BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Untuk menjawab permasalahan penelitian tentang bagaimana dinamika konstruksi identitas Zainichi Korea generasi ketiga terhadap homogenitas Jepang, maka penulis melandaskan analisis dalam penelitian ini berdasarkan beberapa konsep dan satu paradigma teori, yang akan dijelaskan sebagai berikut di bawah: 2.1.1 Sejarah Zainichi Korea
Penandatanganan Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea tahun 1910 menandai awal aneksasi Jepang atas Korea sekaligus memulai gelombang migrasi antara dua wilayah, utamanya dari Korea ke Jepang. Selama 1910-an hingga 1920-an hanya sekitar 30.000 orang Korea yang bermigrasi dan menetap di Jepang (Nantais, 2011:61). Jumlah tersebut meningkat setelah terjadi penguatan sektor industri sehingga menyerap perekrutan tenaga kerja dari Korea. Mobilisasi tersebut mendorong lebih dari satu juta orang Korea terlibat dalam migrasi tahun 1938 hingga 1945 untuk bekerja di industri pertambangan, perkapalan, tekstil, atau bahkan menjadi tenaga militer (Nantais, 2011:67). Bahkan hingga mendekati akhir periode Perang Pasifik tahun 1945, jumlah orang Korea di Jepang mencapai kurang lebih dua juta orang. Peningkatan angka migrasi tersebut terjadi salah satu karena pemberian status legal kepada orang Korea sebagai subjek imperial Jepang, sehingga mereka mendapat hak untuk bepergian dan bekerja ke seluruh wilayah kekuasaan imperial, termasuk Jepang itu sendiri (Nantais, 2011:55). Periode tersebut menjadi poin penting yang membentuk diaspora Korea di Jepang.
Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik menjadi penanda hilangnya kuasa Jepang atas wilayah-wilayah jajahannya di kawasan Asia, khususnya setelah penandatanganan Deklarasi Postdam 15 Agustus 1945. Hal ini termasuk wewenang untuk menjamin legalitas status kewarganegaraan orang Korea di Jepang, membuat mereka kehilangan status kewarganegaraan. Supreme Commander of the Allied Power (SCAP) kemudian mengambil alih pemerintahan
6 sementara dengan salah satu agenda utama yaitu mempersiapkan upaya repatriasi orang Korea kembali ke tempat asal mereka. Selama tahun 1945 hingga 1949, upaya repatriasi menghasilkan 1,4 juta orang Korea pulang kembali ke Semenanjung Korea dan kurang lebih 600.000 orang lainnya memilih untuk menetap di Jepang atas pertimbangan stabilitas ekonomi dan politik. Meski begitu, beberapa orang yang telah berhasil direpatriasi memutuskan untuk kembali ke Jepang secara ilegal karena kegagalan mereka mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Korea pasca repatriasi (Caprio, 2007:186). Oleh karena itu, 15 Agustus 1945 adalah tanggal penting untuk memisahkan asal-usul penduduk Korea di Jepang dan memunculkan istilah old-comers untuk menyebut orang Korea yang bermigrasi pada tahun 1920-an dan 1930-an, dan new-comers untuk menyebut orang Korea yang bermigrasi ke Jepang sekitar tahun 1980-an. Sehingga, istilah Zainichi Korea yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada orang-orang Korea old-comers yang memiliki hak kewarganegaraan istimewa di Jepang dan menetap di Jepang sejak saat itu, termasuk keturunan mereka.
Selama proses transisi pasca-perang, terdapat beberapa peristiwa yang menandai perubahan status kependudukan orang Korea di Jepang. Pertama, pemberlakuan kebijakan Alien Registration Ordinance (ARO) oleh SCAP pada 1947 bagi penduduk Korea sebagai sarana dokumentasi status residensi mereka di Jepang (Caprio, 2007:184). Kebijakan tersebut memberikan orang Korea di Jepang status kewarganegaraan khusus sebagai 'alien di Jepang' guna mengatasi absennya status kewarganegaraan sebelum kebijakan tersebut diterapkan. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan ini terkesan diskriminatif karena pemberlakuan kebijakan rekam sidik jari hanya secara khusus diberlakukan kepada penerima status kependudukan khusus. Kedua, Penandatanganan perjanjian Jepang-Amerika Serikat melalui San Francisco Peace Treaty tahun 1952 sebagai pernyataan berakhirnya dominasi militer Amerika Serikat di Jepang. Maka, segala bentuk dominasi dan kontrol AS terhadap Jepang dan segala urusan terkait konflik juga dihentikan, termasuk pemberian status kependudukan orang Korea di Jepang.
7 Sehingga, orang Korea hanya bisa memperoleh status kependudukan resmi melalui proses aplikasi naturalisasi kewarganegaraan Jepang.
Peristiwa lain yang memengaruhi perubahan izin kependudukan orang Korea di Jepang adalah normalisasi hubungan Jepang dan Korea Selatan melalui penandatanganan The Treaty on Basic Relations between Japan and the Republic of Korea 1965. Traktat tersebut menjadi dasar pengakuan Jepang bahkan dunia internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa atas kedaulatan Republic of Korea (ROK; disebut dengan istilah Korea Selatan dalam bagian tulisan lainnya) di Semenanjung Korea sehingga hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan dapat terbentuk. Melalui peresmian hubungan diplomatik tersebut, orang Korea di Jepang dapat mengadopsi kewarganegaraan Korea Selatan dan tinggal di Jepang sebagai penduduk tetap tanpa perlu menaturalisasikan diri menjadi warga negara Jepang. Memasuki awal tahun 1990-an, dorongan dari pihak luar bahkan resistensi dari penduduk asing di Jepang mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih terbuka terhadap para penduduk asing. Beberapa kemudahan diterapkan pada proses naturalisasi, menghapus perekaman sidik jari sebagai persyaratan dalam dokumentasi ARO, hingga memberikan status special permanent residency (SPR) bagi orang asing di Jepang yang kehilangan kewarganegaraan Jepang mereka pada tahun 1952, dan yang telah berada di Jepang per tanggal 2 September 1945 (penandatanganan Instrument of Surrender), serta keturunan mereka yang lolos kualifikasi (Nantais, 2011:234).
Sebagai kelompok etnis baru di Jepang, mereka dikenal dengan istilah Zainichi Korea (zainichi secara harfiah berarti 'penduduk di Jepang', sehingga Zainichi Korea berarti penduduk Korea di Jepang). Bagi sebagaian orang, istilah zainichi bukan hanya menjadi sebutan, namun juga menjadi sebuah pemaknaan identitas diri mereka. Hingga saat ini, jumlah populasi orang Korea di Jepang diestimasi mencapai 600.000 jiwa. Angka tersebut mencakup penduduk dengan status SPR, warga negara Korea Selatan, warga negara Joseon (Chosen-seki, berdasarkan Dinasti Korea sebelum runtuh), dan new-comers Korea, kecuali orang Korea naturalisasi—yang akan dijabarkan lebih lanjut dalam bab pembahasan. Mayoritas dari angka populasi orang Korea di Jepang merupakan
8 generasi ketiga dan generasi keempat yang lahir di Jepang dan tumbuh dewasa serta mengenyam pendidikan sesuai dengan model Jepang. Latar belakang pendidikan tersebut memberi pandangan baru bagi generasi ketiga dan keempat, menjadikan adanya perbedaan dengan generasi pertama dan kedua tentang pemaknaan posisi mereka dalam kelindan dengan penduduk di Jepang. Oleh karena itu pergerakan Zainichi Korea tersebut lebih banyak diinisiasi dari kelompok generasi ketiga dan keempat, dengan perbedaan objektif dengan generasi pertama dan kedua.
2.1.2 Nihonjinron
Identitas nasional merupakan salah satu elemen pembentuk citra negara dalam lingkup relasi antar-negara. Pembentukan karakter nasional sebuah bangsa tidak dapat terjadi secara singkat. Diperlukan proses panjang untuk menyesuaikan nilai-nilai mana yang diterima dan dipercayai secara luas oleh masyarakat. Bagi bangsa Jepang, proses penentuan karakter nasional secara spesifik dapat ditarik mundur ke masa pra-modern pada periode Tokugawa hingga Meiji. Dari zaman pra-modern ke zaman modern, beragam elemen historis Jepang dibahas dan ditafsir ulang untuk mencapai satu kerangka identitas nasional hingga mencapai kesesuaian dengan identitas yang dibayangkan. Upaya tersebut menghasilkan salah satunya konsep pembelajaran nasional atau disebut kokugaku. Konsep tersebut menekankan standarisasi nilai-nilai tradisional bangsa Jepang dalam berdinamika dengan eksistensi bangsa China yang pada saat itu menjadi middle kingdom di kawasan Asia Timur pada periode Tokugawa, dan beralih fokus ke negara-negara Barat pada era keterbukaan periode Meiji. Langkah tersebut menjadi sarana untuk menciptakan sebuah skema peradaban yang eksisten vis-à-vis kebudayaan modern versi Barat.
Pada era Restorasi Meiji, Jepang fokus pada pembangunan karakter bangsa dengan mengedepankan retorika solidaritas Pan-Asianisme untuk menyaingi kekuatan Barat. Selain itu, kampanye di akhir periode Meiji juga berfokus pada cita-cita nasionalisme dan patriotisme sebagai modal dalam menjalankan misi ekspansi di Perang Dunia II. Dari sini mitos homogenitas etnis bangsa Jepang
9 mulai berakar dan menjadi transisi dari konsep keragaman orang-orang Asia dalam ikatan hubungan darah yang sama menjadi satu bangsa homogen dengan ras eksklusif (Sugimoto, 2010: 20-21). Ideologi monoetnisitas menjadi gagasan yang dipegang oleh Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II berdasarkan kepercayaan bahwa bangsa Jepang merupakan anggota dari satu keluarga besar yang saling terkait berdasarkan ikatan darah sehingga menciptakan satu komunitas kolektif. Asumsi ini meningkatkan ikatan psikologis antara kelompok dan pihak lain, menghasilkan perasaan bahwa posisi 'us' berada dalam kelompok terbatas dan terisolasi dari pihak lain sebagai produk dari pengalaman formatif bangsa Jepang (Yoshino, 1992:19-20).
Konsepsi-konsepsi pada masa pra-modern tersebut dikemas menjadi sebuah diskursus baru yaitu nihonjinron, dengan fokus utama memperkenalkan model nasionalisme bangsa Jepang sesuai dengan gambaran-gambaran pada era sebelumnya. Nihonjinron diperkenalkan sebagai sebuah pendekatan holistik yang mencakup bukan hanya karakteristik sosial masyarakat dan kebudayaan, namun juga sistem perekonomian negara. Pendekatan tersebut berkembang pada sekitar tahun 1970-an di saat pesatnya pertumbuhan ekonomi Jepang terjadi pasca krisis ekonomi global di tahun yang sama. Pertumbuhan ekonomi Jepang tersebut dianggap sebagai sebuah keajaiban karena proses rekonstruksi yang berlangsung relatif lebih cepat dibanding negara-negara maju lainnya. Jepang mempercayai kebangkitan ekonomi tersebut sangat dipengaruhi oleh superioritas etnis mereka. Hal ini dibuktikan dengan sistem tata kelola tenaga kerja yang mapan serta keterikatan antar-individu dalam kelompok yang kuat, sehingga mampu meningkatkan efektivitas sebuah sistem kerja secara terpadu (Gordon, 2003: 300). Penjabaran nihonjinron, atau secara harfiah diartikan sebagai gagasan keesaan Jepang, mencakup standar nilai tentang etnisitas, garis keturunan, kebangsaan, kemampuan bahasa dan melek budaya, gender, seksualitas dan kelas sosial. Keunikan karakteristik bangsa Jepang dalam konsep nihonjinron mencakup superioritas etnis Jepang sebagai sebuah bangsa dengan komposisi uni-rasial (tan'itsu minzoku) dan homogen. Asumsi ini terbangun melalui beberapa aspek yaitu anggapan tentang keunikan asal-usul ras Jepang jika dibandingkan
10 dengan ras lain, adanya komposisi homogen dalam struktur masyarakat Jepang dengan unsur pengabaian historis terhadap proses penggabungan beragam etnis hingga terbentuk ras Jepang di masa lalu, serta kurangnya perhatian bagi kehadiran etnis minoritas di Jepang seperti etnis Korea, China dan Ainu (Yoshino, 1992:18-19). Selain penekanan terus-menerus tentang homogenitas ras bangsa Jepang, fitur pembanding lain dalam nihonjinron yang diperhadapkan dengan kebudayaan Barat khususnya di era perkembangan awal diskursus tersebut adalah struktur sosial masyarakat vertikal. Dalam struktur vertikal, hubungan sosial didasarkan pada hubungan antara pihak superior dan pihak inferior mencakup hubungan antara seorang pemimpin dan orang yang dipimpin. Struktur tersebut bukan hanya dalam lingkup perusahaan namun juga lingkungan perumahan maupun keluarga. Penghormatan dan kepatuhan terhadap pihak superior menjadi sikap yang perlu diperhatikan dalam interaksi sosial. Selain itu, pihak inferior juga harus menjaga stabilitas relasi dalam level setara untuk menghindari konflik di level lebih tinggi, sehingga loyalitas dalam kelompok sangat ditekankan. Struktur sosial masyarakat vertikal tersebut dikenal sebagai sistem organisasi ie (家; secara harfiah berarti 'rumah') yang menjadi landasan tatanan sosial Jepang sebagai dicirikan oleh penataan divisi fungsional secara hierarkis untuk mengejar tujuan kolektif (Iida, 2002:188-189).
Nihonjinron menjadi sebuah diskursus dengan pandangan bahwa masyarakat Jepang merupakan satu kesatuan utuh dan memiliki karakter nasional yamato damashii (secara harfiah berarti 'spirit bangsa Jepang') dan kokutai (secara harfiah berarti 'satu tubuh politik bangsa Jepang') (Mouer & Sugimoto, 1986:78). Karakter tersebut meletakkan raison d'être bangsa Jepang dalam ikatan loyalitas kelompok demi mencapai kepuasan psikologis masing-masing individu. Dalam hal ini, orang Jepang dipandang lebih mengutamakan konsensus bersama dan kepentingan orang lain untuk menjaga keharmonisan dalam kelompok. Ekspresi diri yang sopan juga memperkuat nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, dapat dibuktikan melalui pemilihan tata bahasa serta bahasa tubuh dan ekspresi wajah (Mouer & Sugimoto, 1986 54).
11 Selain paparan konsep di atas, beberapa landasan teoretis juga digunakan sebagai sarana dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
2.1.3 Konstruktivisme Alexander Wendt
Kajian konstruktivisme muncul pada 1980-an sebagai sebuah alternatif di antara pertentangan teori-teori positivis dan post-positivis dalam hubungan internasional. Pemikiran ini memusatkan analisis terhadap ide sebagai mesin penggerak aktor dalam menentukan tindakan mereka terhadap aktor lain secara intersubjektif. Ide dan intersubjektivitas tersebut yang menjadi modal utama pembentukan sebuah sistem. Dalam artikel Alexander Wendt berjudul "Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics" sistem dimaksud sebagai sistem internasional yang mengandung intersubjektivitas agen dan struktur. Jika ide dalam hubungan internasional berubah, maka sistem itu sendiri akan ikut berubah, karena ide menjadi inti dari keberlangsungan sistem itu (Wendt, 1992: 394). Tiga asumsi utama Wendt terhadap konstruktivisme adalah sebagai berikut: (1) aktor adalah unit utama analisis untuk teori politik internasional; (2) struktur-struktur utama dalam sistem bersifat intersubjektif, bukan material; (3) identitas dan kepentingan negara adalah bagian penting yang dibangun oleh struktur sosial ini, bukan diberikan secara eksogen ke sistem melalui human nature (seperti yang dipertahankan oleh kaum neorealis) atau domestic politics (sesuai keinginan kaum neoliberal) (Wendt, 1999:35).
Ide merupakan unsur terpenting dalam teori konstruktivisme sosial. Ide berperan dalam menentukan kepentingan dan perilaku sebagai sebuah realitas material interaksi sosial dengan aktor lain. Asumsi tersebut merupakan kritik konstruktivisme terhadap perdebatan antara materialisme dan idealisme, bahwa ide hanya menjadi rasionalisasi dari tindakan yang tersusun melalui kepentingan material. Lebih daripada itu, bagi konstruktivisme utamanya menurut pemikiran Wendt, ide memberi makna terhadap materi, karena ide perlu diwujudkan menjadi materi agar lebih mudah dipahami secara ontologis. Tanpa ide, tidak akan ada kepentingan. Tanpa kepentingan, tidak akan tercipta materi bahkan tidak akan
12 tercipta realitas sama sekali (Wendt, 1999:139). Sehingga, hubungan yang tercipta antara ide dan materi bersifat kausal.
Kausalitas identitas dan kepentingan tercipta karena kepentingan merupakan pendorong motivasional bagi pembentukan identitas. Tanpa kepentingan, identitas akan seperti kehilangan arah. Sehingga, kepentingan dalam konteks pembentukan identitas dapat pula disebut motif. Identitas mengacu pada keadaan ontologis aktor, mencari tahu siapa atau apa aktor tersebut. Sementara kepentingan mengacu pada apa yang diinginkan oleh aktor. Dalam istilah lain, kepentingan menunjuk motivasi yang membantu menjelaskan perilaku. Kepentingan merupakan pre-kondisi identitas karena seorang aktor tidak dapat mengetahui apa yang diinginkannya hingga aktor memahami identitasnya. Dan karena identitas memiliki tingkat konten budaya yang berbeda-beda, demikian pula kepentingan juga mengandung keragaman (Wendt, 1999: 231-6).
Dalam konteks perdebatan materialisme dan idealisme, identitas, ideologi, dan budaya berbeda dari power dan kepentingan, dan memang memainkan peran kausal dalam kehidupan sosial. Wendt berpendapat bahwa ide-ide yang membentuk kepentingan ini pada dasarnya dibentuk oleh shared ideas atau culture dari sistem internasional. Dapat dikatakan bahwa ide-ide tersebut berada di tingkat makro, kemudian terinternalisasi ke dalam aktor individu misalnya kepala negara dan beralih pada tingkatan mikro dari struktur internasional (Wendt, 1999: 125). Kemudian, kausalitas antara kedua kubu tersebut bisa terlihat dalam struktur sosial maupun internasional, di mana relasi antar agen saling berpengaruh terhadap pembentukan identitas masing-masing. Alur interaksi antar aktor pada level personal maupun sistemik, bagi paradigma konstruktivisme, ditentukan oleh identitas. Identitas menentukan dorongan motivasional serta kecenderungan perilaku aktor menghadapi permasalahan yang ditimbulkan oleh interaksi tersebut. Identitas tidak hanya memiliki kualitas subjektif dalam level unit, namun juga kualitas intersubjektif atau sistemik, karena pemahaman the Self juga tergantung pada pemahaman dan representasi the Other's. Sehingga konstruksi identitas terjadi karena pengaruh faktor internal maupun eksternal dari struktur (Wendt, 1994:385).
13 Menurut Wendt, definisi identitas tersebut terbagi menjadi empat jenis. Pertama, personal atau corporate identity, yaitu konstruksi identitas oleh diri dengan mengolah kesadaran dan ingatan. Yang kedua adalah type identity, di mana identitas didapatkan melalui pelabelan berdasarkan konten dan makna sosial tertentu, misalnya identitas tentang karakteristik, sifat, perilaku, nilai, keahlian, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah (seperti tempat tinggal atau tempat lahir), dan lain sebagainya (Wendt, 1999:225). Ketiga, role identity, merupakan jenis identitas yang bertumpu pada budaya dan harapan bersama, oleh karenanya hanya dapat terbentuk melalui relasi dan intersubjektivitas dalam struktur sosial. Jenis identitas keempat menurut Wendt adalah collective identity, yaitu identitas yang mengidentifikasi self dan other sebagai identitas tunggal, dengan catatan bahwa aktor mampu mendefinisikan kesejahteraan other sebagai bagian dari self.
Seringkali perlakuan konstruktivisme terhadap identitas dan kepentingan sebagai variabel endogen dapat membenarkan tindakan aktor dalam merekonstruksi sebuah sistem struktural. Namun, pada kenyataannya, pembentukan identitas berada dalam ranah mikro, sementara perubahan struktural terjadi dalam ranah makro. Sehingga untuk mewujudkannya, diperlukan penguatan identitas kolektif agar batas antara self dan other mampu direkonstruksi menjadi we-feeling (Wendt, 1999:338). Alter-ego memberikan gambaran tentang bagaimana aktor mampu mengambil keputusan dalam memperlakukan significant others. Selain itu, masing-masing dari alter-ego memiliki karakteristik endogen yang memengaruhi berlangsungnya evolusi sebuah interaksi. Karakteristik tersebut diwujudkan dalam interaksi-interaksi yang terjadi antara keduanya.
Self dan other bukan semata-mata menentukan perbedaan karakteristik masing-masing aktor. Namun, other menjadi representasi self dalam mencapai kepentingan dalam menentukan identitas dan karakter sang aktor sendiri. Dalam istilah khusus, proses tersebut disebut altercasting, di mana ego menciptakan karakter lain untuk merefleksikan karakternya. Logika pembentukan identitas terjadi ketika identitas alter adalah cerminan dari praktik ego, sehingga mengubah praktik-praktik itu dan ego mulai mengubah konsepsi alter itu sendiri. Sehingga,
14 ego menciptakan aktor bayangan lain yang memengaruhi representasi dirinya dalam sebuah situasi. Dialektika antara self-other dan alter-ego ini menjelaskan bahwa pembentukan identitas, baik negara maupun individu dapat membentuk ekspektasi-ekspektasi tertentu.
Interaksi antar aktor, khususnya dalam hubungan internasional, akan didorong untuk terus berkembang ke level sistemis. Menurut Wendt, “aktor dapat memperoleh identitas yang relatif stabil dan bertumpu pada pemahaman dan ekspektasi tentang self dengan berpartisipasi dalam pemaknaan kolektif” (Wendt, 1992:397). Kondisi tersebut terjadi karena identitas merupakan sebuah variabel dinamis yang sangat rentan terhadap dinamika interaksi. Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat mungkin terjadi perubahan identitas dan kepentingan negara hingga menumbuhkan kebutuhan untuk membentuk sebuah konsensus identitas kolektif berwujud sebuah struktur sosial. Interaksi dengan pihak lain itulah yang membentuk dan menjadi contoh sebuah struktur identitas, sementara eksistensi dan daya kausalitas struktur tidak lebih daripada proses (Wendt, 1992: 394).
Pembentukan struktur tersebut terdiri dari tiga elemen dasar yaitu shared knowledge, material resources dan practices and discourse. Shared knowledge menentukan idealisme aktor untuk menentukan posisi mereka dalam struktur. Material resources dicapai ketika idealisme dan pengetahuan para aktor telah berhubungan dan menghasilkan makna bagi perilaku mereka. Practices and discourse muncul ketika proses dalam struktur sosial terus terjadi secara dinamis. Analisis konstruksi sosial politik internasional adalah analisis tentang bagaimana interaksi menghasilkan dan mereproduksi struktur sosial, baik yang bersifat kooperatif atau konfliktual, kemudian memengaruhi pembentukan identitas dan kepentingan serta signifikansi konteks material seorang aktor (Wendt, 1995:12).
Hubungan intersubjektif antar aktor berperan penting dalam proses pembentukan identitas kolektif, karena melalui interaksi tersebut terbangun kompromi-kompromi akan pengetahuan dan kebudayaan bersama. Menurut Wendt, kompromi tersebut didasarkan pada empat variabel master, yaitu interdependence, common fate, dan/atau homogenization sebagai penyebab aktif pembentukan identitas kolektif, disertai dengan self-restraint sebagai penyebab
15 pasif permisif (Wendt, 1999:343). Keempatnya bisa hadir bersamaan dalam satu kasus tertentu, dan semakin banyak hadir, semakin besar kemungkinan terjadi pembentukan identitas kolektif. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pembentukan identitas kolektif terjadi berdasarkan satu penyebab efisien variabel dikombinasikan dengan self-restraint untuk menghindari asimilasi identitas secara utuh. Oleh karena itu, tiap-tiap aktor perlu memperkuat self-restraint dalam interaksi dengan identitas aktor lain yang lebih kuat. Self-restraint dalam hal ini merupakan power berupa kemampuan aktor untukmemproduksi identitas, makna dan kepentingan secara kolektif dalam sebuah struktur.
2.2 Kerangka Konsep
Dari penjabaran tentang konteks sejarah Zainichi Korea, konsep nihonjinron serta teori konstruktivisme berdasarkan pemikiran Alexander Wendt di atas, penulis merangkum setiap konsep sebagai landasan analisis tiap temuan penelitian berdasarkan kerangka pikir sebagaimana dipaparkan dalam Gambar 1. Pendudukan Jepang terhadap Korea sepanjang periode imperialisme tahun 1910-1945 mendorong migrasi orang-orang Korea ke Jepang, baik wajib militer, perekrutan tenaga kerja bidang industri, maupun migrasi sukarela oleh orang-orang yang mencari kehidupan lebih layak di Jepang. Peningkatan angka migrasi tersebut menunjukkan peningkatan kedatangan penduduk asing khususnya orang-orang Korea hingga terbentuk diaspora Korea di Jepang atau sering disebut sebagai Zainichi Korea. Zainichi Korea saat ini telah mencapai empat generasi, dengan perbedaan cara pandang terhadap nasionalisme dan identitas antara tiap-tiap generasi.
Bagi generasi ketiga Zainichi Korea, sebagai generasi yang sepenuhnya lahir dan besar di Jepang, kedua tempat tersebut memberi pengaruh yang sama besar dalam proses pembentukan identitas mereka. Salah satu faktor utama dalam pemaknaan identitas generasi ketiga ialah pertautan antara variabel ikatan dengan Jepang sebagai tempat tinggal dan variabel ikatan dengan Korea sebagai tempat asal. Kondisi ini memperhadapkan identitas Zainichi Korea, secara khusus generasi ketiga dengan pembentukan identitas nasional bangsa Jepang, karena
16 proses konstruksi identitas kolektif melalui proses distribusi dan redistribusi identitas-identitas terkait. Kebijakan asimilasi bagi kelompok pendatang pada periode imperialisme adalah salah satu upaya untuk membentuk citra bangsa homogen. Hingga masa ini, kepercayaan akan homogenitas tersebut terus diperkuat, khususnya melalui meluasnya diskursus nihonjinron. Diskursus ini mencakup nilai-nilai tentang keunikan dan kemurnian ras bangsa Jepang dalam memproduksi nasionalisme bangsa.
Identitas Nasional Jepang Identitas Zainichi Korea Generasi Ketiga Dinamika Konstruksi Identitas Zainichi Korea
Generasi Ketiga terhadap Homogenitas Jepang Pendekatan Konstruktivisme Alexander Wendt Collective Identity Ide Intersubjektivitas Akses kesejahteraan sosial, ekonomi dan
politik Zainichi Korea
Gambar 1 Kerangka Konsep
17 Proses pembentukan identitas masing-masing entitas dalam penelitian ini akan dianalisis lebih dalam berdasarkan paradigma konstruktivisme menurut Alexander Wendt, khususnya pandangan tentang pembentukan identitas kolektif. Identitas sebagai sebuah produk sosial lahir dari intersubjektivitas aktor dan ide yang dipercayai oleh aktor tersebut. Dalam lingkup sosial lebih luas, diperlukan satu konsensus untuk menciptakan sebuah pedoman nilai dan norma yang dapat diterima oleh unsur-unsur di dalamnya. Konsensus ini mendorong lahirnya relasi antar aktor atau entitas.
Namun, dalam beberapa kondisi, relasi tersebut justru menimbulkan ketimpangan dalam hal relasi kuasa, mengakibatkan subordinasi pihak superior terhadap pihak inferior. Hal ini dapat terlihat dalam relasi antara Jepang dan Zainichi Korea, yang disebut sebagai kelompok minoritas etnis. Selain karena kuantitas populasi, citra mereka sebagai kelompok pendatang pada masa penjajahan menempatkan mereka pada posisi inferior dalam struktur sosial masyarakat sehingga membatasi akses terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana kelindan antara proses pembentukan identitas kolektif Zainichi Korea generasi ketiga dan bangsa Jepang dapat saling memengaruhi, juga mendorong generasi ketiga untuk memperjuangkan eksistensi mereka di tengah tekanan homogenisasi dan atau peliyanan bagi kelompok minoritas etnis dalam masyarakat Jepang.
2.3 Penelitian Terdahulu
Untuk menyusun penelitian dengan analisis dan rekomendasi yang bermanfaat, penulis menentukan tiga penelitian terdahulu sebagai acuan dalam menentukan langkah-langkah analisis penelitian ini. Proses menentukan penelitian terdahulu dilakukan berdasarkan tiga kata kunci yaitu Zainichi Korea, identitas, dan pergerakan. Berbagai penelitian dari masing-masing kata kunci disortir hingga ditemukan tiga penelitian terdahulu yang mengandung seluruh kata kunci, sebagai berikut:
18 2.2.1 Gusti Ayu Amanda Clarissa. (2014). Latar Belakang Perubahan Kebijakan
Pemerintah Jepang terhadap Minoritas Korea (Zainichi Koreans). Universitas Gadjah Mada.
Fokus dari penelitian ini adalah sejarah panjang diskriminasi terhadap Zainichi Korea sebagai kelompok minoritas asing terbesar di Jepang. Diskriminasi tersebut mencakup diskriminasi tentang kebijakan pengambilan sidik jari tahun 1952, pembatasan jaminan dana pensiun bagi pekerja etnis Korea sektor jasa dan perusahaan kecil, batasan untuk mengikuti ujian masuk universitas dan kompetisi seni dan olahraga tingkat nasional, serta batasan untuk menjadi tenaga pengajar tetap di sekolah-sekolah negeri. Dengan adanya dorongan secara internal melalui UNHCR dan tekanan dari negara luar salah satunya Korea Selatan maupun dari masyarakat Jepang sendiri, Jepang melakukan beberapa perubahan kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi-diskriminasi dan sedikit mengalami perkembangan. Penulis akan menjadikan penelitian tersebut sebagai acuan untuk melihat bagaimana gerakan sosial mampu mendorong terjadinya perubahan. Penulis juga akan meneliti tentang perjuangan kelompok Zainichi Korea sebagai bentuk politik identitas mereka.
2.2.2 Putri Noor Anggraheni. (2009). Identitas Etnis Generasi Ketiga Orang Korea Zainichi. Universitas Indonesia.
Intisari dari penelitian ini adalah tentang proses pembentukan identitas etnis Zainichi Korea melalui hubungan resiprokal antara diri dengan lingkungan sosial. Hubungan tersebut diwarnai dengan prasangka dan diskriminasi oleh sebagian orang Jepang terhadap kelompok Zainichi Korea. Pembentukan identitas diri generasi ketiga Zainichi Korea secara khusus dibedakan menjadi beberapa tipe diantaranya tipe identitas pluralis, nasionalis, individualis, naturalisasi dan solidaritas etnis. Klasifikasi tersebut disusun berdasarkan variabel keterikatan dengan sejarah pembentukan kelompok tersebut. Generasi pertama dan kedua dianggap sangat nasionalis dan memiliki ikatan batin yang kuat dengan tanah kelahiran mereka. Sementara, generasi keempat dan seterusnya sudah sangat berbaur dengan masyarakat Jepang karena mereka lahir dan tinggal di Jepang,
19 bahkan belum pernah pergi ke Korea dan tidak dapat berbicara bahasa Korea. Generasi ketiga Zainichi Korea dianggap sebagai generasi transisi untuk menjembatani generasi sebelum dan sesudahnya, karena mereka dianggap masih memiliki ikatan emosi dengan Korea namun merasa nyaman menjalani kehidupan mereka di Jepang. Penelitian lanjutan akan menganalisis politik identitas Zainichi Korea dalam kehidupan masyarakat Jepang dengan meneliti aksi-aksi generasi ketiga Zainichi Korea menghadapi prasangka dan diskriminasi yang mereka alami. Penelitian terdahulu akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis variabel-variabel pembentukan identitas Zainichi Korea khususnya generasi ketiga.
2.2.3 David Chapman. (2004). The Third Way and Beyond: Zainichi Korean Identity and the Politics of Belonging. Journal of Japanese Studies, Vol. 24 No. 1, May 2004.
Penelitian ini membahas tentang pergeseran pemahaman konsep self and other dalam pembentukan identitas Zainichi Korea. Hal itu dipengaruhi oleh berbagai faktor di bidang sosial, politik, sejarah dan kebudayaan. Eksistensi mereka dalam masyarakat Jepang dan keterikatannya dengan Korea sebagai tanah leluhur menjadi kontradiksi dalam proses menempatkan diri di antara kedua polar tersebut, bahkan memaksa mereka untuk berpihak pada satu sisi saja. Dalam penelitian terdahulu, sebuah alternatif identitas berupa the third way dihadirkan agar kelompok Zainichi Korea mampu menempatkan identitas diri tanpa harus berpihak hanya pada satu polar. Dalam penelitian lanjutan, penulis akan mengembangkan poin pembentukan konsep peliyanan, yang menjadi dasar munculnya kebijakan asimilasi untuk mengintegrasi kelompok Zainichi Korea ke dalam struktur masyarakat Jepang.