• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Efikasi Diri dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ners dalam Proses Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi di Fakultas Keperawatan USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Efikasi Diri dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ners dalam Proses Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi di Fakultas Keperawatan USU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Efikasi Diri

2.1.1Pengertian Efikasi Diri

Efikasi merupakan suatu penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan

yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai

dengan yang dipersyaratkan. Efikasi berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena

cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai),

sedangkan efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri (Bandura 1986

dalam Alwilsol, 2009).

Efikasi diri didefinisikan sebagai pertimbangan seseorang tentang

kemampuan dirinya untuk mencapai tingkatan kinerja yang diinginkan atau

ditentukan, yang akan mempengaruhi tindakan selanjutnya (Bandura, 1997).

Dengan demikian, efikasi diri adalah pendapat seseorang mengenai

kemampuannya dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Efikasi diri

merefleksikan seberapa yakinnya seseorang tentang kemampuannya melakukan

suatu tugas tertentu dan akan berusaha untuk mencapainya.

2.1.2Perkembangan Efikasi Diri

Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi diri berkembang secara teratur

sesuai tumbuh kembang, usia, pengalaman dan perluasan lingkungan. Bayi mulai

mengembangkan efikasi dirinya sebagai usaha untuk melatih pengaruh

lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai

kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial dan kecakapan berbahasa

(2)

perkembangan efikasi diri dipusatkan pada orang tua kemudian dipengaruhi oleh

saudara kandung, teman sebaya dan orang dewasa lainnya.

Pada usia sekolah, proses pembentukan efikasi diri secara kognitif terbentuk

dan berkembang termasuk pengetahuan, kemampuan berpikir, kompetisi dan

interaksi sosial baik sesama teman maupun guru. Pada usia remaja, efikasi diri

berkembang dari berbagai pengalaman hidup, kemandirian mulai terbentuk dan

individu belajar bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Pada usia dewasa,

efikasi diri meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan, menjadi orang tua,

dan pekerjaan. Sedangkan pada masa lanjut usia, efikasi diri berfokus pada

penerimaan dan penolakan terhadap kemampuannya, seiring dengan penurunan

kondisi fisik dan intelektualnya.

2.1.3Proses Pembentukan Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) efikasi diri terbentuk melalui empat proses, yaitu:

kognitif, motivasi, afektif dan seleksi yang berlangsung sepanjang kehidupan.

Pertama, kognitif merupakan kemampuan untuk memikirkan cara-cara yang

digunakan, dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan

yang diharapkan. Salah satu fungsi berpikir adalah untuk memprediksi kejadian

sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Semakin efektif kemampuan

seseorang dalam analisis berpikir dan dalam berlatih, maka akan mendukung

seseorang bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Proses selanjutnya dalam pembentukan efikasi diri adalah motivasi. Motivasi

yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diri melalui pikirannya untuk

(3)

diharapkan. Motivasi tumbuh dari pemikiran yang optimis dari dalam diri individu

untuk mewujudkan tindakan yang diharapkan. Tiap-tiap individu berusaha

memotivasi diriya dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan

dilakukan, mengantisipasi pikiran sebagai latihan untuk mencapai tujuan, dan

merencanakan tindakan yang akan dilaksanakannya. Motivasi dalam efikasi diri

digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan.

Proses yang ketiga adalah afektif. Afektif merupakan kemampuan individu

untuk mengatasi perasaan emosi yang ditimbulkan dari diri sendiri untuk

mencapai tujuan yang diharapkan. Afektif berperan pada pengaturan diri individu

terhadap pengaruh emosi. Afektif terjadi secara alami dalam diri individu dengan

mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang

besar untuk mencapai tujuan.

Proses keempat dalam pembentukan efikasi diri adalah seleksi. Seleksi

adalah kemampuan individu untuk melakukan pertimbangan secara matang dalam

memilih perilaku dan lingkungannya. Individu akan menghindari aktivitas dan

situasi yang diyakini melebihi kemampuan yang mereka miliki, tetapi mereka siap

melakukan ativitas menantang dan situasi yang mereka rasa mampu untuk

mengendalikannya.

2.1.4Sumber Efikasi Diri

Menurut Bandura (1977), ada empat sumber penting yang digunakan

individu dalam membentuk efikasi diri yakni, pertama mastery experience

(pengalaman keberhasilan). Keberhasilan yang didapatkan akan meningkatkan

(4)

efikasi dirinya. Apabila keberhasilan yang dicapai oleh individu tersebut berasal

dari faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya, biasanya kurang atau bahkan

tidak membawa pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Akan tetapi, apabila

keberhasilan itu didapat melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil

perjuangan sendiri maka hal itu akan membawa pengaruh terhadap peningkatan

efikasi diri.

Kedua, vicarious experience atau modeling (meniru) pengalaman

keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam

mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan efikasi diri seseorang

dalam mengerjakan tugas yang sama. Efikasi tersebut didapat melalui sosial

model yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang

kemampuan dirinya sehingga melakukan modeling. Namun efikasi diri yang

didapat tidak akan berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki

kemiripan atau berbeda dengan model.

Ketiga, social persuassion, yaitu informasi tentang kemampuan yang

disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh. Biasanya seseorang

yang berpengaruh tersebut digunakan untuk menyakinkan seseorang bahwa ia

cukup mampu melakukan tugas.

Keempat, physiological and emotion state yaitu kecemasan dan stres yang

terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu

kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan

dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegahan dan tidak merasakan adanya

(5)

oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan sebaliknya efikasi diri yang rendah

ditandai pula dengan tingginya tingkat stres dan kecemasan (Bandura, 1997).

2.1.5Dimensi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997 dalam Sulistiyawati, 2010) terdapat tiga dimensi dari

efikasi diri pada diri manusia, yaitu: Pertama, dimensi tingkat (level) merupakan

dimensi yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa

mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang

disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri individu mungkin akan

terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas

yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk

memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat.

Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang dirasa

mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas

kemampuan yang di rasakannya.

Kedua, dimensi kekuatan (strength) merupakan dimensi yang berkaitan

dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai

kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh

pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap

mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin

ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan

langsung dengan dimensi level, yaitu makin tiggi level taraf kesulitan tugas,

(6)

Ketiga, dimensi generalisasi (generality) merupakan dimensi yang berkaitan

dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan

kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya,

apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkain

aktivitas dan situasi yang bervariasi.

2.1.6Mekanisme Efikasi Diri

Menurut teori kognitif sosial Bandura (1997), setiap individu memiliki sistem

diri yang memungkinkan mereka melakukan langkah pengawasan atas pikiran,

perasaan, motivasi, dan aktivitas mereka sendiri. Sistem ini memberikan

mekanisme referensi dan susunan subfungsi untuk merasa, mengatur, dan

mengevaluasi perilaku, sebagai hasil dari saling keterikatan antara sistem dan

sumber-sumber lingkungan pengaruh tersebut. Hal ini memberikan sebuah fungsi

pengaturan diri dengan memberikan kemampuan mempengaruhi proses kognitif

dan aksi kepada setiap idividu, dan kemudian merubah lingkungannya.

Melalui proses refleksi diri, seseorang mampu mengevaluasi pengalaman dan

proses berpikirnya. Menurut pandangan ini, apa yang manusia tahu, kemampuan

apa yang mereka miliki, atau apa yang telah mereka capai tidak selalu menjadi

prediktor untuk pencapaian-pencapaian berikutnya. Hal tersebut karena

kepercayaan yang mereka pegang mempengaruhi secara luas cara bertindak

mereka. Akhirnya perilaku seseorang di mediasi oleh kepercayaan tentang

kemampuan mereka dan sering kali dapat diprediksi dengan usaha ini. Hal ini

tidak berarti seseorang dapat menyelesaikan tugas diluar kemampuannya

(7)

seseorang membutuhkan keserasian antara kepercayaan diri pada satu sisi, dan

kemampuan serta pengetahuan di sisi lain. Sehingga, efikasi diri menjadi faktor

penting pada tahap pertama bagaimana pengetahuan dan kemampuan yang baik

dibutuhkan (Bandura, 1997).

2.1.7Fungsi Efikasi Diri

Teori efikasi diri menyatakan bahwa persepsi mengenai kemampuam

seseorang mempengaruhi pikiran, motivasi dan tindakannya. Bandura (1997)

menjelaskan ketika perasaan efikasi telah terbentuk, maka akan sulit untuk

berubah. Kepercayaan menngenai efikasi diri merupakan penentu yang kuat

dalam tingkah laku.

Efikasi diri memiliki beberapa fungsi. Fungsi pertama yaitu untuk

menentukan pemilihan tingkah laku. Orang cenderung akan melakukan tugas

tertentu dimana ia merasa memiliki kemampuan yang baik untuk

menyelesaikannya. Jika seseorang memiliki keyakinan diri yang besar bahwa ia

mampu mengerjakan tugas tertentu, maka ia akan lebih memilih mengerjakan

tugas tersebut daripada mengerjakan tugas yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa

efikasi diri juga menjadi pendorong timbulnya suatu tingkah laku. Fungsi kedua

adalah sebagai penentu besarnya usaha dan daya tahan dalam menghadapai

hambatan, atau pengalaman aversif, efikasi diri menentukan berapa lama

seseorang dapat bertahan dalam mengatasi hambatan dan situasi yang kurang

menyenangkan. Efikasi diri yang tinggi akan menurunkan kecemasan yang

(8)

Orang yang memiliki efikasi diri tinggi cenderung akan melakukan usaha yang

lebih keras daripada individu dengan tingkat efikasi diri yang rendah.

Fungsi yang ketiga adalah mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional.

Efikasi diri mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional individu, baik dalam

situasi saat ini maupun dalam mengantisipasi situasi yang akan datang. Individu

dengan efikasi diri yang rendah selalu menganggap diri mereka kurang mampu

menangani situasi yang dihadapinya. Dalam mengantisipasi keadaan, mereka juga

cenderung mempersepsikan masalah-masalah yang akan timbul jauh lebih berat

daripada kenyataan. Bandura menyatakan bahwa efikasi diri yang dipersepsikan

membentuk cara berfikir kausal. Dalam mencari pemecahan masalah yang rumit,

individu dengan efikasi diri yang tinggi akan mempersepsikan dirinya sebagai

orang yang berkompetensi tinggi. Hal ini terjadi karena ia merasa tertantang jika

dihadapkan pada tugas-tugas dengan derajat kesulitan dan resiko yang tinggi.

Sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang rendah akan menganggap dirinya

tidak mampu atau kompeten dan menganggap kegagalan akibat dari

kemampuannya. Individu seperti ini akan lebih sering merasa pesimis terhadap

hasil yang akan diperoleh, mudah mengalami stress dan mudah putus asa.

Fungsi keempat yaitu sebagai peramal tingkah laku selanjutnya. Individu

dengan efikasi diri yang tinggi memiliki minat dan keterlibatan yang tinggi dan

lebih baik dengan lingkungan. Sebaliknya individu dengan efikasi diri yang

rendah cenderung pemalu dan kurang terlibat dalam tugas yang dihadapi. Selain

itu mereka lebih bnayak pasrah dalam menerima hasil dan situasi yang dihadapi

(9)

2.2 Prestasi Belajar

2.2.1Pengertian Belajar

Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh

suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003).

Menurut W.S Winkel (2000 dalam Yatim Riyanto, 2009) belajar adalah suatu

aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan

yang mengahasilkan perubahan-perubahan dan pengetahuan pemahaman

keterampilan nilai dan sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan

berbekas. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa belajar merupakan

suatu atau seluruh kegiatan yang berproses serta berinteraksi terhadap pengalaman

diri atau bahkan lingkungan untuk dapat menghasilkan suatu perubahan. Belajar

merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis

dan jenjang pendidikan. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu

amat bergantung pada proses belajar

2.2.2Pengertian Prestasi Belajar

Menurut Winkel (2000), prestasi belajar merupakan hasil suatu penilaian

dibidang pengetahuan, keterampilan dan sikap sebagai hasil belajar yang

dinyatakan dalam bentuk nilai. Winkel (2000) juga mengemukakan bahwa

prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang

setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Berdasarkan uraian tersebut dapat

(10)

dinilai dari apa yang sudah dikerjakan atau apa yang sudah diusahakan dalam

aktivitas belajar dalam bentuk nilai.

2.2.3Faktor-Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Belajar bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri, menurut H.C.

Witherington dan Lee J Cronbach Bapemsi (dalam Mustaqim, 2004), kondisi

yang mempengaruhi prestasi belajar individu yaitu pertama, keadaan fisik yakni

kekurangan gizi biasanya mempunyai pengaruh terhadap keadaan jasmani, mudah

mengantuk, lekas lelah, lesu dan sejenisnya. Selain kadar makanan juga

pengaturan waktu istirahat yang tidak baik dan kurang, biasanya tidak

menguntungkan. Akibat lebih jauh adalah daya tahan badan menurun, yang berarti

memberi daerah kemungkinan lebih luas lagi berbagai jenis macam penyakit

seperti influenza, batuk, gangguan pencernaan, dan lainnya. Badan yang kurang

sehat sudah cukup menganggu aktivitas belajar, apabila sampai jatuh sakit maka

dapat dikatakan kegiatan belajar individu berhenti.

Faktor berikutnya yang mempengaruhi prestasi belajar adalah keadaan psikis

yakni proses belajar banyak berhubungan dengan aktivitas jiwa dengan kata lain

faktor-faktor psikis memiliki peran yang sangat menentukan di dalam belajar.

Faktor-faktor tersebut yaitu: a) Perhatian yaitu pemusatan tenaga psikis tertuju

pada suatu obyek atau banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai aktivitas yang

dilakukan dinamakan perhatian. Dilihat banyak sedikitnya kesadaran yang

menyertai suatu aktivitas, perhatian bisa dibedakan menjadi dua yaitu perhatian

intensif dan tidak intensif. Makin intensif perhatian belajar maka makin

(11)

menimbulkan perhatian yang intensif. Dilihat dari cara timbulnya, perhatian bisa

dibedakan menjadi perhatian spontan dan perhatian reflektif. Perhatian spontan

timbul seakan-akan tanpa sengaja serta berlangsung lebih lama dan intensif,

sedangkan perhatian reflektif timbul karena usaha. Bila dipandang dari luas

obyeknya, perhatian bisa dibagi menjadi perhatian konsentratif dan perhatian

distributif.

Pengajar mempunyai tugas mengatur lingkungan atau kelas sedemikian rupa

sehingga memungkinkan meningkatnya perhatian konsentratif dalam setiap proses

belajar mengajar berlangsung. Satu hal penting lainnya dan mempunyai hubungan

yang sangat erat dengan aktivitas belajar adalah hal-hal yang menarik perhatian

yaitu hal-hal yang keluar dari konteks dan hal-hal yang berhubungan dengan

kebutuhan individu, kegemaran, pekerjaan, keahlian dan sejarah hidup serta

kelompoknya; b) Kognitif yaitu faktor kognitif dipengaruhi oleh daya

pengamatan, tanggapan dan fantasi, ingatan dan berpikir individu. Melalui

pengamatan, individu dapat melihat, mendengar, membau, mencecap dan meraba

untuk mengenal dunia seperti dalam teori aliran Gestalt yang menyatakan bahwa

panca indera adalah gerbang ilmu pengetahuan yang penting dan mutlak

mempunyai pengaruh terhadap belajar. Kemudian daya tanggap dan fantasi

individu. Daya tanggap merupakan bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah

melakukan pengamatan. Sedangkan fantasi merupakan daya untuk membentuk

tanggapan-tanggapan baru berdasarkan tanggapan-tanggapan yang sudah ada.

Fantasi memungkinkan orang menempatkan diri dalam hidup kepribadian orang

(12)

memungkinkan manusia untuk menciptakan sesuatu yang dituju. Dengan fantasi

manusia bisa belajar kebudayaan orang dan bangsa lain, bisa belajar sejarah dan

bisa belajar mengarang, mencipta, merancang dan sebagainya.

Faktor yang mempengaruhi kognitif lainnya yaitu ingatan. Ingatan sangat

membantu belajar, manusia hampir tidak pernah belajar tanpa bantuan ingatan

bahan yang mendahuluinya. Perencanaan ingatan yang baik dapat sangat terbantu

dengan pembagian waktu yang tepat, metode yang cocok, pemakaian titian,

bagan, ikhtisar dan tabel-tabel. Selanjutnya yaitu berpikir. Berpikir adalah

aktivitas jiwa dengan arah yang ditentukan oleh masalah yang dihadapi. Prosesnya

adalah diawali dengan pembentukan pengertian, diteruskan pembentukan

pendapat dan diakhiri oleh penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan.

Cepat dan lambatnya berpikir bagi individu sangat besar pengaruhnya terhadap

belajar terutama belajar jenis pemecahan masalah; c) Faktor Afektif yaitu meliputi

perasaan, emosi, dan suasana hati. Dalam keadaan stabil dan normal, perasaan

sangat menolong individu melakukan perbuatan belajar, tetapi perasaan dengan

intensitas sedemikian tinggi sehingga pribadi kehilangan kontrol yang normal

terhadap dirinya, misalnya takut, bingung, cemas, putus asa atau sangat gembira dapat

sangat menghambat proses belajar. Sedangkan keadaan afektif individu yang lebih

bersifat tetap bisa disebut sebagai suasana hati yaitu perasaan riang dan perasaan

murung. Perasaan riang dapat membantu belajar, sedangkan perasaan murung sangat

mengganggu belajar; d) Faktor Motivasi yakni keadaan jiwa individu yang

mendorong untuk melakukan suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan disebut

(13)

kuat untuk mencapai hasil belajar itu sendiri.Faktor ketiga yang mempengaruhi

prestasi belajar adalah pengalaman dasar individu.

Pengalaman dasar individu yakni pendidikan dasar yang mendahului

pendidikan tahap tertentu saling terkait. Pendidikan dasar menjadi dasar

pendidikan lanjut, serta sekolah dasar dan lanjut menjadi dasar sekolah menengah

atas dan sekolah menengah atas menjadi dasar di perguruan tinggi. Meskipun

individu secara umum memiliki kesehatan fisik yang baik, panca indera

mendukung keadaan psikis mulai dari perhatian, ingatan, pikiran dengan

dilengkapi motivasi yang murni, namun pengalaman yang mendahuluinya kurang

memadai atau tidak mempunyai hubungan yang sejalan maka aktivitas belajar

akan membawa hasil yang kurang baik.

2.3 Indeks Prestasi

2.3.1Indeks Prestasi Semester

Indeks Prestasi Semester adalah indeks prestasi yang dihitung berdasarkan

jumlah beban kredit yang diambil dalam satu semester dikalikan dengan bobot

prestasi tiap-tiap mata kuliah kemudian dibagi dengan jumlah beban kredit yang

diambil ( Buku Panduan Akademik S1 Universitas Sumatera Utara 2014).

Rumus Perhitungan:

IPS =

Keterangan:

K : Jumlah SKS mata kuliah yang diambil dalam satu semester

(14)

2.3.2Indeks Prestasi Komulatif

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah indeks prestasi yang dihitung

berdasarkan jumlah keseluruhan beban kredit yang diambil mulai dari semester I

sampai semester yang terakhir, dikalikan dengan bobot prestasi tiap-tiap mata

kuliah kemudian dibagi dengan beban kredit yang diambil (Buku Peraturan

Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor: 701/UN5.1.R/SK/SPB/2013 tentang

Pearturan Akademik Program Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2014).

Rumus Perhitungan:

IPK =

Keterangan:

K : Jumlah SKS mata kuliah yang diambil dari semester I sampai terakhir

N : Nilai masing-masing mata kuliah

Penggolongan IPK menurut Peraturan Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor: 701/UN5.1.R/SK/SPB/2013 tentang Pearturan Akademik Program

Sarjana Universitas Sumatera Utara yakni sebagai berikut:

IPK 0.00-1.99 : tidak memuaskan

IPK 2.00-2.75 : memuaskan

IPK 2.76-3.50 : sangat memuaskan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa variabel kualitas produk, kemasan dan harga berpengaruh terhadap keputusan pembelian dengan

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya, ditemukan 35 kasus filariasis kronis di Kecamatan Kodi Balaghar, namun sejauh ini belum pernah

Dengan berkembang pesatnya dunia fotografi maka para fotografer muda semakin meningkat.Aftermoment fotografi sebagai salah satu studio foto yang cukup lama di

Fotografi merupakan hobi yang saat ini sedang marak dan berkembang pesat, kamera yang semakin terjangkau harganya membuat orang-orang memakai dan mulai dikembangkan ke

Perikanan Samodra Besar vessels devoted an increasing amount of effort to catching more yellow fin tuna by using surface longline gear with 6 branch lines (6 hooks) per basket

Program pendidikan integrasi fungsional ini merupakan bentuk pengintegrasian yang paling mendekati kewajaran, dimana ABK dan anak normal dengan usia yang sebaya secara bersama-

[r]

Seorang pemimpin harus mampu untuk memperlakukan bawahannya secara berbeda beda namun adil, yaitu mampu memperhatikan satu persatu bawahannya dan tidak hanya