• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi dan Pengembangan Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi dan Pengembangan Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN

Benny M. Chalik

(2)

STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN

Benny M. Chalik1 A. PENDAHULUAN

Paradigma pembangunan yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah lebih banyak diarahkan kepada pembangunan wilayah daratan dan masih belum menyentuh pembangunan kelautan dan perikanan. Selain itu, jargon-jargon yang menyebutkan Indonesia merupakan negara agraris seringkali cenderung memberikan konotasi yang mengecilkan arti kelautan dan perikanan. Setelah terpinggirkan sekian lama, baru dalam lima tahun terakhir ini pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan yang secara definitif mulai meletakkan dasar-dasar upaya peningkatan dan keberlangsungan pembangunan sektor kelautan dan perikanan terkait dengan pembangunan sosial budaya, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan.

Rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut telah mengakibatkan terdegradasinya sumberdaya kelautan dan perikanan, serta menjadi tempat beroperasinya kapal-kapal asing secara ilegal. Kerusakan terumbu karang dan menurunnya potensi perikanan di perairan pantai memaksa nelayan-nelayan tradisional untuk beroperasi lebih jauh dari perairan pantai. Keadaan ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas masyarakat nelayan. Bahkan secara sistemik akan mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat nelayan, yang secara langsung akan berdampak meningkatkan jumlah penduduk miskin serta menurunkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pembangunan nasional. Selain itu, adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan juga ikut berpengaruh terhadap peningkatan kerusakan sumberdaya kelautan

1

(3)

dan perikanan. Kerusakan ini terus meningkat sejalan dengan adanya kegiatan pengurasan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh berbagai pihak tanpa memikirkan kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang.

Faktor lain yang juga secara langsung atau tidak langsung ikut berperan terhadap terjadinya degradasi potensi kelautan dan perikanan adalah tingginya inkonsistensi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh departemen dan instansi terkait. Inkonsistensi kebijakan perencanaan tersebut terjadi akibat tidak dilaksanakannya kegiatan perencanaan pembangunan di tingkat pusat sesuai dengan pendekatan aliran bawah-atas (bottom up approach), yaitu perencanaan pembangunan yang mencerminkan muatan lokal dan aspirasi masyarakat setempat. Sebaliknya sampai saat ini kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat masih bersifat homogen terhadap semua wilayah (top-down

approach). Celakanya, pemerintah daerah juga bersikap menerima kebijakan

tersebut walaupun tidak sesuai dengan muatan perencanaan lokal. Akibatnya, kegiatan pembangunan tidak mengarah kepada sasaran dan cenderung menimbulkan sikap masyarakat yang skeptis terhadap kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

Keadaan ini semakin menjadi rumit ketika masyarakat meminta untuk dibentuk suatu kebijakan antardepartemen atau instansi. Rendahnya koordinasi, monitoring dan evaluasi antardepartemen/instansi mengakibatkan tertundanya berbagai kebijakan pembangunan yang mendesak. Baru setelah timbul kasus yang mencuat secara nasional, pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan yang cenderung bersifat pemecahan masalah jangka pendek dan tidak tersosialisasi dengan baik.

Terbentuknya kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut sering bersifat tumpang tindih dan menimbulkan berbagai tekanan terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, sehingga mengakibatkan terbentuknya situasi yang tidak kondusif bagi peningkatan produktivitas sektor kelautan dan perikanan.

(4)

Meskipun demikian hambatan pembangunan tersebut masih dapat diatasi melalui peningkatan koordinasi antardepartemen/instansi terkait dengan meningggalkan atribut sektoral, sehingga secara vertikal dan horizontal dapat diarahkan kepada keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional.

Tanpa mengurangi nilai prestasi yang telah dilaksanakan pemerintah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan selama lima tahun terakhir ini, secara nasional masih diperlukan reformulasi strategi dan penyusunan kebijakan pembangunan. Kebijakan ini diharapkan mampu mengarahkan dan menghasilkan rencana dan pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dapat memberikan kepastian terhadap peningkatan kelestarian ekosistem dan produksi sektor kelautan dan perikanan, sesuai dengan karakteristik lokal, bertahap, dan berkesinambungan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan penguatan pengkajian strategi dan penyusunan kebijakan yang mampu mengarahkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan kepada upaya (a) pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat nelayan, (b) peningkatan kinerja setiap komponen organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan, serta (c) peningkatan koordinasi antardepartemen dan instansi terkait.

B. PEMBERDAYAAN FUNGSI SOSIALEKONOMI MASYARAKAT NELAYAN

Meskipun dalam arti luas subsektor perikanan air tawar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pertanian, akan tetapi antara sektor kelautan dengan pertanian terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan ini terletak pada karakteristik pengelolaan sumberdayanya.

Pengelolaan sumberdaya pertanian yang terpusat pada peningkatan produktivitas per satuan lahan menunjukkan bahwa lahan merupakan faktor

(5)

produksi yang cenderung bersifat tetap. Kandungan biofisik dan kimia lahan secara konsisten dapat diperbaiki untuk dapat dipertahankan dalam menghasilkan produksi pertanian. Karakteristik pengelolaan sumberdaya pertanian inilah yang mampu meningkatkan kepastian kegiatan produksi di sektor pertanian. Sebaliknya dalam sektor kelautan dan perikanan, produktivitas satu satuan laut tidak dapat ditetapkan secara pasti. Perbaikan kandungan biofisik dan kimia tidak dapat dilakukan secara parsial, sehingga pengelolaan sektor kelautan dan perikanan memiliki resiko dan ketidakpastian produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian.

Tingginya resiko dan ketidakpastian dalam proses produksi perikanan laut menyebabkan pertumbuhan investasi di dalam perekonomian masyarakat pesisir menjadi rendah. Investasi yang hanya terbatas pada pengadaan perahu dan alat tangkap sekedarnya cenderung menyebabkan perkembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir masih bersifat subsisten. Pola produksi yang bersifat subsisten inilah yang masih kuat dirasakan mewarnai persepsi dan kegiatan kolektif masyarakat, sehingga terjadi dikotomi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir.

Dikotomi yang terjadi dalam perekonomian masyarakat pesisir adalah adanya kecenderungan pemisahan yang kuat antara kelompok masyarakat nelayan yang berfungsi sebagai faktor produksi yang menyediakan hasil laut dengan kelompok masyarakat lainnya yang memegang tataniaga hasil perikanan. Dengan kata lain, kelompok masyarakat yang memegang tataniaga produksi perikanan akan meningkatkan kemampuan tataniaganya yang mengarah kepada pasar monopoli atau oligopoli. Artinya secara langsung atau tidak langsung, kelompok pemegang tataniaga produksi perikanan akan mempertahankan atau menekan kelompok masyarakat nelayan yang hanya difungsikan sebagai penyedia hasil kelautan.

Kekuatan kelompok masyarakat pemegang tataniaga untuk mempertahankan eksklusivitasnya dicirikan oleh penguasaan informasi pasar

(6)

secara regional dan nasional, serta tingginya kemampuan modal dalam menguasai hasil tangkapan. Di sisi lain, kelompok nelayan yang difungsikan sebagai faktor produksi hanya memiliki informasi yang bersifat lokal dan hanya memiliki kekuatan tawar menawar yang rendah. Selain itu, informasi lokal cenderung bersumber pada informasi dari mulut ke mulut dengan akurasi dan ketersediaan yang rendah.

Rendahnya marjin keuntungan yang diperoleh oleh kelompok masyarakat nelayan penyedia hasil kelautan menyebabkan timbulnya ketergantungan kelompok tersebut kepada kelompok tataniaga. Bahkan sebagian besar dari kelompok ini sangat tergantung kepada kelompok tataniaga terutama dalam pemenuhan kebutuhan sehari hari dan biaya operasional penangkapan ikan. Besarnya tekanan yang diberikan oleh kelompok tataniaga mengarahkan kelompok nelayan untuk melakukan pengurasan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Menguatnya hubungan sosial ekonomi yang terbentuk di dalam masyarakat nelayan tersebut dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sumberdaya dan meningkatnya konflik di dalam masyarakat. Dengan kata lain hubungan sosial ekonomi yang terbentuk di dalam masyarakat nelayan membuktikan bahwa sistem perekonomian masih terbatas dalam memposisikan nelayan sebagai faktor produksi dan belum meningkatkan keikutsertaan nelayan sebagai pengelola sumberdaya kelautan dan perikanan.

Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa penyusunan strategi dan pengembangan kebijakan pemerintah perlu diarahkan kepada upaya pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat nelayan yang merujuk pada upaya (a) peningkatan peranserta masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan fungsi sosial pengawasan terhadap kelestarian dan keamanan sumberdaya, (b) peningkatan informasi teknis pengelolaan dan harga, dan (c) reformulasi kebijakan tataniaga produksi kelautan dan perikanan.

(7)

a. Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

Sebagaimana telah dijelaskan secara garis besar dalam uraian sebelumnya, tujuan peningkatan peranserta masyarakat nelayan mencakup upaya peningkatan kemampuan teknis manajerial dan fungsi pengawasan lokal teritorial terhadap kelestarian dan keamanan sumberdaya kelautan. Tingginya keikutsertaan mayarakat nelayan secara langsung akan meningkatkan produkstivitas nelayan dan meningkatkan intensitas transaksi ekonomi secara lokal, regional, dan nasional.

1. Peningkatan Kemampuan Teknis Manajerial Masyarakat Nelayan

Di dalam struktur masyarakat nelayan masalah-masalah yang terkait dengan rendahnya produktivitas kelautan dan perikanan lebih disebabkan oleh (a) rendahnya kemampuan teknis manajerial masyarakat nelayan dalam pengelolaan kegiatan produksi, (b) rendahnya investasi, (c) kesulitan untuk memperoleh sarana produksi, (d) harga komoditas hasil produksi lebih rendah dari biaya produksi, serta (e) rendahnya ketersediaan bahan pangan di pedesaan. Setiap faktor atau interaksi keseluruhan faktor tersebut secara langsung mengakibatkan menurunnya kemampuan dan meningkatnya keragu-raguan masyarakat pedesaan untuk melakukan investasi.

Ditambah lagi dengan pola hubungan sosial masyarakat nelayan yang belum berkembang sepenuhya, seperti rendahnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat nelayan, pola produksi yang bersifat subsisten, serta tingginya kemampuan kelompok tataniaga dalam memonopoli produksi secara lokal menjadikan upaya peningkatan kemampuan teknis manajerial masyarakat pedesaan menjadi tidak berarti. Program penyuluhan dan bantuan modal kerja dari pemerintah cenderung hanya memiliki pengaruh yang bersifat sesaat. Tingginya efektivitas program hanya terjadi pada saat lembaga pemerintah atau non pemerintah masih aktif berperan dalam program.

(8)

Ketika aktivitas lembaga tersebut menurun, kekuatan kelompok tataniaga kembali menguasai perekonomian masyarakat pedesaan dengan pola dan cara seperti sebelum ada program. Keadaan ini hanya dapat diubah sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri, yaitu melalui upaya perubahan persepsi masyarakat yang secara kolektif mampu menghadapi kekuatan kelompok tataniaga.

Dalam program pembangunan sebelumnya memang sudah ditawarkan dan dilaksanakan pemberian insentif ekonomi untuk membangun persepsi masyarakat nelayan dalam peningkatan produktivitas usaha. Akan tetapi insentif yang ditawarkan tersebut belum bermuatan insentif sosial, dimana secara sosial terdapat kelompok kelompok yang memiliki aspirasi dan teknis produksi yang berbeda. Dengan kata lain, insentif ekonomi hanya mampu berperan secara makro dalam proses pembentukan persepsi masyarakat, sedangkan insentif sosial merupakan pendekatan program terhadap kelompok atau individu dengan aspirasi yang sama.

Pendekatan insentif sosial diberikan kepada masyarakat nelayan melalui pembentukan program yang mampu mewujudkan setiap aspirasi masyarakat dalam melaksanakan usaha di sektor kelautan dan perikanan. Artinya, program tersebut mampu meningkatkan diversifikasi kegiatan usaha sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pembentukan diversifikasi usaha mensyaratkan setiap detail kegiatan usaha bagi setiap individu, sehingga mampu mengarahkan masyarakat peserta program kepada persepsi kemandirian usaha.

Program peningkatan teknis manajerial ini mencakup kegiatan penjaringan aspirasi, pelatihan dan magang, pendampingan, sampai pada pembentukan kelembagaan ekonomi terhadap masing-masing jenis kegiatan usaha di dalam masyarakat nelayan. Dengan demikian program tersebut akan menuntut biaya dan kemampuan penguasaan karakteristik sosial dan

(9)

ekonomi tinggi dari individu pelaksana yang bertugas di wilayah dan sub wilayah pembangunan pelaksana kegiatan.

Diharapkan melalui pelaksanaan program tersebut akan dapat diatasi masalah keragu-raguan masyarakat untuk berinvestasi dan secara bersamaan terbentuk pola diversifikasi usaha yang mampu meningkatkan nilai ekonomis sumberdaya dalam kerangka pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan.

2. Peningkatan Fungsi Pengawasan Lokal Teritorial terhadap Kelestarian dan Keamanan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

Terbentuknya diversifikasi usaha yang tinggi di dalam perekonomian masyarakat nelayan, secara sosial akan terbentuk fungsi pengawasan oleh setiap individu masyarakat nelayan terhadap setiap kegiatan ekonomi dalam masing-masing wilayah perairan laut setempat. Kuatnya fungsi pengawasan masyarakat akan tumbuh sejalan dengan kepentingan masing-masing individu terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan.

Kekuatan fungsi pengawasan masyarakat tersebut juga akan menghilangkan pemahaman terhadap keberadaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang bersifat open access. Meningkatnya pemahaman terhadap pentingnya kualitas ekosistem laut yang tinggi bagi setiap jenis usaha ekonomi kelautan dan perikanan akan menekan terjadinya kerusakan ekosistem laut. Artinya secara swadaya masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan di perairan setempat, baik terhadap kegiatan dari luar maupun dari dalam wilayah itu sendiri.

Kemandirian dan pengawasan sosial secara swadaya tersebut secara langsung atau tidak langsung merupakan sumbangan material dan fungsional masyarakat nelayan terhadap pembangunan sistem keamanan wilayah perairan laut secara lokal, regional, dan nasional.

(10)

b. Peningkatan Ketersediaan Informasi Teknis Pengelolaan dan Harga

Sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan teknis manajerial dari masyarakat nelayan, diperlukan upaya peningakatan ketersediaan informasi teknis pengelolaan dan harga. Selama ini, informasi teknis pengelolaan dan harga dipegang oleh kelompok tataniaga sebagai cara untuk menguasai pasar dan mempertahankan marjin keuntungan yang tinggi dari usaha kelautan dan perikanan.

Ketersediaan informasi yang diperlukan masyarakat nelayan adalah informasi yang terkait dengan permintaan pasar terhadap produksi sektor kelautan dan perikanan. Informasi ini dapat berupa permintaan terhadap tingkat kualitas dan jenis produksi tertentu, atau informasi tentang tingkat harga pasar dari waktu ke waktu.

Rendahnya ketersediaan informasi terkait dengan permintaan dan harga produksi memposisikan kelompok tataniaga pada posisi tawar yang tinggi dan tetap rendahnya harga yang diterima nelayan. Dampak yang ditimbulkan oleh rendahnya ketersediaan informasi adalah terbentuknya pola produksi kelautan dan perikanan dengan produktivitas dan kualitas yang rendah.

Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ketersediaan informasi baru pada penyediaan sarana dan prasarana di tingkat kecamatan. Sistem pembangunan ketersediaan informasi ini menjadi tidak efektif ketika masyarakat diharuskan berhadapan dengan aparat desa atau kecamatan untuk meminta informasi. Kegagalan sistem ini bukan dalam penentuan unit terkecil dalam program, melainkan belum dipertimbangkannya kondisi hubungan sosial masyarakat nelayan dengan pejabat desa atau kecamatan.

Dengan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat nelayan, penyediaan informasi dapat dilakukan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan produksi hasil kelautan dan perikanan dalam wilayah lokal, regional, dan nasional. Dalam hal ini, pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten

(11)

memberikan prioritas tinggi terhadap wilayah produksi tersebut dan terus menerus dikembangkan kepada perluasan wilayah produksi lainnya.

Di dalam wilayah pengembangan produksi ini akan terjadi intensitas transaksi yang tinggi, yang secara langsung atau tidak langsung akan menyediakan informasi permintaan sesuai dengan pola hubungan sosial antara konsumen dengan produsen.

c. Reformulasi Kebijakan Tataniaga Produksi Kelautan dan Perikanan

Peningkatan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan akan cenderung diikuti oleh meningkatnya kegiatan masyarakat nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Untuk mencegah timbulnya dampak negatif dari kegiatan tersebut perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan tataniaga produksi kelautan dan perikanan. Pengkajian dilaksanakan sesuai dengan karakteristik daerah setempat, sehingga penerapan kebijakan tataniaga produksi akan meningkatkan diversifikasi dan kualitas produksi dan bukan sebaliknya mematikan pertumbuhan ekonomi setempat.

Beberapa masalah tataniaga yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain adalah:

1. Pembatasan Tataniaga kepada Tingkat Kualitas Produksi Tertentu

Dengan asumsi tidak terjadi perubahan lingkungan fisik-kimia terhadap ekosistem perairan pantai, sampai tingkat tertentu secara alami sumberdaya perikanan akan kembali pulih (renewable). Artinya, setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan perlu diupayakan untuk tidak berdampak merusak lingkungan fisik-kimia perairan pantai. Kebijakan ini merupakaan syarat keharusan bagi setiap fihak yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan.

(12)

Pembatasan tataniaga kepada tingkat kualitas produksi tertentu merupakan kebijakan yang diarahkan untuk membatasi terjadinya kerusakan lingkungan biologis biota laut. Kebijakan ini mencakup ketentuan terhadap ukuran dan jenis ikan yang dapat diekstraksi sesuai dengan tujuan akhir pemanfaatan hasil produksi. Kebijakan ini merupakan syarat kecukupan bagi kegiatan pengelolaan sumberdaya dengan tujuan ekonomis, dimana tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk mempertahankan anakan ikan dan jenis tertentu dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kelangsungan produksi perairan setempat.

2. Peningkatan Keterkaitan Proses Ekstraksi Sumberdaya dengan Industri Pengolahan dan Kegiatan Budidaya

Tingginya ketidakpastian musim dan jenis ikan yang mungkin diperoleh menyebabkan proses ekstraksi sumberdaya kelautan dan perikanan cenderung dilaksanakan dengan penggunaan teknologi produksi yang memiliki kemampuan dan kapasitas tangkap yang tinggi. Situasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan masih bersifat

open access dan cenderung mengakibatkan kerusakan sumberdaya

kelautan dan perikanan.

Untuk mengatasi terjadinya kerusakan yang tinggi terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan, diperlukan perubahan terhadap sturuktur kebijakan yang semula didasarkan pada kebijakan peningkatan kemampuan dan kapasitas ekstraksi sumberdaya menjadi kebijakan yang mengarah kepada keterkaitan proses ekstraksi sumberdaya dengan industri pengolahan dan kegiatan budidaya. Keuntungan yang mungkin diperoleh dari tingginya keterkaitan tersebut adalah dapat ditingkatkanya satuan produktivitas dan diversifikasi usaha di sektor kelautan dan perikanan.

Kebijakan ini juga mencakup keharusan bagi perusahaan perkapalan dengan kemampuan dan kapasitas tertentu untuk membangun industri pengolahan, sekurang-kurangnya industri pengalengan ikan.

(13)

3. Pembangunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar hampir tidak dilirik oleh pemerintah sebagai salah satu sumber devisa negara yang secara tetap dan berkesinambungan selalu dapat diusahakan. Kenyataan ini ditunjukkan oleh tidak berkembangnya BUMN yang bergerak di sektor perikanan baik dalam skala nasional maupun daerah.

Terlepas dari perlu atau tidaknya didirikan BUMN atau BUMD dari sisi perekonomian nasional dan regional, BUMN/BUMD sektor di sektor kelautan dan perikanan sangat diperlukan sebagai lembaga (a) percontohan usaha, (b) sumber informasi dan laboratorium penyusunan kebijakan pembangunan regional dan nasional, (c) pusat penelitian terapan, (d) komponen pengembangan dan advokasi pembangunan, (d) mitra usaha masyarakat, dan lain lain.

C. PENINGKATAN KINERJA KOMPONEN ORGANISASI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Sesuai dengan tujuan pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu mewujudkan kelestarian dan keamanan sumberdaya kelautan dan perikanan, memperkuat perekonomian rakyat serta mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat, secara langsung atau tidak langsung akan mengarahkan Departemen Kelautan dan Perikanan bersama-sama instansi terkait lainnya untuk terus meningkatkan peran dan fungsinya dalam upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Terkait dengan pengembangan fungsi pengelolaan tersebut, ketertinggalan pembangunan sektor kelautan dan perikanan mengharuskan departemen melakukan percepatan pembangunan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja komponen organisasi departemen.

(14)

Dalam upaya peningkatan kinerja komponen organisasi perlu ditetapkan kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai peningkatan keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan. Indikator-indikator tersebut merupakan ukuran dari proyeksi kemampuan komponen organisasi dalam memformulasikan kebijakan, perencanaan, dan pengawasan pembangunan. Selain itu, ukuran tersebut merupakan kuantifikasi objektif terhadap optimalisasi efektivitas dan efisiensi kinerja setiap komponen organisasi departemen.

Peningkatan kinerja komponen organisasi departemen mensyaratkan adanya komitmen yang tinggi dari setiap individu dalam organisasi untuk terus meningkatkan kapasitas dan kemampuan (capacity building) yang terkait dengan formulasi dan penerapan kebijakan, perencanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan pembangunan.

a. Formulasi dan Penerapan Kebijakan Pembangunan

Kapasitas dan kemampuan yang tinggi dari setiap individu dalam formulasi dan penerapan kebijakan mensyaratkan tingginya penguasaan individu dalam memahami cara pandang masyarakat dalam menghadapi masalah pembangunan setempat (social subjectives knowledge). Selama ini penguasaan individu dalam memformulasikan kebijakan cenderung semata-mata didasarkan pada pemahaman terhadap lingkungan fisik setempat dan berupaya mengubah cara pandang masyarakat kepada cara pandang baru (objectives knowledge).

Formulasi dan penerapan kebijakan tersebut sering dihadapkan pada berbagai masalah dan kegagalan. Hal ini terjadi karena formulasi dan penerapan kebijakan didasarkan pada pemberian insentif ekonomi dalam programnya. Dengan berakhirnya program, maka masyarakat akan memutuskan kembali kepada cara pandang semula. Atau apabila terjadi ketidaksesuaian kebijakan atau program secara mendasar, maka akan berakibat terjadinya konflik di dalam masyarakat. Konflik ini akan berakhir dengan ketidakpedualian masyarakat terhadap keberadaan kebijakan atau program yang bersangkutan.

(15)

Untuk menghadapi situasi seperti ini, setiap individu dalam komponen organisasi diharapkan mampu membaca dan menangkap keinginan masyarakat sesuai dengan cara pandang masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini upaya perubahan persepsi masyarakat merupakan sisipan program, dimana dalam jangka panjang dapat diarahkan kepada percepatan pembangunan yang signifikan.

b. Perencanaan Pembangunan

Perubahan paradigma pembangunan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dalam bidang perencanaan, pemerintah pusat melakukan perencanaan pembangunan tanpa atau masih sedikit sekali di dasarkan pada usulan perencanaan pembangunan yang berasal dari daerah propinsi atau kabupaten.

Alasan-alasan yang diajukan terkait dengan pola perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik tersebut antara lain, pertama adalah usulan perencanaan daerah memiliki banyak kelemahan dalam penetapan dasar pemikiran, tujuan, metodologi, dan anggaran. Kelemahan ini terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia di dinas-dinas baik propinsi maupun kabupaten. Selain itu, belum tersedianya format baku dalam penyusunan rencana pembangunan dari departemen dan rendahnya kesiapan dan kesediaan pegawai pemerintah pusat dalam membantu penyusunan program.

Kedua, perencanaan dengan mengakomodasikan usulan perencanaan daerah memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama sehingga menjadi tidak efisien dan efektif. Penerapan kebijakan seperti ini dianggap akan banyak mengeluarkan biaya perjalan dan konsultasi, serta terdapat anggapan yang besar bahwa pemerintah propinsi atau kabupaten belum tentu mampu mewujudkan hasil konsultasi dengan pemerintah pusat. Tingginya biaya dan rendahnya kemampuan untuk mewujudkan perencanaan tersebut seringkali dianggap sebagai tindakaan yang tidak efektif dan efisien oleh pemerintah pusat.

(16)

Ketiga, terdapat kecenderungan dari pemerintah daerah untuk menunggu program pembangunan dari pusat. Perilaku ini terbentuk karena banyak usulan pemerintah daerah yang tidak pernah terwujud dalam program yang sampai ke daerah.

Keempat, rendahnya kemampuan administrasi di tingkat pusat untuk menjaring dan menseleksi usulan pembangunan daerah. Rendahnya kemampuan administrasi pemerintah ini terkait dengan rendahnya kualitas dan jumlah pegawai yang ada.

c. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan

Meskipun perangkat kebijakan pembangunan telah secara jelas mengharuskan untuk dilakukannya kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap setiap kegiatan pembangunan, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung bersifat formalitas dan belum mencapai kepada tujuan dan fungsi monitoring dan evaluasi itu sendiri. Secara garis besar, kegiatan monitoring merupakan kegiatan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh suatu program pembangunan secara bertahap atau keseluruhan. Dari hasil monitoring dan evaluasi dapat ditentukan seberapa manfaat dan kelemahan program pembangunan, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan untuk mengembangkan atau menghentikan program. Dengan kata lain, kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan kunci yang menentukan keberlangsungan pembangunan, baik secara vertikal maupun horizontal.

Kegiatan monitoring dan evaluasi program pembangunan yang bersifat formalitas sering disebabkan tidak tersedianya kriteria dan indikator dalam mengawasi kegiatan program pembangunan. Selain itu, petugas belum memahami dan menguasai permasalahan pembangunan yang menjadi latar belakang kebijakan untuk melahirkan program pembangunan tersebut.

(17)

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja monitoring dan evaluasi adalah dengan membentuk format kerja baku yang menyertai usulan perencanaan program dan hasil pelaksanaannya merupakan sumber pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk mengembangkan atau menghentikan suatu kegiatan program pembangunan. Penerapan kebijakan tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk menjaga dan mengembangkan seluruh kegiatan pembangunan secara berkesinambungan. Dengan demikian dapat diharapkan kegiatan pembangunan dapat memberi manfaat yang terus meningkat dan menghilangkan kegiatan yang menekan perkembangan pembangunan itu sendiri secara tepat dan cepat.

D. PENINGKATAN KOORDINASI ANTARINSTANSI TERKAIT a. Peningkatan Koordinasi Antardepartemen

Tingginya volume kegiatan dan kepentingan pembangunan sektoral seringkali menyebabkan rendahnya perhatian dan kerjasama suatu sektor terhadap rencana dan pelaksanaan pembangunan sektor lainnya yang terkait dengan sektor itu sendiri. Keadaan ini dapat berdampak negatif terhadap pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan terjadinya kebijakan yang tumpang tindih atau kebijakan antarsektor yang saling menekan.

Adanya kebijakan yang tumpang tindih secara langsung akan menurunkan efisiensi setiap program pembangunan masing-masing sektor. Sedangkan kebijakan antarsektor yang saling menekan akan mengakibatkan rendahnya manfaat pembangunan yang mungkin diperoleh suatu sektor dan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan program pembangunan suatu sektor dan sektor lainnya. Upaya mencegah timbulnya inefisiensi dan inefektivitas program pembangunan secara sektoral maupun antarsektor perlu dilakukan peningkatan koordinasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan departemen atau instansi terkait. Sistem koordinasi ini meliputi kegiatan penyusunan

(18)

kebijakan pembangunan, konsultasi teknis, monitoring dan evaluasi secara proporsional dan bertanggungjawab.

Contoh klasik yang menggambarkan rendahnya koordinasi antardepartemen adalah belum terkoordinasinya kebijakan pemberian ijin pengoperasian kapal dengan pembangunan industri pengolahan perikanan. Dalam hal ini perlu ditetapkan kebijakan perijinan wilayah operasi dan kapasitas kapal penangkap ikan tertentu terkait dengan keharusan pembangunan industri pengolahannya, atau sebaliknya.

Tujuan penetapan kebijakan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan adalah untuk meningkatkan nilai tambah sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan penyerapan tenaga kerja, serta investasi di sektor kelautan dan perikanan.

b. Peningkatan Kerjasama Luar Negeri

Tingginya ketertarikan dunia internasional terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia menimbulkan berbagai tawaran kerjasama bilateral maupun multilateral dalam bentuk bantuan teknis dan penyediaan dana bagi program pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Khususnya dalam lingkungan negara-negara ASEAN dan Asia Timur, bentuk kerjasama bilateral yang sering ditawarkan adalah kerjasama di bidang penangkapan dan budidaya. Di sisi lain, kerjasama multilateral cenderung terarah kepada bentuk kerjasama bantuan teknis dan penyediaan dana program pembangunan.

1. Kerjasama Bilateral

Dari kedua bentuk kerjasama internasional tersebut, pengalaman departemen kelautan dan perikanan menunjukkan bahwa pelaksanaan kerjasama bilateral masih terbatas kepada bidang perijinan operasional kapal-kapal di wilayah perairan laut ke dua negara dan hubungan pemasaran hasil kelautan dan perikanan. Selain Jepang, kerjasama

(19)

bilateral dalam bentuk pertukaran teknologi budidaya dan pelestarian lingkungan masih tergolong sangat rendah.

Dalam bidang perijinan operasional kapal, kelemahan sistem kerjasama yang ditawarkan pihak Indonesia adalah belum dikembangkannya kewajiban bagi pengusaha kapal kapal asing untuk bekerjasama dengan pengusaha perkapalan dan atau industri perikanan di Indonesia untuk memperoleh ijin operasi. Selain mengakibatkan rendahnya investasi asing, tidak adanya kewajiban untuk mengikutsertakan pengusaha Indonesia tersebut menyebabkan rendahnya fungsi pengawasan sosial terhadap kegiatan operasi kapal-kapal asing di perairan laut Indonesia. Dengan demikian dalam masa-masa mendatang, Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan mampu mengembangkan sistem kemitraan dalam kerjasama bilateral.

2. Kerjasama Multilateral

Sejak dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, telah dilaksanakan berbagai kerjasama multilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lainnya. Berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) internasional, pemerintah mewujudkan berbagai pembentukan dan pengembangan regulasi kawasan ekonomi antarnegara. Selain itu kesepakatan kerjasama multilateral diwujudkan dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan internasional dalam bentuk pinjaman dan hibah, yaitu antara lain dengan World Bank, Asean Development Bank, dan Islamic Development Bank.

Dalam kerjasama multilateral ini, sering ditemukan kegagalan pencapaian perolehan manfaat sosial ekonomi yang mungkin diperoleh masyarakat. Kegagalan pelaksanaan kerjasama program pembangunan kelautan dan perikanan cenderung bersumber kepada ketidaksesuaian program atau proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional terhadap situasi sosial budaya ekonomi masyarakat setempat. Dimana selama ini pihak

(20)

departemen cenderung menerima usulan program pembangunan yang ditawarkan pihak bank dan bukan sebaliknya mengusulkan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal.

Apabila dipandang dengan lebih cermat, program pembangunan yang diusulkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional cenderung didasarkan pada situasi yang dihadapi masyarakat secara makro dan belum didasarkan pada pendekatan perubahan struktur sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Dengan demikian program program pembangunan tersebut cenderung memberikan manfaat dalam jangka pendek dan belum menghasilkan performa yang baik dan berkesinambungan dalam jangka panjang.

Untuk meningkatkan manfaat sosial ekonomi dari kerjasama multilateral diharapkan pihak pemerintah melakukan identifikasi, penelitian dan pengembangan terhadap rencana pembangunan daerah, yang selanjutnya diusulkan sebagai prioritas program pembangunan kepada pihak lembaga keuangan internasional. Integrasi vertikal program pembangunan tersebut yang harus dihargai dan ditaati oleh lembaga keuangan internasional sebagai pihak yang mengerti kebutuhan dan memiliki kepentingan terhadap keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

c. Peningkatan Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

Sampai saat ini peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan masih cenderung berperan sebagai lembaga advokasi bagi kegiatan-kegiatan pembangunan yang dicanangkan pemerintah atau sebaliknya sebagai corong masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pembangunan pemerintah. Banyaknya LSM yang memilih peran sebagai lembaga advokasi sering menimbulkan konflik dan kecurigaan di dalam masyarakat. Hal ini terjadi akibat fungsi advokasi dua arah dari LSM hanya berkonotasi kepada fungsi pengawasan sosial terhadap kebijakan dan program pembangunan pemerintah.

(21)

Sjalan dengan peningkatan fungsi pengawasan sosial tersebut, pemerintah diharapkan mampu mengikutsertakan LSM sebagai lembaga yang berperan dalam upaya pengembangan program, baik secara nasional atau lokal. Kebijakan ini akan memposisikan LSM sebagai lembaga sosial yang mampu memberikan solusi dan mengarahkan sikap masyarakat terhadap kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan setempat.

E. PENUTUP

Dalam upaya meningkatkan distribusi manfaat sosial ekonomi yang berkeadilan, uraian strategi dan pengembangan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan merupakan pendekatan struktural dalam penyusunan program pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan program pembangunan secara berkesinambungan. Pendekatan struktural tersebut mengarahkan pengakajian strategi dan penyusunan kebijakan agar mampu (a) meningkatkan pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat, (b) meningkatkan kinerja setiap komponen organisasi departemen, dan (c) meningkatkan koordinasi antardepartemen.

Dalam penerapannya, pengakajian strategi dan pembentukan kebijakan tersebut masih memerlukan penjabaran secara rinci dalam membentuk dan mengarahkan pembangunan secara terintegrasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan demikian hasil pembangunan akan terintegrasi secara holistik ke dalam parameter dan indikator ke dalam tujuan pembangunan nasional baik secara sosial, budaya, ekonomi, politik, kemanan dan pertahanan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi antara faktor perbedaan umpan dan stadia umur berpengaruh terhadap waktu respon kepiting bakau; faktor

Penambatan molekul membantu dalam mempelajari obat/ ligan atau interaksi reseptor/ protein dengan mengidentifikasi situs aktif yang cocok pada protein, mendapatkan geommetri

perubahan-perubahan dengan mengetahui informasi dari pengakuan konsumen perihal kualitas produk, harga, promosi dan kinerja, sehingga diharapkan kepuasan pelanggan akan terus

Kajian dari penelitian ini hanya sebatas menganalisis ada tidaknya bakteri asam pada proses fermentasi tanpa melakukan identifikasi apakah merupakan bakteri asam laktat

Menurut Bernard (2005, p107) System & Applications berada pada level keempat dari EA 3 Framework dimaksudkan untuk mengatur dan mendokumentasikan kelompok sistem

24 Maret, gajah mulai mendapatkan air untuk minum dan mandi (untuk mendinginkan badan saja) 25 Maret, mulai diakukan pemindahan gajah dari tempat ikatan semula yang

Berdasarkan Gambar. 2, di atas dapat dilihat bahwa gambaran beda rerata antar kelompok per lima tahun penerimaan dosis untuk ketiga bidang dari pekerja radiasi tersebut.

-Apabila erosi modal sosial dalam interaksi sosial dan komunitas benar-benar terjadi, maka institusi lokal akan kehilangan social trust yang ditandai dengan rasa kecurigaan, rasa