• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENERIMAAN MANFAAT TERHADAP JASA ASURANSI JIWA (Studi Kasus : BRIngin Life)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENERIMAAN MANFAAT TERHADAP JASA ASURANSI JIWA (Studi Kasus : BRIngin Life)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS

PENERIMAAN MANFAAT TERHADAP JASA

ASURANSI JIWA

(Studi Kasus : BRIngin Life)

Rizki Imani Syafaat

Universitas Bina Nusantara

Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan – Jakarta Barat 11480 0818124913

rizkiimani@yahoo.com

ABSTRACT

Research purposes, is to know how the tax treatment of the receipt of the life insurance benefits. Provisions relating to the treatment of the life insurance benefit is Law No. 36 of 2008 on the fourth amendment to Act No. 7 of 1983 on Income Tax, which states that the payment of life insurance is excluding tax or not taxable, but according to the letter Director General of Taxation Circular No. SE-09/PJ.42/1997 stated that the payment of life insurance in the form of benefits is taxable. The method used is descriptive qualitative analysis approach. The conclusion is the application of the provisions in the Circular of the Director General of Taxation Number SE-09/PJ.42/1997 experienced problems due to the lack of technical guidance implementation, the lack of a clear administrative means, the contents of the provisions of the circular is not in tune with that adopted by article 4 paragraph (3) letter (e) of Income Tax Act, the implementation of the implementation of the tax deduction is not in accordance with the principle of taxation fairness, neutrality, and the certainty and clarity are not clear about the life insurance tax deduction.(RIS) Keywords: Taxation, Revenue Benefits, Life Insurance Services

(2)

ABSTRAK

Tujuan penelitian, ialah untuk mengetahui bagaimana perlakuan perpajakan atas penerimaan manfaat terhadap jasa asuransi jiwa. Ketentuan yang menyangkut terhadap perlakuan manfaat terhadap asuransi jiwa adalah Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk objek pajak atau tidak dikenakan pajak, namun menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi jiwa yang berupa manfaat tabungan dikenakan pajak. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Kesimpulan yang didapat adalah penerapan didalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 mengalami kendala yang dikarenakan tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaannya, tidak adanya sarana administrasi yang jelas, isi dari ketentuan surat edaran tidak selaras dengan yang dianut oleh pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Pajak Penghasilan, pelaksanaan pelaksanaan pemotongan pajaknya tidaklah sesuai dengan prinsip pemungutan pajak yaitu keadilan, netralitas, dan kepastian dan tidak terdapat kejelasan yang jelas mengenai pemotongan pajak asuransi jiwa.

(3)

PENDAHULUAN

Dahulu manusia hanya terpaku kepada tiga kebutuhan saja, yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi seiring berkembangnya zaman, kini manusia tidak hanya ingin memenuhi ketiga kebutuhan tesebut, melainkan semua kebutuhan yang lain yang ingin mereka penuhi.

Seperti halnya untuk kebutuhan yang belum pasti di masa mendatang manusia sudah terlebih dahulu ingin memenuhinya mulai dari sekarang, sebagai contohnya kebutuhan di hari tua maka manusia sudah menyiapkan dana pensiun untuk kelak di masa yang akan datang, dan juga anak-anak mereka yang belum sekolah pun sudah disiapkan dananya mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal tersebut menjadi semakin kompleks karena manusia ingin agar semua kebutuhan mereka dapat tercukupi. Untuk memenuhi kebutuhan yang belum pasti di masa yang akan datang tersebut maka sebagian manusia memerlukan asuransi. Karena asuransi merupakan salah satu buah peradaban manusia dan merupakan suatu hasil evaluasi kebutuhan manusia yang sangat hakiki, yaitu kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi.

Salah satu jenis asuransi yang menunjukkan perkembangan dalam beberapa tahun ini adalah jenis asuransi jiwa, dimana produk-produk yang dihasilkan sangat bervariasi dalam hal manfaatnya. Diharapkan asuransi jiwa tidak hanya menimbulkan satu jenis manfaat saja, yaitu manfaat atas perlindungan atau proteksi seseorang tetapi diharapkan produk asuransi juga bisa memberikan perlindungan dan juga sebagai sekaligus instrumen investasi.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan perkembangan kebutuhan masyrakat terhadap asuransi, produk asuransi yang hanya berfokus terhadap hidup dan meninggalnya seseorang sudahlah tidak menarik. Dan karena tuntutan inilah para pelaku bisnis perusahaan asuransi mencoba agar produknya diminati masyarakat luas, akhirnya muncullah variasi-variasi produk asuransi jiwa yang berkembang, yaitu memasukkan unsur tabungan dan unsur investasi dalam produknya yang membuat si tertanggung tidak hanya dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya saja tapi juga dapat menikmati bagian hasil dari jumlah premi yang dibayarkan. Produk asuransi jiwa yang memuat unsur tabungan dan unsur investasi kedalam produk asuransi jiwa yang ditawarkan kepada masyarakat tetapi dalam produk tersebut memegang aturan yang ditetapkan perundang-undangan perasuransian yaitu adanya asuransi jiwa.

Rumusan masalah yang diajukan dalam penulisan ini Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas penerimaan manfaat asuransi jiwa di Perusahaan Bringinlife sudah sesuai dengan UU PPh, dan apakah kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penerimaan manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 telah sesuai dengan mekanisme yang dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan itu sendiri dan telah sesuai dengan prinsip keadilan, kepastian dan netralitas pajak.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data ini didalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis, yaitu mendeskriptifkan data-data yang telah terkumpul dan menganalisisnya. Deskriptif analisis ini meliputi analisis teoritis dan empiris, yaitu sebagai berikut : Pertama adalah analisis teoritis, yaitu dengan menganalisis peraturan-peraturan perpajakan tentang pajak penghasilan atas penerimaan manfaat asuransi dan menganalisis konsep-konsep yang didefinisikan dalam kebijakan perpajakan. Lalu yang kedua adalah analisis empiris, yaitu dengan menganalisis

(4)

tulisan-tulisan para ahli tentang produk asuransi jiwa yang berkaitan dengan unsur tabungan dan investasi maupun kasus-kasus perpajakan yang terkait pembayaran manfaat asuransi jiwa.

Jenis data yang digunakan didalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik sebagai berikut : Riset kepustakaan, merupakan data-data yang dikumpulkan dari buku-buku maupun literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Riset lapangan, mengadakan penelitian langsung ke perusahaan yang menjadi lokasi penelitian.

HASIL DAN BAHASAN

Kebijakan tentang pajak penghasilan yang dikenakan terhadap manfaat asuransi jiwa sebenarnya telah diatur dan ditulis jelas dalam pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa: “Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa bukan merupakan sebagai objek pajak”. Dan didalam undang-undang ini sudah tampak jelas jenis-jenis asuransi mana saja yang dapat dijadikan sebagai objek pajak.

Pada saat pembayaran premi asuransi dilakukan oleh orang pribadi dan premi yang dibayarkan sepenuhnya ditanggung oleh orang pribadi tersebut, atas premi asuransi sebagai biaya pengenaan pajak penghasilan atas premi asuransi yang dibayarkan orang pribadi tersebut tercermin dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyebutkan bahwa “Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa bukan merupakan objek pajak. Apabila dikemudian hari orang pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka orang pribadi tersebut tidak lagi dikenakan pajak penghasilan (PPh)”.

Selain itu, ketentuan tersebut bagi perusahaan asuransi dapat dijadikan sebagai nilai tambah dan keuntungan untuk menjual produk-produk mereka kepada para masyarakat. Hal tersebut juga selaras dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yaitu bahwa “Premi asuransi yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak”.

Dalam pasal tersebut sudah jelas terlihat bahwa premi asuransi telah dikenakan pajak, yaitu tidak diperkenankannya premi asuransi sebagai biaya, sehingga premi asuransi tersebut telah masuk dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dan dikenakan tarif progresif. Apabila dikemudian hari orang pribadi tersebut menerima santunan asuransi, maka orang pribadi tersebut tidak lagi dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Hal ini juga telah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Oleh untuk itu, menurut penulis kebijakan perpajakan tersebut dalam Pasal 4 ayat (3) huruf (e) UU Pajak Penghasilan (PPh) sudah tepat dan sesuai, karena sesuai dan selaras dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) UU Pajak Penghasilan (PPh).

(5)

Pada pelaksanaan di lapangan, perlakuan Pajak Penghasilan terhadap manfaat asuransi jiwa telah diatur lebih lanjut dalan ketentuan pelaksanaannya berupa Edaran Direktur Jenderal Pajak, yaitu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa “Pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang, maka selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan, diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga tabungan atau bunga deposito”.

Jika dilihat dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 tersebut, ini berarti pembayaran manfaat asuransi jiwa dikenakan pajak bersifat final, yang pada saat ini tarifnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yaitu pajak final sebesar dua puluh persen (20%).

Apabila dilakukan perbandingan antara Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang menyatakan bahwa pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa tidak termasuk objek pajak dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang menyatakan bahwa pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan, apabila pembayaran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun atau kurang, maka selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan, diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga tanggungan atau bunga deposito.

Terlihat dari perbandingan antara dua (2) ketentuan perpajakan tersebut diatas akan terlihat penerapan yang berlawanan, dimana Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang- Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi bukan merupakan objek pajak yang artinya tidak dikenakan pajak, sedangkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 menyatakan bahwa pembayaran manfaat asuransi jiwa berupa manfaat tabungan dikenakan pajak bersifat final.

Salah satu faktor yang penting agar pemotongan pajak dapat terlaksana dengan baik adalah tanpa adanya hambatan, yaitu harus bersifat sederhana dan jelas. Terdapat adanya keterbatasan ketentuan yang terdapat di dalam keputusan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 hanyalah berisi ketentuan mengenai objek apa saja yang terkena pajak penghasilan tetapi tidak ada kejelasan mengenai teknis pelaksanaannya.

Sebagai akibat dari ketidakjelasan teknis pelaksanaan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-09/PJ.42/1997 sehingga menimbulkan kebingungan, hal ini dapat terlihat pada saat menentukan jenis pemotongan pajak atas manfaat asuransi jiwa yang dibayarkan kepada orang pribadi maka dalam pelaksanaan pemotongan pajaknya tidak dapat diseragamkan jenis pemotongan pajaknya.

Didalam perkembangannya terdapat beberapa pendapat dalam menentukan jenis pemotongan pajaknya. Ada yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk

(6)

kedalam PPh Pasal 21 Final dengan alasan bahwa si penerima manfaat asuransi jiwa adalah orang pribadi. Adapula yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk kedalam PPh Pasal 23 Final dengan alasan bahwa ketentuan dari Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut menetapkan pembayaran manfaat asuransi jiwa tersebut dipersamakan dengan bunga deposito dan bunga tabungan. Dan juga adapula yang berpendapat bahwa pemotongan tersebut masuk ke PPh final Pasal 4 ayat (2) karena sifat pemotongnya yang bersifat final. Sebaiknya dalam ketentuan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 dijelaskan jenis pemotongan pajaknya yang sesuai ketentuan di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tersebut yang mempersamakan dengan pajak final bunga deposito dan juga bunga tabungan.

Tidak adanya sarana administrasi yang jelas dan pasti untuk melakukan pemotongan dan pelaporan hutang pajaknya menjadi keterbatasan lain di dalam pelaksanaan pemotongan pajak penghasilan atas pembayaran manfaat asuransi jiwa. Seperti Bukti Pemotongan PPh Final dan Surat Pemberitahuan, maka dalam pelaksanaannya masing-masing perusahaan asuransi jiwa menggunakan Bukti Pemotongan dan Surat Pemberitahuan yang ada, tetapi berbeda-beda jenis pemotongannya. Formulir bukti pemotongan pajak maupun surat pemberitahuan untuk melaporkan pajak terutang yang telah ada belum mengakomodasi jenis pemotongan pajak yang dimaksud didalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yaitu manfaat asuransi jiwa. Berikut ini adalah bentuk formulir pajak penghasilan final.

Dilihat dalam ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan terhadap jangka waktu penutupan asuransi, yaitu jika penutupan asuransi jiwa yang mengandung unsur tabungan yang pembayran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang maka pembayaran manfaat asuransi jiwanya yang tersebut dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang maka pembayaaran manfaat asuransi jiwanya akan dikenakan pajak final seperti bunga tabungan atau deposito. Sedangkan apabila penutupan asuransinya yang mengandung unsur tabungan yang pembayaran manfaat tabungannya dilakukan dalam jangka waktu lebih dari tiga (3) tahun, maka menurut surat edaran tersebut tidak dikenakan pajak. Yang apabila tidak dikenakan pajak, berarti maka sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.

Kemudian didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 memperlihatkan bahwa perlakuan pajak penghasilan terhadap manfaat asuransi jiwa tidak memperlihatkan ketidaknetralitasan suatu aturan perpajakan. Berdasar prinsip asas kenetralitasan mengatakan bahwa pajak haruslah terbebas dari distorsi, baik distorsi produksi, distorsi konsumsi, dan distorsi faktor-faktor lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak boleh mempengaruhi pilihan para masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak mempengaruhi pilihan-pilihan para produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 dibuat dan ditetapkan untuk memotong pajak penghasilan atas manfaat asuransi jiwa berupa manfaat tabungan tidak sesuai dengan prinsip kepastian dalam pemungutan pajaknya, karena tidak mempunyai kepastian hukum yang melandasinya. Selain itu Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997

(7)

tidak mempunyai kepastian mengenai objek pajak yang dimaksud ketentuan ini, sebenarnya manfaat asuransi jiwa yang diterima oleh pemegang polis adalah murni merupakan penggantian atau santunan atas terjadinya resiko yang dialami oleh pemegang polis yang telah tertulis dan dinyatakan dalam suatu perjanjian polis. Sehingga pengertian penggantian atau santunan tidak sama dengan penghasilan atau bunga tabungan.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan yang telah disajikan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, yang pertama adalah Pengenaan Pajak penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf (e) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 36 Tahun Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah sesuai. Yang kedua adalah Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 isinya tidak saling mendukung dengan mekanisme yang dianut oleh Undang-undang itu sendiri. Yang ketiga adalah Kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu Pajak Penghasilan atas manfaat asuransi jiwa hanya dikenakan pada pembayaran yang dilakukan dalam jangka waktu tiga (3) tahun atau kurang. Lalu bertentangan dengan prinsip netralitas, yaitu masyarakat disudutkan pada pilihan produk asuransi yang berjangka waktu lebih dari tiga (3) tahun. Dan juga tidak sesuai dengan prinsip kepastian dikarenakan tidak mempunyai atau tidak dilandasi dengan undang-undang atau peraturan yang tingkat derajatnya diatasnya, tidak mempunyai kepastian tentang objek pajaknya, dan tidak mempunyai kepastian tentang cara pemungutan atau pemotongan pajak. Dan yang keempat adalah Tidak terdapat kejelasan yang jelas mengenai pemotongan pajak asuransi jiwa, apakah pemotongan tersebut masuk kedalam PPh 21, PPh 23 atau PPh Final Pasal 4 ayat 2.

Berdasarkan kesimpulan diatas, memberikan beberapa saran terkait sebagai berikut: Pembayaran atas manfaat asuransi jiwa yang mengandung unsur tabungan dan jangka waktu pembayaran dalam waktu tiga (3) tahun atau kurang dari tiga (3) tahun sebaiknya tidak dikenakan pajak. Karena sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf (e) undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Sesuai dengan nomor satu (1) diatas, dimana disebutkan bahwa suatu ketentuan bertentangan dengan ketentuan lain yang kedudukannya lebih tinggi. Sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan itu sendiri. Dan penulis mengusulkan agar SE tersebut dapat ditinjau ulang karena bersifat tidak konsisten dan bertolakbelakang. Disarankan kepada Direktorat Jenderal Pajak agar dalam membuat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/1997 tanggal 23 Juli 1997 yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari suatu Undang-undang Pajak Penghasilan agar konsisten dan tidak bertolak-belakang, serta menganut prinsip-prinsip dalam pemungutan pajak, yaitu prinsip keadilan, kepastian, dan kenetralan. Agar diberikan petunjuk atau ketentuan yang jelas terhadap teknis pemotongan pajak atas manfaat asuransi jiwa itu sendiri.

(8)

REFERENSI

Djoko Muljono. (2007). PPH dan PPN untuk berbagai kegiatan usaha (Revisi 2007). Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Djoko Muljono. (2010). Hukum Pajak Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

H. Bohari, S.H., M.S. (2012). Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : Rajawali Pers.

H. Noor Fuad, Dr. M.Sc.,Ph.D., FLMI, AIAF, AAIJ,QIP & H. Kasir Iskandar, MBA, M.Sc., FSAI, AAIJ, QIP & Drs. Ketut Sendra, SH, MM, AAIJ, CLU, QIP & Dr. Faustinus Wirasadi, FLMI, FIIS, AAIJ, QIP. (2010). Dasar-dasar Asuransi Jiwa

dan Asuransi Kesehatan. Jakarta : Bidang Penelitian dan Pengembangan, Asosisasi

Ahli Manajemen Asuransi Indonesia. http://www.scribd.com/doc/30880145/dasar-dasar-asuransi-jiwa-dan asuransi-kesehatan

Herman Darmawi, Drs. (2004). Manajemen Asuransi. Jakarta : Bumi Aksara.

Nisrina Muthohari. (2012). Panduan Praktis Membeli dan Menjual Asuransi. Jakarta : BukuPintar.

Safri Ayat, Drs. AAIK (HC). (2012). Pengantar Asuransi, Prinsip-prinsip dan Praktek

Asuransi. Jakarta : Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi (STMA) Trisakti.

RIWAYAT PENULIS

Rizki Imani Syafaat, lahir di Jakarta, 5 September 1991. Penulis menamatkan Pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara, Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi

Referensi

Dokumen terkait

Untuk lebih menegaskan bahwa jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Ketepatan (akurasi) passing adalah kemampuan dalam menempatkan atau mengoper bola ke sasaran sesuai dengan tujuan (Soedjono 1983). Passing yang baik dan benar sangat

Model ini memiliki langkah-langkah pengembangan yang sesuai dengan penelitian pengembangan yaitu penelitian yang menghasilkan produk tertentu dengan melakukan uji

[r]

penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana guna Adapun tugas Asisten Intelijen yaitu :.. mendukung penegakan hukum baik preventif maupun represif di bidang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel komunikasi atasan bawahan, hubungan interpersonal dan kepuasan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja

Penggunaan telur dalam pembuatan kue kering hanya dibutuhkan bagian kuningnya saja karena kuning telur membuat kue kering lebih renyah, empuk dan menambah warna pada kue kering,

Sebuah laporan untuk manajemen yang menunjukkan harga pokok barang yang dibuat selama periode tersebut; persediaa awal barang dalam proses ditambah biaya pembuatan