• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tutorial Kasus Leukimia Myeloblastik Akut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tutorial Kasus Leukimia Myeloblastik Akut"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Hematologi

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) DENGAN

SELULITIS PADA SEORANG ANAK

Disusun oleh: Alif Via Saltika Putri Firyal Soraya Nurhidayati

Pembimbing: dr. Diane M. Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

(2)

Tutorial Klinik

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) DENGAN

SELULITIS PADA SEORANG ANAK

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak ALIF VIA SALTIKA PUTRI

FIRYAL SORAYA NURHIDAYATI

Menyetujui,

dr. Diane M. Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul “Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) dengan Selulitis pada Seorang Anak”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Diane M. Supit, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase ilmu kesehatan anak.

2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini.

3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.

4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, Mei 2015

(4)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu berasal. Pada kasus leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan.

Acute myeloblastik leukaemia (LMA) atau leukemia mieloblastik akut (LMA), yaitu lransformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor

dari seri mieloid. Di negara berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan tutorial klinik ini adalah agar penulis atau pembaca dapat mengerti tentang Leukemia mieloblastik akut (LMA) meliputi definisi, penyebab, penyebaran, perjalanan penyakit, gejala penyakit dan penatalaksanaan penyakit ini. Serta mengetahui kasus LMA yang ada apakah sudah sesuai dengan teori yang ada atau tidak.

Manfaat dari tutorial klinik ini antara lain mahasiswa bisa lebih mengerti akan suatu penyakit karena secara langsung membuat dan menyusun laporannya, serta mampu menerangkan tentang kasus yang didapat.

(5)

RESUME KASUS

Pasien MRS pada tanggal 4 Mei 2015 melalui IGD RSUD A.W. Sjahranie Samarinda dan dirawat inap di Ruang Melati.

Identitas Pasien:

Nama : An. NH

Umur : 11 tahun 4 bulan Jenis kelamin : Perempuan

Anak ke : 8

Alamat : Jln. P. Bendahara, Berau Tanggal masuk : 4 Mei 2015

No. RM : 84 03 56 Identitas Ayah Pasien:

Nama : Bpk. H (Alm) Pekerjaan : Swasta Pendidikan terakhir : SMP

Alamat : Jln. P. Bendahara, Berau Identitas Ibu Pasien:

Nama : Ibu. N

Umur : 56 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan terakhir : SD

Alamat : Jln. P. Bendahara, Berau Riwayat Saudara-Saudara Pasien

No Aterm/ prematur/ lahir mati

Persalinan

spontan/ SC tanggalUsia/ lahir

Sehat/

tidak meninggalUmur meninggalSebab

1 Aterm Spontan 35 tahun Sehat -

-2 Aterm Spontan 32 tahun Sehat -

(6)

-4 Aterm Spontan 28 tahun Sehat -

-5 Aterm Spontan 26 tahun Sehat -

-6 Aterm Spontan 18 tahun Sehat -

-7 Aterm Spontan 15 tahun Sehat -

-Anamnesis:

1. Keluhan Utama Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Demam sejak 15 hari SMRS RSUD AWS Samarinda. Selain keluhan demam, saat itu pasien juga mengeluh lemas dan tidak napsu makan. Demam turun jika diberi obat penurun panas Paracetamol. Setelah demam seminggu di rumah, pasien sempat dirawat selama 8 hari di rumah sakit Berau. Saat dirawat inap di rumah sakit Berau pasien sempat didiagnosis dengan demam berdarah sebelum akhirnya diduga adanya keganasan hematologi. Karena kondisi pasien tidak kunjung membaik dan fasilitas rumah sakit tersebut tidak cukup lengkap maka pada tanggal Mei 2015 pasien dirujuk ke RSUD AWS Samarinda kemudian di rawat inap di ruang Melati. Saat dirawat di ruang Melati pasien awalnya masih mengeluhkan demam dan ketika demam pasien juga sempat mengeluhkan sakit pada ulu hati dan bagian dadanya serta napasnya terasa berat. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri ketika digerakkan maupun disentuh pada bagian lengan atas tangan kirinya. Diakui awalnya nyeri berasal dari luka bekas tusukan jarum namun lama kelamaan bengakak dan kemerahan. Batuk dan pilek tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. 3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat MRS tidak ada.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang pernah dan sedang mengalami keluhan serupa.

(7)

5. Riwayat Lingkungan

Rumah tempat tinggal pasien dan keluarga diakui cukup bersih dan terdapat beberapa ventilasi, tidak pengap dan pencahayaannya cukup. Jarak antara rumah cukup berdekatan.

6. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Post Persalinan

Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan terdekat setiap bulan. Selama hamil ibu tidak mengalami permasalahan, demam tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada, trauma tidak ada, mengkonsumsi jamu tidak ada, mengkonsumsi alkohol dan rokok tidak pernah. Ibu pasien rutin mengonsumsi sumplemen penambah darah yang diberi oleh bidan.

Pasien lahir spontan pervaginam pada usia kandungan 9 bulan ditolong oleh bidan di rumah. Pasien lahir dengan BB 3000 gram, langsung menangis kuat, biru atau kuning disangkal.

Ibu pasien saat ini tidak memakai KB. 7. Riwayat Makanan & Minuman

ASI eksklusif dari lahir hingga usia 2 tahun. Pasien tidak diberi minum susu formula. Makan bubur susu saat usia 6 bulan dan makanan padat beserta lauknya saat usia 12 bulan.

8. Riwayat Imunisasi Imunisasi Usia saat

imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////// /////// /////// /////// ///////

Polio + + + + -

-Campak + - /////// /////// /////// ///////

DPT + + + /////// -

-Hepatitis B + + + /////// -

-9. Pertumbuhan dan perkembangan anak BB Lahir : 3000 gram

PB Lahir : lupa

BB sekarang : 28 kg TB sekarang : 133 cm

(8)

Gigi keluar : lupa Berdiri : 10 bulan Tersenyum : lupa Berjalan : 10 bulan Miring : lupa Berbicara 2 suku kata : lupa

Tengkurap : lupa Masuk TK : 5 tahun

Duduk : lupa Masuk SD : 7 tahun

Merangkak : lupa Sekarang kelas : 5 SD Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : komposmentis, E4V5M6 Tanda-tanda vital

 Frekuensi nadi :130x/menit kuat angkat  Frekuensi nafas :30x/menit

 Suhu :38,3oC Status Gizi  Berat Badan : 28 kg  Panjang Badan : 133 cm  BB/PB : Gizi kurang Status generalisata Kepala  Bentuk : Normocephali

 Rambut : hitam, tipis, tidak mudah dicabut

 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya (+/+)

 Hidung : nafas cuping hidung -|- , sekret (-)  Telinga : bentuk normal, secret (-)

(9)

 Mulut : mukosa basah, tidak pucat, tidak sianosis, faring tidak hiperemis  KGB : terdapat pembesaran kelenjar getah bening

Thorax

 Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-)

 Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri  Perkusi : sonor di semua lapangan paru

 Auskultasi : wheezing (-/-), ronki (-/-), S1S1tunggal reguler, murmur (-) Abdomen

 Inspeksi : bentuk normal, simetris, datar, scar (-)

 Palpasi : soefl, nyeri tekan (+). hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, nyeri ketuk hepar (-). splenomegali Schuffner 4, nyeri tekan (-)  Perkusi : timpani

 Auskultasi : bising usus normal Ekstremitas

 Superior : akral hangat, CRT <2 detik, edema lengan D dan S  Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, tidak edema

DIAGNOSA SEMENTARA LMA dengan Selulitis Pemeriksaan Penunjang

(10)

Tampak infiltrat pada pericardial dextra Kesimpulan : Bronkitis

2. Pemeriksaan EKG

3. Pemeriksaan Echocardiography Kesimpulan : Diastolic dysfunction 4. Pemeriksaan Laboratorium Darah

06/05/2015 09/05/2015 13/05/2015 Value

Hemoglobin 8,7 9,1 7,5 11-16,5 g/dl

Leukosit 198.000 242.800 242.990 4.500-14.500/µL Trombosit 38.000 58.000 46.000 150000-450000/µL

(11)

GDS 160 50-150 mg/dl Na 132 135-155 K 1,7 3,6-5,5 Cl 97 95-108 SGOT 18 <31 SGPT 13 <32 Bil Total 0,2 0-1,0 Bil Direk 0,1 0-0,26 Bil Indirek 0,1 0-0,75 Protein Total 7,0 6,6-8,7 Albumin 4,0 3,2-4,5 Globulin 3,0 2,3-3,5 Kolesterol 264 150-220 Asam urat 3,0 2-6 Ureum 21,0 10-40 Creatinin 0,6 0,5-1,6

5. Pemeriksaan Urin Lengkap (06/05/2015)

06/05/2015 Value Berat Jenis 1.029 1,003-1,303 Ketone - -Nitrit - -Leuko + Hb/Darah + -Warna Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

pH 5,5 4,8-7,8

Protein -

-Glukosa -

-Bilirubin -

-Urobilinogen - 3,2

Sel Epitel + Sedikit

Lekosit 2-8 <10/lpb Eritrosit 10-20 0-1/lpb Silinder - -Kristal - -Bakteri - -Jamur - -Lain-lain - -6. Pemeriksan Feses (06/05/2015) Warna Coklat Konsistensi Lembek Darah -Lendir -Eritrosit 0-2 Lekosit 1-2

(12)

Amuba

-Krista

-Telur cacing

-Sisa Amylum

-Sisa Lemak

7. Bone Marrow Puncture

Kesimpulan : Gambaran darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan Acute Myeloblastic leukemia (LMA)

(13)

Follow Up

5 Mei 2015 6 Mei 2015 7 Mei 2015

S Demam (+), mual (+), muntah (-), napsu makan ↓, nyeri tangan kiri, BAB dan BAK normal

Demam (+), mual (+), muntah (+), napsu makan ↓, nyeri perut, nyeri tangan kiri, BAB dan BAK normal

Demam (+), mual (-), muntah (-), napsu makan ↓, nyeri perut ↓, nyeri tangan kiri, BAB dan BAK normal O KU: tampak sakit

T 38,60C N 104x/menit kuat angkat RR 25x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Flat, soefl, BU(+)N, NT(-), hepatomegali 2 jari BAC,

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (-), CRT < 2”

KU: tampak sakit T 37,70C N 108x/menit kuat angkat RR 28x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),hepatomegali 2 jari BAC,

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan kiri, CRT < 2”

KU: tampak sakit T 38,50C N 112x/menit kuat angkat RR 28x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),hepatomegali 2 jari BAC,

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan kiri, CRT < 2”

A Suspek ALL + Selulitis

Suspek ALL + Selulitis Suspek ALL + Selulitis P - IVFD NaCl 0,9% + 20 meq Nabic 34- 35 tpm (hiperhidrasi) - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Paracetamol tab 3 x 300 mg PO -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue - Pro: DL, HDT, Ur, Cr, LDH, SGOT, SGPT, Na, K, Cl, UL, FL, foto - IVFD NaCl 0,9% + 20 meq Nabic 34- 35 tpm (hiperhidrasi) - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg -Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35  tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue - Rencana echo

(14)

thoraks, EKG, Echo, BMP, analisa LCS

8 Mei 2015 9 Mei 2015 11 Mei 2015

S Demam (+), mual (-), muntah (-), napsu makan ↓, nyeri perut ↓, nyeri tangan kiri, BAB dan BAK normal

Demam (+), mual (-), muntah (-), napsu makan ↓, nyeri perut ↓, nyeri tangan kiri, nyeri dada jika demam (+), napas terasa berat (+), BAB dan BAK normal

Demam (-), batuk (+), mual (-), muntah (-), napsu makan ↓, nyeri perut (-), nyeri dada jika demam (+), napas terasa berat (-), BAB dan BAK normal O KU: tampak sakit

T 36,90C N 104x/menit kuat angkat RR 28x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),

hepatomegali 2 jari BAC, splenomegali scf 4

Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2”

KU: tampak sakit T 38,50C N 100x/menit kuat angkat RR 38x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),hepatomegali 2 jari BAC,

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2”

KU: tampak sakit T 37,10C N 116x/menit kuat angkat RR 34x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),hepatomegali 2 jari BAC,

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2” A Suspek ALL +

Selulitis

(15)

P - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34- 35 tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat

- Post transfusi TC 5 unit

- Cek DL post transfusi

- Echo hari ini

- O2 1-2 lpm - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35  tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg -Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat -- O2 1--2 lpm - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35  tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat

-12 Mei 2015 13 Mei 2015 15 Mei 2015 S Demam (-), batuk (+),

napsu makan ↓, nyeri perut (-), ↓, nyeri tangan kiri, nyeri dada jika demam (-), BAB dan BAK normal

Demam (+), batuk (+), napsu makan ↓, nyeri perut (-), nyeri tangan kiri (+), nyeri dada jika demam (-), BAB dan BAK normal

Demam (+), batuk (+), napsu makan ↓, nyeri perut (-), nyeri tangan kiri & kanan (+), nyeri dada jika demam (-), BAB dan BAK normal O KU: tampak sakit

T 37,00C N 116x/menit kuat angkat RR 28x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB (+) S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+),

KU: tampak sakit T 37,70C N 120x/menit kuat angkat RR 27x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB (+) S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+), hepatomegali 2 jari BAC,

KU: tampak sakit T 38,30C N 130x/menit kuat angkat RR 30x/menit Anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), pembesaran KGB (+) S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-) Flat, soefl, BU(+)N, NTE(+), hepatomegali 2 jari BAC,

(16)

hepatomegali 2 jari BAC, splenomegali scf 4

Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2”

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2”

splenomegali scf 4 Akral hangat, edema (+) lengan atas tangan D dan S, CRT < 2” A Suspek ALL +

Selulitis

LMA + Selulitis LMA + Selulitis P - O2 1-2 lpm - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34- 35 tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat - Pro BMP dan analisa LCS - O2 1-2 lpm - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35  tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat - O2 1-2 lpm - IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35  tpm - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue -Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat

Penatalaksanaan: - O2 1-2 lpm

- IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35 tpm  - Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV - Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV -Paracetamol drip 3 x 280 mg IV -Alupurinol 3 x 300 mg - Ranitidin 2 x 25 mg IV -Kloramfenikol salf 3 x 1 ue

-Kompres NaCl 0,9% selang seling dengan air hangat -Transfusi TC 4 kali

(17)

Diagnosis Kerja LMA dengan Selulitis Prognosis

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT 2.1.1 Definisi

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia dalam klinik. Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.

2.1.2 Epidemiologi

Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Insidens rata-rata 4 – 4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi pada anak lebih tinggi pada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru tiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus leukemia baru.

leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh leukemia pada anak. Di RSUD Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik.

(19)

Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan faktor-faktor lingkungan di negara industri belum diketahui.

2.1.3 Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21, sindrom “Bloom's, anemia “Fanconis's dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia dan kembar monozigot. Trisomi kromosom 21 juga dijumpai penyakit herediter Sindrom Down. Pasien Sindrom Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan hubungan yang signifikan.

Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan insidens leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal ini masih merupakan perdebatan.

Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan peningkatan 2x diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves. Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada umumnya.

(20)

Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder setelah kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin disebabkan oleh obat pengakilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya kelainan kromosom nomor 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M1/M2. Terdapat pula hubungan antara penggunaan epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. LMA-nya berbeda dengan yang mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom 11q23 dan sebagian FAB tipe M4/M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga meningkat pada pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel stem autologus.

Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingus dkk (1995). Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.

2.1.4 Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik

Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda dengan leukemia kronik.

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal mula “gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal.

Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi

(21)

pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebab (agent) nya mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya “gugus” (clone) abnormal.

Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam LMA, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah diferensiasi. Mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon, yang mengarah ke klinis LMA.

Dari analisis mengenai sitogenetik, isoenzim, dan fenotip sel, dapat ditarik kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi di berbagai tempat pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa perkembangan gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi pada sel induk pluripoten, yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau terjadi pada gugus sel induk yang telah dijuruskan untuk granulositopoisis atau monositopoisis.

Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif tua

(mature) dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Sebagian besar keragaman dan heterogenitas LMA berasal dari kenyataan bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk LMA mengakui bahwa karakteristik dan perilaku dari sel leukemia mungkin tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.

Perbedaan ini mudah dikenal oleh para ahli dan berdasarkan hal ini dibuatlah klasifikasi jenis leukemia yang termasuk golongan LMA dan yang sekarang

(22)

dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut FAB (Perancis, Amerika, British) seperti berikut:

 M-0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal  M-1 leukemia mielostik akut tanpa maturasi

 M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi  M-3 leukemia promielositik hipergranular  M-4 leukemia mielomonositik akut  M-5 leukemia monositik akut

 M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)  M-7 leukemia megakariositik akut

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia, leukopeni, trombositopeni).

Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih belum diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.

Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedangkan adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

(23)

Kematian pada pasien leukemia akut umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala LMA pada anak dapat dibagi menjadi tiga, yakni (1) yang disebabkan defisiensi sel yang berfungsi normal, (2) yang disebabkan proliferasi dan abnormalitas dari populasi sel leukemia, dan (3) Gejala konstitusional. Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektil, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.

(24)

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meningen dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.

2.1.6 Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikan harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler.

Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged prelukimia, biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah merah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter,

(25)

neutropenia atau trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologi yang jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodisplastik (MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang menunjukkan hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian berkembang menjadi leukemia akut.

Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA belum memuaskan bila dibandingkan dengan LLA. Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia, trombositopenia, dan leukositopenia, dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/dl, jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukosit sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa permasalahan baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang tua atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi. Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan penyakit dan kemajuan pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Edukasi dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan rasa percaya diri pasien.

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI,

(26)

keganasan lain, penyakit reumatologi atau penyakit kolagen vaskular, sindrom hemofagosti familial atau induksi virus, infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononucleosis, reaksi leukemoid, dan sepsis.

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial.

Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekuat.

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menentukan protokol kemoterapi. Secara umum regimen kemoterapi meliputi kombinasi dari antracycline (paling sering daunorubicin) dengan cytosine arabinoside (cytarabin). Obat lain yang dapat diberikan yakni fludarabine, etoposide, amsacrine, dexamethasone, 6-thioguanine, cyclophosphamide, dan mitoxantrone.

Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain. Apabila terjadi

(27)

remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Regimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlas sel blast <5% dari sel berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah trombosit > 100.000/ul. Dan pemeriksaan cairan serebrispinal normal.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% anak akan meninggal dalam CCR ( Continous

Complete Remission) dan 25-30 % akankambuh. Sebab utama

kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memeperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara relaps yang terjadi setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik. Terapi relaps harus lebih agresif unutk mengatasi resistensi obat.

Transplantasi sumsum tulang mungkin membarikan kesempatan untuk sembuh khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.

Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang berbeda. Survival meningkat dari 52% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991) sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok risiko.

(28)

Tiga puluh tahun lalu, hampir semua anak dengan LMA meninggal dan tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih dari 40% dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 0- dengan dikenalnya sitarabin (Arac) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda, remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun tanpa terapi lanjut kebanyakan anak-anak relaps dalam 1 tahun.

M3 berjumlah sekitar 10-15%. Penyakit ini dikarenakan dengan t(15;170 dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinotil pada kromosom 17 dan PML (promyelocytic

leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun 1998 ilmuwan Cina

melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada M3 dengan menggunakan asam retinositik (ATRA) sebagai agen tunggal. Tentu saja keterlibatan reseptor inti untuk asam retinositik mempengaruhi sensitivitas leukemia terhadap vitamin ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui. Kerugian terbesar dari terapi retinotik ATRA adalah komplikasi perdarahan yang tidak bisa dihindari.

(29)

2.1.9 Komplikasi Komplikasi dini :

 Infesi serius  Alopecia  Emesis

 Perdarahan Saluran Cerna  Malnutrisi

 Kematian Komplikasi lanjut :

 Gagal jantung kongestif dan aritmia  Kelainan Pertumbuhan

 Malignansi sekunder  Kematian

(30)

LMA memiliki angka survival di rentang 45-60%. Prognosis LMA terus membaik secara signifikan sejak abad ke 20. Berdasarkan faktor prognostik maka pasien LMA dapat digolongkan ke dalam risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug resistance. Faktor risiko LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain :

Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih baik.

Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.

FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.

Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dengan kemoterapi. Translokasi kromosom adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;12), t(15;17) dan inversi Ploidi juga mempengaruhi prognosis.

Respons awal terapi.

2.2 SELULITIS 2.2.1 Definisi

Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus

betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Selulitis umumnya terjadi akibat

komplikasi suatu luka/ulkus atau lesi kulit yang lain. Gambaran klinisnya umumnya pada semua bentuk ditandai dengan kemerahan yang batasnya tidak jelas, nyeri tekan, pembengkakan, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas

(31)

(peau d'orange). Penyebaran dan perluasan kemerahan ini dapat timbul secara cepat di sekitar luka/ulkus yang ada disertai demam, lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula (Djuanda, 2009).

2.2.2 Etiologi

Selulitis bisa disebabkan oleh berbagai jenis bakteri yang berbeda, yang paling sering adalah Streptococcus B hemolyticus. Staphylococcus juga bisa menyebabkan selulitis, tetapi biasanya terbatas di daerah yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kulit memiliki berbagai jenis bakteri. Tetapi kulit yang utuh merupakan penghalang yang efektif, yang mencegah masuk dan berkembangnya bakteri di dalam tubuh. Jika kulit terluka, bakteri bisa masuk dan tumbuh di dalam tubuh, menyebabkan infeksi dan peradangan. Jaringan kulit yang terinfeksi menjadi merah, panas dan nyeri. Selulitis paling sering menyerang wajah dan tungkai bagian bawah (Siregar, 2005).

Faktor resiko terjadinya selulitis adalah:

 Gigitan dan sengatan serangga, gigitan hewan, atau manusia  Luka di kulit

 Riwayat penyakit pembuluh darah perifer, kencing manis

 Tindakan terhadap penyakit jantung, paru-paru atau gigi, yang baru-baru ini dijalani oleh penderita

Pemakaian obat imunosupresan atau kortikosteroid. 2.2.3 Gejala Klinis

Terdapat gejala konstitusi antara lain demam, malaise. Penyakit ini didahului trauma, karena itu tempat pedileksinya di tungkai bawah. Kelainan kulit yang utama adalah eritema yang berwarna merah, berupa infiltrat yang difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel, dan bula. Terdapat leukositosis. Jika tidak diobati akan menjalar ke sekitarnya terutama ke proksimal (Djuanda, 2009).

Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d'orange). Pada kulit yang terinfeksi

(32)

bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar berisi cairan (bula), yang bisa pecah. Karena infeksi menyebar ke daerah yang lebih luas, maka kelenjar getah bening di dekatnya bisa membengkak dan teraba lunak. Kelenjar getah bening di lipat paha membesar karena infeksi di tungkai, kelenjar getah bening di ketiak membesar karena infeksi di lengan. Penderita bisa mengalami demam, menggigil, peningkatan denyut jantung, sakit kepala, dan tekanan darah rendah. Kadang-kadang gejala-gejala ini timbul beberapa jam sebelum gejala lainnya muncul di kulit. Tetapi pada beberapa kasus gejala-gejala ini sama sekali tidak ada. Kadang-kadang bisa timbul abses sebagai akibat dari selulitis. Meskipun jarang, bisa terjadi komplikasi serius berupa penyebaran infeksi d bawah kulit yang menyebabkan kematian jaringan (seperti pada gangren

streptokokus dan fasitis nekrotisasi) dan penyebaran infeksi melalui aliran darah

(bakteremia) ke bagian tubuh lainnya. Jika selulitis kembali menyerang sisi yang sama, maka pembuluh getah bening di dekatnya bisa mengalami kerusakan dan menyebabkan pembengkakan jaringan yang bersifat menetap (Siregar 2005).

Gambar 1. Infeksi Kulit Selulitis (Siregar 2005) 2.2.4 Diagnosis

Pada pemeriksan fisik akan ditemukan daerah pembengkakan yang terlokalisir (edema), kadang ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening. Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih dan adanya infeksi bakteri. Bila perlu, bisa dilakukan pembiakan darah (Siregar 2005).

2.2.5 Penatalaksanaan

Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik. Antibiotik segera diberikan setelah diagnosis selulitis

(33)

ditegakkan. Bagian tubuh yang terkena diistirahatkan, tidak boleh digerakkan dan untuk mengurangi pembengkakan, kaki biasanya dielevasikan/digantung tingginya sedikit lebih tinggi daripada letak cor. Kompres dingin dan basah bisa mengurangi rasa tidak nyaman. Untuk selulitis yang disebabkan oleh streptokokus biasanya diberikan penisilin per-oral. Pada kasus yang berat, penisilin bisa diberikan secara intravena dan bisa ditambahkan klindamisin. Jika penderita alergi terhadap penisilin bisa diganti dengan eritromisin untuk kasus yang ringan atau klindamisisn untuk kasus yang berat. Selulitis yang disebabkan oleh stafilokokus bisa diobati dengan dikloksasilin. Untuk kasus yang berat bisa diberikan oksasilin atau nafsilin. Gejala-gejala selulitis biasanya menghilang beberapa hari setelah pemberian antibiotik. Kepada penderita selulitis berulang bisa diberikan suntikan penisilin setiap bulan atau penisilin per-oral selama 1 minggu setiap bulan (Djuanda, 2009 & Siregar, 2005).

Pengobatan antimikroba antara lain:

 Beta-laktam antibiotik, aktivitasnya melawan S. Aureus

 Ciproflocaxin (750 mg/12 jam), aman dan efektif bagi berbagai variasi kulit dan infeksi struktur kulit.

 Moxiflocaxin (400 mg/hari), efektif pada kulit yang tidak sukar dan infeksi jaringan lunak.

 Cephalexin (500 mg 3 kali/hari), sama seperti Moxiflocaxin.  Penisilin dosis tinggi (1,2-2,4 juta unit selama 14-21 hari).  Eritromisin (4 x 1 gram selama 14-21 hari).

 Antibiotik berspektrum luas lainnya seperti golongan sefalosporin dan golongan amoksisilin (4 kali sehari 250 mg selama 5-7 hari). Jika dengan pengobatan oral tanda dan gejala selulitis tidak juga menghilang, meluas, atau menjdi demam tinggi, maka perlu perawatan rumah sakit secara intensif dan mengonsumsi antibiotik melalui pembuluh darah. Obat-obat yang digunakan antara lain:

 Levoflocaxin dosis tinggi (750 mg sekali / hari), pada kulit dengan ciri khusus yang rumit dan infeksi struktur kulit.

(34)

 Ticarcillin-clavulanate (3,1 gram / 4-6 jam), sama seperti Levoflocaxin dosis tinggi.

 Linezolid (600 mg / 12 jam), pada penderita dengan komplikasi kulit dengan lesi, penekanan immun, atau pembuluh darah yang tidak cukup.  Oxacillin (2 gram / 6 jam), sama seperti Linezolid (Siregar 2005).

(35)
(36)

BAB 3 ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. NH usia 11 tahun 4 bulan datang diantarnya keluarganya ke IGD RSUD AWS Samarinda atas rujukan dari rumah sakit Berau pada Mei 2015 setelah sebelumnya selama 8 hari dirawat di rumah sakit Berau dengan keluhan utama demam. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Suspek leukemia. Diagnosis diruangan adalah LMA dengan Selulitis. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS

ANAMNESIS LMA

Pasien dapat masuk dengan keluhan utama seperti adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.

Selulitis

Selulitis umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka/ulkus atau lesi kulit yang lain. Gambaran klinisnya umumnya pada semua bentuk ditandai dengan kemerahan yang batasnya tidak jelas, nyeri tekan, pembengkakan, dan tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d'orange).

LMA

Pasien datang dengan keluhan demam, rasa lelah. Pasien sempat didiagnosis Demam Berdarah di RS sebelumnya dengan ptekie (+). Pasien juga datang dengan keluhan nyeri, bengkak, dan kemerahan pada luka bekas tusukan jarum di bagian lengan atas tangan kirinya, hal ini diduga karena terlah terjadi infeksi di tempat tersebut.

Selulitis

Setelah ambil darah dan ganti infus beberapa kali karena infus macet atau bengkak pada tangan pasien merasakan nyeri, bengkak, dan kemerahan pada luka bekas tusukan jarum di bagian lengan atas tangan kirinya.

(37)

Penyebaran dan perluasan kemerahan ini dapat timbul secara cepat di sekitar luka/ulkus yang ada disertai demam, lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula.

Faktor resiko terjadinya selulitis adalah:

 Gigitan dan sengatan serangga, gigitan hewan, atau manusia  Luka di kulit

 Riwayat penyakit pembuluh darah perifer, kencing manis  Tindakan terhadap penyakit

jantung, paru-paru atau gigi, yang baru-baru ini dijalani oleh penderita

Pemakaian obat imunosupresan atau kortikosteroid.

PEMERIKSAAN FISIK LMA

Pada pasien LMA terjadi leukositosis, gejala leukositosis sangat bervariasi. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada.

Pada pasien AML bisa didapatkan tanda & gejala dari proliferasi & abnormalitas populasi sel leukemia seperti hepatomegali & splenomegali Selulitis

Terdapat gejala konstitusi antara lain

LMA

Pada pemeriksaan (sesuai follow up) pasien sempat mengeluhkan nyeri dada dan sesak nafas.

Pada pemeriksaan (sesuai follow up) didapatkan hepatomegali & splenomegali

Selulitis Suhu tubuh

(38)

demam, malaise. Kelainan kulit yang utama adalah eritema yang berwarna merah, berupa infiltrat yang difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut.

Pemeriksaan fisik akan ditemukan daerah pembengkakan yang terlokalisir (edema), kadang ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening.

Daerah pembengkakan yang terlokalisir (edema) pada lengan atas tangan kiri, kemerahan, dan nyeri bila digerakkan atau disentuh.

Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LMA

Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia, trombositopenia, dan

leukositopenia, dan

leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/dl, jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukosit sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul. Pada pasien LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia.

Sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Patogenesis utama LMA adalah adanya

LMA

Hasil pemeriksaan penunjang sempat menunjukkan adanya anemia dengan kadar hemoglobin 7,5 g/dl. Lalu, jumlah trombosit sempat berada di angka 38.000/µL dan 46.000/µL. Pada pasien ini jumlah leukosit selalu >100.000/µL, yakni 198.000/µL, 242.800 µL, dan 242.990/µL.

Pada pemeriksaan HDT didapatkan peningkatan leukosit dengan jumlah mieloblast 70%.

Pada BMP didapatkan akumulasi sel blast, dengan presentasi 80% mieloblast.

Pemeriksaan sitokimia menjukkan hasil positif.

(39)

blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang.

Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.

Selulitis

Pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih dan adanya infeksi bakteri. Bila perlu, bisa dilakukan pembiakan darah (Siregar 2005).

Selulitis

Peningkatan jumlah leukosit (leukositosis)

DIAGNOSIS LMA

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikan harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal dan

beberapa pemeriksaan

penunjang yang lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar

LMA

Pada pasien ini telah ditemukan gejala yang mengarah ke diagnosis LMA, seperti rasa lelah, infeksi. Pada pasien ini juga telah dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti aspirasi sumsum tulang dan radiografi dada. Pada pasien ini juga telah direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan pada cairan serebrospinal.

(40)

90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler.

Selulitis

 Bengkak, kemerahan, dan terasa nyeri pada luka bekas tusukan jarum di bagian lengan atas tangan kirinya.  Daerah pembengkakan yang

terlokalisir (edema) pada lengan atas tangan kiri

 Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.

 Peningkatan jumlah leukosit PENATALAKSANAAN

LMA

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi

antara lain berupa

pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat

untuk meningkatkan

granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed

 O2 1-2 lpm  IVFD D5 ½ NS + 20 meq Nabic 34-35 tpm  Inj. Cefotaxime 3 x 850 mg IV  Inj. Gentamisin 1 x 80 mg IV  Paracetamol drip 3 x 280 mg IV  Alupurinol 3 x 300 mg  Ranitidin 2 x 25 mg IV  Kloramfenikol salf 3 x 1 ue  Kompres NaCl 0,9% selang

seling dengan air hangat  Transfusi trombosit 4 kali  Kemoterapi

(41)

red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekuat.

Terapi kuratif/spesifik

bertujuan untuk

menyembuhkan

leukemianya berupa

kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan.

Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga.

Selulitis

 Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik. Antibiotik segera diberikan setelah

(42)

diagnosis selulitis ditegakkan. Untuk selulitis yang disebabkan oleh streptokokus biasanya diberikan penisilin per-oral. Pada kasus yang berat, penisislin bisa diberikan secara intravena dan bisa ditambahkan klindamisin. Jika penderita alergi terhadap penisilin bisa diganti dengan eritromisin untuk kasus yang ringan atau klindamisisn untuk kasus yang berat. klindamisin untuk kasus yang berat.

 Pilihan lain: Antibiotik berspektrum luas lainnya seperti golongan sefalosporin dan golongan amoksisilin (4 kali sehari 250 mg selama 5-7 hari).

 Bagian tubuh yang terkena tidak boleh digerakkan dan

untuk mengurangi

pembengkakan, kaki biasanya digantung.

 Kompres dingin dan basah bisa mengurangi rasa tidak nyaman.

(43)
(44)

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A. dkk. 2009. Selulitis, ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kedua. FKUI. Jakarta.

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. 2007

Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar

Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,

2005

Siregar RS. 2005. Atlas berwarna saripati kulit. EGC. Jakarta.

Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2006. Weinblatt ME. Pediatric Acute Myelotic Leukemia Treatment & Management.

Gambar

Gambar 1. Infeksi Kulit Selulitis (Siregar 2005)

Referensi

Dokumen terkait

Motilitas dan viabilitas spermatozoa dengan konsentrasi G 5 pada jantan 2 (25,9±2,5; 40,5±3,8%) menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jantan 1 (22,5±3,4;

 Personal hygiene dilaksanakan dengan menjaga kebersihan tubuh, yang dapat dilakukan dengan mandi, menggosok gigi, mencuci tangan, dan memakai pakaian yang bersih) Kebersihan

Masing- masing ekstrak diteteskan pada mencit sebanyak 1 kali sebelum penelitian dimulai.Setelah itu, urin ditampung pada masing masing kelompok, kemudian sample urin dibawa

Penyedia barang / jasa diundang dengan pengumuman untuk mengikuti pengadaan pekerjaan tersebut di atas dengan undangan Nomor: 03/DPPK.KAN1/VIII/2009, tanggal 26 Agustus 2009,

Selanjutnya pada indikator terjaminnya keamanan terhadap arsip termasuk kategori ³%DLN´ hal itu dapat dilihat dari 20 jawaban (40%) melalui 1 item pertanyaan yang

Berdasarkan kondisi tersebut, maka jika suatu citra watermark dijadikan citra grayscale, yang hanya mempunyai satu nilai intensitas, maka jika nilai intensitas pada piksel-piksel

Berdasarkan analisis data perbandingan nilai kemampuan menghitung pecahan cam- puran dapat diketahui bahwa penerapan mo- del kooperatif tipe The Power of Two dapat

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar air cookies pada semua perlakuan pendahuluan, substitusi tepung biji nangka dan kombinasinya berbeda nyata.. Hasil