antarindividu di mana bentuk masing-masing kebudayaannya hampir-hampir tidak berubah. Hubungan demikian dinamakan juga hubungan symbiotik. Cara lain yang mungkin pula dilakuan adalah dengan pemasukan secara alami (penetration pacifique). Sebagai contoh, unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa oleh para pedagang untuk kemudian dimasukkan ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja dan tanpa paksaan. Akan tetapi, kadang-kadang penetration pacifique juga dilakukan dengan sengaja, misalnya, usaha-usaha yang dilakukan oleh para penyiar agama. Cara lain adalah paksaan, misalnya menaklukkan masyarakat lain dengan peperangan. Sebenarnya, antara difusi dan akulturasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa keduda proses tersebut memerlukan adanya kontak. Tanpa kontak tidak mungkin kedua proses tersebut berlangsung. Akan tetapi, proses difusi berlangsung dalam keadaan di mana kontak tersebut tidak perlu ada secara langsung dan kontin, seperti difusi dari penggunaan tembakau yang tersebar di seluruh dunia. Lain halnya dengan akulturasi yang memerlukan hubungan yang dekat, langsung, serta kontinu (ada kesinambungan). Proses difusi dapat menyebabkan lancarnya proses perubahan karena difusi smemperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang sering kali memerlukan perubahan-perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, atau bahkan penggantian lembaga-lembaga kemasyarakatan lama dengan yang baru

b. Sistem pendidikan formal yang maju

Pendidikan mengajarkan aneka mcam kemampuan kepada individu. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berpikir secara objektif, yang akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak.

(15)

15 c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju

Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat, masyarakat merupakan pendoron bagi usaha-usaha penemuan baru. Hadiah Nobel, misalnya, merupakan pendorong untuk menciptakan hasil-hasil karya yang baru. Di Indonesia juga dikenal sistem penghargaan yang tertentu, walaupun masih dalam arti yang sangat terbatas dan belum merata.

d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik.

e. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification)

Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas atau berarti memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status lebih tinggi. Identifikasi merupakan tingkah laku yang sedemikian rupa sehingga seseorang merasa berkedudukan sama dengan orang atau golonganlain yang dianggap lebih tinggi dengan harapan agar diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinasi-subordinasi. Pada golongan yang berkedudukan lebih rendah, acap kali terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial sendiri. Keadaan tersebut dalam sosiologi disebut status-anxiety. Status-anxiety menyebabkan seseorang berusaha untuk menaikkan kedudukan sosialnya.

f. Penduduk yang heterogen

Pada masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan ras ideologi yang berbeda dan seterusnya, mudah terjadinya pertentangan-pertentangan yang mengundang kegoncangan-kegoncangan. Keadaan demikian menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.

g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.

Ketidakpuasan yang berlangsung terlalu lama dalam sebuah masyarakat berkemungkinan besar akan mendatangkan revolusi.

h. Orientasi ke masa depan

(16)

16 2. Faktor-faktor yang Menghalangi Terjadinya Perubahan

a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain

Kehidupan terasing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang mungkin akan dapat memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal itu juga menyebabkan para warga masyarakat terkungkung pola-pola pemikirannya oleh tradisi.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat

Hal ini mungkin disebabkan hidup masyarakat tersebut terasing dan tertutup atau mungkin karean lama dijajah oleh masyarakat lain.

c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional

Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau serta anggapan bahwa tradisi secara mutlak tak dapat diubah menghambat jalannya proses perubahan. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah apabila masyarakat yang bersangkutan dikuasai oleh golongan konservatif.

d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest

Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem lapisan, pasti akan ada sekelompok orang yang menikmati kedudukan perubahan-perubahan. Misalnya dalam masyarakat feodal dan juga pada masyarakat yang sedang mengalami transisi. Dalam hal yang terakhir, ada golongan-golongan dalam masyarakat yang dianggap sebagai pelopor proses transisi. Karena selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya, sukar sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu proses perubahan.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan

Memang harus diakui kalau tidak mungkin integrasi semua unsur suatu kebudayaan bersifat sempurna. Beberapa perkelompokan unsur-unsur tertentu mempunyai derajat integrasi tinggi. Maksudnya unsur-unsur luar dikhawatirkan akan menggoyahkan integrasi dan menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu masyarakat.

(17)

17 f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup

Sikap yang demikian banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang pernah dijajah bangsa-bangsa Barat. Mereka sangat mencurigai sesuatu yang berasal dari Barat karena tidak pernah bisa melupakan pengalaman-pengalaman pahit selama penjajahan. Kebetulan unsur-unsur baru kebanyakan berasal dari Barat, sehingga prasangka kian besar lantaran khawatir bahwa unsur-unsur tersebut penjajahan bisa masuk lagi.

g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis

Setiap usaha perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah biasanya diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat tersebut.

h. Adat atau kebiasaan

Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Apabila kemudian ternyata pola-pola perilaku tersebut efektif lagi di dalam memenuhi kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat atau kebiasan yang mencakup bidang kepercayaan, sistem mata pencaharian, pembuatan rumah, cara berpakaian tertentu, begitu kokoh sehingga sukar untuk diubah. Misalnya, memotong padi dengan menggunakan mesin akan terasa akibatnya bagi tenaga kerja (terutama wanita) yang mata pencaharian tambahannya adalah memotong padi dengan cara lama. Hal ini merupakan suatu halangan terhadap introduksi alat pemotong baru yang sebenarnya lebih efektif dan efisien.

i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.

e. Penyebaran Unsur-unsur Kebudayaan

Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion), yang juga merupakan salah satu objek penelitian ilmu antropologi, terutama subilmu antropologi diakronis. Salah satu bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi. Terutama dalam zaman prehistori, puluhan ribu tahun yang

(18)

18 lalu, ketika kelompok-kelompok manusia yang hidup dari berburu pindah dari satu tempat ke tempat-tempat lain hingga jauh sekali, maka unsur-unsur kebudayaan yang mereka bawa juga didifusikan hingga jauh sekali. Bekas-bekas difusi itu sekarang menjadi salah satu objek penelitian ilmu prehistori.

Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Mereka itu terutama pedagang dan pelaut. Pada zaman penyebaran agama-agama besar, para pendeta agama Budha, para pendeta agama Nasrani, dan kaum Muslimin mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan dari mana mereka berasal, sampai jauh sekali. Terutama ilmu sejarahlah yang telah banyak memperhatikan cara penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan oleh individu-individu terurai tadi.

Bentuk difusi yang lain lagi dan mendapat perhatian ilmu antropologi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai cara.

Cara yang pertama adalah hubungan di mana bentuk dan kebudayaan masing-masing hampir tidak berubah. Hubungan ini, yaitu hubungan symbiotic, dapat kita lihat contohnya di daerah pedalaman negara-negara Kongo, Togo, dan Kamerun di Afrika Tengah dan Barat. Di daerah pedalaman negara-negara tersebut berbagai suku bangsa Afrika hidup dari bercocok tanam di ladang. Mereka mempunyai tetangga, kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari suku-suku bangsa Negrito hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hasil berburu dan hasil hutan itu dibarter dengn hasil pertanian. Hubngan semacam ini telah berlangsung sejak lama sekali, malahan mungkin sudah sejak berabad-abad lamanya, kedua belah pihak sudah saling membutuhkan, tetapi hubungan mereka terbatas hanya pada barter barang-barang itu saja, sedangkan proses saling mempengaruhi tidak ada. Pada hubungan symbiotic itu kebudayaan

(19)

suku-19 suku bangsa Afrika tidak berubah dan kebudayaan kelompok-kelompok Negrito juga tidak.

Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan,tetapi dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan symbiotic. Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan. Hubungan ini, dengan mengambil istilah dari ilmu sejarah, sering disebut penetration pacifique, artinya “pemasukan secara damai”.

Pemasukan secara damai tentu juga ada pada bentuk hubungan yang disebabkan karena usaha dari penyiar agama. Bedanya dengan penetration pacifique oleh para pedagang ialah bahwa pemsukan unsur-unsur asing yang dilkakukan oleh para penyiar agama itu berlangsung dengan senga, dan kadang-kadang dengan paksa. Pemasukan secara tidak damai terdapat pada bentuk hubungan yang disebabkan karena peperangan dan serangan penaklukan. Penaklukan sebenarnya hanya merupakan titik permulaan dari proses masuknya unsur-unsur kebudayaan asing. Lanjutan dari penaklukan adalah penjajahan, dan pada waktu itulah proses masuknya unsur-unsur kebudayan asing yang sebenarnya, baru mulai berjalan. Pertemuan antara kebudayaan-kebudayaan yang disebabkan oleh penyiaran agama sering kali juga baru mulai setelah penaklukan; baru apabila suatu daerah sudah ditaklukan dan dibuat aman oleh pemerintah jajahan, maka datanglah para penyiar agama, dan mulailah proses akulturasi yang merupakan akibat dari aktivitas itu.

Dalam zaman modern sekarang ini, difusi unsur-unsur kebudayaan yang timbul di salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali. Bahkan sering kali tanpa kontak yang nyata antara individu-individu. Ini disebabkan karena adanya alat-alat penyiaran yang efektif, seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film, dan televisi.

Akhirnya kalau kita perhatikan suatu proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja, tetapi terutama sebagai suatu proses di mana unsur-unsur kebudayaan dibawa oleh individu-individu dari suatu kebudayaan, dan harus diterima oleh individu-individu-individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi dfusi dari satu unsur

(20)

20 kebudayaan. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan. Hal ini sebenarnya dapat dipahami dengan mudah, kalau kita mengambil sebuah contoh dari zaman sekarang, mobil adalah suatu unsur kebudayaan yang mula-mula ditemukan di Eropa, dikembangkan di Eropa dan Amerika, kemudian didifusikan dari kedua pusat penyebaran itu ke benua-benua lain. Namun, mobil tidak dapat diterima oleh individu-individu dari masyarakat lain sebagai suatu alat pengangkutan yang berguna, apabila tidak ada unsur lain yang harus melengkapi pemakaian mobil itu, yaitu unsur-unsur seperti sistem jalan-jalan yang baik, sistem servis, dan perbekalan yang baik, sistem persediaan suku cadang, pendidikan montir, sistem pajak mobil, sistem asuransi mobil dan sebagainya. Serupa dengan itu, unsur-unsur kebudayaan lain biasanya menyebar dalam kompleks-kompleks. Dalam ilmu antropologi, gabungan dari unsur-unsur kebudayaan yang menyebar antarkebudayaan seperti itu diberi nama kultur-kompleks.

1. Akulturasi

Istilah akulturasi, atau acculturation atau culture contact, mempunyai berbagai arti di antara para sarjana sntropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu, seperti termaktub dalam contoh tentang penyebaran mobil tersebut selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisah-pisahkan.

Sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi. Migrasi tentu menyebabkan pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya ialah individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing.

(21)

21 Proses akulturasi itu memang ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia, tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru timbul ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mlai menyebar ke semua daerah lain di muka bumi, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Dan sejarah dunia kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa Eropa Barat itu mulai menyebar ke luar Eropa pada permulaan abad ke-15. Bangsa-bangsa Eropa Barat itu membangun pusat-pusat kekuatan di berbagai tempat di benua-benua lain dan pusat-pusat ini menjadi pangkal dari pemerintah-pemerintah jajahan yang pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 mencapai puncak kejayaannya. Bersama dengan perkembangan pemerintah-pemerintah jajahan di semua benua dan daerah di luar Eropa berkembang pula usaha berbagai usaha penyebaran agama Nasrani. Akibat dari proses yang besar ini adalah hampir tidak ada suku bangsa di muka bumi lagi yang terhindar dari pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa itu (pada masa sekarang di pertengahan abad ke-20 ini). Dipandang dari sudut individu dalam masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Asia, dan Oseania itu, pengaruh unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Amerika Serikat, (terutama pada akhir-akhir ini) mereka alami secara sangat intensif sampai pada sistem norma dan sistem nilai budaya. Proses itu disebut modernisasi.

Kalau masalah-masalah mengenai akulturasi kita ringkas, akan tampak lima golongan masalah, yaitu:

1) Mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

2) Mengenai unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, dan sukar diterima oleh masyarakat.

3) Mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang diganti atau diubah, dan unsur-unsur yang tidak mudah diganti atau diubah olehnunsur-unsur kebudayaan asing.

4) Mengenai individu-individu yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5) Mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi.

(22)

22 Dalam meneliti jalannya suatu proses akulturasi, seorang peneliti sebaiknya memperhatikan beberapa masalah khusus, yaitu:

1) Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan;

2) Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing;

3) Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima;

4) Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi;

5) Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.

Dengan demikian, dalam setiap penelitian terhadap suatu proses akulturasi, sebaiknya diperhatikan kelima hal tersebut. Begitu pula dengan setiap deskripsi terhadap suatu proses akulturasi sebaiknya mengandung lima bab yang msing-masing menguraikan hal-hal tersebut. Bahan mengenai keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi dimulai, sebenarnya merupakan bahan tentang sejarah dari masyarakat bersangkutan. Kalau kebudayaan dalam masyarakat penerima mempunyai sumber-sumber tertulis, maka bahan itu dapat dikumpulkan peneliti dengan menggunakan metode yang biasa dipakai oleh para ahli sejarah. Dalam hal ini peneliti harus menggunakan metode-metode penelitian sejarah, atau paling sedikit minta bantuan para ahli sejarah.

Kalau sumber-sumber tertulis tidak ada, masih banyak metode lain untuk mengumpulkan bahan tentang keadaan masyarakat penerima yang kembali sejauh mungkin dalam ruang waktu, misalnya dengan meawancarai orang-orang tua dalam masyarakat yang pernah mengalami zaman lampau. Dengan metode itu, seorang peneliti dapat mengetahui keadaan kebudayaan masyarakat penerima sebelum terjadi proses akulturasi, hingga pada saat permulaan proses itu terjadi. Saat itu kita sebut “titik permulaan dari proses akulturasi” atau base line of acculturation. Titik permulaan dari proses akulturasi antara kebudayaan-kebudayaan di Indonesia dengan kebudayaan di Eropa adalah peristiwa datangnya kapal-kapal Portugis di Maluku, yaitu Banda, Tidore, dan Ternate, kemudian ke Nusa Tenggara pada permulaan abad ke-16, dan peristiwa

(23)

23 datangnya kapal-kapal Belanda dari organisasi V.O.C di Banten pada akhir abad ke-16. Peristiwa-peristiwa itu merupakan titik-titik permulaan dari suatu proses akulturasi yang berlangsung lambat sekali selama tiga abad, dan melaju cepat mulai abad ke-20 ini.

Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing juga penting untuk dipelajari. Adakalanya yang terkena itu hanya lapisan atas saja, rakyat jelata saja, kaum cendekiawan saja dan sebagainya. Lagipula, sering terjadi bahwa satu golongan mendapat pengaruh dari beberapa unsur kebudayaan tertentu, sedang golongan lain bisa mendapat pengaruh dari unsur-unsur lain dari kebudayaan asing tadi.

Reaksi orang-orang yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing itu merupakan suatu objek penelitian antropologi yang sangat luas. Dalam tiap masyarakat selalu ada individu yang berwatak “kolot”, yang tidak suka dan lekas menolak hal-hal baru, sedangkan banyak pula individu lain yang “progresif”, suka dan lekas menerima hal-hal baru. Apa yang menjadi sebab adanya individu-individu dalam kedudukan suku bangsa tertentu yang bersifat “kolot”, sedangkan lainnya bersifat “progresif”? Hal itu merupakan suatu masalah khusus yang juga memerlukan perhatian ilmu antropologi, terutama dari sub ilmu etnopsikologi. Dalam hubungan dengan masalah reaksi orang terhadap unsur-unsur kebudayaan asing tentu dapat diperkirakan bahwa reakasi orang “kolot” itu berbeda dengan reaksi orang “progresif”. Orang “kolot” dapat diperkirakan akan menolak unsur-unsur kebudayaan asing, namun yang menarik adalah bahwa penolakan itu dapat mempunyai wujud dan konsekuensi-konsekuensi sosial yang bermacam-macam. Dalam satu wujud penolakan terhadap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya yang merupakan akibat dari peristiwa itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dalam banyak masyarakat di dunia. Ada gerakan-gerakan kebatinan dimana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kenyataan kehidupan masyarakat yang bergeser itu ke alam mimpi mengenai zaman bahagia dan kejayaan yang kuno. Selain itu reaksi yang berbeda dari orang-orang yang “kolot” dan orang-orang yang “progresif” terhadap pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik.

(24)

24 2. Asimilasi

Asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) Golongan-golongan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, (b) Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya, golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas. Sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk kedalam kebudayaan mayoritas.

Proses-proses sosial yang disebut asimilasi itu banyak diteliti oleh para sarjana sosiologi, terutama di Amerika Serikat. Disana timbul berbagai masalah yang berhubungan dengan adanya individu-individu dan kelompok imigran yang berasal dari berbagai suku bangsa dan negara di Eropa, yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda. Indonesia, mempunyai banyak golongan khusus, baik yang berupa suku bangsa, lapisan sosial, golongan agama, pengetahuan mengenai seluk beluk asimilasi dari tempat-tempat lain di dunia menjadi penting sekali sebagai bahan perbandingan.

Hal yang penting untuk diketahui adalah faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi proses asimilasi, kalau di antara kelompok-kelompok yang berhadapan itu tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap orang lain. Orang Cina misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya; namun mereka belum juga semua terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati.

(25)

25 f. Perubahan Kebudayaan dalam Bidang Pertanian dan Kehutanan

Dalam konteks kepandaian bercocok tanam, manusia mengalami suatu waktu revolusi atau perubahan yang mendadak dalam kebudayaan dan dalam cara hidupnya. Ia tidak lagi berpindah-pindah dari satu tempat perkemahan ke tempat perkemahan yang lain untuk mencari tempat kawanan binatang buruannya. Ia telah mulai membentuk desa-desa, konsentrasi tempat-tempat tinggal menetap, dan mengembangkan masyarakat dengan organisasi sosial yang mempunyai dasar dan susunan yang sangat berbeda daripada organisasi sosial dari masyarakat ketika ia hidup dalam kelompok-kelompok berburu yang kecil. Ia mulai dapat membuat alat-alat yang lebih banyak tanpa menghadapi masalah pengangkutan benda-benda itu bila ia harus berpindah-pindah memburu binatang. Dengan demikian, kepandaian membuat periuk belangan yang terbuat dari tanah liat mulai berkembang, juga kepandaian membuat rumah-rumah atap, menenun dan sebagainya.

Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan menetap, yang juga menyebabkan meloncatnya pertambahan jumlah manusia, hanya dalam jangka waktu separohnya dari jangka waktu proses perkembangan bercocok tanam, yaitu 6000 tahun kemudian, telah timbul lagi suatu revolusi atau perubahan mendadak yang baru lagi dalam proses perkembangan kebudayaan, yaitu revolusi perkembangan masyarakat kota. Peristiwa itu pertama-tama terjadi di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4.000 S.M., di daerah subur di perairan sungai-sungai Tigris dan Eufrat (daerah yang sekarang menjadi negara Siria dan Irak), di daerah muara Sungai Nil (daerah yang sekarang menjadi Mesir sekitar kota Kairo).

Proses perubahan kebudayaan kemudian bertambah cepat lagi, dan banyak unsur baru dengan suatu ragam yang besar di berbagai tempat di dunia, berkembang dalam jangka waktu hanya 5.500 tahun setelah itu. Hingga kira-kira sekitar tahun 1.500 M., beberapa tokoh bangsa-bangsa di Eropa Barat mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Hanya dalam waktu 200 tahunsaja, yaitu pada zaman paroh kedua abad ke-18 sampai abad ke-20 ini, kebudayaan manusia mengalami suatu revolusi ketiga, yaitu Revolusi Industri. Dalam proses perubahan mendadak itu kebudayaan manusia, terutama mengenai unsur-unsur teknologi dan peralatan fisiknya, dan juga mengenai

(26)

26 organisasi sosial dan kehidupan rohaniahnya sudah menjadu sedemikian kompleksnya sehingga manusia sendiri hampir tidak dapat lagi mengendalikan dan menguasainya. Kecepatan perkembangan kebudayaannya itu sudah menjadi beberapa ratus kali lipat.

Apabila proses evolusi dan pekembangan kebudayaan manusia itu kita bandingkan dengan evolusi organismenya, dengan cara menggambar dua garis grafik yang sejajar, maka akan tampak bahwa untuk waktu hanya 2 juta tahun kedua garis itu sejajar; artinya sama cepatnya. Tetapi kemudian garis evolusi kebudayaan itu tadi, pada tempat yang menandakan waktu kira-kira 80.000 tahun lalu dipakai, waktu terjadinya homo sapiens, mulai melepaskan diri dari garis evolusi organisme manusia. Dengan melalui dua peristiwa revolusi kebudayaan, yaitu revolusi pertanian dan revolusi perkotaan, proses perkembangan tampak membubung tinggi dengan suatu kecepatan yang seolah-olah tidak dapat dikendalikan sendiri, dalam dalam waktu hanya 200 tahun saja, melalui peristiwa yang disebut revolusi industri. Proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik, dan terbang sendiri membubung tinggi ini, merupakan proses yang oleh ahli antropologi A.L. Kroeber disebut proses perkembangan superorganic dari kebudayaan.

Perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat juga tercermin pada cara pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara tradisional di Indonesia, yang tampaknya cenderung berubah dari tahun ke tahun. Juga terjadi perubahan dalam cara berpikir yang didorong oleh perkembangan pengetahuan serta pengaruh lainnya yang berasal dari lingkungan luarnya. Seperti yang terlihat pada masyarakat Dayak Maloh di Kalimantan Barat yang cenderung berubah, hal ini seiring dengan adanya perubahan dan pergeseran dalam sistem stratifikasi sosial komunitas Kalimantan Barat (King, 1985 dalam Lahajir; 2001). Selain itu Dove (1988) mengemukakan bahwa sistem perladangan berpindah pada masyarakat Dayak Kantu juga berubah, yang ditandai dari kian runtuhnya rumah panjang komunitas lokal orang Kantu. Jadi menurut Dove, dengan runtuhnya organisasi sosial, struktur sosial, maka sistem pertanian tradisional pun ikut berubah.

Dalam kajiannya tentang sistem perladangan orang Dayak Tunjung Linggang, Lahajir (2002: 461-463) mengemukakan bahwa sistem perladangan orang Tunjung Linggang

(27)

27 sudah sepantasnya ditinjau kembali. Secara teoritis dan dalam konteks ekologi makro sistem ini dapat dibenarkan, namun secara praktis dan dalam konteks ekologi mikro mungkin tidak seluruhnya benar, karena justru sistem perladangan orang Dayak Tunjung Linggang sudah tidak adaptif atau cenderung gagal beradaptasi dengan lingkungan alamnya yang dalam hal ini hutan dan tanah. Karena itu, sistem perladangan seperti ini berpotensi kuat untuk merusak lingkungan alam di wilayah Tunjung Linggang sendiri.

Lebih lanjut menurut Lahajir, bahwa sistem perladangan berpindah orang Tunjung Linggang cepat atau lambat pasti akan berubah, yang disebabkan oleh faktor-faktor berikut: (1) adanya tekanan penduduk, (2) berkurangnya tenaga kerja ladang, (3) perkembangan mekanisasi teknologi pertanian, (4) adanya gangguan dalam daur unsur hara alami (ekologis, ekosistem ladang), dan (5) etno-ekologi perladangan yang tidak lagi berfungsi sebagai pedoman perilaku dalam perladangan penduduk lokal.

 Hasil Pembelajaran

(1) Mampu memahami dan menjelaskan konsep-konsep : internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, inovasi, asimilasi, akulturasi dan difusi kebudayaan

(2) Mampu menganalisis kasus di kehutanan yang menunjukkan adanya perubahan kebudayaan masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan

 Aktifitas

(1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah,

(2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan

(3) Mencari kasus perubahan budaya masyarakat desa hutan dan menganalisisnya (4) Diskusi dan menjawab kuis

 Kuis dan latihan

(1) Terangkan yang dimaksud dengan proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi beserta contoh kasusnya di kehutanan !

(2) Berikan contoh kasus yang menunjukkan adanya relasi antara perubahan kebudayaan dengan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya hutan !

(28)

28 DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta

Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta

Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta

Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press. Jakarta.

Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta

Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta

Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta

Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten

Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta

Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK

Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta

(29)

29 Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta

Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel

Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa

Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta

Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Ketika Admin memilih untuk melakukan fungsi Maintain News, maka sistem akan menampilkan satu halaman dimana didalamnya terdapat kolom untuk menambahkan News dan juga untuk

Untuk melihat tingkat pemerataan pendapatan antar wilayah Kabupaten/Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan digunakan Indeks Williamson, untuk

Oleh sebab itu, di dalam perbedaan tersebut, falsafah hidop orang basudara kemudian bertindak untuk menyatukan mereka, sehingga di dalam perbedaan yang khas dari

Bentuk & Kriteria Indikator Penilaian Bobot (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) gambaran umum rencana usaha, Metode pelaksanaan, Biaya dan

 Identifikasi entitas data yang dibutuhkan  Membuat entitas data baru berdasarkan kebutuhan  Melakukan integrasi aplikasi untuk penggunaan data  Melakukan penambahan modul

Pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk mengutarakan perkaranya dan berbagai cara, baik pada cara hidup, kesusilaan adan kedudukan para saksi peda

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubemur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Bantuan Keuangan dan Tata Cara Bagi

Template Dokumen ini adalah milik Direktorat Pendidikan - ITB Dokumen ini adalah milik Program Studi [NamaProdi] ITB. Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui