• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

3

2.1. Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai salah satu Kabupaten Administrasi berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Negara Republik Indonesia. Secara geografis letak Kepulauan Seribu berada di koordinat 106°20’00”- 106°57’00” BT dan 5°10’00”- 5°57’00” LS. Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa disebelah Utara, Barat, Timur dan sebelah Selatan berbatasan langsung dengan perairan Jakarta Utara, Banten dan Jawa Barat. Kepulauan Seribu memiliki luas perairan perairan dan gugusan pulau sekitar 1.180,80 Ha.

Ditinjau dari letak kontinental dan karakter oseanografisnya, perairan Kepulauan Seribu mempunyai iklim muson tropis, yakni adanya pergantian arah angin setiap setengah tahun yang disebut angin muson. Banyaknya uap air laut yang berpengaruh terhadap suhu udara. Hal ini juga sebagai akibat karena Kepulauan Seribu berada pada daerah equator yang mempunyai sistem equator yang dipengaruhi variasi tekanan udara. Musim basah mencapai kondisi maksimum pada bulan Januari, sedang musim kering mencapai puncak pada bulan Juni-Agustus. Pengaruh musim terlihat sebagai tiupan angin Barat Laut-Utara yang kuat selama musim Barat pada bulan Oktober -April; serta angin Tenggara-Timur pada musim Tenggara atau Timur pada bulan Mei–September. Musim hujan berlangsung pada bulan November-April dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei-Oktober dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (BPLHD DKI Jakarta 2002).

(2)

2.2. Karakteristik dan Jenis Gelombang Laut

Gelombang permukaan merupakan gerakan berombak dari permukaan air yang dihasilkan oleh tiupan angin diatasnya (Bascom 1959 dalam Bird 1984). Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfer (angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari/ pasut), gaya coriolis (akibat rotasi bumi) dan tegangan permukaan (Komar 1998). Menurut Davis (1991), ada tiga faktor yang menentukan karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu: Pertama, lama angin bertiup atau durasi angin, Kedua, kecepatan angin dan Ketiga, fetch merupakan jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang atau daerah pembangkit gelombang.

Menurut Komar (1998) menyatakan bahwa gelombang akan mentransfer energi melalui partikel air sesuai dengan arah hembusan angin. Mekanisme transfer energi yang terjadi terdiri dari dua bentuk, yaitu: Pertama, akibat adanya variasi tekanan angin pada permukaan air yang diikuti oleh pergerakan gelombang dan Kedua, transfer momentum dan energi dari gelombang frekuensi tinggi ke gelombang frekuensi rendah (periode tinggi dan panjang gelombang besar). Viskositas air laut secara langsung dapat mempengaruhi efek dari tekanan angin, sehingga kecepatan angin permukaan menghilang makin menuju ke arah dalam perairan dan di kedalaman tertentu menjadi nol (Hutabarat dan Evans 2006). Prediksi suatu penjalaran gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang terjadi di daerah ekosistem terumbu karang sangat lah penting untuk dipelajari dari segi karakteristiknya. Menurut Longuet-Higgins and Stewart (1962) dalam Lowe et al (2005) gelombang pecah yang terjadi di terumbu karang, mampu meningkatkan

(3)

ketinggian permukaan air rata-rata dan gradien tekanan yang kemudian

memengaruhi pergerakan sirkulasi hewan-hewan di terumbu tersebut. Pergerakan gelombang yang diikuti oleh arus memiliki peran penting dalam transport nutrien untuk karang, sedimen, plankton dan larva. Selain itu, gelombang juga

merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam penentuan morfologi dan komposisi bentik terumbu karang (Lowe et al. 2005).

Gelombang yang bergerak menuju pantai akan mengalami deformasi gelombang sebagai akibat dari perubahan kedalaman suatu perairan yang cenderung dangkal. Menurut Triatmodjo (1999) ada tiga deformasi gelombang yang terjadi ketika mendekati pantai akibat perbedaan kedalaman sebelum akhirnya mengalami pemecahan gelombang (wave breaking), yaitu refraksi, difraksi dan refleksi. Menurut Carter (1993) arah perambatan berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman, sehingga dapat diamati bahwa muka gelombang cenderung sejajar dengan kontur kedalaman. Refraksi terjadi jika suatu gelombang datang membentuk suatu kemiringan terhadap pantai yang mempunyai kemiringan dasar landai dengan kontur-kontur kedalaman sejajar dengan garis pantai, maka puncak gelombang akan berubah arah dan cenderung menjadi sejajar dengan garis pantai. Bila kondisi pantai cenderung landai, ada kemungkinan gelombang tidak pecah tapi mengalami pemantulan yang sering disebut refleksi. Arah perambatan gelombang juga dapat berubah dan mengalami pembelokan selain diteruskan kembali ketika melewati kedalaman yang konstan dan menuju kesuatu pulau atau zona pemecah gelombang, yang juga disebut difraksi gelombang.

(4)

Berdasarkan CERC (1984) dalam Siwi (2008) mengatakan bahwa refraksi dan pendangkalan gelombang dapat menentukan ketinggian gelombang pada kedalaman tertentu serta distribusi energi gelombang sepanjang pantai.

Perubahan gelombang yang terjadi dari hasil refraksi akan menghasilkan suatu daerah energi gelombang konvergen (memusat) jika mendekati semenanjung atau divergen (menyebar) ketika menemui cekungan (Pariwono 1992). Menurut Sorensen (1991) pada umumnya ada tiga penggolongan gelombang pecah yang ada pada suatu kemiringan pantai, yaitu: spilling, plunging dan surging. Plunging terjadi dikarenakan seluruh puncak gelombang melewati kecepatan gelombang dan umumnya berbentuk swell atau gelombang-gelombang panjang. Spilling merupakan bentuk pecah gelombang dengan muka gelombang sudah pecah sebelum sampai ke pantai, sedangkan gelombang dengan muka gelombang yang belum pecah dan mendekati garis pantai serta sempat mendaki kaki pantai sering disebut surging.

Menurut Sachoemar (2008) kondisi Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim. Pada saat terjadi musim timur, tinggi gelombang air laut mencapai 0,5-1,0 meter dan tinggi gelombang pada musim barat mencapai 2-3 meter.

Kecepatan gelombang rata-rata yang terjadi disekitar Kepulauan Seribu mencapai 1 knot. Pengukuran di Pulau Pramuka tercatat memiliki tinggi rata-rata

gelombang mencapai 69,6-70 cm dengan periode gelombang 2,4-6,3 detik. Karakteristik perambatan gelombang di daerah tubir akan lebih besar

dibandingkan perambatan yang terjadi di daerah dangkal. Peredaman gelombang terjadi ketika gelombang menjalar di daerah rataan karang dangkal.

(5)

2.3. Karakteristik dan Jenis Arus Laut

Arus laut merupakan pergerakan massa air laut secara horizontal atau vertikal sehingga menuju keseimbangannya atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan dunia. Pergerakan arus dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: arah angin, perbedaan tekanan air, perbedaan densitas air, gaya Coriolis dan arus Ekman, topografi dasar laut, arus permukaan, upwelling dan downwelling (Wyrtki 1961). Menurut Gross (1990), Berdasarkan gaya-gaya yang menimbulkannya, arus dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

1. Arus bentukan angin (Wind Driven Current) yang disebabkan oleh gesekan angin.

2. Arus geostropik (Geostropic Curren) yang disebabkan oleh adanya gradien tekanan mendatar dan gaya coriolis

3. Arus termohalin (Thermohaline Current) yang disebabkan oleh adanya perbedaan jenis suhu air laut.

4. Arus pasang surut (Tidal Current) yang disebabkan oleh adanya gaya pembangkit pasang surut.

Metode pengambilan data arus dibagi menjadi dua, yaitu secara langsung (in situ) dan tidak langsung (ex situ). Adapun pengambilan data arus secara langsung terdiri dari metode pengukuran pada titik tetap (Euler) dan metode Langrangiang, yaitu dengan benda hanyut (drifter), kemudian mengikuti gerakan aliran massa air laut. Selain itu, pengukuran arus secara insitu dapat dilakukan dengan sistem mooring, yaitu menempatkan current meter pada kedalaman tertentu dengan dilengkapi acoustic release yang berfungsi untuk melepas rangkaian mooring dan akan mencatat data arus yang akan disimpan ke dalam komputer dalam bentuk data numerik. Pengambilan data arus secara tidak langsung terbagi menjadi dua, yaitu menggunakan satelit altimetri dan model hidrodinamika.

(6)

Menurut Seeber (1993) pengukuran arus menggunakan satelit altimetri sudah berkembang sejak 1975. Informasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi muka laut. Hal ini dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut menggunakan waktu tempuh dari gelombang elektromagnetik yang dikirimkan kepermukaan laut dan dipantulkan kembali ke satelit sehingga menghasilkan data rekaman waktu tempuh gelombang elektromagnetik untuk menentukan lokasi dan kecepatan arus. Pengukuran arus dengan membangun model hidrodinamika adalah dengan mengubah fenomena oseanografi ke dalam persamaan numerik yang bersifat diskret. Kecepatan arus pada daerah Kepulauan Seribu sebesar 5-49 cm/detik ketika pasang purnama dan mencapai 4-38 cm/detik ketika pasang perbani (Sachoemar 2008).

2.4. Ekosistem Terumbu Karang 2.4.1. Karang Terumbu

Karang adalah hewan yang mampu memproduksi kerangka kalsium karbonat dan hampir seluruhnya memiliki zooxanthellae (Spalding et al. 2001). Menurut Nybakken (1992) terumbu karang merupakan suatu bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan secara terus-menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan rangka kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur.

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang mampu membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Ada empat tipe asosiasi

(7)

karang yaitu (1) karang yang bersimbiosis dengan alga (zooxanthellae) dan

menghasilkan terumbu, (2) karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae) tetapi tidak menghasilkan terumbu, (3) karang yang tidak bersimbiosis dengan

zooxanthellae tetapi menghasilkan terumbu, dan (4) karang yang tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae dan tidak menghasilkan terumbu (Veron, 1986). Selain hewan karang yang termasuk kategori bentik terumbu adalah makro benthos (others), berupa kima, ekhinodermata, moluska, spons, makro alga

2.4.2. Ikan Terumbu

Ikan terumbu merupakan organisme yang memiliki peranan penting di ekosistem terumbu karang, sehingga dengan adanya keberadaan ikan terumbu di ekositem terumbu karang menjadikan daerah ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya (Nybakken 1982). Ikan terumbu memanfaatkan ekosistem terumbu karang sebagai daerah mencari makanan, perlindungan dari predator dan lain-lain (Hutomo 1986). Komunitas ikan terumbu tidak terlepas dari faktor fisik yang memengaruhi kelangsungan hidup, yaitu: suhu, cahaya, kedalaman dan gelombang. Keberadaan ikan terumbu di perairan sangat bergantung pada kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persen penutupan terumbu karang hidup. Adapun beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam hal mengkaji komunitas ikan terumbu, yaitu: distribusi ikan terumbu dan struktur komunitas ikan terumbu.

2.4.2.1. Distribusi Ikan Terumbu

Menurut Hutomo (1995) bahwa distribusi harian ikan terumbu dibagi menjadi tiga, yaitu ikan terumbu yang aktif pada saat siang hari (diurnal),

(8)

peralihan siang dan malam (crepuscular) dan saat malam hari (nokturnal). Ikan terumbu sebagian besar di dominasi oleh ikan diurnal (siang hari). Ikan terumbu yang sifatnya diurnal mencari makan dan beraktifitas di daerah permukaan terumbu karang dan memakan plankton yang melewati terumbu karang. Beberapa famili ikan-ikan diurnal, seperti: Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Serranidae, Siganidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Adapun famili yang termasuk dalam ikan nokturnal adalah: Holocentridae, Apogonidae,

Haemulidae, Scorpaenidae, Muraenidae, Serranidae dan beberapa Labridae. Ikan-ikan nokturnal pada siang hari mereka menempati celah-celah karang dan

menetap di daerah gua-gua (Allen dan Steene 1987).

Faktor kedalaman memiliki peran penting dalam distribusi ikan terumbu. Pada umumnya ikan terumbu memiliki kisaran kedalaman yang relatif sempit. Hal ini disebabkan oleh faktor ketersediaan makanan, dinamikagelombang/ombak dan predator. Ikan akan cenderung membuat daerah teritorial yang kaya akan makanan dan menghindari pecahan gelombang dengan menempati daerah yang lebih dalam. Menurut Montgomery et al. (1980) Famili Pomacentridae

merupakan ikan terumbu yang cukup tinggi keanekaragaman spesiesnya. Pola yang cerah dan unik, ukuran yang bervariasi namun pada umumnya berukuran kecil dan jumlah yang sangat melimpah sehingga mudah dikenali. Ikan terumbu ini menempati hampir di setiap bentuk morfologi terumbu karang, sebagian besar ikan ini bersifat teritorial, spasial dan relatif stabil. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 300 spesies dari 22 genus dan sekitar 100 spesies dari 18 genus Famili Pomacentridae mendiami perairan Samudra Hindia.

(9)

Menurut Kuiter (1992) Famili Labridae merupakan ikan terumbu yang dominan ditemukan di ekosistem terumbu karang dengan ukuran yang bervariasi, selain Famili Pomacentridae. Labridae pada umumnya merupakan omnivora, pemakan udang, bintang laut, gastropoda, zooplankton, ikan-ikan kecil dan alga. Mayoritas ikan terumbu ini cenderung menetap pada suatu lokasi atau

mengelompok di suatu bentuk terumbu tertentu seperti genus Cirrhilabrus dan Paracheilinus dan mereka akan membentuk suatu kelompok besar ketika memakan plankton yang berada di sekitar terumbu karang. Banyak dari spesies ikan terumbu ini hidup dengan nyaman pada setiap lokasi terumbu karang. Ikan Famili Labridae ini banyak ditemukan di perairan hangat dengan kedalaman 3 hingga 20 meter (Kuiter 1992).

Famili Chaetodontidae merupakan jenis yang ikan terumbu yang dominan ditemui di ekosistem terumbu karang. Famili Chaetodontidae merupakan ikan terumbu yang dijadikan sebagai indikator kesehatan perairan ekosistem terumbu karang (Adrim et al. 1991). Penyusutan jumlah Famili Chaetodontidae

berbanding lurus dengan kerusakan ekositem terumbu karang. Ikan Famili Chaetodontidae banyak ditemukan pada kedalaman kurang dari 15-20 meter. Ketersediaan makanan juga mempengaruhi distribusi ikan terumbu ini, yaitu: invertebrata kecil, karang lunak, alga, plankton, karang batu dan lainnya.

Pada umumnya ikan-ikan terumbu yang dijadikan konsumsi mendiami lapisan dasar terumbu karang, celah-celah karang dan lebih dominan soliter kecuali Famili Caesionidae dan Siganidae. Famili yang dijadikan target sebagai ikan konsumsi adalah Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Holocentridae,

(10)

Siganidae dan lainnya (Adrim 1993). Ukuran tubuh ikan-ikan target ini biasanya lebih besar dibandingkan ikan-ikan terumbu lainnya.

Distribusi spasial ikan terumbu berhubungan dengan karakteristik habitat dan interaksi di antara ikan-ikan terumbu tersebut. Distribusi spasial beberapa jenis ikan terumbu secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik habitat tertentu. Karakteristik habitat yang paling berperan dalam distribusi ikan terumbu secara berurutan adalah arus dan gelombang, kecerahan, suhu air dan kedalaman. 2.4.2.2. Struktur Komunitas Ikan Terumbu

Keanekaragaman spesies ikan terumbu mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaaan terumbu karang di perairan tersebut. Tingkah laku ikan terumbu baik dari kecenderungan untuk berkelompok, mencari makan, dan bertahan dari serangan predator tidak terlepas dari lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu yang komplek (Hutomo 1995). Faktor yang memengaruhi keberadaan ikan terumbu antara lain: habitat ikan yang terlindung dari angin (leeward) atau tidak terlindung oleh angin (windward) (Nagelkerken 1981), topografi dasar perairan (Amesbury dalam Hutomo 1986) dan penutupan karang hidup atau mati.

Kumpulan ikan terumbu masing-masing memiliki habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies yang terdapat pada lebih dari satu habitat. Pada umumnya tiap spesies ikan terumbu yang mendiami suatu perairan memiliki kesukaan habitat tertentu (Hutomo 1986). Ekosistem terumbu karang tidak hanya berupa terumbu saja, tetapi daerah pasir, teluk dan celah, daerah alga, dan perairan dangkal serta dalam. Habitat yang beranekaragam ini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan terumbu tersebut (Nybakken 1982).

(11)

Menurut English etal. (1994) bahwa ruang merupakan sumber daya terpenting sebagai faktor pembatas utama bagi kelimpahan ikan terumbu di ekositem terumbu karang dibandingkan makanan. Kepemilikan teritorial sangat mempengaruhi penggunaan ruang dan variasi spasial berkaitan erat dengan kerumitan habitat secara topografi. Namun dengan adanya sistem rantai makanan yang terjadi diantara ikan-ikan terumbu dapat mengurangi persaingan ruang di ekosistem terumbu karang (Luckhurst dan Luckhurst 1978). Tipe pemangsaan yang paling umum di ekosistem terumbu karang adalah karnivora, yang berkisar 50-70% dari seluruh spesies ikan terumbu. Ikan herbivora dan koralivora merupakan kelompok ikan terumbu besar kedua yaitu sebesar 15% dari spesies ikan terumbu dengan ikan yang paling dominan adalah Scaridae dan

Acanthuridae. Ikan terumbu yang tergolong sebagai omnivora, zooplankton memiliki persentase sisa dari tipe pemangsa karnivora, herbivora dan koralivora, yaitu ikan famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Monacanthidae (Nybakken 1982). Ikan terumbu yang tergolong herbivora adalah ikan-ikan yang aktif di siang hari dengan postur mulut yang kecil dan berwarna cemerlang dan beberapa jenis pada umumnya membentuk kelopok yang cepat bergerak, sedangkan ikan terumbu yang tergolong karnivora pada umumnya mencari mangsa di malam hari (nokturnal).

2.5. Uji Deskriptif Ekostruktur Ikan Terumbu dan Hidrodinamika Keterkaitan suatu fenomena di alam tidak selamanya dapat dihitung menggunakan perumusan aljabar maupun sistematika. Hal ini memicu para ilmuwan untuk mengembangkan suatu metode untuk mengkaitkan fenomena alam

(12)

yang mengalami perubahan dalam suatu lingkungan dengan mengkaitkan

parameter- parameter yang telah diambil dan di olah secara deskriptif. Fenomena gerak massa air permukaan yang dikaitkan dengan ekostruktur ikan terumbu sebagaimana dikaji dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa perhitungan seperti: indeks kesamaan (Index of Similarity), analisis pengelompokkan (Cluster Analysis) dan analisis koresponden (Correspondence Analysis)

2.5.1. Koefisien Kesamaan (Index of Similarity)

Pengukuran kesamaan merupakan koefisien yang sebagian besar

terdeskripsi, tidak menilai dari beberapa pengukuran statistik. Menurut Krebs (1989) ada dua kelas dalam pengukuran kesamaan yaitu: koefisien kesamaan biner dan koefisien kesamaan kuantitatif. Koefisien kesamaan biner bisa digunakan ketika tersedia data yang bersifat ada-tidak untuk tiap spesies dalam komunitas ikan terumbu dan tepat digunakaan untuk pengukuran skala nominal. Koefisien kesamaan kuantitas dibutuhkan pengukuran kelimpahan relatif dari tiap spesies. Beberapa pengukuran kelimpahana relatif adalah jumlah individu, biomassa, produktivitas dan pengukuran kuantitas spesies yang penting lainnya dalam komunitas.

Menurut Krebs (1989) beberapa perhitungan yang berbeda yang termasuk kedalam koefisien kesamaan biner dan kuantitas. Pada Tabel 1. ditunjukkan perbedaan perhitungan dan rumus serta kriteria pemakaian koefisien tersebut.

(13)

Tabel 1. Kriteria Pemakaian Koefisien Kesamaan Biner dan Kuantitas (Krebs 1989)

Kelas Koefisien Rumus Kriteria

B in ar i Coefficient of Jaccard S

Koefisien ini digunakan untuk mencocokkan berat dalam komposisi spesies antara dua sampel yang berbeda

Coefficient of

Sorensen S

Koefisien ini digunakan ketika tidak ada dalam sampel tetapi ada dalam komunitas yang sama Simple Matching

Coefficient S

Koefisien sederhana untuk data biner menggunakan data negatif maupun positif Baroni-Urbani and Buser Coefficient S √ √

Koefisien kompleks untuk data biner yang

menggunakan nilai negatif

K uan tit at if (K oe fisi en Jar ak ) Jarak Euclidean ∆ = ∑( ij − ik)

Koefisien ini digunakan pada jumlah kelas dari fungsi matriks untuk mengukur panjang Indeks Bray-Curtis = ∑( ij + ik)∑| ij − ik| Measure of Similarity: 1,0 −

Digunakan ketika spesies tidak ada di dalam kedua atau lebih sampel

komunitas dan

kelimpahan didominasi oleh satu/beberapa spesies

Indeks Canberra

=1 | ij − ik|ij + ik Measure of Similarity:

1,0 −

Hampir sama dengan Bray-Curtis namun tidak berpengaruh besar dengan penggunaan data

(14)

2.5.2. Analisis Pengelompokkan (Cluster Analysis)

Analisis pengelompokkan (clustering) merupakan teknik matematis untuk mengelompokkan sejumlah sampel yang memiliki indeks pengukuran kesamaan satu dengan yang lainnya. Menurut Krebs (1989) ada beberapa klasifikasi dalam metode pengelompokkan: Hirarki , aglomerasi, monotetik atau politetik, kualitatif atau kuantitatif.

Single Linkage Clustering merupakan teknik pengelompokkan yang sederhana dengan bentuk analisis pengelompokkan berupa hirarki. Teknik ini sering disebut metode data terdekat. Complete Linkage Clustering sering disebut metode data terjauh. Konsep teknik ini berlawanan dengan Single Linkage Clustering, meskipun proses kerja yang dilakukan secara umum sama kecuali definisi kesamaannya.

Average Linkage Clustering merupakan teknik yang sangat mudah

dikembangkan untuk menghindari kesulitan dalam menggunakan Single Linkage Clustering dan Complete Linkage Clustering. Secara keseluruhan Average Linkage Clustering menggunakan komputerisasi tiap proses pengelompokkan/ clustering. Komputer meratakan kesamaan diantara sampel dan

mengelompokkannya. Strategi pengelompokkan yang sering digunakan pada Average Linkage Clustering sering disebut Underweighted Pair-Group Method using aritmethic Average (UPGMA).

2.5.3. Analisis Koresponden (Correspondence Analysis)

Analisis koresponden (correspondence analysis) merupakan metode yang dapat mendeskripsikan berbagai tipe data yang berbeda, dependensi dan

(15)

dan stasiun). Menurut Bengen (2000) tujuan utama penggunaan analisis faktorial koresponden adalah untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter/variabel pada tabel/matriks data. Bentuk data yang digunakan pada analisis koresponden memiliki dua tipe matriks, yaitu: pertama, matriks

kontingensi yang mempertemukan n baris dan p kolom, pada baris ke-i dan kolom ke-j berisi nilai n (i,j) yang merupakan jumlah individu yang memiliki secara bersama karakter i dan j. Kedua, matriks logik/ disjungtif lengkap yang

mempertemukan/ menyilangkan baris i dan kolom j (bernilai 1 dan 0) berdasarkan terjadi atau tidaknya fenomena pada baris i dan kolom j.

Gambar

Tabel 1. Kriteria Pemakaian Koefisien Kesamaan Biner dan Kuantitas (Krebs 1989)

Referensi

Dokumen terkait

(b) Vena pulmonari mengangkut darah beroksigen dari peparu ke jantung, manakala aorta mengangkut daarah beroksigen dari jantung ke semua bahagian bada, kecuali peparu..

mimbar dan memberi denda kepada mereka.Kemudian beliau naik ke mimbar lagi dan berpidato, kemudian bertanya, „Apakah kalian telah rida?‟Jawab mereka, „Ya‟.(HR.

Kajian upaya peningkatan daya saing peternak kambing saburai skala kecil bertujuan untuk (1) mengetahui potensi sumber daya peternak kambing skala kecil dan (2)

Serat batang pisang merupakan jenis serat yang berkualitas baik,.. dan merupakan salah satu bahan alternatif yang dapat

Terlihat dari gambar di atas dengan input sinyal data (digital) dan sinyal pembawa (carrier) terjadi sinyal termodulasi pada output balanced modulator, pada gambar

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Febrianti dan Riharjo (2013) yang menyatakan bahwa ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif dan signifikan

Dari hasil pendampingan selama sebulan yang telah penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan masalah yang dialami oleh Keluarga Dampingan Anak Agung Istri

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan bermain disentra balok dapat meningkatkan kemampuan visual spasial anak